BI Pemindangan Ikan
BI Pemindangan Ikan
BANK INDONESIA
Direktorat Kredit, BPR dan UMKM
a. Profil Usaha
Produksi tangkapan ikan tidak dapat diprediksikan layaknya jenis ikan yang
dibudidayakan. Hasil tangkapan ikan yang akan dipindang sangat tergantung
pada kondisi iklim dan cuaca. Umumnya, pada waktu musim panas
(kemarau), yakni antara bulan April hingga akhir Oktober, demikian pula
pada saat musim hujan yang disertai dengan angin kencang, jumlah
tangkapan ikan yang akan dipindang menurun. Umumnya tangkapan ikan
meningkat pada bulan November hingga akhir Maret setiap tahunnya.
Produksi ikan segar di Kabupaten Pati tahun 2004 terbesar berasal dari
budidaya tambak. Potensi tambak Kabupaten Pati terbesar di 7 (tujuh)
kecamatan yaitu masing-masing di kecamatan Batangan, Juwana,
Wedarijaksa, Trangkil, Margoyoso, Tayu dan Dukuhseti. Potensi tambak
terbesar berada di kecamatan Juwana.
Produksi ikan segar dari budi daya tambak setiap tahun terus meningkat. Di
tahun 1997 hasil tambak 4.070 ton, di tahun 2001 meningkat menjadi
13.350 ton. Lahan tambak tersebar di Kecamatan Juwana. Jenis ikan
bandeng dan udang banyak dibudidayakan di sini. Dari tambak tersebut
dihasilkan 10,46 ton ikan bandeng dan 2,11 ton udang per hektar. Bahkan
bandeng asal Juwana terkenal di Semarang dalam bentuk bandeng presto.
Untuk hasil perikanan laut dan tambak, Juwana menjadi primadona. Apalagi,
di kecamatan ini selain terdapat TPI terbesar, juga terdapat pelabuhan laut
tempat hilir-mudiknya kapal niaga maupun kapal nelayan.
Tabel 2.1.
Produksi Ikan Segar Budidaya Tambak per Jenis Ikan
di Kabupaten Pati Tahun 2004 (Kg)
Jenis Tangkapan
Bulan Jumlah
Bandeng Udang Rucah Jembret
Januari 1.751.483 156.533 50.883 21.592 1.980.491
Pebruari 849.236 80.968 48.533 4.917 983.654
Maret 661.318 87.797 64.805 5.656 819.574
April 521.753 89.677 75.074 5.884 692.388
Mei 522.160 95.296 78.904 6.345 702.705
Juni 583.119 112.866 115.579 8.924 820.488
Juli 574.033 109.866 111.431 9.130 804.460
Agustus 1.134.018 130.398 56.112 7.092 1.327.620
September 1.580.185 101.819 42.263 6.071 1.730.338
Oktober 1.908.254 113.494 38.941 14.249 2.074.938
November 2.454.034 130.877 48.325 17.439 2.650.675
Untuk penyusunan buku ini, dilakukan survey di Juwana, Pati, Jawa Tengah.
Di lokasi survey diperoleh informasi bahwa usaha pemindangan ikan telah
memperoleh pembiayaan dari perbankkan. Sedangkan perbankkan yang
telah mencairkan kreditnya untuk usaha tersebut adalah Swamitra Bukopin
dan BRI Cabang Pati.
1. Bank BRI
Bank BRI Cabang Pati telah menyalurkan kredit untuk bidang perikanan,
begitu pula kredit untuk pengolahan ikan melalui pemindangan ikan.
Kebijakan yang diterapkan manajemen Bank BRI menyebutkan bahwa segala
bentuk pinjaman kurang dari Rp 100.000.000,- dapat dilayani di kantor BRI
Unit Juwana I dan BRI Unit Juwana II. Tetapi bila nilai kredit lebih besar dari
Rp 100.000.000,- maka kredit akan dilayani di BRI Cabang Pati.
