Dunia Orang Mati Menurut Kepercayaan Mas

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 18

JURNAL SUNDERMANN

pISSN : 1979-3588 | eISSN : xxxx-xxxx


https://jurnal.sttsundermann.ac.id

Dunia Orang Mati Menurut Kepercayaan Masyarakat Nias


The World of the Dead According to Niassan Beliefs

Tuhoni Telaumbanua

STT Banua Niha Keriso Protestan Sundermann Nias


tuhony@sttsundermann.ac.id

ARTICLE INFO A B S T R A C T
The titel of this article is "The World of the Dead according to the
Niassan Primal Religion. This paper will discuss the struggle of Ono
Submitted: November 13, 2019
Niha, which is one of the oldest tribes who inhabit the Nias islands,
Review: Click or tap to enter a date
is about "the world of the dead". On one hand, Ono Niha has a high
Accepted: Click or tap to enter a date culture, and a belief system that has been lived for thousands of years
Published: Click or tap to enter a date from generation to generation. But on the other hand, since 1865,
through the mission by the RMG and NLG, Ono Niha has gradually
KEYWORDS become a follower of Christ. However, even though it has been more
than 150 years of Christianity on Nias, Ono Niha continues to
Kematian, Dunia Orang Mati, Roh, struggle about the Christian faith. One of the struggles of faith is a
Tubuh, Injil. relationship with "the world of the dead". What is death? Do spirits
enter the world community of the dead? In reality, Ono Niha who is
CORRESPONDENCE still faithful in carrying out his customs or culture, there are still
many who believe that the spirits of ancestors are the givers of
Phone: +62 12345678901 blessing or can be angry and bring a curse if their offspring do not
meet the demands of the ancestors when they lived. Another issue is
E-mail: first_author@affiliation.xx.xx the possession or possession experienced by members of the
congregation, both parents and students. Ono Niha is struggle,
because the church understands that all elements of the primal
religion are elements of heathen and are classified as occultism. But
on the other hand, Ono Niha still trusts and lives it. To find out Ono
Niha's belief system about the world of the dead, then in this paper
will be presented an understanding of the human self or personality
according to Ono Niha, as well as Ono Niha's belief system about
death and the world of the dead. Finally, it illustrates the interaction
and impact of the Ono Niha cultural and religious encounter with
Christianity. This paper is very important as an entry point for
developing Contextual theology in Nias.

A B S T R A K
Artikel ini membahas tentang “Dunia Orang Mati menurut Kepercayaan Masyarakat Nias. Tulisan ini akan
membahas tentang pergumulan Ono Niha, yang adalah salah satu suku tertua yang mendiami kepulauan
Nias, tentang “dunia orang mati”. Pada satu sisi Ono Niha telah memiliki kebudayaan yang tinggi, serta
system kepercayaan yang telah dihidupi ribuan tahun dari generasi ke generasi. Tetapi pada sisi lain, sejak
tahun 1865, melalui Pekabaran Injil oleh RMG dan NLG, maka secara bertahap Ono Niha menjadi pengikut
Kristus. Akan tetapi, walaupun sudah lebih 150 Tahun kekristenan di Nias, namun Ono Niha masih terus
bergumul tentang iman kekristenan. Salah satu pergumulan iman warga jemaat adalah sekaitan dengan
“dunia orang mati”. Apakah kematian itu? Benarkan roh-roh memasuki komunitas dunia orang mati? Pada
realita, Ono Niha yang masih setia dalam melaksanakan adat-istiadatnya, masih banyak yang percaya

First Author https://doi.org/xx.xxxxx/xxxxx


bahwa roh-roh nenek moyang adalah pemberi berkat atau bisa marah dan mendatangkan kutuk bila
keturunannya tidak memenuhi tuntutan nenek moyang ketika mereka hidup. Persoalan lainnya adalah
tentang terjadinya kerasukan atau kesurupan yang dialami oleh warga jemaat, baik orangtua maupun para
siswa atau mahasiswa. Di sini terjadi konflik dalam diri Ono Niha, karena pihak gereja memahami bahwa
semua unsur kepercayaan lama adalah unsur kekafiran dan tergolong okultisme. Namun pada sisi lain, Ono
Niha masih saja mempercayai dan menghayatinya. Untuk mengetahui system kepercayaan Ono Niha
tentang dunia orangmati, maka dalam tulisan ini akan dikemukakan pemahaman tentang diri manusia
menurut Ono Niha, serta system kepercayaan Ono Niha tentang kematian dan dunia orang mati. Pada
akhirnya menggambarkan interaksi dan dampak dari perjumpaan kebudayaan dan agama lama Ono Niha
dengan Kekristenan. Tulisan ini sangat penting sebagai pintu masuk untuk mengembangkan teologi
Kontekstual di Nias.

Kata kunci: Kematian, Dunia Orang Mati, Roh, Tubuh, Injil.

PENDAHULUAN pemahaman iman Kristen yang menekankan


tidak ada hubungan orang hidup dengan yang

S alah satu pergumulan umat manusia di


sepanjang zaman adalah menyangkut
kematian. Pemahaman tentang kematian dan
sudah mati. Walaupun demikian, masih banyak
Ono Niha Kristen yang masih menghayati dan
melakukan ‘hubungan’ dengan arwah nenek
misteri setelah kematian berhubungan dengan moyang melalui doa memohon berkat kepada
sikap, tindakan dan sistem kepercayaan arwah orang mati atau memohon kepada arwah
manusia yang masih hidup. Persoalannya ialah orang mati agar tidak mengutuk keturunannya,
konflik pemahaman dan penghayatan antara dan masih terdapat orang Kristen melakukan
kepercayaan lama dengan kepercayaan baru apa yang dipesan sebelum meninggal.
yang dianut. Itu yang dihadapi oleh masyarakat Pergulatan iman orang Kristen adalah apakah
Nias (Ono Niha), yang dahulu memiliki agama salah menghormati orang yang telah
asli dan sejak akhir abad ke-19 telah beralih meninggal? Apakah salah mengikuti tradisi
menjadi penganut agama Kristen. Masih banyak budaya? Bagaimana sesungguhnya pemahaman
Ono Niha Kristen yang menghayati soal Ono Niha dahulu tentang kematian dan
kematian dan dunia orang mati menurut tradisi peristiwa sesudah kematian?
dan pemahaman kepercayaan lama. Namun,
Untuk menelusuri sistem kepercayaan Ono
tidak lagi dipahami bahwa pemahaman tersebut
Niha tentang kematian dan peristiwa setelah
merupakan warisan sistem kepercayaan lama.
kematian, maka melalui penelitian
Salah satu contoh mengenai pemahaman bahwa
perpustakaan, maka dalam tulisan ini akan
setelah tiga hari, arwah orang meninggal
mengkaji pemahaman Ono Niha tentang ‘diri’
kembali ke rumah untuk mengambil barang-
manusia, tentang kematian dan tentang dunia
barang yang digunakannya ketika ia masih
orang mati atau peristiwa setelah kematian.
hidup, dan agar arwah orang mati tersebut
tidak kembali, maka barang-barangnya (yang
Pemahaman Ono Niha tentang Manusia
penting seperti tempat minuman atau
tikar/kasur) ditempatkan di kuburan. Para filsus memahami bahwa manusia
Meskipun, dewasa ini jarang melakukan ritual terdiri dari unsur material (tubuh) dan non-
tersebut, tetapi telah diganti dengan praktek material (roh).1 Ada juga yang membaginya
‘menanam bunga.’ Contoh lainnya adalah dengan tiga unsur, yakni tubuh, jiwa dan roh,
pemahaman bahwa arwah orang meninggal itu dan ada yang membagi dua, yakni tubuh dan
masih hidup dan bisa memberkati, sehingga roh. Berdasarkan pemahaman tersebut, dalam
alamat doa menjadi dua, yakni Tuhan di dalam tradisi Yunani, ada pemahaman bahwa tubuh
Yesus Kristus, dan kepada arwah orang mati; adalah penjara bagi Roh, dan dipahami bahwa
dan untuk menjauhi kutuk, banyak Ono Niha apabila manusia mati, tubuhnya mati tetapi
yang berusaha keras menuruti pesannya ketika rohnya berpisah dengan tubuh dan dianggap
ia masih hidup.
Pemahaman lama Ono Niha tentang arwah
1
dan dunia orang mati tentu berbenturan dengan Baca Ki Dong Kim, Roh, Jiwa dan Tubuh, Tangerang,
Berea Indonesia, 2003.
Journal Title 3

tidak mati. Bagaimana pemahaman Ono Niha menghembusi. Eheha mengacu pada kekuatan
tentang manusia (diri)? yang menggairahkan, yang diturunkan ayah
Untuk mengenal pemahaman Ono Niha kepada anak lelakinya (tertutama di kalangan
dahulu, Swellengrebel2 mengutip catatan kaum bangsawan). Sehingga ada ritual fangai
misionaris RMG, Sundermann yang eheha zatua, terutama oleh anak sulung, dan
menyatakan bahwa diri manusia terdiri dari ketika seseorang meninggal maka keluarga
enam unsur, yakni boto, noso, eheha, tôdô, menjaga agar eheha-nya tidak dicuri oleh orang
môkômôkô atau alôlôa dôdô, dan bekhu zimate. Apa lain.
maksudnya? Sundermann menjelaskannya, Mökömökö (berkaitan dengan kata mökö
sebagai berikut.3 “bergerak”). Ono Niha memahamai bahwa
Boto (badan/sosok/pribadi). Boto dapat mökömökö sebagai bagian dari tödö yang masih
berarti perawakan, tempat bagi noso terus hidup setelah seseorang meninggal. Nama
(napas/jiwa), tempat bagi tôdô (jantung), dan lain dari mökömökö adalah alölöa dödö adalah
daging manusia (ôsi). Boto itu sendiri tidak intisari dari manusia. Bila seseorang mati,
berhayat, tetapi menjadi makhluk hidup karena intisari ini tidak mati, setelah mayat dikubur,
noso. Ketika noso ini terputus, maka badanpun mökömökö keluar dari kuburan. Mökömökö
hancur. Pusat badan adalah tôdô yang menjelma sebagai laba-laba, dan inilah yang
merupakan pusat fungsi-fungsi dan perasaan disimpan dalam adu zatua. Kalau adu zatua
jiwa. Bila ada seseorang yang tidak arif, maka rusak, mökömökö dapat keluar dan lari, maka adu
ada ungkapan “ebua mboto, ba lö sa bakha tödö.” harus dibuat dari kayu yang bagus dan
Istilah lain dari badan adalah ösi yang dipelihara dengan baik.
diterjemahkan dengan tubuh atau dalam bahasa Bekhu zimate (bayangan orang mati), yang
Yunani sarx (daging). kadang-kadang akan tampak beberapa saat
Noso (napas/jiwa) adalah asas kehidupan sebelum seseorang meninggal, sebagai
manusia dan binatang. Ada pemahaman Ono bayangan yang mirip dengannya. Dipahami
Niha, bahwa noso diberikan oleh Baliu, anak bahwa bekhu zimate adalah roh yang tak
dewa Lowalangi (dewa dunia atas) sejak manusia berperawakan, yang dimiliki manusia, baik
dalam kandungan. Jika seseorang banyak semasih hidup maupun setelah mati. Ketika
mendapat noso, maka ia hidup lama dan seseorang mati, bekhu zimate-nya berada dekat
sejahtera, dan demikian sebaliknya. Sesudah mayat, dan menginginkan barang-barang dari
kematian, noso kembali ke ‚jiwa kolektif‘atau almarhum, bahkan menginginkan makanan
kembali kepada sumber noso. seperti layaknya almarhum sewaktu hidup.
Sebelum bekhu zimate mendapat tempat di dunia
Tödö adalah hati/jantung sebagai bagian bawah, maka ia tinggal beberapa waktu di dekat
dari badan dan merupakan pusat perasaan serta kuburan.
akal-budi. Tödö juga memiliki arti hati nurani
(bnd. ungkapan itegudo tödögu). Istilah tödö Orang yang berbuat jahat, bekhu zimate-nya
muncul dalam berbagai ungkapan perasaan, kembali ke kuburan dan tidak masuk ke dunia
misalnya: ebua dödö (hati besar – kasih sayang), bawah. Orang yang tidak mempunyai
abu dödö (hati berambut – menyatakan perasaan keturunan, bekhu zimate-nya menjadi löhölöhö
duka cita), tobali dödö (hati terbalik – (kupu-kupu besar), sedangkan manusia yang
menyatakan perasaan kaget), afönu dödö (hati bunuh diri bekhu zimate-nya tidak berkumpul
penuh – untuk kemarahan), dan tobini dödö (hati bersama bekhu zimate yang lain, melainkan
tersembunyi – untuk menyatakan sikap mempunyai tempat khusus. Apabila bumi ini
munafik). lenyap dan terbentuk dunia baru maka dunia
baru itu akan didiami oleh bekhubekhu orang
Eha-eha/Eheha (roh), berkaitan dengan baik, sejauh mereka mempunyai keturunan laki-
tarikan nafas. Dalam kata kerja dapat berarti laki.
2
J. L. Swellengrebel et al., Mengikuti Jejak Informasi lain yang diperoleh tentang diri
Leijdecker : Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab Dan manusia selain catatan Sundermann, antara lain:
Penelitian Bahasa Dalam Bahasa-Bahasa Nusantara (Jakarta:
Dananjaya, memahami diri manusia terdiri dari
Lembaga Alkitab Indonesia, 2006).
3
Heinrich Sundermann, “Die Psychologie Des
dua unsur besar, yakni badan kasar (boto) dan
Niassen,” in Allgemeine Mission Zeitschrft, ed. Johannes
Gustav Warneck, 14th ed. (Gütersloh: Bertelsmann,
1887), 289–302.

