Laporan Final: Sanitasi Berkelanjutan Untuk Kelompok Marginal Di Kawasan Timur Indonesia
Laporan Final: Sanitasi Berkelanjutan Untuk Kelompok Marginal Di Kawasan Timur Indonesia
Disusun Oleh:
Universitas Udayana , Institut Teknologi Bandung,
Universitas Gadjah Mada
Berkolaborasi Dengan:
Yayasan Aksi Solidaritas Sesama, Lidi Foundation,
Simavi, Yayasan Dian Desa, Mitra Samya November 2022
Tim Peneliti
i
BAB I Latar Belakang
Genderdansanitasibukanlahpermasalahanbaru.Semakinbanyakahliyangmendorong
perhatian pada kebutuhan dan masalah khusus gender yang terkait dengan pencapaian akses
sanitasi yang universal (Kayser dkk., 2019). Saat ini, penelitian juga berfokus pada hambatan
teknis dan sosial untuk melibatkan penyandang disabilitas dalam sanitasi (Banks dkk., 2019).
Meski begitu,bukti dari Indonesia masih terbatas.Prevalensi Penyandang Disabilitas
(People with disabilities - PWD) di Indonesia berkisar antara 10-15% (Dibley dan Tsaputra,
2019). Oleh karena itu, sangat penting untuk mengalihkan fokus sanitasi untuk melibatkan
kelompok rentan ini.
Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) telah mempertimbangkan
beberapa praktik baik (best practice) dalam STBM GESI (Gender Equity and Social Inclusion atau
Kesetaraan Gender dan Inklusi Sosial). Misalnya, berkat dukungan LSM, beberapa sekolah di
Lombok Tengah telah membangun toilet inklusif, dan perempuan aktif berpartisipasi sebagai
penggiat sanitasi. Namun demikian, dalam memahami sejauh mana akses infrastruktur yang
inklusif dapat dicapai dan dipertahankan serta mengapa dan bagaimana hal ini dapat dicapai
belumdidokumentasikansebagaipelajaranbagidaerahdansecaranasional.Penelitianiniakan
membedah STBM di NTT dan NTB dari kacamata gender dan disabilitas. Meskipun keterlibatan
perempuan dan anak perempuan dalam program sanitasi sudah banyak dilaporkan (misalnya,
penggiat sanitasi perempuan, sanitarian perempuan, kepala desa perempuan yang sukses
denganSTBM,arisanjambanperempuan,dll.),normadanpraktiksosialbudayaberbasisgender
seputar sanitasi di antara kelompok-kelompok yang marginal belum sepenuhnya dipahami.
Selanjutnya, secara khusus kami akan membahas sejauh mana STBM melibatkan
kelompok marginal (proses, kedalaman, dan peluang). Hal ini juga bermanfaat untuk
melihat lebih jauh kendala struktural, politik, dan ekologis serta peluang adopsi
STBM dan perubahan perilaku. Terakhir, kami juga melihat dampak pengintegrasian
GESI dengan STBM pada akses informasi, sumber daya, jaringan, dan pengambilan
keputusan di kalangan perempuan dan anak perempuan, serta penyandang disabilitas.
• Memahami norma dan praktik sosial budaya berbasis gender seputar sanitasi dan
bagaimana hal ini diterjemahkan menjadi akses dan partisipasi kelompok marjinal
dalam STBM;
• Menyelidiki kendala dan peluang struktural, politis, dan ekologis bagi kelompok
marjinal untuk terlibat aktif dalam STBM (termasuk perilaku kembali ke buang air
besar sembarangan);
• Merumuskan rekomendasi untuk meningkatkan integrasi GESI (termasuk
perempuan dan anak perempuan dan penyandang disabilitas) dalam STBM.
Studi dilakukan di Lombok Tengah (Nusa Tenggara Barat/NTB) dan Manggarai Barat
(Nusa Tenggara Timur/NTT). Lombok Tengah terletak di tengah Pulau Lombok, NTB yang
mencakup area seluas 1.208,39 km2 dan memiliki populasi 1.034.859. Kabupaten ini memiliki
12 kecamatan dengan 12 kelurahan dan 127 kelurahan. Pada tahun 2022, tercatat sekitar
2000 penyandang disabilitas di Lombok Tengah. Pada November 2021, Lombok Tengah
mendeklarasikan 100% ODF (status bebas buang air besar sembarangan) untuk seluruh
kabupaten karena penerapan STBM. Namun, beberapa rumah tangga masih tidak memiliki
akses sanitasi yang improved (sanitasi dengan kloset dan bak penampungan yang memenuhi
syarat), dimana perempuan serta penyandang disabilitas menghadapi diskriminasi selama
proses pengambilan keputusan. Misalnya, sebagian besar perempuan tidak terlibat dalam
pertemuan desa dan kabupaten, sehingga fasilitas WASH menjadi tidak ramah untuk kelompk
tersebut. Dalam situasi COVID-19, perempuan menghadapi beban ganda dengan melakukan
pekerjaan rumah tangga seperti mengurus anak, memasak, merawat toilet dan bekerja
mencari nafkah untuk keluarga. Sayangnya, sebagian besar suami yang memiliki posisi
penentu keputusan terkait apakah diperlukan perbaikan fasilitas WASH atau tidak. Di NTB,
kajian kami akan difokuskan di dua kecamatan: Kecamatan Praya dan Kecamatan Janapriya.
Gambar 2.1
Peta lokasi studi di
Kabupaten Lombok
Tengah dan Manggarai
Barat
Kabupaten Manggarai Barat terletak di bagian paling barat Pulau Flores, NTT dengan
luas 9.450,00 km2 dan 169 desa (5 kelurahan, 164 desa) di 12 kecamatan. BPS (2019)
melaporkan jumlah penduduk Manggarai Barat sebanyak 274.869 jiwa, terdiri dari 139.000
perempuan dan 135.689 laki-laki. Terdapat kurang lebih 3400 penyandang disabilitas pada
tahun 2021. Pada website Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) melaporkan bahwa 71%
penduduk memiliki akses sanitasi, dengan 20 dari 169 desa telah mendapatkan sertifikat Open
Defecation Free (ODF). Namun masih adanya ketimpangan posisi laki-laki dan perempuan
di WASH. Perempuan memiliki beban kerja yang lebih signifikan dibandingkan laki-laki.
BPS Nusa Tenggara Barat (2021) mencatat akses sanitasi yang layak di Kabupaten
Lombok Tengah pada tahun 2020 sebesar 84,23%. Pada tahun 2019, meskipun hanya
15,98% yang masih melakukan BABS; akses sanitasi yang aman hanya 1,74% (POKJA
AMPL-BM Provinsi NTB, 2020). Pada tahun 2019, 68,24% penduduk Manggarai Barat
memiliki toilet pribadi, dan masing-masing 10,07% dan 5,32% mengandalkan fasilitas
umum dan bersama (BPS Manggarai Barat, 2020a). Namun, dalam hal sanitasi yang
aman, hanya sekitar 36% yang memiliki akses ke tangki septik atau sistem pembuangan
limbah; 61,88% dari total populasi menggunakan lubang untuk membuang tinja dan
sisanya masih melakukan buang air besar sembarangan di tambak/ladang/pantai (BPS
Manggarai Barat, 2020b). Jumlah penyandang disabilitas di Lombok Tengah pada tahun
2018 sebanyak 2848 (Dinas Sosial, n.d.), sedangkan di Manggarai Barat, jumlah penyandang
disabilitas pada tahun 2017 sebanyak 1145 (BPS Provinsi Nusa Tenggara Timur, n.d.).
Gender (n=252)
Laki-laki 33 13.1
Perempuan 219 86.9
Gambar 2.3 ilustrasi semua hubungan yang dianalisis dalam analisis regresi.
C. Lokakarya
Dua lokakarya tindak lanjut dilakukan dengan pemangku
kepentingan terkait (termasuk kelompok marjinal) di tingkat
masyarakat dan kabupaten untuk mencapai tujuan ketiga. Lokakarya
pertama memiliki tiga tujuan: (1) untuk diseminasi temuan awal survei
dan FGD dan wawancara tahap pertama, (2) untuk mengkonfirmasi
temuan dan mengembangkan persepsi umum atau umum mengenai
temuan, dan (3) untuk membuat causal-loop diagram (CLD) tentang
bagaimana faktor-faktor yang terkait dengan program CLTS GESI
saling terkait satu sama lain; dan (4) merumuskan rencana aksi untuk
meningkatkan integrasi GEDSI (Gender Equity, Disability, and Social
Inclusion) dalam STBM. Lokakarya kedua (daring) akan dilakukan
secara nasional dan bertujuan untuk menyebarluaskan temuan akhir
dan rekomendasi kajian.
Secara umum, akses sarana sanitasi di Lombok Tengah dan Manggarai Barat
berkembang dari waktu ke waktu. Program STBM (sanitasi total berbasis masyarakat) sudah
diarusutamakan ke sektor WASH di Manggarai Barat dan Lombok Tengah. Open Defecation
Free (ODF) dan perluasan akses fasilitas sanitasi dasar menjadi tujuan utama. Saat ini,
dengan target sanitasi Ssustainable Development Goals (SDGs) yang baru, pemerintah
perlu mendefinisikan kembali tujuan program WASH dan beradaptasi dengan target baru
tersebut. Pemerintah telah menyatakan kesadarannya bahwa tujuan akhir sektor sanitasi
adalah menyediakan akses sanitasi yang dikelola secara aman, bukan hanya akses terhadap
sanitasi dasar. Mereka menyadari bahwa sanitasi yang tidak aman berpotensi mengancam
kesehatan masyarakat. Pemerintah telah bergerak melampaui pengendalian menuju sanitasi
aman melalui upaya membangun Instalasi Pengolahan Air Limbah Tinja -IPLT).
