Anda di halaman 1dari 6

Jurnal Veteriner Maret 2010 Vol. 11 No.

1 : 30-35
ISSN : 1411 - 8327

Tampilan Reproduksi Kambing Betina Lokal


yang Induksi Berahinya Dilakukan
dengan Sistem Sinkronisasi Singkat
(THE REPRODUCTIVE PERFORMANCE OF LOCAL DOES
FOLLOWING AN INDUCED OESTROUS WITH SHORT SYNCHRONIZATION SYSTEM)

Tongku Nizwan Siregar1, Teuku Armansyah2,


Arman Sayuti3, Syafruddin3

1
Laboratorium Reproduksi, 2Laboratorium Farmakologi, 3Laboratorium Klinik,
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala
Jalan Syech Abdul Rauf No. 4 Darussalam, Banda Aceh, 23111.
e-mail: tongku_ns@yahoo.com

ABSTRACT

The aim of this study is to determine the reproduction performance of local does in which their
estrous was induced by short synchronization system. In this study 10 healthy female, unpregnant and
have relatively homogenous body weights were used. All does were devided into 2 experiment groups.
Group 1 consisted of 4 does as control and group II consisted of 6 does as treatment. Group I, were injected
with 125 µg cloprostenol intramuscular, twice in 11 days interval. Group II, was treated with short
synchronization using 125 µg cloprostenol intramuscular, and then followed by injection of 300 IU hCG
and 0.5 mg estradiol benzoate after 12 hours later. The does were inseminated 10 hours after onset of
estrous and repeated 12 hours later. Parameters measured were oestrous percentage, pregnancy, and
litter size. Results showed that all does (100%) from both groups showed estrous. Percentage of pregnant
does group I and II were 75.00% and 83.33% respectively, and the averages litter size were 2.0 ± 1.0 and 1.4
± 0.3, respetively. Treatment with short synchronization can increase pregnancy and delivered percentage
although litter size not affected.

Keywords: local goat, short synchronization system, reproduction, estrous induction

PENDAHULUAN rendahnya fertilitas, gejala berahi tidak teramati


dan tidak terkontrolnya waktu berahi, sehingga
Populasi ternak kambing di wilayah Asia waktu perkawinan tidak dapat diperkirakan
dan Pasifik Selatan sampai tahun 1990-an (Hafez, 1993). Beberapa program pemberian
mencapai 294,4 juta ekor dengan angka hormonal telah dikembangkan untuk mengatasi
pertumbuhan hanya 0,2%. Jumlah ini kondisi tersebut melalui teknologi sinkronisasi
merupakan 52,9 % dari total populasi kambing berahi. Tetapi hampir semua jenis perlakuan
dunia. Di Pulau Jawa, jumlah rumah tangga tersebut mempunyai dua kelemahan dalam
yang memelihara ternak kambing mencapai pelaksanaannya yaitu mahalnya biaya yang
30%. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa diperlukan dan lamanya interval waktu
kambing memiliki potensi untuk dikembangkan pelaksanaan. Kelemahan pertama telah dapat
sebagai sumber produk asal ternak di Indonesia diatasi dengan menggunakan prostaglandin F2α
(Suyadi, 2003). Populasi kambing sampai tahun yang dapat diberikan melalui intrauterin atau
2005 mencapai 13.182.064 ekor dengan angka intravulva pada kambing. Dosis prostaglandin
pertumbuhan sekitar 3,14% (Dinas Peternakan F2α dapat dikurangi sampai seperempat kali
NAD, 2006). Rendahnya angka pertumbuhan ini dengan cara pemberian melalui intrauterin atau
karena kambing tropis memperlihatkan efisiensi intravulva pada kambing (Gustari et al., 1996;
reproduksi yang rendah dibandingkan dengan Siregar et al., 2001). Pelaksanaan metode ini
kambing pada daerah subtropis (Gall dan kemungkinan prostaglandin F2α akan cepat
Phillipen, 1981). dimetabolisma karena secara fisiologi
Salah satu penyebab rendahnya efesiensi prostaglandin F2α disintesis oleh endometrium
reproduksi kambing tropis adalah karena uterus dan didistribusikan ke ovarium melalui
30
Siregar etal Jurnal Veteriner