Bank BRI Cabang Pati menetapkan tingkat bunga pinjaman modal kerja
untuk usaha pemindangan sebesar 1,25% hingga 2% menurun per bulan
dengan jangka waktu pinjaman selama 1 tahun dan periode angsuran pokok
dan bunga secara bulanan. Untuk mendapatkan kredit untuk usaha
pemindangan ikan ini, pengusaha disyaratkan untuk menyediakan beberapa
persyaratan, antara lain sertifikat tanah/bangunan tempat usaha,
barang/aset bergerak, dll. Jangka waktu yang dibutuhkan pengusaha untuk
memperoleh kredit dari Bank BRI Cabang Pati ini relatif singkat. Pengusaha
sudah dapat mencairkan kredit dalam waktu 14 hari sejak masa pengajuan
kredit.
Surat AKTE/SIUP
Laporan keuangan
Surat bukti kepemilikan jaminan
Teknik Analisis Investasi/Keuangan
Bentuk Kredit yang diberikan oleh BRI Cabang Pati maupun di Kantor BRI
Unit Juwana I dan Kantor BRI Unit Juwana II diantaranya :
Swamitra merupakan salah satu bentuk realisasi dari misi Bank Bukopin
untuk turut berperan aktif mengembangkan usaha kecil melalui kerjasama
dengan pihak Koperasi membangun/meningkatkan usaha simpan pinjam
milik Koperasi bersangkutan, guna memberikan pelayanan yang lebih luas
kepada Anggota Swamitra.
a. Permintaan
Dengan potensi sumber daya kelautan (perikanan) yang melimpah, negeri ini
memiliki peluang yang sangat besar untuk memulihkan perekonomian
nasional, khususnya dengan bertumpu pada pengelolaan sumber daya
perikanan dan kelautan secara tepat dan optimal. Hal itu didasarkan pada
berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa permintaan akan hasil
perikanan cenderung terus meningkat, baik untuk permintaan dari dalam
maupun luar negeri.
b. Penawaran
Jawa Tengah, sebagai salah satu lokasi penelitian usaha pemindangan ikan
memiliki beberapa kota dan kabupaten yang menjadi sentra produksi
pemindangan ikan yaitu Kota Semarang dan Kabupaten Pati, tepatnya di
Kecamatan Juwana. Pengolahan ikan menggunakan cara pemindangan ini
dilakukan karena di Kabupaten Pati, TPI Bajomulyo Juwana mempunyai
jumlah produksi paling banyak (99,933%) dan nilainya juga paling tinggi
(99,53%) bila dibandingkan dengan jumlah dan nilai produksi di TPI
Pecangaan Batangan dan TPI Margomulyo Tayu. Tingginya jumlah dan nilai
produksi di TPI Bajomulyo Juwana mendorong penduduk di Juwana untuk
memanfaatkan hasil perikanan tersebut melalui pengolahan, antara lain
pemindangan ikan.
Penyebab hal seperti ini adalah minimnya modal sehingga pengusaha tidak
mampu membeli bahan baku ikan yang tergolong mahal dalam jumlah besar.
Selain itu, pengusaha yang memiliki modal dalam jumlah besar umumnya
mampu terlebih dahulu membeli hasil tangkapan dengan cara pembayaran di
muka hasil tangkapan ikan sebelum nelayan-nelayan tersebut berangkat ke
laut. Dengan cara seperti ini, hasil tangkapan ikan akan diserahkan ke
pengusaha yang sudah membayar hasil tangkapan terlebih dahulu.
Peluang pasar pemindangan ikan masih terbuka lebar, baik untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri maupun untuk menembus pasar global. Ikan
sebagai bagian dari makanan pokok dalam kehidupan sehari-hari tentunya
akan memiliki kesinambungan permintaan. Selain itu selera masyarakat dan
kesadaran pentingnya mengkonsumsi ikan juga menjadi faktor penting
terhadap permintaan ikan, termasuk ikan pindang sebagai salah satu jenis
ikan yang tahan lama karena telah diawetkan melalui pemindangan.