Di wilayah studi, akses sumber air terdiri dari akses sumur tak terlindung untuk
keperluan sehari-hari (23,4%), diikuti sumur terlindung (19,4%). Hanya 60,7% dari seluruh
responden yang memiliki sumber air lokal dan 70,2% memiliki pasokan air 24/7 yang dapat
diandalkan. Mengenai fasilitas sanitasi, lebih dari separuh responden survei memiliki fasilitas
Karakteristik n %
Menggunakan lebih dari satu sumber air (n=252) 83 32.9
Air tersedia 24/7 (n=252) 177 70.2
sanitasi dasar (57,5%), diikuti dengan pengelolaan yang aman (20,2%), sedangkan 2% masih
melakukan buang air besar sembarangan. Untuk karakteristik akses dijelaskan dalam tabel
di bawah ini.
Karakteristik n %
“Itu karena perempuan lebih penting di rumah karena kita semua yang urus
bersih-bersih, tempat tidur dari bangun pagi, kita semua yang kerjakan.”
(FGD kelompok ibu Manggarai Barat).
“Nah, sebenarnya perempuanlah yang memiliki peran lebih besar dalam san-
itasi dibanding laki-laki, mereka lebih besar karena mengurus rumah, mengu-
rus rumah tangga dan memperhatikan segala kebutuhan dan kebersihan di
rumah. Dan memiliki banyak tanggu jawab.” (Kepala Desa, Manggarai Barat).
Beberapa peserta FGD juga menyebutkan bahwa akses air di toilet juga menjadi
kendala dalam penggunaan toilet karena keterbatasan air untuk membersihkannya saat
digunakan. Akibatnya, perempuan yang secara sosial dipandang sebagai penjaga toilet
harus membersihkannya dengan benar. Peran tersebut menimbulkan beban ganda bagi
perempuan untuk pekerjaan rumah tangga lainnya yang mereka lakukan di rumah.
Terkait dengan akses toilet saat menstruasi, peserta perempuan menyatakan bahwa
perempuan dan anak perempuan lebih sering menggunakan toilet, namun tidak ada aturan
khusus di rumah dalam bergiliran saat menggunakan toilet, meskipun anak perempuan
menyatakan mereka harus menunggu orang tua mereka menggunakan toilet.
“Kalau mandi kan kita bersih-bersih juga. Jadi, kalau belum ada atap
kan risih? Kalau hujan kan kita bawa payung. Jadi, kan repot kalau
harus bersih-bersih sambil bawa payung.” (Kelompok remaja putri
MB).
“Ya susah kalau tiba-tiba sakit perut dan keluar dari toilet malam-
malam, jadi susah kita pergi, mungkin ada hantu di kegelapan” (FGD
Kelompok Ibu, Manggarai Barat).
Peserta FGD juga melaporkan bahwa mereka menggunakan lebih banyak air untuk
membersihkan pembalut sebelum dibuang. Beberapa perempuan dan anak perempuan di
Manggarai Barat telah diperkenalkan dengan pembalut sekali pakai, namun ada juga
yang masih enggan menggunakannya dan melaporkan membuang pembalut sekali pakai
dengan membakar atau menguburnya di dalam tanah.
Di tingkat rumah tangga, kontribusi perempuan dalam pengambilan keputusan terkait
sanitasi sangat tergantung pada persepsi tentang peran tradisional perempuan. Diakui
bahwa perempuan bertanggung jawab atas banyak kegiatan yang berkaitan dengan air
dan sanitasi, seperti memandikan anak, memasak dan membersihkan dengan air, mencuci,
dll. Peserta FGD menyatakan bahwa peran laki-laki terutama dalam pembangunan dan
perbaikan sarana sanitasi, sedangkan perempuan cenderung terlibat dalam menggunakan
dan memelihara fasilitas tersebut. Ada kesadaran informan laki-laki tentang peran utama
perempuan di dalam rumah; perempuan dianggap memiliki pengetahuan yang lebih banyak
tentang kebutuhan keluarga yang sebenarnya karena peran utamanya dalam pengasuhan,
dan perempuan memiliki pengetahuan yang lebih baik tentang kebutuhan keluarga dalam
hal sanitasi dibandingkan dengan laki-laki.
Survei tersebut juga mengemukakan bahwa pengambilan keputusan terkait WASH di
rumah dilakukan oleh ibu (57,5%) dan lebih sedikit oleh laki-laki-kepala rumah tangga (38,1%).
Namun tampaknya pengambilan keputusan lebih relevan untuk mengelola kebutuhan
kegiatan sehari-hari seperti pemeliharaan, daripada pengambilan keputusan atas investasi
rumah tangga yang besar. Laki-laki juga dianggap kurang menyadari perlunya perbaikan
toilet kecuali perempuan memintanya berulang kali.
"Karena gimana ya, kalau lagi haid, kan jadi nggak nyaman. Tiba-tiba, kita butuh ini
mau ke kamar mandi, tiba-tiba bapak masuk, eh kita harus nunggu, apalagi kita dalam
kondisi haid, emosi naik turun tidak tenang ya, jadi tidak nyaman untuk langsung ke toilet
biasa” (FGD Girls Lombok Tengah).
“Saya memiliki seorang cucu perempuan. Saya menyuruhnya mencuci yang merah dulu.
Cuci bersih dulu. Lalu membuangnya ke tempat sampah. (jika tidak) anjing akan mengam-
bil barangnya... Dia sudah terbiasa ketika datang bulan, dia juga memandikannya. Pad-nya
dibuang ke tempat sampah” (FGD ibu-ibu NTT)
“Kami dapat pembalut kain. Namanya apa? Saya tidak tahu.. yang dari LSM yang dibagikan.
Nah, saya tanya ke kepala desa apakah saya bisa dapat, saya minta. Bersama putri pertama
saya juga bertanya Saya dapat dari NGO. Jadi aman saya tidak pakai pembalut (sekali pakai),
cukup pakai kainnya saja. Cukup sekali cuci saja sudah bersih dan aman, sekarang tidak
perlu beli pembalut. “ (FGD ibu-ibu NTT)
T: “Jadi anak terakhir tinggal bersama orang tua (mertua istri). Lalu siapa
yang membuat keputusan di rumah”; J: “jika orang tuanya sangat tua
maka anaknya”; T:”Kalau anaknya baru menikah?”; A:”orang tua” (FGD ibu
Manggarai Barat)
“Misalnya, sangat sulit untuk merujuk ibu hamil saja… kalau tidak ada
keputusan dari orang tua dan mertua, kami tidak bisa merujuk mereka.
Di sini banyak kepala keluarga yang menikah di usia muda, nah kepala
keluarga belum bisa mengambil keputusan yang mengacu pada resiko tinggi,
dipegang oleh orang tua atau mertua”
(Pemerintah, Lombok Tengah , Perempuan).
“Orang tua susah kalau sakit. Kalau jongkok susah. Jadi, kita siapkan kursinya,
berlubang. Kalau ada toilet duduk, enak, mereka duduk saja.” FGD Kelompok
Wanita MB)
Akses sanitasi bagi penyandang disabilitas dalam rumah tangga belum menjadi
fokus pembahasan, meskipun toilet umum bagi penyandang disabilitas sudah mendapat
perhatian. Para orang tua mengaku kesulitan membantu anak difabel untuk buang air besar
karena peralatan yang sangat terbatas seperti akses kursi roda dan tidak adanya toilet duduk
di rumah. Risiko jatuh di ruang toilet juga tinggi di kalangan penyandang disabilitas karena
lantai yang licin.
Untuk penyandang disabilitas jenis lain seperti tuli atau bisu atau gangguan ringan pada kaki,
tidak ada masalah yang berarti dalam penggunaan toilet (kebanyakan masalah umum seperti
ketersediaan air), dan mereka juga telah terlibat dalam kegiatan teknis WASH di rumah seperti
pembersihan toilet dan mengambil air dari sumur gali untuk toilet (FGD PWD MB). Hal ini
menunjukkan bahwa pelibatan penyandang disabilitas dalam kegiatan pemeliharaan rutin
sudah ada, namun dalam proses pengambilan keputusan masih terbatas.
dan sabun, menunjukkan kurangnya praktik kebersihan setelah menggunakan toilet. Lebih
lanjut responden mengatakan bahwa fasilitas dan kondisi WASH masih belum memenuhi
kebutuhan dan kondisi penyandang disabilitas (Tabel 3.3).
