Anda di halaman 1dari 9

KARAKTERISTIK ASWAJA MENURUT MUKHTAMAR

XXXIII

Dosen Pengampu : Bpk. H. Abdul Muntholib, M.Pd.I

Disusun Oleh :

Alief Noor Rochman (31422013)


Natasya Ainul Hikmah (31422029)

PRODI MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI


UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SIDOARJO
2023
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Aswaja


Aswaja merupakan singkatan dari Ahlussunnah wa al-Jama’ah. Ada tiga kata
yang membentuk istilah tersebut, yaitu: Ahl, berarti keluarga, golongan, atau pengikut.
Al-Sunnah, secara bahasa bermakna al-thariqah-wa-law-ghaira mardhiyah (jalan atau
cara walaupun tidak diridhoi). Al-Jama’ah, berasal dari kata jama’ah artinya
mengumpulkan sesuatu, dengan mendekatkan sebagian ke sebagian lain. Jama’ah berasal
dari kata ijtima’ (perkumpulan), lawan kata dari tafarruq (perceraian), dan
furqah(perpecahan). Jama’ah adalah sekelompok orang banyak dan dikatakan
sekelompok manusia yang berkumpul berdasarkan satu tujuan. Menurut istilah “sunnah”
adalah suatu cara untuk nama yang diridhoi dalam agama, yang telah ditempuh oleh
Rasulullah SAW atau selain dari kalangan orang yang mengerti tentang Islam. Seperti
para sahabat Rasulullah. Secara terminologi aswaja atau Ahlusunnah wal jama’ah
golongan yang mengikuti ajaran rasulullah dan para sahabat-sahabatnya. 1

2.2 Pengertian Muktmar

Muktamar adalah istilah yang digunakan di Indonesia untuk menyebut kongres


atau konferensi yang diadakan oleh suatu organisasi atau partai politik. Dalam konteks
Islam di Indonesia, Muktamar sering digunakan untuk menyebut kongres yang
diselenggarakan oleh Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia.
Muktamar NU diadakan setiap lima tahun sekali dan dihadiri oleh ribuan anggota NU
dari seluruh Indonesia, Muktamar tersebut membahas berbagai isu terkait Islam dan NU,
termasuk keunikan Aswaja yang dibahas pada Muktamar NU ke-33 di Jombang pada
Agustus 2015 lalu. Hasil kongres ditentang di pengadilan oleh beberapa pihak yang
menilai bahwa pengesahan ciri khas Aswaja merupakan penyimpangan dari prinsip NU. 2
Namun demikian, ciri khas Aswaja menurut hasil kongres antara lain sebagai berikut:
Aswaja didasarkan pada ajaran Islam dari Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai sumber
primer, serta sumber sekunder seperti ijma' dan qiyas. Aswaja mengakui keutamaan dan
keadilan para sahabat Nabi, mencintai dan menghormati mereka, serta menolak keras
segala bentuk penghinaan atau fitnah terhadap mereka, apalagi menuduh mereka kafir.
1
Agung Sasongko ”Kriteria Aswaja” (Republika, 26 Juni 2023)
2
Agung Sasongko ”Mukhtamar NU” (Republika, 26 Juni 2023)
Aswaja tidak menganggap siapa pun setelah Nabi Muhammad sebagai ma'shum
(terlindung dari kesalahan dan dosa), Aswaja menjaga keseimbangan antara aspek
spiritual dan fisik, Aswaja mengamalkan amar makruf dan nahi munkar, Aswaja percaya
bahwa Nabi Muhammad adalah nabi dan rasul terakhir Aswaja memuliakan semua
sahabat Nabi, khususnya para Khulafaur Rasyidin, Aswaja berkeyakinan bahwa Islam
adalah satu-satunya agama yang benar dan diridhoi Allah, Ringkasnya, Muktamar adalah
muktamar atau muktamar yang diadakan oleh suatu organisasi atau partai politik di
Indonesia, dan dalam konteks Islam di Indonesia sering merujuk pada muktamar yang
diadakan oleh NU. Keunikan Aswaja dibahas dalam Muktamar NU ke-33 di Jombang
pada Agustus 2015 yang dihadiri ribuan warga NU dari seluruh Indonesia.

