Anda di halaman 1dari 41

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pajak berganda internasional terjadi ketika perpajakan dua negara
atau lebih tumpang tindih, sehingga negara yang dikenakan pajak lebih
dari satu negara memikul beban lebih tinggi daripada orang yang dikenai
pajak di satu negara. Peningkatan biaya tidak hanya terkait dengan
perbedaan tarif antara negara-negara yang terlibat, tetapi juga fakta bahwa
dua atau lebih negara mengenakan pajak komoditas yang sama pada waktu
yang sama. Indonesia yang merupakan negara berdaulat mempunyai
kewenangan untuk membentuk peraturan perpajakan, namun tidak terlepas
dari jaringan internasional yang juga menangani masalah perpajakan.
Peraturan perpajakan sebagai peraturan perundang-undangan yang
positif di negara Indonesia yang memiliki keterkaitan dan interdependensi
interaksi antar negara-negara, seperti pertukaran barang dan jasa,
pergerakan sumber daya manusia, transaksi layanan lintas batas, aliran
uang, pembiayaan antarnegara, dan aliran informasi. Peningkatan produksi
barang dan jasa harus seimbang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
Indonesia serta memiliki dampak yang menguntungkan. Sehingga
peningkatan belanja pemerintah dalam penyediaan atau perbaikan
infrastruktur akan menghasilkan produk dan jasa berjalan lebih lancar.
Tujuan utama dari setiap kebijakan perpajakan baik pada aspek
domestik maupun internasional adalah untuk mengumpulkan penerimaan
gunamembiaya pengeluaran pemerintah. Sehubungan dengan arus
penghasilan dari transaksi internasional, maka tujuan kebijakan perpajakan
adalah untuk memperoleh penerimaan pajak penghasilan luar negeri yang
diterima oleh wajib pajak dalam negeri dan penghasilan domestik yang
diterima oleh wajib pajak luar negeri. Dengan semakin majunya metode
dan teknik berdagang, bisnis dan investasi dan semakin canggihnya
perencanaan perpajakan (tax planning), maka administrasi perpajakan
jugaharus 'mampumenyesuaikan dan membangun teknologi informasi
sehingga semua transaksi internasional yang terjadi dapat antisipasi dan
ditangani, sehingga potensi penerimaan pajak dari transaksi internasional
dapat optimal.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Tax Treaty/Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
(P3B)?
2. Bagaimana aturan yang berlaku dalam Perjanjian Penghindaran
Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan Korea Selatan?
3. Apakah Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara
Indonesia dengan Korea Selatan telah disepakati oleh kedua belah
pihak?
4. Bagaimana aturan saat berlakunya perjanjian dan saat berakhirnya
Perjanjian Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan Korea
Selatan?
5. Apakah perlakuan peraturan dalam Perjanjian Pajak Berganda
(P3B) berbeda beda atau setara antar warga Indonesia dengan
warga Korea Selatan?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian Tax Treaty/Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda (P3B).
2. Mengetahui aturan yang berlaku dalam Perjanjian Penghindaran
Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan Korea Selatan
3. Mengetahui apakah Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
(P3B) antara Indonesia dengan Korea Selatan telah disepakati oleh
kedua belah pihak.
4. Mengetahui aturan saat berlakunya perjanjian dan saat berakhirnya
Perjanjian Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan Korea
Selatan.
5. Mengetahui perlakuan peraturan dalam Perjanjian Pajak Berganda
(P3B) apakah berbeda beda atau setara antar warga Indonesia
dengan warga Korea Selatan.
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pasal 1 : Orang Dan Badan Yang Tercakup Dalam Persetujuan

Persetujuan ini berlaku terhadap orang dan badan yang merupakan penduduk
salah satu atau kedua Negara pihak pada Persetujuan.

B. Pasal 2 : Pajak-Pajak Yang Tercakup Dalam Persetujuan Ini

1. Persetujuan ini berlaku terhadap pajak-pajak atas penghasilan yang


dikenakan oleh masing masing Negara pihak pada Persetujuan,
tanpa memperhatikan cara pemungutannya.
2. Sebagai pajak-pajak atas penghasilan dianggap semua pajak yang
dikenakan atas seluruh penghasilan atau atas unsur-unsur
penghasilan, termasuk pajak-pajak atas keuntungan yang diperoleh
dari pemindah tanganan harta gerak atau harta tidak bergerak dan
pajak-pajak atas upah atau gaji yang dibayarkan oleh perusahaan.
3. Pajak-pajak yang berlaku menurut Persetujuan ini adalah :

1) Di Indonesia :
Pajak penghasilan dan sejauh dinyatakan dalam pajak
penghasilan tersebut, pajak perseroan dan pajak atas Bunga,
Dividen dan Royalti
(selanjutnya disebut pajak Indonesia);

2) Di Korea :
(i) Pajak penghasilan;
(ii) Pajak perseroan;
(iii) Pajak penduduk yang dikenakan dalam kaitannya
dengan pajak atas penghasilan atau pajak atas perseroan;
(selanjutnya disebut pajak Korea);

4. Persetujuan ini berlaku pula bagi setiap pajak yang serupa atau
pada hakekatnya sejenis yang dikenakan setelah tanggal
penandatanganan Persetujuan ini sebagai tambahan terhadap atau
sebagai pengganti dari, pajak-pajak yang tersebut dalam ayat 3.
Para pejabat yang berwenang dari kedua Negara pihak pada
Persetujuan akan memberitahukan satu sama lain setiap perubahan-
perubahan penting yang terjadi dalam perundang-undangan pajak
masing-masing.

C. Pasal 3 : Pengertian-Pengertian Umum

1. Kecuali jika dari hubungan kalimatnya diartikan lain, maka yang


dimaksud dalam Persetujuan ini dengan :

a) (i) istilah Indonesia meliputi wilayah Republik Indonesia


sebagaimana dirumuskan dalam perundang-undangannya dan
bagian-bagian dari landas kontinen dan lautan sekitarnya yang
berbatasan, dimana Republik Indonesia mempunyai
kedaulatan, hak hak lainnya sesuai hukum internasional;

(ii) istilah Korea meliputi wilayah Republik Korea


sebagaimana dirumuskan dalam perundang-undangannya dan
bagian-bagian dari landas kontinen dan lautan sekitarnya yang
berbatasan, dimana Republik Korea mempunyai kedaulatan,
hak-hak lainnya sesuai hukum internasional;
b) istilah suatu Negara pihak pada Persetujuan dan Negara pihak
pada Persetujuan lainnya berarti Indonesia atau Korea sesuai
dengan hubungan kalimatnya;
c) istilah pajak berarti pajak Indonesia atau pajak Korea sesuai
dengan hubungan kalimatnya;
d) istilah orang dan badan meliputi orang pribadi, perseroan dan
setiap kumpulan lain dari orang atau badan yang diperlakukan
sebagai badan hukum untuk tujuan perpajakan;
e) istilah perseroan berarti setiap badan hukum atau setiap
kesatuan hukum yang untuk tujuan pemungutan pajak
diperlakukan sebagai badan hukum;
f) istilah perusahaan dari suatu Negara pihak dan
Persetujuandanperusahaan dari suatu Negara pihak dan
Persetujuan lainnya berarti berturut-turut suatu perusahaan
yang dijalankan oleh penduduk dari suatu Negara pihak pada
Persetujuan dan suatu perusahaan yang dijalankan oleh
penduduk Negara pihak pada Persetujuan lainnya;
g) istilah lalu lintas international berarti setiap pengangkutan oleh
kapal laut atau pesawat udara yang dioperasikan oleh suatu
perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan, kecuali
apabila kapal laut atau pesawat udara tersebut semata-mata
dioperasikan antara tempat-tempat yang berada di Negara pihak
pada Persetujuan lainnya;
h) istilah pejabat yang berwenang berarti:

i. di Indonesia :
Menteri Keuangan atau wakilnya yang sah ;
ii. di Korea :
Menteri Keuangan atau wakilnya yang sah;

i. istilah warga negara berarti :


(i) semua orang pribadi yang memiliki
kewarganegaraan suatu Negara pihak pada
Persetujuan.
(ii) semua badan hukum, usaha bersama dan
persekutuan yang memperoleh statusnya berdasarkan
perundang-undangan yang berlaku di suatu Negara
pihak pada Persetujuan;

2. Untuk penerapan Persetujuan ini oleh salah satu Negara pihak pada
Persetujuan setiap istilah yang tidak dirumuskan, kecuali jika dari
hubungan kalimatnya harus diartikan lain, akan mempunyai arti
menurut perundang-undangan Negara pihak pada persetujuan itu
sepanjang mengenai pajak-pajak yang ditentukan dalam
Persetujuan ini.