Data menunjukkan rumah tangga dengan tingkat pendapatan yang lebih tinggi akan
memiliki lebih banyak kesempatan untuk membangun toilet yang lebih inklusif bagi penyandang
disabilitas karena mereka memiliki lebih banyak sumber daya untuk melakukannya. Survei
juga menunjukkan bahwa semua karakteristik sosial-ekonomi dan variabel pengetahuan,
Tabel 3.3 Jenis disabilitas dan kondisi toilet inklusif responden survei
Karakteristik n %
Tipe disabilitas (n=129)
Buta 25 19.4
Tuli 10 7.8
Bisu 35 27.1
Fisik (Tangan atau kaki) 43 33.3
Lumpuh badan 16 12.4
sikap dan perilaku tentang sanitasi inklusif menunjukkan bahwa memiliki tangga sanitasi yang
lebih tinggi dan tingkat pengetahuan yang lebih tinggi berhubungan dengan sanitasi inklusif,
yaitu, β = 0,39 dan β = 0,25. Rumah tangga miskin seringkali mengandalkan fasilitas sanitasi
bersama (umum), sehingga penyandang disabilitas dari keluarga berpenghasilan rendah
yang menggunakan fasilitas sanitasi bersama mengalami kesulitan dalam memodifikasi toilet
agar sesuai dengan kebutuhannya.
Tabel di bawah ini menunjukkan persepsi responden survei terhadap fasilitas WASH
rumah tangga. Rata-rata responden survei berada pada posisi netral terkait kondisi fasilitas
WASH di rumah tangga yang memenuhi kebutuhan perempuan dan penyandang disabilitas.
Sementara itu, rata-rata responden penyandang disabilitas setuju bahwa fasilitas yang mereka
miliki telah memenuhi kebutuhan mereka. Responden survei juga menyadari pentingnya
memastikan bahwa semua anggota keluarga dapat menggunakan fasilitas WASH. Persepsi
mereka netral mengenai beban waktu pada kegiatan WASH.
Pertanyaan/Pernyataan n % *Skala
Sarana/prasarana WASH di rumah ini sesuai 1-5 3.1 (1.3) 1-5: 1 = Sangat Tidak Setuju,
dengan kebutuhan/kondisi perempuan, 5 = Sangat Setuju;
penyandang disabilitas, dan kelompok skala
marginal 0-1: 0 = tidak,
1 = ya;
M = rata-rata.
Kondisi sarana/prasarana WASH di rumah 0-1 0.4 (0.5)
sesuai dengan kebutuhan disabilitas (n=129)
Saya tidak dapat melakukan hal lain yang 1-5 2.9 (1.2)
saya inginkan karena waktu dihabiskan untuk
urusan WASH
“Kalau kami perempuan, kami takut dengan toilet duduk. Takutnya dari
pengguna sebelumnya ada penyakit yang bisa menular. Di Labuan Bajo,
semua toilet duduk, tidak ada jongkok…. Ya, kami hanya mengangkatnya dan
kami jongkok. Tidak menyentuh, menakutkan. Kemungkinan ada pengguna
sebelumnya yang, maaf ya.. kami takut keputihan. Jangan biarkan pantat
ini bersentuhan. ya, kloset jongkok aman, sekarang kloset duduk tidak
nyaman kecuali punya sendiri.. pribadi. Secara umum, itu menakutkan.” (FGD
kelompok ibu MB).”
“...di sekolah rasio antara murid dan kamar mandi sudah sesuai, apalagi di
SMP yang sudah menstruasi. Untuk anak perempuan, satu kamar mandi
untuk 25 siswa. Tapi untuk anak laki-laki, satu kamar mandi bisa menampung
30 sampai 35 siswa.”
(Pemerintah, Lombok Tengah, Perempuan).
Di wilayah studi, ada kesadaran untuk menyediakan akses sanitasi yang inklusif
bagi penyandang disabilitas dan perempuan di area publik. Di area umum, ada toilet
yang dipisahkan menurut jenis kelamin. Meski begitu, kami menemukan bahwa fasilitas
kebersihan menstruasi untuk perempuan seringkali tidak tersedia di toilet umum, seperti
tisu, tampon atau pembalut, dan tempat sampah khusus untuk pembalut bekas. Mengenai
persepsi kebersihan toilet umum, muncul keengganan untuk menggunakan toilet duduk.
Untuk WASH di sekolah, toilet untuk siswa laki-laki dan perempuan dipisahkan. Lebih jauh
lagi, para pejabat telah mengakui bahwa jumlah toilet untuk siswa perempuan lebih banyak
daripada siswa laki-laki.
“Saya melihat banyak hal yang di sanitasi, terutama toilet, akses ke toilet
dan juga tempat cuci tangan. Bagi yang menggunakan kursi roda, teman
tuna netra, yang paling toiletnya belum memenuhi standar…” (Organisasi
Perempuan Disabilitas, Lombok Tengah).
“Jadi, untuk mencuci tangan pengguna kursi roda, menurut pengamatan saya
sebagai surveyor, saya mengecek apakah tempat cuci tangan itu letaknya di
depan pintu masuk fasilitas umum, di depan fasilitas kesehatan atau tidak?
Mereka menyediakan (fasilitasnya, tapi tidak ada akses untuk pengguna kursi
roda dan juga penyandang tuna netra. Jadi, jika Anda memiliki disabilitas,
tempat cuci tangan agak pendek, menyesuaikan dengan kursi roda Anda.
Mereka membuatnya tinggi sehingga tidak dapat diakses oleh teman
penyandang disabilitas.”
(Organisasi Perempuan Disabilitas, Lombok Tengah).
“...dalam beberapa program yang kami buat untuk toilet, kami meminta
fasilitasi untuk teman-teman difabel ini, tetapi tidak banyak ... jadi kami sudah
mulai melakukannya ... kami juga pemerintah daerah untuk membantu
menyediakan fasilitas, terutama dalam pelayanan publik, kan.”
(Pemerintah, Lombok Tengah, Male).
“tapi biasanya di tempat umum seperti bandara sudah ada (toilet ramah
difabel), tapi saya kira tidak semua kantor dan hotel ada”
(NGO, MB, Male)
Namun toilet ramah difabel di tempat umum masih terbatas, termasuk di sekolah.
Demikian juga dengan akses ke fasilitas cuci tangan.
Namun demikian, pemerintah kabupaten telah mempertimbangkan aspek teknis toilet
inklusif seperti apa yang harus tersedia di toilet ramah penyandang cacat, misalnya pagar,
ruang gerak, dll. Misalnya, di Nusa Tenggara Barat yang telah diprioritaskan sebagai salah
satu tujuan wisata dari pemerintah pusat, pemerintah kabupaten telah memasukkan
pembangunan toilet inklusif di Kuta, Mandalika.
“Kalau di sini saya kira tidak terlalu jadi kendala, karena semua ada,
semua ada. Dalam rapat desa atau musyawarah, minimal 30% perwakilan
perempuan selalu hadir.”
(Pemerintah Desa LT, laki-laki).
jarang diundang, meskipun mereka mengatakan senang jika bisa berpartisipasi dalam
pertemuan tersebut. Sementara itu, remaja putri mengungkapkan bahwa remaja jarang
diajak dan dianggap memiliki pemahaman yang terbatas terhadap isu-isu yang dibicarakan.
Namun, partisipasi perempuan dalam pertemuan tergantung pada pedoman program/
proyek dan topik pertemuan. Hal ini menunjukkan bahwa ketika pedoman program tidak
secara jelas menyebutkan siapa yang harus dilibatkan, maka partisipasi kelompok marjinal
akan cenderung lebih rendah.
Partisipasi mereka juga tergantung pada kesadaran fasilitator program. Misalnya,
meskipun program STBM menyoroti perlunya melibatkan perempuan, lansia dan anak-anak
“…ya, sesuai dengan program yang ada, misalnya program (kebersihan) haid,
ya tidak mungkin melibatkan laki-laki, pasti perempuan dilibatkan.”
(Pemerintah, Lombok Tengah, Pria).
dalam program. Dan beberapa fasilitator tanpa kesadaran inklusi sosial yang baik, mereka
tidak akan melibatkan kelompok marjinal. Sebaliknya, ketika fasilitator memiliki kesadaran
yang baik tentang keterwakilan peserta, mereka akan mendekati kelompok marjinal secara
khusus untuk mendorong mereka berpartisipasi secara aktif.
“Tidak pernah terlibat (dalam program toilet dari Desa)… tidak pernah
(diundang dalam musyawarah Desa/Dusun), hanya mendatangi
kepala desa” (FGD PWD, Lombok Tengah, Perempuan)
“.. di pokja PKP, di forum ini ada teman-teman LSM yang peduli (terkait
isu disabilitas)” (Pemerintah, Lombok Tengah, laki-laki).
“Ya, orang tua yang kita undang kemarin. Karena apa, kadang-kadang masih
anak-anak, awalnya mereka tidak mengerti tentang acara tapi orang tua
mereka ikut dalam pertemuan-pertemuan seperti itu.” (Kepala desa 1 MB,
laki-laki)
“…Dia tidak pernah terlibat, saya tidak bisa membawanya ke desa, karena di
desa sering ada pertemuan dari Yayasan Anak Disabilitas” (FGD PWD MB)
“Ya dia (anak difabel) keluar, saya suruh dia membersihkan lingkungan di luar
rumah, kalau saya suruh dia keluar” (FGD PWD MB)
Di tingkat desa, penyandang disabilitas atau orang tua mereka hanya terlibat
dalam program bantuan yang mana mereka ditargetkan sebagai penerima bantuan
tersebut, bukan melibatkan mereka dalam perencanaan/pembahasan program.
Beberapa peserta FGD menyebutkan bahwa mereka telah diundang, namun ada juga yang
mengatakan tidak dapat berpartisipasi karena masalah mobilitas.
