Anda di halaman 1dari 3

Kenangan di Ujung Malam

Tak ada kata yang dapat aku terucapkan di ujung malam ini. Angin senai-
senai terus bertiup tak henti. Seakan mengiring kepiluan hatiku, saat
kenangan di masa muda Bersama lalu itu merambah masuk kedalam
benakku. Cerita seorang Wanita yang pernah ada saat aku resah.Rasa hina
Rara yang pupus saat dirinya ada. Indah saat dikenang, sakit terasa bila
terkenang. Rara . Ya……Rara,gadis manis dari pada saat SMP
Apa nian kisahnya, sehingga Rara tak hilang berbekas dalam kenangan.
Tak lekang termakan oleh umur yang ini hampir empat puluh tahun berlalu,
meskipun tinggal jauh di Kota Wamena.
Orang mungkin akan melihat di tahun milenaial ini masih ada kenangan
serupa itu. Memang kisah itu tidak seromantis syairnya para pujanga. Tak
sesedih kisah Romeo dan Juliet. Tapi begitulah kenangan dan temuan
hidup. Kenyataan yang kini berubah seakan menjadi fiksi. Susah untuk
dipahami terhadap hikmah.
Kata pribahasa Hanya aku yang tahu kisah itu. Tapi aku tidak tahu, karena
aku tahu.
Satu kali dentingan suara tiang listrik yang dipukul peronda malam,
menyentak sadarkan aku dari kenangan itu. Dari balik pintu halaman,
tampak seorang peronda tua sumringah.
“Belum tidur To”, sapanya.
“Ups….Pak Iwa rupanya. Hampir saja aku kaget pak. Aku kira siapa tadi.
Singgah pak! Ini ada seceret kopi hitam sama pisang goreng dingin”,
jawabku.
Pak Iwa penjaga yang rajin. Terkadang ia mampir saat melihat diriku besih
duduk di balai-balai bambu berenda rumah. Menyeruput kopi di ujung
malam biasa kami berdua lakukan, saat mata enggan terpejam. Meskipun
dia bertandang di ujung malam tak lama. Hanya sehabis dua batang rokok,
segelas kopi Mix.
Mendekat Pak Iwa, seperti biasa dia duduk dikursi bambu sembari
mengangkat kaki hitamnya yang kian tampak kapalan.
“Hari ini tak secerah malam biasanya To? Maksud aku raut muka Octo itu.
Apa ada pikiran berat yang sedang melanda bencana? Sehingga Octo seperti
orang yang sedang gundah gulana”, tegur Pak Iwa sembari bercanda ala
Papua Wamena
“Ah Pak Iwa bisa saja. Aku dari tadi Cuma mikiri soal hari ini. Berkutat
seharian mengais rezeki, yang didapat belum sesuai harapan. Rencana mau
mancing ikan Mas, tau-tau yang kenai anak ikan sepat”, jawabku sembari
bercanda, yang membuat kami berdua terkekeh-kekeh.
Rupanya dari candaan itu, Pak Iwa dapat membaca raut muka aku. Dibalik
senyum dan tawa itu, dia melihat kegusaran. Aku sodorkan rokok keretek
dan ku tuangkan kopi di dalam cangkir kaleng, tak membuat pecah
konsentrasi penjaga ini.
“Tak usahlah coba bohong To, Kita sama-sama orang yang suka bergadang.
Kita sama-sama tahu, kalau orang yang suka bergadang itu intuisinya
sensitif dan instingnya tajam. Kalau mau berbagi cerita di waktu yang
sesaat ini mari To berbagi”, tegurnya menyindir.
Aku sempat terdiam beberapa saat. Tak sadar, raut muka aku berubah.
Layar kisah aku dan Rara terasa muncul kembali di atas ubun-ubun
kepalaku. Sempat tampa olehku, saat aku menghantar Rara ke kantornya, di
sebuah bank swasta Mega menggunaka mobil, meluncur ke kawasan Pasar
Baru Wamena Papua.
Kami bercanda pagi itu, hingga tak menghiraukan supir mobil yg mengintip
dari kaca spionnya. Mendadak layar itu hilang, saat abu rokok di jariku
jatuh ke paha. Aku tersentak. Pak Iwa pun tertawa. Bergegas dia berdiri dan
beranjak pergi.
“Aku mutar lagi Octo. Aku bawa rokok tiga batang sama kopi segelas.
Besok gelasnya aku kembalikan”, tegurnya berlalu. “Baik, tenang To.
Awas, ketauan orang rumah kelak,Amel cemburu ”, katanya mengingatkan
agar berhati-hati. Takut kisah cinta lama itu ketahuan sama isteri To yang