2.3 Kriteria Khas Aswaja NU Rumusan Muktamar Ke-33

Muktamar NU ke 33 yang telah sukses terlaksana pada 1-5 Agustus di Jombang


Jawa Timur telah menghasilkan berbagai keputusan dan kebijakan baru. Salah satu
keputusan yang dihasilkan adalah tentang Kriteria Khas Aswaja NU yang dibahas oleh
Komisi Bahtsul Masa'il Maudu'iyah. Menurut Aan Zainul Anwar MESy, dosen Prodi
Ekonomi Islam UNISNU, mengatakan bahwa penting bagi seorang akademis NU untuk
mengetahui, memahami dan mengimplementasikan tentang kriteria-kriteria Aswaja yang
telah dibahas oleh komisi Bahtsul Masa'il NU.

Sedangkan menurut H. Noor Arifin, MSi, Wakil Dekan III FEB UNISNU yang
membidangi urusan kemahasiswaan mengatakan bahwa wajib bagi segenap mahasiswa
universitas NU untuk mengkaji dan mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari
tentang kriteria Ahlususnnah wal Jamaah yang telah di rumuskan dalam Muktamar NU
ke 33. "Dewasa ini banyak kelompok mengaku aswaja, tapi perilaku dan pemikirannya
jauh dari perilaku aswaja. Maka, dengan dirumuskannya aswaja pada Muktamar 33 yang
lalu, wajib bagi kita melaksanakannya". Katanya Senin (10/8/2015) di Kampus FEB
UNISNU Jepara.3

A. Berikut ini adalah kriteria Aswaja NU hasil sidang komisi Komisi Bahtsul
Masa'il4 yang diikuti oleh seluruh PWNU, PCNU dan PCINU dan juga para kyai.

3
Jurnal UNISNU JEPARA “Kriteria Khas Aswaja NU Rumusan Muktamar Ke-33” (Feb Unisnu,
26 Juni 2023)
4
Alhafiz K, Ahlussunnah wal Jama'ah menurut NU, (Nu Online, Senin 26 Juni 2023)
1. Ahlus Sunnah Wal-Jama'ah merupakan satu-satunya firqah (golongan) di
antara berbagai firqah di dalam Islam yang disebut oleh Nabi SAW
sebagai firqah ahli surga. Mereka adalah para shahabat Nabi SAW. yang
dikenal dengan sebutan As-Salafush Shalih yang senantiasa berpegang
teguh pada sunnah Nabi. SAW. dan dilanjutkan oleh tabi'in dan tabi'it
tabi'in, dua generasi yang memiliki keutamaan sebagaimana dinyatakan
oleh Nabi SAW. Kemudian diikuti oleh para pengikutnya sampai
sekarang.
2. Menjadikan Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai dua sumber pokok syari'at
Islam, dan menerima dua sumber yang lahir dari keduanya, yakni ijma'
dan qiyas.
3. Memahami syari'at Islam dari sumber Al-Qur'an dan As-Sunnah melalui:
sanad (sandaran) para shahabat Nabi SAW. yang merupakan pelaku dan
saksi ahli dalam periwayatan hadits serta manhaj seleksinya, dan
berbagai pemikiran yang diimplementasikan dalam pelaksanaan tugas
tasyri' (penetapan hukum syar'i) setelah beliau wafat. Mereka terutama
empat shahabat yang disebut oleh Nabi SAW. sebagai Al-Khulafa' al-
Rasyidun telah menyaksikan langsung dan memahami dengan cermat
pelaksanaan tasyri' yang dipraktikkan oleh Nabi SAW. sanad dua
generasi setelah shahabat, yakni tabi'in dan tabi'it tabi'in yang telah
meneladani dalam melanjutkan tugas tasyri'. Mereka telah
mengembangkan perumusan secara kongkrit mengenai prinsip-prinsip
yang bersifat umum, kaidah-kaidah ushuliyyah dan lainnya. Mereka
adalah para Imam mujtahid, Imam hadits dan lainnya.
B. Memahami Al-Qur'an dan As-Sunnah secara menyeluruh berdasarkan kaidah-
kaidah yang teruji ketepatannya, dan tidak terjadi mu'aradlah (pertentangan)
antara satu nash dan nash yang lain. Dalam hal, diakui dan diterima:
1. Empat Imam mujtahid termasyhur sekaligus Imam madzhab fiqh dari
kalangan tabi'in dan tabi'it tabi'in yang telah merumuskan kaidah-kaidah
ushuliyyah dan menerapkannya dalam melaksanakan tasyri' yang
kemudian menjadi pedoman bagi generasi berikutnya sampai sekarang.
Empat mujtahid besar itu; a. Imam Abu Hanifah An-Nu'man ibn Tsabit
(80-150 H.), b. Imam Malik ibn Anas (93-173 H.), c. Imam Muhammad
ibn Idris Asy-Syafi'i (150-204 H.), dan Imam Ahmad ibn Hanbal (164-
241 H.).
2. Para Imam madzhab aqidah, seperti Abul Hasan Al-Asy’ari (260-324),
dan Abu Mansur Al-Maturidi (W.333 H.).
3. Keberadaan tashawwuf sebagai ilmu yang mengajarkan teori taqarrub
(pendekatan) kepada Allah SWT. melalui aurad dan dzikir yang diwadahi
dalam thariqah sebagai madzhab, selama sesuai dengan syari'at Islam.
Dalam hal ini menerima para Imam tashawwuf, seperti Imam Abul
Qasim Al-Junaid al-Baghdadi (W.297H.) dan Abu Hamid al-Ghazali
(450-505 H.).
4. Melaksanakan syari'at Islam secara kaffah (komprehensif), dan tidak
mengabaikan sebagian yang lain. Memahami dan mengamalkan syari'at
Islam secara tawassuth (moderat), dan tidak ifrath dan tafrith.
5. Menghormati perbedaan pendapat dalam masalah ijtihadiyah, dan tidak
mengklaim bahwa hanya pendapatnya yang benar, sedangkan pendapat
lain dianggap salah.
6. Bersatu dan tolong menolong dalam berpegang teguh pada syari'at Islam
meskipun dengan cara masing-masing.
7. Melaksanakan amar makruf dan nahi munkar dengan hikmah (bijak/arif),
dan tanpa tindak kekerasan dan paksaan.
8. Mengakui keadilan dan keutamaan para shahabat, serta menghormatinya,
dan menolak keras menghina, mencerca dan sebagainya terhadap
mereka, apalagi menuduh kafir.
9. Tidak menganggap siapa pun setelah Nabi SAW. adalah ma'shum
(terjaga) dari kesalahan dan dosa.
10. Tidak menuduh kafir terhadap sesama mukmin, dan menghindari
berbagai hal yang dapat menimbulkan permusuhan.
11. Menjaga ukhuwwah terhadap sesama mukmin, saling tolong menolong,
menyayangi, menghormati, dan tidak saling memusuhi.
12. Menghormati, menghargai, tolong menolong, dan tidak memusuhi
pemeluk agama lain.