Tabel di bawah ini menunjukkan hasil survei tentang persepsi partisipasi perempuan
dan penyandang disabilitas dalam kegiatan WASH. Terkait dengan sikap, responden survei
merasa nyaman dan percaya diri untuk menghadiri musyawarah desa (skala 3,5 dalam 5),
dan mereka merasa netral bahwa perempuan dan penyandang disabilitas telah dilibatkan
dan diundang dalam musyawarah desa. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat keterlibatan
tertentu ada di wilayah studi, namun beberapa responden masih merasa bahwa mereka
dapat lebih terlibat. Dalam hal praktik, rata-rata responden menyatakan kurang terlibat
dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan serta evaluasi kegiatan WASH di
wilayahnya. Demikian pula, mereka juga kurang terlibat dalam urusan WASH di rumah
tangganya. Selain itu, mereka juga berharap dapat lebih terlibat dalam kegiatan WASH di
desanya.
Tabel 3.5 Sikap responden survei terkait partisipasi perempuan, penyandang disabilitas, dan kelompok
marginal dalam kegiatan terkait WASH.
Sikap
Menurut Anda, seberapa baik keterlibatan perempuan, penyandang 1-5 1-5
disabilitas, dan kelompok marginal dalam berbagai kegiatan WASH di desa
Anda?
Apakah perempuan, penyandang disabilitas, dan kelompok marginal diundang 0-1 0-1
dalam pertemuan di desa/masyarakat?
Perempuan, penyandang disabilitas, dan kelompok marginal harus dilibatkan 1-5 1-5
dalam berbagai kegiatan WASH di desa ini
Saya merasa nyaman menghadiri pertemuan desa 1-5 1-5
Saya merasa nyaman mengungkapkan pendapat saya dalam pertemuan desa 1-5 1-5
Perilaku
Seberapa terlibat Anda dalam persiapan atau PERENCANAAN kegiatan WASH 1-5 1-5
di daerah Anda?
Seberapa terlibat Anda dalam PELAKSANAAN kegiatan WASH di wilayah Anda? 1-5 1-5
Seberapa terlibat Anda dalam MONITORING dan EVALUASI kegiatan WASH di 1-5 1-5
daerah Anda?
Seberapa besar keinginan Anda untuk terlibat dalam berbagai kegiatan WASH 1-5 1-5
di daerah Anda?
Saya jarang terlibat dalam urusan WASH di rumah saya 1-5 1-5
Saya secara aktif memantau keterlibatan perempuan, difabel, terpinggirkan 1-5 1-5
dalam berbagai kegiatan WASH di wilayah ini (misalnya desa/kelurahan)
Skor komposit dari praktek menggunakan PCA dari 6 variabel 0-3.6 0-3.6
M = Rata-rata
Gambar 3.2 Toilet di Desa Durian (gambar oleh Nurlisah, LIDI Foundation)
Beberapa peserta juga mencatat bahwa mereka ingin melibatkan lebih banyak
perempuan, tetapi dana yang terbatas menghalangi tingkat partisipasi tersebut. Mereka hanya
bisa mengundang aparat desa (yang kebanyakan laki-laki). Ke depan diharapkan perempuan
dapat lebih terlibat, khususnya anggota PKK (organisasi perempuan) dan kader kesehatan
yang hampir seluruhnya perempuan. Menurut FGD perempuan, hanya perempuan yang
memiliki informasi atau data saja yang diundang dalam pertemuan, jarang yang mengundang
perempuan biasa ke pertemuan desa. Peserta FGD perempuan (Manggarai Barat) juga
mencatat bahwa dana untuk kegiatan PKK berkurang tanpa diskusi dengan mereka. PKK
cenderung memiliki kekuatan yang rendah dalam pemerintahan desa dan hanya menerima
apa yang telah diputuskan untuk mereka.
“.. sejauh yang saya tahu, komunitas (difabel) ini ada di kota. Dalam beberapa
tahun terakhir kita mengadakan musrembang, partisipasi penyandang
disabilitas kurang, mungkin karena penyandang disabilitas di desa sangat
jauh (tempat tinggalnya) dari kantor kecamatan... mereka (harus) menempuh
perjalanan yang sulit.” (Pemerintah, Manggarai Barat, Perempuan)
“karena saya tidak pernah terlibat, saya tidak bisa membawanya ke desa,
karena di desa sering ada pertemuan dari Yayasan Anak Penyandang
Disabilitas”
(FGD PWD, Manggarai Barat, Perempuan)
“Begitu, sejujurnya, manusia terlalu dominan ... Mungkin itu budaya, tetapi
saya tidak menyadari bahwa itu telah mempengaruhi pola pikir wanita itu
sendiri ... Apalagi pernikahan di sini adalah tempat wanita pergi ke rumah
suami mereka ... Pada akhirnya, sdia mengikuti lebih banyak ... Jika wanita
memasuki komunitas lain, jadi mereka harus menyesuaikan banyak hal di
sana, bahkan jika orang-orang di sana tidak menekannya.”
(Pemerintah, Manggarai Barat, Perempuan).
Lebih lanjut, lebih banyak perempuan telah memperoleh posisi yang kuat di masyarakat
dan kantor pemerintah, meskipun posisi penting tersebut masih didominasi oleh laki-laki,
yang dapat memfasilitasi partisipasi perempuan atau kelompok marjinal.
“Karena bukan hanya saya yang meminta (untuk toilet). Saya meminta
hysband saya untuk membersihkan toilet juga, bukan hanya saya sebagai
ibu. Untuk memiliki hidup sehat. Bukan hanya kamu (suami) yang bekerja,
aku juga bekerja, jadi kita perlu melakukannya bersama, bukan hanya ibu.
Bantu saya di (memelihara) toilet.”
(FGD perempuan Manggarai Barat)
“Selama ini kalau kita lihat perempuan selalu punya stigma tidak bisa
bekerja, penghasilannya rendah... Selama ini mereka hanya mengandalkan
penghasilan suami kepala keluarga, kini setelah mereka memiliki
kemampuan dan kemauan untuk berani menjadi pengusaha, dalam skala
rumah dapat membantu perekonomian keluarga..”
(Pemerintah, Lombok Tengah, Laki-laki).
“Ya, jadi mengenai itu, ... kantor desa mengambil keputusan berdasarkan
kesepakatan dengan masyarakat, tetapi tidak diambil dari kebutuhan difabel
atau tidak (tidak mendengar dari penyandang disabilitas)”
(FGD penyandang disabilitas, Manggarai Barat, Laki-laki)
Ada empat pertanyaan dalam survei kuantitatif terkait dengan hambatan atau
faktor pendukung untuk partisipasi kelompok marjinal, yaitu, perempuan dan penyandang
disabilitas: tradisi, agama, kondisi ekonomi, dan dukungan dari orang-orang. Tabel 3.6
menunjukkan bahwa tradisi dan ajaran agama bukanlah penghalang untuk berpartisipasi
dalam program WASH, yaitu, mean = 1,7 dan 1,6, masing-masing. Hal ini menunjukkan bahwa
ada beberapa peserta yang mengakui bahwa nilai-nilai agama dan budaya menempatkan
laki-laki memiliki kekuatan lebih dari perempuan, tetapi mayoritas peserta survei (perempuan
dan penyandang disabilitas) tidak melihat bahwa nilai-nilai tersebut mempengaruhi praktik
WASH dan partisipasi dalam program WASH.
Tabel 3.6 Persepsi hambatan atau faktor pendukung yang terkait dengan partisipasi perempuan, penyandang
disabilitas, dan kelompok marjinal dalam kegiatan terkait WASH.
“tidak pernah, mungkin di desa ada, tapi kami tidak pernah mendengar
tentang” (FGD penyandang disabilitas, Manggarai barat)
Di beberapa daerah, STBM juga didukung oleh organisasi perempuan desa (PKK). Di
daerah lain, seorang anggota PKK menyebutkan dalam FGD perempuan bahwa mereka tidak
dilibatkan untuk mendukung STBM mungkin karena tidak ada insentif bagi mereka, meskipun
mereka “ingin mendukung” (kelompok Perempuan FGD, Manggarai Barat).
“.. baru kemarin ketersediaan dana masih terbatas, jadi kami masih
menggunakan istilah tersebut untuk menyelamatkannya dari proposal
mereka, terutama untuk kebutuhan penyandang disabilitas.
(Tokoh Desa 1, Manggarai Barat, laki-laki)
“Saya punya satu, karena saudara-saudari lain berada dalam kelompok doa
yang berbeda dari saya, dalam kelompok saya, orang yang berbicara tentang
air minum dan kebersihan adalah pemimpin kelompok itu sendiri.”
(FGD Penyandang disabilitas Manggarai Barat)
Gambar 3.4 Toilet inklusif yang dibangun oleh penyandang disabilitas terampil di Lombok Tengah
“.. Selama lima tahun terakhir, dalam setiap kegiatan sanitasi yang dibawa
teman-teman LSM, isu gender selalu diikutsertakan. Meskipun yang
dibutuhkan untuk program air minum, kebetulan teman-teman LSM yang
datang ini lebih dominan di bidang sanitasi..”
(Pemerintah, Lombok Tengah, Laki-laki).
“Kemarin Kak, berkumpul di sini dari HI, pendidikan, dan LSM, mereka datang
ke sini tentang menstruasi dan kemudian tentang perkumpulan pemuda dan
kemajuan saat ini. Kemudian kemarin mereka mempromosikan pencucian
kembali pembalut wanita. itu lebih nyaman dan baik untuk anak-anak yang
dia katakan seperti itu.”
(FGD remaja putri, Manggarai Barat).