kini lagi terlelap di danau Habema.
Aku hanya tersenyum saja. “Lanjut pak……Kalau ada kijang patah kaki
cepat kasih tahu aku”, kataku.
Udara malam sudah semakin dingin. Angin yang berhembus senai-senai
sudah tak terasa lagi. Dari balai-balai beranda rumah, dengan udara yang
berubah, entah mengapa rasaku mulai terasa kesal. Pikiranku terus
membisik, kisah lama bersama Rara gadis itu sebenarnya bukan kenangan
indah. Tapi itu merupakan pengkhianatan terhadap rasa cinta. Timbang
sama dengan pengkhianat bangsa.
Pikiran rasionalku, tampaknya mulai mempengaruhi khayal. Teringat
asbabul kisah putusnya cinta. Hanya karena seseorang yang mempunyai
ekonomi lebih dari padaku saat itu. Seorang pejalan kaki versus pengendara
bermobil sedan.
Rasa mulai sakit. Tutur kata perpisahan yang menikam jantung. Senyum
manis Hartini Sang Pegawai Bank itu telah hilang, mendadak berganti rasa
dendam bersarang, sedalam Danau Dendam Tak Sudah.
Tapi sudahlah. Rasa dendam akan menimbulkan penyakit diri. Kenangan
mulai menantang rasionalitas. Aku mendukung rasionalitas, tapi aku susah
melepaskan kenangan itu, apalagi cepat-cepat hilangkan dari khayalku.
Bergegas aku ambil gaget dari dalam saku, untuk kubtorehkan saja rasa ini
kedalam status media sosialku.
“Ini kenangan menyakitkan yang enggan aku lepaskan. Kamis di ujung
malam kenangan 15 tahun nanlalu itu, terasa dihantar deru ombak menerpa
pasir putih . Deru ombak membawa puing kenangan beterbangan……Wk
wk wk wk wk”, statusku.
Agak sedikit lega rasanya. Baru sebentar terletak, gaget bergetar. Rupanya
sebuat komentar dari seorang perempuan yang mungkin lagi bergadang.
“Ada kesucian dibalik rasa. Janganlah berlaku lemah saat dusta datang
singgah bertahtah. Janganlah anda terlalu lebay, karena setiap massa
memang selalu ada cerita. Indahnya bintang di saat fajar, akan melukis arah
daratan. Kembang melati akan bersemi semerbak di ujung malam, sebelum
malam kembali menjelang”, tulis perempuan yang tak mau tampak foto
profilnya itu .
Aku hanya senyum tersipu membaca komentar itu. Sembilan tanda like aku
berikan. Perempuan yang tertulis namanya Hamba Sahaya itupun
mengirimkan gambar anime tersenyum.
Aku jadi penasaran. Iseng, aku langsung masuk kejaringan pribadinya
melalui pesan. Canda dan sapapun berlangsung. Iseng, langsung aku kirim
gambar foto diriku yang terbaik, dengan harapan perempuan itu
mengirmkan juga foto dirinya.
Betapa kagetnya au, saat aku tahu, bahwa perempuan itu ternyata isteriku
yang dari dalam kamar sedang bermain media sosial, setelah ia mengirim
gambarnya. Pertengkaranpun pecah hingga fajar menyinsing. Baru hening
dari saling tuding, setelah kami berdua dikagetkan oleh suara kucing kawin
dari atas seng rumah.
“Hus…..hus…..hus”, teriak isteriku, saat aku berlari mengambil secentor air
di kamar ,mandi, untuk menyebor kucing itu.
“Untukapa air itu”, tanya isteriku.
“Buat nyiram itu kucing, biar dia nggak kedinginan dan nggak jadi syahwat
lagi” kataku.
Iateriku tampak hanya mengangguk saja. Entah mengerti, atau tidak enggeh
aan maksudku “Jangankan kucing, orang aja pas mau kawin, terus di sebor
air juga menciut”, bisikku ngedumel

Anda mungkin juga menyukai

  • Kisi Num
    Kisi Num
    Dokumen3 halaman
    Kisi Num
    GABRIEL SINAMBELA
    Belum ada peringkat
  • Mm. Wajib
    Mm. Wajib
    Dokumen4 halaman
    Mm. Wajib
    GABRIEL SINAMBELA
    Belum ada peringkat
  • Ing Gris
    Ing Gris
    Dokumen1 halaman
    Ing Gris
    GABRIEL SINAMBELA
    Belum ada peringkat
  • Fargin
    Fargin
    Dokumen1 halaman
    Fargin
    GABRIEL SINAMBELA
    Belum ada peringkat