mekanisme counter current (Gustari et al., melahirkan, dan mempunyai bobot badan yang
1996). relatif sama. Seluruh kambing dibagi dalam 2
Untuk mempercepat pelaksanaan sinkro- kelompok perlakuan, masing-masing terdiri dari
nisasi telah dikembangkan sistem sinkronisasi 4 ekor sebagai kelompok kontrol dan 6 ekor
singkat (Lopez-Gatius, 2000a). Sistem sebagai kelompok perlakuan. Bahan yang
sinkronisasi singkat pada sapi dilakukan digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan penyuntikan prostaglandin F2α diikuti cloprostenol (Estroplan Inter-Ag, Hamilton, NZ),
dengan human chorionic gonadotrophine (hCG) hCG (Chorulon, Intervet, Holland), dan estradiol
dan estradiol benzoate (EB). Perlakuan dengan benzoat (Ovalumon, PT. Wonderindo,
hCG akan dapat menghasilkan ovulasi pada Pharmatama). Alat yang dipergunakan dalam
keseluruhan siklus berahi, sedang estrogen penelitian ini adalah spuit insulin dan kit IB.
dapat menginduksi LH surge dan ovulasi.
Hormon hCG dan EB efektif pada fase folikuler, Prosedur Penelitian
sedang pada ternak yang berada pada fase luteal, Kelompok I (KI), mendapat perlakuan
hCG akan menurunkan ovulation rate dan protokol 125 µg cloprostenol/ekor secara
estradiol akan bertindak sebagai faktor luteolitik intramuskular 2 kali dengan interval 11 hari.
dan meningkatkan aktivitas folikulogenesis Kelompok II (KII), mendapat perlakuan 125 µg
(Lopez-Gatius, 2000b). cloprostenol/ekor secara intramuskular, diikuti
Peranan hCG pada ternak antara lain dengan injeksi 300 IU hCG/ekor dan 0,5 mg
adalah memperpanjang masa hidup korpus estradiol benzoate/ekor 12 jam kemudian.
luteum, peningkatan sintesis progesteron oleh
korpus luteum, induksi ovulasi pada Deteksi Berahi dan Inseminasi Buatan
keseluruhan siklus berahi, dan membantu Pengamatan berahi dilakukan 3 kali
pembentukan korpus luteum asesoris ketika sehari, mulai hari pertama setelah penyuntikan
diberikan pada awal fase luteal (Rajamahendra dengan lama pengamatan 1 jam. Pengamatan
dan Sianangama, 1992). Hormon hCG dapat dilakukan pada pukul 08.00, 12.00 dan 16.00
dipakai untuk mengobati kesuburan pada hewan WIB. Kambing-kambing yang memperlihatkan
piaraan, mengobati gejala sistik ovaria, gejala berahi diinseminasi 10 jam setelah awal
menimbulkan berahi, menghilangkan berahi dan diulang 12 jam kemudian. Awal
nimpomania dan untuk merangsang ovulasi berahi dihitung saat kambing mau dinaiki oleh
(Kaltenbach dan Dunn, 1993). Aktivitas LH yang pejantan pertama kali.
dikandungnya menyebabkan hCG bersifat
luteotropik dan memperpanjang fungsi corpus Parameter Penelitian
luteum beberapa hari, sehingga dapat 1. Persentase berahi yaitu jumlah kambing
meningkatkan angka kebuntingan (Rajama- berahi dibagi dengan jumlah kambing
hendra dan Sianangama, 1992). perlakuan dan dinyatakan dalam persen.
Tampilan berahi kambing lokal setelah 2. Persentase kebuntingan yaitu jumlah
induksi dengan sistem sinkronisasi singkat kambing yang berhasil menjadi bunting
telah dilaporkan (Hamdan dan Siregar, 2004). dibagi dengan jumlah kambing yang
Oleh karena itu maka perlu diketahui pengaruh dikawinkan dan dinyatakan dalam persen.
penerapan sistem sinkronisasi singkat terhadap 3. Persentase kelahiran yaitu jumlah kambing
tampilan reproduksi kambing lokal. Penelitian yang berhasil melahirkan dibagi dengan
ini bertujuan mengetahui tampilan reproduksi jumlah kambing yang dikawinkan dan
kambing yang mengalami sistem sinkronisasi dinyatakan dalam persen.
singkat. Data hasil penelitian ini diharapkan 4. Jumlah anak per kelahiran yaitu jumlah
dapat menjadi acuan keberhasilan pelaksanaan anak kambing lahir dari tiap ekor kambing
sistem sinkronisasi singkat pada kambing.
Analisis Data
Data persentase berahi, kebuntingan dan
MATERI DAN METODE kelahiran dilaporkan secara deskriptif
sedangkan jumlah anak per kelahiran dianalisis
Pada penelitian ini digunakan 10 ekor menggunakan uji-t (Sudjana, 2005).
kambing betina lokal dengan kriteria umur 2,5-
3,5 tahun, sehat, tidak bunting, pernah