D. Pasal 4 : Penduduk

1. Untuk kepentingan Persetujuan ini, istilah penduduk suatu Negara


pihak pada Persetujuan berarti setiap orang atau badan yang
berdasarkan perundang-undangan di Negara pihak pada
Persetujuan dianggap sebagai penduduk untuk kepentingan pajak
di Negara pihak pada Persetujuan tersebut. Tetapi istilah ini tidak
termasuk orang dan badan yang dapat dikenakan pajak di Negara
itu hanya dari penghasilan yang bersumber di Negara tersebut.
2. Jika berdasarkan ketentuan-ketentuan ayat 1 seorang pribadi
menjadi penduduk di kedua Negara pihak pada Persetujuan, maka
statusnya akan ditentukan sebagai berikut :

a) ia akan dianggap sebagai penduduk Negara pihak pada


Persetujuan dimana ia mempunyai tempat tinggal tetap
yang tersedia baginya; jika ia mampunyai tempat tinggal
tetap yang tersedia baginya di kedua Negara pihak pada
Persetujuan, ia akan dianggap sebagai penduduk di Negara
pihak pada Persetujuan dimana ia mampunyai hubungan
pribadi dan hubungan ekonomi yang lebih erat (pusat
kepentingan-kepentingan pokok);
b) jika Negara pihak pada Persetujuan dimana ia mampunyai
pusat kepentingan-kepentingan pokoknya tidak dapat
ditentukan, atau jika ia tidak mampunyai tempat tinggal
tetap yang tersedia baginya di kedua Negara pihak pada
Persetujuan, ia akan dianggap sebagai penduduk Negara
pihak pada Persetujuan dimana ia menurut kebiasaannya
berdiam;
c) jika ia mampunyai tempat dimana ia biasanya diam di
kedua Negara pihak pada Persetujuan atau tidak
mempunyai di kedua Negara itu, maka pejabat yang
berwenang dari kedua Negara pihak pada Persetujuan akan
menyelesaikan persoalan tersebut melalui persetujuan
bersama.

3. Jika berdasarkan ketentuan-ketantuan dimana ayat 1, orang atau


badan, selain dari orang pribadi, merupakan penduduk di kedua
Negara pihak pada Persetujuan, maka ia akan dianggap sebagai
penduduk di Negara dimana tempat kedudukan manajemen yang
efektif berada.

E. Pasal 5 : Bentuk Usaha Tetap

1. Untuk kepentingan Persetujuan ini, istilah bentuk usaha tetap


berarti suatu tempat kedudukan tetap dimana seluruh atau sebagai
usaha perusahaan dijalankan.
2. Istilah bentuk usaha tetap terutama meliputi :

a) suatu tempat kedudukan manajemen ;


b) suatu cabang;
c) suatu kantor;
d) suatu pabrik;
e) suatu bengkel; dan
f) suatu pertambangan, suatu ladang minyak atau gas, suatu
tempat penggalian atau tempat penambangan sumber alam
lainnya.

3. Istilah bentuk usaha tetap meliputi pula :

a) suatu lokasi bangunan, proyek konstruksi, atau kegiatan-


kegiatan yang berhubungan dengan hal tersebut, dimana
lokasi, proyek atau kegiatan-kegiatan berlangsung untuk
periode lebih dari enam bulan;
b) suatu proyek perakitan atau instalasi yang dilakukan lebih
dari enam bulan.
c) pemberian jasa-jasa termasuk jasa konsultasi, oleh
perusahaan melalui karyawannya atau personil lainnya
yang ditunjuk oleh perusahaan untuk tujuan itu, tetapi
hanya apabila kegiatan-kegiatan tersebut berlangsung
(untuk proyek yang sama atau yang ada kaitannya) di
Negara itu dalam masa atau masa-masa lebih dari tiga
bulan dalam jangka waktu 12 bulan.

4. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan terdahulu dalam pasal ini,


istilah bentuk usaha tetap tidak dianggap meliputi :

a) penggunaan fasilitas semata-mata untuk maksud


menyimpan atau memamerkan barang barang atau barang
dagangan milik perusahaan;
b) pengurusan suatu persediaan barang-barang atau barang
dagangan milik perusahaan semata-mata dengan maksud
untuk disimpan atau dipamerkan;
c) pengurusan suatu persediaan barang-barang atau barang
dagangan milik perusahaan semata-mata dengan maksud
untuk diolah oleh perusahaan lainnya;
d) pengurusan auatu tempat tetap semata-mata untuk maksud
membeli barang-barang atau barang dagangan, atau untuk
mengumpulkan keterangan untuk kepentingan perusahaan;
e) pengurusan suatu tempat tetap semata-mata untuk tujuan
menjalankan, untuk kegiatan kegiatan yang bersifat
persiapan atau penunjang bagi kepentingan perusahaan.

5. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan pada ayat 1 dan 2, jika


orang atau badan selain dari agen yang berdiri sendiri dimana
berlaku ayat 7 bertindak di Negara pihak pada Persetujuan atas
nama perusahaan dari Negara pihak pada Persetujuan lainnya,
maka perusahaan tersebut akan dianggap mempunyai bentuk usaha
tetap di Negara pihak pada Persetujuan yang disebut pertama
berkenaan dengan setiap kegiatan yang dilakukan oleh orang atau
badan tersebut untuk kepentingan perusahaan, jika orang atau
badan itu:

a) Memiliki kuasa dan biasa melaksanakannya untuk menutup


kontrak di Negara tersebut atas nama perusahaan, kecuali
jika kegiatan orang atau badan itu dibatasi pada hal-hal
yang diatur pada ayat 4, yang meskipun dilakukan melalui
suatu tempat tetap tidak akan menjadikan tempat tetap itu
suatu bentuk usaha tetap berdasarkan ketentuan dalam ayat
tersebut; atau
b) Tidak memiliki kuasa semacam itu, tetapi mempunyai
kebiasaan untuk mengurus persediaan barang-barang atau
barang dagangan di Negara yang disebut pertama dan
secara teratur menyerahkan barang-barang atau barang
dagangan itu atas nama perusahaan tersebut;
6. Suatu perusahaan asuransi dari Negara pihak pada persetujuan,
kecuali dalam hal reasuransi, akan dianggap mempunyai bentuk
usaha tetap di Negara pihak pada Perusahaan lainnya jika
perusahaan tersebut memungut premi di wilayah Negara pihak
pada Persetujuan lainnya itu atau menanggung resiko yang terjadi
disana melalui seorang pegawai atau melalui suatu perwakilan
yang merupakan agen yang berdiri sendiri seperti dimaksud ayat 7.
7. Suatu perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan tidak
akan dianggap mempunyai suatu bentuk usaha tetap di Negara
pihak pada Persetujuan lainnya semata-mata karena perusahaan itu
menjalankan usaha di Negara pihak pada persetujuan lainnya
tersebut melalui makelar, komisioner umum atau agen lainnya
yang berdiri sendiri sepanjang orang dan badan tersebut bertindak
dalam rangka kegiatan usahanya yang lazim.
Walaupun demikian, bilamana kegiatan agen dimaksud seluruhnya
atau hampir seluruhnya dilakukan atas nama perusahaan itu, maka
ia tidak akan dianggap sebagai agen yang berdiri sendiri dalam arti
ayat ini.
8. Jika suatu perseroan yang merupakan wajib pajak dalam negeri
suatu Negara pihak pada Persetujuan menguasai atau dikuasai oleh
perseroan yang merupakan penduduk Negara pihak pada
Persetujuan lainnya, atau menjalankan usaha di Negara pihak pada
persetujuan lainnya (baik melalui suatu bentuk usaha tetap ataupun
dengan cara lainnya) maka hal itu tidak dengan sendirinya
menyatakan bahwa salah satu dari perseroan itu merupakan bentuk
usaha tetap dari perseroan lainnya.

