Anda di halaman 1dari 60

Laporan Final

Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok


Marginal di Kawasan Timur Indonesia
Hibah Penelitian Kesetaraan Gender dan Inklusi
Sosial (GESI).

Disusun Oleh:
Universitas Udayana , Institut Teknologi Bandung,
Universitas Gadjah Mada

Berkolaborasi Dengan:
Yayasan Aksi Solidaritas Sesama, Lidi Foundation,
Simavi, Yayasan Dian Desa, Mitra Samya November 2022
Tim Peneliti

Laporan ini disusun oleh


Pusat Inovasi Kesehatan Masyarakat (CPHI), Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Bali,
Indonesia.

Detail Tim Peneliti

Nama : Dr. Ni Made Utami Dwipayanti


Gender : Perempuan
Kewarganegaraan : Indonesia
Afiliasi : Universitas Udayana
Negara : Indonesia
Alamat E-mail : utami_dwipayanti@unud.ac.id

Nama : Dr. Anindrya Nastiti


Gender : Perempuan
Kewarganegaraan : Indonesia
Afiliasi : Institut Teknologi Bandung
Negara : Indonesia
Alamat E-mail : anindrya@itb.ac.id

Nama : Dr. Daniel


Gender : Laki-laki
Kewarganegaraan : Indonesia
Afiliasi : Universitas Gadjah Mada
Negara : Indonesia
Alamat E-mail : daniel01@ugm.ac.id

i
BAB I Latar Belakang

1.1 Latar Belakang dan Konteks


Pada tahun 2015, Pemerintah Indonesia menetapkan target universal akses untuk
sanitasi. Namun, diperkirakan sekitar 16 juta rumah tangga di Indonesia masih buang air besar
sembarangan karena tidak memiliki akses ke toilet pada tahun 2020 (WHO dan UNICEF, 2021).
Untuk mencapai target sanitasi, telah dilaksanakan STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat,
adaptasi dari pendekatan Community Led Total Sanitation (CLTS) dengan perluasan intervensi
kebersihan) di 74,28% desa hingga tahun 2020 (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2022). Namun hingga saat ini, belum ada kebijakan yang mengatur keterlibatan kelompok
marginal seperti perempuan dan anak perempuan serta penyandang disabilitas dalam
program STBM. Kelompok-kelompok ini cenderung diperlakukan sebagai objek subsidi
(Cameron dkk., 2019). Sarana sanitasi untuk masyarakat rentan seperti penyandang disabilitas,
lansia, atau perempuan tersedia dalam jumlah terbatas, sehingga memaksa mereka untuk
menggunakan sarana sanitasi yang mungkin tidak nyaman bagi mereka. Oleh karena itu, masih
menjadi pertanyaan apakah akses berkelanjutan juga dirasakan oleh kelompok marginal
(perempuan, anak perempuan, penyandang disabilitas, dan perempuan kepala keluarga).

Genderdansanitasibukanlahpermasalahanbaru.Semakinbanyakahliyangmendorong
perhatian pada kebutuhan dan masalah khusus gender yang terkait dengan pencapaian akses
sanitasi yang universal (Kayser dkk., 2019). Saat ini, penelitian juga berfokus pada hambatan
teknis dan sosial untuk melibatkan penyandang disabilitas dalam sanitasi (Banks dkk., 2019).
Meski begitu,bukti dari Indonesia masih terbatas.Prevalensi Penyandang Disabilitas
(People with disabilities - PWD) di Indonesia berkisar antara 10-15% (Dibley dan Tsaputra,
2019). Oleh karena itu, sangat penting untuk mengalihkan fokus sanitasi untuk melibatkan
kelompok rentan ini.
Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) telah mempertimbangkan
beberapa praktik baik (best practice) dalam STBM GESI (Gender Equity and Social Inclusion atau
Kesetaraan Gender dan Inklusi Sosial). Misalnya, berkat dukungan LSM, beberapa sekolah di
Lombok Tengah telah membangun toilet inklusif, dan perempuan aktif berpartisipasi sebagai
penggiat sanitasi. Namun demikian, dalam memahami sejauh mana akses infrastruktur yang
inklusif dapat dicapai dan dipertahankan serta mengapa dan bagaimana hal ini dapat dicapai
belumdidokumentasikansebagaipelajaranbagidaerahdansecaranasional.Penelitianiniakan
membedah STBM di NTT dan NTB dari kacamata gender dan disabilitas. Meskipun keterlibatan
perempuan dan anak perempuan dalam program sanitasi sudah banyak dilaporkan (misalnya,
penggiat sanitasi perempuan, sanitarian perempuan, kepala desa perempuan yang sukses
denganSTBM,arisanjambanperempuan,dll.),normadanpraktiksosialbudayaberbasisgender
seputar sanitasi di antara kelompok-kelompok yang marginal belum sepenuhnya dipahami.

Selanjutnya, secara khusus kami akan membahas sejauh mana STBM melibatkan
kelompok marginal (proses, kedalaman, dan peluang). Hal ini juga bermanfaat untuk
melihat lebih jauh kendala struktural, politik, dan ekologis serta peluang adopsi
STBM dan perubahan perilaku. Terakhir, kami juga melihat dampak pengintegrasian
GESI dengan STBM pada akses informasi, sumber daya, jaringan, dan pengambilan
keputusan di kalangan perempuan dan anak perempuan, serta penyandang disabilitas.

01 Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia


BAB I Latar Belakang

Gambar 1.1 Gambar ilustrasi

1.2 Tujuan Penelitian


Dalam penelitian ini, bersama dengan para partisipan, kami berupaya untuk:

• Memahami norma dan praktik sosial budaya berbasis gender seputar sanitasi dan
bagaimana hal ini diterjemahkan menjadi akses dan partisipasi kelompok marjinal
dalam STBM;
• Menyelidiki kendala dan peluang struktural, politis, dan ekologis bagi kelompok
marjinal untuk terlibat aktif dalam STBM (termasuk perilaku kembali ke buang air
besar sembarangan);
• Merumuskan rekomendasi untuk meningkatkan integrasi GESI (termasuk
perempuan dan anak perempuan dan penyandang disabilitas) dalam STBM.

Melalui penelitian ini, kami berusaha memahami faktor-faktor yang mempengaruhi


partisipasi inklusif dan keberlanjutan akses sanitasi di STBM. Kami juga ingin memahami
praktik terbaik pendekatan inklusif dalam program sanitasi yang dapat mengoptimalkan
manfaat bagi kelompok marjinal berdasarkan pengalaman di Lombok Tengah dan Manggarai
Barat. Kami juga bertujuan untuk bersama-sama dengan pemangku kepentingan lokal
menghasilkan rekomendasi untuk menyempurnakan panduan STBM, khususnya untuk
mencapai akses sanitasi yang inklusif dan berkelanjutan. Terakhir, bersama dengan pemangku
kepentingan lokal, kami bertujuan menyediakan pembelajaran dan rencana aksi di kedua
lokasi studi untuk kegiatan STBM di masa depan. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan
partisipasi dan mengoptimalkan manfaat bagi kelompok marginal dalam STBM. Rencana aksi
ini akan dikembangkan selama lokakarya reflektif dengan pemangku kepentingan terkait.

Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia 02


BAB II Area Studi dan Metodologi

2. Area Studi dan Metodologi

Studi dilakukan di Lombok Tengah (Nusa Tenggara Barat/NTB) dan Manggarai Barat
(Nusa Tenggara Timur/NTT). Lombok Tengah terletak di tengah Pulau Lombok, NTB yang
mencakup area seluas 1.208,39 km2 dan memiliki populasi 1.034.859. Kabupaten ini memiliki
12 kecamatan dengan 12 kelurahan dan 127 kelurahan. Pada tahun 2022, tercatat sekitar
2000 penyandang disabilitas di Lombok Tengah. Pada November 2021, Lombok Tengah
mendeklarasikan 100% ODF (status bebas buang air besar sembarangan) untuk seluruh
kabupaten karena penerapan STBM. Namun, beberapa rumah tangga masih tidak memiliki
akses sanitasi yang improved (sanitasi dengan kloset dan bak penampungan yang memenuhi
syarat), dimana perempuan serta penyandang disabilitas menghadapi diskriminasi selama
proses pengambilan keputusan. Misalnya, sebagian besar perempuan tidak terlibat dalam
pertemuan desa dan kabupaten, sehingga fasilitas WASH menjadi tidak ramah untuk kelompk
tersebut. Dalam situasi COVID-19, perempuan menghadapi beban ganda dengan melakukan
pekerjaan rumah tangga seperti mengurus anak, memasak, merawat toilet dan bekerja
mencari nafkah untuk keluarga. Sayangnya, sebagian besar suami yang memiliki posisi
penentu keputusan terkait apakah diperlukan perbaikan fasilitas WASH atau tidak. Di NTB,
kajian kami akan difokuskan di dua kecamatan: Kecamatan Praya dan Kecamatan Janapriya.

Gambar 2.1
Peta lokasi studi di
Kabupaten Lombok
Tengah dan Manggarai
Barat

Kabupaten Manggarai Barat terletak di bagian paling barat Pulau Flores, NTT dengan
luas 9.450,00 km2 dan 169 desa (5 kelurahan, 164 desa) di 12 kecamatan. BPS (2019)
melaporkan jumlah penduduk Manggarai Barat sebanyak 274.869 jiwa, terdiri dari 139.000
perempuan dan 135.689 laki-laki. Terdapat kurang lebih 3400 penyandang disabilitas pada
tahun 2021. Pada website Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) melaporkan bahwa 71%
penduduk memiliki akses sanitasi, dengan 20 dari 169 desa telah mendapatkan sertifikat Open
Defecation Free (ODF). Namun masih adanya ketimpangan posisi laki-laki dan perempuan
di WASH. Perempuan memiliki beban kerja yang lebih signifikan dibandingkan laki-laki.

03 Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia


BAB II Area Studi dan Metodologi

Perempuan dan anak-anak bertanggung jawab untuk mengumpulkan air


dan membersihkan fasilitas sanitasi. Selama program SEHATI, perempuan telah
berpartisipasi aktif dalam kegiatan WASH/STBM di semua tingkatan. Namun, partisipasi
penyandang disabilitas dalam kegiatan WASH masih terbatas. Di NTT, kajian kami
akan difokuskan di dua kecamatan: Kecamatan Mbeliling dan Kecamatan Pacar.

BPS Nusa Tenggara Barat (2021) mencatat akses sanitasi yang layak di Kabupaten
Lombok Tengah pada tahun 2020 sebesar 84,23%. Pada tahun 2019, meskipun hanya
15,98% yang masih melakukan BABS; akses sanitasi yang aman hanya 1,74% (POKJA
AMPL-BM Provinsi NTB, 2020). Pada tahun 2019, 68,24% penduduk Manggarai Barat
memiliki toilet pribadi, dan masing-masing 10,07% dan 5,32% mengandalkan fasilitas
umum dan bersama (BPS Manggarai Barat, 2020a). Namun, dalam hal sanitasi yang
aman, hanya sekitar 36% yang memiliki akses ke tangki septik atau sistem pembuangan
limbah; 61,88% dari total populasi menggunakan lubang untuk membuang tinja dan
sisanya masih melakukan buang air besar sembarangan di tambak/ladang/pantai (BPS
Manggarai Barat, 2020b). Jumlah penyandang disabilitas di Lombok Tengah pada tahun
2018 sebanyak 2848 (Dinas Sosial, n.d.), sedangkan di Manggarai Barat, jumlah penyandang
disabilitas pada tahun 2017 sebanyak 1145 (BPS Provinsi Nusa Tenggara Timur, n.d.).

Studi menggunakan pendekatan Participatory Action Research (PAR). Kelompok marjinal


danpemangkukepentinganterkaitdilibatkandalamsemuaprosesmulaidariidentifikasimasalah
dan hambatan untuk mencapai akses sanitasi yang inklusif hingga merumuskan rekomendasi
untuk mengatasi masalah tersebut. Kami menggunakan beberapa metode partisipatif untuk
menjawabsemuatujuanyangdisebutkandiBagian2.Metode-metodetersebutsalingmelengkapi
dan diharapkan dapat memberikan pandangan holistik mengenai isu GESI dan sanitasi.

Untuk mencapai tujuan kami, penelitian terdiri dari beberapa langkah:

A. Survei Berbasis Rumah Tangga


Survei rumah tangga dilakukan untuk mengumpulkan data
yang relevan di tingkat rumah tangga. Survei rumah tangga adalah
pengumpulan data kuantitatif dengan menyebarkan kuesioner
kepada rumah tangga yang menjadi target studi. Survei ini merupakan
langkah awal yang bertujuan untuk menilai tingkat akses dan layanan
WASH, partisipasi kelompok marjinal, dan kemungkinan slippage
(kembali ke perilaku semula). Metode survei yang digunakan adalah
Gambar 2.2 survei KAP (Pengetahuan, Sikap, Perilaku). Survei Pengetahuan,
Workshop Pemangku Sikap, dan Perilaku (KAP) adalah metode pengumpulan data secara
Kepentingan
kuantitatif (melalui pertanyaan standar yang diformat dalam
kuesioner standar). Survei KAP mencatat “pendapat” dan didasarkan
pada pernyataan “deklaratif” tentang perilaku. Di setiap provinsi
dipilih dua kecamatan: Kabupaten Lombok Tengah dan Kabupaten
Manggarai Barat. Data dianalisis dengan menggunakan statistik
deskriptif dan inferensial. Informasi yang dapat mengidentifikasi
responden telah dihapus (anonim) dan data survei disimpan dengan
aman.
Data kuantitatif dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner
yang diberikan oleh pewawancara yang telah diuji sebelumnya. Jika
penyandang disabilitas tidak bisa berkomunikasi langsung dengan

Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia 04


BAB II Area Studi dan Metodologi

pewawancara, pendamping membantu komunikasi. Kuesioner


terdiri dari 7 bagian: (a) karakteristik responden, (b) kondisi WASH,
(c) pertanyaan/pernyataan terkait pengetahuan, (d) pertanyaan/
pernyataan terkait sikap, (e) kondisi ekonomi, (f) pertanyaan/
pernyataan yang berkaitan dengan perilaku, dan (g) hal lainnya. Bagian
pengetahuan terdiri dari tujuh pernyataan benar-salah terkait dengan
pengetahuan praktik WASH. Jawaban yang benar dijumlahkan untuk
mendapatkan skor gabungan yang mewakili pengetahuan responden
terkait praktik WASH. Bagian sikap terdiri dari lima pertanyaan
yang mengukur sikap responden terkait partisipasi perempuan,
penyandang disabilitas, dan kelompok marginal dalam kegiatan
terkait WASH; dan empat pertanyaan tentang sikap responden
terkait fasilitas WASH di rumah. Selain itu, kuesioner juga memuat
empat pertanyaan terkait persepsi hambatan atau faktor pemungkin
terkait partisipasi perempuan, penyandang disabilitas, dan kelompok
marginal dalam kegiatan terkait WASH. Terakhir, bagian perilaku
terdiri dari enam pertanyaan tentang tingkat partisipasi penyandang
disabilitas dalam program WASH.
Semua analisis statistik untuk data kuantitatif dilakukan dengan
menggunakan IBM SPSS 25 (IBM Corp., Armonk, NY). Mean (m),
standar deviasi (SD), atau frekuensi variabel kuantitatif dilaporkan.
Principal Component Analysis (PCA) digunakan untuk membuat
variabel gabungan untuk sikap, yaitu terkait dengan partisipasi dalam

Tabel 2.1 Variabel dan Kategori n %


Jumlah responden
survei berdasarkan Lokasi (n=252)
lokasi dan jenis kelamin
Lombok Tengah 126 50
Manggarai Tengah 126 50

Gender (n=252)

Laki-laki 33 13.1
Perempuan 219 86.9

program WASH, dan praktik, yaitu terkait dengan tingkat partisipasi


dalam program WASH. Skor PCA diperoleh, di mana skor yang lebih
tinggi mewakili tingkat sikap dan praktik responden yang lebih tinggi
terkait dengan program WASH. PCA juga digunakan untuk membuat
skor indeks kekayaan dari aset rumah tangga. Semakin tinggi skornya,
semakin kaya responden tersebut.
Kami melakukan beberapa regresi linier multivariat antara
karakteristik sosio-ekonomi yang relevan (SEC) responden sebagai
variabel independen dan pengetahuan, sikap, dan praktik sebagai
variabel dependen, yaitu, ada tiga regresi yang dilakukan secara
terpisah untuk setiap KAP. Regresi lain juga dilakukan dengan
menggunakan variabel komposit pengetahuan dan skor PCA dari

05 Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia


BAB II Area Studi dan Metodologi

sikap yang terkait dengan partisipasi dalam kegiatan terkait WASH


sebagai variabel independen, dan skor PCA dari tingkat partisipasi
penyandang disabilitas dalam program WASH sebagai variabel
dependen. Regresi terakhir adalah antara SECs, K, A, dan P sebagai
variabel independen dan sanitasi inklusif sebagai variabel dependen.
Ilustrasi hubungan antara faktor-faktor tersebut digambarkan pada
Gambar 2-2.

Gambar 2.3 ilustrasi semua hubungan yang dianalisis dalam analisis regresi.

B. Wawancara Mendalam dan FGD


Wawancara mendalam dan FGD merupakan metode
pengumpulan data kualitatif yang akan dilakukan setelah mendapatkan
hasil survey pendahuluan. Metode pengumpulan data kualitatif ini
memungkinkan pengumpulan sejumlah besar informasi tentang
perilaku, sikap, dan persepsi orang yang diwawancarai. Selama
wawancara mendalam, peneliti dan partisipan memiliki kebebasan
untuk mengeksplorasi informasi tambahan dan mengubah arah
proses bila diperlukan.