31
Jurnal Veteriner Maret 2010 Vol. 11 No. 1 : 30-35

HASIL DAN PEMBAHASAN setelah berahi akibat pemberian PGF2α yang


pertama. Demikian juga dengan penelitian
Persentase Berahi Perera et al. yang disitasi oleh Devendra dan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Burns (1994) di Srilangka mendapatkan hasil 5
semua kambing pada kedua kelompok perlakuan dari 6 ekor kambing berahi, setelah diinjeksi
memperlihatkan berahi (100%) seperti yang dengan cloprostenol (analog PGF2α sintesis)
terlihat pada Tabel 1. Tanda- tanda berahi yang secara ganda dengan dosis 125 µg dengan
terlihat sesuai dengan pernyataan Murtidjo et interval waktu 10 hari. Injeksi awal
al,. (1993), bahwa pada waktu berahi yang prostaglandin F2α akan menyebabkan kambing
terlihat kambing betina menunjukkan tanda- mencapai fase pertengahan luteal dari siklus
tanda gelisah, ekor diangkat dan digoyang- berahi. Injeksi kedua akan efektif memper-
goyangkan, berusaha mendekati kambing singkat masa hidup korpus luteum dengan cara
jantan, mengembik, vulva bengkak dan melisisnya (Hunter, 1995). PGF2α efektif dalam
berwarna kemerahan, lembab dan bila diraba meregresi korpus luteum fungsional tidak pada
terasa hangat serta mengeluarkan cairan korpus luteum yang sedang tumbuh
(lendir) yang jernih. Respon kambing lokal (Partodihardjo, 1992).
terhadap metode pemberian PGF2α dapat Timbulnya berahi akibat pemberian PGF2α
menyebabkan regresinya korpus luteum disebabkan karena lisisnya korpus luteum oleh
fungsional dan memungkinkan dimulainya kerja vasokontriksi PGF2α sehingga aliran
siklus yang baru, yang dinyatakan dalam darah menuju korpus luteum menurun secara
bentuk timbulnya berahi. drastis (Toelihere, 1981). Akibatnya, kadar
Tingginya persentase berahi pada kelompok progesteron yang dihasilkan oleh korpus luteum
kontrol (K0) sesuai dengan laporan Siregar et akan menurun di dalam darah. Penurunan
al., (2001) yang memperoleh persentase berahi kadar progesteron akan merangsang hipofisis
100% pada kambing lokal yang diinduksi dengan anterior menghasilkan dan melepaskan follicle
PGF2α secara intramuskuler maupun stimulating hormone (FSH) dan luteinizing
intravulva. Heinonen et al., (1996) mendapatkan hormone (LH). Kedua hormon ini bertanggung
persentase berahi pada sapi yang mendapatkan jawab dalam proses folikulogenesis dan ovulasi,
perlakuan prostaglandin F2α secara intrauterin sehingga terjadi pertumbuhan dan pematangan
sebesar 62,5% dan sapi yang mendapat folikel. Folikel-folikel tersebut akhirnya
perlakuan prostaglandin F2α secara menghasilkan hormon estrogen yang mampu
intramuskuler sebesar 60,6%. Hal ini memanifestasikan gejala berahi (Hafez, 1993).
menunjukkan bahwa kambing yang digunakan Apabila dibandingkan dengan penelitian
pada penelitian ini mempunyai respon yang baik Gustari et al., (1996) dan Heinonen et al., (1996)
terhadap pemberian PGF2α secara ganda dengan persentase berahi yang diperoleh pada penelitian
interval 11 hari. ini tergolong tinggi. Perbedaan ini kemungkinan
Tingginya persentase kambing yang berahi disebabkan oleh perbedaan breed dan jenis
setelah penyuntikan ke-2 menunjukkan bahwa ternak yang digunakan. Kedua penelitian di atas
prostaglandin F2α efektif untuk sinkronisasi masing-masing menggunakan kambing
mulai fase pertengahan luteal. Hal ini sesuai peranakan Ettawa dan sapi.
dengan hasil penelitian Nuti et al., (1992) bahwa Pada kelompok perlakuan (KII), terjadinya
semua kambing (100%) menunjukkan berahi berahi akibat sinergis kerja antara hCG dengan
setelah pemberian PGF2α pada hari ke-12 estradiol. Hormon hCG dan estradiol lebih efektif

