Anda di halaman 1dari 20

PROPOSAL PENELITIAN

PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN TAPAH (Wallagonia


leerii) DENGAN PENDEKATAN BIOLOGI REPRODUKSI,
KERAGAMAN MORFOMETRIK DAN GENETIK DI PERAIRAN
TAMAN NASIONAL SEBANGAU KALIMANTAN TENGAH

NURASIAH RIZA
C251180081

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
1. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Taman Nasional Sebangau (TNS) terletak pada 1°54’ – 3°08’ LS dan 113°20ʹ
– 114°03ʹ BT dengan luas 568.700 hektar yang merupakan gabungan dari hutan
produksi seluas ± 510.250 Ha dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas ±
58.450 Ha. Kawasan ini terletak diantara sungai Sebangau dan sungai Katingan dan
berada pada 3 (tiga) wilayah Kabupaten/Kota, yaitu Kota Palangka Raya, Kabupaten
Katingan, dan Kabupaten Pulang Pisau Provinsi Kalimantan Tengah (Balai Taman
Nasional Sebangau 2013). TNS memiliki ekosistem gambut terluas di Indonesia yang
memiliki berbagai keanekaragaman jenis flora dan fauna (Mustari et al. 2010).
Menurut Pusat Penelitian Biologi LIPI (2006), TNS memiliki
kenaekaragaman 20 jenis flora yang unik/khas. Keanekaragaman spesies fauna
dikawasan ini juga bersifat endemik dan unik. Tercatat, di kawasan TNS dapat
dijumpai 35 jenis mamalia dan 13 diantaranya telah diidentifikasikan sebagai satwa
dengan kategori mendekati kepunahan. Selain itu, TNS juga merupakan habitat bagi
sekitar 12 jenis ikan yakni Gabus, Bapuyu, Kakapar, Sambaling, Karandang, Saluang,
Baung, Nila, Tauman, Kuhing, Peang dan Tapah (Balai Taman Nasional Sebangau
2013).
Ikan Tapah (Wallagonia leerii) termasuk dalam kelompok Siluridae yang
memiliki morfologi berupa warna tubuh agak hitam gelap, sirip dada berwarna hitam
dan sudut mulut mencapai bagian depan mata (Kottelat et al 1993). Ikan ini tergolong
dalam kelompok ikan karnivora dan merupakan ikan nokturnal yang aktif pada
malam hari dan masih tergolong hidup secara liar di alam bebas dan tersebar di
beberapa negara seperti Thailand, Semenanjung Malaysia, Sumatera dan Kalimantan
(Peter 1992). Berdasarkan data Fish Base (https://www.fishbase.de/), ikan tapah (W.
leerii) tergolong pada status not evaluated yang memiliki artian suatu spesies belum
dievaluasi.
Ikan tapah merupakan salah satu jenis ikan ekonomis penting yang sangat
digemari oleh masyarakat karena memiliki ukuran yang besar mencapai panjang 1,5
m dan berat 35 kg (Yurisman et al 2010). Sebagai salah satu target utama
penangkapan, eksploitasi yang berebihan terhadap ikan ini dapat menyebabkan
penurunan populasinya di kawasan TNS (WWF Indonesia 2018). Hal ini tentu dapat
mengancam kelestarian ikan tapah yang selama ini penyediaan nya masih bergantung
pada alam. Di sisi lain, adanya kekhawatiran akan meningkatnya tekanan ekologis
seperti kanal di sungai Sebangau dapat mengganggu proses hidrologis sehingga
berdampak pada terganggunya kehidupan ikan tapah di alam. Untuk itu, diperlukan
suatu upaya yang pengelolaan perikanan tapah tepat agar dapat menjamin
keberlanjutan dan kelestarian sumberdaya ikan ini.
Salah satu upaya untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan ikan tapah
yaitu melalui pengelolaan dan konservasi ikan tersebut. Upaya pengelolaan dan
konservasi memerlukan informasi ilmiah sebagai dasar pertimbangan pengelolaan
yang meliputi identitas spesies, informasi biologi reproduksi dan karakteristik
morfologi dan genetic.
Penentuan jenis dan identitas spesies yang tepat sangat penting dilakukan
sebagai langkah awal dalam upaya konservasi. Secara konvensional, identifikasi
spesies ikan tapah masih berdasarkan karakter morfologi. Ikan tapah lama dikenal
termasuk pada genus Wallago. Namun, Roberts (2014) telah melakukan revisi terkait
genus spesies ini berdasarkan karakter eksternal dan osteologi yang termasuk pada
genus Wallagonia. Roberts (2014) menggunakan karakter jari-jari penyokong tutup
insang (Branchiostegal rays), jumlah tapis insang pada lengkung insang pertama,
rumus sirip anus, ukuran rahang atas dan rahang bawah untuk identifikasi genus
Wallagonia. Dua spesies lain yang termasuk genus Wallagonia yaitu Wallagonia
macculatus Inger dan Chin 1959 yang diketahui terdapat di timur laut Borneo serta
Wallagonia micropogon Ng 2004 dari lembah Sungai Mekong dan Chao Praya,
diduga kuat merupakan sinonim dari W.leerii. Identifikasi spesies dengan karakter
morfologis cenderung bias pada kasus spesies yang sangat mirip karena bagian dari
spesies kerabat (cryptic spesies) dan terdapatnya variasi morfologis pada tingkat
intraspesies (Persis et al. 2009).
Identifikasi secara molekuler diperlukan untuk akurasi spesies melalui
keragaman nukleotida yang ditampilkan. DNA mitokondria merupakan salah satu
marka molekular yang banyak digunakan sebagai DNA barcoding. Bagian dari
mtDNA yang sering digunakan untuk studi identifikasi populasi dan spesies adalah
Cytochrome oxydase subunit I (COI). Gen ini mempunyai sifat-sifat yang memenuhi
persyaratan untuk digunakan dalam menentukan identitas sebuah spesies untuk
hamper semua binatang tingkat tinggi, panjang seluruh gen ini relatif pendek dan
relatif stabil tidak mengalami perubahan bila dibandingkan dengan gen-gen
mitokondria yang sejenis, serta variabillitas nya yang rendah (Ubaidillah dan
Sutrismo 2009).
Reproduksi merupakan aspek yang penting dalam pengelolaan suatu
sumberdaya perairan. Keberhasilan suatu spesies ikan dalam daur hidupnya
ditentukan dari kemampuan anggotanya untuk bereproduksi di lingkungan yang
berfluktuasi dan menjaga keberadaan populasinya (Moyle & Cech 2004). Beberapa
aspek biologi reproduksi antara lain nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad,
indeks kematangan gonad, fekunditas dan diameter telur. Informasi biologi
reproduksi ini dapat digunakan untuk menjamin keberadaan dan ketersediaan spesies
ikan yang juga merupakan dasar konservasi ikan termasuk ekosistem, jenis dan
genetik (PP. RI No. 60/ 2007).
Informasi terkait biologi reproduksi ikan tapah di Indonesia masih sangat
terbatas yaitu di Sungai Way Kiri, Tulang Bawang Barat, Lampung (Darmawan
2016) dan pengukuran nisbah kelamin ikan tapah di Sungai Kampar Riau (Putra
2010). Sedangkan informasi biologi reproduksi Famili Siluridae di luar perairan
Indonesia seperti genus Wallago (Kaur et al. 2018, Shendge et al. 2010) dan genus
Ompok (Praveen et al. 2016, Banik et al. 2012, Gupta et al. 2014, Mishra et al.
2018) telah cukup banyak dilakukan.
Sampai saat ini, penelitian terkait biologi reproduksi ikan tapah (W. leerii) di
TNS belum pernah dilakukan. Berdasarkan beberapa pertimbangan diatas, maka
diperlukan suatu studi terkait biologi reproduksi, keragaman morfometrik dan
keragaman genetic berdasarkan marka gen COI ikan tapah di kawasan TNS.
Sehingga informasi tersebut dapat dijadikan sebagai dasar dalam pengelolaan serta
konservasi ikan tapah agar perikanan tapah dapat terus lestari dan berkelanjutan.