Di samping itu, juga akibat situasi cuaca yang tidak menguntungkan karena
terjadinya gelombang besar di laut, sehingga kapal-kapal penangkap yang
masuk untuk melelangkan ikan hasil tangkapannya di Pusat Pendaratan Ikan
(PPI) Juwana sedikit berkurang. Akan tetapi, untuk penyediaan bahan baku
para pemindang masih bisa membeli ikan jenis itu pada pabrik yang terdapat
di lingkungan lokasi pemindangan.
Juwana yang selama ini mencitrakan diri sebagai pusat pemindangan ikan,
baik ikan laut jenis layang maupun ikan bandeng hasil tambak, tetap tidak
tergoyahkan dengan merebaknya masalah formalin sebagai bahan pengawet
makanan.
e. Harga
Pada bulan Desember hingga bulan Maret, terjadi kondisi paceklik ikan. Hal
ini karena jumlah ikan yang tersedia relatif tidak terlalu banyak. Kondisi ini
f. Distribusi
Dalam setiap usaha jalur distribusi produk memiliki peran penting, dengan
demikian tata niaga dan efektivitas sistem pemasaran berperan penting
dalam menentukan keberhasilan usaha.
Pemasaran dan perdagangan ikan pindang selama ini berjalan sesuai dengan
mekanisme pasar. Kekuatan permintaan dan penawaran yang menentukan
harga output, sementara harga input pemindangan ikan dipengaruhi oleh
ketersediaan dan hasil tangkapan. Berdasarkan informasi yang diperoleh
pada saat survey, pengusaha pemindangan ikan memasarkan produknya
dengan beberapa cara, yakni:
Bagan di bawah ini menunjukkan beberapa jalur distribusi ikan pindang dari
pengusaha hingga ke konsumen akhir melalui beberapa lembaga pemasaran
seperti produsen, pedagang besar dan pengecer.
g. Promosi
h. Kendala Pemasaran
Kendala pemasaran ikan pindang yang signifikan pada dasarnya tidak ada.
Pemasaran lebih banyak ditujukan untuk pasar dalam negeri, umumnya
pengemasan dan aspek keamanan pengiriman ikan pindang masih menjadi
kendala.
Kendala terjadi pada saat cuaca sangat panas dan terjadi kemacetan yang
membutuhkan waktu lama di jalan. Hal ini akan mempercepat proses
kemunduruan mutu ikan pindang.
Lokasi pemindangan ikan yang baik adalah dekat dengan sumber bahan baku
utama serta memiliki akses yang mudah terhadap sumber air dan garam
sebagai bahan pembantu. Selain itu juga kemudahan untuk dapat dijangkau
dengan transportasi umum, mengingat bahwa dalam pengolahan ikan
pindang juga dibutuhkan alat/wadah berupa reyeng/keranjang bambu yang
biasanya dipasok dari luar daerah. Kemudahan keterjangkauan tersebut juga
akan mendukung dalam proses pemasaran/distribusi produk akhir.
Bahan baku utama untuk proses pembuatan ikan pindang adalah semua
jenis ikan yang biasanya memiliki karakteristik dan disukai oleh konsumen
sesuai dengan daerahnya. Biasanya bahan baku ikan pindang adalah jenis
ikan yang berukuran kecil/sedang dengan kelimpahan yang cukup besar
terutama saat musim ikan seperti ikan bandeng, lemuru, kembung, layang,
selar dan badong/ani-ani. Sedangkan untuk ikan ukuran besar adalah ikan
tongkol dan cakalang. Bahan baku (ikan) tersebut biasanya diperoleh di
daerah Juwana, Rembang, Tuban, Muncar, Perigi, Sarang dan lainnya
dengan harga sekitar Rp 7.000 hingga Rp 10.000,- per kg.