F. Pasal 6 : Penghasilan Dari Harta Tak Gerak

1. Penghasilan yang diperoleh seorang penduduk dari suatu Negara


pihak pada Persetujuan dari harta tak gerak (termasuk penghasilan
yang diperoleh dari lahan pertanian atau kehutanan) yang berada di
Negara pihak pada Persetujuan lainnya dapat dikenakan pajak di
Negara lain tersebut.
2. Istilah harta tak gerak mempunyai arti sesuai dengan perundang-
undangan Negara pihak pada Persetujuan dimana harta yang
bersangkutan berada. Namun demikian istilah tersebut meliputi
benda-benda yang menyertai harta tak gerak, ternak dan peralatan
yang digunakan dalam usaha pertanian dan kehutanan, hak-hak
dimana ketentuan-ketentuan hukum perdata mengenai tanah
berlaku, hak memetik hasil atas harta tak gerak serta hak atas
pembayaran pembayaran tetap ataupun tidak tetap sebagai balas
jasa untuk pekerjaan atau hak untuk mengerjakan penggalian-
penggalian tambang, sumber-sumber dan sumber-sumber kekayaan
alam lainnya; kapal-kapal, perahu dan pesawat udara tidak
dianggap sebagai harta tak gerak.
3. Ketentuan-ketentuan pada ayat 1 berlaku juga terhadap penghasilan
yang diperoleh dari penggunaan secara langsung, penyewaan, atau
penggunaan harta tak gerak dalam bentuk apapun.
4. Ketentuan-ketentuan ayat 1 dan 3 akan berlaku pula terhadap
penghasilan dari harta tak gerak suatu perusahaan dan terhadap
penghasilan dari harta tak gerak yang digunakan dalam
melaksanakan pekerjaan bebas.

G. Pasal 7 : Laba Usaha

1. Laba suatu perusahaan yang berkedudukan di suatu Negara pihak


pada Persetujuan hanya akan dikenakan pajak di Negara itu,
kecuali jika perusahaan itu menjalankan usaha di Negara pihak
pada Persetujuan lainnya melalui suatu bentuk usaha tetap. Apabila
perusahaan itu menjalankan usaha seperti tersebut diatas, maka
laba perusahaan itu dapat dikenakan pajak di Negara lainnya tetapi
hanya atas bagian laba yang dianggap berasal dari bentuk usaha
tetap, atau atas penjualan barang atau barang dagangan yang
sejenis seperti yang dijual, atau transaksi usaha lainnya yang
sejenis yang dilakukan, melalui bentuk usaha tetap.
2. Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan ayat 3, jika suatu
perusahaan dari suatu Negara pihak pada Perusahaan menjalankan
usaha di Negara pihak pada Persetujuan lainnya melalui suatu
bentuk usaha tetap yang berada disana, maka yang akan
diperhitungkan sebagai laba bentuk usaha tetap itu dimasing-
masing Negara pihak pada Persetujuan ialah laba yang dianggap
berasal dari bentuk usaha tetap tersebut, seandainya bentuk usaha
tetap tersebut merupakan suatu perusahaan lain yang terpisah dan
berdiri sendiri yang melakukan kegiatan kegiatan yang sama atau
sejenis dalam keadaan yang sama atau serupa dan mengadakan
hubungan yang sepenuhnya bebas dari perusahaan yang
mempunyai bentuk usaha tetap itu.
3. Dalam menentukan besarnya laba suatu bentuk usaha tetap, dapat
dikurangkan biaya- biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan
usaha bentuk usaha tetap itu, termasuk biaya-biaya pimpinan dan
biaya-biaya administrasi umum, baik yang dikeluarkan di Negara
di mana bentuk usaha tetap itu berada ataupun di tempat lain.
Namun demikian, tidak diperkenankan untuk dikurangkan ialah
pembayaran-pembayaran yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap
kepada kantor pusatnya atau kantor-kantor lain milik kantor
pusatnya (selain dari penggantian biaya yang benar-benar
dikeluarkan) berupa royalti, biaya atau pembayaran-pembayaran
serupa lainnya karena penggunaan paten atau hak-hak lain, atau
komisi untuk jasa-jasa khusus yang dilakukan atau untuk
manajemen atau, kecuali dalam usaha perbankan, berupa bunga
atas uang yang dipinjamkan kerpada bentuk usaha tetap.
Sebaliknya tidak akan diperhitungkan sebagai laba bentuk usaha
tetap jumlah-jumlah yang dibayarkan (selain dari penggantian
biaya yang benar-benar dikeluarkan) oleh kantor pusatnya, atau
kantor-kantor lain milik kantor pusatnya, berupa royalti, biaya atau
pembayaran lainnya yang serupa karena penggunaan paten atau
penggunaan hak-hak lainnya, atau berupa komisi untuk jasa-jasa
khusus yang dilakukan atau untuk manajemen atau, kecuali dalam
usaha perbankan, berupa bunga atas uang yang dipinjamkan
kepada kantor pusat atau kantor-kantor lainnya.
4. Untuk kepentingan ayat-ayat sebelumnya, besarnya laba yang
dianggap berasal dari bentuk usaha tetap harus ditentukan dengan
cara yang sama dari tahun ke tahun kecuali jika terdapat alasan
yang kuat dan cukup untuk menyimpang.
5. Jika di dalam jumlah laba terhadap penghasilan-penghasilan lain
yang diatur secara tersendiri pada pasal-pasal lain, maka ketentuan
pasal-pasal tersebut tidak akan terpengaruh ketentuan ketentuan
Pasal ini.
6. Laba yang semata-mata berasal dari pembelian barang-barang atau
barang dagangan yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap untuk
perusahaan tidak akan dihitung sebagai laba dari bentuk usaha
tetap.

H. Pasal 8 : Perkapalan Dan Pengangkutan Udara

1. Laba yang diperoleh suatu perusahaan dari suatu Negara pihak


pada Persetujuan dari pengoperasian kapal laut atau pesawat udara
dalam jalur lintas internasional hanya akan dapat dikenakan pajak
di Negara tersebut.
2. Ketentuan ayat 1 akan berlaku pula terhadap laba yang diperoleh
dari penyertaan dalam suatu gabungan perusahaan, suatu usaha
patungan, atau dari suatu perwakilan usaha internasional.
3. Dalam hubungannya dengan pengoperasian kapal-kapal atau
pesawat udara di dalam lalu lintas internasional yang dijalankan
oleh suatu perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan,
perusahaan tersebut, jika perusahaan itu adalah perusahaan
Indonesia akan dibebaskan juga dari pajak pertambahan nilai di
Korea dan, jika perusahaan itu adalah perusahaan Korea, akan
dibebaskan dari pajak yang serupa dengan pajak pertambahan nilai
di Korea yang dapat dikenakan di Indonesia.

I. Pasal 9 : Perusahaan-Perusahaan Yang Mempunyai


Hubungan Istimewa

1. Apabila :

a) suatu perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan,


baik secara langsung maupun tidak langsung turut serta
dalam manajemen, pengawasan atau modal suatu
perusahaan di Negara pihak pada Persetujuan lainnya,
atau
b) orang dan badan yang sama baik secara langsung maupun
tidak langsung turut serta dalam manajemen, pengawasan
atau modal suatu perusahaan dari suatu Negara pihak pada
Persetujuan dan suatu perusahaan dari Negara pihak pada
Persetujuan lainnya, dan dalam kedua hal itu antara
perusahaan dimaksud dalam hubungan dagangnya atau
hubungan keuangannya diadakan atau diterapkan syarat-
syarat yang menyimpang dari yang lazim berlaku antara
perusahaan-perusahaan yang sama sekali bebas satu sama
lain, maka setiap laba yang seharusnya diterima oleh salah
satu perusahaan jika syarat-syarat itu tidak ada, namun
tidak diterima adanya syarat-syarat tersebut, dapat
ditambahkan pada laba perusahaan itu dan dikenakan pajak.