First Author https://doi.org/xx.xxxxx/xxxxx


badan halus (terdiri dari noso dan lumölumö).4 ditemukan dalam istilah bekhu zimate
Faogöli Harefa menyebutkan istilah-istilah (Sundermann), atau bekhu zauri (Filemon).
seperti boto, lumölumö atau bekhu, eheha Pada mumnya, manusia dianggap terdiri
wa’asalaŵa atau eheha, lakhömi, hati (tödö), dan dari dua unsur, yakni boto (tubuh) dan noso
mökömökö.5 Gulö mengemukakan bahwa ‘roh’ (jiwa). Boto adalah tubuh jasmaniah, yang
yang ditempatkan di patung orangtua itu dikubur bila manusia mati. Tubuh bisa
bernama eheha wa’asalaŵa atau löfö.6 Filemon dipandang berubah menjadi mӧkӧmӧkӧ bila
menyebut istilah seperti boto (akan menjadi seseorang meninggal atau lenyap saja.
mayat), noso (akan kembali ke ‘atas’), bekhu Kenyataan itu tidak mempengaruhi jumlah
(tinggal di kuburan), lakhômi (ditempatkan unsur dalam diri manusia. Noso adalah unsur
dalam patung orangtua), dan bekhu zauri (roh rohaniah, merupakan prinsip yang menghidupi
orang yang hidup).7 Peter Suzuki menyebutkan tubuh (bnd. Sundermann). Unsur ini hanya
adanya unsur ‘immortal spirit’ (roh kekal)8 Afore9 dapat dilihat oleh Ere (imam).11 Noso memiliki
mengemukakan tôdô (hati) yang mesti aspek rohaniah, yang disebut lumӧlumӧ (bnd.
ditinggalkan kepada anak-anaknya. Harita juga Dananjaya, Harefa, Thomas), atau bekhu zauri
menyebutkan istilah luluô.10 (bnd. Filemon), atau bekhu zimate (bnd.
Sejumlah istilah tersebut di atas, (boto, noso, Sundermann), atau eheha (bnd. Sundermann,
eheha, eheha wa’asalaŵa ,bekhu, bekhu zimate, tôdô, Hadiwijono), atau eheha wa’asalaŵa (roh
môkômôkô, alôlôa dôdô, lakhômi, lôfô, bekhu zauri, kemuliaan, bnd. Harefa), lakhômi (bnd. Filemon,
luluô), tampaknya bukanlah gambaran jumlah Harefa, Hadiwijono), atau tӧdӧ (bnd. Afore,
unsur yang membentuk diri manusia. Para Harefa), atau mӧkӧmӧkӧ (bnd. Sundermann),
penulis masing-masing menggunakan istilah atau alӧlӧa dӧdӧ (bnd.Sundermann), atau luluӧ
yang biasa ditemukan di wilayah dan zaman (bnd. Harita), yang mesti diwarisi kepada anak-
dari sasaran tulisannya, walaupun istilah satu anak. Pewarisan dapat dilakukan dengan cara
dengan lain kadang-kadang memiliki memindahkan aspek rohaniah itu langsung
pengertian yang sama. Sebagai contoh, kepada si anak, atau dengan menempatkannya
mengenai lakhômi. Menurut Harefa, lakhômi dalam patung orangtua (adu zatua). Pewarisan
adalah sesuatu dari diri manusia, yang itu tampaknya merupakan simbolisasi
disimpan dalam patung orangtua. Kehadiran kehadiran dan keterhubungan yang kontinyu
lakhômi inilah yang memungkinkan patung itu antara kuasa orangtua dengan keluarga dan
memiliki kuasa untuk memberkati. Makna keturunannya.
seperti ini terkandung dalam istilah môkômôkô Aspek rohaniah dipahami sebagai kualitas
(Sundermann, 1887), dan dalam eheha wa’asalaŵa atau potensi yang luar biasa dari noso, yang
(Gulo, 2004). Hal yang sama dapat ditemukan memberi semangat, kebijaksanaan dan
dalam istilah lumӧlumӧ. Lumӧlumӧ merupakan kemampuan kepada manusia. Namun, aspek ini
diri kedua manusia, yang ada baik selagi hidup tidak otomatis kentara dalam setiap manusia. Ia
maupun setelah manusia mati (Danandjaja, lebih bersifat kemungkinan (possibility), yang
1976). Pemahaman yang serupa dapat memerlukan kondisi yang kondusif untuk dapat
4
James Danandjaja, Ono Niha: Penduduk Pulau
mewujud. Pada kenyataannya, aspek rohaniah
Nias, 1976. ini hanya dibicarakan berkaitan dengan
5
Faogoli Harefa, Hikayat Dan Cerita Bangsa Serta bangsawan.1213 Sekilas hal ini seolah-olah
Adat Nias (Sibolga: Rapatfonds Residentie Tapanoeli, mengatakan bahwa aspek rohaniah hanyalah
1939). milik bangsawan dan orang kaya. Namun, di
6
W Gulo, ed., “Injil Dan Budaya Nias,” in Seminar sisi lain jalan untuk menjadi bangsawan dapat
Lokakarya Perjumpaan Injil Dan Budaya Nias Di ditempuh oleh siapapun yang dapat melakukan
Gunungsitoli Nias (Gunungsitoli: Panitia Semiloka, 2004),
pesta-pesta besar (owasa),14 tanpa ditentukan
205.
7
Toeria, April, 1916, hal. 14-15.
oleh garis keturunan, melainkan harta. Jelas,
8
Peter Suzuki, The Religious System and Culture of bahwa setiap orang mempunyai kemungkinan
Nias, Indonesia (s-Gravenhage: Uitgeverij Excelsior,
11
1959), 117. Ibid., 36.
12
9
Toeria, Maret 1915, hal.11-12. Bnd. Harun. Hadiwijono, Religi Suku Murba Di
10
Sarofanotona Harita, “Gerakan Pertobatan Indonesia (BPK Gunung Mulia, 2000), 93.
13
Masal Sebagai Hasil Pertemuan Gerakan Pietisme Bnd. Harefa, Hikayat Dan Cerita Bangsa Serta
Dengan Nilai-Nilai Budaya Agama Suku Nias” (Tesis, Adat Nias, 96.
14
Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, 1990), 35. Ibid., 86–93.
Journal Title 5

untuk menjadi bangsawan. Dengan demikian, atau bekhu zauri atau bekhu zimate, merupakan
kemungkinan menjadi bangsawan itu pula diri kedua manusia (bnd. Dananjaya, Filemon,
menjadi kemungkinan untuk memiliki aspek Sundermann), dalam eksistensi rohaniah, yang
rohaniah. Aspek rohaniah itu dapat diasah oleh ada baik sewaktu masih hidup maupun setelah
harta dan upacara-upacara adat, yang dapat mati. Bila seseorang mati, lumӧlumӧ-nya tidak
meningkatkan status sosial seseorang hingga mati, tetapi berubah nama menjadi bekhu.15
mencapai derajat bangsawan yang tertinggi, Lumӧlumӧ atau bekhu itu memiliki aspek
yakni balugu atau si’ulu, atau salaŵa. Aspek ini rohaniah, yang disebut eheha, atau eheha
akan kembali ke tempat berasalnya noso, yakni wa’asalaŵa atau lakhӧmi atau mӧkӧmӧkӧ atau
Teteholi Ana’a. (bnd. Sundermann, Dananjaya) luluӧ atau alӧlӧa dӧdӧ atau tӧdӧ. Aspek ini dapat
dengan menyeberangi bawa gawuwukha (mulut diwariskan kepada anak-anak dan ditempatkan
samudra). pada adu zatua. Bekhu (minus aspek rohaniah)
Selain aspek rohaniah, noso manusia selanjutnya menetap di kuburan, dan kadang-
memiliki aspek ‘setaniah’ (mengandung setan). kadang mengganggu dan menakutkan.
Aspek ini merupakan kekuatan, yang dalam Dua konsep di atas dapat berkembang
keadaan-keadaan tertentu, dapat mengganggu menjadi konsep baru, bila hal-hal yang
ketentraman manusia, dan menakutkan. merupakan aspek dianggap sebagai unsur. Bila
Keadaan-keadaan dimaksud antara lain bila gagasan itu dikembangkan, maka konsep dua
kematian seseorang tidak diupacarai, bila unsur maunpun tiga unsur dapat pula
patung orangtua sudah rusak, bila seseorang dipandang sebagai konsep empat unsur, dimana
mati bunuh diri, atau dibunuh, bila seseorang aspek rohaniah dan aspek setaniah dianggap
telah berbuat jahat, bila mati di saat melahirkan sebagai unsur-unsur yang terdapat dalam
(noso-nya menjadi roh jahat, yang disebut eksistensi noso (konsep dua unsur), atau aspek
matiana), bila mati di sungai, dll. Kekuatan itu, rohaniah menjadi salah satu unsur dalam
bila seseorang meninggal, menetap di kuburan eksistensi lumôlumô (konsep tiga unsur). Jadi,
(bnd. Filemon) atau menuju tempat tertentu, konsep empat unsur memberi dua versi
dan tidak dapat bergabung dengan kekuatan kemungkinan. Versi pertama, manusia terdiri
aspek rohaniah. dari boto, noso, unsur rohaniah (lumӧlumӧ, atau
Versi lain dapat dikemukakan terhadap bekhu zauri, atau bekhu zimate, atau eheha, atau
konsep dua unsur ini. Noso, pada waktu eheha wa’asalaŵa, atau lakhӧmi, atau tӧdӧ, atau
seseorang meninggal tidak mati, melainkan mӧkӧmӧkӧ, atau alӧlӧa dӧdӧ, atau luluӧ), dan
menuju tempat yang layak baginya. Orang baik, unsur setaniah (bekhu). Sedangkan versi kedua,
yang mempunyai keturunan, yang telah manusia terdiri dari boto, noso, lumӧlӧmӧ, dan
melakukan owasa, dan kematiannya diupacarai, unsur rohaniah (eheha, atau eheha wa’asalaŵa atau
noso-nya menuju Teteholi Ana’a. Tetapi lakhӧmi atau mӧkӧmӧkӧ atau luluӧ atau alӧlӧa
sebaliknya, mereka yang jahat dan belum dӧdӧ atau tӧdӧ).
melakukan owasa, nosonya menuju dunia bawah. Dari berbagai kemungkinan di atas (dua
Namun, orang baik masih dibutuhkan oleh unsur, tiga unsur atau empat unsur), tampak
keluarga. Oleh karena itu, sebagai simbol bahwa masyarakat Nias memahami adanya
kehadiran dan keterhubungan almarhum kekekalan manusia. Semua sumber yang penulis
dengan keluarganya, dibuatkan patung, yang gunakan mengisyaratkan bahwa unsur rohaniah
diisi dengan noso orangtua, dengan sebutan manusia (seperti noso, atau lumӧlumӧ, dll)
eheha atau eheha wa’asalaŵa atau mӧkӧmӧkӧ, atau bersifat kekal.16
luluô atau alӧlӧa dӧdӧ atau tӧdӧ, atau lakhӧmi,
dan kemudian dinamai patung orangtua (adu 15
Danandjaja, Ono Niha: Penduduk Pulau Nias, 108.
zatua). Semua ini dilakukan melalui acara ritual 16
Dalam artikel lain Sundermann menulis
dengan menjalani sejumlah ritus dan pesta. penolakannya terhadap pemahaman akan kekekalan.
Menurutnya masyarakat Nias tidak mempunyai
Selain pemahaman dua unsur di atas, keinginan untuk berhubungan dengan kuasa adikrodati,
manusia dapat dipandang terdiri dari tiga serta tidak memikirkan hal-hal sesudah kematian di
unsur, yakni boto, noso, dan lumôlumô. Boto bumi ini. Kegiatan kultus melulu untuk kepentingan
merupakan tubuh jasmaniah, tempat bagi noso hidup sekarang, yakni untuk memperoleh kesembuhan
dari penyakit, untuk menangkal serangan-serangan
dan lumӧlumӧ. Noso adalah prinsip yang
penyakit, untuk mengusir makhluk-makhluk halus, dan
menghidupi tubuh, yang akan kembali ke untuk menghindari kutukan orang lain. Tapi tampaknya
asalnya bila seseorang meninggal. Lumôlumô kesimpulan Sundermann di atas tidak sinkron dengan