Seorang peserta mencatat: “.. Pada rapat desa, ada perwakilan, walaupun
kita tidak panggil semuanya, tapi ada perwakilan khusus karena mereka
(penyandang disabilitas) punya kelompok..” (Pemerintah, Lombok Tengah,
Perempuan). Yang lain menekankan: “.. dalam pokja PKP, dalam forum ini
terdapat teman-teman LSM yang peduli (terkait isu disabilitas)”
(Pemerintah, Lombok Tengah, Laki-laki)
Sisi atas diagram menunjukkan interkoneksi antara sanitasi inklusif untuk penyandang
disabilitas dan konsekuensi jangka panjang, yaitu, kondisi ekonomi, kesehatan, dan
pendidikan yang buruk. Sanitasi non-inklusif dapat mengakibatkan kondisi kesehatan
yang buruk bagi penyandang disabilitas. Semua kondisi ini memperburuk kondisi ekonomi
mereka dan kemudian dapat menyebabkan sanitasi non-inklusif di rumah. Ada beberapa
loop umpan balik juga di sana, misalnya, tidak ada sanitasi inklusif untuk kelompok marjinal
akan mengaibatkan kesehatan yang buruk lalu berdampak pada kondisi ekonomi yang buruk
yang kemudian kembali berdapmpak pada tidak adanya akses sanitasi inklusif. FGD atau
wawancara mendalam mengungkapkan bahwa beberapa responden mengalami kecelakaan
karena fasilitas sanitasi yang buruk yang kemudian membuat mereka sulit mencari pekerjaan
atau mengumpulkan penghasilan.
Bagian kanan tengah diagram menunjukkan faktor penghalang internal untuk partisipasi
kelompok marjinal dalam program sanitasi, yaitu, hambatan yang datang dari individu itu
sendiri, misalnya, pola pikir yang buruk dan merasa rendah diri. Hal ini disebabkan oleh
pendidikan yang rendah, yang merupakan konsekuensi jangka panjang dari kondisi ekonomi
dan kesehatan yang buruk karena tidak memiliki sanitasi inklusif, dan kurangnya dukungan
dari keluarga. Hambatan internal ini mengakibatkan mereka enggan untuk berpartisipasi
dalam pertemuan atau kegiatan masyarakat dan kemudian muncul ketidaktahuan orang
mengenai kebutuhan dan hak-hak kelompok marginal.
Gambar 3.5
Diagram Sebab-akibat
Diagram menunjukkan tiga penyebab utama sanitasi tidak inklusif: (1) kurangnya
dukungan keuangan dari pemerintah, (2) ketidaktahuan akan kebutuhan kelompok marjinal,
dan (3) kondisi ekonomi masyarakat yang buruk. Akar penyebab yang jelas dari dua
penyebab pertama adalah kurangnya kemauan politik untuk melibatkan kelompok marjinal
dalam program atau kegiatan sanitasi. Namun, diagram menunjukkan hubungan penting
bahwa kurangnya kemauan politik disebabkan oleh rendahnya partisipasi kelompok marjinal
dalam acara-acara masyarakat, termasuk kegiatan yang berkaitan dengan sanitasi. Selain
itu, kurangnya kemauan politik mengakibatkan pola pikir yang salah dari para pemangku
kepentingan, yaitu, berpikir bahwa kelompok marjinal adalah objek dari suatu program,
sehingga kelompok marginal tidak diundang ke pertemuan masyarakat. Akhirnya, penting
untuk menyoroti dua akar penyebab lain dalam diagram: perasaan kasihan dan kondisi sosial-
budaya yang tidak menguntungkan. Akar yang pertama mengakibatkan orang-orang enggan
mengundang kelompok marjinal, misalnya, penyandang cacat, ke pertemuan tersebut.
Budaya yang tidak menguntungkan mengakibatkan kurangnya dukungan dari lingkungan
sekitar untuk partisipasi kelompok marjinal.
Secara umum, studi ini menemukan bahwa meskipun secara budaya, laki-laki dianggap
memiliki kekuatan lebih dalam pengambilan keputusan di tingkat rumah tangga, perempuan
disadari memiliki peran penting dalam praktik air dan sanitasi. Namun, beberapa kebutuhan
terkait WASH wanita terkadang diabaikan karena kapasitas keuangan keluarga (kebutuhan
yang relevan dengan privasi dan kenyamanan toilet) atau ketidaksadaran akan pentingnya
masalah seperti manajemen kebersihan menstruasi. Dalam hal sanitasi inklusif, anggota
keluarga penyandang disabilitas biasanya memperoleh lebih sedikit dukungan untuk
mengakses toilet, kecuali jika keluarga memiliki kapasitas keuangan yang baik.
Salah satu hambatan utama untuk mencapai akses sanitasi universal adalah terbatasnya
keterlibatan kelompok marjinal dalam program sanitasi yang dapat disebabkan oleh beberapa
faktor. Hambatan untuk berpartisipasi meliputi fokus pemerintah saat ini untuk meningkatkan
akses dasar sedangkan akses dari perspektif GEDSI kurang mejadi prioritas, kader kesehatan
yang terbatas (yang mayoritas adalah perempuan) untuk mendukung program sanitasi di
tingkat desa, kurangnya peraturan daerah yang khusus mengatur hak-hak perempuan atas
sanitasi dan kurangnya kesadaran masyarakat, staf pemerintah desa dan daerah akan hak-hak
penyandang disabilitas, yang akhirnya menyebabkan keengganan pejabat pemerintah dan
pemerintah desa untuk fokus pada masalah tersebut serta terbatasnya dana yang tersedia
untuk mendukung penyediaan sanitasi bagi kelompok marjinal. Selain itu, masalah budaya
dan mentalitas perempuan dan penyandang disabilitas itu sendiri menyebabkan kurangnya
motivasi untuk berbagi suara mereka dan dengan demikian kurang didengar dalam program
sanitasi. Sementara tinggal di daerah pedesaan juga meningkatkan hambatan ini baik bagi
perempuan maupun penyandang cacat.
Namun, ada peluang di mana organisasi eksternal dapat mendukung advokasi isu
gender dan disabilitas (GEDSI) kepada pemerintah daerah dan masyarakat, dan ketersediaan
organisasi bagi penyandang disabilitas yang dapat memfasilitasi kelompok marjinal untuk
terlibat dalam pembangunan sanitasi. Saat ini, penghargaan yang diraih oleh organisasi
difabel telah menempatkan isu-isu tersebut dalam sorotan diharapkan dapat memicu lebih
banyak aksi dari kelompok marjinal lainnya serta meningkatkan dukungan dan prioritas dari
pemerintah.
Dari semua rekomendasi yang disarankan dalam bab 4, kami menganggap bahwa
penguatan kelembagaan adalah hal pertama yang harus dilakukan untuk meningkatkan
integrasi GESI dalam program STBM. Penguatan kelembagaan terdiri dari banyak aspek,
misalnya, meningkatkan kemauan dan komitmen politik, menciptakan peraturan PRO GEDSI,
meningkatkan kesadaran dan kapasitas pemangku kepentingan terkait tentang masalah
GEDSI dan memfasilitasi proses GEDSI. Dengan demikian, perlu adanya advokasi yang
kuat dan konsisten kepada seluruh pemangku kepentingan, meskipun menurut kami harus
dimulai dari tingkat tertinggi, yaitu tingkat kabupaten.
Hal lain yang harus diperhatikan adalah memastikan bahwa pelaksanaan proses
GEDSI dilakukan seperti yang diharapkan, yaitu perempuan dan kaum marjinal terlibat
dalam semua aspek STBM. Oleh karena itu, regulasi harus ditetapkan di tingkat kabupaten
dan disosialisasikan kepada semua pemangku kepentingan terkait. Peraturan menjadi dasar
hukum bagi lembaga pemerintah untuk mengalokasikan anggaran untuk kegiatan yang
berkaitan dengan integrasi GESI dalam STBM.
Referensi
• Ahmad, S., Islam, M., Zada, M., Khattak, A., Ullah, R., Han, H., Ariza-Montes, A., Araya-
Castillo, L., 2022. Pengaruh Pengambilan Keputusan terhadap Inklusi Sosial Penyandang
Disabilitas: Studi Kasus Khyber Pakhtunkhwa. Int. J. Environ. Res. Kesehatan Masyarakat
19. https://doi.org/10.3390/ijerph19020858
• Bank, L.M., Putih, S., Biran, A., Wilbur, J., Neupane, Shailes, Neupane, Saurav, Sharma,
A., Kuper, H., 2019. Apakah pendekatan saat ini untuk mengukur akses ke air bersih dan
sanitasi mencakup penyandang disabilitas? Perbandingan akses tingkat individu dan
rumah tangga antara penyandang disabilitas dan tanpa disabilitas di distrik Tanahun,
Nepal. PLoS Satu 14, 1–16. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0223557
• Bonaccio, S., Connelly, C.E., Gellatly, I.R., Jetha, A., Martin Ginis, K.A., 2020. Partisipasi
Penyandang Disabilitas di Tempat Kerja Di Seluruh Siklus Kerja: Masalah Pemberi Kerja
dan Bukti Penelitian. J. Bus. Psikol. 35, 135–158. https://doi.org/10.1007/s10869-018-
9602-5
• BPS Manggarai Barat, 2020a. Persentase Rumah Tangga menurut Penggunaan Fasilitas
Buang Air Besar (Persen), 2017-2019 [Dokumen WWW]. URL https://manggaraibaratkab.
bps.go.id/indicator/29/96/1/persentase-rumah-tangga-menurut-penggunaan-fasilitas-
buang-air-besar.html (diakses 8.3.22).