Perumusan Masalah

Ikan tapah termasuk pada ikan yang memiliki nilai ekonomis penting di
sungai Sebangau kawasan TNS. Ikan ini digemari karena memiliki ukuran yang
besar, harga jual yang yang cukup tinggi serta kualitas daging yang enak dan
memiliki nutrisi yang kaya akan protein dan nutrisi lainnya. Hal ini tentu saja dapat
meningkatkan eksploitasi terhadap spesies ini dan mengancam kelestarian populasi
nya di alam. Sementara itu, peningkatan eksploitasi juga diiringi dengan
meningkatnya tekanan ekologis yang dapat mengancam habitat ikan tapah sehingga
dapat berdampak pada terganggunya kehidupan ikan tapah di alam.
Disisi lain, informasi secara menyeluruh dari ikan tapah terutama identifikasi
jenis, keragaman morfometrik dan genetic serta biologi reproduksi masih sangat
terbatas. Oleh karena itu, penelitian mengenai validasi spesies melalui hubungan
keragaman morfometrik dan genetik berdasarkan marka gen COI serta biologi
reproduksi ikan tapah di kawasan TNS perlu untuk dilakukan. Sehingga informasi
yang dihasilkan dapat digunakan sebagai dasar informasi untuk pengelolaan
perikanan tapah yang berkelanjutan.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:


1. Mengkonfirmasi identitas spesies ikan tapah di Sungai Sebangau dan Katingan
pada Taman Nasional Sebangau berdasarkan analisis morfolgi dan molekuler
2. Mengidentifikasi keragaman morfometrik dan genetik spesies ikan tapah dari
Sungai Katingan dan Sungai Sebangau di Taman Nasional Sebangau
3. Mengkaji biologi reproduksi ikan tapah sawah di Katingan dan Sungai Sabangau
Taman Nasional Sebangau
4. Menyusun strategi pengelolaan perikanan ikan tapah melalui informasi
karakteristik morfometrik dan genetik serta biologi reproduksi untuk pengelolaan
sumberdaya ikan tapah yang berkelanjutan.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai


kepastian identifikasi, keragaman morfometrik dan genetik serta biologi reproduksi
ikan tapah sebagai dasar pengelolaan perikanan tapah secara lestari dan
berkelanjutan.
2. TINJAUAN PUSTAKA

Biologi Reproduksi Ikan Tapah (W. leerii)

Reproduksi pada ikan adalah suatu cara yang dilakukan ikan untuk
mendapatkan keturunan dan menjamin keberlangsungan hidup spesiesnya serta
merupakan tahapan penting dalam siklus hidupnya (Effendi 2002).
Karakteristik populasi ikan yang khususnya berkaitan dengan reproduksi
merupakan input yang sangat penting dalam penilaian dan pengelolaan stok ikan.
Idealnya, dalam sekali durasi pemijahan, tahap pematangan (identifikasi secara
makroskopis, mikroskopis atau histologis), panjang (Lm) dan usia (tm) pada
kematangan pertama, rasio jenis kelamin dan fekunditas harus diukur karena semua
aspek-aspek ini merupakan biologi reproduksi suatu spesies (Tsikliras 2013).
W. leerii memiliki ukuran yang besar dan termasuk ikan predator yang
memangsa jenis ikan lainnya, udang dan rnoluska, namun begitu spesies ini juga
menyukai limbah- limbah dapur berupa sisa-sisa potongan ayam dan ikan. Benih-
benih spesies ini menyukai serangga air. W. leerii melakukan pernijahan masuk jauh
ke anak-anak sungai secara bergerornbol yang terjadi pada musirn penghujan. Pada
umumnya anak sungai yang dimasuki masih banyak terdapat hutan rawa (Utomo &
Krismono 2006). Penelitian terkait aktivitas penangkapan ikan tapah yang dilakukan
oleh Musim (2005) di Desa Bintalo Sumatera Selatan menunjukkan bahwa ikan ini
memiliki ukuran panjang sebesar 125 cm dan berat 17 kg. Musim pemijahan ikan
tapah berlangsung antara bulan Oktober – Desember yang mana dibulan tersebut ikan
tapah melakukan migrasi ke hulu untuk melakukan pemijahan di hulu Sungai
Bantanghari Leko hal ini dibuktikan dengan adanya kandungan telur yang terdapat
dalam perut ikan seberat 1,5 kg. Putra (2010) menyatakan bahwa ikan tapah di
Sungai Kampar memiliki nisbah kelamin ikan tapah adalah 1 : 1,8, artinya ikan tapah
dalam melakukan pemijahan jumlah ikan betina lebih banyak daripada ikan jantan.