First Author https://doi.org/xx.xxxxx/xxxxx


Sedangkan unsur jasmaniah (boto) akan yang terpenting dalam diri manusia adalah
berakhir pada kematian.17 Dengan demikian, unsur-unsur rohaniah itu: noso, atau lumӧlumӧ,
atau keduanya. Atau rumusan yang lebih tepat
pendapatnya mengenai psikologi manusia, di mana
Sundermann mengemukakan beberapa hal yang dapat ialah bahwa diri (self) manusia adalah unsur-
dihubungkan dengan kekekalan manusia. Sundermann unsur rohaniahnya, yakni noso, atau lumӧlumӧ,
mencatat bahwa intisari manusia (mӧkӧmӧkӧ) disimpan atau keduanya. Tubuh merupakan tempat
dan diwariskan. Makna pewarisan tersebut dapat sementara bagi unsur-unsur itu di bumi ini,
dipahami sebagai upaya menjaga kesinambungan. sarana kelahiran dan kehadiran di bumi. Tetapi,
Selain itu Sundermann juga mengemukakan
setelah meninggal, tanpa tubuh, manusia
pemahaman Nias tentang akhirat dan pergantian bumi,
dimana bumi sekarang ini, pada akhirat, akan dianggap tetap hadir, dalam patung atau dalam
tenggelam dan digantikan oleh tingkat teratas dari diri si anak. Sekalipun seseorang telah mati,
dunia atas. Orang baik akan menuju dunia atas itu. namun dia tetap hidup dalam kehidupan
Anak-anak dapat mencapainya dengan digendong keluarganya. Noso atau lumӧlumӧ seseorang
ibunya. Pendapat lain diberikan oleh Denninger, yang cukup dianggap penting. Anak-anak dari
mengakui adanya gagasan tentang kekekalan. Menurut
seorang ayah yang meninggal, berusaha
Denninger, orang Nias sangat memahami hal-hal
jasmaniah dan rohaniah. Hal-hal rohani menyangkut melakukan acara-acara setelah kematian, untuk
kehidupan nyata di tingkat adikodrati, dan itu nampak membantu memperlancar perjalanan ‘pulang’
dalam kultus. Suzuki juga mengakui adanya jiwa sang ayah ke tujuan akhir. Kewajiban sang
pemahaman tentang kelahiran kembali. Analisa Suzuki anak untuk mematuhi pesan-pesan sang ayah
itu didasari pada hubungan manusia dengan kosmologi. almarhum menjelang mati, selain memberi
Kelahiran kembali dicapai melalui ritus-ritus, yang
keuntungan bagi diri si anak, juga bagi si
mengorbankan manusia (binu, seperti bila seorang
bangsawan meninggal) dalam acara penguburan mayat, almarhum.
atau memindahkan tulang-belulang. Di Nias Tengah, Apabila diperhadapkan dalam kehidupan
ketika kepala manusia yang dikorbankan itu diletakkan keseharian dan sistem kepercayaan Ono Niha,
pada tempatnya, ada kalimat yang diucapkan demikian:
maka tampak ada dua dunia bagi Ono Niha,
“Inilah kepala yang dapat membuatmu bangkit”. Lihat
Sundermann, “Der Kultus des Niasser”, dalam Berichte yakni banua (kehidupan di dunia sekarang ini -
der Rheinischen Missions Gesellschaft, Wuppertal – semasih hidup), dan kehidupan sekaitan dengan
Barmen, May 1868, hal.1-7; Sundermann, “Die sesudah kematian (banua tou/furi). Bahwa benar
Psychologie…” (1887), 301-302, Denninger, Berichte ada beberapa unsur psikologi dan unsur yang
RMG, April 1867; Suzuki, (1959:123-127. muncul sewaktu hidup (boto, tӧdӧ, noso, eheha);
17
Faogôli Harefa sebenarnya menyatakan lain. dan ada unsur atau elemen yang muncul pada
Baginya seluruh unsur manusia, baik jasmaniah (boto)
maupun rohaniah bersifat kekal. Di saat seseorang
waktu kematian dan sesudahnya, seperti
meninggal tidak ada unsur yang lenyap, melainkan Mӧkӧmӧkӧ, Eheha, dan Bekhu Zimate. Bagaimana
berubah. Boto berubah bentuk menjadi mӧkӧmӧkӧ, roh unsur ini dalam kaitan dengan kematian dan
menjadi lakhӧmi, arwah menjadi lumӧlumӧ atau bekhu. sesudah kematian?
(Harefa, 1939:100). Tapi pendapat ini sulit dibuktikan
dan dipertahankan. Sumber-sumber lain tidak Kematian menurut Ono Niha
mengemukakan adanya kebangkitan tubuh. Kalaupun
Sundermann memahami mӧkӧmӧkӧ sebagai intisari Masyarakat Nias menyebut kematian
manusia, sisa gerak dari jiwa dan tubuh, namun dia
dengan berbagai istilah, antara lain: aetu noso
tidak menyimpulkan adanya tubuh yang kekal.
Mӧkӧmӧkӧ, sebagaimana dikemukakan Sundermann, (putus nyawa), mondrӧi ulidanӧ (meninggal
lebih cocok dipahami sebagai diri manusia (yakni orang dunia), mofanӧ (pergi), ahuwa18, alele (tidak
meninggal), yang dipandang berkuasa terhadap berdaya sama sekali), dll. Kematian adalah
keluarga dan baik, sehingga pantas dihormati dan nasib seseorang. Semua orang mengalami mati,
diwariskan. Oleh karena itulah disimpan dalam adu baik orang tua maupun anak-anak, dan itu tidak
zatua. Dalam pemahaman itu, maka mӧkӧmӧkӧ dapat
dapat dihalangi.19 Kalau kematian harus terjadi,
diidentikkan dengan lakhӧmi, yang dipahami Harefa.
Kemunculan kembali orang-orang meninggal juga
itu berarti seseorang telah mencapai batas
hanya bisa dilihat oleh Ere, dan bukan sembarangan permintaannya (no irugi angandrӧŵania).2021 Noso
manusia, dan hal itu diakui oleh Harefa (bnd. Harefa, yang dia minta sewaktu di kandungan sudah
hal. 101). Itu setidaknya menunjukkan bahwa
18
kemunculan kembali diri manusia setelah mati terjadi Ahuwa, dalam arti mati jarang sekali digunakan
dalam bentuk yang tidak jasmaniah, tidak kasad mata sekarang ini. Kata itu lebih dikenal dalam arti: ubanan.
dan tidak dapat diraba. Suzuki, berdasarkan informasi Dalam hubungan dengan ubanan itu, maka ahuwa (mati)
dari Schroder dan Chatelin, dengan tegas menyatakan lebih menekankan keadaan menuju akhir. Ahuwa juga
bahwa mӧkӧmӧkӧ adalah jiwa dari manusia yang sudah dikenakan kepada anak-anak yang meninggal.
19
mati (bnd. Suzuki, 1959:125). Gumaô, “Hoho…,” Relienbook, 196.
Journal Title 7

mencapai batas. Itulah nasibnya. Oleh karena itu


kematian tidak perlu dihindari. Dalam Hoho ba Apa yang terjadi setelah kematian?
zimate yang ditulis oleh Guru Zemo Gumao
dalam Realienboek, dan Hoho ba zimate yang Penjelasan terhadap diri manusia pada
ditulis oleh Thomsen, dan ditulis serta bagian kedua di atas, memberi gambaran bagi
ditafsirkan ulang oleh P. Johannes, M. kita, bahwa dalam pandangan masyarakat
Hammerle, OFMCap22 menyatakan bahwa Nias, manusia memiliki sesuatu yang kekal,
hidup di dunia ini tidak selamanya, dan tidak yakni unsur rohaniahnya, noso atau lumölumö
ada jalan keluar untuk lepas dari kematian. atau keduanya. Unsur itu pada hakikatnya
Beberapa syair berikut. mesti kembali kepada asalnya,25 atau ke dunia
roh nenek moyangnya.26 Aktifitas di sekitar
kematian tampak memperlihatkan gagasan itu.
Hendre mena zi lö amatela niha, hendre mena zi lö Perjamuan terakhir bagi orangtua yang hendak
asao zato. meninggal mengandung makna sebagai
Iwaö Siwaria, lakha zihönö, iwaö Siwaria, lakha persiapan untuk bertemu dengan para leluhur. 27
zato: Lö sa khögu hilu lala gamatela, lö sa khögu Dalam kegiatan-kegiatan sekitar kematian,
hilu gaetula noso. Oi wö lala hö niha ba gulidanö, simbol-simbol dunia atas dan dunia bawah
oi wö lala hö niha ba guli ndrao. Fangesolo digunakan.28 Simbol-simbol dunia atas antara
gulö’ulö, fangatabö deteho.
lain: kain sutera, emas, kumpulan patung
Hendre zi lö amatela niha, hendre zi lö asao zato? leluhur, warna kuning, warna keemasan,
Iwaö amania börö zatua, iwaö ama börö zeroro: Lö burung elang, payung berwarna keemasan,
sa hilu lala gamatela, lö sa hilu gaetula noso. Oi matahari, ayam, lauru, hulu, timur, dll. Simbol
lala hö niha ba danö, oi lala hö niha ba ndrao. Oi dunia bawah antara lain: ular, buaya, warna
lala gamatela zumbila, oi lala gamatela moyo.
merah, warna gelap, bulan, hilir, barat, dll.
Penempatan adu zatua yang baru di deretan
Dengan kesadaran bahwa tidak ada jalan nadu sebelumnya (atia nadu) merupakan simbol
menghindari kematian, maka manusia Nias dari berkumpulnya kembali orang meninggal
malah mempersiapkan diri menyambut dengan para leluhur.
kematian. Salah satu makna acara fangotome’ӧ Tapi kembali ke asal tidak bersifat
atau famalakhisi adalah dalam rangka persiapan otomatis. Mencapai itu sangat ditentukan oleh
itu. Yang dihindari oleh Ono Niha adalah sejauh mana dia telah melaksanakan adat
penyakit, yang diyakini disebabkan oleh sewaktu di bumi. Apabila di bumi, seseorang
kemarahan arwah leluhur atau makhluk-
makhluk halus serta Lature Danӧ. Untuk itu 24
Bnd. Suzuki, The Religious System and Culture of
masyarakat Nias terus berusaha menghidarkan
Nias, Indonesia, 8.
diri dari semua oknum tersebut dengan cara 25
Sundermann, “Die Psychologie Des Niassen,”
menaati adat sesuai hukum-hukumnya, 292.
melakukan ritus pembuatan patung dan 26
J.W. Thomas, Berichte der Rheinische Missions-
pemberian sesaji, yang dipimpin oleh Ere. Gesellschaft (n.d.): 13–15.
Kematian itu bisa terjadi dengan berbagai cara: 27
Toeria, Ombôlata, Juli-Agustus 1924, hal.25-26.
karena dibunuh atau bunuh diri, kecelakaan, 28
Suzuki, The Religious System and Culture of Nias,
penyakit, dan usia lanjut. Selain itu masyarakat Indonesia, 117–126. Kain sutera dililitkan pada peti,
bagian kepala dari pada peti ditempatkan di bawah
Nias juga memahami bahwa kematian
patung para leluhur, mayat diberi pakaian sesuai
disebabkan oleh karena makhluk-makhluk dengan warna status sosialnya, yakni merah atau gelap
halus telah memakan ‘bayangan’ seseorang,2324 bagi orang kebanyakan, dan kuning atau keemasan bagi
termasuk dewa dunia bawah (Lature Danӧ). kaum bangsawan, perhiasan emas dipakaikan atau
20
ditempatkan di samping mayat, tarian yang
Sundermann, “Die Psychologie Des Niassen,” menyimbolkan burung elang dan ular yang meliuk
291. dalam Tari Moyo (moyo sejenis burung berwarna emas
21
Menurut Sundermann noso manusia paling dan merah), tarian Mondrӧni Hiŵӧ (tarian yang
berat 10 gram. Berat ringannya noso menentukan menyerupai ular, di mana barisan terdepan
panjang pendeknya umur seseorang. menggunakan payung berwarna keemasan), lauru
22
Johannes M. Hämmerle, Lawaendröna – Si ditempatkan di bagian kepala peti, posisi peti pada saat
Pencari Kehidupan Abadi Hingga Ke Bulan (Gunungsitoli: pemakaman menghadap ke hulu atau ke timur, pondok
Museum Pusaka Nias, 2013). di kuburan dibuat dengan puncak atapnya berbentuk
23
Harefa, Hikayat Dan Cerita Bangsa Serta Adat ayam bertengger, kepala buaya kadang-kadang diukir
Nias, 93. pada peti.