FGD adalah metode penelitian yang menyatukan sekelompok


kecil orang untuk menjawab pertanyaan dalam suasana yang
dimoderasi. Grup dipilih berdasarkan karakteristik demografis yang
ditentukan, dan pertanyaan dirancang untuk menjelaskan topik yang
diminati. Wawancara mendalam dan FGD dilakukan untuk menggali
secara komprehensif faktor penghambat dan pendukung partisipasi
kelompok marginal dalam program STBM.
Baik wawancara mendalam maupun FGD dilakukan dengan
pemangku kepentingan terkait dan perwakilan kelompok marjinal.
Peserta berasal dari dua kecamatan tempat survei dilakukan.
Perwakilan kelompok marjinal termasuk perempuan dan anak

Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia 06


BAB II Area Studi dan Metodologi

perempuan, penyandang berbagai jenis disabilitas, gadis remaja,


orang miskin dan perempuan kepala keluarga terlibat dalam FGD.
Total ada sepuluh FGD yang dilakukan, yaitu lima FGD di setiap
lokasi. Pemangku kepentingan terkait WASH dan GEDSI seperti kader
kesehatan/masyarakat, tokoh masyarakat formal dan informal,
fasilitator masyarakat (LSM lokal), dan staf pemerintah diwawancarai
untuk setiap lokasi. Protokol penelitian telah disetujui oleh Komisi
Etik Universitas Udayana. Peserta wawancara mendalam dan FGD
ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 2.2 Wawancara Mendalam dan Peserta FGD


Kelompok perempuan (2 FGD)
Lombok Tengah
Kelompok dewasa muda perempuan (1 FGD)
Kelompok Penyandang Disabilitas (2 FGD)
Badan Perencanaan Lombok Tengah
Dinas Sosial Lombok Tengah
Kantor Pemberdayaan Perempuan Lombok Tengah
Dinas Kesehatan Lombok Tengah
Organisasi disabilitas
Organisasi perempuan di Praya dan Janapriya
Kepala desa di Praya dan Janapriya
Puskesmas di Praya dan Janapriya
Pemimpin informal di Praya dan Janapriya
Fasilitator program sanitasi di Praya dan Janapriya

Kelompok perempuan (2 FGD)


Manggarai Barat
Kelompok dewasa muda perempuan (1 FGD)
Kelompok Penyandang Disabilitas (2 FGD)
Badan Perencanaan Manggarai Barat
Dinas Sosial Manggarai Barat
Kantor Pemberdayaan Perempuan Manggarai Barat
Dinas Kesehatan Manggarai Barat
Organisasi disabilitas
Organisasi perempuan di Mbeliling dan Pacar
Kepala desa di Mbeliling dan Pacar
Puskesmas di Mbeliling dan Pacar
Pemimpin informal di Mbeliling dan Pacar
Fasilitator program sanitasi di Mbeliling dan Pacar

C. Lokakarya
Dua lokakarya tindak lanjut dilakukan dengan pemangku
kepentingan terkait (termasuk kelompok marjinal) di tingkat
masyarakat dan kabupaten untuk mencapai tujuan ketiga. Lokakarya
pertama memiliki tiga tujuan: (1) untuk diseminasi temuan awal survei
dan FGD dan wawancara tahap pertama, (2) untuk mengkonfirmasi
temuan dan mengembangkan persepsi umum atau umum mengenai
temuan, dan (3) untuk membuat causal-loop diagram (CLD) tentang
bagaimana faktor-faktor yang terkait dengan program CLTS GESI
saling terkait satu sama lain; dan (4) merumuskan rencana aksi untuk
meningkatkan integrasi GEDSI (Gender Equity, Disability, and Social
Inclusion) dalam STBM. Lokakarya kedua (daring) akan dilakukan
secara nasional dan bertujuan untuk menyebarluaskan temuan akhir
dan rekomendasi kajian.

07 Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia


BAB III Hasil

Secara umum, akses sarana sanitasi di Lombok Tengah dan Manggarai Barat
berkembang dari waktu ke waktu. Program STBM (sanitasi total berbasis masyarakat) sudah
diarusutamakan ke sektor WASH di Manggarai Barat dan Lombok Tengah. Open Defecation
Free (ODF) dan perluasan akses fasilitas sanitasi dasar menjadi tujuan utama. Saat ini,
dengan target sanitasi Ssustainable Development Goals (SDGs) yang baru, pemerintah
perlu mendefinisikan kembali tujuan program WASH dan beradaptasi dengan target baru
tersebut. Pemerintah telah menyatakan kesadarannya bahwa tujuan akhir sektor sanitasi
adalah menyediakan akses sanitasi yang dikelola secara aman, bukan hanya akses terhadap
sanitasi dasar. Mereka menyadari bahwa sanitasi yang tidak aman berpotensi mengancam
kesehatan masyarakat. Pemerintah telah bergerak melampaui pengendalian menuju sanitasi
aman melalui upaya membangun Instalasi Pengolahan Air Limbah Tinja -IPLT).

Di wilayah studi, akses sumber air terdiri dari akses sumur tak terlindung untuk
keperluan sehari-hari (23,4%), diikuti sumur terlindung (19,4%). Hanya 60,7% dari seluruh
responden yang memiliki sumber air lokal dan 70,2% memiliki pasokan air 24/7 yang dapat
diandalkan. Mengenai fasilitas sanitasi, lebih dari separuh responden survei memiliki fasilitas

Tabel 3.1 Akses air responden survei

Karakteristik n %
Menggunakan lebih dari satu sumber air (n=252) 83 32.9
Air tersedia 24/7 (n=252) 177 70.2

Sumber air utama untuk keperluan sehari-hari


(n=252)
Keran pribadi 47 18.7
Keran umum 56 22.2
Sumur terlindungi 49 19.4
Sumur tidak terlindungi 59 23.4
Mata air tidak terlindungi 28 11.1
Sungai 7 2.8
Lainnya 6 2.4

Waktu pengumpulan air (n=252)

< 5 menit (di tempat) 153 60.7


5-15 menit 63 25.0
16-30 menit 26 10.3
>30 menit 10 4.0

sanitasi dasar (57,5%), diikuti dengan pengelolaan yang aman (20,2%), sedangkan 2% masih
melakukan buang air besar sembarangan. Untuk karakteristik akses dijelaskan dalam tabel
di bawah ini.

Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia 08


BAB III Hasil

Tabel 3.2 Akses sanitasi responden survei

Karakteristik n %

Kepemilikan toilet (n=252)

Memiliki toilet 88.5 223


Toilet umum atau bersama 9.5 24
Buang air besar sembarangan 2.0 5

Klasifikasi toilet menurut JMP (n=252)

Sanitasi aman 20.2 51


Dasar 57.5 145
Terbatas 8.3 21
Tidak layak (unimproved) 11.5 29
Buang air besar sembarangan 2.4 6

3.1Norma dan praktik sosial budaya


berbasis gender seputar akses air,
sanitasi, dan kebersihan
3.1.1 Akses dan peran perempuan dalam rumah
tangga seputar air, sanitasi dan kebersihan
Mayoritas perempuan di lokasi penelitian adalah ibu rumah tangga atau ibu rumah
tangga yang bekerja (masing-masing 39,7% dan 22,6% dari responden survei penelitian). Di
antara peserta studi, sudah ada kesadaran bahwa ibu rumah tangga, terutama ibu rumah
tangga yang memiliki anak, adalah pihak yang memiliki tanggung jawab mengelola air dan
sanitasi di dalam rumah sehingga dipandang memiliki tanggung jawab yang lebih besar
terkait hal tersebut. Peran ibu rumah tangga yang dijelaskan oleh informan dan peserta FGD
terkait dengan mengurus keluarga dan membersihkan rumah.
Ketiadaan fasilitas sanitasi di dalam rumah akan memicu praktik buang air besar

“Itu karena perempuan lebih penting di rumah karena kita semua yang urus
bersih-bersih, tempat tidur dari bangun pagi, kita semua yang kerjakan.”
(FGD kelompok ibu Manggarai Barat).

“Nah, sebenarnya perempuanlah yang memiliki peran lebih besar dalam san-
itasi dibanding laki-laki, mereka lebih besar karena mengurus rumah, mengu-
rus rumah tangga dan memperhatikan segala kebutuhan dan kebersihan di
rumah. Dan memiliki banyak tanggu jawab.” (Kepala Desa, Manggarai Barat).

09 Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia


BAB III Hasil

sembarangan di kalangan perempuan, termasuk pembuangan pembalut yang tidak tepat


karena kurangnya tempat sampah. Kalaupun ada fasilitas sanitasi, perempuan sering
mengeluh fasilitasnya tidak nyaman atau kurang privasi.

Beberapa peserta FGD juga menyebutkan bahwa akses air di toilet juga menjadi
kendala dalam penggunaan toilet karena keterbatasan air untuk membersihkannya saat
digunakan. Akibatnya, perempuan yang secara sosial dipandang sebagai penjaga toilet
harus membersihkannya dengan benar. Peran tersebut menimbulkan beban ganda bagi
perempuan untuk pekerjaan rumah tangga lainnya yang mereka lakukan di rumah.
Terkait dengan akses toilet saat menstruasi, peserta perempuan menyatakan bahwa
perempuan dan anak perempuan lebih sering menggunakan toilet, namun tidak ada aturan
khusus di rumah dalam bergiliran saat menggunakan toilet, meskipun anak perempuan
menyatakan mereka harus menunggu orang tua mereka menggunakan toilet.

“Kalau mandi kan kita bersih-bersih juga. Jadi, kalau belum ada atap
kan risih? Kalau hujan kan kita bawa payung. Jadi, kan repot kalau
harus bersih-bersih sambil bawa payung.” (Kelompok remaja putri
MB).

“Ya susah kalau tiba-tiba sakit perut dan keluar dari toilet malam-
malam, jadi susah kita pergi, mungkin ada hantu di kegelapan” (FGD
Kelompok Ibu, Manggarai Barat).

“Belum cukup, saya sebagai perempuan merasa belum cukup. Kare-


na kita lihat yang lain sudah bagus, kita mau tapi mungkin belum
waktunya. Belum, belum cukup untuk dilakukan. Jadi ya. Kalau saya
pribadi agak kurang…. Saya pikir dinding. Karena besi tipis sudah
rusak, angin bertiup, berisik hahaha, malu sama keluarga atau yang
pinjam wc. Ya Tuhan. Saya punya toilet ini, sangat berantakan haha.
Ya, Anda pasti memiliki perasaan malu…. pintunya juga.. soalnya ma-
sih emergency exit, tinggal angkat aja hehe” (FGD kelompok ibu MB).

“..resiko BAB sembarangan karena akses (toilet) jauh, juga karena


fasilitasnya tidak ada, sehingga membuat (mereka) kembali BAB
sembarangan…mungkin untuk perempuan, dia mengurus anak dan
bayi, untuk contoh (memakai) popok sekali pakai, tidak ada tempat
sampah untuk membuangnya, ada kemungkinan nantinya dia akan
membuang limbah popok yang mengandung feses sembarangan,
sehingga menjadi BAB sembarangan menurut definisinya. “(Pemer- Gambar 3.1
intah, Manggarai Barat, Perempuan). Toilet dengan air terbatas dan ku-
rangnya privasi di Manggarai Barat

Peserta FGD juga melaporkan bahwa mereka menggunakan lebih banyak air untuk
membersihkan pembalut sebelum dibuang. Beberapa perempuan dan anak perempuan di
Manggarai Barat telah diperkenalkan dengan pembalut sekali pakai, namun ada juga
yang masih enggan menggunakannya dan melaporkan membuang pembalut sekali pakai
dengan membakar atau menguburnya di dalam tanah.
Di tingkat rumah tangga, kontribusi perempuan dalam pengambilan keputusan terkait
sanitasi sangat tergantung pada persepsi tentang peran tradisional perempuan. Diakui

Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia 10


BAB III Hasil

bahwa perempuan bertanggung jawab atas banyak kegiatan yang berkaitan dengan air
dan sanitasi, seperti memandikan anak, memasak dan membersihkan dengan air, mencuci,
dll. Peserta FGD menyatakan bahwa peran laki-laki terutama dalam pembangunan dan
perbaikan sarana sanitasi, sedangkan perempuan cenderung terlibat dalam menggunakan
dan memelihara fasilitas tersebut. Ada kesadaran informan laki-laki tentang peran utama
perempuan di dalam rumah; perempuan dianggap memiliki pengetahuan yang lebih banyak
tentang kebutuhan keluarga yang sebenarnya karena peran utamanya dalam pengasuhan,
dan perempuan memiliki pengetahuan yang lebih baik tentang kebutuhan keluarga dalam
hal sanitasi dibandingkan dengan laki-laki.
Survei tersebut juga mengemukakan bahwa pengambilan keputusan terkait WASH di
rumah dilakukan oleh ibu (57,5%) dan lebih sedikit oleh laki-laki-kepala rumah tangga (38,1%).
Namun tampaknya pengambilan keputusan lebih relevan untuk mengelola kebutuhan
kegiatan sehari-hari seperti pemeliharaan, daripada pengambilan keputusan atas investasi
rumah tangga yang besar. Laki-laki juga dianggap kurang menyadari perlunya perbaikan
toilet kecuali perempuan memintanya berulang kali.

"Karena gimana ya, kalau lagi haid, kan jadi nggak nyaman. Tiba-tiba, kita butuh ini
mau ke kamar mandi, tiba-tiba bapak masuk, eh kita harus nunggu, apalagi kita dalam
kondisi haid, emosi naik turun tidak tenang ya, jadi tidak nyaman untuk langsung ke toilet
biasa” (FGD Girls Lombok Tengah).

“Saya memiliki seorang cucu perempuan. Saya menyuruhnya mencuci yang merah dulu.
Cuci bersih dulu. Lalu membuangnya ke tempat sampah. (jika tidak) anjing akan mengam-
bil barangnya... Dia sudah terbiasa ketika datang bulan, dia juga memandikannya. Pad-nya
dibuang ke tempat sampah” (FGD ibu-ibu NTT)

“Kami dapat pembalut kain. Namanya apa? Saya tidak tahu.. yang dari LSM yang dibagikan.
Nah, saya tanya ke kepala desa apakah saya bisa dapat, saya minta. Bersama putri pertama
saya juga bertanya Saya dapat dari NGO. Jadi aman saya tidak pakai pembalut (sekali pakai),
cukup pakai kainnya saja. Cukup sekali cuci saja sudah bersih dan aman, sekarang tidak
perlu beli pembalut. “ (FGD ibu-ibu NTT)

Di masa lalu, perempuan memiliki kewenangan yang kecil dalam pengambilan


keputusan rumah tangga, terutama di masyarakat berpenghasilan rendah. Dalam pasangan
muda seringkali pengambilan keputusan berada di bawah otoritas orang tua atau mertua
(orang tua dari suami).

“laki-laki dalam rumah tangga mencari nafkah dan membuat keputusan.


Kami (perempuan) yang mengajukan, tapi laki-laki yang memutuskan.” (FGD
ibu-ibu Lombok Tengah)

T: “Jadi anak terakhir tinggal bersama orang tua (mertua istri). Lalu siapa
yang membuat keputusan di rumah”; J: “jika orang tuanya sangat tua
maka anaknya”; T:”Kalau anaknya baru menikah?”; A:”orang tua” (FGD ibu
Manggarai Barat)

“Misalnya, sangat sulit untuk merujuk ibu hamil saja… kalau tidak ada
keputusan dari orang tua dan mertua, kami tidak bisa merujuk mereka.
Di sini banyak kepala keluarga yang menikah di usia muda, nah kepala
keluarga belum bisa mengambil keputusan yang mengacu pada resiko tinggi,
dipegang oleh orang tua atau mertua”
(Pemerintah, Lombok Tengah , Perempuan).

11 Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia


BAB III Hasil

3.1.2 Akses dan peran penyandang disabilitas terkait


sanitasi rumah tangga

“Saya menemaninya untuk mengangkatnya ke toilet, saya juga mencuci


pantatnya, Dia juga tidak bisa mengambil nasi (makanan), saya sendirian,
memberinya makan juga, dia hanya bisa merangkak, tidak bisa berdiri, tidak
bisa bicara” (FGD PWD MB)

“Tidak terlalu bersih, tapi masalahnya hanya di lantai. Jarang dibersihkan.


Saya pakai tongkat dan saya sering jatuh karena lantainya licin, sesuatu
seperti lumut.”
(FGD PWD, Lombok Tengah, Perempuan)

“Orang tua susah kalau sakit. Kalau jongkok susah. Jadi, kita siapkan kursinya,
berlubang. Kalau ada toilet duduk, enak, mereka duduk saja.” FGD Kelompok
Wanita MB)

“Mereka tidak memiliki toilet yang layak di rumahnya, mereka seharusnya


memiliki toilet duduk, tetapi di rumah dengan keterbatasan, rata-rata mereka
berasal dari keluarga kurang mampu yang terbatas masih kesulitan makan.
Bagaimana mereka mau membuat toilet yang layak jika ketika mengunjungi
teman-teman, biasanya hal ini dianggap normal. Hanya saja mereka biasanya
tidak menggunakan kursi roda, mereka terbiasa meluncur di lantai. Nah,
jika di luar rumah tidak mungkin meluncur di lantai, karena bajunya bisa
kotor, dan basah, sedangkan di rumah bisa meluncur di lantai menuju kamar
mandi. Kalau ada pemerintah mau bangun toilet, Alhamdulillah.”
(Organisasi Disabilitas, Lombok Tengah)

Akses sanitasi bagi penyandang disabilitas dalam rumah tangga belum menjadi
fokus pembahasan, meskipun toilet umum bagi penyandang disabilitas sudah mendapat
perhatian. Para orang tua mengaku kesulitan membantu anak difabel untuk buang air besar
karena peralatan yang sangat terbatas seperti akses kursi roda dan tidak adanya toilet duduk
di rumah. Risiko jatuh di ruang toilet juga tinggi di kalangan penyandang disabilitas karena
lantai yang licin.

Untuk penyandang disabilitas jenis lain seperti tuli atau bisu atau gangguan ringan pada kaki,
tidak ada masalah yang berarti dalam penggunaan toilet (kebanyakan masalah umum seperti
ketersediaan air), dan mereka juga telah terlibat dalam kegiatan teknis WASH di rumah seperti
pembersihan toilet dan mengambil air dari sumur gali untuk toilet (FGD PWD MB). Hal ini
menunjukkan bahwa pelibatan penyandang disabilitas dalam kegiatan pemeliharaan rutin
sudah ada, namun dalam proses pengambilan keputusan masih terbatas.

Data kuantitatif yang dikumpulkan selama periode pengumpulan data menegaskan


pernyataan ini. Dari survei tersebut, jenis disabilitas (n-129) yang teridentifikasi adalah fisik
(33,3%), diikuti oleh bisu (27,1%) dan lumpuh tubuh (12,4%). Dari seluruh responden survei
penyandang disabilitas, hanya 4 toilet (3,2%) yang memenuhi standar toilet inklusif, yakni
memenuhi enam kriteria toilet inklusif. Sebagian besar toilet tidak memiliki alat pendukung
(94,5%) dan juga tempat sampah (88,9%). Hanya empat per lima toilet yang memiliki air

Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia 12


BAB III Hasil

dan sabun, menunjukkan kurangnya praktik kebersihan setelah menggunakan toilet. Lebih
lanjut responden mengatakan bahwa fasilitas dan kondisi WASH masih belum memenuhi
kebutuhan dan kondisi penyandang disabilitas (Tabel 3.3).
Data menunjukkan rumah tangga dengan tingkat pendapatan yang lebih tinggi akan
memiliki lebih banyak kesempatan untuk membangun toilet yang lebih inklusif bagi penyandang
disabilitas karena mereka memiliki lebih banyak sumber daya untuk melakukannya. Survei
juga menunjukkan bahwa semua karakteristik sosial-ekonomi dan variabel pengetahuan,

Tabel 3.3 Jenis disabilitas dan kondisi toilet inklusif responden survei

Karakteristik n %
Tipe disabilitas (n=129)
Buta 25 19.4
Tuli 10 7.8
Bisu 35 27.1
Fisik (Tangan atau kaki) 43 33.3
Lumpuh badan 16 12.4

Kondisi toilet inklusif (n=125)


Dengan kunci 70 56.0
Tidak ada lubang untuk mengintip 64 51.2
Dengan lampu 75 60.0
Dengan air dan sabun 100 80.0
Dengan tempat sampah 14 11.2
Dengan alat pendukung 7 5.6

sikap dan perilaku tentang sanitasi inklusif menunjukkan bahwa memiliki tangga sanitasi yang
lebih tinggi dan tingkat pengetahuan yang lebih tinggi berhubungan dengan sanitasi inklusif,
yaitu, β = 0,39 dan β = 0,25. Rumah tangga miskin seringkali mengandalkan fasilitas sanitasi
bersama (umum), sehingga penyandang disabilitas dari keluarga berpenghasilan rendah
yang menggunakan fasilitas sanitasi bersama mengalami kesulitan dalam memodifikasi toilet
agar sesuai dengan kebutuhannya.

