Anda di halaman 1dari 2

Nama : Nurmala Hanum NIM : 09//281296/KU/13148

Invisible Barriers Artikel Invisible Barriers yang ditulis oleh B.J.Lee ini secara garis besar menceritakan tentang patriotisme warga Korea Selatan yang ditunjukkan dengan keengganan mereka membeli produk-produk luar negeri, khususnya mobil. Korea Selatan mengekspor 1,5 juta mobil ke negara lain dan mengimpor 4400 mobil dari negara lain. Sungguh statistik yang mencerminkan nasionalisme ekonomi negara tersebut. Pola pikir dan budaya masyarakat ini sudah dibangun sejak kejayaan Korea Selatan pada Perang Dunia II, tepatnya melalui sebuah pidato dari Sang Presiden waktu itu, Park Chung Hee, pada awal tahun 60-an. Pidato ini membuat jiwa patriotisme rakyat Korea Selatan tergugah. Rasa nasionalisme dan kebanggaan pada negerinya menjadikan masyarakat menganggap membeli barang import adalah penghianat. Sungguh cap yang sangat menghinakan bagi seorang warga negara. Bahkan pemakai beberapa barang import, seperti rokok, mendapat hukuman penjara. Orang-orang yang berpergian ke luar negeri dan pengguna barang-barang import diperiksa karena dicurigai telah berlaku curang dalam pembayaran pajak. Selama krisis keuangan Asia saja (1997), banyak pejabat menganggap turunnya mata uang Korea adalah akibat dari pembelian barang-barang import. Hal ini tentu saja menimbulkan kemarahan masyarakat dan semakin menumbuhkan sikap anti terhadap barang buatan luar negeri. Pola pikir dan budaya masyarakat tersebut telah menjadi penghalang/rintangan tidak terlihat (Invisible Barriers) yang sulit ditembus oleh para importir, karena menjadi mekanisme yang berjalan dengan sendirinya di dalam masyarakat. Hal tersebut tetap kuat bertahan hingga saat ini karena keberhasilan penanaman ideologi dari pemerintah, baik secara positif maupun negatif tentang nasionalisme dan patriotisme. Semangat nasionalisme dan patriotisme tersebut telah menjadikan Korea Selatan negeri yang mandiri yang tidak banyak bergantung kepada luar negeri. Kondisi ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan Indonesia. Semangat nasionalisme dan patriotisme berangsur-angsur luntur seiring dengan perkembangan jaman dan arus globalisasi. Produk-produk dari luar negeri membanjiri pasaran, menjadi lambang prestige (harga diri) bagi sebagian besar masyarakat. Tidak adanya penjajahan secara nyata menyebabkan semangat tersebut hanya dipelajari dalam pelajaran sejarah di sekolah tanpa diterapkan dalam kehidupan. Menurut saya, Indonesia saat ini memerlukan sosok pemimpin seperti Park Chung Hee yang (meskipun) dengan kediktatorannya saat itu mampu membangkitkan rasa patriotisme rakyatnya. Pemimpin yang berani dan tegas dalam memberantas akar dari korupsi. Pemimpin yang visioner dan memiliki landasan visi wawasan nusantara yang lebih dari sekedar patriotisme. Korea Selatan saat itu berhasil membangun peradaban industri maju akibat patriotisme. Mengapa Indonesia saat ini tidak mencontoh hal itu? Akankah bangsa ini hanya akan menjadi ladang konsumen yang akan dituai oleh bangsa lain? Ataukah bangsa ini masih tega, rakyatnya menjadi bulan-bulanan para majikan yang tidak memiliki adab di negara lain itu? Susah mengais rejeki di negeri sendiri dan menjadi budak di negara lain.

Rasa bangga dan cinta tanah air yang terus dipertahankan oleh masyarakat Korea patut kita tiru. Semangat nasionalisme dan patriotisme dapat dipupuk mulai dari hal-hal kecil, seperti tidak malu membeli produk buatan dalam negeri, menyaring kebudayaan luar yang masuk, bahkan mendukung tim nasional dalam pertandingan sepak bola melawan negeri lain adalah salah satu bentuk patriotisme yang perlu dikembangkan. Sebagai bagian dari negeri ini, kita harus bangga dan cinta tanah air kita apa adanya dengan menerima setiap kelebihan dan kekurangannya.

Anda mungkin juga menyukai