2. Jika laba suatu perusahaan dari negara pihak pada Persetujuan yang
telah dikenakan pajak di Negara itu termasuk laba perusahaan dari
Negara pihak pada Persetujuan lainnya, yang memang seharusnya
diperoleh perusahaan dari Negara lainnya itu seandainya syarat-
syarat yang dibuat antara kedua perusahaan tersebut adalah syarat-
syarat yang berdiri sendiri, maka Negara yang disebutkan pertama
akan membuat penyesuaian yang seharusnya atas jumlah pajak
yang dikenakan pada laba tersebut di Negara yang disebut pertama
tadi. Dalam menentukan penyesuaian tersebut, harus diperhatikan
ketentuan-ketentuan lainnya dalam Persetujuan ini sehubungan
dengan sifat dari penghasilan dan untuk kepentingan ini, apabila
perlu yang berwenang dari kedua Negara pihak pada Persetujuan
akan saling berkonsultasi.

J. Pasal 10 : Dividen

1. Dividen yang dibayarkan oleh suatu perseroan yang berkedudukan


di suatu Negara pihak pada Persetujuan kepada penduduk Negara
pihak pada Persetujuan lainnya dapat dikenakan pajak di Negara
pihak pada Persetujuan lainnya tersebut.
2. Namun demikian, dividen itu dapat dikenakan pajak di Negara
pihak pada Persetujuan di mana perseroan yang membayarkan
dividen tersebut berkedudukan dan sesuai dengan perundang-
undangan Negara tersebut, akan tetapi apabila penerima dividen
adalah pemilik saham yang menikmati dividen itu, maka pajak
yang dikenakan tidak akan melebihi.

a) 10 persen dari jumlah kotor dividen apabila pemilik saham


yang menikmati dividen tersebut adalah perseroan (selain
persekutuan) yang memiliki paling sedikit 25 persen dari
modal perusahaan yang membayar dividen;
b) 15 persen dari jumlah kotor dividen dalam hal lainnya.
Ayat ini tidak akan mempengaruhi pengenaan pajak atas
laba suatu perseroan yang menjadi dasar pembayaran
dividen.
3. Istilah dividen sebagaimana digunakan dalam pasal ini berarti
penghasilan dari saham saham atau hak-hak lainnya yang bukan
merupakan surat-surat piutang, namun berhak atas pembagian laba,
demikian pula penghasilan dari hak-hak dari perseroan lainnya
yang diperlakukan sama dalam pengenaan pajaknya sebagai
penghasilan dari saham-saham oleh undang-undang Negara pihak
pada Persetujuan dimana perusahaan yang membagikan dividen
berkedudukan.
4. Ketentuan-ketentuan ayat 1 dan 2 tidak akan berlaku apabila
pemilik saham yang menikmati dividen yang berkedudukan di
suatu Negara pihak pada Persetujuan, menjalankan usaha melalui
suatu bentuk usaha tetap di Negara pihak pada Persetujuan lainnya
di mana perseroan yang membayarkan dividen berkedudukan, atau
menjalankan pekerjaan bebas di negara lainnya melalui suatu
tempat yang berada disana, dan pemilikan saham-saham atas nama
dividen itu dibayarkan mempunyai hubungan yang efektif dengan
bentuk usaha tetap atau tempat tetap itu. Dalam hal demikian,
tergantung pada masalahnya, berlaku ketentuan Pasal 7 atau Pasal
14.
5. Apabila suatu perseroan yang berkedudukan di suatu Negara pihak
pada Persetujuan memperoleh laba atau penghasilan dari Negara
pihak pada Persetujuan lainnya, Negara lain tersebut tidak boleh
mengenakan pajak apapun juga atas dividen yang dibayarkan oleh
perseroan kecuali apabila dividen itu dibayarkan kepada penduduk
negara lainnya atau apabila penguasaan saham yang menghasilkan
dividen itu mempunyai hubungan yang efektif dengan bentuk
usaha tetap atau tempat tetap yang berada di Negara pihak pada
Persetujuan lainnya itu, demikian pula tidak boleh mengenakan
pajak atas laba perseroan yang tidak dibagikan, meskipun dividen
yang dibayarkan atau laba yang tidak dibagikan tersebut
seluruhnya atau sebagaian berasal dari laba atau penghasilan yang
diperoleh di Negara pihak pada Persetujuan lainnya tersebut.
6. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan dari Persetujuan ini,
perseroan yang merupakan penduduk dari Negara pihak pada
Persetujuan mempunyai bentuk usaha tetap di Negara pihak pada
Persetujuan lainnya, laba dari bentuk usaha tetap dapat dikenakan
pajak tambahan di Negara lainnya sesuai dengan undang-undang
Negara tersebut, tetapi tambahan yang dikenakan tidak akan
melebihi 10 persen dari jumlah laba setelah dikurangi pajak
penghasilan dan pajak-pajak lainnya yang dikenakan atas laba itu
di Negara lainnya tersebut.
7. Ketentuan-ketentuan ayat 6 Pasal ini tidak akan mempengaruhi
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam suatu kontrak bagi hasil
dan kontrak karya (atau kontrak-kontrak lainnya yang serupa)
berkenaan dengan sektor minyak dan gas atau sektor pertambangan
lainnya yang disetujui oleh Pemerintah Indonesia yang menjadi
perantaranya, perusahaan minyak dan gas Negaranya atau kesatuan
lainnya dengan orang atau badan yang merupakan penduduk
Korea pada atau sebelum tanggal 31 Desember 1983.

K. Pasal 11 : Bunga

1. Bunga yang berasal dari suatu Negara pihak pada Persetujuan dan
dibayarkan kepada penduduk Negara pihak pada Persetujuan
lainnya dapat dikenakan pajak di Negara lain tersebut.
2. Namun demikian, bunga itu dapat juga dikenakan pajak di Negara
pihak pada Persetujuan di mana bunga itu berasal dan sesuai
dengan perundang-undangan Negara tersebut akan tetapi apabila
penerima bunga adalah pemberi pinjaman yang menikmati bunga
itu, maka pajak yang dikenakan tidak akan melebihi 10 persen dari
jumlah kotor bunga.
3. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan ayat 2, bunga yang timbul
di Negara pihak pada Persetujuan dan diperoleh oleh pemerintah
dari Negara pihak pada Persetujuan lainnya termasuk bagian
ketatanegaraan, pemerintah daerahnya, Bank Sentral atau lembaga
keuangan yang sepenuhnya dimiliki oleh Pemerintah, atau oleh
seorang penduduk dari Negara pihak pada Persetujuan dalam
hubungannya dengan tagihan piutang yang dijamin atau secara
tidak langsung dibiayai oleh Pemerintah dari Negara pihak pada
Persetujuan termasuk bagian ketatanegaraan dan pemerintah
daerahnya, Bank Sentral dari Negara pihak pada Persetujuan atau
suatu lembaga keuangan yang sepenuhnya dimiliki oleh
Pemerintah tersebut akan dibebaskan dari pengenaan pajak di
Negara yang disebut pertama.
4. Untuk kepentingan ayat 3, istilah Bank Sentral dan lembaga
keuangan yang sepenuhnya dimiliki oleh Pemerintah berarti :

a) dalam hal Korea :

i. the Bank of Korea;


ii. the Korea Export - Import Bank;
iii. the Korea Exchange Bank;
iv. lembaga keuangan lainnya yang modalnya dimiliki
sepenuhnya oleh Pemerintah Republik Korea, yang
dimufakati dari waktu ke waktu antara kedua
Negara pihak pada Persetujuan;

b) dalam hal Indonesia :

i. Bank Indonesia ; dan


ii. lembaga keuangan lainnya yang modalnya dimiliki
oleh Pemerintah Republik Indonesia, yang
dimufakati dari waktu ke waktu antara kedua
Negara pihak pada Persetujuan.