Tabel 1. Pengaruh perlakuan hormonal terhadap persentanse berahi, kebuntingan, kelahiran,


jumlah anak dan rataan per kelahiran pada kambing lokal

Status kambing betina (ekor) Jumlah Rataan


Kelompok n anak lahir jumlah
Berahi (%) Bunting (%) Melahirkan (%) sekelahiran

KI 4 4 (100) 3 (75,00) 3 (75,00) 6 2,0±1,0


KII 6 6(100) 5 (83,33) 5 (83,33) 7 1,4±0,3

n = Jumlah sampel

32
Siregar etal Jurnal Veteriner

pada fase folikuler (Lofez- Gatius, 2000a) atau Persentase Kelahiran


luteal awal (Lopez-Gatius, 2000b). Injeksi Data persentase kelahiran kambing yang
PGF2α akan menggiring fase berahi hewan diperoleh dari penelitian ini seperti terlihat pada
menuju fase folikuler, sedangkan hewan yang Tabel 1. Pada kelompok kontrol, 3 ekor induk
tidak respon terhadap PGF2α pada saat tersebut bunting dan berhasil melahirkan, sedangkan
kemungkinan telah berada pada fase folikuler untuk kelompok perlakuan, 5 ekor induk yang
atau luteal awal. mengalami kebuntingan juga berhasil
melahirkan. Persentase kelahiran pada
Persentase Kebuntingan kelompok kontrol dan perlakuan masing-masing
Pada Tabel 1 terlihat persentase adalah 75,00 dan 83,33%.
kebuntingan pada kedua kelompok menunjuk- Budiarsana dan Sutama (2001) melaporkan
kan bahwa kambing yang berahi kemudian hasil penelitian dengan IB terjadwal 20-25 dan
diinseminasi tidak semuanya berhasil bunting. 35-40 jam setelah awal berahi pada kambing
Pemberian PGF2α dengan menggunakan peranakan Ettawa yang dilakukan meng-
protokol standar secara intramuskular hasilkan persentase kelahiran masing-masing
menghasilkan angka kebuntingan sebesar sebesar 37,5 dan 40,9%. Selanjutnya Sadat
75,00% dan dengan sistem sinkronisasi singkat (2003) melaporkan persentase kelahiran sebesar
menghasilkan 83,33%. Hasil penelitian ini 66,6% pada kambing yang dikawinkan setelah
sedikit berbeda dengan hasil penelitian Heinonen diberi CIDR-G selama 17 hari. Perbedaan
et al., (1996) pada sapi sebesar 66,7% dan persentase kelahiran pada penelitian tersebut
Atmamihardja (1982) pada kambing kacang kemungkinan karena perbedaan waktu dan
sebesar 90%. Heinonen et al., (1996) mem- jumlah perkawinan yang dilakukan. Secara
berikan prostaglandin F2α secara intrauterin umum diketahui bahwa persentase kebuntingan