Tabel di bawah ini menunjukkan persepsi responden survei terhadap fasilitas WASH
rumah tangga. Rata-rata responden survei berada pada posisi netral terkait kondisi fasilitas
WASH di rumah tangga yang memenuhi kebutuhan perempuan dan penyandang disabilitas.
Sementara itu, rata-rata responden penyandang disabilitas setuju bahwa fasilitas yang mereka
miliki telah memenuhi kebutuhan mereka. Responden survei juga menyadari pentingnya
memastikan bahwa semua anggota keluarga dapat menggunakan fasilitas WASH. Persepsi
mereka netral mengenai beban waktu pada kegiatan WASH.

13 Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia


BAB III Hasil

Tabel 3.4 Statistik deskriptif persepsi terkait fasilitas WASH di rumah.

Pertanyaan/Pernyataan n % *Skala
Sarana/prasarana WASH di rumah ini sesuai 1-5 3.1 (1.3) 1-5: 1 = Sangat Tidak Setuju,
dengan kebutuhan/kondisi perempuan, 5 = Sangat Setuju;
penyandang disabilitas, dan kelompok skala
marginal 0-1: 0 = tidak,
1 = ya;
M = rata-rata.
Kondisi sarana/prasarana WASH di rumah 0-1 0.4 (0.5)
sesuai dengan kebutuhan disabilitas (n=129)

Penting untuk memastikan bahwa semua 1-5 4.5 (0.6)


anggota keluarga dapat menggunakan toilet
dan fasilitas cuci tangan dengan mudah

Saya tidak dapat melakukan hal lain yang 1-5 2.9 (1.2)
saya inginkan karena waktu dihabiskan untuk
urusan WASH

3.1.3 Akses dan praktik perempuan dan penyandang


disabilitas terkait WASH di ruang publik

“Kalau kami perempuan, kami takut dengan toilet duduk. Takutnya dari
pengguna sebelumnya ada penyakit yang bisa menular. Di Labuan Bajo,
semua toilet duduk, tidak ada jongkok…. Ya, kami hanya mengangkatnya dan
kami jongkok. Tidak menyentuh, menakutkan. Kemungkinan ada pengguna
sebelumnya yang, maaf ya.. kami takut keputihan. Jangan biarkan pantat
ini bersentuhan. ya, kloset jongkok aman, sekarang kloset duduk tidak
nyaman kecuali punya sendiri.. pribadi. Secara umum, itu menakutkan.” (FGD
kelompok ibu MB).”

“...di sekolah rasio antara murid dan kamar mandi sudah sesuai, apalagi di
SMP yang sudah menstruasi. Untuk anak perempuan, satu kamar mandi
untuk 25 siswa. Tapi untuk anak laki-laki, satu kamar mandi bisa menampung
30 sampai 35 siswa.”
(Pemerintah, Lombok Tengah, Perempuan).

Di wilayah studi, ada kesadaran untuk menyediakan akses sanitasi yang inklusif
bagi penyandang disabilitas dan perempuan di area publik. Di area umum, ada toilet
yang dipisahkan menurut jenis kelamin. Meski begitu, kami menemukan bahwa fasilitas
kebersihan menstruasi untuk perempuan seringkali tidak tersedia di toilet umum, seperti
tisu, tampon atau pembalut, dan tempat sampah khusus untuk pembalut bekas. Mengenai
persepsi kebersihan toilet umum, muncul keengganan untuk menggunakan toilet duduk.
Untuk WASH di sekolah, toilet untuk siswa laki-laki dan perempuan dipisahkan. Lebih jauh
lagi, para pejabat telah mengakui bahwa jumlah toilet untuk siswa perempuan lebih banyak
daripada siswa laki-laki.

Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia 14


BAB III Hasil

“Saya melihat banyak hal yang di sanitasi, terutama toilet, akses ke toilet
dan juga tempat cuci tangan. Bagi yang menggunakan kursi roda, teman
tuna netra, yang paling toiletnya belum memenuhi standar…” (Organisasi
Perempuan Disabilitas, Lombok Tengah).

“Jadi, untuk mencuci tangan pengguna kursi roda, menurut pengamatan saya
sebagai surveyor, saya mengecek apakah tempat cuci tangan itu letaknya di
depan pintu masuk fasilitas umum, di depan fasilitas kesehatan atau tidak?
Mereka menyediakan (fasilitasnya, tapi tidak ada akses untuk pengguna kursi
roda dan juga penyandang tuna netra. Jadi, jika Anda memiliki disabilitas,
tempat cuci tangan agak pendek, menyesuaikan dengan kursi roda Anda.
Mereka membuatnya tinggi sehingga tidak dapat diakses oleh teman
penyandang disabilitas.”
(Organisasi Perempuan Disabilitas, Lombok Tengah).

“...dalam beberapa program yang kami buat untuk toilet, kami meminta
fasilitasi untuk teman-teman difabel ini, tetapi tidak banyak ... jadi kami sudah
mulai melakukannya ... kami juga pemerintah daerah untuk membantu
menyediakan fasilitas, terutama dalam pelayanan publik, kan.”
(Pemerintah, Lombok Tengah, Male).

“tapi biasanya di tempat umum seperti bandara sudah ada (toilet ramah
difabel), tapi saya kira tidak semua kantor dan hotel ada”
(NGO, MB, Male)

“Kalau (untuk) penyandang disabilitas, kami belum terlalu banyak ke sana,


baru sekitar 2 tahun kami membahas masalah penyandang disabilitas di
fasilitas umum… (misalnya) MCK (fasilitas sanitasi umum) di pusat keramaian.”
(Pemerintah, Lombok Tengah, Male).

Namun toilet ramah difabel di tempat umum masih terbatas, termasuk di sekolah.
Demikian juga dengan akses ke fasilitas cuci tangan.
Namun demikian, pemerintah kabupaten telah mempertimbangkan aspek teknis toilet
inklusif seperti apa yang harus tersedia di toilet ramah penyandang cacat, misalnya pagar,
ruang gerak, dll. Misalnya, di Nusa Tenggara Barat yang telah diprioritaskan sebagai salah
satu tujuan wisata dari pemerintah pusat, pemerintah kabupaten telah memasukkan
pembangunan toilet inklusif di Kuta, Mandalika.

Namun, kami merekomendasikan untuk membangun toilet inklusif yang serupa di


desa-desa lain juga di mana banyak terdapat kelompok penyandang disabilitas setempat.

15 Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia


BAB III Hasil

3.2 Norma dan praktik sosiokultural


berbasis gender terkait partisipasi
kelompok marjinal dalam program

3.2.1 Partisipasi Perempuan dan Anak Perempuan dalam


Program Sanitasi
Secara umum, partisipasi perempuan dan anak perempuan dalam program sanitasi
“masih kurang” (Pemerintah, Lombok Tengah, Perempuan). Namun upaya telah dilakukan
untuk melibatkan perempuan dalam beberapa pertemuan terkait sanitasi. Di Lombok
Tengah, terdapat kuota minimal 30% bahwa peserta pertemuan harus perempuan,
meskipun perempuan seringkali sulit untuk menghadiri pertemuan karena harus pergi ke
sawah karena sebagian besar perempuan di wilayah studi bekerja di bidang pertanian.
Namun dari FGD, sebagian besar peserta perempuan mengatakan bahwa mereka

“Laki-laki lebih banyak. Perempuan ya.. 3 atau 4 orang. Banyak yang


diundang. Tapi yang datang hanya sedikit.”
(FGD kelompok ibu MB)

“Selain remaja yang bersekolah, remaja juga dinilai tidak memiliki


pemahaman yang mendalam tentang isu-isu tersebut. Jadi hanya orang
dewasa yang terlibat, dan kemudian mentransfer informasi kepada para
remaja.”
(FGD gadis remaja MB)

“Bagusnya sekarang ada perempuan ketua lingkungan, cuma kalau bicara


masalah ada yang tidak cocok. Tadi malam, kami memilih tokoh perempuan
melalui pemilihan itu karena mereka benar-benar berperan di setiap
lingkungan di setiap dusun.”
(Anggota PKK LT, perempuan)

“Kalau di sini saya kira tidak terlalu jadi kendala, karena semua ada,
semua ada. Dalam rapat desa atau musyawarah, minimal 30% perwakilan
perempuan selalu hadir.”
(Pemerintah Desa LT, laki-laki).

jarang diundang, meskipun mereka mengatakan senang jika bisa berpartisipasi dalam
pertemuan tersebut. Sementara itu, remaja putri mengungkapkan bahwa remaja jarang
diajak dan dianggap memiliki pemahaman yang terbatas terhadap isu-isu yang dibicarakan.
Namun, partisipasi perempuan dalam pertemuan tergantung pada pedoman program/
proyek dan topik pertemuan. Hal ini menunjukkan bahwa ketika pedoman program tidak
secara jelas menyebutkan siapa yang harus dilibatkan, maka partisipasi kelompok marjinal
akan cenderung lebih rendah.
Partisipasi mereka juga tergantung pada kesadaran fasilitator program. Misalnya,
meskipun program STBM menyoroti perlunya melibatkan perempuan, lansia dan anak-anak

Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia 16


BAB III Hasil

“…ya, sesuai dengan program yang ada, misalnya program (kebersihan) haid,
ya tidak mungkin melibatkan laki-laki, pasti perempuan dilibatkan.”
(Pemerintah, Lombok Tengah, Pria).

“Dalam FGD, kami tidak pernah mewajibkan perempuan datang ke forum


dalam persentase tertentu, kami belum sampai disana. Laki-laki dewasa
lebih sering datang ke pertemuan. Meski begitu, kita tetap membutuhkan
keterwakilan gender (perempuan) dalam banyak kegiatan, sehingga biasanya
ada perempuan yang ikut (dalam kegiatan). Misalnya kita ada program terkait
hibah irigasi, ada kegiatan FGD. Dalam pedoman proyek, ada persyaratan
untuk keterlibatan gender. Meski hanya dua atau tiga wanita yang hadir. Jadi
tergantung kita sebagai penyelenggara.”
(Pemerintah, Manggarai Barat, Laki-laki).

“Untuk STBM, misalnya untuk kegiatan pemicuan, harus ada perwakilan


perempuan, selain anak sekolah dan orang tua” (Pemerintah, Manggarai
Barat, Perempuan).

dalam program. Dan beberapa fasilitator tanpa kesadaran inklusi sosial yang baik, mereka
tidak akan melibatkan kelompok marjinal. Sebaliknya, ketika fasilitator memiliki kesadaran
yang baik tentang keterwakilan peserta, mereka akan mendekati kelompok marjinal secara
khusus untuk mendorong mereka berpartisipasi secara aktif.

3.2.2 Partisipasi Penyandang Disabilitas dalam Program


Sanitasi
Secara umum, partisipasi perempuan, yakni perempuan tanpa disabilitas, dalam
program sanitasi lebih baik dibandingkan dengan penyandang disabilitas. Kehadiran
organisasi penyandang disabilitas dan organisasi eksternal yang peduli terhadap isu disabilitas
sangat berperan dalam membuat penyandang disabilitas terlibat dalam program sanitasi. Di
Lombok Tengah, organisasi penyandang disabilitas telah secara aktif mempromosikan dan
mengadvokasi layanan WASH inklusif sehingga pada tingkat tertentu berdampak positif pada
keterlibatan penyandang disabilitas dalam program sanitasi, meskipun beberapa peserta
FGD melaporkan bahwa mereka tidak pernah terlibat.

“Tidak pernah terlibat (dalam program toilet dari Desa)… tidak pernah
(diundang dalam musyawarah Desa/Dusun), hanya mendatangi
kepala desa” (FGD PWD, Lombok Tengah, Perempuan)

“.. Di musyawarah desa ada perwakilannya, walaupun tidak kami


panggil semuanya, tapi ada perwakilan khusus karena mereka
(penyandang disabilitas) punya kelompok..” (Pemerintah, Lombok
Tengah, Perempuan).

“.. di pokja PKP, di forum ini ada teman-teman LSM yang peduli (terkait
isu disabilitas)” (Pemerintah, Lombok Tengah, laki-laki).

17 Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia


BAB III Hasil

Di Manggarai Barat, informan wawancara mengakui bahwa partisipasi penyandang


disabilitas dalam program sanitasi sangat terbatas. Ada sedikit suara penyandang disabilitas
di Musrembang (rapat tahunan daerah untuk mengembangkan kebijakan). Selain itu,
keterlibatan dalam rapat tidak selalu berarti partisipasi langsung.

“Tapi biasanya kami mengunjungi rumahnya, rumahnya dan sebagainya


untuk memberinya makan. Kami juga share apa namanya pembalut saat
kami datang ke rumahnya, kebetulan kami pernah kerjasama dengan teman-
teman NGO yang sangat memperhatikan hal itu. kami datang, kami mendidik
dan kemudian kami memberikan pembalut. Terkadang mereka kekurangan
pengetahuan atau informasi tentang itu.” (Kepala desa 2 MB, laki-laki)

“…Misalnya ada pertemuan terkait kebersihan lingkungan, saya juga


diundang untuk datang, pengalaman saya sebagai orang tua dengan anak
difabel, ada juga pertemuan khusus untuk difabel, orang tua mereka
dipanggil untuk undangan, yaitu yang saya alami” (FGD PWD, MB, Pria)

“Ya, orang tua yang kita undang kemarin. Karena apa, kadang-kadang masih
anak-anak, awalnya mereka tidak mengerti tentang acara tapi orang tua
mereka ikut dalam pertemuan-pertemuan seperti itu.” (Kepala desa 1 MB,
laki-laki)

“…Dia tidak pernah terlibat, saya tidak bisa membawanya ke desa, karena di
desa sering ada pertemuan dari Yayasan Anak Disabilitas” (FGD PWD MB)

“Ya dia (anak difabel) keluar, saya suruh dia membersihkan lingkungan di luar
rumah, kalau saya suruh dia keluar” (FGD PWD MB)

Di tingkat desa, penyandang disabilitas atau orang tua mereka hanya terlibat
dalam program bantuan yang mana mereka ditargetkan sebagai penerima bantuan
tersebut, bukan melibatkan mereka dalam perencanaan/pembahasan program.
Beberapa peserta FGD menyebutkan bahwa mereka telah diundang, namun ada juga yang
mengatakan tidak dapat berpartisipasi karena masalah mobilitas.

Terkait partisipasi penyandang disabilitas dalam kegiatan masyarakat, beberapa


anggota penyandang disabilitas terlibat dalam kegiatan bersih-bersih di lingkungan, ketika
orang tua mereka meminta mereka melakukannya. Namun, banyak anak penyandang
disabilitas yang merasa malu dan jarang bersosialisasi dengan orang lain.

Tabel di bawah ini menunjukkan hasil survei tentang persepsi partisipasi perempuan
dan penyandang disabilitas dalam kegiatan WASH. Terkait dengan sikap, responden survei
merasa nyaman dan percaya diri untuk menghadiri musyawarah desa (skala 3,5 dalam 5),
dan mereka merasa netral bahwa perempuan dan penyandang disabilitas telah dilibatkan
dan diundang dalam musyawarah desa. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat keterlibatan
tertentu ada di wilayah studi, namun beberapa responden masih merasa bahwa mereka
dapat lebih terlibat. Dalam hal praktik, rata-rata responden menyatakan kurang terlibat
dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan serta evaluasi kegiatan WASH di
wilayahnya. Demikian pula, mereka juga kurang terlibat dalam urusan WASH di rumah
tangganya. Selain itu, mereka juga berharap dapat lebih terlibat dalam kegiatan WASH di
desanya.

Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia 18


BAB III Hasil

Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi penyandang disabilitas atau perempuan


bersifat tokenisme dimana mereka hanya diajak namun tidak mempengaruhi proses
pengambilan keputusan. Selain itu, dalam hal pemberdayaan, harus ada kesadaran tentang
tangga partisipasi dari aparatur pemerintah sehingga mereka dapat mengikutsertakan
kelompok-kelompok marginal dalam proses pengambilan keputusan.

Tabel 3.5 Sikap responden survei terkait partisipasi perempuan, penyandang disabilitas, dan kelompok
marginal dalam kegiatan terkait WASH.

Variabel Skala *M (SD)

Pengetahuan terkait sanitasi atau WASH

Skor pengetahuan 0-7 0-7

Sikap
Menurut Anda, seberapa baik keterlibatan perempuan, penyandang 1-5 1-5
disabilitas, dan kelompok marginal dalam berbagai kegiatan WASH di desa
Anda?
Apakah perempuan, penyandang disabilitas, dan kelompok marginal diundang 0-1 0-1
dalam pertemuan di desa/masyarakat?
Perempuan, penyandang disabilitas, dan kelompok marginal harus dilibatkan 1-5 1-5
dalam berbagai kegiatan WASH di desa ini
Saya merasa nyaman menghadiri pertemuan desa 1-5 1-5
Saya merasa nyaman mengungkapkan pendapat saya dalam pertemuan desa 1-5 1-5

Skor komposit sikap menggunakan PCA dari 5 variabel 0-4.1 0-4.1

Perilaku
Seberapa terlibat Anda dalam persiapan atau PERENCANAAN kegiatan WASH 1-5 1-5
di daerah Anda?

Seberapa terlibat Anda dalam PELAKSANAAN kegiatan WASH di wilayah Anda? 1-5 1-5
Seberapa terlibat Anda dalam MONITORING dan EVALUASI kegiatan WASH di 1-5 1-5
daerah Anda?
Seberapa besar keinginan Anda untuk terlibat dalam berbagai kegiatan WASH 1-5 1-5
di daerah Anda?