5. Istilah bunga seperti yang dipergunakan dalam Pasal ini berarti


penghasilan dari semua jenis tagihan piutang, baik yang dijamin
dengan hipotik ataupun tidak, dan baik yang berhak maupun tidak
atas bagian laba debitur dan pada khususnya penghasilan dari
surat-surat berharga pemerintah dan penghasilan dari obligasi atau
surat-surat hutang, termasuk premi dan hadiah-hadiah yang terikat
pada surat-suarat berharga, obligasi maupun surat-surat hutang
tersebut, demikian pula penghasilan yang oleh undang-undang
perpajakan dari Negara di mana penghasilan itu timbul
dipersamakan dengan panghasilan dari peminjaman uang.
6. Ketentuan-ketentuan ayat 1 dan 2 tidak akan berlaku apabila
pemberi pinjaman yang menikmati bunga yang berkedudukan di
suatu Negara pihak pada Persetujuan, melakukan kegiatan usaha di
Negara pihak pada Persetujuan lainnya dimana bunga itu berasal
melalui suatu bentuk usaha tetap yang berada di sana, dan
menjalankan pekerjaan bebas di Negara lainnya melalui suatu
tempat tetap yang berada disana, dan tagihan piutang atas mana
bunga itu dibayar mempunyai hubungan yang efektif dengan
bentuk usaha tetap atau tempat tetap, Dalam hal demikian,
tergantung pada masalahnya, berlaku ketentuan pasal 7 atau pasal
14.
7. Bunga dianggap berasal dari suatu Negara pihak pada persetujuan
apabila yang membayar bunga adalah Negara itu sendiri, bagian
dari ketatanegaraan atau pemerintah daerah, atau penduduk Negara
pihak pada Persetujuan tersebut. Namun demikian, apabila orang
dan badan yang membayar bunga itu, tampa memandang apakah ia
penduduk Negara pihak pada Persetujuan dalam hubungan mana
hutang yang menjadi pokok pembayaran bunga itu telah dibuat,
dan bunga itu dianggap berasal dari Negara pihak pada Persetujuan
di mana bentuk usaha tetap atau tempat tetap itu berada.
8. Jika karena alasan adanya hubungan istimewa antara pembayar
bunga dengan penerima yang menikmati bunga atau antara kedua-
duanya dengan orang atau badan lain, dengan memperhatikan
besarnya tagihan piutang, bunga yang dibayarkan melebihi jumlah
yang telah disetujui antara pembayar dengan penerima yang
menikmati bunga tersebut seandainya hubungan istimewa itu tidak
ada, maka ketentuan-ketentuan Pasal ini hanya akan berlaku atas
jumlah yang disebut kemudian.
Dalam hal demikian, jumlah kelebihan yang dibayarkan akan tetap
dikenakan pajak sesuai dengan perundang-undang masing-masing
Negara pihak pada Persetujuan, dengan memperhatikan ketentuan-
ketentuan lain dalam Persetujuan ini.

L. Pasal 12 : Royalti

1. Royalti yang berasal dari suatu Negara pihak pada Persetujuan dan
dibayarkan kepada penduduk Negara pihak pada Persetujuan
lainnya dapat dikenakan pajak di Negara lain tersebut.
2. Namun demikian, royalti tersebut dapat juga dikenakan di Negara
pihak pada Persetujuan di mana royalti itu berasal dan sesuai
dengan perundang-undangan negara tersebut, tetapi apabila
penerima royalti adalah pemilik hak yang menikmati royalti, maka
pajak yang dikenakan tidak akan melebihi 15% dari jumlah kotor
royalti.
3. Istilah royalti sebagaimana digunakan dalam Pasal ini berarti
pembayaran dalam bentuk apapun yang diterima sebagai balas jasa
karena penggunaan atau hak untuk menggunakan, hak cipta
kesusasteraan, karya seni atau karya ilmiah, termasuk film-film
sinematografi, atau film-film atau pita-pita yang digunakan untuk
siaran radio atau televisi, paten, merek dagang, pola atau model,
rencana, rumus, atau cara pengolahan yang dirahasiakan, atau
untuk penggunaan, atau hak untuk menggunakan perlengkapan
industri, perniagaan atau ilmu pengetahuan, atau ketentuan
menyangkut pengalaman di bidang industri, perniagaan dan ilmu
pengetahuan.
4. Ketentuan-ketentuan ayat 1 dan 2 berlaku apabila penerima royalti
yang berhak menikmatinya, yang merupakan penduduk suatu
Negara pihak pada Persetujuan menjalankan usaha di Negara pihak
pada Persetujuan lainnya di mana royalti itu berasal, melalui suatu
bentuk usaha tetap yang berada di sana, atau melakukan suatu
pekerjaan bebas di Negara lain itu melalui suatu tempat tetap yang
berada di sana, dan hak atau milik sehubungan dengan royalti itu
dibayarkan mempunyai hubungan yang efektif dengan bentuk
usaha tetap atau tempat tetap. Dalam hal demikian, tergantung pada
masalahnya, berlaku ketentuan Pasal 7 atau 14.
5. Royalti akan dianggap berasal dari Negara pihak pada Persetujuan
apabila pembayar royalti adalah negara itu sendiri, bagian
ketatanegaraan, pemerintah daerahnya, atau penduduk dari Negara
tersebut. Namun demikian, apabila orang dan badan yang
membayarkan royalti itu, tanpa memandang apakah ia penduduk
salah satu Negara pihak pada Persetujuan atau bukan, mempunyai
suatu bentuk usaha tetap atau tempat tetap di suatu Negara pihak
pada Persetujuan dimana kewajiban untuk membayar royalti itu
timbul, dan royalti tersebut menjadi beban bentuk usaha tetap atau
tempat tetap tersebut, maka royalti tersebut dianggap berasal dari
negara dimana bentuk usaha tetap atau tempat tetap itu berada.
6. Jika karena alasan adanya hubungan istimewa antara pembayar
royalti dengan pemilik hak yang menikmati royalti itu atau antara
kedua-duanya dengan orang atau badan lain, jumlah royalti yang
dibayarkan, dengan memperhatikan penggunaan, hak atau
keterangan yang mengakibatkan pembayaran royalti itu, melebihi
jumlah yang seharusnya akan disepakati oleh pembayar dengan
pemilik hak yang menikmati royalti seandainya hubungan
istimewa tersebut tidak ada, maka ketentuan-ketentuan dalam Pasal
ini hanya akan berlaku bagi jumlah yang disebut kemudian. Dalam
hal demikian, jumlah kelebihan pembayaran tersebut akan tetap
dikenakan pajak sesuai dengan perundang-undangan masing-
masing Negara pihak pada Persetujuan, dengan memperhatikan
ketentuan-ketentuan lain dalam Persetujuan ini.

M. Pasal 13 : Keuntungan Dari Pemindahtanganan Harta

1. Keuntungan yang diperoleh dari pemindahtanganan harta tak


bergerak seperti yang dimaksud dalam ayat 2 Pasal 6 dapat
dikenakan pajak di Negara dimana harta tersebut terletak.
2. Keuntungan dari pemindahtanganan harta gerak yang merupakan
bagian kekayaan suatu bentuk usaha tetap yang dimiliki oleh
perusahaan dari suatu negara pihak pada Persetujuan di Negara
pihak pada Persetujuan lainnya atau dari harta gerak suatu tempat
tetap yang tersedia bagi penduduk suatu Negara pihak pada
Persetujuan di Negara pihak pada Persetujuan lainnya untuk
maksud melakukan pekerjaan bebas, termasuk keuntungan dari
pemindahtanganan bentuk usaha tetap (tersendiri atau dengan
seluruh perusahaan) atau pemindahtanganan tempat tetap, dapat
dikenakan pajak di Negara lain tersebut.
3. Keuntungan yang diperoleh dari pemindahtanganan kapal-kapal
laut atau pesawat-pesawat udara yang dioperasikan dalam jalur lalu
lintas internasional atau harta gerak yang berkenaan dengan
pengoperasian kapal-kapal laut atau pesawat-pesawat udara
tersebut, hanya akan dikenakan pajak di Negara pihak pada
persetujuan dimana perusahaan tersebut berkedudukan.
4. Keuntungan yang diperoleh dari pemindahtanganan harta selain
dari yang telah disebutkan pada ayat 1, 2 dan 3 hanya akan
dikenakan pajak di Negara pihak pada Persetujuan dimana yang
memindahtangankan berkedudukan.