Taksonomi Ikan Tapah (W. leerii)

Awalanya, Myers (1948) dan Roberts (1982) mengkategorikan wallagonia


sebagai sinonim junior dari genus wallago (Ng 1992). Namun, setelah penelitian
osteologis yang dilakukan oleh Roberts (2014), genus wallagonia memiliki struktur
tulang yang berbeda dari genus wallago dan menempatkan W. leerii termasuk dalam
genus Wallagonia. Dua spesies lain yang termasuk genus Wallagonia yaitu
Wallagonia macculatus Inger dan Chin 1959 yang diketahui terdapat di timur laut
Borneo serta Wallagonia micropogon Ng 2004 yang terdapat di lembah Sungai
Mekong dan Chao Praya. Namun, ada kecurigaan kuat bahwa kedua spesies tersebut
mungkin sebenarnya adalah subspesies dari W. leerii, karena satu-satunya perbedaan
tampaknya terletak pada warna yang sedikit berbeda
(https://en.wikipedia.org/wiki/Wallagonia_leerii).
Adapun karakter khusus dari genus Wallagonia yaitu rahang memanjang ke
posterior hanya sampai bawah batas anterior mata, jari-jari penyokong tutup insang
(Branchiostegal rays) 12-19, jumlah tapis insang pada lengkung insang pertama 19
atau kurang, total sirip anus 60-75, rahang atas memanjang ke arah posterior dan
tidak lebih jauh dari asal sirip anus serta rahang bawah lebih pendek dari sirip perut.
Sedangkan karakter dari genus Wallago adalah rahang membentang ke posterior jauh
melampaui mata, jari-jari penyokong tutup insang (Branchiostegal rays) 18-21,
jumlah tapis insang pada lengkung insang pertama 24-30, total sirip anus 77-96,
rahang atas biasanya memanjang ke arah posterior jauh melampaui asal sirip anus
serta rahang bawah lebih panjang dari sirip perut (Roberts 2014).
Menurut Kottelat et al. (1993), taksonomi dari ikan tapah (W. leerii) yaitu :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Actinopterygii
Ordo : Siluriformes
Famili : Siluridae
Genus : Wallagonia
Spesies : Wallagonia leerii

Morfometrik Ikan Tapah (W. leerii)

Wallagonia leerii Bleeker 1851 termasuk silurid besar yang dapat mencapai
ukuran tubuh hingga 1500 mm SL (mungkin lebih) dengan formula tulang belakang
11-12+48-52. Lengkungan cabang pertama (First branchial arch) memiliki 12-17
gerigi insang dan jari-jari penyokong tutup insang (Branchiostegal rays) 14-18.
Rumus jari-jari sirip yaitu sirip punggung 1,4; sirip dada I,12-15; sirip pelvic 9-11;
sirip anus 61-75 dan sirip ekor 16-21. Dasar sirip anus dan ekor tidak menyatu, sirip
ekor berlekuk ganda (bilobed), lobus segitiga terdapat pada individu kecil dan
terpotong pada spesimen dewasa. Spesies ini memiliki mata non-subkutan, kecil dan
terdapat tepat di atas ujung mulut. Bukaan mulut sangat lebar dan dapat mencapai
tepi mata bagian depan. W. leerii memiliki warna bagian dorsum yang zaitun-hijau
gelap hingga abu-abu gelap, sisi dua garis longitudinal pucat yang berbeda (lebih
menonjol pada spesimen yang lebih besar) dan sisi tubuh terdapat banyak titik hitam,
abu-abu dan putih kecil dan bercak kecil membentuk pola marmer (lebih jelas pada
spesimen yang lebih kecil) serta selaput sirip berwarna abu-abu kehitaman hingga
hitam (Peter 1992).
Spesies ini termasuk pada genus Wallagonia yang memiliki ciri rahang
memanjang ke posterior hanya sampai bawah batas anterior mata, jari-jari penyokong
tutup insang (Branchiostegal rays) 12-19, jumlah tapis insang pada lengkung insang
pertama 19 atau kurang, total sirip anus 60-75, rahang atas memanjang ke arah
posterior dan tidak lebih jauh dari asal sirip anus serta rahang bawah lebih pendek
dari sirip perut (Roberts 2014). Lebih lanjut, Roberts (2014) menyatakan bahwa W.
leerii mungkin terkait paling dekat dengan genus Ompok dan sama sekali tidak
terkait erat dengan Wallago attu.
Kottelat et al (1993) menyebutkan W. leerii memiliki morfologi yaitu warna
tubuh agak hitam gelap, sirip dada berwarna hitam dan sudut mulut mencapai bagian
depan mata. Rumus jari-jari sirip yaitu D. 1.4; A 67-73; P 1.14-15; V. 1.9- 10.
W. leerii tersebar di beberapa negara seperti Thailand, Semenanjung
Malaysia, Sumatra dan Kalimantan. Spesies ini dulunya terdapat di perairan
Singapura namun sekarang spesies ini hampir pasti punah (Peter 1992). Spesies ini
rnenyukai habitat yang banyak terdapat hutan rawa atau di lubuk-lubuk yang dalarn
juga tempat dibawah jembatan untuk berlindung dan mencari mangsa. Ukuran benih
banyak tertangkap di hutan rawa yang tergenang air pada musim penghujan juga di
rawa banjiran (Utomo dan Krismono 2006). Di Indonesia, ikan ini tersebar di
beberapa perairan seperti Sungai Kampar Kanan Provinsi Riau (Fithra & Siregar
2010), Danau Takapan Provinsi Kalimantan Tengah (Gumiri et al. 2018), Waduk
PLTA Koto Panjang Provinsi Riau (Harahap et al. 2010), Danau Pinang Dalam
Provinsi Riau (Kurnia et al. 2014), Sungai Sail Provinsi Riau (Lubis et al. 2016) dan
Sungai Musi Provinsi Sumatera Selatan (Muthmainnah & Gaffar 2017),

Keragaman Genetik Ikan Tapah (W. leerii)

