Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

PEMBAGIAN HARTA WARIS MENURUT HUKUM ISLAM

Disusun Oleh :

ASRIYADI LATIF
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Hukum kewarisan selalu menarik untuk dikaji, dalam hubungannya dengan kondisi
sosio kultural masyarakat di Indonesia. Hal ini terjadi karena hukum kewarisan yang
berlaku di Indonesia masih bersifat pluralistik, maksudnya masing-masing golongan
masyarakat mempunyai hukum sendiri-sendiri. Hukum kewarisan adat di Indonesia
sangat dipengaruhi oleh pronsip garis keturunan yang berlaku pada masyarakat yang
bersangkutan.
Setidaknya ada tiga jenis hukum kewarisan yang masih tetap eksis dan hidup di
tengah-tengah masyarakat, yaitu: pertama, hukum kewarisan berdasarkan syari'at Islam,
seperti tertuang dalam ilmu faraid, kedua, hukum kewarisan adat yang sangat pluralistis
keadaannya dan sifatnya tidak tertulis, dan ketiga, hukum kewarisan yang berdasarkan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)/BW.
Dari ketiga jenis hukum kewarisan yang masih tetap eksis dan hidup di tengah-tengah
masyarakat, yang paling dominan dalam pelaksanaan pembagian warisan masyarakat
Indonesia adalah berdasarkan hukum Islam dan hukum adat. Hal ini terjadi karena
masyarakat Indonesia mayoritas penduduknya beragama Islam dengan berbagai suku
yang sangat beragam, yang tentunya pelaksanaan pembagian harta warisan pun akan
beragam pula sesuai dengan sistem kekeluargaan yang mereka anut.
Di Indonesia hukum waris terdapat pada penjelasan pasal 49 undang-undang no 7
tahun 1989, pasal-pasal lain di dalam undang-undang tersebut. Pada masa penyusunan
UU No 7 tahun 1989 pernah muncul suatu rancangan penjelasan pasal 49 yang
dirumuskan sebagai berikut “Kewarisan yang atas kehendak ahli waris pembagiannya
dilakukan berdasarkan hukum Islam maka kewenangan memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara yang timbul dari padanya berada pada pengadilan agama”.
Pewaris hanya terjadi bila mana ada kematian (dari pewaris). Prinsip ini ditegaskan
dalam ketentuan Pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Civil
Code/Burgerlijke Wetboek). Seketika seseorang meninggal dunia, para ahli waris demi
hukum akan menggantikan kedudukan pewaris sebagai pihak yang berwenang memiliki
atau mengurus harta kekayaan yang ditinggalkan. Mulai terhitung sejak meninggalnya
pewaris, maka hak dan kewajibannya demi hukum akan beralih kepada para penerima
waris.
Berdasarkan ketentuan Pasal 834 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, penerima
waris berhak menguasai kekayaan pewaris (boedel) berlandaskan pada haknya sebagai
penerima waris dari pewaris. Klaim ini serupa dengan klaim kepemilikan lainnya dalam
arti bahwa hak tersebut dapat ahli waris pertahankan terhadap siapapun juga (ahli waris
lainnya) yang memiliki klaim sama.
Pembagian harta warisan sering kali menjadi persoalan krusial yang terkadang
memicu pertikaian dan menimbulkan keretakan dalam hubungan keluarga. Padahal Allah
SWT telah menetapkan tata cara pembagian warisan ini di dalam Al-Qur’an secara detail,
agar tidak ada ahli waris yang dizalimi dalam menerima hak warisannya, dan agar semua
ahli waris dapat menerima secara ikhlas ketetapan pembagian tersebut.
Penyebab utama timbulnya persoalan tersebut adalah selain adanya sifat keserakahan
dan ketamakan dalam diri manusia terhadap harta, juga kekurangan pengetahuan pihak
terkait mengenai tata cara pembagian harta warisan dan terbatasnya pakar atau orang -
orang ahli mengenai hukum waris yang dapat memberikan solusi dan informasi mengenai
hal tersebut.

1.2 RUANG LINGKUP


Adapun masalah yang dibatasi dalam makalah ini yaitu pengaruh penerapan Hukum
Islam dalam pembagian harta warisan pada masyarakat muslim
1. Menentukan ahli waris yang berhak mendapatkan harta warisan berdasarkan hukum
Islam
2. Pengaruh penerapan Hukum Islam terhadap pembagian harta warisan pada
masyarakat muslim

1.3 RUMUSAN MASALAH


Adapun rumusan masalah yang diambil berdasarkan ruang lingkup pembahasan pada
makalah ini yaitu :
1. Bagaimanakah cara menentukan ahli waris yang mendapatkan harta warisan
berdasarkan hukum islam ?
2. Bagaimanakah pengaruh penerapan Hukum Islam terhadap pembagian harta warisan
pada masyarakat muslim ?
1.4 TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu :
1. Untuk mengetahui syarat-syarat ahli waris berdasarkan hukum Islam
2. Mengetahui penerapan hukum Islam terhadap pembagian harta warisan pada
masyarakat muslim