Saya jarang terlibat dalam urusan WASH di rumah saya 1-5 1-5
Saya secara aktif memantau keterlibatan perempuan, difabel, terpinggirkan 1-5 1-5
dalam berbagai kegiatan WASH di wilayah ini (misalnya desa/kelurahan)

Skor komposit dari praktek menggunakan PCA dari 6 variabel 0-3.6 0-3.6

M = Rata-rata

19 Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia


BAB III Hasil

3.3 Hambatan partisipasi kelompok


marjinal dalam program sanitasi

Gambar 3.2 Toilet di Desa Durian (gambar oleh Nurlisah, LIDI Foundation)

Hambatan terkait partisipasi yang terungkap dalam penelitian adalah:


1. Hambatan struktural: Ketiadaan regulasi dan implementasinya
2. Hambatan lingkungan: Tantangan geografis/infrastruktur untuk mengikutsertakan/
melibatkan perempuan dan penyandang disabilitas dalam program sanitasi
3. Hambatan Budaya dan Norma: Suara perempuan dan penyandang disabilitas jarang
terdengar
4. Hambatan Individu: Kurangnya Kesadaran akan Hak Sanitasi bagi Perempuan dan
Penyandang Cacat, rendahnya tingkat pendidikan, dan rendahnya status ekonomi
5. Hambatan pelayanan : Keterbatasan sumber daya manusia di lapangan

3.3.1 Hambatan struktural: Kurangnya regulasi dan


implementasinya
Ketiadaan regulasi yang secara khusus mengatur kesetaraan gender dan hak perempuan
atas sanitasi di tingkat kabupaten dan desa juga menjadi hambatan untuk mencapai sanitasi
inklusif. Meski gagasan tentang sanitasi untuk perempuan sudah ada, namun minimnya
regulasi yang tegas di Manggarai Barat membuat aparat pemerintah ragu untuk bertindak.
Selain itu, pejabat yang bergerak di bidang pemberdayaan perempuan sering mengadvokasi
kesetaraan dan inklusivitas gender, tetapi implementasi dari lembaga teknis masih kurang.
Hal ini seringkali karena fokus pemerintah daerah saat ini masih pada peningkatan akses
sanitasi bagi masyarakat umum.

Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia 20


BAB III Hasil

Beberapa peserta juga mencatat bahwa mereka ingin melibatkan lebih banyak
perempuan, tetapi dana yang terbatas menghalangi tingkat partisipasi tersebut. Mereka hanya
bisa mengundang aparat desa (yang kebanyakan laki-laki). Ke depan diharapkan perempuan
dapat lebih terlibat, khususnya anggota PKK (organisasi perempuan) dan kader kesehatan
yang hampir seluruhnya perempuan. Menurut FGD perempuan, hanya perempuan yang
memiliki informasi atau data saja yang diundang dalam pertemuan, jarang yang mengundang
perempuan biasa ke pertemuan desa. Peserta FGD perempuan (Manggarai Barat) juga
mencatat bahwa dana untuk kegiatan PKK berkurang tanpa diskusi dengan mereka. PKK
cenderung memiliki kekuatan yang rendah dalam pemerintahan desa dan hanya menerima
apa yang telah diputuskan untuk mereka.

“Kalau regulasinya sudah ada, maka akan ada regulasi turunannya…tentang


keterlibatan perempuan. Kami punya rencana…ketika peraturan ini sudah
ada, maka kami, daerah, memiliki alat ukur apakah (program) yang ada
sudah berpihak pada perempuan atau belum. Tapi sekarang itu tidak
mungkin. Apakah anggarannya responsif (untuk kebutuhan perempuan)..
Belum karena belum ada aturannya.” (Pemerintah, Manggarai Barat, Laki-
laki).

“…sosialisasi terkait kesetaraan gender dan akses kepada teman penyandang


disabilitas belum begitu intens. Walaupun sosialisasi ke instansi lain sudah
dilakukan, tapi sekarang bagaimana respon dari instansi untuk eksekusi, ada
kelemahannya.”
(Pemerintah, Lombok Tengah, Pria).

“Kemarin saya adakan kegiatan sosialisasi bagaimana agar pemerintah desa


memahami aturan tersebut. Kalau mereka paham tentang regulasi, tentu
akan dilanjutkan.”
(Organisasi Disabilitas, Lombok Tengah, Male)

Terkait penyandang disabilitas, kesadaran pemerintah desa tentang pengaturan hak


penyandang disabilitas masih terbatas. Hal ini juga disebabkan terbatasnya data disabilitas
yang terbarui bagi pemerintah untuk menyusun kebijakan dan rencana program. Memastikan
kelengkapan dan validitas data tingkat desa terkait sanitasi dan disabilitas merupakan
tantangan utama di Manggarai Barat dan Lombok Tengah. Selain itu, persepsi aparat desa
dan kabupaten terhadap sanitasi seringkali berbeda sehingga mengurangi validitas data.

“…memang pemenuhan kebutuhan dari pemerintah desa sendiri dengan


kondisi saat ini belumlah lengkap. Jadi ya kita daerah datang dengan ilmu
kita, lalu desa dengan ilmu mereka. Jadi, ada sedikit miss validitas data…
desa juga tidak memiliki cukup data pendukung untuk itu…baseline data kita
masih sangat-sangat rendah.”
(Pemerintah, Manggarai Barat, Perempuan).

21 Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia


BAB III Hasil

3.3.2 Hambatan lingkungan: Tantangan geografis/


infrastruktur untuk mengikutsertakan/melibatkan
perempuan dan penyandang disabilitas dalam program
sanitasi
Penyandang disabilitas yang tinggal di perkotaan memiliki lebih banyak kesempatan
untuk diikutsertakan dalam program sanitasi. Di Manggarai Barat, jarak dari desa ke ibu kota
kabupaten seringkali menghambat partisipasi. Selain itu, bangunan publik di desa jarang
memenuhi standar inklusif, sehingga penyandang disabilitas lebih enggan menghadiri rapat
di kantor desa, meskipun diundang.

Di Lombok Tengah, promosi WASH difokuskan pada sekolah-sekolah, termasuk sekolah


untuk anak berkebutuhan khusus. Tetapi tidak semua keluarga mampu menyekolahkan
anaknya yang cacat ke sekolah luar biasa. Terkadang sekolah-sekolah ini juga tidak tersedia
di daerah mereka. Sehingga, masih terdapat keluarga difabel yang tidak tersentuh oleh
program sanitasi.

“.. sejauh yang saya tahu, komunitas (difabel) ini ada di kota. Dalam beberapa
tahun terakhir kita mengadakan musrembang, partisipasi penyandang
disabilitas kurang, mungkin karena penyandang disabilitas di desa sangat
jauh (tempat tinggalnya) dari kantor kecamatan... mereka (harus) menempuh
perjalanan yang sulit.” (Pemerintah, Manggarai Barat, Perempuan)

“karena saya tidak pernah terlibat, saya tidak bisa membawanya ke desa,
karena di desa sering ada pertemuan dari Yayasan Anak Penyandang
Disabilitas”
(FGD PWD, Manggarai Barat, Perempuan)

“... di desa-desa, masih banyak penyandang disabilitas yang belum


ditampung di panti asuhan atau sekolah”
(Pemerintah, Manggarai Barat, Perempuan)

3.3.3 Hambatan budaya dan norma: Suara Perempuan


dan Penyandang Disabilitas jarang Mendengar
Suara perempuan seringkali tidak terdengar karena masalah budaya dan mentalitas
perempuan itu sendiri. Beberapa peserta menyarankan bahwa budaya patriarki di daerah
tersebut menjelaskan mengapa perempuan sering ragu untuk menyuarakan pendapat
mereka.

“Karena di sini kebanyakan dari mereka beragama Islam, kan dalam


Islam memang dikatakan bahwa derajat laki-laki lebih tinggi, akhirnya
ketika perempuan ingin menyampaikan di depan umum, di depan tokoh
masyarakat, tokoh agama dan perangkat desa lainnya, yang akan didengar
adalah orang-orang yang lebih berpengaruh di desa. Misalnya kiai (tokoh
agama), kita hormati dia, jadi ketika kita berpikir bahwa keputusannya agak
melenceng, tapi kita mengikutinya karena masih ada rasa hormat. “
(Pemuda FGD, Lombok Tengah)

Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia 22


BAB III Hasil

“Begitu, sejujurnya, manusia terlalu dominan ... Mungkin itu budaya, tetapi
saya tidak menyadari bahwa itu telah mempengaruhi pola pikir wanita itu
sendiri ... Apalagi pernikahan di sini adalah tempat wanita pergi ke rumah
suami mereka ... Pada akhirnya, sdia mengikuti lebih banyak ... Jika wanita
memasuki komunitas lain, jadi mereka harus menyesuaikan banyak hal di
sana, bahkan jika orang-orang di sana tidak menekannya.”
(Pemerintah, Manggarai Barat, Perempuan).

Namun, seperti yang disebutkan sebelumnya, suara perempuan semakin diperhatikan


karena semakin banyak perempuan yang berpartisipasi dalam angkatan kerja meskipun ada
stigma perempuan di lokasi studi bahwa mereka tidak dapat bekerja. Ini juga menunjukkan
bahwa jika perempuan memiliki sumber daya atau kekuasaan, mereka cenderung akan
menyuarakan pendapat mereka.

Lebih lanjut, lebih banyak perempuan telah memperoleh posisi yang kuat di masyarakat
dan kantor pemerintah, meskipun posisi penting tersebut masih didominasi oleh laki-laki,
yang dapat memfasilitasi partisipasi perempuan atau kelompok marjinal.

“Karena bukan hanya saya yang meminta (untuk toilet). Saya meminta
hysband saya untuk membersihkan toilet juga, bukan hanya saya sebagai
ibu. Untuk memiliki hidup sehat. Bukan hanya kamu (suami) yang bekerja,
aku juga bekerja, jadi kita perlu melakukannya bersama, bukan hanya ibu.
Bantu saya di (memelihara) toilet.”
(FGD perempuan Manggarai Barat)

“Mereka (perempuan) mengambil keputusan setelah memiliki penghasilan


sendiri dari industri rumahan yang mereka kembangkan. Mereka dapat
mengatakan ‘Saya ingin ini dan itu.. termasuk yang berhubungan dengan
sanitasi”
(Pemerintah, Lombok Tengah, Laki-laki).

“Selama ini kalau kita lihat perempuan selalu punya stigma tidak bisa
bekerja, penghasilannya rendah... Selama ini mereka hanya mengandalkan
penghasilan suami kepala keluarga, kini setelah mereka memiliki
kemampuan dan kemauan untuk berani menjadi pengusaha, dalam skala
rumah dapat membantu perekonomian keluarga..”
(Pemerintah, Lombok Tengah, Laki-laki).

Sehubungan dengan penyandang disabilitas, mayoritas masyarakat merasa kasihan


terhadap penyandang disabilitas, dengan demikian pemerintah desa sering melihat
penyandang disabilitas sebagai objek bantuan karena kemampuan dan keterampilan mereka
yang terbatas. Akibatnya, mereka jarang meminta penyandang disabilitas untuk terlibat dalam
kegiatan fisik atau pertemuan di tingkat desa dan diundang ke pertemuan. Ini terkadang juga
menyebabkan mereka tanpa kesempatan untuk mengekspresikan kebutuhan mereka dan
menyumbangkan pemikiran mereka untuk pembangunan desa. Jika penyandang disabilitas
diundang, mereka terkadang sering malu untuk berbicara dalam pertemuan desa.

23 Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia


BAB III Hasil

“Ya, jadi mengenai itu, ... kantor desa mengambil keputusan berdasarkan
kesepakatan dengan masyarakat, tetapi tidak diambil dari kebutuhan difabel
atau tidak (tidak mendengar dari penyandang disabilitas)”
(FGD penyandang disabilitas, Manggarai Barat, Laki-laki)

“Terkadang mereka malu. But nanti ketika keluar, mereka, teman-teman


difable harus berbicara, seperti ini dan ini. Ini bukan hanya untuk teman-
teman penyandang disabilitas di tim kami, ada banyak yang seperti ini ketika
kami memiliki pendapat yang sama dalam pertemuan tetapi nanti ketika
kami berdiskusi dengan pemerintah, mereka tidak akan berani berbicara.”
(Organisasi non-profit, Lombok Tengah, Male)

Ada empat pertanyaan dalam survei kuantitatif terkait dengan hambatan atau
faktor pendukung untuk partisipasi kelompok marjinal, yaitu, perempuan dan penyandang
disabilitas: tradisi, agama, kondisi ekonomi, dan dukungan dari orang-orang. Tabel 3.6
menunjukkan bahwa tradisi dan ajaran agama bukanlah penghalang untuk berpartisipasi
dalam program WASH, yaitu, mean = 1,7 dan 1,6, masing-masing. Hal ini menunjukkan bahwa
ada beberapa peserta yang mengakui bahwa nilai-nilai agama dan budaya menempatkan
laki-laki memiliki kekuatan lebih dari perempuan, tetapi mayoritas peserta survei (perempuan
dan penyandang disabilitas) tidak melihat bahwa nilai-nilai tersebut mempengaruhi praktik
WASH dan partisipasi dalam program WASH.

Tabel 3.6 Persepsi hambatan atau faktor pendukung yang terkait dengan partisipasi perempuan, penyandang
disabilitas, dan kelompok marjinal dalam kegiatan terkait WASH.

Karakteristik n % *1 = sangat tidak setuju, 5 = san-


gat setuju; M = rata-rata.
Tradisi/adat istiadat di desa saya menjadi 1-5 1.7 (0.7)
salah satu kendala keterlibatan perempuan,
penyandang disabilitas, dan kelompok
marjinal dalam berbagai kegiatan WASH.
Ajaran agama menjadi salah satu kendala 1-5 1.6 (0.9)
keterlibatan perempuan, penyandang
disabilitas, dan kelompok marjinal dalam
berbagai kegiatan WASH
Kondisi ekonomi menjadi salah satu kendala 1-5 3.3 (1.5)
keterlibatan saya dalam berbagai kegiatan
WASH
Orang-orang di sekitar saya MENDUKUNG 1-5 3.9 (0.9)
keterlibatan perempuan, penyandang
disabilitas, dan kelompok marjinal dalam
kegiatan/hal-hal yang berhubungan dengan
WASH

Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia 24


BAB III Hasil

3.3.4 Hambatan Individu

Gambar 3.3 Toilet inklusif

3.3.4.1 Kurangnya kesadaran akan hak-hak sanitasi bagi perempuan dan


penyandang disabilitas
Meskipun hak-hak perempuan telah dibicarakan, hak-hak khusus sanitasi bagi
perempuan tidak ada dalam diskusi kebijakan dalam sektor pemberdayaan perempuan.
Sama seperti hak atas akses WASH untuk penyandang disabilitas jarang didiskusikan dan
dipromosikan oleh Dinas Sosial Kabupaten, yang bertanggung jawab dalam implementasi
program pemberdayaan penyandang disabilitas. Peserta FGD juga mengakui bahwa mereka
tidak pernah tahu bahwa ada sebuah peraturan terkait hak-hak penyandang disabilitas

“Dalam pemberdayaan (perempuan) belum masuk (isu) sanitasi. Dalam


setiap penyuluhan, kami selalu menyampaikan informasi kepada perempuan
agar perempuan mendapatkan hak atas kesehatan, hak atas pendidikan.
Jadi, hak-hak perempuan meliputi hak-hak publik, hak kerja, kesehatan,
partisipasi... Itu selalu terjadi. Tapi kalau soal sanitasi (masalah), bukan itu.”
(Pemerintah, Manggarai Barat, Perempuan).

“tidak pernah, mungkin di desa ada, tapi kami tidak pernah mendengar
tentang” (FGD penyandang disabilitas, Manggarai barat)

3.3.4.2 Status ekonomi rendah


Hambatan individu lain untuk berpartisipasi yang ditemukan dalam survei adalah status
ekonomi, seperti yang juga diidentifikasi dalam penelitian lain (Hästbacka et al., 2016) (Tabel
3.6, hlm. 25). keluarga dengan status ekonomi rendah tidak akan mampu menyekolahkan
anak-anaknya yang disabilitas atau memberikan fasilitas WASH yang layak bagi mereka,
sehingga membuat mereka merasa minder dibandingkan dengan masyarakat umum.
Partisipasi kelompok merginal dalam pertemuan masyarakat yang membahas kebutuhan
WASH tidak akan mungkin terjadi jika tidak difasilitasi secara khusus untuk mereka.

25 Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia


BAB III Hasil

3.3.4.3 Hambatan layanan: Terbatasnya sumber daya manusia di


lapangan
Meskipun keterlibatan wanita dalam STBM saat ini sangat luas, di lapangan, sumber
daya manusia untuk membantu dalam program tersebut masih terbatas. Kesehatan kader
dari Posyandu (Pos Pelayanan Kesehatan Terpadu, yang secara khusus bertanggung jawab
terhadap kesehatan ibu dan anak di masyarakat) memegang peranan penting. Kader-kader
ini secara khusus membantu dalam mengumpulkan data dan sosialisasi terkait sanitasi
(misalnya, keluarga mana yang miskin dan memenuhi syarat untuk mendapatkan bantuan
keuangan, rumah tangga mana yang tidak memiliki toilet, dll.). Namun, jumlah kader
kesehatan terlatih terbatas.

“Karena perubahan dari Pusat Kesehatan Terpadu konvensional, ke


Pusat Kesehatan Terpadu keluarga, energi dan sumber daya keuangan
diperlukan.... tenaga kerja kita yang pergi ke lapangan harus meningkat ...
Kita juga butuh sosialisasi, butuh pelatihan kader.”
(Pemerintah, Lombok Tengah, Perempuan).

Di beberapa daerah, STBM juga didukung oleh organisasi perempuan desa (PKK). Di
daerah lain, seorang anggota PKK menyebutkan dalam FGD perempuan bahwa mereka tidak
dilibatkan untuk mendukung STBM mungkin karena tidak ada insentif bagi mereka, meskipun
mereka “ingin mendukung” (kelompok Perempuan FGD, Manggarai Barat).

3.4 Mendukung partisipasi kelompok


marjinal dalam program sanitasi
Empat kondisi memungkinkan kelompok marjinal untuk lebih berpartisipasi dalam
program sanitasi sesuai dengan temuan penelitian ini adalah:
1. Menciptakan lingkungan yang mendukung seperti seperti kebijakan:
• Pengakuan program sanitasi dari pemerintah
• Subsidi untuk mendukung keterlibatan penyandang disabilitas dan perempuan
dalam kegiatan terkait sanitasi

2. Norma pendukung: Dukungan dari pemimpin dan kelompok adat/ agama


3. Meningkatkan keterampilan: pelatihan
4. Layanan pendukung:
• Pengakuan program sanitasi dari pemerintah
• Subsidi untuk mendukung keterlibatan penyandang disabilitas dan perempuan
dalam kegiatan terkait sanitasi

Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia 26


BAB III Hasil

3.4.1 Lingkungan yang mendukung


3.4.1.1 Pengakuan program sanitasi dari pemerintah
Di Lombok Tengah, komunitas penyandang disabilitas mendapatkan sorotan dalam
AMPL (Drinking Water and Environmental Health) Award. Pengakuan ini secara tidak langsung
mendorong partisipasi kelompok marjinal dalam masyarakat dan pemerintah, misalnya,
proses pengambilan keputusan dan penyusunan rancangan peraturan.

“... Pada AMPL Award, kami mengangkat kisah penyandang disabilitas.


Kami mendapat nominasi pertama, mendapat peringkat ... disini kami
bekerja sama dengan salah satu lembaga diffable di Lombok Tengah
untuk menangani (keterlibatan) diffable dalam air minum dan sanitasi
lingkungan... Teman-teman yang kami bina disebut Unit Usaha Sanitasi,
Pade Angen. Programnya, jika ada penyandang disabilitas di Lombok
Tengah, mereka menyumbangkan kloset.”
(Pemerintah, Lombok Tengah, Laki-laki).