Genetika populasi adalah ilmu tentang bagaimana variasi genetik tersebar di


antara spesies, individu, dan populasi. Pada dasarnya, hal ini berkaitan dengan
bagaimana distribusi keanekaragaman genetik dipengaruhi oleh seleksi, kekuatan
evolusi mutasi, migrasi dan penyimpangan genetik acak. Bukti untuk tingkat populasi
dari isolasi evolusi dan sejarah kehidupan dapat ditunjukkan pada pola keragaman
genetik dan variasi di antara populasi (Okumus dan Ciftci 2016).
Pengembangan penanda genetik molekular memiliki kemampuan yang kuat
untuk mendeteksi studi genetik individu, populasi atau spesies. Penanda molekuler
dan analisis statistiknya telah berevolusi menjadi sebuah kekuatan yang diperlukan
untuk mengeksplorasi keragaman genetik. Berbagai penanda molekuler, protein atau
DNA (mt-DNA atau DNA inti seperti mikrosatelit, SNP atau RAPD) sekarang
banyak digunakan dalam perikanan dan akuakultur. Penanda ini memberikan
berbagai pengamatan ilmiah yang penting dalam praktik akuakultur baru-baru ini
seperti: 1). Identifikasi spesies, 2). Variasi genetik dan studi struktur populasi pada
populasi alami, 3). Perbandingan antara populasi liar dan pembenihan,
5). Membantu program rehabilitasi (Chauhan & Rajiv 2010).
Penelitian mengenai keragaman genetik ikan tapah (W. leerii) di Indonesia
khususnya di provinsi Kalimantan Tengah berdasarkan runutan nukleotida selama ini
belum pernah dilakukan. Data runutan nukleotida dan asam amino gen sitokrom b
mitokondria ikan tapah dari hasil penelitian lain di luar Indonesia baru dilakukan oleh
Hardman (2005). Sementara itu, data genom DNA mitokondria lengkap pada genus
berbeda yaitu W. attu telah dilaporkan (Laghari et al. 2014).
Penelitian terkait karakter genetik family Siluridae telah dilaporkan oleh
beberapa peneliti seperti Jusmaldi (2016) di Sungai Mahakam untuk membedakan
antara genus Ompok dan Krypterus yakni menunjukkan adanya perbedaan pada
variasi kodon ketiga yaitu, pada genus Ompok sebesar 22,75% dan genus
Kryptopterus sebesar 12,22%. Elvyra dan Solihin (2007) juga melaporkan bawah
penelitian identifikasi molekuler ikan lais asal Sungai Kampar Riau menunjukkan
genus Ompok dan Kryptopterus berbeda pada asam amino ke-155 dari runutan gen
Cytochrome b utuh yaitu Metionin atau Isoleusin pada genus Ompok, sedangkan
Valin pada genus Kryptopterus. Lebih lanjut, penelitian keragaman gen cytochrome b
DNA mitokondria pada spesies ikan yang termasuk dalam family Siluridae adalah
Kryptopterus limpok (Singkam et al. 2011), Ompok hypopthalmus (Singkam et al.
2018), Belodontichthys truncates (Yodsiri et al. 2017). Penelitian karakteristik
genetik ikan O. pabda, O. pabo, O. bimaculatus dengan menggunajakan sekuen
DNA mitokondria juga telah dilaporkan (Malakar et al. 2009).

Pola Pengelolaan Perikanan dengan Reproduksi dan Keanekaragaman Genetik

Keragaman genetik merupakan keragaman hayati yang penting karena


sumberdaya genetik merupakan kunci penting bagi suatu jenis untuk bertahan hidup
sampai generasi yang akan datang. Krisis biodiversitas atau keragaman hayati
dimulai dari semakin menurunnya tingkat keragaman genetik jenis. Juga, keragaman
genetik menjadi faktor yang mempengaruhi respon suatu populasi terhadap seleksi
alam maupun akibat ekspolitasi manusia. Populasi dengan keragaman genetik yang
tinggi memiliki peluang hidup yang lebih baik karena setiap gen memiliki respon
yang berbeda-beda terhadap kondisi lingkungan, sehingga dengan dimilikinya
berbagai macam gen dari individu-individu di dalam populasi maka berbagai
perubahan lingkungan yang ada akan dapat direspon lebih baik (Yusron 2005).
Keragaman genetik yang meliputi variasi alel dan heterozigositas penting untuk
kelestarian jangka panjang suatu populasi maupun spesies terkait dengan
kemampuannya beradaptasi terhadap perubahan lingkungan (Dunham 2004))
Reproduksi merupakan proses biologis organisme hidup untuk mewarisi sifat-
sifat induknya kepada keturunannya untuk memastikan kelangsungan hidup spesies
tersebut. Pada ikan, ada beberapa taktik dan strategi yang digunakan oleh induk ikan
untuk memastikan anak mereka bertahan hidup. Studi tentang biologi reproduksi ikan
sangat penting dan sebagai persyaratan dasar untuk merencanakan strategi
pengelolaan dan konservasi sumber daya perikanan yang lebih baik, sebagai
informasi dasar sejarah kehidupan dan untuk mengevaluasi dampak pengaruh
lingkungan terhadap dinamika populasi ikan. Selain itu, informasi tentang sistem
reproduksi sangat penting untuk pengembangan akuakultur komersial dari spesies
akuatik (Muchlisin 2014).
Pengelolaan perikanan melalui informasi reproduksi dan keanekaragaman
genetik bermanfaat dalam penentuan penentuan bibit unggul untuk kegiatan
budidaya. Herdiana (2016) melaporkan bahwa dengan mengetahui keragaman
morfometrik, keanekaragaman genetik dan potensi reproduksi ikan belut
(Monopterus albus) dari 4 populasi penelitian, wilayah Subang (Kecamatan
Compreng) merupakan wilayah yang direkomendasikan untuk dijadikan wilayah
potensial bagi pencarian benih belut unggul. Selain itu, dengan mengetahui informasi
reproduksi dan keanekaragaman genetik dapat menjadi data dasar usaha domestikasi
ikan yang memiliki eksploitasi yang tinggi (Jusmaldi 2016).

Literatur inquires

Penelitian terkait ikan tapah baik di Indonesia maupun di luar wilayah


Indonesia maih sangat terbatas. Beberapa penelitian tersebut seperti identifikasi ikan
W. leerii (Roberts 1982; Ng 1992), biologi reproduksi ikan tapah (W. leerii) di Sungai
Way Kiri Lampung (Darmawan 2016), morfologi dan pola pertumbuhan ikan tapah
di Sungai Kampar Riau (Putra 2010), morfometrik ikan tapah dari Sungai Siak dan
Sungai Kandis Riau (Nathasya 2013), aktivitas penangkapan ikan tapah di Sungai
Batanghari (Muslim 2005), kajian kelestarian ikan tapah di wilayah Kabupaten
Kampar Riau (Rengi et al. 2013), budidaya ikan tapah (Anggara et al.- ;Nuraini &
Nasution 2015; Masjudi et al. 2016), upaya domestikasi ikan tapah (Yurisman et al.
2010, Padli et al. 2015), dan filogenetik family ikan Ordo Siluriformes (Hardman
2005) Namun, penelitian terkait tingkat kematangan gonad (TKG), indeks
kematangan gonad (IKG), fekunditas, dan diameter telur di Sungai Sebangau,
morfometrik dan merisitik dan keanekaragaman genetik ikan tapah khususnya di
Sungai Sebangau TNS belum pernah dilakukan.

3. METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Sungai Sebangau dan Sungai Katingan di


Perairan Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah. Pengambilan contoh ikan
tapah akan dilakukan selama 6 bulan. Analisis molekuler akan dilaksanakan
dilaksanakan pada bulan Januari 2019 hingga Maret 2020 di Laboratorium BRPPUPP
(Balai Riset Perikanan, Perairan Umum dan Penyuluhan Palembang) Sumatera
Selatan.

Sampel Penelitian

Sampel ikan tapah (W. leerii) diperoleh melalui penangkapan didua sungai
yaitu sungai Sebangau dan sungai Katingan. Sampel ikan ditangkap menggunakan
alat tangkap yang disesuaikan dengan kebiasaan masyarakat dikedua sungai tersebut.
Ikan tapah yang diambil sebagai sampel penelitian meliputi semua ukuran ikan yang
dapat tertangkap. Semua sampel ikan tapah yang tertangkap digunakan untuk
pengukuran morfometrik. Sampel untuk analisis molekuler yaitu sirip dorsal ikan
tapah yang diperoleh dari 5 sampel terbaik (kondisi hidup dan sehat) dari masing-
masing sungai. Kemudian, ikan yang tertangkap diukur panjang dan bobotnya dengan
menggunakan penggaris (ketelitian 1 mm) dan timbangan digital (ketelitian 0.01 g)
secara berturut-turut. Penentuan jenis kelamin ikan dilakukan dengan pengamatan
secara visual pada morfologi gonad dengan melakukan pembedahan pada bagian
abdomen ikan. Karakterisasi tingkat kematangan gonad (TKG) mengacu pada
Praveen et al (2017) dengan jenis ikan Ompok bimaculatus yang memiliki famili
yang sama dengan ikan tapah (W. leerii) (Tabel 1). Gonad yang diperoleh kemudian
ditimbang dengan menggunakan timbangan digital (ketelitian 0.00005 g) dan
diawetkan dengan larutan formalin 4% yang kemudian akan digunakan untuk
menghitung Indeks Kematangan Gonad (IKG) dan fekunditas ikan tapah.
Analisis Data

Biologi Reproduksi
Nisbah Kelamin
Rasio kelamin dihitung dengan cara membandingkan antara jumlah ikan tapah
jantan dan betina berdasarkan satsiun dan bulan pengamatan yang dihitung melalu
persamaan berikut (Matjik dan Sumertajaya 2002):

J
X=
B

X adalah nisbah kelamin, J adalah jumlah ikan jantan (individu) dan B adalah jumlah
ikan betina (individu)

Keseimbangan proporsi antara ikan tapah jantan dan betina diuji dengan
menggunakan uji Chi-Square ( X 2hit ¿ sebagai berikut (Steel & Torrie 1993):
n 2
(Oi−℮i)
X =∑
2
hit
i=1 ℮i

2
X hit adalah nilai peubah acak yang sebaran penarikan contohnya menghampiri
sebaran Chi-kuadrat, Oi adalah jumlah frekuensi ikan jantan dan betina yang
teramati, ℮i adalah jumlah frekuensi harapan dari ikan jantan dan betina yakni jumlah
frekuensi ikan jantan dan betina dibagi dua.

Hipotesis yang digunakan adalah Ho : Proporsi jantan dan betina seimbang diperairan
dan H1 : Proporsi jantan dan betina tidak seimbang di perairan

Jika X 2hit > X tab maka tolak Ho dan jika X 2hit < X tab maka gagal tolak Ho

Tingkat Kematangan Gonad


Tingkat kematangan gonad adalah tahap tertentu dari perkembangan gonad
sebelum dan sesudah iksn memijah (Effendie, 1979). Menentukan tingkat
kematangan gonad ikan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara visual berupa
pengamatan morfologis dan pengamatan secara histologis. Dalam hal ini, penentuan
tingkat kematangan gonad ikan tapah (W. leerii) dilakukan secara visual berdasarkan
ciri morfologi yang dideskripsikan oleh pada Praveen et al (2017).
Tabel 1 Tahap perkembangan gonad ikan tapah secara mikroskopis dan makroskopis
yang mengacu pada pada famili yang sama jenis ikan Ompok bimaculatus (Praveen
et al 2017)

Tahap Pengamatan Mikroskopis/Makroskopis


I (Immature) Ovarium kecil dan ramping; ovum transparan dengan
nukleus yang menonjol dan tanpa kuning telur; Testis tipis
dan kecil.
II (Maturing) Ovarium diperbesar ovum granular, buram dan berwarna
kuning karena endapan yang tebal dari kuning telur; ovum
terlihat jelas oleh mata telanjang; Testis berwarna
kekuningan, tipis dan memanjang hampir setengah dari
rongga tubuh
III (Mature) Ovarium membesar, menempati hampir tiga perempat
rongga tubuh; ovum besar, buram, penuh dengan kuning
telur dan berwarna kuning pekat; Testis membesar
IV (Fully Ripe) Ovarium membesar dan menempati seluruh panjang
rongga tubuh, berukuran besar, ovum matang dan jelas,
bebas satu sama lain dan berwarna kuning mengkilap;
Testis membesar meliputi sekitar tiga perempat dari
rongga tubuh.
V (Spent and resting) Ovarium menyusut dan longgar, mengandung beberapa
ovum yang transparan dan berukuran besar ; Testis
berkurang

Indeks Kematangan Gonad


Indeks Kematangan Gonad (IKG) dapat dihitung dengan membandingkan
bobot gonad dengan bobot tubuh ikan. Perhitungan IKG ikan tapah mengacu pada
Effendie (1979) sebagai berikut:
Bg
IKG= ×100 %
Bt

BG adalah bobot gonad (g) dan BT adalah bobot tubuh (g)

Fekunditas
Fekunditas adalah jumlah telur masak sebelum dikeluarkan pada waktu ikan
memijah. Perhitungan fekunditas ikan dihitung dengan menggunakan metode
gabungan antara volumetric, garvimetrik dan hitung sebagai berikut: (Effendie, 1979)

G× V × X
F=
Q
F adalah fekunditas (butir), G adalah berat gonad (g), V adalah volume pengenceran
(ml), X adalah jumlah telur tiap ml (butir/ml) dan Q adalah berat telur contoh (g).