1.5 MANFAAT PENELITIAN


1. Manfaat Praktis dari makalah ini nantinya dapat mengembangkan kemampuan
individu penulis dan dapat dijadikan sebagai pengetahuan bagi masyarakat untuk
melihat pengaturan warisan menurut Hukum Islam.
2. Manfaat teoritis Untuk memberikan sumbangan ilmu pengetahuan agar dapat
menciptakan unifikasi dibidang hukum waris untuk menuju kodifikasi hukum hingga
dapat mewujudkan hukum waris nasional.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 LANDASAN TEORI


Menurut Amin Syarifuddin, untuk memahami hukum Islam, perlu diketahui terlebih
dahulu kata “Hukum” dalam bahasa Indonesia dan kata hukum itu disandarkan pada kata
“Islam”. Pengertian Hukum secara sederhana yaitu seperangkat peraturan tentang tingkah
laku manusia yang diakui oleh sekelompok masyarakat, berlaku dan mengikat bagi
seluruh anggotanya. Dalam islam hukum dipandang sebagai bagian dari ajaran agama dan
norma-norma hukum bersumber pada agama umat islam meyakini bahwa hukum islam
berdasarkan kepada wahyu ilahi. Oleh karena itu, ia disebut syariah (Anwar, 2007:3).
Maka adapun yang dimaksud dengan hukum Islam adalah peraturan-peraturan dan
ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan kehidupan yang berdasarkan Qur’an dan
sunnah.
Warisan atau kewarisan yang sudah populer dalam bahasa Indonesia berasal dari
bahasa Arab yaitu : yang berarti pindahnya harta si Fulan (Mahmud
Yunus, 1989:496).
Kata warisan yang asal katanya adalah waratsa adalah salah satu cabang ilmu Islam
yang membahas masalah pembagian harta benda setelah yang membpunyai harta benda itu
meninggal dunia. Sedangkan menurut kompilasi harta peninggalan (tirkah) pewaris, siapa
yang berhak menjadi ahli waris dan bagian masing-masing ahli waris itu sendiri (Daradjat,
1995:2)

2.2 METODE ANALISIS


Metode yang digunakan yaitu :
1. Metode Analisis dengan tahap pengenalan terhadap pengetahuan (knowledge)
2. Metode Perancangan Pengetahuan yang telah terkumpul (tacit knowledge)
direpresentasikan, sehingga didapatkan pengetahuan yang sesuai dengan topik yang
dikembangkan.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Penentuan Ahli Waris berdasarkan Hukum Islam


Menurut hukum Islam mawaris jamak dari mirats, (irts, wirts, wiratsah, dan turats, yang
dimaknakan dengan mauruts) adalah “ harta peninggalan orang yang meninggal yang
diwariskan kepada para warisnya”. Orang yang meninggalkan harta disebut muwarits,
sedang yang berhak menerima pusaka disebut waris.
Hukum waris Islam adalah aturan yang mengatur pengalihan harta dari seseorang yang
meningggal dunia kepada ahli warisnya. Hal ini berarti menentukan siapa-siapa yang
menjadi ahli waris, porsi bagian masing-masing ahli waris, menentukan harta peninggalan
dan harta warisan bagi orang yang meninggal dimaksud.
Permasalahan mengenai kewarisan Islam di Indonesia diatur dalam buku II Kompilasi
Hukum Islam. Pasal 171 KHI Inpres Nomor 1 Tahun 1991 menentukan bahwa hukum
kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta
peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan
berapa bagiannya masing-masing.
Hal-hal yang menyebabkan seseorang berhak mewaris menurut Islam, adalah :
1. Kekerabatan sesungguhnya, yakni hubungan nasab. Yaitu ibu, bapak, anak-anak,
saudara-saudara, para paman dan lain-lain.
2. Pernikahan, yaitu akad nikah yang syah yang terjadi di antara suami isteri sekalipun
sesudah pernikahan belum terjadi persetubuhan atau berduaan di tempat sunyi.
Mengenai nikah fasid atau nikah batal, tidak bisa menyebabkan hak waris.
3. Perbudakan, yaitu hubungan bekas budak dengan orang yang memerdekakannya.
Apabila bekas budak itu tidak mempunyai ahli waris yang berhak menghabiskan
hartanya
4. Tujuan Islam yaitu bagi orang yang tidak mempunyai ahli waris maka hartanya ditaruh
di Baitul Mal untuk kepentingan orang Islam. Menurut fuqaha Hanafiah, Hanabilah
dan ketentuan yang terdapat dalam undang-undang Mesir bahwa kas perbendaharaan
negara mendapat harta yang tak terwariskan itu dengan jalan bukan mempusakai,
tetapi dengan anggapan bahwa ia adalah lembaga untuk menyalurkan kemaslahatan
umat Islam.
Adapun syarat-syarat Kewarisan ada tiga yaitu :