First Author https://doi.org/xx.xxxxx/xxxxx


telah melaksanakan ketentuan-ketentuan adat, mengungkapkan bahwa manusia yang
dan mencapai status sosial yang tinggi (si’ulu diturunkan dari Teteholi Ana’a itu akan hidup di
atau balugu), maka dia telah memenuhi sistem bumi berdasarkan sistem dunia atas. Dengan
kehidupan dunia atas, dan akan kembali ke demikian tugas utama manusia di bumi adalah
dunia atas itu.2930 Upaya-upaya itu dilakukan memelihara dan menjalankan sistem kehidupan
tidak hanya oleh seseorang untuk kepentingan dunia atas dimaksud. Hanya dalam sistem
dirinya sendiri, tetapi juga oleh anak-anaknya, itulah Ono Niha dapat memelihara hubungan
untuk kepentingan orangtuanya.31 Oleh karena yang harmonis dengan leluhurnya dan para
itu kehadiran anak sangat diharapkan oleh dewa. Hubungan itu merupakan jaminan
keluarga-keluarga Nias. Namun, kalau di bumi kesejahteraan, jaminan bagi hidup yang
hanya dapat menjadi manusia kebanyakan saja, terberkati di bumi. Oleh karena itu orang selalu
maka dia menetap di dunia bawah. Ada berusaha menyelenggarakan adat.34 Sistem
pertimbangan-pertimbangan etis, namun dunia atas merupakan sistem hidup ideal. Jadi,
hukuman (ogautö) atas kesalahan-kesalahan etis manusia datang (diturunkan) dengan membawa
itu masih dapat ditebus selama di dunia melalui adat, maka akan pulang melalui adat juga.
hukum-hukum adat.32 Pelanggaran etis Dalam hal ini mati berarti kesempatan untuk
sesungguhnya adalah pelanggaran terhadap kembali35 ke dalam kehidupan leluhur.
hukum adat itu sendiri. Jadi, kembali ke Dalam kerangka berpikir ini dapat
Teteholi Ana’a hanyalah mungkin terjadi melalui dipahami mengapa orang yang tidak
adat (lala hada). mempunyai keturunan,36 orang yang melanggar
Hal tersebut tampak sejalan dengan norma-norma etis,37 orang miskin,38 tidak
pemahaman orang Nias terhadap mitos-mitos memiliki kesempatan kembali ke dunia atas.
asal-usul mereka, yang dianggap berasal dari Ketiadaan keturunan menyebabkan seseorang
dunia atas, dan ketika diturunkan ke bumi, hanya dapat mencapai derajat tertentu, dan
kepada mereka diikutkan segala peraturan tidak ada anaknya yang akan mengupacarakan
hukum adat.33 Mitos-mitos tersebut hendak kematiannya. Orang miskin, jelas tidak akan
dapat menyelenggarakan serangkaian adat,
29
Gulo, “Injil Dan Budaya Nias,” 208. Status ini karena pada kenyataannya penyelenggaraan
hanya dapat dicapai bila seseorang telah melakukan hal- adat membutuhkan harta benda. Orang-orang
hal sebagai berikut. Seorang anak laki-laki, setelah lahir yang melanggar hukum etis, sekaligus menjadi
diberi nama (famatôrô tӧi), kemudian ketika berumur 4- orang-orang yang melanggar hukum adat itu
12 tahun, ia harus disunat (laboto). Tidak lama kemudian sendiri.
giginya dipotong (lafôfô atau lahôzi. Telinga kadang-
kadang ditindik, sebagai tempat bagi perhiasan emas. Kembali ke asal berarti meninggalkan
Bila dianggap sudah dewasa seseorang menikah, bumi ini. Beberapa istilah yang digunakan bagi
mempunyai anak, mendirikan rumah, mendirikan kematian juga mengandung makna demikian,
kampung, membuat perhiasan emas (tahô dôdô gana’a), seperti mondröi ulidanö (meninggalkan bumi),
mendirikan patung batu (gowe) dan menyelenggarakan
owasa (pesta terbesar). Semua acara dalam fase-fase
mofanö (pergi), dll. Masyarakat Nias meyakini
tersebut dilakukan dengan ritus dan pesta. Semakin
tinggi fase yang dilakukan, semakin besarlah pesta yang semua jenis tanaman, binatang-binatang, termasuk
diselenggarakan, semakin tinggi juga derajat sosial yang pinang, gambir dan sirih. Demikian juga segenap
dicapai seseorang, hingga pada pesta terbesar, yang perhiasan, termasuk bait (osali) serta berbagai macam
disebut owasa, yakni pesta untuk mendapatkan derajat adu (patung). Bnd. Bambӧ wӧ La’iya, 25.
34
sosial tertinggi, balugu atau si’ulu. Lӧ domboea, “Owasa,” 168.
30 35
Harefa, Hikayat Dan Cerita Bangsa Serta Adat Suzuki merumuskan kematian sebagai kelahiran
Nias, 41. kembali (rebirth). Istilah kelahiran kembali itu
31
Danandjaja, Ono Niha: Penduduk Pulau Nias, 108. tampaknya kurang tepat, karena masyarakat Nias
Orang yang tidak pernah diupacarakan kematiannya memahami bahwa diri (self) manusia itu kekal. Tidak
oleh kerabatnya, tidak dapat menyebarangi ‘jembatan’ ada yang punah, bnd. Suzuki, The Religious System and
yang menuju ke dunia atas itu. Culture of Nias, Indonesia, 125.
36
32
Harefa, Hikayat Dan Cerita Bangsa Serta Adat Orang yang tidak mempunyai keturunan akan
Nias, 56–70. menjadi kupu-kupu besar (lӧ hӧ ôlӧ hӧ ), lihat Guru
33
Ibid., 23. Dalam mitos-mitos dikisahkan bahwa Fetero, “Lewatô,”149; Sundermann, “Die Psychologie
ketika leluhur Nias diturunkan di Teteholi Ana’a, kepada Des Niassen,” 301–302.
37
mereka diikut-sertakan segala yang dibutuhkan, yakni Bagi mereka yang mati bunuh diri, atau pernah
rumah lengkap dengan peralatannya, semua alat ukur membunuh, disediakan tempat khusus, Ibid.
38
atau timbangan (afore, alat ukur babi, lauru, alat S. Zebua, Sejarah Kebudayaan Ono Niha, Seri 2.,
timbangan padi/beras, fali’era, alat timbang emas); n.d., 396.
Journal Title 9

bahwa seseorang yang mati, menyadari mereka tinggal di kuburan atau tempat khusus,
kepergiannya meninggalkan bumi ini. yang mana menurut Harefa (1939), kuburan
Kesadaran itu terjadi pada hari keempat setelah (sinela) merupakan kampungnya setan; tapi
dikubur. Kesadaran almarhum itu ternyata dapat dikatakan, bahwa tempat bagi mereka
mengandung makna bagi keluarga, dan oleh yang tidak beruntung itu adalah di tempat
karena itu sesuatu hal dilakukan, yakni Lature Danӧ, di dunia bawah.40
pembuatan patung orangtua (adu zatua) dan Pernyataan di atas tampaknya mengulang
pemisahan arwah dari keluarga (fanibo tufo atau kisah kemenangan Lowalangi dan kegagalan
fobale lewatö). Lature Danö. Manusia analog dengan dewa-
Hal ini menunjukkan, bahwa masyarakat dewa itu. Manusia yang berhasil melaksanakan
Nias merasa wajib untuk terus memelihara adat turut mewarisi Teteholi Ana’a, tetapi yang
hubungan dengan almarhum (melalui adu gagal masuk ke dunia bawah. Kenyataan ini
zatua), sekalipun mereka menyadari, bahwa juga sebenarnya sesuai dengan pepatah Nias,
dunia dan hakikat di antara mereka berbeda. yang sampai sekarang masih sering
Melalui fanibo tufo keluarga hendak menyatakan dikemukakan: zilatao manu, mangawuli ba halama
kepada orang mati bahwa hakikat dan zoyo bu (yang berambut merah kembali ke
tempatnya kini berbeda. Kematian memisahkan tempat yang tidak beradat).41 Hal itu sekaligus
tempat dan hakikat antara orang mati dengan menyatakan, bahwa hidup manusia adalah
orang hidup, tetapi hubungan di antara kesempatan untuk memperoleh kualitas hidup
keduanya berjalan seperti biasa. Orangtua yang seperti kualitas hidup Lowalangi.
meninggal tetap orangtua bagi anak-anaknya, Persoalan lain yang lebih rumit adalah
yang selalu dikenang dan dihormati dalam mengenai saat di mana seseorang dinyatakan
seluruh aktivitas hidupnya, terutama ketika si kembali ke Teteholi Ana’a atau ke dunia bawah.
anak menyelenggarakan adat-istiadat. Dengan Tidak ada satu pernyataan pun yang penulis
demikian, kembali ke asal, tetap tidak temukan dari sumber-sumber yang digunakan.
memutuskan hubungan dengan keluarga yang Namun, dari berbagai pendapat yang ada,42
masih hidup. yang dapat dikatakan ialah bahwa setelah mati,
Di mana asal yang mau dicapai itu? Istilah seseorang berada di kuburan hingga saat
yang muncul sehubungan dengan itu cukup 40
E.E.W.G. Schröder, Nias: Ethnographische (N. v.
bervariasi.39 Tapi dari semuanya dapat bockhandel en drukkerij voorheen E. J. Brill, 1917), 476.
dipastikan, bahwa yang dimaksud adalah Lature Danô merupakan penguasa kematian dan dewa
‘dunia atas’ di mana dewa Lowalangi berada. bagi orang-orang mati
Kembali ke asal itu berarti kembali ke dunia 41
Zilatao manu, dari kata silatao manu, artinya
Teteholi Ana’a. Dunia ini dianggap kekal. Dunia ayam jantan, dan ini merupakan simbol dari Lowalangi
itu bahkan menjadi pengganti dari bumi ini, atau dunia atas; sedangkan zoyo, dari kata soyo, artinya
merah, dan warna ini merupakan lambang dari dunia
yang akan ‘tenggelam’ bila akhirat tiba. Namun,
bawah.
sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa 42
Masyarakat Nias, menurut Fetero dalam dalam
yang dapat memasukinya kembali hanyalah Realienboek... (1923:149) meyakini adanya penghakiman
mereka-mereka yang telah memelihara dan setelah kematian. Penghakiman itu berkenaan dengan
melaksanakan di bumi sistem hidup Teteholi ‘perbuatan’ mereka sewaktu di bumi, dan hakimnya
Ana’a, maka orang-orang yang tidak adalah tanah atau bumi. Tentu saja hal ini tidak hanya
mempunyai kesempatan untuk itu menuju menyangkut hal-hal etika moral, tetapi pelaksanaan
adat-istiadat menyeluruh. Penghakiman itu tampaknya
tempat lain. Istilah untuk tempat ini juga cukup
terjadi bersamaan dengan datangnya akhirat. Pada
variatif. Sundermann (1887) mengatakan akhirat orang-orang baik (tidak termasuk orang berdosa
dan yang tidak diupacarakan kematiannya) menuju
39
Sundermann, “Die Psychologie Des Niassen,” tingkat teratas dari dunia atas dengan menyeberangi
301–302. Sundermann mengatakan bahwa orang baik samudra (baŵa gawuwukha), melalui jembatan bawa gari
masuk ke dalam dunia orang mati, yang sangat indah. (mata pedang). Ibu-ibu juga dapat masuk ke sana, dan
Koentjaraningrat (1990) menyebutkan adanya dapat membawa anak-anaknya dengan cara
perbedaan antara bumi dengan tempat ‘tujuan ideal’ menggendong. Suzuki (1959) berpendapat, bahwa
tersebut. Dia mencatat bahwa di sana berlangsung serba ketika seseorang mati, jiwanya ke dunia bawah. Setelah
kebalikan. Bila di bumi siang, maka di tempat ‘tujuan mengalami beberapa kali kematian di sana, barulah
ideal’ itu siang. Bahasanya juga serba terbalik. terjadi pemisahan antara bangsawan dengan orang
Dananjaya (1976) dan Gulӧ (2004) menyebutnya Teteholi biasa. Bangsawan menuju Teteholi Ana’a dan orang biasa
Ana’a. Denninger mengatakan bahwa tempat itu tetap berada di dunia bawah. Bnd. Dananjaya (1976:108),
merupakan tempat Lowalangi dan para leluhur. Sundermann (1887:301-2).