Diameter Telur
Pengukuran diameter telur ikan menggunakan micrometer okuler dengan
ketelitian 0.1 mm pada telur-telur yang berada pada tingkat kematangan gonad III, IV
dan V. Menurut Rodriguez et al (1995), perhitungan diameter telur dihitung dengan
menggunakan rumus :
Diameter telur= √ D × d

D adalah diameter telur ikan secara vertical dan d adalah diameter telur ikan secara
horizontal

Keragaman Morfometrik

Karaktersitik morfometrik ikan tapah diukur dengan menggunakan penggaris


(ketelitian 1 mm) dan caliper digital (ketelitian 0.01 mm). Pengamatan morfologi
ikan tapah dilakukan secara visual berdasarkan penjelasan anatomi eksternal dan
kunci identifikasi Kottelat (1993) dan beberapa referensi mendukung dari peneliti
lainnya yakni Ng (1992) dan Roberts (1982). Sedangkan identifikasi keragaman
morfometrik dilakukan melalui pengukuran 27 karakter morfomtertik ikan tapah yang
mengacu pada beberapa peneliti sebelumnya seperti Nathasya (2013) (Gambar 1 dan
Tabel 2).

Gambar 1. Karakter morfometrik ikan tapah (W. leerii)


Tabel 2 Deskripsi pengukuran 27 karakter morfometrik Ikan Tapah
Simbol Pengukuran Keterangan
L Panjang Total (PT) Jarak garis lurus ujung kepala yang termuka
sampai ujung sirip yang paling belakang
A Panjang Standar (PS) Jarak garis lurus dari ujung bagian kepala
termuka sampai ke dasar sirip ekor
E Panjang Kepala (PK) Jarak ujung kepala yang termuka sampai
bagian terbelakang keping tutup insang
N Tinggi Kepala (TK) Jarak garis lurus yang diukur vertikal pada
bagian kepala yang tertinggi
O Tinggi Badan (TB) Jarak garis lurus yang diukur vertikal pada
bagian tubuh yang tertinggi
P Tinggi Batang Ekor Jarak garis lurus yang diukur vertikal pada
(TBE) bagian batang ekor yang terlebar
Lebar Kepala (LK) Jarak antara kepala sebelah kiri dan kanan
yang terlebar
Lebar Badan (LB) Jarak antara badan sebelah kiri dan kanan
yang terlebar (kemontokan tubuh ikan)
B Jarak Mulut ke Pangkal Jarak garis lurus antara ujung mulut sampai
Sirip Punggung (JMPSP) pangkal sirip punggung
Jarak Mulut ke Mata Jarak garis lurus antara ujung mulut ke
(JMM) pangkal mata
H Jarak Mulut ke Pangkal Jarak antara garis lurus antara ujung mulut ke
Sirip Dada (JMPSD) pangkal sirip dada
J Jarak Mulut ke Pangkal Jarak garis yang ditarik dari ujung mulut ke
Sirip Perut (JMPSPt) pangkal sirip perut
F Jarak Sirip Punggung ke Jarak garis lurus antara ujung sirip punggung
Pangkal Sirip Ekor sampai ke pangkal sirip ekor
(JSPSE)
Diameter Mata (DM) Panjang garis tengah bola mata yang diukur
dari tinggi bola mata
Jarak Mulut ke Tutup Jarak garis lurus antara ujung mulut sampai ke
Insang (JMTI) pangkal tutup insang
Jarak Sirip Perut ke Jarak garis lurus antara ujung sirip perut
Pangkal Sirip Ekor sampai ke pangkal sirip ekor
(JSPrSE)
C Panjang Dasar Sirip Jarak garis lurus antara pangkal dasar sirip
Punggung (PDSP) punggung sampai ke ujung dasar sirip
punggung
D Tinggi Sirip Punggung Jarak garis lurus yang diukur dari dasar sirip
(TSP) punggung terpanjang sampai ke ujungnya
Panjang Dasar Sirip Jarak garis lurus yang diukur sari pangkal
Dada (PDSD) dasar sirip dada sampai ke ujungnya
Tinggi Sirip Dada (TSD) Jarak garis lurus yang diukur dari dasar sirip
dada terpanjang sampai keujungnya
R Panjang Dasar Sirip Jarak garis lurus yang diukur dari dasar sirip
Perut (PDSPt) perut sampai ke ujungnya
S Tinggi Sirip Perut (TSPt) Jarak garis lurus yang diukur dari dasar sirip
perut terpanjang sampai keujungnya
G Panjang Dasar Sirip Ekor Jarak garis lurus yang diukur dari pangkal
(PDSE) dasar sirip ekor sampai keujungnya
Q Tinggi Sirip Ekor (TSE) Jarak garis lurus yang diukur dari dasar sirip
ekor terpanjang sampai ke ujungnya
Panjang Sungut (PSt) Panjang sungut kiri dan kanan
K Panjang Dasar Sirip Jarak garis lurus yang diukur dari pangkal
Anus (PDSA) dasar sirip anus sampai ke ujungnya
T Tinggi Sirip Anus (TSA) Jarak garis lurus yang diukur dari dasar sirip
anus sampai ke ujungnya

Keragaman Genetika

 Isolasi dan ekstraksi DNA


Lima sampel DNA yang berasal dari sirip punggung ikan tapah yang telah
diawetkan dalam alkohol 96%. Pengawetan dihilangkan dengan melakukan
pencucian untuk menghilangkan kandungan alkohol. Kemudian, Sampel DNA
diisolasi dan diekstrasi dengan menggunakan kit komersil (Gene Aid)
berdasarkan prosedur manual pabrik dengan beberapa modifikasi. Pada tahapan
ini, DNA total akan dihasilkan.
 Uji kualitas DNA total
Kualitas DNA total diuji dengan elektroforesis pada gel agarosa 1,2%
menggunakan larutan buffer TAE 1x dan DNA diwarnai dengan menggunakan
ethidium bromide sebanyak 5 μl. DNA total yang dipakai sebanyak 2,5 μl.
Visualisasi DNA total dilakukan dengan menggunakan mesin ultraviolet.
Kualitas DNA akan terlihat dari pita DNA yang muncul pada proses visualisasi.
 Amplifikasi dan visualisasi fragmen DNA gen COI
DNA total yang memiliki kualitas baik layak dijadikan sebagai cetakan untuk
amplifikasi fragmen DNA gen COI. DNA total diamplifikasi dengan teknik PCR
(Polymerase Chain Reaction) dengan menggunakan kit komersial Kapa Extra Hot
Start. Primer yang digunakan adalah primer universal untuk beberapa biota
akuatik yang didisain oleh Butet (2013, unpublish data). Tahapan amplifikasi
dilakukan meliputi predenaturasi 94 0C selama 5 menit, denaturasi 94 0C selama
45 detik, annealing 54 0C selama 1 menit, elongasi 72 0C selama 1 menit,
pascaelongasi 72 0C selama 5 menit, dan penyimpanan 15 0C selama 10 menit.
Produk PCR kemudian diuji kualitasnya dengan elektroforesis pada gel agarosa
1,2% dan divisualisasi menggunakan mesin ultraviolet.
 Pengurutan produk PCR (Sekuensing) DNA Wallago leerii gen COI
Produk PCR yang memiliki kualitas baik layak dilanjutkan ke tahap sekuensing
untuk ditentukan sekuen basa nukleotidanya. Sekuensing dilak menggunakan
metode Sanger (1977) dengan mengirimkan produk PCR tersebut ke perusahaan
jasa pelayanan sekuensing.
 RFLP (Restriction Fragment Lenght Polymorphisms)
Analisis keragaman genetik atau untuk melihat polimorfisme pada situs
pemotongan dari masing-masing individu menggunakan 1 enzim retriksi. Enzim
yang digunakan tersebut adalah Alu I. Pemotongan dilakukan dengan memakai
enzim dan campuran reaksi.
DAFTAR PUSTAKA