Sebelum menjelang Muktamar NU ke-33, ada beberapa pertentangan tentang ciri khas
Aswaja yang kemudian dibahas dalam muktamar tersebut. Oposisi tersebut terutama
terkait dengan konsep Islam Nusantara yang diangkat sebagai tema kongres dan menuai
kontroversi. Namun, tidak ada informasi lebih lanjut tentang sifat oposisi atau siapa yang
menentangnya dalam hasil pencarian. Meskipun demikian, penting untuk dicatat bahwa
hasil muktamar ditentang di pengadilan oleh beberapa pihak yang menganggap bahwa
pengesahan ciri khas Aswaja merupakan penyimpangan dari prinsip NU. Alasan adanya
Muktamar NU ke-33 adalah merumuskan ciri khas Aswaja NU yang dibahas dan
disetujui dalam kongres tersebut. untuk memberikan pemahaman yang jelas tentang
ajaran dan prinsip Aswaja. Ciri-ciri itu dirumuskan untuk memberikan pedoman bagi
warga NU dan mempertahankan identitas organisasi sebagai faksi Islam yang unik dalam
beberapa hal.
BAB III

KESIMPULAN

Islam sebagai agama samawi terakhir memiliki banyak ciri khas (khashaish) yang
membedakannya dari agama lain. Ciri khas Islam yang paling menonjol adalah
tawassuth, ta’adul, dan tawazun. Ini adalah beberapa ungkapan yang memiliki arti yang
sangat berdekatan atau bahkan sama. Oleh karena itu, tiga ungkapan tersebut bisa
disatukan menjadi “wasathiyah”. Watak wasathiyah Islam ini dinyatakan sendiri oleh
Allah SWT di dalam Al-Qur’an.