First Author https://doi.org/xx.xxxxx/xxxxx


penghakiman datang. Oleh karena itu kuburan Ketaatan dan penyembahan kepada dewa-
juga dinamai dela (arti hurufiahnya titian), dewa yang baik adalah juga untuk maksud
merupakan titian (perhentian sementara) mohon perlindungan karena adanya ancaman
menuju tempat akhir. Barangkali pemahaman dari roh-roh jahat yang mau menyerang dan
ini pulalah yang mendasari sikap masyarakat mempersulit manusia. Ono Niha mengenal
Nias pada umumnya, hingga sekarang, yang beberapa dewa rendah (roh halus) yang disebut
cukup memperhatikan kuburan-kuburan para "bekhu", yakni: Bekhu Gatua (hantu hutan), Bekhu
orangtua, membersihkannya dan membuatnya Dalu Mbanua (Roh yang bergentayangan di
mulia, bahkan datang untuk bertanya tentang langit); Zihi (hantu laut), Simalapari (hantu
kesulitan-kesulitan hidup yang dihadapi, sungai), Bela (hantu yang berdiam di atas pohon,
sembari membawa sesaji. pemilik semua binatang di hutan), Matiana, roh
wanita yang mati ketika melahirkan bayi, lalu
Hubungan Manusia dengan Dewa-dewa roh ini menjadi pengganggu para wanita yang
mau melahirkan; Salöfö, yakni roh orang yang
Masih terus hidup sampai sekarang pandai berburu, dan berbagai roh jahat yang
pemahaman bahwa Ono Niha berasal dari dunia tinggal di gua, yang tinggal pohon besar, sungai
atas, bernama Teteholi Ana’a. Sebelum dan muara sungai.43
kekristenan datang ke Nias, Ono Niha Semua roh-roh tersebut ditakuti oleh Ono
memahami bahwa mereka adalah ciptaan para Niha dan mereka berusaha menghindarinya
dewa. Para dewa adalah leluhur mereka. Dewa- dengan menaati tabu (famoni) atau
dewa pemilik manusia, yang diistilahkan menenangkannya melalui ritus-ritus
sebagai “Babi para dewa” (bawi Lowalangi dan penyembahan. Berdasarkan itulah misionaris
Lature Danö). Oleh karena itu, pola kehidupan Wagner dengan pandangan yang sedikit negatif
dan tingkah laku manusia di bumi harus menyimpulkan bahwa poros agama asli Nias
mencerminkan kehidupan di Teteholi Ana’a, adalah ketakutan.44 Segala sesuatu yang
demi keharmonisan kosmos. dilakukan oleh masyarakat Nias dalam
Dalam mite dijelaskan bahwa ketika kehidupannya tidak jauh dari hal-hal yang
leluhur Nias diturunkan dari Teteholi Ana’a, berkaitan dengan kepercayaan mereka. Apa
diikut-sertakan kepada mereka segala yang yang mereka percayai, turut mempengaruhi
dibutuhkan, yakni rumah lengkap dengan tindakan mereka, sehingga ketika melakukan
peralatannya, semua alat ukur atau timbangan sesuatupun mereka harus melihat hari baik, dan
(Afore = alat ukur babi, Lauru = alat timbangan agar mereka terhindar dari segala macam
padi/beras, Fali’era = alat timbang emas); semua pernyakit yang diakibatkan oleh roh jahat,
jenis tanaman, binatang-binatang, termasuk mereka memakai jimat-jimat agar kebal. Ada
pinang, gambir dan sirih. Demikian juga hari-hari mujur dan hari-hari tidak mujur untuk
segenap perhiasan, termasuk bait (osali) serta membangun rumah, untuk menanam padi,
berbagai macam Adu (patung). untuk perkawinan, dan selanjutnya. Ada jimat-
Mite tersebut hendak mengungkapkan jimat yang membuat kekebalan sehingga tidak
bahwa manusia yang diturunkan dari Teteholi dapat melukai, dan lain-lain.
Ana’a itu telah mempersiapkan segenap Semua ini merupakan upaya mengindari
kebutuhan, termasuk sistem hukum adat dan ancaman roh-roh tersebut. Lebih dari itu, untuk
religinya. Hal ini penting untuk menjaga menjaga keserasian hidup dan kelangsungan
hubungan dengan allah atau leluhurnya, hidup alam semesta, masyarakat Nias harus
sehingga manusia yang ada di bumi ini tetap memberikan persembahan-persembahan
hidup dalam kesejahteraan. Dalam hal ini kepada dewa-dewa.45 Di sinilah Ere (imam)
Lowalangi adalah sumber kehidupan,
kesejahteraan dan berkat. Untuk itu, manusia 43
Bamböwö Laiya, Solidaritas Kekeluargaan Dalam
memelihara hubungan harmonis dengan Salah Satu Masyarakat Desa Di Nias, Indonesia
allahnya, melalui penghormatan atau (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1980), 25.
44
penyembahan dan ketaatan pada sang Richard Wagner, Die Mission Auf Nias (Barmen:
Missionshaus, 1915), 31, https://primo-
khaliknya. Hal ini diwujudkan melalui pmteu02.hosted.exlibrisgroup.com/permalink/f/sjsaio/
kewajiban menaati hukum adat dan ritus-ritus UBL_ALMA21157128770002711.
keagamaan dalam segenap kehidupan Ono Niha. 45
Heinrich Sundermann, Die Insel Nias Und Die
Mission Daselbst: (Mit Anhang, “Niassische Literatur”) :
Eine Monographie (Barmen: Verlag des Missionhauses,
Journal Title 11

berfungsi melaksanakan ritus-ritus memberi sebanyak umurnya, dan paling tidak sembilan
persembahan melalui Adu sebagai media. Pada kali. Di kota kematian bekhu-bekhu hidup sama
sisi lain, upaya menyenangkan hati dewa dan seperti di dunia. Hal tersebut didasarkan pada
roh-roh tersebut diwujudkan dalam ketaatan mimpi, dimana kalau mimpi terlihat orang-
terhadap adat-istiadat. Untuk mendalami bagian orang yang telah meninggal, ada banua, ada
tersebut, berikut ini akan diuraikan tentang Adu barang-barang, dan sebagainya. Status bekhu di
(ritus keagamaan) dan tertib sosial melalui dunia bawah sama seperti statusnya ketika ia
hukum adat-istiadat. hidup di dunia ini. Orang yang melakukan
Bila kelahiran dianggap sebagai datangnya kejahatan pada waktu hidupnya, bekhunya
kehidupan baru, perkawinan dipahami sebagai akan kembali ke dalam kuburan, ditimpa tanah,
upaya mencari sumber kehidupan, maka sehingga bekhu ini sering mengutuk dengan
kematian dianggap sebagai muara kehidupan. ungkapan “biarlah engkau ditimbun oleh
Istilah lain yang sering digunakan adalah tanah” (yamulangögö ia tanö).
“putus nyawa” (aetu noso). Tubuh menjadi debu Dipercayai juga bahwa bila orang mati, ada
dan noso kembali kepada pemberi, yakni penghakiman. Mereka harus menjawab apa
Lowalangi. Pada mite lain disebut pemilik dan yang pernah mereka buat ketika di dunia. Yang
pemberi noso adalah Baliu, anak Lowalangi. menghakimi atau menuntut mereka adalah
Panjang pendeknya umur seseorang tergantung tanah atau bumi itu sendiri. Yang meninggal
berat dan ringannya noso yang diperoleh dunia tanpa keturunan mereka dijadikan
semasih dalam kandungan. Bila manusia löhölöhö. Bila löhölöhö dibunuh, maka akan
meninggal dunia, ia tak boleh menyesal, karena menjadi lawere. Sedangkan yang bunuh diri dan
itu sudah permintaannya sejak dalam yang membunuh tak bisa bersama bekhu lain,
kandungan. Hal tersebut terlihat dari ungkapan: tetapi punya tempat khusus.48
“telah mencapai batas permohonannya” (No Ono Niha juga memahami soal “akhirat”
irugi fangandrönia).46 (atua danö), yakni bumi ini tenggelam dalam
Selain noso (nyawa) yang kembali ke Baliu, laut. Lalu ada bumi yang baru yakni tingkat
Ono Niha juga mengenal yang disebut dengan kesembilan (teratas) akan turun. Di sini roh
Bekhu zimate (roh atau makhluk halus).47 kucing akan bantu bekhu zimate dari manusia
Semasih manusia hidup, bekhu zimate ini yang menyeberangi jembatan yang disebut
berbentuk bayangan (lumölumö) khusus. Bila “mulut samudra” (bawa gawuwukha). Jembatan
mati, bekhu zimate masih dekat mayat. Ia tak itu seperti pedang yang tajam. Bila di dunia
mau pisah karena banyak barang-barang yang kucing dibunuh tanpa alasan, maka bekhu
ia sukai. Itulah sebabnya Ono Niha membawa orang tersebut akan dijatuhkan ke bawah oleh
barang-barang yang bersangkutan di kuburan. Mao. Itulah sebabnya Ono Niha takut mendekati
Bahkan masih memberi makan empat hari lagi kucing. Hanya orang baik dan dari kaum
setelah mati agar bekhunya makan. Bila ayam bangsawan yang masuk dunia orang mati,
berkotek, maka Ono Niha menyatakan bahwa sedangkan yang jahat masuk kuburan. Yang
ayam-ayam tersebut melihat bekhu zimate. punya keturunan laki-laki yang bisa
Setelah empat hari, bekhu zimate turun ke “banua menyeberangi bawa gawuwukha, bila tidak maka
niha tou,” tak tahu dimana. Tetapi diidentikan akan menjadi kupukupu (löhölöhö). Bekhu anak-
dengan kuburan. Ini kota kematian. Di sini anak dapat ikut bila digendong oleh ibunya.49
bekhu mati sekali lagi, bahkan kematiannya

1905), 76, https://www.worldcat.org/title/insel-nias-


und-die-mission-daselbst-mit-anhang-niassische-
literatur-eine-monographie/oclc/4617269. 48
Gr Fetero, “Lewato,” dalam Realienboek… 1923,
46
Sundermann, “Die Psychologie Des Niassen,” 149.
291–2. Bila seseorang telah meminta 10 gram, maka yang 49
Sundermann, “Die Psychologie Des Niassen,”
bersangkutan itu akan berumur panjang. Memang 19. Ia menemukan bahwa orang Nias memahami enam
dikenal istilah “malaika”. Kadang-kadang dimengerti hal dalam dirinya, yaitu: Boto menunjuk kepada ösi
sebagai “malaikat”, tetapi kadang-kadang juga (tubuh menunjuk kepada badan); Noso (jiwa, semua
dipahami untuk Allah. Ono Niha memahami bahwa yang menjadi prinsip dari ‘boto’); Tödö (hati, semua
malaika inilah yang membawa kembali noso ke tempat pusat kehidupan); Eheha (roh); Mökömökö (keadaan
noso (dari Baliu). Kemungkinan besar, istilah malaika tubuh yang luar biasa atau hati jiwa); Bekhu zi mate (jiwa,
berasal dari bahasa Melayu. yang menunjuk keada roh; segala sesuatu yang
47
Ibid., 301–2. sebenarnya abadi di dalam diri manusia).