Tabel 4.4
Ciri Utama Ikan Segar dan Ikan Yang Mulai Busuk
Bahan baku utama lainnya adalah garam. Garam yang digunakan adalah
garam kristal yang masih asli berasal dari petani garam yang belum
mengalami pengolahan lanjutan. Pemberian garam dilakukan dengan
konsentrasi tertentu sekitar 5 – 20%. Garam selain digunakan sebagai
penyedap rasa, juga dimaksudkan untuk mengawetkan produk pindang.
d. Tenaga Kerja
Tenaga kerja yang terlibat dalam pemindangan ikan tidak perlu memiliki
ketrampilan khusus. Berdasarkan informasi yang diperoleh pada saat survey
lapangan, diperoleh keterangan bahwa jumlah tenaga kerja tetap biasanya
lebih sedikit dari tenaga tidak tetap karena faktor bahan baku tergantung
pada musim. Pada saat tangkapan ikan yang dipindang meningkat, para
pengusaha akan menambah tenaga kerjanya; umumnya tenaga kerja
tambahan ini banyak dipekerjakan pada saat perebusan dan penjemuran.
Tenaga kerja tetap maupun tidak tetap yang bekerja di perusahaan
pemindangan ikan umumnya adalah masyarakat sekitar lokasi pemindangan.
Upah tenaga kerja pada usaha pemindangan ikan ini bervariasi. Upah
ditentukan berdasarkan pengalaman, status dan jenis pekerjaan yang
dilakukan. Upah tenaga kerja tetap yang sudah berpengalaman di Juwana
adalah Rp 40.000,- per hari, sedangkan tenaga kerja tidak tetap dibayar Rp
30.000,- per hari.
e. Teknologi
f. Teknis Produksi
Jenis ikan yang biasa dibuat pindang, antara lain : ikan bandeng, tongkol,
cangkalang, lemuru , kumbuy, dan selar. Bahan baku tersebut biasanya
diperoleh di daerah Juwana Rembang, Tuban, Muncar, Perigi, Sarang. Bahan
baku ini diangkut dengan menggunakan alat transportasi truk. Harga bahan
baku ikan segar adalah sekitar Rp 7.000 hingga Rp 10.000,- per kg. Bahan
baku yang akan diolah menjadi ikan pindang dimasukkan ke dalam blong
(drum dari fiber). Untuk setiap satu blong yang berukuran tinggi kurang lebih
1 m ditambahkan satu blok es (10 kg) dan 500 gr garam.
Setelah itu pengolah akan melakukan proses sortasi terhadap bahan baku
ikan segar. Menurut Hadiwiyoto (1993), tujuan dari sortasi adalah
mendapatkan hasil yang seragam, ukurannya, jenisnya, maupun mutunya.
Oleh karena itu, sortasi ini dikerjakan beberapa kali. Biasanya mula-mula
dilakukan sortasi mutu, kemudian jenisnya, lalu ukurannya.
2. Pencucian
Proses pencucian ikan dilakukan dalam bak semen dengan ukuran 184 x 144
x 66 cm dan mempunyai tebal 13 cm. Banyaknya volume air yang digunakan
dalam proses pencucian adalah 950 liter. Proses pencucian diawali dengan
mengisi bak dengan air. Banyaknya air disesuaikan dengan banyaknya bahan
Ikan yang telah mengalami proses pencucian disusun dan ditata dalam
wadah yang terbuat dari anyaman bambu yang biasa disebut “reyeng”.
Wadah ini mempunyai ukuran yang bervariasi sesuai dengan ukuran ikan,
baik ikan yang berukuran besar ataupun ikan yang berukuran sedang dan
kecil. Di lokasi penelitian, wadah “reyeng” ini dibeli dari daerah Salatiga dan
Banjarnegara dengan harga Rp 25-150 per satuan wadah.
Penyusunan bahan baku terdiri atas penyusunan bahan baku untuk ikan
besar dan ikan kecil. Untuk ikan berukuran besar dengan panjang 16-25 cm
disusun dalam wadah yang berukuran 23 x 11 x 5 cm. Cara penyusunannya
yaitu ikan diletakkan sejajar dalam wadah dengan posisi tubuh ikan
menghadap ke arah yang sama. Untuk ikan berukuran sedang atau besar ini
dalam satu wadah atau “reyeng” diisi maksimal dua ikan.