sedangkan Atmamihardja (1982) secara dan kelahiran akan lebih tinggi jika ternak
intramuskular. dikawinkan secara alami dibandingkan
Budiarsana dan Sutama (2001) menyatakan perkawinan secara IB. Frekuensi perkawinan
salah satu penyebab rendahnya persentase yang tinggi akan memperbesar peluang
kebuntingan pada kambing adalah karena keberhasilan dari fertilisasi.
sebaran waktu ovulasi yang sangat panjang
sedang waktu kapasitasi spermatozoa relatif Jumlah Anak Sekelahiran
lebih cepat. Peningkatan persentase kebutingan Data total jumlah anak lahir dan rataan
setelah pemberian hCG akan mengakibatkan jumlah anak sekelahiran (litter size) pada
waktu ovulasi lebih cepat dan bertindak sebagai kambing lokal dapat dilihat pada Tabel 1.
kontrol terbaik untuk ovulasi (Lopez-Gatius, Jumlah anak yang lahir pada kelompok kontrol
2000b). Selanjutnya, Hansel et al., (1997) adalah 6 ekor dengan rataan jumlah anak
menemukan hubungan antara peningkatan sekelahiran 2,0±1,0 dan pada kelompok
dosis hCG dengan mengurangi efek yang tidak perlakuan adalah 7 ekor dengan rataan jumlah
diinginkan terhadap kebuntingan. anak sekelahiran 1,4±0,3. Hasil uji-t
Mekanisme kerja hCG dalam meningkat- menunjukkan jumlah anak per kelahiran yang
kan angka kebuntingan mungkin disebabkan tidak berbeda nyata antara kedua kelompok.
optimalisasi fungsi korpus luteum dan Jumlah anak yang dilahirkan ternyata tidak
peningkatan produksi hormon progesteron. dipengaruhi oleh pemberian hCG. Hal ini
Peningkatan sintesis hormon progesteron bertolak belakang dari pernyataan Situmorang
dihasilkan dari hipertrofi sel-sel luteal pada (2005) yang menyatakan salah satu faktor yang
korpus luteum yang terbentuk secara spontan mempengaruhi jumlah embrio adalah tingkat
(Hermel dan Britt., 1986) dan pembentukan hormon LH sebelum ovulasi.
korpus luteum assesoris (Rajamahendra dan
Sianangama, 1992). Pemberian hCG akan
mencegah terjadinya regresi luteal yang SIMPULAN
merupakan faktor utama terjadinya kematian
embrio dini (Hamdan dan Siregar, 2004). Sistem sinkronisasi singkat dapat
meningkatkan persentase kebuntingan dan
kelahiran, dan tidak mempengaruhi jumlah
anak yang dilahirkan.

33
Jurnal Veteriner Maret 2010 Vol. 11 No. 1 : 30-35

SARAN Heinonen K, Shieferans T, Heinonen M. 1996.