First Author https://doi.org/xx.xxxxx/xxxxx


Sikap Kekristenan terhadap Kematian dan tradisi adat ini melalui Firman Allah dan doa.54
Dunia Orang Mati Upaya untuk menyucikan adat dan tradisi ini
dipraktekkan dalam pemakaman Jawaduha.
Ketika para misiaonaris RMG dan NLG
tiba di Nias untuk memberitakan Injil, mereka Di samping pelarangan pembuatan dan
berhadapan dengan upacara-upacara di seputar penyembahan adu, para misionaris juga
kematian dan mereka memahaminya sebagai menggantikan ritus pemakaman tradisional
bahagian dari ‘kegelapan kafir’.50 Walaupun dengan ibadah pemakaman Kristiani. Melalui
mereka bertekad memerangi kegelapan ini, di ini, peran ere diambil alih oleh misionaris. Ada
awal pekerjaan zending, mereka lebih toleran ceritera bahwa untk ibadah pemakaman itu,
dan hanya berusaha memisahkan unsur agama para misionaris mengumpulkan semua orang
(adu) dari upacara-upacara adat. Kematian Kristen mengelilingi jenazah bersama keluarga
orang Kristen pertama dari Hilina’a, Balugu almarhum. Lalu Kraemer memimpin liturgi dan
Jawaduha, merupakan contoh yang menarik.51 Denninger berkhotbah. Sesudah itu peti di bawa
Misionaris Denninger dan Kramer memberi ijin keluar dan di depan pintu, sebuah mahkota
bagi keluarga untuk melakukan upacara adat berwarna emas ditempatkan di atas peti.
(Sitte) bagi Jawaduha, kecuali pembuatan adu. Kemudian dibawa ke tempat pemakaman di
Dengan ijin ini, keluarga dari Jawaduha dapat halaman rumah Jawaduha. Sesudah
melakukan ritus-ritus seperti fangotome’ö52, pemakamanm misionaris menempatkan sebuah
fanema lakhömi53, fogo’o dan fangasi. Satu-satunya salib di atas makam, seprti layaknya kebiasaan
upacara yang tidak diijinkan adalah fangai di Jerman. Dengan jalan mengambil alih fungsi
mökömökö, yaitu pembuatan dan penyembahan ere, para misionaris berharap bahwa mereka
adu zatua. telah mencegah orang melakukan pemujaan
terhadap arwah almarhum.
Penerimaan terhadap ritus-ritus lain itu
sama sekali tidak berarti para misionaris Karena para misionaris mengijinkan orang-
menyetujui sepenuhnya semua unsur adat, tapi orang Kristen pertama di Nias untuk
melalui pendekatan ini mereka berusaha menjalankan upacara adat bagi orang
memenangkan hati Ono Niha yang belum meninggal, Ono Niha berpikir Kekristenan tidak
menjadi Kristen dan berusaha membuat mereka merusakkan kebudayaan dan tradisi mereka
terbuka dan tertarik pada Injil. Kramer kecuali adu. Namun dari ceritera tentang
berpendapat bahwa upaya zending untuk pemakaman Jawaduha orang dapat melihat
memaksa Ono Niha mengikuti ‘tradisi-tradisi bahwa fungsi adu tidak sepenuhnya
lain’ tidaklah tepat. Dia berpikir, adalah penting menghilang, tapi bergeser pada bentuk yang
bagi para misionaris untuk menyucikan tradisi- lain. Sebelum Kekristenan, orang tua adalah
pelindung dan sumber berkat (sangehowu); bila
mereka meninggal, mereka tetap hadir melalui
50
BRM, 1870, hal. 35. adu. Sekarang ketika adu telah dihilangkan, para
51
BRM, 1875, hal. 311-315. misionaris menjadi sangehowu. Hal ini menjadi
52
BRM, 1875, hal. 312. Dua hari sebelum nyata dalam upacara fangasi. Jawaduha
Jawaduha meninggal, ada upacara fangotome’ö. Kramer mengatakan kepada anak-anaknya, ‘walaupun
membandingkannya dengan upacara Yakub saya akan pergi, jangan sedih dan takut,
memberkati anak-anaknya, sebab selama fangotome’e ini, gurumu, (dia maksudkan Misionaris Kramer)
anak-anak dan anggota keluarga Jawaduha
akan menjaga dan memberkatimu.’55 Misionaris
menghormati dia dengan jalan memberinya makanan
dan Jawaduha memberkati setiap orang yang menggantikan orang tua, yang dalam tradisi
menyuapinya makanan. Nias, hadir sesudah kematiannya dalam bentuk
53
Sesaat sebelum Jawaduha meninggal, ada adu. Dengan kata lain, misionaris dilihat sebagai
upacara fanema lakhömi. Jawaduha meminta diberikan pengganti adu dan ere.
seutas benang. Dia menempatkan bahagian tengah
benang itu dalam mulutnya, ujung yang satu diletakkan
Namun perkembangan sesudah peristiwa
di atas dadanya, dan ujung lain di dada anak lelaki ini memperlihatkan bahwa kepercayaan orang
sulungnya. Lalu Jawaduha berkata, ‘Semoga hatiku pada roh-roh leluhur tetap menjadi masaalah
memasuki hatimu’. Anaknya menjawab: ‘Ayah, saya yang serius dalam sejarah zending dan gereja di
menyambut hatimu di dalam hatiku’. Sesudah itu Nias. Kepercayaan Ono Niha terhadap roh para
Jawaduha menghibur anak-anaknya dengan
mengatakan bahwa mereka tidak perlu kuatir, karena
54
ada misionaris yang akan menghibur dan memberkati BRM, 1875, hal. 311.
55
mereka. BRM, 1875, hal. 311.
Journal Title 13

leluhur tetap kuat, sebab mereka tetap Tuhan dan Penyelamatnya. Dia telah menolak
melakukan upacara-upacara adat. Seperti yang kekafiran. Karena itu, tradisi adat kafir tidak
dikatakan oleh Lothar Schreiner, keteguhan dan bisa dilakukan terhadapnya. Segala sesuatu
kekuatan tradisi sebagai satu agama nampak yang berhubungan dengan adu harus
jelas dalam pemujaan terhadap leluhur. Dalam ditiadakan. Satu-satunya hal yang diijinkan oleh
relasi antara orang Kristen dan mereka yang Sundermann adalah memenuhi permintaan
sudah meninggal dan para leluhurnya, keluarganya untuk meletakkan foto Ama
kepercayaan terhadap mereka merupakan asal Mandranga di dinding rumahnya.58
usul dan motivasi dari satu tradisi. 56 Ini adalah Sundermann menyetujui hal ini, karena tidak
dilema yang dihadapi dalam perjumpaan Injil bertentangan dengan tradisi Eropa dan
dan adat dalam masa zending. Larangan Kekristenan. Ama Mandranga dimakamkan
terhadap tradisi adat akan mempengaruhi oleh Sundermann yang menggunakan liturgi
ketertarikan suku terhadap Kekristenan. Namun yang biasa digunakan dalam gereja-gereja di
mengijinkannya, berarti membuka kesempatan Jerman, yang diterjemahkannya sendiri. Contoh
bagi kepercayaan lama untuk tetap kuat. Hal lain adalah ketika Fadoli, Salawa Iraono Huna
inilah yang menyebabkan para motivasi meninggal. Dia telah menjadi seorang Kristen
memilih sikat tidak bersahabat dengan adat. dan telah memusnahkan semua adu nya. Ketika
Sesudah zending menjadi lebih berhasil, dia meninggal, tidak dilakukan upacara adat
para misionaris menjadi kurang toleran yang semestinya dibuat untuk seorang salawa.
terhadap adat di sekitar kematian. Hal ini Dia dimakamkan dengan satu liturgi Kristen.
mencapai puncaknya ketika mereka melarang Sebuah salib diletakkan di atas makamnya, dan
unsur-unsur tertentu dari adat yang dianggap dibuat sebuah pesta sederhana.59 Juga Afore,
bertentangan dengan Kekristenan. Sikap toleran seorang salawa dari Hili Hondrö, telah menjadi
Kramer terhadap adat seperti yang dijelaskan Kristen dan telah memusnahkan semua adu.
dalam contoh mengenai kematian Jawaduha, Ketika dia jatuh sakit, dan akan meninggal, dia
berobah di tahun-tahun sesudahnya ketika tidak berbalik kepada adu. Misionaris
Kekristenan menjadi lebih kuat. Dia memasuki Hippenstiel datang mengunjunginya dan
rumah-rumah keluarga dan membuang adu menanyakan apakah dia masih memiliki materi
mereka. Dia juga melarang semua adat yang kafir dalam rumahnya. Afore menjawab, tidak,
menurutnya mempunyai hubungan dengan semua sudah dimusnahkan ketika dia masih
agama asli. Dia mulai menetapkan aturan- mengikuti pelajaran katekisasi. Afore meninggal
aturan dengan tujuan menggantikan adat lama di bulan Oktober 1905. Ketika dia mau
dengan kebiasaan Kristen yang baik. Bila meninggal, dia meminta Guru Jemaat Filemo
seseorang meninggal, hanya seekor babi dapat untuk tinggal bersamanya. Dia berdoa dan
disembelih, padahal di waktu lampau ketika dia sudah terlalu lemah, Filemo
setidaknya tiga atau empat ekor. Di waktu melanjutkannya hingga Afore meninggal.
lampau, bila seseorang meninggal ada ratapan Misionaris sangatlah gembira, karena ketika dia
dan perkabungan yang luar biasa, kini sesudah tiba di rumah Afore, tidak ada suara tangisan,
menjadi Kristen, orang harus bersikap sebagai walaupun Afore baru saja meninggal. Inilah
orang Kristen yang baik. Mereka harus tenang yang dia maksudkan dengan tradisi Kristen.
dan maksimal dapat meneteskan air mata secara Afore meninggalkan pesan: ‘Dalam keadaan
diam-diam.57 Menurut Kramer, sikap ini sesuai krisis, jangan meminta nasehat dari saudaramu
dengan Kekristenan. yang masih kafir, mintalah nasehat dari guru
jemaat atau misionaris’.60 Peristiwa yang sama
Sikap yang tidak toleran terhadap adat terjadi juga di Sogae’adu. Seorang mantan ere
pemakaman dapat juga dilihat pada misionaris adalah orang pertama yang dibaptiskan di
lain. Misalnya, ketika Ama Mandranga dari pos kampungnya. Misionaris Momeyer
Dahana meninggal pada hari pertama menghancurkan semua adunya dan ketika dia
Pantekosta di tahun 1895, Sundermann meninggal, dia dimakamkan dengan ibadah
mengumumkan bahwa Ama Mandranga adalah pemakaman Kristen.61
seorang yang percaya kepada Yesus Kristus,
58
56
Lothar Schreiner, Adat Dan Injil: Perjumpaan BRM, 1899, hal. 104.
59
Adat Dengan Iman Kristen Di Tanah Batak (Jakarta: BPK Anonim, Niassische Häuptlinge II, 1912, 15-16.
60
Gunung Mulia, 2003), 167. Ibid., 28.
57 61
BRM, 1879, hal. 68-69. BRM, 1900, 327-328.