N. Pasal 14 : Pekerjaan Bebas

1. Penghasilan yang diperoleh orang pribadi yang menjadi penduduk


dari suatu Negara pihak pada Persetujuan sehubungan dengan
pekerjaan bebas yang dilakukan atau kegiatan-kegiatan lainnya
yang serupa, hanya akan dikenakan pajak di Negara pihak pada
Persetujuan tersebut kecuali ia mempunyai suatu tempat tetap yang
tersedia secara teratur baginya untuk menjalankan kegiatan-
kegiatan di Negara pihak pada Persetujuan lainnya atau ia berada
di Negara lainnya tersebut untuk suatu masa atau masa-masa yang
jumlahnya melebihi 90 hari dalam suatu tahun takwim. Jika ia
mumpunyai suatu tempat tetap atau berada di Negara pihak pada
Persetujuan lainnya tersebut untuk masa atau masa-masa seperti
tersebut dimuka, penghasilan dapat dikenakan pajak di Negara
pihak pada Persetujuan lainnya tetapi hanya bagian penghasilan
yang dianggap berasal dari tempat tetap tersebut atau yang
diperoleh dari Negara pihak pada Persetujuan lainnya selama masa
atau masa-masa tersebut.
2. Istilah pekerjaan bebas meliputi khususnya pekerjaan bebas di
bidang ilmu pengetahuan, kesusasteraan, kesenian, kegiatan
pendidikan atau pengajaran, demikian pula pekerjaan pekerjaan
bebas oleh para dokter, ahli hukum, ahli teknik, arsitek, dokter gigi
dan akuntan.

O. Pasal 15 : Pekerjaan Dalam Hubungan Kerja

1. Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan Pasal 16, 18, 19, 20


dan 21, gaji, upah dan balas jasa lain yang serupa yang diperoleh
penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan sehubungan
dengan pekerjaan yang dilakukannya dalam hubungan kerja, hanya
akan dikenakan pajak di Negara tersebut kecuali jika pekerjaan itu
dilakukan di Negara pihak pada Persetujuan lainnya. Dalam hal
demikian, maka balas jasa yang diperoleh dari pekerjaan itu dapat
dikenakan pajak di Negara lain tersebut.
2. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan ayat 1, balas jasa yang
diperoleh seorang penduduk dari suatu Negara pihak pada
Persetujuan dalam suatu hubungan kerja yang dilakukan di Negara
pihak pada Persetujuan lainnya, hanya akan dikenakan pajak di
Negara yang disebut pertama, apabila :

a) penerima balas jasa berada di Negara itu dalam suatu masa


atau masa-masa yang jumlahnya tidak melebihi 183 hari
dalam tahun pajak bersangkutan; dan
b) balas jasa itu dibayarkan oleh, atau atas nama majikan yang
bukan merupakan penduduk Negara lain tersebut; dan
c) balas jasa itu tidak menjadi beban bentuk usaha tetap atau
tempat tetap yang dimiliki oleh majikan itu di Negara lain
tersebut.

3. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan terdahulu dalam Pasal ini,


balas jasa yang berkenaan dengan suatu hubungan kerja yang
dilakukan di atas kapal laut atau pesawat udara yang dioperasikan
dalam jalur lalu lintas internasional oleh perusahaan dari Negara
pihak pada persetujuan hanya akan dikenakan pajak di negara
tersebut.

P. Pasal 16 : Penghasilan Para Direktur

1. Penghasilan-penghasilan para direktur dan pembayaran-


pembayaran serupa yang diperoleh penduduk Negara pihak pada
Persetujuan dalam kedudukannya sebagai anggota Dewan
Komisaris dari perusahaan yang berkedudukan di Negara pihak
pada Persetujuan lainnya dapat dikenakan pajak di Negara lainnya
tersebut.

Q. Pasal 17 : Para Seniman Dan Olahragawan

1. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan Pasal-pasal 14 dan 15,


penghasilan yang diperoleh penduduk dari Negara pihak pada
Persetujuan sebagai seniman, seperti artis teater, film, radio atau
televisi, atau pemain musik, atau sebagai olahragawan, dari
kegiatan-kegiatan pribadi mereka, dapat dikenakan pajak di Negara
pihak pada Persetujuan lainnya dimana kegiatan tersebut
dilakukan.
Penghasilan seperti itu akan dibebaskan dari pengenaan pajak di
Negara pihak pada Persetujuan lainnya apabila kegiatan-kegiatan
oleh seseorang yang menjadi penduduk Negara pihak pada
Persetujuan tersebut, dilakukan berdasarkan suatu program khusus
pertukaran kebudayaan yang dimufakati oleh kedua Negara pihak
pada Persetujuan.
2. Apabila penghasilan sehubungan dengan kegiatan-kegiatan pribadi
yang dilakukan oleh seniman atau olahragawan tersebut diterima
bukan oleh seniman atau olahragawan itu sendiri tetapi oleh orang
atau badan lain, maka menyimpang dari ketentuan-ketentuan pada
Pasal pasal 7, 14 dan 15, penghasilan tersebut dapat dikenakan
pajak di Negara pihak pada Persetujuan dimana kegiatan-kegiatan
seniman atau olahragawan itu dilakukan.
Penghasilan itu dibebaskan dari pengenaan di Negara pihak pada
Persetujuan tersebut jika kegiatan-kegiatan oleh seseorang yang
merupakan penduduk Negara pihak pada Persetujuan lainnya
dilakukan berdasarkan suatu program khusus pertukaran
kebudayaan yang dimufakati oleh Pemerintah kedua Negara pihak
pada Persetujuan dan diterima orang lain yang merupakan
penduduk Negara pihak pada persetujuan lainnya itu.

R. Pasal 18 : Pensiun

Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan ayat 2 Pasal 19, setiap


pensiun atau balas jasa lainnya yang sejenis yang dibayarkan pada
penduduk Negara pihak pada Persetujuan sehubungan dengan
pekerjaan atau jasa pada masa yang lampau dapat dikenakan pajak di
Negara pihak pada Persetujuan tersebut.
Namun demikian, pensiun tersebut dapat pula dikenakan pajak di
negara pihak pada Persetujuan lainnya jika pembayaran itu dilakukan
oleh penduduk dari Negara tersebut atau dari bentuk usaha tetap yang
berkedudukan di Negara tersebut.

S. Pasal 19 : Jabatan Pemerintah

a) Balas jasa, selain pensiun, yang dibayarkan oleh Negara


pihak pada Persetujuan, atau bagian ketatanegaraan atau
pemerintah daerahnya kepada seseorang sehubungan
dengan jasa-jasa yang diberikan kepada Negara tersebut
atau bagian ketatanegaraan atau pemerintah daerahnya
hanya akan dikenakan pajak di Negara itu.
b) Namun demikian, balas jasa tersebut hanya akan dikenakan
pajak di Negara pihak pada Persetujuan lainnya apabila
jasa-jasa tersebut diberikan di Negara pihak pada
Persetujuan lainnya tersebut dan orang itu adalah penduduk
Negara pihak pada Persetujuan lainnya itu yang :

i. memiliki kewarganegaraan Negara itu; atau


ii. tidak menjadi penduduk Negara itu semata-mata
karena bermaksud untuk memberikan jasa-jasanya.
a) Pensiun yang dibayarkan oleh, atau dari dana-dana yang
dibentuk oleh suatu Negara pihak pada Persetujuan atau
bagian ketatanegaraan atau pemerintah daerahnya kepada
seseorang sehubungan dengan jasa-jasa yang diberikan
kepada negara itu atau bagian ketatanegaraan atau
pemerintah daerahnya hanya akan dikenakan pajak di
Negara pihak pada Persetujuan itu.
b) Namun demikian, pensiun tersebut hanya akan dikenakan
di Negara pihak pada Persetujuan lainnya bilamana orang
tersebut adalah penduduk dan warga negara Negara pihak
Persetujuan lainnya tersebut.

Ketentuan-ketentuan dalam Pasal-pasal 15, 16, 17 dan 18


akan berlaku terhadap balas jasa dan pensiun dari jasa-jasa
yang diberikan sehubungan dengan usaha yang dijalankan
oleh negara pihak pada Persetujuan atau bagian
ketatanegaraan atau pemerintah daerahnya.

Ketentuan-ketentuan ayat 1 dan 2 dari Pasal ini akan


berlaku seperti halnya dalam hubungannya dengan balas
jasa atau pensiun yang dibayarkan, dalam hal Korea, oleh
Bank of Korea, Export-Import Bank of Korea, Korea
Exchange Bank, Badan Promosi Perdagangan Korea dan
badan-badan lain milik Pemerintah yang akan dimufakati
dari waktu ke waktu oleh kedua Negara pihak pada
Persetujuan dan, dalam hal Indonesia, oleh Bank Indonesia,
Bank Pembangunan Indonesia, Bank Tabungan Negara dan
badan-badan lain milik Pemerintah yang telah dimufakati
dari waktu ke waktu oleh kedua Negara pihak pada
Persetujuan.