Watak wasathiyyah dalam Islam Ahlussunnah wal Jama’ah tercermin dalam


semua aspek ajarannya, yaitu akidah, syariah, dan akhlaq/tasawwuf serta dalam manhaj.
Dalam jam’iyyah Nahdlatul Ulama sebagai bagian dari golongan Ahlussunnah wal
Jama’ah, watak wasathiyyah tersebut antara lain terjadi dalam hal-hal sebagai berikut:
Melandaskan ajaran Islam kepada Al-Qur’an dan As-sunnah sebagai sumber pokok dan
juga kepada sumber-sumber sekunder yang mengacu pada Al-Qur’an dan As-sunnah
seperti ijma’ dan qiyas. Menjadikan ijtihad sebagai otoritas dan aktifitas khusus bagi
orang-orang yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang tidak mudah untuk dipenuhi.
Sedangkan bagi yang tidak memenuhi syarat-syarat ijtihad, tidak ada jalan lain kecuali
harus bermazhab dengan mengikuti salah satu dari mazhab-mazhab yang diyakini
penisbatannya kepada ashabul madzahib. Namun, Nahdlatul Ulama membuka ruang
untuk bermazhab secara manhaji dalam persoalan-persoalan yang tidak mungkin
dipecahkan dengan bermazhab secara qauli. Pola bermazhab dalam NU berlaku dalam
semua aspek ajaran Islam; aqidah, syariah/fiqh, dan akhlaq/tasawwuf, seperti dalam
rincian berikut: (a). Di bidang syariah/fiqh, Nahdlatul Ulama mengikuti salah satu dari
mazhab empat, yaitu mazhab Imam Abu Hanifah, mazhab Imam Malik ibn Anas, mazhab
Imam Muhammad bin Idris as-Syafii dan mazhab Imam Ahmad bin Hanbal. (b). Di
bidang aqidah mengikuti mazhab Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan mazhab Imam Abu
Manshur al-Maturidi. (c). Di bidang akhlaq/tasawuf mengikuti mazhab Imam al-Junaid
al-Baghdadi dan mazhab Imam Abu Hamid al-Ghazali. Berpegang teguh pada petunjuk
Al-Qur’an di dalam melakukan dakwah dan amar makruf nahi mungkar, yaitu dakwah
dengan hikmah/kearifan, mau’izhah hasanah, dan mujadalah bil husna. Sebagai salah
satu wujud dari watak wasathiyyah dengan pengertian al-waqi’iyyah (realistis), Nahdlatul
Ulama menghukumi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dengan Pancasila
sebagai dasarnya sebagai sebuah negara yang sah menurut pandangan Islam dan tetap
berusaha secara terus menerus melakukan perbaikan sehingga menjadi negara adil
makmur berketuhanan Yang Maha Esa. Mengakui keutamaan dan keadilan para
shahabat Nabi, mencintai dan menghormati mereka serta menolak dengan keras segala
bentuk penghinaan dan pelecehan terhadap mereka apalagi menuduh mereka kafir. Tidak
menganggap siapa pun setelah Nabi Muhammad saw sebagai pribadi yang ma’shum
(terjaga dari kesalahan dan dosa). Perbedaan yang terjadi di kalangan kaum muslimin
merupakan salah satu dari fitrah kemanusiaan. Karena itu, menghormati perbedaan
pendapat dalam masa`il furu`iyyah-ijtihadiyah adalah keharusan. Nahdlatul Ulama tak
perlu melakukan klaim kebenaran dalam masalah ijtihadiyyah tersebut. Menghindari hal-
hal yang menimbulkan permusuhan seperti tuduhan kafir kepada sesama muslim, ahlul
qiblah. Menjaga ukhuwwah imaniyyah-islamiyyah di kalangan kaum muslimin dan
ukhuwwah wathaniyyah terhadap para pemeluk agama-agama lain. Dalam konteks NU,
menjaga ukhuwwah nahdliyyah adalah niscaya terutama untuk menjaga persatuan dan
kekompakan seluruh warga NU. Menjaga keseimbangan antara aspek rohani dan
jasmani dengan mengembangkan tasawwuf `amali, majelis-majelis dzikir, dan sholawat
sebagai sarana taqarrub ilallah di samping mendorong umat Islam agar melakukan kerja
keras untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka.

SARAN
DAFTAR PUSTAKA

Agung Sasongko ”Kriteria Aswaja” (Republika, 26 Juni 2023)

Agung Sasongko ”Mukhtamar NU” (Republika, 26 Juni 2023)

Jurnal UNISNU JEPARA “Kriteria Khas Aswaja NU Rumusan Muktamar Ke-33” (Feb
Unisnu, 26 Juni 2023)

Alhafiz K, Ahlussunnah wal Jama'ah menurut NU, (Nu Online, Senin 26 Juni 2023)

Anda mungkin juga menyukai