First Author https://doi.org/xx.xxxxx/xxxxx


Dari contoh-contoh di atas menjadi nyata satu peraturan dikeluarkan untuk melarang
bahwa sikap para misionaris terhadap adat fangasi.64
pemakaman berobah menjadi kurang toleran Agar peraturan ini benar-benar dituruti,
dan juga memperlihatkan upaya-upaya mereka maka mereka yang menghadiri konperensi
untuk menggantikan upacara adat dengan diminta untuk menjadi contoh. Para Satua Niha
upacara Kristiani atau lebih tepat dengan Keriso yang mempraktekkan fangasi dipecat dari
tradisi-tradisi Eropa. Sikap ini khususnya posisi mereka. Kemudian ada usul, agar semua
nampak di wilayah di mana Kekristenan telah jemaat memiliki pekuburan Kristen dan bila
berakar dan berkembang. Kita dapat perlu mempekerjakan pengawal untuk
membandingkan sikap ini dengan sikap para menjaganya. Usul ini dipengaruhi oleh tradisi
misionaris di Sumba. Sesudah Kekristenan yang ada di Eropa.
berakar dan berkembang di Sumba, para
misionaris mulai dengan tegas melarang unsur- Larangan untuk melakukan fangasi disusuli
unsur adat yang dilihat tidak Kristiani. Misalnya dengan ajaran dari misionaris yang disebar-luaskan
pemukulan gong ketika seseorang meninggal oleh para guru jemaat dan pendeta pribumi, juga
dengan tujuan memberitahukan berita kematian diterbitkan dalam majalah gereja Toeria. Judul yang
itu pada orang lain. Pemukulan gong dilarang diberikan adalah ‘tradisi kafir di sekitar kematian’.
karena dianggap berhubungan dengan Para guru jemaat dan pendeta pribumi
kepercayaan Marapu.62 Penerapan disiplin menerangkan tentang kebiasaan dalam adat
gereja juga mulai dilakukan di Nias sesudah yang dilaksanakan sebelum kematian
Kekristenan bertumbuh dengan cepat. (fangotome’ö) dan ketika seseorang meninggal
(fangai eheha bagi seorang bangsawan), juga
Sikap para misionaris terhadap adat di upacara waktu pemakaman (fangasi) dan empat
sekitar kematian sama saja dengan sikap mereka hari sesudah pemakaman (fanibo tufo dan fangai
terhadap tradisi adat yang lain. Sesudah mökömökö). Semua kegiatan ini dianggap
Kekristenan menjadi cukup ‘berkuasa’ di Nias, ‘hukum lama’ yang harus ditinggalkan karena
para misionaris mulai mengeluarkan larangan tidak sesuai dengan ajaran Kristiani. Semua
mengenai adat yang mereka golongkan sebagai upacara ini dapat diganti dengan ibadah
‘hukum-hukum lama’ Salah satu unsur dalam Kristen.65
tradisi pemakaman yang tidak disukai oleh para
misionaris karena hubungannya yang erat Orang Kristen Nias sering
dengan agama lama, adalah fangasi (pengadaan mempertanyakan kebangkitan orang yang
pesta sesudah pemakaman).63 Menurut para sudah meninggal juga. Karena itu maka Guru
misionaris, tradisi fangasi mengandung bahaya Jemaat Filemo dan Guru Jemaat Talini menulis
bagi orang Kristen Nias, karena mereka dapat sebuah artikel tentang kebangkitan orang mati
saja dipengaruhi untuk kembali pada yang diterbitkan dalam majalah Toeria.66 Dalam
kepercayaan kepada roh-roh para leluhur. Biaya tulisan mereka, tiga hal ditekankan yaitu:
bagi fangasi sebenarnya cukup tinggi dan dapat  Kebangkitan: Orang Kristen tidak harus
menyulitkan anggota keluarga yang takut terhadap kematian, karena ada
ditinggalkan. Karena alasan inilah di tahun kebangkitan. Kuasa kebangkitan Yesus
1917, melalui satu konperensi Satua Niha Keriso, Kristus membangkitkan orang-orang yang
percaya (Rom 8:1; Phil 3:21; 1 Kor 15:25),
sebab Kristus adalah pemilik kehidupan
62
F.D. Wellem, Injil Dan Marapu Suatu Studi yang memanggil orang mati ke dalam satu
Historis-Teologis Tentang Perjumpaan Injil Dengan kehidupan kekal (Yoh 5:21. .67
Masyarakat Sumba Pada Periode 1876-1990 (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2004), 341. 64
63 Toeria, 4/12 (1917). Aturan lain menyangkut
Ono Niha percaya bahwa bila fangasi tidak
larangan famoto (sunat) dan fangöhözi (perataan gigi)
dilakukan, maka roh para ilah akan marah. Dan mereka
bagi semua orang Kristen.
akan datang untuk mencekik anggota keluarga yang 65
masih hidup dan yang juga berarti bisa berakibat nasib
Toeria, 8/1 (1921), hal. 3-4; Toeria, 10/6-7
buruk dalam usaha/pekerjaan. Fangasi dilakukan untuk (1923); Toeria, 11/6 (1924); Toeria, 11/7-8 (1924), hal.
menyatakan bahwa tidak ada seorangpun yang rela 25-26, 30.
66
mati, dan bahwa babi akan dikorbankan menggantikan Toeria, 6/2 (1919).
67
manusia. Salah satu tujuan dari Fangasi adalah untuk Bagaimana seorang yang sudah terbakar hingga
menghormati mereka yang sudah meninggal, dan yang mati bisa dibangkitkan? Bagaimana bila seseorang
meninggal itu bukan sekedar seekor burung, tapi ditelan binatang buas? Kita harus percaya bahwa
manusia. manusia berbeda dengan Allah. Allah adalah
Journal Title 15

 Kebangkitan tubuh: yang dimaksudkan Reaksi Ono Niha atas Pelarangan dari
dengan kebangkitan tubuh adalah Misionaris
kebangkitan tubuh yang baru, tubuh yang
sempurna, yang tidak cacat. Tubuh yang Walaupun tanpa adu and ere, Ono Niha
baru tidak akan mati (1 Kor 15:42, 49; Luk tetap melakukan upacara adat di sekitar
20:35), tubuh itu memiliki kekuatan dan kematian, seperti misalnya fangotome’ö (memberi
kehormatan, itu adalah tubuh roh, sama makan seseorang yang akan meninggal),
seperti Yesus Kristus ketika Dia fange’esi (menangisi orang yang meninggal),
memperliharkan diriNya kepada para murid fangasi (pengadaan pesta sesudah pemakaman),
sesudah kebangkitanNya. Orang-orang yang dan fanibo tufo (meletakkan kasur dan pakaian
tidak percaya, juga akan dibangkitkan, tapi di atas makam). Satu-satunya hal yang
mereka akan menerima tubuh yang tidak ditinggalkan ialah fangai mökömökö yang
memiliki kekuatan dan kehormatan (Dan berhubungan dengan pembuatan adu. Ritus-
12:2). Kelakuan seseorang selama hidupnya ritus lain masih tetap dilakukan. Seperti yang
akan terlihat pada saat kebangkitan.68 dikatakan sebelumnya, peran dari ere dan adu
 Zaman akhir. Mereka menerangkan bahwa diambil alih oleh pelayan gereja yang
Yesus berjanji akan kembali lagi. (Yoh 3:3), memimpin doa dan ibadah. Walaupun sudah
tapi tak seorangpun tahu kapan waktunya ada larangan yang diputuskan oleh konferensi
(Mk 13:32). Alkitab memuat tulisan tentang para satua Niha Keriso, sangatlah sulit bagi Ono
tanda-tanda kedatangan Kristus seperti Niha untuk meninggalkan ritus adat mereka di
misalnya dalam Mat. 24:29-31, Luk 21:9, 2 sekitar kematian, khususnya fangasi. Inilah
Thes. 2:3, dan Wahyu 20-22. Akhirnya dua alasan mengapa para misionaris, didukung oleh
orang guru jemaat itu menulis: ‘Karena itu para guru jemaat dan pendeta pribumi
saudara-saudaku, tetaplah teguh, tidak menetapkan seperangkat disiplin gereja
goyah, senantiasa bersukacita dalam (amakhoita). Dalam amakhoita pertama tahun
pekerjaan Tuhan, karena ketahuilah, di 1923, ada dua aturan mengenai upacara adat di
dalam Tuhan, upayamu tidak sia-sia’ (1 Kor sekitar kematian yaitu: pertama, bila seseorang
15:58). Tulisan tentang kebangkitan ini meninggal, harus dilaporkan kepada pelayan
adalah hasil ajaran para misionaris di gereja. Bila tidak, mereka yang melalaikan hal
seminari, yang telah menjadi penghiburan ini harus menerima bimbingan khusus selama
yang besar bagi anggota-anggota jemaat. tiga bulan. Kedua, Fangasi dan fangai mökömökö
dilarang. Mereka yang tidak menaatinya akan
dikucilkan dari gereja:69 Sikap ini dilanjutkan
oleh gereja ketika menjadi satu lembaga di
Mahakuasa ‘karena Dia berfirman, dan semua itu jadi’ tahun 1936.
(Maz 33:9). Tuhan akan menciptakan tubuh dan
Di dalam amakhoita70 secara tegas dikatakan
memberikan kehidupan kepada manusia. Dalam dunia
ini, manusia tidak mengerti hal-hal yang kekal, tapi bahwa Orang Kristen tidak diijinkan
nanti (berhadapan dengan Allah) mereka akan mengerti menyembah roh para leluhur; fangasi dan fanibo
(Yoh 13:7). tufo dilarang. Orang Kristen juga dilarang
68
Filemo dan Talini menerangkan bahwa ada menghadiri upacara adat dari orang-orang yang
ajaran para penatua di Nias, bahwa di kemudian hari, di bukan Kristen. Mereka yang melanggar
saat pengadilan Terakhir, ada satu jalan yang disebut amakhoita akan dihukum dalam bentuk tidak
‘bawa gawuwukha mböröwa’ dengan jembatan yang diijinkan menerima sakramen, dan
terbuat dari besi yang berwarna merah dan tajam dan kemungkinan dikeluarkan dari gereja.
hanya selebar sehelai rambut. Orang jahat tak akan
berhasil melewati jembatan kecil itu. Misalnya seorang Di Pulau-pulau Batu sikap para misionaris
pencuri, tidak akan berhasil, karena tubuhnya akan NLG tidak berbeda dengan sikap para
dibebani oleh barang yang dicurinya: babi, ayam, beras, misionaris RMG di Nias. Mereka dengan tegas
kelapa, dan semua lain yang bukan miliknya. Semua itu melarang pembuatan adu dan penyembahan
akan bergelantungan keluar dari tubuhnya, bahunya, roh-roh leluhur. Menangis dengan suara
kepala, belakang dll. Ceritera ini mungkin saja pengaruh
69
dari Islam, tapi sejalan dengan apa yang ditulis dalam Bnd. Amakhoita Sogoena ba Mbanoea Niha
Alkitab, bahwa ‘… semua akan menjadi nyata – mereka Keriso ba Dano Nias, 1923, 6-8.
70
yang berbuat baik, akan bangkit kepada kehidupan, dan Bnd. Amakhoita ba mbanoea Niha Keriso si
mereka yang berbuat jahat, kepada kutukan’ (Yoh. Faoedoe ba Daroma Li Lowalangi, Nihonogöi mbanua
5:29). Niha Keriso Protestan ba Danö Nias (Ibr. 9:1), 1939.