T. Pasal 20 : Guru
Professor atau guru yang mengadakan kunjungan
sementara ke Negara pihak pada Persetujuan untuk masa
tidak melebihi dua tahun semata-mata untuk tujuan
mengajar atau memimpin penelitian pada universitas,
akademi, sekolah atau lembaga pendidikan yang diakui dan
yang segera sebelum kunjungan dilakukan, adalah
penduduk dari Negara pihak pada Persetujuan lainnya,
hanya akan dikenakan pajak di Negara pihak pada
Persetujuan lainnya atas balas jasa mengajar atau penelitian
tersebut.

U. Pasal 21 : Siswa

Pembayaran yang diterima siswa atau karya siswa yang


pada saat atau sebelum mengadakan kunjungan ke suatu
Negara pihak pada Persetujuan, adalah penduduk Negara
pihak pada Persetujuan lainnya dan kehadirannya di Negara
yang disebut pertama semat-mata untuk tujuan pendidikan
atau latihannya, untuk membiayai keperluan hidupnya,
pendidikan atau latihannya, tidak akan dikenakan pajak di
Negara yang disebut pertama sepanjang pembayaran yang
diberikan kepada mereka berasal dari sumber-sumber di luar
Negeri tersebut.

V. Pasal 22 : Penghasilan Yang Tidak Secara Tegas Diatur

1. Jenis-jenis penghasilan dari manapun asalnya yang tidak


diatur di Pasal-pasal terdahulu dalam Persetujuan ini, yang
diterima penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan
hanya akan dikenakan pajak di Negara pihak pada
Persetujuan tersebut.
2. Ketentuan-ketentuan ayat 1 tidak berlaku terhadap
penghasilan, selain penghasilan dari pemindahtanganan
harta tak gerak sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat 2, jika
penerima penghasilan tersebut yang merupakan penduduk
Negara pihak pada Persetujuan, yang menjalankan usaha di
Negara pihak pada Persetujuan lainnya melalui suatu bentuk
usaha tetap yang berada disana, atau melakukan pekerjaan
bebas di Negara pihak pada Persetujuan lainnya melalui
tempat tetap yang berada di sana, dan hak atau harta yang
memberikan penghasilan itu mempunyai hubungan efektif
dengan bentuk usaha tetap atau tempat tetap itu. Dalam hal
demikian, tergantung pada masalahnya, berlaku ketentuan
Pasal 7 atau Pasal 14.

W. Pasal 23 : Penghindaran Pajak Berganda

1. Bagi penduduk Korea, penghindaran pengenaan pajak


berganda akan dilakukan dengan cara sebagai berikut :
Tunduk pada ketentuan-ketentuan Undang-undang Pajak
Korea sehubungan dengan pemberian kredit pajak terhadap
pajak Korea yang terhutang di setiap negara kecuali Korea
(yang tidak akan mempengaruhi prinsip umum disini), pajak
Indonesia yang terhutang (tidak termasuk dividen, pajak
yang terhutang atas laba yang menimbulkan pembayaran
dividen) menurut Undang-undang Indonesia dan sesuai
dengan Persetujuan ini, baik langsung atau melalui
pengurangan, sehubungan dengan penghasilan yang berasal
dari Indonesia diperkenankan untuk dikreditkan terhadap
pajak Korea yang terhutang sehubungan dengan
penghasilan tersebut. Namun demikian, kredit pajak itu tidak
boleh melebihi bagian dari pajak Korea yang diterapkan
terhadap penghasilan yang berasal dari Indonesia, terhadap
seluruh penghasilan yang dikenakan pajak Korea.
2. Sebagai penjelasan untuk ayat 1, istilah pajak Indonesia
yang terhutang dianggap meliputi jumlah pajak Indonesia
yang seharusnya terhutang berdasarkan Undang-undang
perpajakan Indonesia tetapi untuk pembebasan atau
pengurangan pada dividen dari pajak Indonesia sehubungan
dengan perundang-undangan Indonesia dalam hubungannya
dengan insentif untuk promosi pembangunan ekonomi di
Indonesia yang telah dilaksanakan pada saat Persetujuan ini
ditandatangani atau ketentuan-ketentuan lain yang mungkin
diintrodusir oleh Indonesia sebagai modifikasi dari, atau
tambahan untuk, perundang-undangan tersebut sepanjang
disetujui oleh para pejabat yang berwenang dari Negara
pihak pada Persetujuan menjadi yang sifatnya betul-betul
sejenis sepanjang jumlah pajak yang disebutkan dalam ayat
ini akan menjadi suatu jumlah 10 persen dari jumlah kotor
dari dividen tersebut.
3. Dalam hal Indonesia, pengenaan pajak Berganda akan
dihindarkan sebagai berikut :

a) Indonesia, jika mengenakan pajak kepada penduduk


Indonesia, dapat memasukkan pos-pos penghasilan
yang berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam
Persetujuan ini dapat dikenakan pajak di Korea ke
dalam dasar pengenaan pajaknya.
b) Apabila penduduk Indonesia memperoleh
penghasilan dari Korea, dimana penghasilan tersebut
dapat dikenakan pajak di Korea berdasarkan
ketentuan-ketentuan dalam Persetujuan ini, maka
jumlah pajak Korea yang terutang atas penghasilan
itu diperkenankan untuk dikurangkan dari pajak
Indonesia yang dikenakan pada penduduk tersebut.
Namun demikian, jumlah pajak yang boleh
dikurangkan itu tidak akan melebihi bagian dari
pajak Indonesia yang memadai untuk penghasilan
tersebut.

4. Menunjuk ayat 1, istilah pajak Korea yang terhutang akan


dianggap meliputi jumlah pajak Korea yang akan telah
dibayar sehubungan dengan Undang-undang perpajakan
Korea tetapi untuk pembebasan atau pengurangan pada
dividen dari pajak Korea sehubungan dengan perundang-
undangan Korea dalam hubungannya dengan insentif untuk
promosi pembangunan ekonomi di Korea yang telah
dilaksanakan pada saat Persetujuan ini ditandatangani atau
ketentuan-ketentuan lain yang mungkin diintrodusir oleh
Korea sebagai modifikasi dari, atau tambahan untuk,
perundang-undangan tersebut sepanjang disetujui oleh para
pejabat yang berwenang dari Negara pihak pada Persetujuan
menjadi yang sifatnya betul-betul sejenis sepanjang jumlah
pajak yang disebutkan dalam ayat ini akan menjadi suatu
jumlah 10 persen dari jumlah kotor dari dividen tersebut.

X. Pasal 24 : Non-Diskriminasi
1. Warganegara dari suatu Negara pihak pada Persetujuan tidak akan
dikenakan pajak atau kewajiban yang berkaitan dengan pengenaan
pajak tersebut di Negara pihak pada Persetujuan lainnya, yang
berlainan atau lebih memberatkan dari pada pengenaan pajak dan
kewajiban kewajiban yang berkaitan dengan itu, yang dikenakan
atau yang mungkin akan dikenakan terhadap warganegara dari
Negara pihak pada Persetujuan lainnya dalam keadaan yang sama.
2. Pengenaan pajak atas bentuk usaha tetap yang dimiliki oleh suatu
perusahaan dari Negara pihak Persetujuan di Negara pihak pada
Persetujuan lainnya, tidak akan dilakukan dengan cara yang kurang
menguntungkan di Negara pihak pada Persetujuan lainnya tersebut,
jika dibandingkan dengan pengenaan pajak terhadap perusahaan-
perusahaan di Negara pihak pada Persetujuan lainnya yang
menjalankan kegiatan yang sama.
3. Perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan, yang
seluruhnya atau sebagian modalnya dimiliki atau dikuasai baik
secara langsung maupun tidak langsung oleh satu atau lebih
penduduk Negara pihak pada Persetujuan lainnya, tidak akan
dikenakan pajak atau kewajiban apapun yang berhubungan dengan
itu di Negara pihak pada Persetujuan yang disebut pertama, yang
berkaitan dengan itu, jika dibandingkan dengan pengenaan pajak
terhadap perusahaan yang sejenis dari Negara pihak pada
Persetujuan yang disebut pertama.
4. Dalam Pasal ini istilah pajak berarti pajak-pajak yang dicakup
dalam Persetujuan ini.