• BPS Manggarai Barat, 2020b. Persentase Rumah Tangga menurut Jenis Tempat
Pembuangan Akhir Tinja (Persen), 2015-2017 [Dokumen WWW]. URL https://
manggaraibaratkab.bps.go.id/indicator/29/99/1/persentase-rumah-tangga-menurut-
jenis-tempat-pembuangan-akhir-tinja.html (diakses 8.3.22).
• BPS Nusa Tenggara Barat, 2021. Persentase Ruta yang Memiliki Akses Terhadap
Layanan Sanitasi Layak (Persen), 2018-2020 [Dokumen WWW]. URL https://ntb.bps.go.id/
indicator/29/336/1/persentase-ruta-yang-memiliki-akses-terhadap-layanan-sanitasi-
layak.html (diakses 8.3.22).
• Cameron, L., Olivia, S., S., M., 2019. Meningkatkan sanitasi: Bukti dari RCT di Indonesia. J.
Dev. Econ. 138, 1–16. https://doi.org/10.1016/j.jdeveco.2018.12.001
• Dibley, T., Tsaputra, A., 2019. Mengubah undang-undang, mengubah sikap: tempat
penyandang disabilitas di Indonesia, dalam: Perdebatan Milik Tempat Minoritas di
Indonesia. ISEAS–Yusof Ishak Institute, Singapura, hlm. 77–94.
• Dinas Sosial, n.d. Detail jumlah penyandang disabilitas menurut kecamatan di kabupaten
lombok tengah tahun 2018 [WWW Document]. URL https://sektoral.lomboktengahkab.
go.id/detail-data-sektoral/5d706508ebd (diakses 8.3.22).
• Franklin, A., Sloper, P., 2006. Partisipasi anak-anak dan remaja penyandang cacat dalam
pengambilan keputusan dalam departemen layanan sosial: Sebuah survei tentang
kegiatan saat ini dan baru-baru ini di Inggris. Br. J. Soc. Kerja 36, 723–741. https://doi.
org/10.1093/bjsw/bch306
• Hästbacka, E., Nygård, M., Nyqvist, F., 2016. Hambatan dan fasilitator untuk partisipasi
masyarakat penyandang disabilitas: Tinjauan cakupan studi mengenai negara-negara
Eropa. Perubahan 10, 201–220. https://doi.org/10.1016/j.alter.2016.02.002
• Jurado-Caraballo, M.Á., Quintana-García, C., Rodríguez-Fernández, M., 2020. Tren dan
peluang dalam penelitian tentang disabilitas dan pekerjaan: Perspektif interdisipliner.
Bus BRQ https://doi.org/10.1177/2340944420972715.
• Kayser, G.L., Rao, N., Jose, R., Raj, A., 2019. Air, sanitasi, dan kebersihan: mengukur
kesetaraan dan pemberdayaan gender. Sapi. Organ Kesehatan Dunia. 97. https://doi.
org/10.2471/BLT.18.223305
• Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Memantau data. Diterbitkan 2022. Diakses
pada 31 Agustus 2022. http://monev.stbm.kemkes.go.id/monev/
Referensi
• Pinilla-Roncancio, M., 2015. Disabilitas dan kemiskinan: Dua kondisi terkait. Tinjauan
literatur. Pdt. Fac. Med. 63, S113–S123. https://doi.org/10.15446/revfacmed.
v63n3sup.50132
• POKJA AMPL-BM Provinsi NTB, 2020. Roadmap BASNO Menuju Sanitasi Aman Nusa
Tenggara Barat 2020-2023. Mataram.
• Rohwerder, B., 2018. Stigma disabilitas di negara berkembang, K4D Helpdesk Report.
Brighton, Inggris.
• Sharma, N., Pratap Yadav, V., Sharma, A., 2021. Sikap dan empati remaja terhadap
penyandang disabilitas fisik. Heliyon 7. https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2021.e07852
• Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur, n.d. Jumlah Penyandang Masalah
Kesejateraan Sosial (PMKS) (Jiwa), 2017 [Dokumen WWW]. URL https://ntt.bps.go.id/
indicator/27/586/1/jumlah-penyandang-masalah-kesejateraan-sosial-pmks-.html
(diakses 8.3.22).
• WHO, UNICEF, 2021. Kemajuan air minum, sanitasi, dan kebersihan rumah tangga
2000-2020: lima tahun ke dalam SDGs. Jt. Pasokan Air, Sanitasi. Monit. Rencana.
• Wibowo, S.B., Muin, J.A., 2018. Pendidikan Inklusif di Indonesia: Pemerataan Akses
Pendidikan bagi Difabel. KnE Soc. Sci. 3, 484. https://doi.org/10.18502/kss.v3i5.2351
Yayasan Dian Desa (NTT) Metodologi dan rencana pengumpulan data, diskusi
Prinsip kerja YDD adalah menyebarkan teknologi tinjauan sejawat / ahli
tepat guna untuk memberikan solusi berkelanjutan Kontak person: Cristina Aristanti (Christina.Aristanti@
bagi pembangunan di seluruh Indonesia. Sebagai gmail.com),
katalisator, YDD memperkenalkan ide-ide baru Septiyah Widyaningsih (septiyahwidyaningsih@gmail.
kepada masyarakat yang disempurnakan, dipelihara, com)
dan disebarluaskan oleh penduduk desa itu sendiri.
Lampiran B. Dokumentasi
Pengumpulan Data di Lombok Tengah, Juli 2022
1 Nama narasumber/responden
9 Siapa yang membuat keputusan di rumah mengenai pengeluaran keuangan yang berkaitan
dengan air, kebersihan, dan sanitasi?
B - Kondisi WASH
3 Apakah air selalu tersedia atau tersedia 24 jam (tidak mati dan hidup)?
4 Berapa lama waktu yang dibutuhkan (menit) untuk mengambil air dari sumber air utama, mengan-
tri, mengisi wadah dan kembali (perjalanan dan pengembalian)?
5 Di mana Anda biasanya buang air besar?
B - Kondisi WASH
6 Jika Anda buang air besar di toilet (apakah itu milik Anda sendiri atau tidak), jenis toilet apa itu?
7 Jika Anda buang air besar di toilet (apakah itu milik Anda sendiri atau bukan), di mana limbah dib-
uang?
8 Siapa yang mengurus hal-hal yang paling berhubungan dengan WASH di rumah (seperti mengam-
bil air)?
9 Apakah ada penyandang disabilitas di rumah ini?
C - Pengetahuan
3 Perempuan dan anak-anak adalah kelompok rentan jika fasilitas WASH yang memadai tidak dise-
diakan untuk mereka
4 Urusan kebersihan dan sanitasi adalah urusan perempuan sajav
6 Tahukah Anda bahwa septic tank harus disedot setidaknya setiap 5 tahun sekali
D - Sikap
1 Menurut Anda, seberapa baik perempuan, penyandang disabilitas, dan kelompok marjinal terlibat
dalam berbagai kegiatan WASH di daerah Anda?
2 Tradisi/adat istiadat di daerah saya menjadi salah satu kendala keterlibatan perempuan, penyan-
dang disabilitas, dan kelompok marjinal dalam berbagai kegiatan WASH
3 Ajaran agama menjadi kendala keterlibatan perempuan, penyandang disabilitas, dan kelompok
marjinal dalam berbagai kegiatan WASH
4 Kondisi ekonomi adalah salah satu penghalang bagi keterlibatan saya dalam berbagai kegiatan
WASH
5 Sarana/prasarana di daerah ini sesuai dengan kebutuhan/kondisi perempuan, penyandang
disabilitas, dan kelompok marjinal
6 Apabila terdapat penyandang disabilitas di rumah, kondisi/kondisi sarana/prasarana WASH di
rumah sudah sesuai dengan kebutuhan penyandang disabilitas
7 Jika ada perempuan dan anak-anak di dalam rumah, kondisi/kondisi sarana/prasarana WASH di
rumah saya sudah sesuai dengan kebutuhan dan aman bagi perempuan dan anak-anak
D - Sikap
8 Jika tidak ada toilet atau fasilitas WASH di rumah, saya merasa tidak nyaman menggunakan/
mengakses fasilitas WASH di luar rumah saya (seperti toilet umum, keran atau sumur komunal,
dll.).
9 Harus ada pembagian peran yang seimbang antara laki-laki dan perempuan dalam masalah air
dan sanitasi di rumah
10 Saya tidak dapat melakukan hal-hal lain yang saya inginkan karena waktu dihabiskan untuk hal-hal
yang berhubungan dengan WASH
11 Saya ingin waktu saya untuk bisnis tentang WASH berkurang sehingga saya dapat melakukan hal-
hal lain
12 Apakah perempuan, penyandang disabilitas, dan kelompok marjinal diundang ke pertemuan di
desa/masyarakat?
13 Jika diundang, apakah pendapat perempuan, penyandang disabilitas, dan kelompok marjinal
didengar/dihormati?
E - Kondisi ekonomi
5 Apakah salah satu dari barang-barang ini dimiliki oleh anggota keluarga Anda yang tinggal di
rumah ini (dan juga tidak rusak)?