1. Meninggalnya pewaris yang dimaksud dengan meninggalnya pewaris baik secara


hakiki ataupun hukmiy ialah bahwa seseorang telah meninggal dan diketahui oleh ahli
warisnya atau sebagian dari mereka, atau vonis yang ditetapkan hakim terhadap
seseorang yang tidak diketahui lagikeberadaannya.
2. Masih hidupnya para ahli waris. Maksudnya, pemindahan hak kepemilikan dari
pewaris harus kepada ahli waris yang secara syariat benar-benar masih hidup sebab
orang yang sudah mati tidak memiliki hak untuk mewarisi.
3. Diketahuinya posisi ahli waris. Dalam hal ini posisi para ahli waris hendaklah
diketahui secara pasti, misalnya suami isteri dan sebagainya. Sehingga pembagi
mengetahui masing-masing ahli waris. Sebab dalam hukum kewarisn perbedaan jauh
dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima, tidak cukup hanya
mengatakan bahwa seseorang adalah saudara sang pewaris, akan tetapi harus
dijelaskan apakah ia saudara kandung, seayah atau seibu. Amsing-masing ada yang
menerima warisn karena sebagai awi al-furud, ada yang ‘asabah, ada yang terhalang
tidak mendapatkan warisan.

3.2 Pengaruh Penerapan Hukum Islam dalam Pembagian Harta Warisan


Kepercayaan animisme yang meyakini oadat istiadat yang mereka pegang teguh
turun-temurun sejak berabad-abad sebelum Islam, berangsur-angsur dirobah dan
disesuaikan dengan nilai dan norma ajaran Islam. Walaupun kenyataannya menunjukan
bahwa animisme masih mempengaruhi kelompok orang tertentu sampai sekarang.
Di Indonesia terdapat jenis hukum yang bersumber dari kebiasaan-kebiasaan suatu
golongan masyarakat yang selalu berulang sehingga dianggap sebagai sebuah adat. Adat
sendiri berasal dari bahasa arab yaitu „adah yang artinya berulang atau kembali lagi. Adat
dan hukum itu sendiri sudah menjadi satu kesatuan yang merupakan suatu istilah hukum
Indonesia yang menunjukkan tentang kebiasaan, baik tentang bidang kesusilaan, maupun
bidang-bidang lainnya dari suatu golongan tertentu yang juga dapat dipersamakan dengan
pengertian „urf dalam istilah hukum fikih.
Semua tingkah laku atau tindakan yang dilakukan oleh suatu golongan yang dianggap
baik dan bermanfaat bagi mereka akan dilakukan secara terus-menerus sehingga menjadi
suatu kebiasaan yang nantinya akan lahir sebuah norma dalam golongan tersebut yang
lambat laun akan menjadi sebuah norma hukum. Dalam hal ini, sesuatu dikatakan menjadi
norma hukum bukanlah karena suatu penetapan melainkan sebuah kebiasaan yang selalu
diulang-ulang mengerjakannya, oleh karena itu jika dilihat dari sumbernya, norma ini
tidak berasal dari seorang penguasa melainkan berasal dari masyarakat itu sendiri.
Dan karena masyarakat pada dirinya sendiri mengandung kecenderungan untuk
berubah-ubah, maka hukum adat atau „urf adalah hukum yang senantiasa berubah-ubah. Ia
hidup dan tumbuh sejalan dengan kehidupan dan pertumbuhan masyarakatnya sendiri.
Kalau ia tidak lagi sejalan dengan pertumbuhan masyarakatnya, iapun dengan sendirinya
menjadi mati dan tumbuhlah adat yang baru yang sesuai dengan tingkat kehidupan
masyarakatnya.
Oleh karena pertumbuhan hukum adat selalu berubah-ubah itu menjadikannya sebagai
sebuah hukum yang tidak tertulis. Walaupun demikian para ahli hukum Islam berpendapat
bahwa adat adalah suatu unsur penting dalam menetapkan suatu hukum. Seperti halnya
pada pada masyarakat dalam hal kewarisan dianggap sangat berbeda oleh peneliti dengan
pembagian warisan dalam Islam.
Oleh karena sistem pembagian warisan tersebut telah dilakukan sejak dahulu dan
selalu berulang dan dianggap baik bagi masyarakat suku tersebut maka lahirlah sebuah
hukum adat kewarisan yang berbeda dengan apa yang telah ditetapkan didalam Islam.
Pengaruh adat dalam kehidupan sehari-hari bukan lagi hal yang perlu diragukan, yang
terpenting adalah bagaimana kita dapat menjadikan adat itu sebagai sesuatu yang baik dan
sesuai perkembangan zaman atau lebih tepatnya adalah sesuai dengan syariat Islam.