Untuk ikan yang berukuran kecil dengan panjang 12-13 cm, ikan disusun
dalam wadah yang berukuran 14 x 5 x 3 cm. Cara penyusunannya sama
dengan ikan berukuran besar yaitu disusun secara sejajar. Untuk ikan
berukuran kecil ini dalam satu wadah atau “reyeng” diisi maksimal empat
ikan.
Setelah ikan disusun dalam “reyeng”, maka “reyeng” tersebut ditata atau
disusun lagi dengan cara ditumpuk menjadi 1 “bendel”. Tiap “bendel” terdiri
atas 20 reyeng untuk ukuran ikan kecil atau 6 reyeng untuk ukuran ikan
besar. Tiap susunan reyeng diberi dua bilah bambu kecil sebagai sekat. Hal
ini dimaksudkan agar ikan dalam wadah tidak hancur karena tekanan wadah
di atasnya pada saat penyusunan reyeng-reyeng menjadi 1 “bendel”. Tiap
“bendel” disusun dan ditata lagi serta diikat menggunakan tali rafia agar
dalam proses perebusannya ke dalam bak perebusan nanti berjalan lebih
mudah.
4. Perebusan
Maksud dari perebusan adalah mengurangi kadar air dalam daging ikan dan
sekaligus membunuh sebagian bakteri, sedangkan garamnya selain berfungsi
sebagai penambah rasa juga digunakan untuk menarik air lebih banyak agar
ikannya menjadi semakin awet (Irawan, 1995). Di tempat pengolahan
menggunakan bedeng-bedeng sebagai tempat perebusan. Tiap bedeng
terdiri dari empat bak perebusan, tiap bak mempunyai ukuran 80 x 60 x 50
cm. Proses perebusan menggunakan kayu bakar sebagai sumber
pemanasan. Kayu bakar diperoleh dari daerah sekitar pengolahan.
Sedangkan bak perebusan terbuat dari bahan stainlees steel, sehingga bak
ini lebih tahan lama dan tidak mudah rusak karena tidak mengalami korosi
atau pengkaratan.
Bak-bak perebusan tersebut akan diisi dengan larutan air garam. Sedangkan
larutan air garam ini dibuat di tempat tersendiri yaitu di bak air garam. Bak
tempat pembuatan larutan air garam ini mempunyai ukuran 3,5 x 1 x 0,75
m. Di tempat pengolahan terdapat dua bak pembuatan air garam. Cara
pembuatan larutan air garam yaitu bak air garam diisi dengan menggunakan
air tawar sebanyak 1.750 liter dengan menambahkan garam kurang lebih
360 kg. Jadi konsentrasi larutan garam yang digunakan adalah 20%. Garam
yang ditambahkan dimasukkan ke dalam karung yang tembus air,
menggunakan 9 karung di mana tiap karung diisi dengan 40 kg garam.
Karung-karung tadi digantungkan di atas bak air garam sehingga bila
terkena air, garam akan larut ke dalam air.
Larutan air garam yang telah siap untuk proses perebusan dimasukkan
dalam bak perebusan menggunakan pompa air. Apabila air kurang
bersih/jernih, maka digunakan tawas. Tawas yang ditambahkan kurang
lebih 25 kg (konsentrasi tawas dalam larutan 1,42 persen). Nilai ambang
batas tawas yang diperbolehkan berdasarkan SNI 19-0232-2005 adalah 0,5
ppm.
Air yang digunakan untuk perebusan adalah air tawar yang diperoleh dari
sumur galian. Garam yang digunakan dalam proses pembuatan larutan air
garam adalah jenis garam krosok. Garam krosok tersebut disimpan dalam
gudang menggunakan karung yang berlantai tanah sehingga terlihat kurang
bersih.