Y. Pasal 25 : Tata Cara Persetujuan Bersama

1. Apabila seseorang atau suatu badan menganggap bahwa tindakan-


tindakan salah satu atau kedua Negara pihak pada Persetujuan
mengakibatkan atau akan mengakibatkan pengenaan pajak yang
tidak sesuai dengan aturan-aturan yang ada didalam Persetujuan
ini, maka terlepas dari cara-cara penyelesaian yang diatur oleh
perundang-undangan nasional dari masing masing Negara, ia dapat
mengajukan masalahnya pada pejabat yang berwenang Negara
pihak pada Persetujuan di mana ia menjadi penduduk Negara itu
atau, jika masalahnya mengenai ayat 1 Pasal 24, kepada Negara
dimana ia menjadi warganegara. Masalah tersebut harus diajukan
dalam waktu tiga tahun sejak tanggal diterimanya pemberitahuan
mengenai tindakan yang menimbulkan pengenaan pajak yang tidak
sesuai dengan Persetujuan ini.
2. Pejabat yang berwenang akan berusaha, apabila keberatan yang
diajukan itu beralasan dan apabila ia tidak dapat menemukan suatu
penyelesaian yang tepat, untuk menyelesaikan masalah itu melalui
persetujuan bersama dengan Negara pihak pada Persetujuan
lainnya, dengan maksud untuk menghindarkan pengenaan pajak
yang tidak sesuai dengan Persetujuan ini. Setiap Persetujuan yang
telah disepakati akan diterapkan terlepas dari batas waktu yang ada
dalam perundang-undangan nasional di kedua Negara pihak pada
Persetujuan.
3. Para pejabat yang berwenang dari kedua Negara pihak pada
Persetujuan akan berusaha untuk menyelesaikan setiap kesulitan
atau keragu-raguan yang timbul dalam penafsiran atau penerapan
Persetujuan ini melalui suatu Persetujuan bersama. Mereka dapat
juga berkonsultasi satu sama lain untuk mencegah pengenaan pajak
berganda dalam hal-hal yang tidak diatur dalam Persetujuan ini.
4. Para pejabat yang berwenang dari kedua Negara pihak pada
Persetujuan akan berhubungan langsung satu sama lain untuk
mencapai suatu Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat ayat
terdahulu.
5. Para pejabat yang berwenang dari kedua Negara pihak pada
Persetujuan melalui persetujuan bersama dapat menetapkan cara
pelaksanaan Persetujuan ini dan khususnya, syarat-syarat yang
harus dipenuhi untuk memperoleh keringanan atau pembebasan
pajak yang diperoleh seorang penduduk dari salah satu Negara
pihak pada Persetujuan, atas penghasilan yang disebut pada Pasal-
pasal 10,11, dan 12, dari Negara pihak pada Persetujuan lainnya.

Z. Pasal 26 : Pertukaran Informasi

1. Para pejabat yang berwenang dari kedua Negara pihak pada


Persetujuan akan melakukan tukar-menukar informasi yang
diperlukan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam
Persetujuan ini atau untuk mencegah tindak pidana fiskal atau
pengelapan pajak atau untuk pengadministrasian ketentuan-
ketentuan formal yang menyangkut pencegahan pengelapan pajak
yang dicakup oleh Persetujuan ini.
Setiap informasi yang dipertukarkan akan diperlukan secara
rahasia dan tidak akan diungkapkan kepada setiap orang atau badan
atau yang berwenang selain yang telah disebutkan di atas, termasuk
pengadilan, sehubungan dengan penetapan dan penagihan
pelaksanaan, atau keputusan sehubungan dengan pajak-pajak
tersebut atau penentuan dari banding dalam kaitannya dengan itu
orang atau badan yang mempunyai hubungan dengan informasi itu.
2. Ketentuan-ketentuan ayat 1 sama sekali tidak akan ditafsirkan
untuk mewajibkan suatu Negara pihak pada Persetujuan :

a) untuk melaksanakan tindakan-tindakan administrasi yang


bertentangan dengan perundang-undangan atau praktek
administrasi di Negara tersebut atau di Negara pihak pada
Persetujuan lainnya;
b) untuk memberikan informasi yang tidak dapat diperoleh
berdasarkan perundangundangan atau dalam pelaksanaan
administrasi yang lazim di Negara tersebut atau di Negara
pihak pada Persetujuan lainnya;
c) untuk memberikan informasi yang akan mengungkapkan
setiap rahasia di bidang perdagangan, usaha, industri,
perniagaan atau keahlian, atau tata cara perdagangan atau
informasi yang pengungkapannya akan bertentangan
dengan kebijaksanaan umum.

D. Pasal 27 : Ketentuan-Ketentuan Lain

1. Ketentuan-ketentuan dalam Persetujuan ini tidak akan ditafsirkan


sebagai pembatasan apapun terhadap setiap pengecualian,
pembebasan, pengurangan, potongan, atau hak-hak lainnya yang
diberikan sekarang atau di kemudian hari:

a) oleh undang-undang salah satu Negara pihak pada


Persetujuan dalam menetapkan pajak yang dikenakan oleh
Negara tersebut.
atau
b) oleh setiap pengaturan khusus terhadap perpajakan dalam
hubungan kerja sama ekonomi atau tehnik antara Negara
pihak pada Persetujuan.

E. Pasal 28 : Pejabat Diplomatik Dan Konsulat

Persetujuan ini tidak akan mempengaruhi hak-hak istimewa


dibidang perpajakan dari para pejabat diplomatik dan konsuler
berdasarkan peraturan umum dalam hukum internasional atau
berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam suatu persetujuan khusus.

F. Pasal 29 : Saat Berlakunya Persetujuan


1. Persetujuan ini akan diratifikasi dan instrumen ratifikasi akan
dipertukarkan di Seoul secepat mungkin. Persetujuan ini akan
diberlakukan setelah pertukaran instrumen ratifikasi dilakukan.
2. Persetujuan ini akan berlaku :

i. sehubungan dengan pajak yang dipungut di sumbernya atas


jumlah yang harus dibayar atau yang dikreditkan pada atau
setelah hari pertama bulan Januari pada tahun takwim
berikutnya, pada saat Persetujuan ini diberlakukan;
dan
ii. sehubungan dengan pajak-pajak lainnya untuk tahun-tahun
pajak mulai pada atau setelah hari pertama bulan Januari
pada tahun takwim berikutnya pada saat Persetujuan ini
diberlakukan.

G. Pasal 30 : Berakhirnya Persetujuan

Persetujuan ini akan tetap berlaku tanpa batas waktu, tetapi kedua
Negara pihak pada Persetujuan dapat menyampaikan
pemberitahuan untuk tidak memberlakukan Persetujuan ini secara
tertulis kepada Negara pihak pada Persetujuan lainnya melalui
saluran diplomatik, pada tanggal 30 Juni atau sebelumnya dalam
tahun takwim dari tahun yang ke lima setelah pertukaran instrumen
ratifikasi, dan dalam hal demikian, Persetujuan ini akan tidak
berlaku lagi:

a) sehubungan dengan pajak yang dipungut di sumbernya atas


jumlah yang harus dibayar atau yang dikreditkan pada atau
setelah hari pertama bulan Januari pada tahun takwim
berikutnya saat pemberitahuan penghentian itu diberikan;
dan
b) sehubungan dengan pajak-pajak lainnya untuk tahun-tahun
pajak mulai pada atau setelah hari pertama bulan Januari
pada tahun takwim berikutnya saat pemberitahuan
penghentian itu diberikan.

SEBAGAI BUKTI para penandatangan di bawah ini, yang


telah diberi kuasa yang sah oleh masing-masing
Pemerintah, telah menandatangani Persetujuan ini

DIBUAT dalam rangkap dua di Jakarta, tanggal 10


Nopember tahun seribu sembilan ratus delapan puluh
delapan dalam Bahasa Inggeris.

BAB III

PENUTUP

Anda mungkin juga menyukai