3.4.1.2 Insentif untuk mendukung keterlibatan penyandang disabilitas dan


perempuan dalam kegiatan terkait sanitasi
Seperti disebutkan sebelumnya, terkadang jarak atau infrastruktur menjadi
tantangan bagi partisipasi kelompok marjinal, terutama penyandang disabilitas,
insentif atau bantuan keuangan sangat dibutuhkan oleh mereka.

“.. baru kemarin ketersediaan dana masih terbatas, jadi kami masih
menggunakan istilah tersebut untuk menyelamatkannya dari proposal
mereka, terutama untuk kebutuhan penyandang disabilitas.
(Tokoh Desa 1, Manggarai Barat, laki-laki)

3.4.2 Norma pendukung: Peran tokoh agama dan


kelompok
Di Manggarai Barat, peran tokoh agama dan kelompok sangat penting untuk mendorong
partisipasi masyarakat dalam kegiatan sanitasi lingkungan. Kegiatan dalam kelompok doa
dapat dirancang untuk membahas berbagai topik termasuk sanitasi dan keluarga dengan
anggota penyandang disabilitas akan menjadi bagian dari kegiatan tersebut juga.

“Saya punya satu, karena saudara-saudari lain berada dalam kelompok doa
yang berbeda dari saya, dalam kelompok saya, orang yang berbicara tentang
air minum dan kebersihan adalah pemimpin kelompok itu sendiri.”
(FGD Penyandang disabilitas Manggarai Barat)

27 Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia


BAB III Hasil

3.4.3 Meningkatkan keterampilan: Keterampilan


penyandang disabilitas dalam konstruksi toilet
Di Lombok Tengah, partisipasi penyandang disabilitas dalam penyediaan sanitasi
sangat luar biasa. Sebab, sekelompok penyandang disabilitas di bawah organisasi disabilitas
bernama Lidi Foundation memiliki keterampilan untuk membangun toilet inklusif. Mereka
telah berhasil mendirikan bisnis sanitasi untuk memasang toilet inklusif bagi anggota
penyandang disabilitas di daerah tersebut.

Gambar 3.4 Toilet inklusif yang dibangun oleh penyandang disabilitas terampil di Lombok Tengah

3.4.4 Layanan yang mendukung


3.4.4.1 Kehadiran Lembaga Swadaya Masyarakat yang Peduli Isu Gender dan
Disabilitas
Organisasi eksternal yang mengadvokasi gender dan disabilitas memainkan peran utama
dalam mengarusutamakan isu GEDSI dalam kebijakan tersebut, ini termasuk kesetaraan
gender dan inklusif dalam penyediaan fasilitas sanitasi dan masalah dengan kebersihan
menstruasi di masyarakat.

“Saya hanya mengikuti program LIDI (NGO terkait penyandang disabilitas),


melalui ini baru pertama kali saya diundang untuk berdiskusi”
(FGD penyandang disabilitas, Lombok Tengah, Laki-laki)

“Secara pribadi, sejujurnya, masalah ini (GEDSI) sebenarnya biasa-biasa saja,


hanya karena diangkat oleh sebuah LSM, kami di pemerintah daerah hanya
mengikutinya, masalah (GEDSI) menjadi penting..”
(Pemerintah, Lombok Tengah, Laki-laki).

“.. Selama lima tahun terakhir, dalam setiap kegiatan sanitasi yang dibawa
teman-teman LSM, isu gender selalu diikutsertakan. Meskipun yang
dibutuhkan untuk program air minum, kebetulan teman-teman LSM yang
datang ini lebih dominan di bidang sanitasi..”
(Pemerintah, Lombok Tengah, Laki-laki).

“Kemarin Kak, berkumpul di sini dari HI, pendidikan, dan LSM, mereka datang
ke sini tentang menstruasi dan kemudian tentang perkumpulan pemuda dan
kemajuan saat ini. Kemudian kemarin mereka mempromosikan pencucian
kembali pembalut wanita. itu lebih nyaman dan baik untuk anak-anak yang
dia katakan seperti itu.”
(FGD remaja putri, Manggarai Barat).

Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia 28


BAB III Hasil

3.4.4.2 Kehadiran organisasi untuk penyandang cacat


Kehadiran kelompok atau organisasi penyandang disabilitas akan mendukung
partisipasi mereka dalam program pemerintah. Orang-orang yang berada di dewan organisasi
ini sering diundang ke pertemuan pemerintah dan berfungsi sebagai perwakilan sesama
penyandang cacat. Di Lombok Tengah, organisasi difabel cukup aktif sehingga membawa
dampak positif bagi keterlibatan penyandang disabilitas

3.5 Diagram Sebab-akibat


“no, mungkin langkah-langkah yang mungkin kita lakukan adalah melibatkan
mereka dalam setiap kegiatan agar mereka terbiasa hidup dalam sebuah
organisasi. Dan juga, yang paling penting adalah mereka harus membuat
tempat sendiri untuk asosiasi mereka sendiri sehingga dalam asosiasi ini
nanti mereka dapat saling curhat sehingga mereka saling menyampaikan
apa keluhan atau pemikiran mereka sehingga pada saatnya kami akan
mengundang mereka untuk musyawarah dalam sebuah pertemuan.
Keputusan mereka sudah direncanakan apa kebutuhan mereka, ya. Mungkin
itu yang akan kami lakukan.”
(Tokoh desa Manggarai Barat, laki-laki)

Seorang peserta mencatat: “.. Pada rapat desa, ada perwakilan, walaupun
kita tidak panggil semuanya, tapi ada perwakilan khusus karena mereka
(penyandang disabilitas) punya kelompok..” (Pemerintah, Lombok Tengah,
Perempuan). Yang lain menekankan: “.. dalam pokja PKP, dalam forum ini
terdapat teman-teman LSM yang peduli (terkait isu disabilitas)”
(Pemerintah, Lombok Tengah, Laki-laki)

Akhirnya, temuan-temuan di atas kemudian dirangkum dan divisualisasikan dalam


Causal Loop Diagram (CLD) (Gambar 3.5). Empat sub-sistem utama dianggap penting dalam
memahami tingkat partisipasi penyandang disabilitas dalam program sanitasi dan kaitannya
dengan sanitasi inklusif di rumah dan faktor lainnya.

Sisi atas diagram menunjukkan interkoneksi antara sanitasi inklusif untuk penyandang
disabilitas dan konsekuensi jangka panjang, yaitu, kondisi ekonomi, kesehatan, dan
pendidikan yang buruk. Sanitasi non-inklusif dapat mengakibatkan kondisi kesehatan
yang buruk bagi penyandang disabilitas. Semua kondisi ini memperburuk kondisi ekonomi
mereka dan kemudian dapat menyebabkan sanitasi non-inklusif di rumah. Ada beberapa
loop umpan balik juga di sana, misalnya, tidak ada sanitasi inklusif untuk kelompok marjinal
akan mengaibatkan kesehatan yang buruk lalu berdampak pada kondisi ekonomi yang buruk
yang kemudian kembali berdapmpak pada tidak adanya akses sanitasi inklusif. FGD atau
wawancara mendalam mengungkapkan bahwa beberapa responden mengalami kecelakaan
karena fasilitas sanitasi yang buruk yang kemudian membuat mereka sulit mencari pekerjaan
atau mengumpulkan penghasilan.

29 Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia


BAB III Hasil

Bagian kanan tengah diagram menunjukkan faktor penghalang internal untuk partisipasi
kelompok marjinal dalam program sanitasi, yaitu, hambatan yang datang dari individu itu
sendiri, misalnya, pola pikir yang buruk dan merasa rendah diri. Hal ini disebabkan oleh
pendidikan yang rendah, yang merupakan konsekuensi jangka panjang dari kondisi ekonomi
dan kesehatan yang buruk karena tidak memiliki sanitasi inklusif, dan kurangnya dukungan
dari keluarga. Hambatan internal ini mengakibatkan mereka enggan untuk berpartisipasi
dalam pertemuan atau kegiatan masyarakat dan kemudian muncul ketidaktahuan orang
mengenai kebutuhan dan hak-hak kelompok marginal.

Gambar 3.5
Diagram Sebab-akibat

Diagram menunjukkan tiga penyebab utama sanitasi tidak inklusif: (1) kurangnya
dukungan keuangan dari pemerintah, (2) ketidaktahuan akan kebutuhan kelompok marjinal,
dan (3) kondisi ekonomi masyarakat yang buruk. Akar penyebab yang jelas dari dua
penyebab pertama adalah kurangnya kemauan politik untuk melibatkan kelompok marjinal
dalam program atau kegiatan sanitasi. Namun, diagram menunjukkan hubungan penting
bahwa kurangnya kemauan politik disebabkan oleh rendahnya partisipasi kelompok marjinal
dalam acara-acara masyarakat, termasuk kegiatan yang berkaitan dengan sanitasi. Selain
itu, kurangnya kemauan politik mengakibatkan pola pikir yang salah dari para pemangku
kepentingan, yaitu, berpikir bahwa kelompok marjinal adalah objek dari suatu program,
sehingga kelompok marginal tidak diundang ke pertemuan masyarakat. Akhirnya, penting
untuk menyoroti dua akar penyebab lain dalam diagram: perasaan kasihan dan kondisi sosial-
budaya yang tidak menguntungkan. Akar yang pertama mengakibatkan orang-orang enggan
mengundang kelompok marjinal, misalnya, penyandang cacat, ke pertemuan tersebut.
Budaya yang tidak menguntungkan mengakibatkan kurangnya dukungan dari lingkungan
sekitar untuk partisipasi kelompok marjinal.

Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia 30


BAB IV Rekomendasi

Gambar 4.1 Pengumpulan Data di Lombok Tengah

4.1 Rekomendasi untuk meningkatkan


keterlibatan kelompok marjinal dalam
sanitasi
Rekomendasi dan rencana aksi diusulkan menggunakan proses co-design yang
melibatkan pemangku kepentingan lokal di Manggarai Barat dan Lombok Tengah.
1. Penguatan kelembagaan
a. Perkuat organisasi non-pemerintah yang berfokus pada GEDSI dan WASH
dengan berkolaborasi dengan mereka lebih sering dan sertakan mereka
sejak desain program.
b. Mengoptimalkan peran lembaga pemerintah dalam menangani masalah
GEDSI
c. Meningkatkan kesadaran dan kapasitas staf pemerintah, pemerintah desa,
dan pekerja masyarakat terkait GEDSI.
d. Memperkuat peran dan kapasitas kelompok kerja permukiman, yaitu
kelompok kerja air dan sanitasi dalam memfasilitasi proses GEDSI, dalam
memastikan perempuan dan kelompok marginal terlibat dalam semua
aspek STBM.
e. Mengintegrasikan program WASH dengan kegiatan Posyandu (pelayanan
kesehatan berbasis masyarakat).
f. Memperkuat peran pelaku agama dalam program pendidikan dan
pemberdayaan.
2. Pemberdayaan dan peningkatan kapasitas kelompok/organisasi disabilitas dan
kelompok marginal lainya untuk memantau implementasi pendekatan GEDSI
dalam program Sanitation
a. Pembentukan organisasi berbadan hukum bagi penyandang disabilitas dan
perempuan.
b. Membentuk forum diskusi untuk kelompok-kelompok tertentu di
masyarakat, termasuk kelompok perempuan, remaja putri, dan penyandang
disabilitas di tingkat desa.
c. Perempuan dan penyandang disabilitas harus diadvokasi, dididik, dan
diberdayakan agar mereka menyadari bahwa mereka memiliki hak atas
sanitasi yang aman. Dukungan ini harus diberikan terus menerus.
d. Selalu libatkan perempuan dan penyandang disabilitas dalam pertemuan
dan program WASH sejak tahap perencanaan hingga evaluasi program.

31 Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia


BAB IV Rekomendasi

3. Penganggaran kebijakan dan program


a. Regulasi pro-marginal harus diperkuat untuk lebih menjamin partisipasi
masyarakat rentan seperti perempuan dan penyandang disabilitas dalam
program sanitasi;
b. Meningkatkan komitmen politik untuk mencapai sanitasi inklusif sehingga
dapat meningkatkan alokasi anggaran
c. Optimalisasi ketersediaan anggaran untuk PKK kecamatan dan desa
(organisasi perempuan);
d. Membuat petunjuk teknis bagi pemerintah desa dalam perencanaan
anggaran untuk mengatasi masalah GEDSI.

4. Meningkatkan akses informasi


a. Meningkatkan akses informasi melalui media sosial, tokoh agama dan
perempuan
b. Pengarusutamaan isu GEDSI di masyarakat dan dalam program pemerintah
c. Diseminasi peraturan terkait GEDSI kepada lembaga pemerintah, tokoh
desa, dan organisasi masyarakat
d. Memasukkan masalah GEDSI dalam proses pemicuan dalam program
sanitasi

5. Koordinasi dan kolaborasi


a. Meningkatkan koordinasi dan kolaborasi antar organisasi pemerintah dan
non-pemerintah

6. Data dan penelitian terkait GEDSI


a. Memberikan penilaian komprehensif tentang masalah GEDSI di masyarakat
b. Penyediaan data yang lengkap dan terkini yang relevan dengan WASH,
kebutuhan perempuan dan penyandang disabilitas.
c. Meningkatkan penelitian terkait masalah GEDSI WASH yang dapat
memberikan bukti untuk perbaikan program

4.2 Rekomendasi untuk penelitian ke depan


Studi ini merupakan studi kasus dan cross-sectional yang berlokasi di dua kabupaten
di Indonesia, lebih berfokus pada partisipasi masyarakat marjinal dalam program sanitasi.
Topik terkait sanitasi lainnya tidak banyak dibahas dalam penelitian ini, misalnya, kebersihan
kesehatan menstruasi dan dampak kesehatan dari kelompok marginal terkait dengan
sanitasi. Selain itu, 26,4% layanan sanitasi yang dikelola dengan aman di antara responden
penyandang disabilitas harus ditafsirkan dengan hati-hati. Menurut data, tingkat layanan
sanitasi yang dikelola dengan aman di Indonesia adalah 7,64% (POKJA PPAS, 2021), dengan
demikian, 26,4% yang diperoleh dalam survei kami menimbulkan pertanyaan. Oleh karena
itu, kami berharap penelitian ini dapat memicu studi masa depan terkait GESI di Indonesia

Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia 32


BAB V Kesimpulan

Gambar 4.2 Pengumpulan Data di Lombok Tengah

Secara umum, studi ini menemukan bahwa meskipun secara budaya, laki-laki dianggap
memiliki kekuatan lebih dalam pengambilan keputusan di tingkat rumah tangga, perempuan
disadari memiliki peran penting dalam praktik air dan sanitasi. Namun, beberapa kebutuhan
terkait WASH wanita terkadang diabaikan karena kapasitas keuangan keluarga (kebutuhan
yang relevan dengan privasi dan kenyamanan toilet) atau ketidaksadaran akan pentingnya
masalah seperti manajemen kebersihan menstruasi. Dalam hal sanitasi inklusif, anggota
keluarga penyandang disabilitas biasanya memperoleh lebih sedikit dukungan untuk
mengakses toilet, kecuali jika keluarga memiliki kapasitas keuangan yang baik.

Di tingkat masyarakat, keterlibatan perempuan dalam program sanitasi bervariasi


di berbagai komunitas. Mayoritas di lokasi studi melaporkan keterlibatan perempuan yang
baik dalam program sanitasi, meskipun tingkat partisipasinya dapat dianggap moderat,
di mana hanya perempuan dengan tugas atau posisi tertentu yang terlibat lebih dari ibu
rumah tangga biasa atau remaja putri. Dalam hal disabilitas, hanya beberapa lokasi yang
melaporkan keterlibatan yang baik dari penyandang disabilitas dalam pertemuan masyarakat
untuk membahas program atau pembangunan sanitasi. Pemerintah biasanya mengunjungi
penyandang disabilitas di rumah mereka jika ada bantuan yang akan diberikan. Mereka
dipandang tidak mampu berkontribusi dalam pembangunan desa, oleh karena itu, mereka
jarang diundang ke pertemuan masyarakat dan karenanya tidak dapat berbagi pendapat
atau menyampaikan kebutuhan mereka.

Salah satu hambatan utama untuk mencapai akses sanitasi universal adalah terbatasnya
keterlibatan kelompok marjinal dalam program sanitasi yang dapat disebabkan oleh beberapa
faktor. Hambatan untuk berpartisipasi meliputi fokus pemerintah saat ini untuk meningkatkan
akses dasar sedangkan akses dari perspektif GEDSI kurang mejadi prioritas, kader kesehatan
yang terbatas (yang mayoritas adalah perempuan) untuk mendukung program sanitasi di
tingkat desa, kurangnya peraturan daerah yang khusus mengatur hak-hak perempuan atas
sanitasi dan kurangnya kesadaran masyarakat, staf pemerintah desa dan daerah akan hak-hak
penyandang disabilitas, yang akhirnya menyebabkan keengganan pejabat pemerintah dan
pemerintah desa untuk fokus pada masalah tersebut serta terbatasnya dana yang tersedia
untuk mendukung penyediaan sanitasi bagi kelompok marjinal. Selain itu, masalah budaya
dan mentalitas perempuan dan penyandang disabilitas itu sendiri menyebabkan kurangnya
motivasi untuk berbagi suara mereka dan dengan demikian kurang didengar dalam program

33 Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia


BAB V Kesimpulan

sanitasi. Sementara tinggal di daerah pedesaan juga meningkatkan hambatan ini baik bagi
perempuan maupun penyandang cacat.

Namun, ada peluang di mana organisasi eksternal dapat mendukung advokasi isu
gender dan disabilitas (GEDSI) kepada pemerintah daerah dan masyarakat, dan ketersediaan
organisasi bagi penyandang disabilitas yang dapat memfasilitasi kelompok marjinal untuk
terlibat dalam pembangunan sanitasi. Saat ini, penghargaan yang diraih oleh organisasi
difabel telah menempatkan isu-isu tersebut dalam sorotan diharapkan dapat memicu lebih
banyak aksi dari kelompok marjinal lainnya serta meningkatkan dukungan dan prioritas dari
pemerintah.

Dari semua rekomendasi yang disarankan dalam bab 4, kami menganggap bahwa
penguatan kelembagaan adalah hal pertama yang harus dilakukan untuk meningkatkan
integrasi GESI dalam program STBM. Penguatan kelembagaan terdiri dari banyak aspek,
misalnya, meningkatkan kemauan dan komitmen politik, menciptakan peraturan PRO GEDSI,
meningkatkan kesadaran dan kapasitas pemangku kepentingan terkait tentang masalah
GEDSI dan memfasilitasi proses GEDSI. Dengan demikian, perlu adanya advokasi yang
kuat dan konsisten kepada seluruh pemangku kepentingan, meskipun menurut kami harus
dimulai dari tingkat tertinggi, yaitu tingkat kabupaten.