Proses perebusan dimulai bila suhu larutan sudah mencapai 70-90o C. Cara
perebusan yaitu bangkrak yang berisi reyeng dimasukkan ke dalam bak
hingga seluruh bagian dari bangkrak itu terendam dalam larutan air garam.
Agar seluruh bagian bangkrak terendam dalam bak perebusan, maka bagian
Ikan pindang dianggap sudah matang apabila bagian ekor sudah pecah dan
timbul buih-buih pada air perebusan, hal inilah yang digunakan pengolah
sebagai parameter bahwa ikan tersebut sudah matang. Larutan air garam
yang digunakan untuk proses perebusan tidak diganti dengan larutan baru.
Larutan air garam dari perebusan sebelumnya yang terlihat kotor
ditambahkan tawas. Sehingga kotoran akan timbul ke permukaan dan bagian
air yang kotor dibuang dengan menggunakan gayung plastik. Setelah itu
volume air yang berkurang ditambah lagi dengan larutan air garam bersih.
Kegiatan ini dilakukan tiap 5 kali proses perebusan.
5. Penyiraman
6. Penirisan
Secara umum ikan pindang yang dihasilkan oleh para pengolah di Jawa
Tengah adalah ikan pindang bandeng, tongkol, cakalang, lemuru, kembung,
dan selar. Ikan pindang yang dihasilkan oleh pengolah di daerah Juwana
tergantung dari bahan baku yang digunakan, tetapi yang seringkali
digunakan adalah jenis ikan selar dan lemuru. Apabila bahan baku yang
digunakan bermutu tinggi maka produk ikan pindang yang dihasilkan juga
mempunyai mutu yang tinggi. Berikut ini adalah deskripsi mutu ikan pindang
yang berkualitas tinggi (Tabel 4.5).
Menurut Adnan, M.dkk (1984), beberapa sifat atau keadaan yang dipakai
untuk menetapkan kualitas atau mutu pindang yang baik adalah :
Tabel 4.5.
Deskripsi mutu ikan pindang yang berkualitas tinggi
Parameter Deskripsi
Ikan utuh tidak patah, mulus, tidak luka atau lecet, bersih,
tidak terdapat benda asing, tidak ada endapan lemak, garam,
Rupa dan warna
atau kotoran lain. Warna spesifik untuk tiap jenis, cemerlang,
tidak berjamur, dan tidak berlendir.
Bau spesifik pindang atau seperti bau ikan rebus, gurih, segar,
Bau
tanpa bau tengik, masam, basi, atau busuk.
Gurih spesifik pindang, enak, tidak terlalu asin, rasa asin
Rasa
merata, dan tidak ada rasa asing.
Daging pindang kompak, padat, cukup kering dan tidak berair
Tekstur
atau tidak basah (kesat).
Sumber: Wibowo (2000)
Daya awet ikan pindang bila disimpan di udara terbuka tanpa dilakukan
penanganan yang baik kurang lebih 2-5 hari. Selain dikarenakan pindang
disimpan di udara terbuka tanpa penanganan khusus, hasil produksi pindang
(terutama pindang air garam) kandungan airnya cukup banyak. Ikan yang
mempunyai ukuran yang lebih besar (seperti tongkol) mempunyai daya awet
yang lebih singkat bila dibandingkan dengan ikan yang berukuran kecil (ikan
layang atau lemuru).
Daya awet pindang ini dapat ditingkatkan dengan cara perbaikan teknik
pemindangan (kebersihan, suhu, kadar garam, penambahan bumbu, dll),
penggunaan zat pengawet, perbaikan pengemasan maupun teknik
penyimpanan produk. Cara lain yang digunakan untuk memperpanjang daya
awet ikan pindang adalah dengan sterilisasi (Heruwati, 1985).