Anggara SA, Yang UM, Mulyadi. -. Kelulushidupan dan Pertumbuhan Ikan Tapah
(Wallago leerii) dengan Frekuensi Pemberian Pakan yang Berbeda. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Riau.
Balai Taman Nasional Sebangau. 2013. Statistik Balai Taman Taman Nasional
Sebangau Tahun 2013. Kementrian Kehutanan. Direktorat Jenderal,
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.
Banik S, Goswami P, Acharjee T, Malla S. 2012. Ompok pabda (Hamilton Buchanan,
1822): an endangered catfish of Tripura, India: reproductive physiology
related to freshwater lotic environment. Journal of Environmentalist, 1: 45-55.
Chauhan T and Rajiv K. 2010. Molecular Markers and Their Applications in
Fisheries and Aquaculture. Avances in Bioscience and Biotechnology, 1: 281-
291.
Darmawan D. 2016. Aspek Pertumbuhan dan Biologi Reproduksi Ikan Tapah
(Wallago leerii) dari Sungai Way Kiri, Tulang Bawang Barat, Lampung.
[Skripsi]. Universitas Lampung.
Dunham RA. 2004. Aquaculture and fisheries biotechnology: genetic approach.
CABI Publishing, Cambridge. USA, 372 pp.
Effendie MI. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri, Bogor. 112 hlm.
Effendie MI. 2002. Biologi perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta. 163
hlm.
Elvyra R, Solihin DD. 2007. Kajian penanda genetik gen sitokrom b DNA
mitokondria ikan lais dari Sungai Kampar Riau. Jurnal Natur Indonesia. 10
(1): 6 - 12.
Gupta BK, Sarkar UK and Bhradwaj SK. 2014. Reproductive biology of Indian
Silurid catfish Ompok pabda in river Gomti. Journal of Environmental
Biology, 35 : 345-351.
Gupta S. 2015. Wallago attu (Bloch & Schneider, 1801) A Threatened Catfish of
Indian Waters. International Journal of Research in Fiseries and
Aquaculture. 5(4): 140-142.
Hardman M. 2005. The Phylogenetic Relationships among Non-Diplomystid
Catwshes as Inferred from Mitochondrial Cytochrome b Sequences; The
Search for The Ictalurid Sister Taxon (Otophysi: Siluriformes). Molecular
Phylogenetics and Evolution, 37 : 700-720.
Herdiana L. 2016. Keragaman Morfometrik dan Genetik serta Potemsi Reproduksi
Belut Sawah (Monopterus albus) di Empat Kabupaten, Jawa Barat. [Tesis].
Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor, 70 hlm.
https://en.wikipedia.org/wiki/Wallagonia_leerii
Jusmaldi. 2016. Karakteristik Biometrik dan Genetik Spesies Ikan Lais (Siluridae)
dan Biologi Reproduksi Ompok miostoma (Vaillant, 1902) di Sungai
Mahakam Kalimantan Timur [Disertasi]. Bogor (ID). Institut Pertanian
Bogor, 126 hlm.
Kaur S, Sing P, Hassan SS. 2018. Studies on Gonado-Somatic Index (GSI) of
Selected Fishes of River Sutlej, Punjab. Journal of Entomology and Zoology
Studies, 6(2): 1274-1279
Kottelat MAJ, Whitten SN, Sari K, Wirjoatmojo. 1993. Ikan Air Tawar di Perairan
Indonesia Bagian Barat dan Sulawesi. Periplus Edition (HK) Limited
bekerjasama dengan Proyek EMDi. Kantor Menteri Kependudukan dan
Lingkungan Hidup RI. Jakarta.
Laghari MY, Lashari P, Xu P, Zhao Z, Jiang L, Narejo NM, Xin B, Sun, X, Zhang Y.
2014. Complete mitochondrial genome of freshwater shark Wallago attu
(Bloch & Schneider) from Indus River Sindh, Pakistan. Mitochondria DNA,
1-2.
Malakar AK, Lakra WS, Sing M, Gosmawi M, Mishra RM. 2009. Genetic
Characterization of three Ompok Species Using Mitochondrial DNA
Sequences. Journal Indian Fish Association, 36: 65-82.
Masjudi H, Tang UM, Syawal H. 2016. Kajian Tingkat Stres Ikan Tapah (Wallago
leeri) yang Dipelihara dengan Pemberian Pakan dan Suhu yang Berbeda.
Jurnal Perikanan Terubuk, 44(3): 69-83.
Matjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan percobaan. IPB press. Bogor. 276
hal.
Mishra A, Sarkar UK, Kumar R, Rawat A, Verma S. 2018. Gonadal Maturity
Assessment of Butter Catfish (Ompok bimaculatus) from Major Rivers and
Tributaries of India during Spawning Season. Iranian Journal of Fisheries
Science, 17(3): 458-470.
Molla MR, Asaduzzaman AKM, Mia MAR, Zeb MA, Udin MS. 2015. Extraction
and Characterization of Oil and Lechitin from Boal (Wallago attu) Fish.
Journal of Food and Nutrition Research, 3(10): 661-666
Moyle PB, Ceach JJ. 2004. Fishes, an introduction to ichthyology. Prientice Hall,
New Jersey (US). 726 p.
Muchlisin ZA. 2014. A General Overview on Some Aspects of Fish Reproduction.
Aceh International Journal of Science and Technology, 3(1): 43-52.
Muslih K, Syari IA. 2018. Teknologi Domestikasi Ikan Tapah di Desa Tanah Bawah
Kabupaten Bangka. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas
Bangka Belitung. 3(1).
Muslim. 2005. Aktivitas Penangkapan Ikan Tapah (Wallago sp) di Sungai
Batanghari Leko Musi Banyuasin. Jurnal Penelitian dan Kajian Ilmu-Ilmu
Pertanian, 1(2): 58-61.
Mustari, AH, Hadi S, Diena NF, Agus S, R. Febria. 2010. Keanekaragaman Jenis
Mamalia di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah. Media
Konservasi, 15(3): 115-119.
Nathasya N, Elvyra R, Yusfiati. 2013. Morfometrik Ikan Tapah (Wallago leeri