Hal lain yang harus diperhatikan adalah memastikan bahwa pelaksanaan proses
GEDSI dilakukan seperti yang diharapkan, yaitu perempuan dan kaum marjinal terlibat
dalam semua aspek STBM. Oleh karena itu, regulasi harus ditetapkan di tingkat kabupaten
dan disosialisasikan kepada semua pemangku kepentingan terkait. Peraturan menjadi dasar
hukum bagi lembaga pemerintah untuk mengalokasikan anggaran untuk kegiatan yang
berkaitan dengan integrasi GESI dalam STBM.

Selain itu, karena pemantauan implementasi diperlukan, advokasi harus dilakukan


oleh LSM lokal, terutama LSM yang terkait dengan GESI. Hal tersebut karena LSM lokal telah
mengetahui situasi lokal di sana, misalnya, siapa yang harus dihubungi dan dilibatkan, dan
pada saat yang sama, mereka dapat menjadi aktor penting untuk mengumpulkan semua
aspirasi dari bawah, yaitu, perempuan, penyandang disabilitas, dan kelompok marjinal.

Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia 34


Referensi

Referensi
• Ahmad, S., Islam, M., Zada, M., Khattak, A., Ullah, R., Han, H., Ariza-Montes, A., Araya-
Castillo, L., 2022. Pengaruh Pengambilan Keputusan terhadap Inklusi Sosial Penyandang
Disabilitas: Studi Kasus Khyber Pakhtunkhwa. Int. J. Environ. Res. Kesehatan Masyarakat
19. https://doi.org/10.3390/ijerph19020858
• Bank, L.M., Putih, S., Biran, A., Wilbur, J., Neupane, Shailes, Neupane, Saurav, Sharma,
A., Kuper, H., 2019. Apakah pendekatan saat ini untuk mengukur akses ke air bersih dan
sanitasi mencakup penyandang disabilitas? Perbandingan akses tingkat individu dan
rumah tangga antara penyandang disabilitas dan tanpa disabilitas di distrik Tanahun,
Nepal. PLoS Satu 14, 1–16. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0223557
• Bonaccio, S., Connelly, C.E., Gellatly, I.R., Jetha, A., Martin Ginis, K.A., 2020. Partisipasi
Penyandang Disabilitas di Tempat Kerja Di Seluruh Siklus Kerja: Masalah Pemberi Kerja
dan Bukti Penelitian. J. Bus. Psikol. 35, 135–158. https://doi.org/10.1007/s10869-018-
9602-5
• BPS Manggarai Barat, 2020a. Persentase Rumah Tangga menurut Penggunaan Fasilitas
Buang Air Besar (Persen), 2017-2019 [Dokumen WWW]. URL https://manggaraibaratkab.
bps.go.id/indicator/29/96/1/persentase-rumah-tangga-menurut-penggunaan-fasilitas-
buang-air-besar.html (diakses 8.3.22).
• BPS Manggarai Barat, 2020b. Persentase Rumah Tangga menurut Jenis Tempat
Pembuangan Akhir Tinja (Persen), 2015-2017 [Dokumen WWW]. URL https://
manggaraibaratkab.bps.go.id/indicator/29/99/1/persentase-rumah-tangga-menurut-
jenis-tempat-pembuangan-akhir-tinja.html (diakses 8.3.22).
• BPS Nusa Tenggara Barat, 2021. Persentase Ruta yang Memiliki Akses Terhadap
Layanan Sanitasi Layak (Persen), 2018-2020 [Dokumen WWW]. URL https://ntb.bps.go.id/
indicator/29/336/1/persentase-ruta-yang-memiliki-akses-terhadap-layanan-sanitasi-
layak.html (diakses 8.3.22).
• Cameron, L., Olivia, S., S., M., 2019. Meningkatkan sanitasi: Bukti dari RCT di Indonesia. J.
Dev. Econ. 138, 1–16. https://doi.org/10.1016/j.jdeveco.2018.12.001
• Dibley, T., Tsaputra, A., 2019. Mengubah undang-undang, mengubah sikap: tempat
penyandang disabilitas di Indonesia, dalam: Perdebatan Milik Tempat Minoritas di
Indonesia. ISEAS–Yusof Ishak Institute, Singapura, hlm. 77–94.
• Dinas Sosial, n.d. Detail jumlah penyandang disabilitas menurut kecamatan di kabupaten
lombok tengah tahun 2018 [WWW Document]. URL https://sektoral.lomboktengahkab.
go.id/detail-data-sektoral/5d706508ebd (diakses 8.3.22).
• Franklin, A., Sloper, P., 2006. Partisipasi anak-anak dan remaja penyandang cacat dalam
pengambilan keputusan dalam departemen layanan sosial: Sebuah survei tentang
kegiatan saat ini dan baru-baru ini di Inggris. Br. J. Soc. Kerja 36, 723–741. https://doi.
org/10.1093/bjsw/bch306
• Hästbacka, E., Nygård, M., Nyqvist, F., 2016. Hambatan dan fasilitator untuk partisipasi
masyarakat penyandang disabilitas: Tinjauan cakupan studi mengenai negara-negara
Eropa. Perubahan 10, 201–220. https://doi.org/10.1016/j.alter.2016.02.002
• Jurado-Caraballo, M.Á., Quintana-García, C., Rodríguez-Fernández, M., 2020. Tren dan
peluang dalam penelitian tentang disabilitas dan pekerjaan: Perspektif interdisipliner.
Bus BRQ https://doi.org/10.1177/2340944420972715.
• Kayser, G.L., Rao, N., Jose, R., Raj, A., 2019. Air, sanitasi, dan kebersihan: mengukur
kesetaraan dan pemberdayaan gender. Sapi. Organ Kesehatan Dunia. 97. https://doi.
org/10.2471/BLT.18.223305
• Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Memantau data. Diterbitkan 2022. Diakses
pada 31 Agustus 2022. http://monev.stbm.kemkes.go.id/monev/

35 Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia


Referensi

Referensi
• Pinilla-Roncancio, M., 2015. Disabilitas dan kemiskinan: Dua kondisi terkait. Tinjauan
literatur. Pdt. Fac. Med. 63, S113–S123. https://doi.org/10.15446/revfacmed.
v63n3sup.50132
• POKJA AMPL-BM Provinsi NTB, 2020. Roadmap BASNO Menuju Sanitasi Aman Nusa
Tenggara Barat 2020-2023. Mataram.
• Rohwerder, B., 2018. Stigma disabilitas di negara berkembang, K4D Helpdesk Report.
Brighton, Inggris.
• Sharma, N., Pratap Yadav, V., Sharma, A., 2021. Sikap dan empati remaja terhadap
penyandang disabilitas fisik. Heliyon 7. https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2021.e07852
• Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur, n.d. Jumlah Penyandang Masalah
Kesejateraan Sosial (PMKS) (Jiwa), 2017 [Dokumen WWW]. URL https://ntt.bps.go.id/
indicator/27/586/1/jumlah-penyandang-masalah-kesejateraan-sosial-pmks-.html
(diakses 8.3.22).
• WHO, UNICEF, 2021. Kemajuan air minum, sanitasi, dan kebersihan rumah tangga
2000-2020: lima tahun ke dalam SDGs. Jt. Pasokan Air, Sanitasi. Monit. Rencana.
• Wibowo, S.B., Muin, J.A., 2018. Pendidikan Inklusif di Indonesia: Pemerataan Akses
Pendidikan bagi Difabel. KnE Soc. Sci. 3, 484. https://doi.org/10.18502/kss.v3i5.2351

Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia 36


Lampiran

Lampiran A. Kemitraan dan Dukungan


Dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian ini, beberapa pemegang hak dan
organisasi WASH sangat terlibat.

Organisasi pemegang hak Keterlibatan

Sadarsama (Manggarai Barat, NTT). Metodologi dan rencana dan pelaksanaan


Yayasan Aksi Solidaritas Sesama adalah organisasi pengumpulan data, diskusi peer/expert review
nirlaba yang bekerja untuk memberdayakan Kontak person: Fransiska Theresia Dambu
kelompok marjinal dan meningkatkan kesejahteraan (Fransiskadambu76@yahoo.co.id)
melalui pendidikan, perolehan pendapatan,
kesehatan dan lingkungan
Yayasan Lidi (Lombok Tengah, NTB). Metodologi dan rencana pengumpulan data, diskusi
Yayasan LIDI merupakan organisasi nirlaba yang tinjauan sejawat / ahli
fokus pada isu pemberdayaan penyandang disabilitas Kontak person: Lalu Wisnu Pradipta (lidi.foundation@
di NTB dan Indonesia pada umumnya. gmail.com)
Simavi. Desain dan perencanaan penelitian, analisis data dan
Simavi mendorong anak perempuan dan perempuan penulisan laporan.
untuk mengklaim hak asasi mereka di bidang air dan Kontak person: Angelina Yusridar Mustafa,
sanitasi dan telah bekerja di Indonesia sejak 1925. Angelina.Mustafa@Simavi.nl

Organisasi WASH Keterlibatan

Yayasan Dian Desa (NTT) Metodologi dan rencana pengumpulan data, diskusi
Prinsip kerja YDD adalah menyebarkan teknologi tinjauan sejawat / ahli
tepat guna untuk memberikan solusi berkelanjutan Kontak person: Cristina Aristanti (Christina.Aristanti@
bagi pembangunan di seluruh Indonesia. Sebagai gmail.com),
katalisator, YDD memperkenalkan ide-ide baru Septiyah Widyaningsih (septiyahwidyaningsih@gmail.
kepada masyarakat yang disempurnakan, dipelihara, com)
dan disebarluaskan oleh penduduk desa itu sendiri.

Mitra Samya (NTB). Metodologi dan rencana dan pelaksanaan


MITRA SAMYA (Institute for Participation, Economics pengumpulan data, diskusi peer/expert review
and Democracy Studies) adalah organisasi non- Kontak person: Husnuzzonni, (joni_dz@yahoo.com)
pemerintah (Non-Government Organization) yang
aktif di bidang Air Minum, Sanitasi dan Kesehatan
Lingkungan.

37 Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia


Lampiran

Lampiran B. Dokumentasi
Pengumpulan Data di Lombok Tengah, Juli 2022

Pengumpulan Data di Lombok Tengah, Juli 2022

Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia 38


Lampiran

Lokakarya Pemangku Kepentingan di Labuan Bajo (Manggarai Barat), 8 Agustus 2022

Rekomendasi dari Pemangku Kepentingan selama Lokakarya Pemangku Kepentingan di


Labuan Bajo (Manggarai Barat), 8 Agustus 2022

39 Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia


Lampiran

Lampiran C. Instrumen Survei Kuantitatif


A - Informasi Rumah Tangga

1 Nama narasumber/responden

2 Nama kepala rumah tangga

3 Apa jenis kelamin responden?

4 Apa peran atau posisi Anda di rumah ini?

5 Berapa umur responden?

6 Kelas berapa pendidikan formal terakhir Anda?

7 Kelas berapa pendidikan formal terakhir dari kepala keluarga?

8 Keyakinan apa yang Anda ikuti?

9 Siapa yang membuat keputusan di rumah mengenai pengeluaran keuangan yang berkaitan
dengan air, kebersihan, dan sanitasi?

B - Kondisi WASH

1 Di mana Anda mendapatkan air untuk kebutuhan sehari-hari?

2 Manakah sumber air minum utama Anda?

3 Apakah air selalu tersedia atau tersedia 24 jam (tidak mati dan hidup)?

4 Berapa lama waktu yang dibutuhkan (menit) untuk mengambil air dari sumber air utama, mengan-
tri, mengisi wadah dan kembali (perjalanan dan pengembalian)?
5 Di mana Anda biasanya buang air besar?

Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia 40


Lampiran

B - Kondisi WASH

6 Jika Anda buang air besar di toilet (apakah itu milik Anda sendiri atau tidak), jenis toilet apa itu?

7 Jika Anda buang air besar di toilet (apakah itu milik Anda sendiri atau bukan), di mana limbah dib-
uang?
8 Siapa yang mengurus hal-hal yang paling berhubungan dengan WASH di rumah (seperti mengam-
bil air)?
9 Apakah ada penyandang disabilitas di rumah ini?

10 Jika ya, apa bentuk kecacatannya?

11 Jika ada disabilitas, apakah toilet termasuk?

12 Jika ada toilet, silakan berfoto dengan kamera ponsel

C - Pengetahuan

1 Ada peraturan/arahan pemerintah mengenai keterlibatan perempuan, penyandang disabilitas,


dan kelompok marjinal dalam berbagai program WASH di Indonesia
2 Wanita memiliki peluang lebih besar terkena diare daripada pria

3 Perempuan dan anak-anak adalah kelompok rentan jika fasilitas WASH yang memadai tidak dise-
diakan untuk mereka
4 Urusan kebersihan dan sanitasi adalah urusan perempuan sajav

5 Perempuan berhak memiliki fasilitas WASH yang memadai

6 Tahukah Anda bahwa septic tank harus disedot setidaknya setiap 5 tahun sekali

7 Wanita cenderung menggunakan lebih banyak air daripada pria

D - Sikap

1 Menurut Anda, seberapa baik perempuan, penyandang disabilitas, dan kelompok marjinal terlibat
dalam berbagai kegiatan WASH di daerah Anda?
2 Tradisi/adat istiadat di daerah saya menjadi salah satu kendala keterlibatan perempuan, penyan-
dang disabilitas, dan kelompok marjinal dalam berbagai kegiatan WASH
3 Ajaran agama menjadi kendala keterlibatan perempuan, penyandang disabilitas, dan kelompok
marjinal dalam berbagai kegiatan WASH
4 Kondisi ekonomi adalah salah satu penghalang bagi keterlibatan saya dalam berbagai kegiatan
WASH
5 Sarana/prasarana di daerah ini sesuai dengan kebutuhan/kondisi perempuan, penyandang
disabilitas, dan kelompok marjinal
6 Apabila terdapat penyandang disabilitas di rumah, kondisi/kondisi sarana/prasarana WASH di
rumah sudah sesuai dengan kebutuhan penyandang disabilitas
7 Jika ada perempuan dan anak-anak di dalam rumah, kondisi/kondisi sarana/prasarana WASH di
rumah saya sudah sesuai dengan kebutuhan dan aman bagi perempuan dan anak-anak

41 Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia


Lampiran

D - Sikap

8 Jika tidak ada toilet atau fasilitas WASH di rumah, saya merasa tidak nyaman menggunakan/
mengakses fasilitas WASH di luar rumah saya (seperti toilet umum, keran atau sumur komunal,
dll.).
9 Harus ada pembagian peran yang seimbang antara laki-laki dan perempuan dalam masalah air
dan sanitasi di rumah
10 Saya tidak dapat melakukan hal-hal lain yang saya inginkan karena waktu dihabiskan untuk hal-hal
yang berhubungan dengan WASH
11 Saya ingin waktu saya untuk bisnis tentang WASH berkurang sehingga saya dapat melakukan hal-
hal lain
12 Apakah perempuan, penyandang disabilitas, dan kelompok marjinal diundang ke pertemuan di
desa/masyarakat?
13 Jika diundang, apakah pendapat perempuan, penyandang disabilitas, dan kelompok marjinal
didengar/dihormati?

14 Jika diundang, dapatkah perempuan, penyandang disabilitas, dan kelompok


marjinal berpartisipasi aktif dalam proses opini dan pengambilan keputusan?
15 Orang-orang di sekitar saya mendukung keterlibatan perempuan, penyandang
disabilitas, dan kelompok marjinal dalam kegiatan/hal-hal yang berhubungan
dengan WASH
16 Saya merasa nyaman menghadiri pertemuan desa

17 Saya merasa nyaman mengemukakan pendapat dalam pertemuan desa

18 Perempuan, penyandang disabilitas, dan kelompok marjinal harus dilibatkan


dalam berbagai kegiatan WASH di wilayah tersebut
19 Perempuan harus memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam
mengambil keputusan terkait WASH di rumah
20 Perempuan harus memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam
kepemimpinan seputar WASH di desa
21 Penting untuk memastikan bahwa semua anggota keluarga dapat menggunakan toilet dan fasilitas
cuci tangan dengan mudah

E - Kondisi ekonomi

1 Kira-kira, berapa banyak yang Anda habiskan dalam sebulan?

2 Bahan dinding apa yang dimiliki rumah Anda?

3 Jenis atap apa yang dimiliki rumah Anda?

4 Jenis lantai apa yang dimiliki rumah Anda?

5 Apakah salah satu dari barang-barang ini dimiliki oleh anggota keluarga Anda yang tinggal di
rumah ini (dan juga tidak rusak)?

Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia 42


Lampiran

F - Berlatih

1 Seberapa terlibat Anda dalam persiapan atau perencanaan kegiatan WASH di daerah Anda?

2 Seberapa terlibat Anda dalam menerapkan aktivitas WASH di daerah Anda?

3 Seberapa terlibat Anda dalam memantau dan mengevaluasi aktivitas WASH di daerah Anda?

4 Seberapa besar Anda ingin terlibat dalam berbagai kegiatan WASH di daerah Anda?

5 Menurut Anda, kegiatan mana yang memerlukan keterlibatan Anda (perempuan, penyandang
disabilitas, dan kelompok marjinal) dalam kegiatan WASH?
6 Dari beberapa kegiatan yang Anda sebutkan, kegiatan mana yang paling membutuhkan
keterlibatan perempuan, penyandang disabilitas, dan kelompok marjinal?

7 Saya jarang terlibat dalam hal-hal yang berhubungan dengan WASH di rumah
saya
8 Pria suka mengurus hal-hal yang berhubungan dengan WASH di rumah

9 Saya secara aktif memantau keterlibatan perempuan, penyandang disabilitas,


kelompok marginal dalam berbagai kegiatan WASH di bidang ini

G - Lainnya

1 Saya terluka karena hal-hal yang berhubungan dengan WASH

2 Saya telah dilecehkan (secara fisik, mental, seksual) karena hal-hal yang berkaitan dengan
WASH
3 Saya telah mengorbankan kegiatan penting untuk hal-hal yang berhubungan dengan
WASH
4 Kadang-kadang saya sakit atau tidak tersedia, pria mengurus hal-hal yang berhubungan
dengan WASH di rumah
5 kira-kira, berapa lama Anda berbicara dengan tetangga Anda tentang kehidupan Anda
dalam satu hari? (dalam jam)
6 Seberapa sering Anda berbicara dengan tetangga Anda tentang air, kebersihan, dan
sanitasi?
7 Seberapa sering Anda menonton TV dalam sehari?
8 Seberapa sering Anda membuka media sosial dalam sehari (misalnya
facebook, IG, tiktok, dll)?
9 Ambil lokasi GPS rumah
10 Tuliskan jika ada catatan tentang responden ini

43 Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia


Lampiran

Lampiran D. Instrumen Penelitian Kualitatif

Kuesioner GEDSI-SANITATION untuk Kelompok Perempuan

Pertanyaan dalam proposal:


alasan mendasar di balik tingkat partisipasi kelompok marjinal, termasuk
faktor penghambat dan pendukung. Kami akan mengumpulkan informasi
dari area atau proyek dengan berbagai tingkat partisipasi, yaitu, tingkat
keterlibatan yang rendah dan tinggi. Variabel atau faktor yang menghambat
atau mendukung tingkat partisipasi akan diambil dari wawancara dan FGD.