Sedangkan menurut SNI mutu ikan pindang (Dirjen Perikanan 1994/ 1995)
adalah sebagai berikut :
Persyaratan Mutu
Jenis Uji
Pindang Air Garam Pindang Garam
a. Organoleptik
- Nilai minimum 7 6
- Kapang Negatif Negatif
b. Mikrobiologi
- TPC per gr, maks. 1 x 105 1 x 105
- Escherichia coli MPN per gram, maks. 3 CFU 3 CFU
- Salmonella *) Negatif Negatif
- Vibrio cholera *) Negatif Negatif
- Staphyloccocus aureus *) 1 x 103 1 x 103
c. Kimia
- Air, % bobot/ bobot, maks. 70 70
- Garam, % bobot/ bobot, maks. 10 10
*) : bila diperlukan (rekomendasi)
Tabel berikut memberikan gambaran tentang nilai gizi ikan pindang berupa
protein, lemak, mineral dan vitamin.
Tabel 4.3.
Komposisi Pindang
h. Kendala Produksi
Dari sisi produsen, produksi ikan pindang yang sebagian besar dilakukan
pada usaha skala kecil di Indonesia, sebagian besar masih bersifat
tradisional. Selain itu, mutu dan persyaratan peralatan pengolahan
pemindangan ikan masih rendah. Hal ini menjadi salah satu masalah bagi
sebagian pengusaha.
Dalam usaha ini, seluruh lahan yang digunakan untuk kegiatan usaha, baik
berupa tanah dan bangunan diasumsikan menyewa milik orang lain. Mesin
dan peralatan yang diperhitungkan dalam komponen biaya adalah seluruh
mesin dan peralatan, baik yang dibeli maupun peralatan yang dibuat sendiri
oleh pengusaha yang dapat dinilai dengan sejumlah uang.
Tabel 5.1.
Asumsi dan Parameter Analisis Keuangan
Luas tanah dan bangunan untuk usaha pemindangan ikan ini adalah 500 m²
dan 350 m² berupa bangunan. Produksi dilakukan setiap hari (selain libur
nasional dan Minggu), sehingga jumlah hari kerja dalam setahun adalah 300
hari.
1. Biaya Investasi
Biaya investasi atau disebut juga sebagai biaya tetap adalah biaya dalam
pengertian short run, yaitu biaya yang tidak berubah (selalu sama), atau
tidak terpengaruh oleh besar kecilnya produksi. Biaya investasi dalam usaha
pemindangan ikan ini dialokasikan untuk memulai usaha atau biaya-biaya
yang diperlukan pada tahun 0 proyek yang meliputi biaya perijinan, sewa
tanah dan bangunan, serta pembelian peralatan. Jumlah biaya investasi pada
tahun 0 proyek adalah Rp 30.875.000,-. Secara lebih rinci kebutuhan biaya
investasi sebagaimana pada Tabel 5.2.
UE = Umur Ekonomis
Sumber : Data Primer, diolah
2. Biaya Operasional
Biaya operasional atau biaya variabel selalu tergantung pada besar kecilnya
produksi per periode waktu. Biaya operasional ini meliputi pembelian bahan
baku utama dan pembantu, peralatan, biaya pemeliharaan mesin dan
peralatan utama, dan upah tenaga kerja. Tabel 5.3 menunjukkan bahwa
dalam 1 tahun diperlukan biaya operasional sebesar Rp 3.297.827.080,-.
Dari seluruh komponen biaya operasional, biaya terbesar adalah untuk
pembelian bahan baku ikan yang akan dipindang, yakni sebesar Rp
2.709.000.000 selama 1 tahun produksi, dengan harga 1 Kg ikan sebesar Rp
9.000/kg. Untuk menghasilkan 1.000 kg ikan yang dipindang diperlukan 1
ton ikan yang dipindang dan asumsi hari kerja sebanyak 300 hari selama
setahun.