Oestrus synchronization in ethiopian
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada highland zebu cattle by means of
ternak pada satu galur kesuburan yang sama intravaginal cloprostenol administration.
terhadap jumlah anak per kelahiran. Trop Anim Hlth Prod 28:121 – 125.
Hunter RHF. 1995. Fisiologi Teknologi
Reproduksi Hewan Betina Domestik.
UCAPAN TERIMAKASIH Terjemahan D. K. Harya Putra. Bandung
Penerbit ITB.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Kaltenbach CC, Dunn JG. 1993. Endocrinology
Rektor Universitas Syiah Kuala dan Dekan of reproduction. In Hafez ESE. (Ed):
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Reproduction in farm animals.
Kuala atas kepercayaan yang diberikan melalui Philadelphia:Lea and Febiger.
Hibah Penelitian SP4 Pengembangan Jurusan Lopez-Gatius F. 2000a. Short synchronization
Klinik Veteriner Tahun Anggaran 2007. system for cycles in dairy heifers: a
Selanjutnya, terimakasih kepada Saudara preliminary report. Theriogenology 54 (8):
Suryadi dan Dewi Syafrina yang telah 1186-1190.
memberikan kontribusi yang besar sehingga Lopez-Gatius F. 2000b. Reproductive
penelitian ini dapat dilaksanakan dengan baik. performance of lactatin of dairy cows treated
with cloprostenol, hCG, and estradiol
benzoate treatment on berahi
DAFTAR PUSTAKA synchronization of berahi followed by time
AI. Theriogenology 54 (2): 551-558.
Dinas Peternakan NAD. 2006. Laporan Murtijdo BA. 1993. Memelihara Kambing
Tahunan Dinas Peternakan Propinsi Sebagai Ternak Potong dan Perah.
Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh. Yogyakarta. Kanisius.
Atmamihardja, S. 1982. Derajat kebuntingan Nuti L.J, Bretzlaff KN,. Elmore RG, Meyers SA,
kambing kacang yang berahinya Regsla JN, Brinslev SP, Blahohard TL,
diseragamkan dengan PGF2α serta Weston PG. 1992. Synchronnization of
dikawinkan secara alami, inseminasi estrus in dairy goat treated with PGF2á
buatan dengan mani cair dan beku butiran. various stages of the oestrus cycle. Am J
(Tesis). Bogor: IPB Bogor. Vet Res 52:934-937
Budiarsana IGM, Sutama IK. 2001. Fertilisasi Partodihardjo S. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan.
kambing peranakan Ettawah pada Jakarta. Penerbit Mutiara.
perkawinan alami dan inseminasi buatan. Rajamahendra R. Sianangama PC. 1992. Effect
Dalam: Prosiding Seminar Nasional of dominant follicles in cows: formation of
Peternakan dan Veteriner, Bogor. Pp:85-92. accessory corpora lutea, progesterone
Davendra C, Burns M. 1994. Goat Production production and pregnancy rates. J Reprod
in the Tropic. Common Wealth. Agriculture Fert 95:577-584.
Bureaux. Farnham Royal, England. Sadat A. 2003. Pengaruh kehadiran pejantan
Gall CWP, Phillipe H. 1981. Perspective on dengan breed yang berbeda pada
utilization goats. Anim Res Developmt. 19:7- sinkronisasi berahi dengan CIDR-G pada
16. kambing dara lokal. Banda Aceh: FKH-
Gustari S, Kusumawati A, Subagyo S, Putro PP. Unsyiah.
1996. Pemberian prostaglandin secara Siregar TN, Riady G, Al Azhar, Budiman H,
intrauterin untuk induksi berahi pada Armansyah T. 2001. Pengaruh pemberian
kambing peranakan Ettawa. Bull. FKH- prostaglandin F2 alfa terhadap tampilan
UGM XV(1&2):1-8 reproduksi kambing lokal. J Medika Vet
Hafez ESE. 1993. Semen evaluation. In Hafez 1(2):61-65.
ESE. (Ed): Reproduction in farm animals. Situmorang P. 2005. Pengaruh pemberian
Philadelphia. Lea and Febiger. hormon hCG pada perlakuan superovulasi
Hamdan dan Siregar TN. 2004. Perbandingan ternak kerbau. Jurnal Ilmu Peternakan
sistem sinkronisasi singkat dengan sistem dan Veteriner. 10 (4) : 286-292.
sinkronisasi standar terhadap tampilan
berahi kambing lokal. JIIP VII (3) : 17-22.

34
Siregar etal Jurnal Veteriner

Subandriyo, Setiadi PS. 1986. Produktivas Suyadi. 2003. Potensi reproduksi ternak
ternak kambing pada stasiun percobaan kambing dan domba. Makalah disampaikan
Cilebut, Bogor. Ilmu Peternakan 3 (1):5-8. pada Seminar Regional “Prospek
Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Bandung. Pengembangan Ternak Kambing/Domba di
Tarsito Indonesia” di Fakultas Peternakan
Sumoprastowo M. 1980. Beternak Kambing yang Universitas Brawijaya, Malang, 25 Oktober
Berhasil. Jakarta. Bharatara Karya Aksara. 2003.
Toelihere MR. 1981. Fisiologi Reproduksi pada
Ternak. Bandung. Angkasa.

35

Anda mungkin juga menyukai