AKSES PENGGUNAAN FASILITAS SANITASI DI RUMAH


Topik 1: Tingkat pembagian kerja dan akses penggunaan fasilitas sanitasi di rumah tangga
Kami ingin tahu tentang fasilitas toilet dan fasilitas cuci tangan di rumah Anda, peng-
gunaan dan pemeliharaannya

1. Apakah Anda memiliki akses ke toilet dan fasilitas cuci yang dapat digunakan
dengan mudah? Apa saja contoh di rumah Anda?
a. a. Siapa yang lebih sering menggunakan fasilitas sanitasi (WC, fasilitas cuci
tangan, air, fasilitas kebersihan lainnya) di rumah? Responden diberikan
beberapa foto (foto toilet, wastafel, air, dan fasilitas kebersihan lainnya) serta
kartu pria dan wanita. Responden diminta untuk meletakkan foto dan kartu
sesuai urutan frekuensi di keluarga mereka.
b. Siapa yang lebih mudah menggunakan fasilitas sanitasi ini?

Dari jawaban mereka kemudian diselidiki:


• Apakah ada perbedaan frekuensi? Mengapa perbedaan itu terjadi?
• Apakah ada perbedaan dalam kenyamanan? Mengapa lebih sulit bagi
wanita atau pria?
• Bagaimana proses membagi waktu penggunaan fasilitas sanitasi dalam
rumah tangga?
• Jika ada kebutuhan bersamaan, bagaimana cara menentukan siapa
yang lebih dulu? Haruskah anak laki-laki itu mendapat giliran dulu?
• Jika ada anggota keluarga yang sedang menstruasi, bagaimana
distribusi shift untuk menggunakan fasilitas sanitasi di rumah Anda?
Apakah ada yang berubah atau tetap sama?

• Menurut Anda, apakah kondisi ini baik/adil? Mengapa?


• Bagaimana bisa lebih adil?

Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia 44


Lampiran

2. Bagaimana toilet di rumah Anda dibangun?


a. Siapa yang membuat keputusan? Apakah Anda terlibat dalam
memutuskan bentuk dan cara mengakses toilet atau area cuci
tangan? Apakah anggota keluarga perempuan termasuk atau suara
mereka diperhitungkan? Mengapa? Bagaimana prosesnya saat itu?
b. Apakah Anda menerima bantuan keuangan atau bantuan lain untuk
membangun fasilitas sanitasi Anda?
c. Apa yang menahanmu saat itu? Mengapa itu terjadi?

3. Apakah toilet sesuai dengan kebutuhan Anda sebagai seorang wanita? Mengapa?
Apakah ada yang perlu disesuaikan?
a. Menurut Anda, toilet seperti apa yang dibutuhkan oleh wanita dalam rumah
tangga? Apakah fasilitas tersebut sudah terpenuhi? (lokasi, pintu, lantai,
penerangan, kebutuhan mencuci selama menstruasi dll.)
b. Pernahkah Anda mendiskusikan kebutuhan ini dengan keluarga Anda?

4. Apakah toilet Anda memiliki area cuci tangan? Apakah itu memenuhi kebutuhan
Anda akan kebersihan?
a. Apakah mudah mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar di
rumah? Mengapa?
b. Apakah Anda masih selalu mencuci tangan dengan sabun setelah
menggunakan toilet? Jika tidak, mengapa?
c. Bagaimana dengan ketersediaan sabun di rumah (yang selama ini menjaga
sabun tetap tersedia?

5. Apakah toilet dan fasilitas cuci tangan masih digunakan?


a. Mengapa mereka masih digunakan / mengapa mereka tidak digunakan?
(menyelidiki: kualitas jamban, nyaman, mudah digunakan, ketersediaan air,
dll.)

6. Menurut Anda, siapa yang kesulitan menggunakan toilet dan mencuci tangan di
keluarga Anda?
a. Menyelidiki: (Wanita pada tahap akhir kehamilan mereka, orang tua, Orang
dengan cacat fisik, Anak-anak)

7. Menurut Anda apa manfaat bagi setiap orang dalam rumah tangga Anda?
menggunakan toilet?
a. Probing: Meningkatkan kesehatan, kebersihan dan kualitas hidup semua
orang, Menjaga rasa martabat, keamanan dan privasi orang, Meningkatkan
kesehatan dan kebersihan orang yang harus merawat anak-anak, orang tua
dan orang-orang cacat di tangga rumah, Meningkatkan kemandirian orang
tua dan penyandang cacat jika mereka dapat menggunakan toilet mereka
sendiri dan karenanya mengurangi waktu sehari-hari dan beban fisik bagi
pengasuh, Memberi pengasuh utama lebih banyak waktu untuk terlibat
dalam kegiatan produktif lainnya untuk keluarga

45 Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia


Lampiran

8. Apa pandangan Anda tentang kebersihan toilet? Apakah itu penting?


a. Bisakah Anda menjelaskan caranya?
b. Siapa yang bertugas membersihkan fasilitas sanitasi di rumah Anda?
c. Siapa yang juga bertugas memperbaiki fasilitas sanitasi di rumah Anda?
Responden diberikan tabel berupa:
Dari jawaban pada tabel di atas kemudian diselidiki:

Jenis Kegiatan Beban kerja yang dilakukan oleh Beban kerja yang dilakukan oleh
anggota keluarga laki-laki (%) anggota keluarga perempuan (%)
Memperbaiki fasilitas sanitasi Misalnya Misalnya
(memperbaiki keran, selang, em-
ber, jamban, pancuran, dll.) 60% 40%

Membersihkan fasilitas sanitasi ................% .....................................%


(membersihkan kamar mandi, toi-
let, jamban, wastafel, bak mandi)
Mencari atau mengumpulkan air ................% .....................................%

• Bagaimana mekanisme pembagian beban kerja di atas? Apakah ada


diskusi sebelumnya?
• Siapa yang membuat keputusan siapa yang melakukan apa dalam
rumah tangga?
• Apakah menurut Anda pembagian kerja di atas adil? Menjelaskan
mengapa dan mengapa tidak

9. Pernahkah Anda memperbaiki toilet? Mengapa?


a. Jika demikian, perbaikan / peningkatan seperti apa?
b. Bagaimana Anda melakukannya?

PROGRAM SANITASI DI DESA DAN KETERLIBATAN PEREMPUAN DALAM PROSESNYA


Topik 2: Tingkat partisipasi perempuan dalam kegiatan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat
(STBM) di masyarakat
Kami juga ingin tahu tentang program sanitasi yang telah dilakukan di desa Anda dan siapa
yang terlibat
1. Pernahkah Anda mendengar tentang program STBM atau program sanitasi
lainnya?
a. Seperti apa dan siapa yang melaksanakan program sanitasi?

2. Apa saja target program ini? Apakah menurut Anda ada aspek lain yang juga
perlu dimasukkan dalam program sanitasi? Mengapa?
a. Probing: Fasilitas toilet, fasilitas cuci tangan, ketersediaan air, akses untuk
semua
3. Seberapa pentingkah keberadaan program sanitasi ini bagi Anda? Mengapa?
Seberapa penting program ini bagi desa Anda?
4. Bagaimana perempuan terlibat dalam program sanitasi? Dapatkah Anda
menyebutkan kegiatan apa dalam program sanitasi yang dilakukan pada waktu
itu?
Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia 46
Lampiran

Pocket voting: Siapa saja yang terlibat dalam STBM di masyarakat? Pria atau wanita?
Mintalah masyarakat untuk memilih dengan kelereng/tongkat yang telah
disediakan. Namun, dalam kegiatan ini, alat pemungutan suara diberi warna yang
berbeda, untuk menyatakan peran perempuan dan laki-laki.

a. Bagaimana tingkat keterlibatan perempuan dan laki-laki dalam program ini?


b. Pernahkah Anda diundang, terlibat, diundang untuk membahas program ini?
Bisakah Anda memberi tahu kami apa dan bagaimana Anda terlibat dalam
program ini? Mengapa?
c. Apakah Anda puas dengan pertunangannya? Mengapa?
d. Menurut Anda, apa yang telah dilakukan dalam kegiatan ini untuk mengurangi
ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki? Apakah itu cukup berhasil
menurut Anda? Mengapa?
e. Dalam pandangan Anda, apakah kegiatan program sanitasi sudah inklusif
dan responsif terhadap kebutuhan perempuan?
f. Menurut Anda, kapan dan mengapa isu gender dan disabilitas perlu disorot
dan tahapan program sanitasi? Apakah itu akan membuat perbedaan bagi
Anda?
g. Menurut Anda, siapa di desa Anda yang memiliki keterlibatan sangat sedikit?
Siapa yang tidak diuntungkan dari program sanitasi yang ada? Mengapa?
h. Faktor-faktor apa yang mendukung perempuan untuk berpartisipasi dalam
program sanitasi masyarakat?
i. Faktor-faktor apa yang menghalangi perempuan untuk berpartisipasi dalam
program sanitasi masyarakat?

5. Menurut Anda, apakah perempuan dan laki-laki memiliki jumlah kekuasaan yang
sama dalam proses pengambilan keputusan dalam program sanitasi? Sequence
game: siapa yang harus membuat keputusan dalam STBM di masyarakat?
Pria atau wanita? Pernyataan memiliki peran pengambilan keputusan dan
kepemimpinan dalam masyarakat, seperti: diskusi pembuat keputusan
dan pemimpin rapat
a. Apakah menurut Anda perempuan bisa menjadi pemimpin dalam
pengambilan keputusan terkait STBM di masyarakat?
b. Apakah saat ini dirasakan bahwa perempuan sudah memiliki peran/
dapat mengambil keputusan yang diperhitungkan dalam kegiatan STBM di
masyarakat? Jika demikian, apakah ada yang perlu diperbaiki? Jika tidak, apa
yang perlu diubah agar peran perempuan bisa ditingkatkan?
c. Faktor-faktor apa yang menghambat partisipasi perempuan dalam
pengambilan keputusan terkait penyediaan fasilitas sanitasi ramah
perempuan di masyarakat?
6. Menurut Anda, bagaimana seharusnya partisipasi perempuan dan laki-laki
dalam masyarakat dalam penyediaan fasilitas sanitasi? Apakah menurut Anda
peran yang Anda mainkan sekarang adil? Atau ada sesuatu yang perlu diperbaiki?
Bagaimana?

47 Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia


Lampiran

Topik 3: Tingkat pengambilan keputusan bersama dalam rumah tangga


1. Bagaimana dengan peran perempuan dan laki-laki dalam pengambilan keputusan
dalam rumah tangga?

Anggota Keluarga Tingkat Pengaruh dalam Pengambilan Kepu-


tusan

Kakek ............%
Nenek ............%
Ayah ............%
Ibu ............%
Anak laki-laki ............%
Anak perempuan ............%
Cucu- laki-laki ............%
Cucu ............%

Dari jawaban di atas dan kemudian diselidiki:

• Apakah menurut Anda tingkat pengaruh dalam pengambilan keputusan di atas


dianggap wajar? Jika ya, mengapa? Jika tidak, apa yang harus diubah?

PERUBAHAN DAN KONDISI SANITASI SAAT INI DI MASYARAKAT


Kami juga ingin tahu tentang perubahan yang disebabkan oleh program sanitasi di desa Anda.

1. Dapatkah Anda memberi tahu kami bagaimana situasi sanitasi sebelum program
sanitasi diterapkan di desa Anda?
a. Bagaimana penggunaan toilet berkembang sejak program sanitasi?
b. Apa pendapat Anda saat ini tentang buang air besar sembarangan?
c. Bagaimana perasaan Anda ketika Anda didorong untuk membangun toilet?

2. Bagaimana perasaan Anda ketika desa Anda dinyatakan ODF? Apakah itu penting
bagi Anda?
a. Apakah menurut Anda saat ini di desa Anda benar-benar tidak ada orang
yang buang air besar? Berapa banyak orang di desa Anda yang Anda yakini
menggunakan jamban? Suara Saku! Mengapa?
b. Bagaimana dengan anak-anak? Penyandang cacat? orang tua? Lokasi rumah?
c. Apakah Anda berpikir bahwa semua orang di desa Anda mencuci tangan
mereka dengan sabun setelah buang air besar? Suara Saku! Mengapa?

3. Apakah ada kegiatan terkait sanitasi lain yang dilakukan di desa Anda setelah
desa Anda dinyatakan ODF? Kegiatan apa, oleh siapa dan bagaimana?
4. Salah satu alasan pemerintah menerapkan STBM adalah untuk melindungi anak-
a. Apakah pemerintah melakukan sesuatu tentang hal itu?

Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia 48


Lampiran

anak dari risiko sakit hingga kematian, terutama akibat diare. Setelah program ini
dilaksanakan, apakah ada yang merasakan adanya perubahan, terutama pada
frekuensi anak sakit/meninggal?
5. Apakah fasilitas sanitasi yang saat ini dibangun sesuai dengan kebutuhan/
kebutuhan perempuan?

Daftar fasilitas sanitasi ramah perempuan di masyarakat? Buat pemungutan


suara saku

Pernyataan mana yang benar-benar diperlukan, perlu dan tidak perlu


disediakan di lingkungan mereka terkait dengan fasilitas sanitasi ramah
perempuan seperti infrastruktur untuk wanita yang sedang menstruasi,
ketersediaan air.
a. Anda dapat meminta komunitas untuk menyebutkannya dan membuat catatan
dan meminta mereka untuk memberikan pendapat mereka pernyataan mana
yang mereka berikan yang benar-benar diperlukan, perlu dan tidak perlu
b. Kemudian menganalisis hasilnya dengan melakukan sesi diskusi dan
menanyakan apakah ada fasilitas yang mereka pilih dan sebutkan, apakah itu
kebutuhan yang sesuai.
c. Jika demikian, area apa yang masih bisa diperbaiki?
d. Jika tidak, fasilitas apa saja yang tidak sesuai dan kebutuhan apa saja yang
diharapkan dapat dipenuhi?

Panduan Diskusi Kelompok Terfokus (Disabilitas)

Persetujuan
Terima kasih telah bersedia berpartisipasi. Kami sangat senang dan tertarik untuk menden-
gar pendapat berharga dari Anda mengenai total program sanitasi berbasis masyarakat
(STBM) dan akses ke sanitasi dan air bersih.

• Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi tentang strategi
untuk memahami bagaimana mempraktikkan sanitasi, dalam hal ini bagaimana
partisipasi teman-teman penyandang disabilitas dalam pelayanan sanitasi
khususnya di Provinsi NTB dan NTT. Lalu bagaimana akses selama ini yang
dirasakan teman-teman. Selain itu, kami juga ingin mengetahui kendala dan
peluang apa saja yang dapat kami manfaatkan agar keikutsertaan kelompok
difabel ini dapat terlibat aktif dalam STBM, sehingga dari informasi Anda, kami
dapat merumuskan rekomendasi untuk meningkatkan integrasi GESI (termasuk
perempuan dan perempuan serta penyandang disabilitas). ) di STBM.
• Informasi yang Anda berikan sangat rahasia dengan nama Anda dan tidak akan
dikaitkan dengan apa pun yang Anda sampaikan dalam diskusi ini.
• Kami akan merekam diskusi ini, sehingga kami dapat menangkap dengan benar
ide, pendapat, dan pemikiran yang kami dengar dari kelompok ini. Rekaman
akan dihapus segera setelah proses transkripsi selesai.
• Anda memiliki hak untuk menolak menjawab pertanyaan apa pun dan memilih
untuk tidak berpartisipasi dalam penelitian ini.
• Kami menyadari betapa penting dan rahasianya informasi yang Anda berikan,
kami mengingatkan setiap peserta untuk saling menghormati dan menjaga
kerahasiaan informasi yang disampaikan.
• Jika Anda memiliki pertanyaan sekarang atau nanti setelah diskusi, saya dapat
49 Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia
Lampiran

segera dihubungi atau silakan hubungi anggota penelitian lain yang nama dan
nomor teleponnya tercantum pada formulir informasi penelitian.
• Harap tanda tangani persetujuan untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.

Perkenalan
1. Selamat datang!
Perkenalkan diri Anda dan risalahnya, dengan cepat bagikan lembar tanda tangan
persetujuan dan demografi peserta FGD saat Anda memperkenalkan diskusi.
Ulasan:

• Siapa kami dan apa yang akan kami lakukan


• Apa yang akan kami lakukan dengan informasi yang dikumpulkan
• Mengapa kami meminta Anda untuk berpartisipasi
2. Penjelasan proses diskusi
Tanyakan apakah ada yang pernah berpartisipasi dalam diskusi fokus sebelumnya,
jelaskan mengapa diskusi digunakan alih-alih wawancara mendalam
Tentang diskusi

• Kami belajar dari Anda (positif dan negatif)


• Jangan mencoba mencapai konsensus, kami mengumpulkan informasi
• Jangan takut untuk mengatakan banyak atau panjang atau memberikan daftar
panjang, kami akan memprioritaskan informasi yang dikumpulkan
Logistik:
• Diskusi akan berlangsung kurang lebih satu jam
• Silakan pindah tempat, duduk dan berdiri
• Pintu keluar! Toilet!
• Silakan nikmati makanan ringan yang disediakan
3. Aturan dasar diskusi
Mintalah peserta untuk menyarankan aturan main, berikan banyak kesempatan
tetapi pastikan hal-hal berikut ada dalam daftar:
• Setiap orang harus berpartisipasi
• Informasi yang diberikan oleh setiap peserta bersifat rahasia
• Tetap aktif dalam diskusi tetapi jangan berbicara secara terpisah satu sama
lain
• Matikan hp jika memungkinkan
• Selamat bersenang-senang
4. Nyalakan perekam
5. Tanyakan apakah ada pertanyaan sebelum memulai
6. Diskusi dimulai, pastikan peserta memiliki cukup waktu untuk memikirkan
jawaban atas pertanyaan yang diajukan, jangan terlalu cepat mengganti peserta
atau pertanyaan. Gunakan penyelidikan untuk mendapatkan tanggapan yang
lengkap dan memadai, harap ubah topik jika jawaban yang sama diberikan
berulang kali.

Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia 50


Lampiran

Pertanyaan untuk Kelompok Disabilitas


AKSES PENGGUNAAN FASILITAS SANITASI DI RUMAH
Kami ingin tahu tentang toilet dan fasilitas cuci tangan di rumah Anda, penggunaan dan
pemeliharaannya.
1. Apakah Anda memiliki toilet dan tempat cuci tangan di rumah Anda yang dapat
Anda gunakan dengan mudah? Bisakah Anda menjelaskan? (perlihatkan gambar
demonstrasi)
a. Siapa yang memiliki akses mudah untuk menggunakan toilet dan tempat cuci
tangan?
b. Apakah ada orang di keluarga Anda yang tidak dapat menggunakan toilet
dengan mudah? (Siapa dan mengapa?)
2. Apakah Anda membangun jamban / toilet sendiri? Bisakah Anda menjelaskan?
3. Apakah toilet cocok untuk kebutuhan Anda? Mengapa?
a. Apakah Anda menerima bantuan keuangan atau bantuan lain untuk
membangun fasilitas sanitasi Anda, atau apakah Anda membantu membangun
fasilitas sanitasi untuk keluarga Anda?
b. Bagaimana Anda membeli bahan dan membangun bangunan toilet? Menurut
Anda, apa yang bisa membuatnya lebih mudah untuk membangun toilet?
c. Apa yang menahanmu saat itu? Mengapa itu terjadi?
d. Apakah Anda terlibat dalam memutuskan bentuk dan cara mengakses toilet
dan tempat cuci tangan yang ada?

4. Apakah toilet Anda memiliki area cuci tangan? Apakah itu memenuhi kebutuhan
a. Bagaimana sebelumnya? Apakah ada yang perlu disesuaikan?
b. Jika melihat kebutuhan khusus Anda, hal-hal apa yang perlu berbeda dari
fasilitas sanitasi ‘biasa’?
c. Siapa yang terlibat dalam diskusi tentang kebutuhan Anda saat itu?

Anda?
5. Apakah toilet dan fasilitas cuci tangan masih digunakan?
a. Apakah mudah mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar di
rumah? Mengapa?
b. Apakah Anda masih selalu mencuci tangan dengan sabun setelah
menggunakan toilet? Jika tidak, mengapa?
c. Bagaimana dengan ketersediaan sabun di rumah (siapa yang selama ini
menjaga sabun tetap tersedia?)

6. Menurut Anda, siapa di keluarga Anda yang kesulitan menggunakan fasilitas


a. Mengapa masih digunakan/mengapa tidak digunakan? (menyelidiki: kualitas
jamban, kenyamanan, kemudahan penggunaan, ketersediaan air, dll.)

toilet dan mencuci tangan?


7. Menurut Anda apa manfaat semua orang di rumah tangga Anda menggunakan
a. Menyelidiki: (Wanita pada tahap akhir kehamilan mereka, orang tua,
Orang dengan cacat fisik, Anak-anak)
b. Bagaimana perasaan Anda tentang pernyataan ini? Penyandang
disabilitas semakin sulit mengakses layanan sanitasi (toilet, fasilitas
cuci tangan).

51 Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia


Lampiran

c. Bagi wanita penyandang disabilitas, bagaimana dengan kebersihan


menstruasi? Apakah ada kesulitan dalam melakukannya di rumah?
Apa yang bisa membuatnya lebih mudah / meringankan?
toilet?
8. Apa pandangan Anda tentang kebersihan toilet? Apakah itu penting?
a. Probing: Meningkatkan kesehatan, kebersihan dan kualitas hidup semua
orang, Menjaga rasa martabat, keamanan dan privasi orang, Meningkatkan
kesehatan dan kebersihan orang yang harus merawat anak-anak, orang tua
dan orang-orang cacat dalam rumah tangga, Meningkatkan kemandirian
orang tua dan penyandang cacat jika mereka dapat menggunakan toilet
mereka sendiri dan karenanya mengurangi waktu sehari-hari dan beban fisik
pada pengasuh, Beri pengasuh utama lebih banyak waktu untuk terlibat
dalam kegiatan produktif lainnya untuk keluarga

9. Pernahkah Anda memperbaiki toilet? Mengapa?


a. Bagaimana Anda bisa menjelaskan?
b. Siapa yang bertugas membersihkan toilet di rumah Anda? Mengapa?

a. Jika demikian, perbaikan atau peningkatan seperti apa?


b. Bagaimana Anda melakukannya?

PROGRAM SANITASI DI DESA DAN PELIBATAN PARA PIHAK


Kami juga ingin tahu tentang program sanitasi yang telah dilakukan di desa Anda dan siapa
yang terlibat
(Biografi Etno: Menelusuri Linimasa dan Kegiatan Program Alat Kertas Paripurna)
1. Pernahkah Anda mendengar tentang program STBM atau program sanitasi
lainnya?
a. Seperti apa dan siapa yang melaksanakan program sanitasi?
2. Apa saja target program ini? Apakah menurut Anda ada aspek lain yang juga perlu
dimasukkan dalam program sanitasi? Mengapa?
a. Probing: Fasilitas toilet, fasilitas cuci tangan, ketersediaan air, akses untuk
semua
3. Seberapa pentingkah keberadaan program sanitasi ini bagi Anda? Mengapa?
Seberapa penting program ini bagi desa Anda?
4. Dapatkah Anda menyebutkan kegiatan apa dalam program sanitasi yang
dilakukan pada waktu itu?
a. Siapa dari komunitas yang terlibat dalam setiap kegiatan ini? Pemungutan
suara kantong tingkat keterlibatan berbagai pihak dalam program sanitasi
b. Pernahkah Anda diundang, terlibat, diundang untuk berdiskusi dalam program
ini? Bisakah Anda memberi tahu kami apa dan bagaimana Anda terlibat dalam
program ini? Mengapa?
c. Apakah Anda puas dengan pertunangannya? Mengapa?
d. Menurut Anda, apa yang telah dilakukan dalam kegiatan ini untuk mengurangi
ketimpangan penyandang disabilitas? Apakah itu cukup berhasil menurut
Anda? Mengapa?
e. Dalam pandangan Anda, apakah kegiatan program sanitasi sudah inklusif dan

Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia 52


Lampiran

responsif terhadap kebutuhan penyandang disabilitas?


f. Menurut Anda, kapan dan mengapa isu gender dan disabilitas perlu disorot
dan tahapan program sanitasi? Apakah itu akan membuat perbedaan bagi
Anda?
g. Menurut Anda, siapa di desa Anda yang memiliki keterlibatan sangat sedikit?
Siapa yang tidak diuntungkan dari program sanitasi yang ada? Mengapa?

5. Menurut Anda, apa yang menghalangi Anda atau rekan kerja penyandang cacat
lainnya untuk terlibat dalam program sanitasi?
6. Apakah Anda pikir Anda memiliki jumlah kekuatan yang sama dalam proses
pengambilan keputusan seperti orang lain dalam program ini? mengantongi hak
suara dalam pengambilan keputusan
7. Jika Anda terlibat dalam program sanitasi, dapatkah keterlibatan Anda mengubah
perlakuan penyandang disabilitas menjadi memiliki toilet dan menggunakan
toilet dengan mudah? (Dapatkah penyandang disabilitas memimpin perubahan
yang mudah bagi kelompok penyandang disabilitas dalam program sanitasi?)
8. Menurut Anda, kegiatan apa dalam program sanitasi yang paling Anda nikmati
dan ingat? Mengapa? Kegiatan apa yang tidak Anda sukai? Mengapa?
9. Menurut Anda, bagaimana cara meningkatkan keterlibatan dan manfaat
penyandang disabilitas dalam program sanitasi?

PERUBAHAN DAN KONDISI SANITASI SAAT INI DI MASYARAKAT


Kami juga ingin tahu tentang perubahan yang disebabkan oleh program sanitasi di desa
Anda.
1. Dapatkah Anda memberi tahu kami bagaimana situasi sanitasi sebelum program
sanitasi diterapkan di desa Anda?
a. Bagaimana penggunaan toilet berkembang sejak program sanitasi?
b. Apa pendapat Anda saat ini tentang buang air besar sembarangan?
c. Bagaimana perasaan Anda ketika Anda didorong untuk membangun toilet?

2. Bagaimana perasaan Anda ketika desa Anda dinyatakan ODF? Apakah itu penting
bagi Anda?
a. Apakah menurut Anda saat ini di desa Anda benar-benar tidak ada orang
yang buang air besar? Berapa banyak orang di desa Anda yang Anda yakini
menggunakan jamban? Suara Saku! Mengapa?
b. Bagaimana dengan anak-anak? Penyandang cacat? orang tua? Lokasi rumah?
c. Apakah Anda berpikir bahwa semua orang di desa Anda mencuci tangan
mereka dengan sabun setelah buang air besar? Suara Saku! Mengapa?

3. Apakah ada kegiatan terkait sanitasi lain yang dilakukan di desa Anda setelah
desa Anda dinyatakan Bebas Buang Air Besar Sembarangan (ODF)? Kegiatan apa,
oleh siapa dan bagaimana?
4. Salah satu alasan pemerintah menerapkan STBM adalah untuk melindungi anak-
anak dari risiko sakit hingga kematian, terutama akibat diare. Setelah program ini
dilaksanakan, apakah ada yang merasakan adanya perubahan, terutama pada
frekuensi anak sakit/meninggal?
53 Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia
Lampiran

Aktivitas: Pemungutan suara


Kami akan meminta Anda untuk memilih pernyataan mana yang penting , sangat penting
dan tidak penting bagi Anda.
1. Memiliki jamban di rumah
2. Menggunakan jamban daripada buang air besar di luar
3. Memiliki tempat untuk mencuci tangan di rumah
4. Mencuci tangan secara teratur
5. Mencuci tangan secara teratur dengan sabun
6. Teman dan tetangga Anda menggunakan jamban untuk buang air besar di luar
7. Teman dan tetangga Anda mencuci tangan secara teratur
8. Teman dan tetangga Anda mencuci tangan secara teratur dengan sabun

Penutupan
1. Apakah Anda memiliki pertanyaan untuk ditanyakan?
2. Apakah ada informasi lain yang ingin Anda ungkapkan?
Diskusi kami selesai, terima kasih banyak telah berkontribusi dan berbagi pemikiran dan
pendapat Anda dengan kami. Kami memiliki lembar evaluasi singkat yang dapat Anda isi jika
Anda bersedia dan punya waktu. Jika masih ada informasi tambahan yang belum tersampaikan
selama diskusi, silakan tuliskan pada lembar evaluasi yang telah kami distribusikan.

Bahan dan logistik untuk diskusi Kehadiran


• daftar
• Lembar persetujuan (satu salinan untuk peserta dan satu untuk peneliti)
• Lembar evaluasi
• Papan nama peserta
• Pensil dan buklet untuk peserta
• Panduan diskusi
• Perekam
• Baterai
• Perekam ekstra
• kitab
• Bar makanan ringan

Pedoman Wawancara Pemangku Kepentingan


Variabel atau faktor yang menghambat atau mendukung tingkat partisipasi akan diambil dari
wawancara dan FGD
kader kesehatan/masyarakat, tokoh formal dan informal masyarakat, fasilitator masyarakat
(LSM lokal), staf pemerintah dan pengambil keputusan (setidaknya sepuluh informan)

Demografi Informan
Nama:
Pekerjaan/ Kedudukan :
Sudah berapa lama Anda berada di posisi itu?

Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia 54


Lampiran

Program Sanitasi yang telah berjalan di tengah masyarakat

1. Dapatkah Anda memberi tahu kami tentang program sanitasi apa yang telah
dilaksanakan di desa/wilayah ini?
a. Seperti apa dan siapa yang melaksanakan program tersebut?
2. ApaApa target dari program ini? Apakah menurut Anda ada aspek lain yang
juga harus dimasukkan dalam program sanitasi? Mengapa?
a. Probing: Fasilitas toilet, fasilitas cuci tangan, ketersediaan air,
b. Bagaimana dengan akses untuk semua, terutama bagi kelompok marjinal?
c. Bagaimana dengan kebersihan menstruasi?

3. Seberapa penting keberadaan program sanitasi ini bagi desa/daerah ini? Apa?
4. Kegiatan apa yang dilakukan dalam program sanitasi? Bagaimana pihak-pihak
yang terlibat dalam program ini? 5. Menurut Anda, apa yang menghalangi
penyandang disabilitas untuk berpartisipasi dalam program sanitasi?
5. Menurut Anda, apa yang menghalangi penyandang disabilitas untuk
berpartisipasi dalam program sanitasi?
a. Siapa dari komunitas yang terlibat dalam setiap tahap kegiatan? Kelompok
mana yang memiliki keterlibatan lebih dari kelompok lain dalam masyarakat?
Mengapa?
b. Bagaimana bentuk keterlibatan masing-masing kelompok masyarakat?
c. Apakah Anda puas dengan tingkat keterlibatan semua kelompok masyarakat
ini? Mengapa? Kelompok mana yang menurut Anda masih perlu meningkatkan
tingkat partisipasi?
d. Menurut Anda, apa yang telah dilakukan dalam kegiatan ini untuk mengurangi
ketimpangan penyandang disabilitas, bagi perempuan dan kelompok marjinal
lainnya? Apakah itu cukup berhasil menurut Anda? Mengapa?
e. Dalam pandangan Anda, apakah kegiatan program sanitasi sudah inklusif dan
responsif terhadap kebutuhan penyandang disabilitas? Bagaimana dengan
kebutuhan kelompok perempuan?
f. Menurut Anda, kapan dan mengapa isu gender dan disabilitas perlu disorot
dan tahapan program sanitasi? Apakah itu akan membuat perbedaan bagi
desa / daerah Anda?
g. Menurut Anda, siapa di desa/daerah Anda yang tidak mendapatkan manfaat
dari program sanitasi yang sudah berjalan? Mengapa?
h. Menurut Anda, kegiatan mana dalam program sanitasi yang paling baik
merangkul keterlibatan kelompok marjinal? Mengapa?
i. Kegiatan apa dalam program sanitasi yang kurang berhasil dalam melibatkan
kelompok marjinal di masyarakat menurut Anda? Mengapa?

Keterlibatan kelompok difabel


6. Menurut Anda, apakah penyandang disabilitas memiliki kekuatan yang sama
dalam proses pengambilan keputusan dalam program sanitasi? Mengapa?
7. Menurut Anda, bagaimana cara meningkatkan keterlibatan dan manfaat
penyandang disabilitas dalam program sanitasi?meningkatkan keterlibatan dan
manfaat penyandang disabilitas dalam program sanitasi?

55 Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia


Lampiran

8. Menurut Anda, apa yang menghalangi kelompok perempuan untuk


berpartisipasi dalam program sanitasi?
9. Menurut Anda, apakah kelompok perempuan memiliki kekuatan yang sama
dalam proses pengambilan keputusan dalam program sanitasi? Mengapa?
Keterlibatan Perempuan
10. Menurut Anda, bagaimana seharusnya partisipasi perempuan dan laki-laki
dalam masyarakat dalam penyediaan fasilitas sanitasi? Apakah menurut
Anda peran yang dimainkan itu adil? Atau ada sesuatu yang perlu diperbaiki?
Bagaimana?

a. Dapatkah perempuan berbicara dan didengar dalam pertemuan sanitasi


masyarakat? Mengapa? Bagaimana prosesnya?
b. Menurut Anda, apakah perempuan dapat menjadi pemimpin dalam mengambil
keputusan terkait STBM di masyarakat?
c. Apakah saat ini dirasakan bahwa perempuan sudah memiliki peran/
dapat mengambil keputusan yang diperhitungkan dalam kegiatan STBM di
masyarakat? Jika demikian, apakah ada yang perlu diperbaiki? Jika tidak, apa
yang perlu diubah agar peran perempuan bisa ditingkatkan?
d. Faktor-faktor apa yang menghambat partisipasi perempuan dalam
pengambilan keputusan terkait penyediaan fasilitas sanitasi ramah perempuan
di masyarakat?

Perubahan dan keberlanjutan sanitasi di masyarakat


1. Dapatkah Anda memberi tahu kami bagaimana sanitasi sebelum program sanitasi
diterapkan di desa/daerah Anda?
a. Bagaimana penggunaan toilet berkembang sejak program sanitasi?
b. Apa pendapat Anda tentang opini publik saat ini tentang buang air besar
sembarangan?
2. Apa saja capaian ODF di desa/wilayah ini? Apakah penting bagi desa/wilayah ini?
3. Salah satu alasan pemerintah menerapkan STBM adalah untuk melindungi anak-
a. Menurut Anda, apakah saat ini di desa/wilayah ini benar-benar tidak ada orang
yang buang air besar sembarangan? Mengapa?
b. Bagaimana dengan anak-anak? Penyandang cacat? orang tua? Lokasi rumah?
c. Menurut Anda, apakah setiap orang di desa/daerah ini selalu mencuci tangan
dengan sabun setelah buang air besar? Mengapa? Siapa yang selalu dan siapa
yang tidak?

anak dari risiko sakit hingga kematian, terutama akibat diare. Setelah program
ini dilaksanakan, apakah ada penurunan morbiditas, terutama terkait diare pada
anak?
4. Apakah ada kegiatan terkait sanitasi lain yang dilakukan di desa/daerah ini setelah
desa Anda dinyatakan Open Defecation Free (ODF)? Kegiatan apa, oleh siapa
dan bagaimana? Apa tujuannya? Apakah ada antisipasi agar orang tidak kembali
dengan OD?
5. Bagaimana dengan perawatan septic tank? atau perbaikan toilet? Seperti apa
yang telah dilakukan sejauh ini?

Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia 56


Lampiran

Perubahan dan keberlanjutan sanitasi di masyarakat


1. Kebijakan apa yang dimiliki desa/daerah Anda untuk memastikan bahwa program
sanitasi yang diterapkan dapat bermanfaat bagi semua orang termasuk kelompok
marjinal secara berkelanjutan?
a. Apakah ada peraturan pemerintah yang menjadi dasar hukum?
b. Apakah kebijakan dan peraturan ini terkait dengan SDGs?
2. Apakah kebijakan ini sudah diterapkan? Jika iya, bisakah Anda memberikan
penjelasan dan contoh penerapannya?
a. Siapa yang bertanggung jawab? Seberapa efektif contohnya?

3. Apakah ada monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan tersebut? Bagaimana


proses dan hasilnya dipantau?
4. Apa strategi yang diterapkan di desa/wilayah ini untuk memastikan keterlibatan
kelompok marjinal dalam program sanitasi?
5. Apakah petugas lapangan atau staf pemerintah memiliki kapasitas yang cukup
untuk mengidentifikasi dan memfasilitasi kebutuhan kelompok marjinal? Seperti
apa? Mengapa?
6. Bagaimana peran organisasi luar dalam melaksanakan program sanitasi di desa/
wilayah ini?
a. Apakah sudah ada perubahan persepsi mengenai akses sanitasi inklusif di
desa/wilayah ini sejak program ini?

7. Apa dukungan lain yang sedang diupayakan untuk memastikan akses sanitasi
yang berkelanjutan bagi kelompok marjinal di desa/wilayah ini?
8. Apakah ada risiko untuk mengakses sanitasi dalam situasi darurat atau bencana?

a. Apa dampaknya terhadap akses sanitasi?


b. Bagaimana dengan akses bagi kelompok marjinal?
c. Bagaimana desa/daerah ini mengantisipasinya?

Penutupan

1. Apakah Anda memiliki pertanyaan untuk ditanyakan?


2. Apakah ada informasi lain yang ingin Anda ungkapkan?

57 Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia


Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok
Marginal di Kawasan Timur Indonesia

Didanai oleh:
Institute of Development Studies
United Kingdom

Anda mungkin juga menyukai