F - Berlatih
1 Seberapa terlibat Anda dalam persiapan atau perencanaan kegiatan WASH di daerah Anda?
3 Seberapa terlibat Anda dalam memantau dan mengevaluasi aktivitas WASH di daerah Anda?
4 Seberapa besar Anda ingin terlibat dalam berbagai kegiatan WASH di daerah Anda?
5 Menurut Anda, kegiatan mana yang memerlukan keterlibatan Anda (perempuan, penyandang
disabilitas, dan kelompok marjinal) dalam kegiatan WASH?
6 Dari beberapa kegiatan yang Anda sebutkan, kegiatan mana yang paling membutuhkan
keterlibatan perempuan, penyandang disabilitas, dan kelompok marjinal?
7 Saya jarang terlibat dalam hal-hal yang berhubungan dengan WASH di rumah
saya
8 Pria suka mengurus hal-hal yang berhubungan dengan WASH di rumah
G - Lainnya
2 Saya telah dilecehkan (secara fisik, mental, seksual) karena hal-hal yang berkaitan dengan
WASH
3 Saya telah mengorbankan kegiatan penting untuk hal-hal yang berhubungan dengan
WASH
4 Kadang-kadang saya sakit atau tidak tersedia, pria mengurus hal-hal yang berhubungan
dengan WASH di rumah
5 kira-kira, berapa lama Anda berbicara dengan tetangga Anda tentang kehidupan Anda
dalam satu hari? (dalam jam)
6 Seberapa sering Anda berbicara dengan tetangga Anda tentang air, kebersihan, dan
sanitasi?
7 Seberapa sering Anda menonton TV dalam sehari?
8 Seberapa sering Anda membuka media sosial dalam sehari (misalnya
facebook, IG, tiktok, dll)?
9 Ambil lokasi GPS rumah
10 Tuliskan jika ada catatan tentang responden ini
1. Apakah Anda memiliki akses ke toilet dan fasilitas cuci yang dapat digunakan
dengan mudah? Apa saja contoh di rumah Anda?
a. a. Siapa yang lebih sering menggunakan fasilitas sanitasi (WC, fasilitas cuci
tangan, air, fasilitas kebersihan lainnya) di rumah? Responden diberikan
beberapa foto (foto toilet, wastafel, air, dan fasilitas kebersihan lainnya) serta
kartu pria dan wanita. Responden diminta untuk meletakkan foto dan kartu
sesuai urutan frekuensi di keluarga mereka.
b. Siapa yang lebih mudah menggunakan fasilitas sanitasi ini?
3. Apakah toilet sesuai dengan kebutuhan Anda sebagai seorang wanita? Mengapa?
Apakah ada yang perlu disesuaikan?
a. Menurut Anda, toilet seperti apa yang dibutuhkan oleh wanita dalam rumah
tangga? Apakah fasilitas tersebut sudah terpenuhi? (lokasi, pintu, lantai,
penerangan, kebutuhan mencuci selama menstruasi dll.)
b. Pernahkah Anda mendiskusikan kebutuhan ini dengan keluarga Anda?
4. Apakah toilet Anda memiliki area cuci tangan? Apakah itu memenuhi kebutuhan
Anda akan kebersihan?
a. Apakah mudah mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar di
rumah? Mengapa?
b. Apakah Anda masih selalu mencuci tangan dengan sabun setelah
menggunakan toilet? Jika tidak, mengapa?
c. Bagaimana dengan ketersediaan sabun di rumah (yang selama ini menjaga
sabun tetap tersedia?
6. Menurut Anda, siapa yang kesulitan menggunakan toilet dan mencuci tangan di
keluarga Anda?
a. Menyelidiki: (Wanita pada tahap akhir kehamilan mereka, orang tua, Orang
dengan cacat fisik, Anak-anak)
7. Menurut Anda apa manfaat bagi setiap orang dalam rumah tangga Anda?
menggunakan toilet?
a. Probing: Meningkatkan kesehatan, kebersihan dan kualitas hidup semua
orang, Menjaga rasa martabat, keamanan dan privasi orang, Meningkatkan
kesehatan dan kebersihan orang yang harus merawat anak-anak, orang tua
dan orang-orang cacat di tangga rumah, Meningkatkan kemandirian orang
tua dan penyandang cacat jika mereka dapat menggunakan toilet mereka
sendiri dan karenanya mengurangi waktu sehari-hari dan beban fisik bagi
pengasuh, Memberi pengasuh utama lebih banyak waktu untuk terlibat
dalam kegiatan produktif lainnya untuk keluarga
Jenis Kegiatan Beban kerja yang dilakukan oleh Beban kerja yang dilakukan oleh
anggota keluarga laki-laki (%) anggota keluarga perempuan (%)
Memperbaiki fasilitas sanitasi Misalnya Misalnya
(memperbaiki keran, selang, em-
ber, jamban, pancuran, dll.) 60% 40%
2. Apa saja target program ini? Apakah menurut Anda ada aspek lain yang juga
perlu dimasukkan dalam program sanitasi? Mengapa?
a. Probing: Fasilitas toilet, fasilitas cuci tangan, ketersediaan air, akses untuk
semua
3. Seberapa pentingkah keberadaan program sanitasi ini bagi Anda? Mengapa?
Seberapa penting program ini bagi desa Anda?
4. Bagaimana perempuan terlibat dalam program sanitasi? Dapatkah Anda
menyebutkan kegiatan apa dalam program sanitasi yang dilakukan pada waktu
itu?
Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia 46
Lampiran
Pocket voting: Siapa saja yang terlibat dalam STBM di masyarakat? Pria atau wanita?
Mintalah masyarakat untuk memilih dengan kelereng/tongkat yang telah
disediakan. Namun, dalam kegiatan ini, alat pemungutan suara diberi warna yang
berbeda, untuk menyatakan peran perempuan dan laki-laki.
5. Menurut Anda, apakah perempuan dan laki-laki memiliki jumlah kekuasaan yang
sama dalam proses pengambilan keputusan dalam program sanitasi? Sequence
game: siapa yang harus membuat keputusan dalam STBM di masyarakat?
Pria atau wanita? Pernyataan memiliki peran pengambilan keputusan dan
kepemimpinan dalam masyarakat, seperti: diskusi pembuat keputusan
dan pemimpin rapat
a. Apakah menurut Anda perempuan bisa menjadi pemimpin dalam
pengambilan keputusan terkait STBM di masyarakat?
b. Apakah saat ini dirasakan bahwa perempuan sudah memiliki peran/
dapat mengambil keputusan yang diperhitungkan dalam kegiatan STBM di
masyarakat? Jika demikian, apakah ada yang perlu diperbaiki? Jika tidak, apa
yang perlu diubah agar peran perempuan bisa ditingkatkan?
c. Faktor-faktor apa yang menghambat partisipasi perempuan dalam
pengambilan keputusan terkait penyediaan fasilitas sanitasi ramah
perempuan di masyarakat?
6. Menurut Anda, bagaimana seharusnya partisipasi perempuan dan laki-laki
dalam masyarakat dalam penyediaan fasilitas sanitasi? Apakah menurut Anda
peran yang Anda mainkan sekarang adil? Atau ada sesuatu yang perlu diperbaiki?
Bagaimana?
Kakek ............%
Nenek ............%
Ayah ............%
Ibu ............%
Anak laki-laki ............%
Anak perempuan ............%
Cucu- laki-laki ............%
Cucu ............%
1. Dapatkah Anda memberi tahu kami bagaimana situasi sanitasi sebelum program
sanitasi diterapkan di desa Anda?
a. Bagaimana penggunaan toilet berkembang sejak program sanitasi?
b. Apa pendapat Anda saat ini tentang buang air besar sembarangan?
c. Bagaimana perasaan Anda ketika Anda didorong untuk membangun toilet?
2. Bagaimana perasaan Anda ketika desa Anda dinyatakan ODF? Apakah itu penting
bagi Anda?
a. Apakah menurut Anda saat ini di desa Anda benar-benar tidak ada orang
yang buang air besar? Berapa banyak orang di desa Anda yang Anda yakini
menggunakan jamban? Suara Saku! Mengapa?
b. Bagaimana dengan anak-anak? Penyandang cacat? orang tua? Lokasi rumah?
c. Apakah Anda berpikir bahwa semua orang di desa Anda mencuci tangan
mereka dengan sabun setelah buang air besar? Suara Saku! Mengapa?
3. Apakah ada kegiatan terkait sanitasi lain yang dilakukan di desa Anda setelah
desa Anda dinyatakan ODF? Kegiatan apa, oleh siapa dan bagaimana?
4. Salah satu alasan pemerintah menerapkan STBM adalah untuk melindungi anak-
a. Apakah pemerintah melakukan sesuatu tentang hal itu?
anak dari risiko sakit hingga kematian, terutama akibat diare. Setelah program ini
dilaksanakan, apakah ada yang merasakan adanya perubahan, terutama pada
frekuensi anak sakit/meninggal?
5. Apakah fasilitas sanitasi yang saat ini dibangun sesuai dengan kebutuhan/
kebutuhan perempuan?
Persetujuan
Terima kasih telah bersedia berpartisipasi. Kami sangat senang dan tertarik untuk menden-
gar pendapat berharga dari Anda mengenai total program sanitasi berbasis masyarakat
(STBM) dan akses ke sanitasi dan air bersih.
• Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi tentang strategi
untuk memahami bagaimana mempraktikkan sanitasi, dalam hal ini bagaimana
partisipasi teman-teman penyandang disabilitas dalam pelayanan sanitasi
khususnya di Provinsi NTB dan NTT. Lalu bagaimana akses selama ini yang
dirasakan teman-teman. Selain itu, kami juga ingin mengetahui kendala dan
peluang apa saja yang dapat kami manfaatkan agar keikutsertaan kelompok
difabel ini dapat terlibat aktif dalam STBM, sehingga dari informasi Anda, kami
dapat merumuskan rekomendasi untuk meningkatkan integrasi GESI (termasuk
perempuan dan perempuan serta penyandang disabilitas). ) di STBM.
• Informasi yang Anda berikan sangat rahasia dengan nama Anda dan tidak akan
dikaitkan dengan apa pun yang Anda sampaikan dalam diskusi ini.
• Kami akan merekam diskusi ini, sehingga kami dapat menangkap dengan benar
ide, pendapat, dan pemikiran yang kami dengar dari kelompok ini. Rekaman
akan dihapus segera setelah proses transkripsi selesai.
• Anda memiliki hak untuk menolak menjawab pertanyaan apa pun dan memilih
untuk tidak berpartisipasi dalam penelitian ini.
• Kami menyadari betapa penting dan rahasianya informasi yang Anda berikan,
kami mengingatkan setiap peserta untuk saling menghormati dan menjaga
kerahasiaan informasi yang disampaikan.
• Jika Anda memiliki pertanyaan sekarang atau nanti setelah diskusi, saya dapat
49 Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia
Lampiran
segera dihubungi atau silakan hubungi anggota penelitian lain yang nama dan
nomor teleponnya tercantum pada formulir informasi penelitian.
• Harap tanda tangani persetujuan untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.
Perkenalan
1. Selamat datang!
Perkenalkan diri Anda dan risalahnya, dengan cepat bagikan lembar tanda tangan
persetujuan dan demografi peserta FGD saat Anda memperkenalkan diskusi.
Ulasan:
4. Apakah toilet Anda memiliki area cuci tangan? Apakah itu memenuhi kebutuhan
a. Bagaimana sebelumnya? Apakah ada yang perlu disesuaikan?
b. Jika melihat kebutuhan khusus Anda, hal-hal apa yang perlu berbeda dari
fasilitas sanitasi ‘biasa’?
c. Siapa yang terlibat dalam diskusi tentang kebutuhan Anda saat itu?
Anda?
5. Apakah toilet dan fasilitas cuci tangan masih digunakan?
a. Apakah mudah mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar di
rumah? Mengapa?
b. Apakah Anda masih selalu mencuci tangan dengan sabun setelah
menggunakan toilet? Jika tidak, mengapa?
c. Bagaimana dengan ketersediaan sabun di rumah (siapa yang selama ini
menjaga sabun tetap tersedia?)
5. Menurut Anda, apa yang menghalangi Anda atau rekan kerja penyandang cacat
lainnya untuk terlibat dalam program sanitasi?
6. Apakah Anda pikir Anda memiliki jumlah kekuatan yang sama dalam proses
pengambilan keputusan seperti orang lain dalam program ini? mengantongi hak
suara dalam pengambilan keputusan
7. Jika Anda terlibat dalam program sanitasi, dapatkah keterlibatan Anda mengubah
perlakuan penyandang disabilitas menjadi memiliki toilet dan menggunakan
toilet dengan mudah? (Dapatkah penyandang disabilitas memimpin perubahan
yang mudah bagi kelompok penyandang disabilitas dalam program sanitasi?)
8. Menurut Anda, kegiatan apa dalam program sanitasi yang paling Anda nikmati
dan ingat? Mengapa? Kegiatan apa yang tidak Anda sukai? Mengapa?
9. Menurut Anda, bagaimana cara meningkatkan keterlibatan dan manfaat
penyandang disabilitas dalam program sanitasi?
2. Bagaimana perasaan Anda ketika desa Anda dinyatakan ODF? Apakah itu penting
bagi Anda?
a. Apakah menurut Anda saat ini di desa Anda benar-benar tidak ada orang
yang buang air besar? Berapa banyak orang di desa Anda yang Anda yakini
menggunakan jamban? Suara Saku! Mengapa?
b. Bagaimana dengan anak-anak? Penyandang cacat? orang tua? Lokasi rumah?
c. Apakah Anda berpikir bahwa semua orang di desa Anda mencuci tangan
mereka dengan sabun setelah buang air besar? Suara Saku! Mengapa?
3. Apakah ada kegiatan terkait sanitasi lain yang dilakukan di desa Anda setelah
desa Anda dinyatakan Bebas Buang Air Besar Sembarangan (ODF)? Kegiatan apa,
oleh siapa dan bagaimana?
4. Salah satu alasan pemerintah menerapkan STBM adalah untuk melindungi anak-
anak dari risiko sakit hingga kematian, terutama akibat diare. Setelah program ini
dilaksanakan, apakah ada yang merasakan adanya perubahan, terutama pada
frekuensi anak sakit/meninggal?
53 Sanitasi Berkelanjutan untuk Kelompok Marginal di Kawasan Timur Indonesia
Lampiran
Penutupan
1. Apakah Anda memiliki pertanyaan untuk ditanyakan?
2. Apakah ada informasi lain yang ingin Anda ungkapkan?
Diskusi kami selesai, terima kasih banyak telah berkontribusi dan berbagi pemikiran dan
pendapat Anda dengan kami. Kami memiliki lembar evaluasi singkat yang dapat Anda isi jika
Anda bersedia dan punya waktu. Jika masih ada informasi tambahan yang belum tersampaikan
selama diskusi, silakan tuliskan pada lembar evaluasi yang telah kami distribusikan.
Demografi Informan
Nama:
Pekerjaan/ Kedudukan :
Sudah berapa lama Anda berada di posisi itu?
1. Dapatkah Anda memberi tahu kami tentang program sanitasi apa yang telah
dilaksanakan di desa/wilayah ini?
a. Seperti apa dan siapa yang melaksanakan program tersebut?
2. ApaApa target dari program ini? Apakah menurut Anda ada aspek lain yang
juga harus dimasukkan dalam program sanitasi? Mengapa?
a. Probing: Fasilitas toilet, fasilitas cuci tangan, ketersediaan air,
b. Bagaimana dengan akses untuk semua, terutama bagi kelompok marjinal?
c. Bagaimana dengan kebersihan menstruasi?
3. Seberapa penting keberadaan program sanitasi ini bagi desa/daerah ini? Apa?
4. Kegiatan apa yang dilakukan dalam program sanitasi? Bagaimana pihak-pihak
yang terlibat dalam program ini? 5. Menurut Anda, apa yang menghalangi
penyandang disabilitas untuk berpartisipasi dalam program sanitasi?
5. Menurut Anda, apa yang menghalangi penyandang disabilitas untuk
berpartisipasi dalam program sanitasi?
a. Siapa dari komunitas yang terlibat dalam setiap tahap kegiatan? Kelompok
mana yang memiliki keterlibatan lebih dari kelompok lain dalam masyarakat?
Mengapa?
b. Bagaimana bentuk keterlibatan masing-masing kelompok masyarakat?
c. Apakah Anda puas dengan tingkat keterlibatan semua kelompok masyarakat
ini? Mengapa? Kelompok mana yang menurut Anda masih perlu meningkatkan
tingkat partisipasi?
d. Menurut Anda, apa yang telah dilakukan dalam kegiatan ini untuk mengurangi
ketimpangan penyandang disabilitas, bagi perempuan dan kelompok marjinal
lainnya? Apakah itu cukup berhasil menurut Anda? Mengapa?
e. Dalam pandangan Anda, apakah kegiatan program sanitasi sudah inklusif dan
responsif terhadap kebutuhan penyandang disabilitas? Bagaimana dengan
kebutuhan kelompok perempuan?
f. Menurut Anda, kapan dan mengapa isu gender dan disabilitas perlu disorot
dan tahapan program sanitasi? Apakah itu akan membuat perbedaan bagi
desa / daerah Anda?
g. Menurut Anda, siapa di desa/daerah Anda yang tidak mendapatkan manfaat
dari program sanitasi yang sudah berjalan? Mengapa?
h. Menurut Anda, kegiatan mana dalam program sanitasi yang paling baik
merangkul keterlibatan kelompok marjinal? Mengapa?
i. Kegiatan apa dalam program sanitasi yang kurang berhasil dalam melibatkan
kelompok marjinal di masyarakat menurut Anda? Mengapa?
anak dari risiko sakit hingga kematian, terutama akibat diare. Setelah program
ini dilaksanakan, apakah ada penurunan morbiditas, terutama terkait diare pada
anak?
4. Apakah ada kegiatan terkait sanitasi lain yang dilakukan di desa/daerah ini setelah
desa Anda dinyatakan Open Defecation Free (ODF)? Kegiatan apa, oleh siapa
dan bagaimana? Apa tujuannya? Apakah ada antisipasi agar orang tidak kembali
dengan OD?
5. Bagaimana dengan perawatan septic tank? atau perbaikan toilet? Seperti apa
yang telah dilakukan sejauh ini?
7. Apa dukungan lain yang sedang diupayakan untuk memastikan akses sanitasi
yang berkelanjutan bagi kelompok marjinal di desa/wilayah ini?
8. Apakah ada risiko untuk mengakses sanitasi dalam situasi darurat atau bencana?
Penutupan
Didanai oleh:
Institute of Development Studies
United Kingdom