First Author https://doi.org/xx.xxxxx/xxxxx


nyaring tidak diijinkan dalam ibadah Sesudah Perang Dunia II, sekali lagi BNKP
pemakaman. Para misionaris memperkenalkan dihadapkan dengan upacara adat di seputar
pekuburan Kristen di tahun 1931 dan kematian. Masaalahnya Ono Niha tetap
menyetujui acara pembersihan makam di hari mempraktekkan fangasi dan fanibo tufo,
Paskah. Orang Kristen dianjurkan melakukan walaupun sudah dilarang di jaman zending.
hal ini sebagai peringatan akan kehidupan Masalah itu dididskusikan lagi dalam sidang
kekal, walaupun mereka tidak diijinkan sinode BNKP tahun 1960. Ada utusan yang
membawa persembahan kepada mereka yang menentang unsur-unsur adat yaitu fangasi dan
sudah meninggal. Siapa yang melanggar ini fanibo tufo. Mereka adalah utusan dari daerah-
tidak akan menerima pemakaman Kristiani bila daerah pedalaman. Mereka disokong oleh para
meninggal.71 Yang menarik dari Pulau-pulau misionaris RMG.7475 Namun larangan fangasi
Batu adalah, keluarga dari seseorang yang dan fanibo tufo sangat ditentang oleh utusan dari
meninggal akan menerima bantuan dari gereja. Gunungsitoli. Menurut Jürgen Kosack, latar
Bila seorang dewasa meninggal, keluarganya belakang pendapat utusan dari Gunungsitoli
menerima 5 gulden, dan dua setengah gulden adalah pengaruh nasionalisme Waktu itu di
bila seorang anak meninggal. Di samping itu, Indonesia dilakukan upaya mendidik rakyat
kolekte khusus juga dikumpulkan di setiap mengenai pentingnya nilai-nilai kebudayaan
jemaat.72 Kebijakan yang dimulai oleh yang berdasarkan Pancasila.76 Delegasi dari
Misionaris Schröder ini bertujuan menolong Gunungsitoli yang pada umumnya telah
keluarga dalam kebutuhan mereka dan untuk mendapat pendidikan cukup tinggi
mendorong kesatuan jemaat-jemaat. Juga ada berpendapat bahwa, setiap bangsa mestinya
upaya yang dilakukan untuk mendorong mengawetkan tradisinya untuk memperkaya
anggota jemaat agar mengambil bahagian dalam kebudayaan bangsa. Untuk menjamin bahwa
membiayai pelayanan gereja. Bantuan yang orang Kristen tidak akan kembali
diberikan di saat kematian seseorang, mempraktekkan agama lama, tradisi adat ini
dihubungkan dengan tanggungjawab yang harus diterangi oleh Firman Allah. Salah satu
ditentukan oleh setiap jemaat. ukuran yang dipastikan di Gunungsitoli adalah
Sekali lagi, fangasi, fanibo tufo dan unsur- bahwa istilah fangasi diganti dengan istilah
unsur lain dari adat dilarang dalam amakhoita. fame’e ö zohalöwö (memberi makan para pekerja)
Orang-orang Kristen merasa sulit sekali untuk dan istilah fanibo tufo menjadi fananö bunga
menaati hukum-hukum ini, sehingga banyak (penanaman bunga). Waktu untuk melakukan
orang yang dikucilkan dari gereja. Fakta ini fame’e ö zohalöwö dipindahkan dari sesudah
menghasilkan satu kesepakatan yang dibuat pemakaman ke waktu fananö bunga.77
dalam sidang sinode kedua di tahun 1937. Perbedaan pendapat yang terjadi dalam
Dalam sinode ini mereka meninjau ulang dan sidang sinode tahun 1960 tidak dapat diatasi,
membahas tradisi adat dalam hubungannya karena tidak ada keöompok yang bersedia
dengan Kekristenan. Tugas ini dilakukan oleh berkompromi. Jadi percakapan tentang ini
tiga kelompok kerja secara bersama yaitu ditunda ke tahun kemudian. Dalam sidang
pemimpin adat, para pendeta dan delegasi dari sinode tahun 1961, pemimpin sinode menyebut
pemerintah kolonial Belanda. Pemimpin adat dalam laporan mereka bahwa tradisi adat di
yang dipilih adalah Ama Wirö, Josefo, Adolf, seputar kematian, termasuk semua praktek
Ama Wele, Tuhe’ö, Faonaso, dan Waöndrö. menyembah roh orang mati dan berdoa kepada
Hasil kerja mereka diserahkan kepada para roh leluhur, tidaklah sejalan dengan iman
misionaris untuk dibicarakan dalam pertemuan Kristen. Adalah bertentangan dengan iman
pendeta di bulan April 1938 dan kemudian
74
dalam pertemuan badan pekerja harian sinode. 73 Wawancara dengan J. Kosack, 8 Juni 2002, di
Hasil dari diskusi-diskusi itu tidak digunakan Wuppertal.
75
dengan baik sebelum permulaan Perang Dunia Soekarno, Dari Proklamasi Sampai Takari
(Jakarta: Prapantja, 1965), 484–621.
II. 76
Wawancara dengan J. Kosack, 8 Juni 2002, di
Wuppertal.
71 77
“Amachoita Niha Sarani ba Hoelo Batoe: Ama Watörö Lase, “Waöwaö Wa’aniha Keriso
Nihonogöi ba Gorahua Sebua, 29 Desember 1931,” Ba Danö Niha (Nias) Barö Zi Otu Fache Wa’ara,
dalam Toeria Hoelo Batoe, 4/5 (1932). Wanuriaigö Turia Somuso Dödö,” in Waöwaö Duria
72
Toeria Hoelo Batoe, 4/2 (1932) Somuso Dödö Ba Danö Niha, ed. F.D. Harefa and R.
73
Toeria, 25/1 (1938). Heering, 1971, 67.
Journal Title 17

Kristen untuk meletakkan barang-barang orang KESIMPULAN


yang sudah meninggal di dalam kuburannya,
juga untuk memberi makan roh orang yang Dalam seluruh proses perjumpaan
sudah meninggal di dalam maupun di luar Kekristenan dengan adat di seputar kematian,
rumah. Memberi makan kepada para (fame´e ö dapat dilihat bahwa Ono Niha tetap bertekad
zohalöwö) juga tidak sejalan dengan iman melakukan tradisi dan adat mereka yang
Kristen, sebab sebenarnya yang dilakukan diturunkan dari generasi ke generasi. Walaupun
adalah merayakan dan menghormati orang mereka mengalami adanya perobahan dalam
yang sudah meninggal, apalagi karena hal itu pemegang peran, lambang-lambang dan istilah-
dilakukan pada hari keempat.78 Keputusan itu istilah yang digunakan, namun jiwa dari
tidak diterima oleh beberapa orang utusan, upacara ini tetap hidup. Amakhoita tidak berhasil
khususnya mereka yang berasal dari menghilangkan adat, walaupun adu berhasil
Gunungsitoli. Karena itu pimpinan sinode dihilangkan. Hal ini tetap hidup dalam
membiarkan masaalah ini mengambang dan kehidupan sesehari Ono Niha hingga hari ini.
membuka kesempatan untuk melakukan semua Masih terdapat Ono Niha yang percaya dan
upaya untuk mendiskusikan tema ini. menyembah roh leluhur mereka, masih terdapat
yang mempercayai bahwa arwah nenek moyang
Sesudah bergumul dengan masaalah ini
merupakan sumber berkat bagi keturunannya,
beberapa waktu lamanya, maka dalam sidang
dan sumber kutuk apabila tidak mengikuti
sinode tahun 1965 diambil keputusan tentang
pesanannya pada waktu hidup. Hal ini memang
dua hal: 1. Dinyatakan bahwa adalah
tidak hanya terjadi di Nias. Suh Sung Min82
bertentangan dengan Iman Kristen untuk
melakukan penelitian di daerah-daerah
menyembah roh para leluhur, karena itu,
Minahasa, Sumba, Batak dan Korea. Hasil
anggota BNKP dilarang untuk melakukan ritus-
penelitiannya memperlihatkan bahwa hingga
ritus yang bertujuan menyembah roh para
hari ini, walaupun daerah-daerah ini telah
leluhur, seperti misalnya wame’e ba zi no mate
menerima Injil, penyembahan leluhur masih
ngawalö gamagamara (memberi barang-barang
tetap berlanjut. Karena itulah Suh Sung Min
kepada orang yang sudah meninggal), wangaröfi
mengusulkan agar gereja-gereja melakukan
li töi mbekhu zi no mate (berdoa kepada roh para
upaya kontekstualisasi secara sungguh.
leluhur) atau fame’e gö mbekhu zi no mate
Bagaimana sikap gereja ? Sejak zaman Zending
(memberi makan roh orang yang sudah
sangat tegas sikap menolak kebudayaan dan
meninggal). 2. Adalah baik untuk menanam
terutama agama asli, dan selanjutnya dalam
bunga di makam, sejauh hal ini tidak dilakukan
bentuk larangan dan siasat dimuat dalam Siasat
pada dan dihubungkan dengan hari keempat,
Gereja atau yang kemudian dikenal dengan
sehingga orang Kristen tidak kembali lagi ke
nama Tertib Penggembalaan.
kepercayaan lama.7980 Dengan pernyataan ini,
orang dapat saja melakukan ritus fananö bunga.81 Namun, penting dipahami bahwa
Di kemudian hari, pernyataan ini diganti walaupun sejak misionaris menolak sistem
dengan ‘doa syukur dan doa syafaat’ sebab kepercayaan Ono Niha, tetapi masih saja ada
Allah telah menolong keluarga melewati acara yang mempercayainya. Oleh karenanya, penting
pemakaman dan Allah diminta untuk tetap menggumuli pendekatan baru, dalam usaha
menjaga keluarga yang ditinggalkan. kontekstualisasi Injil di Nias.

REFERENSI

Danandjaja, James. Ono Niha: Penduduk Pulau Nias,


1976.
78
Laporan Pengurus Besar pada Persidangan Gulo, W. Benih Yang Tumbuh XIII: Banua Niha
Sinode tahun 1961. Keriso Protestan. Semarang: Persetakan Satya
79
Keputusan Sinode ke-27 BNKP di Ombölata, Wacana, 1983.
29 April 1965.
80
W Gulo, Benih Yang Tumbuh XIII: Banua Niha
82
Keriso Protestan (Semarang: Persetakan Satya Wacana, Sung Min Suh, Injil Dan Penyembahan Nenek
1983), 207. Moyang: Suatu Studi Perbandingan Antropologis-
81
Lase, “Waöwaö Wa’aniha Keriso Ba Danö Niha Misiologis Tentang Penyembahan Nenek Moyang Di
(Nias) Barö Zi Otu Fache Wa’ara, Wanuriaigö Turia Indonesia (Minahasa, Sumba, Dan Batak) Dan Di
Somuso Dödö.” Korea, 1st ed. (Media Pressindo, 2001), 275–317.

First Author https://doi.org/xx.xxxxx/xxxxx


———, ed. “Injil Dan Budaya Nias.” In Seminar den End, A. Hadiwiyata, and Lembaga
Lokakarya Perjumpaan Injil Dan Budaya Nias Di Alkitab Indonesia. Mengikuti Jejak Leijdecker :
Gunungsitoli Nias. Gunungsitoli: Panitia Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab Dan
Semiloka, 2004. Penelitian Bahasa Dalam Bahasa-Bahasa
Hadiwijono, Harun. Religi Suku Murba Di Indonesia. Nusantara. Jakarta: Lembaga Alkitab
BPK Gunung Mulia, 2000. Indonesia, 2006.
Hämmerle, Johannes M. Lawaendröna – Si Pencari Thomas, J.W. “No Title.” Berichte der Rheinische
Kehidupan Abadi Hingga Ke Bulan. Missions-Gesellschaft (n.d.): 13–15.
Gunungsitoli: Museum Pusaka Nias, 2013. Wagner, Richard. Die Mission Auf Nias. Barmen:
Harefa, Faogoli. Hikayat Dan Cerita Bangsa Serta Missionshaus, 1915. https://primo-
Adat Nias. Sibolga: Rapatfonds Residentie pmteu02.hosted.exlibrisgroup.com/permalin
Tapanoeli, 1939. k/f/sjsaio/UBL_ALMA21157128770002711.
Harita, Sarofanotona. “Gerakan Pertobatan Masal Wellem, F.D. Injil Dan Marapu Suatu Studi Historis-
Sebagai Hasil Pertemuan Gerakan Pietisme Teologis Tentang Perjumpaan Injil Dengan
Dengan Nilai-Nilai Budaya Agama Suku Masyarakat Sumba Pada Periode 1876-1990.
Nias.” Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, 1990. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.
Laiya, Bamböwö. Solidaritas Kekeluargaan Dalam Zebua, S. Sejarah Kebudayaan Ono Niha. Seri 2., n.d.
Salah Satu Masyarakat Desa Di Nias, Indonesia.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1980.
Lase, Ama Watörö. “Waöwaö Wa’aniha Keriso Ba
Danö Niha (Nias) Barö Zi Otu Fache Wa’ara,
Wanuriaigö Turia Somuso Dödö.” In Waöwaö
Duria Somuso Dödö Ba Danö Niha, edited by
F.D. Harefa and R. Heering, 1971.
Schreiner, Lothar. Adat Dan Injil: Perjumpaan Adat
Dengan Iman Kristen Di Tanah Batak. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2003.
Schröder, E.E.W.G. Nias: Ethnographische. N. v.
bockhandel en drukkerij voorheen E. J. Brill,
1917.
Soekarno. Dari Proklamasi Sampai Takari. Jakarta:
Prapantja, 1965.
Suh, Sung Min. Injil Dan Penyembahan Nenek
Moyang: Suatu Studi Perbandingan
Antropologis-Misiologis Tentang Penyembahan
Nenek Moyang Di Indonesia (Minahasa, Sumba,
Dan Batak) Dan Di Korea. 1st ed. Media
Pressindo, 2001.
Sundermann, Heinrich. Die Insel Nias Und Die
Mission Daselbst: (Mit Anhang, “Niassische
Literatur”) : Eine Monographie. Barmen: Verlag
des Missionhauses, 1905.
https://www.worldcat.org/title/insel-nias-
und-die-mission-daselbst-mit-anhang-
niassische-literatur-eine-monographie/
oclc/4617269.
———. “Die Psychologie Des Niassen.” In
Allgemeine Mission Zeitschrft, edited by
Johannes Gustav Warneck. 14th ed.
Gütersloh: Bertelsmann, 1887.
Suzuki, Peter. The Religious System and Culture of
Nias, Indonesia. s-Gravenhage: Uitgeverij
Excelsior, 1959.
Swellengrebel, J. L., Sonia Hummel-Parera, Th. van

Anda mungkin juga menyukai