Aturan-aturan hukum waris mengalami pengaruh :

a. Perubahan/ perkembangan sosial


b. Karena makin eratnya ikatan keluarga, sejalan dengan melonggarkannya ikatan
suku
c. Aturan-aturan pewarisan dari stelsel-stelsel hukum asing karena hubungan tertentu
dengan agama mendapat kewibawaan yang berasal dari religi; atauran-aturan itu
misalnya oleh hakim-hakim agama diterapkan atas peristiwa-peristiwa konkrit,
meskipun pengaruh itu di dalam hukum waris lebih kecil daripada hukum
perkawinan; tergantung kepada kekuatan hukum waris struktural apakah hukum
tersebut dapat bertahan ataukah akan terjadi perubahan yang mendalam.
Terkait dengan ini, dalam Hukum adat maupun Hukum Islam telah ditetapkan, bahwa
harta warisan adalah semua harta peninggalan pewaris yang dimiliki dimasa hidupnya,
baik benda yang bergerak maupun yang tidak bergerak, begitupula dengan utang-piutang.

Di lingkungan masyarakat adat yang asas pewarisannya individual, apabila pewaris


wafat maka para ahli waris berhak atas bagian warisannya. Disamping itu, ada warisan
yang tidak dapat dibagikan penguasaan atau kepemilikannya karena sifat benda, keadaan
dan gunanya tidak dapat dibagi dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama.

Sebagian besar masyarakat Indonesia dalam hal kewarisan masih berada pada garis
demarkasi antara hukum adat dan hukum Islam, dimana hukum Islam belum berlaku
sebagaimana mestinya pada sebagian besar masyarakat yang beragama Islam. Pada
sebagian masyarakat di beberapa daerah atau pada kelompokkelompok tertentu, masih
berpegang teguh pada hukum kewarisan adat yang ada didaerahnya.
BAB IV
PENTUP
4.1 KESIMPULAN
Berdasarkan analisa yang penulis lakukan untuk menjawab rumusan masalah, berikut
kesimpulan yang dapat diambil:
1. Hukum waris Islam adalah aturan yang mengatur pengalihan harta dari seseorang
yang meningggal dunia kepada ahli warisnya. Hal ini berarti menentukan siapa-
siapa yang menjadi ahli waris, porsi bagian masing-masing ahli waris, menentukan
harta peninggalan dan harta warisan bagi orang yang meninggal dimaksud.
2. Adapun syarat-syarat Kewarisan ada tiga yaitu :
a. Meninggalnya pewaris yang dimaksud dengan meninggalnya pewaris baik
secara hakiki ataupun hukmiy ialah bahwa seseorang telah meninggal dan
diketahui oleh ahli warisnya atau sebagian dari mereka, atau vonis yang
ditetapkan hakim terhadap seseorang yang tidak diketahui lagikeberadaannya.
b. Masih hidupnya para ahli waris. Maksudnya, pemindahan hak kepemilikan dari
pewaris harus kepada ahli waris yang secara syariat benar-benar masih hidup
sebab orang yang sudah mati tidak memiliki hak untuk mewarisi.
c. Diketahuinya posisi ahli waris. Dalam hal ini posisi para ahli waris hendaklah
diketahui secara pasti, misalnya suami isteri dan sebagainya. Sehingga pembagi
mengetahui masing-masing ahli waris. Sebab dalam hukum kewarisn
perbedaan jauh dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima,
tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah saudara sang pewaris,
akan tetapi harus dijelaskan apakah ia saudara kandung, seayah atau seibu.
Amsing-masing ada yang menerima warisn karena sebagai awi al-furud, ada
yang ‘asabah, ada yang terhalang tidak mendapatkan warisan.
3. Pada masyarakat dalam hal kewarisan dianggap sangat berbeda oleh peneliti
dengan pembagian warisan dalam Islam. Oleh karena sistem pembagian warisan
menurut adat tersebut telah dilakukan sejak dahulu dan selalu berulang dan
dianggap baik bagi masyarakat suku di beberapa daerah sejak itu maka lahirlah
sebuah hukum adat kewarisan yang berbeda dengan apa yang telah ditetapkan
didalam Islam.

4.2 SARAN
Tulisan ini adalah bagian kecil dari upaya pemecahan masalah, untuk itu
dipandang perlu upaya-upaya seperti penyuluhan secara intensif terutama oleh para
akademisi, penegak hukum dan para tuan guru, agar umat Islam Indonesia dalam
segala hal merujuk kepada Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW terutama yang
berkenaan dengan kewarisan.

Anda mungkin juga menyukai