Bleeker, 1851) dari Sungai Siak dan Sungai Kandis Provinsi Riau. Jurnal
Biologi FMIPA Universitas Riau.
Ng PKL. 1992. The Giant Malayan Catfish, Wallago leerii Bleeker, 1851, and the
Identities of Wallagonia Tweediei Hora & Misra, 1941, and Wallago
maculatus Inger & Chin, 1959 (Teleostei: Siluridae). Raffles bulletin of
Zoology, 4(2): 245-263.
Ng HH. 2004. Wallago micropogon: A New Species of Silurid Catfish (Teleostei:
Siluridae) from Mainland Southeast Asia. Copeia, (1): 92-97.
Nugroho E, Sukadi MF, Huwoyon GH. 2012. Beberapa JenisIkan Lokal yang
Potensial untuk Budidaya: Domestikasi, Teknologi Pembenihan, dan
Pengelolaan Kesehatan Lingkungan. Media Akuakultur, 7(1)
Nuraini dan Nasution S. 2015. Spawning Technology and Seed Production of Tapah
Fish (Wallago leerii B ) by the Injection of Different Doses of sGnRH+
Domperidone. Journal of Biology, Agriculture and Helathcare, 5(10) .
Okumus I and Ciftci Y. 2003. Fish Population Genetics and Molecular Markers: II-
Molecular Markers and Their Applications in Fisheries and Aquaculture.
Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences, 3: 51-79.
Padli, Tang UM, Mulyadi. 2015. Fish Domestication Tapah (Wallago leeri) with
Different Stocking Densities. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Univeristas Riau.
Pemerintah Republik Indonesia. 2007. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan. Sekretariat
Negara, Jakarta. 31 hal.
Persis M, Chandra SRA, Rao LM, Khedkar GD, Ravinder K, Nasruddin K. 2009.
COI (cytochrome oxidase-I) sequence based studies of Carangid fishes from
Kakinada coast, India. Molecular Biology Reports, 36:1733-1704.
Peter KLNg. 1992. The Giant Malayan Catfish, Wallago Leerii Bleeer, 1851, and The
Identities of Wallagonia Tweediei Hora & Misra, 1941, and Wallago
Macultaus Inger & Chin, 1959 (Teleostei: Siluridae). Raffles Bulletin of
Zoology, 40(2): 245-263.
Praveen A, Kumar SU, Sahebrao NN, Mani MR, Ravindra KAbishek A and Kumar
PB. 2017. Dynamics of Reproductive Ecology of the Fish Ompok bimaculatus
(Siluriformes: Siluridae) in Six Tropical Rivers of The Ganges Basin, India.
UNED Research Journal, 9(1): 73-85
Putra RM. 2010. Morfologi dan Pola Pertumbuhan Ikan Tapah (Wallago leerii) dari
Sungai Kampar, Riau.
Rengi P, Bustari dan Sumarto. 2013. Kajian Kelestarian Ikan Lokal (Ikan Tapah dan
Kelemak) di Wilayah Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Berkala Perikanan
Terubuk, 41(2): 82-91.
Roberts TR. 1982. Systematics and Geographical Distribution of the Asian Silurid
Catfish Genus Wallago, with a Key to the Species. Copeia, 4: 890-894
Roberts TR. 2014. Wallago Bleeker Wallago Bleeker, 1851 and Wallagonia Myers,
1938 (Ostariophysi, Siluridae), Distinct Genera of Tropical Asian Catfishes,
with Descriptition of Wallago maemohensis from the Miocene of Thailand.
Bulletin of Peabody Museum of Natural History, 55(1):35-47.
Rodriguez N, Oteme ZJ, Hem S. 1995. Comparative Study of Vitellogenesis of Two
African Catfish Species Chrysichthys nigrodigitatus (Claroteidae) and
Heterobranchus longifilis (Clariidae). Journal Aquatic Licing Resourcement,
8: 291-296
Shendge AN, Mane UH, Pawar BA. 2010. Gonadosomatic Index and Spawning
Season in Freshwater Catfish Wallago attu (Bloch and Scheneider) from
Maharashatra. Journal Exp. Zool. India, 13(1): 87-89
Singkam AR, Solihin DD, Affandi R. 2011. Keragaman Morfometrik dan Gen
Cytochrome b DNA Mitokondria Kryptopterus limpok di Sungai Batang Hari.
Seminar Nasional Pemacuan Sumberdaya Ikan III.
Singkam AR, Solihin DD, Affandi R. 2018. Keragaman Morfometrik dan Gen
cytochrome b DNA Mitokondria Ompok hypopthalmus di DAS Batang Hari.
Biospecies, 11(2): 89-97.
Steel RGD and Torrie JH. 1993. Prinsip dan prosedur statistika: Suatu pendekatan
biometric. Jakarta. PT Gramedia.
Tsikliras AC, Stergiou KI, Froese R. 2013. Editorial Note On Reproductive Biology
of Fisheries. 43(1): 1-5.
Ubaidillah R, Sutrsino H. 2009. Pengantar Biosistematika: Teori dan Praktek. LIPI
Press, Jakarta. 198 hal.
Utomo AD, Krismono. 2006. Aspek Blologi Beberapa Jenis Ikan Langka, di Sungai
Musi Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Nasional Ikan IV.
WWF Indonesia. 2018. Kaji Tindak Partisipatif Atas Metode Penabatan Kanal di
Taman Nasional Sebangau dan Relevansinya terhadap Perikanan Lokal.
Laporan Akhir.
Yodsiri S, Wongpakam K, Adharn A, Senakun C, Khumkratok S. 2017. Population
Genetic Structure and Genetic Diversity in Twisted-Jaw Fish, Belodontichthys
truncatus Kottelat & Ng, 1999 (Siluriformes: Siluridae), from Mekong Basin.
International Journal of Zoology, 7 p.
Yurisman, Sukendi, Ridwan MP. 2010. Domestikasi dan Pematangan Gonad Ikan
Tapah (Wallgo sp) dari Perairan Sungai Kampar, Riau. Berkala Perikanan
Terubuk, 38(1).\
Yusron E. 2005. Pemanfaatan Keragaman Genetik dalam Pengelolaan Sumberdaya
Hayati Laut. Oseana, XXX(2): 29-34

Anda mungkin juga menyukai