Modal kerja awal yang dibutuhkan untuk usaha pemindangan ikan sebesar
Rp 335.801.915,-. Modal kerja awal ini merupakan kebutuhan dana yang
diperlukan untuk membiayai produksi awal yang dihitung berdasarkan siklus
produksi pemindangan ikan, yakni 30 hari. Dari total modal kerja awal yang
dibutuhkan yakni Rp 335.801.915,- sebanyak 45% (Rp 150.000.000)
merupakan kredit dari bank, sedangkan sisanya sebesar Rp 185.801.915,-
merupakan dana pengusaha.
Dari survey lapangan diperoleh informasi bahwa jangka waktu kredit modal
kerja yang disalurkan untuk pembiayaan usaha pemindangan ikan ini adalah
1 tahun, tingkat bunga sebesar 20% per tahun dengan sistem perhitungan
bunga efektif menurun. Perhitungan pengembalian pinjaman kredit investasi
dan kredit modal kerja ditunjukkan pada Tabel 5.5 dan Tabel 5.6 Untuk
melaksanakan kegiatan operasional usaha Pemindangan Ikan ini, pengusaha
meminjam kredit investasi sebesar Rp 10.000.000,- dan kredit modal kerja
sebesar Rp 150.000.000 dari bank dengan jangka waktu kredit selama 1
tahun.
Angsuran
Bulan Bunga Jumlah Saldo Akhir
Pokok
10.000.000
Bulan 1 833.333 166.667 1.000.000 9.166.667
Bulan 2 833.333 152.778 986.111 8.333.333
Bulan 3 833.333 138.889 972.222 7.500.000
Bulan 4 833.333 125.000 958.333 6.666.667
Bulan 5 833.333 111.111 944.444 5.833.333
Bulan 6 833.333 97.222 930.556 5.000.000
Bulan 7 833.333 83.333 916.667 4.166.667
Bulan 8 833.333 69.444 902.778 3.333.333
Bulan 9 833.333 55.556 888.889 2.500.000
Bulan 10 833.333 41.667 875.000 1.666.667
Bulan 11 833.333 27.778 861.111 833.333
Bulan 12 833.333 13.889 847.222 0
Tahun 1 10.000.000 1.083.333 11.083.333
Sumber : Data Primer, diolah
Angsuran
Bulan Bunga Jumlah Saldo Akhir
Pokok
150.000.000
Bulan 1 12.500.000 2.093.750 14.593.750 137.500.000
Bulan 2 12.500.000 1.919.271 14.419.271 125.000.000
Bulan 3 12.500.000 1.744.792 14.244.792 112.500.000
Bulan 4 12.500.000 1.570.313 14.070.313 100.000.000
Bulan 5 12.500.000 1.395.833 13.895.833 87.500.000
Bulan 6 12.500.000 1.221.354 13.721.354 75.000.000
Bulan 7 12.500.000 1.046.875 13.546.875 62.500.000
Bulan 8 12.500.000 872.396 13.372.396 50.000.000
Bulan 9 12.500.000 697.917 13.197.917 37.500.000
Bulan 10 12.500.000 523.438 13.023.438 25.000.000
Bulan 11 12.500.000 348.958 12.848.958 12.500.000
Bulan 12 12.500.000 174.479 12.674.479 0
Tahun 1 150.000.000 13.609.375 163.609.375
Sumber : Data Primer, diolah
Output dari usaha pengolahan ikan dengan pemindangan ikan adalah ikan
pindang. Ikan pindang yang diproduksi setiap tahun dengan asumsi
sebanyak 300 hari kerja adalah 300.000 Kg dengan harga jual Rp 12.250,-
/kg sehingga menghasilkan aliran pendapatan sebesar Rp 3.675.000.000,-
per tahun seperti disajikan pada Tabel 5.7.
Hasil Produksi
Tahun Jumlah
Kg Harga (Rp)
Pendapatan (Rp)
1 300.000 12.250 3.675.000.000
2 300.000 12.250 3.675.000.000
3 300.000 12.250 3.675.000.000
4 300.000 12.250 3.675.000.000
5 300.000 12.250 3.675.000.000
Jumlah 1.500.000 18.375.000.000
Sumber : Data Primer, diolah
Hasil proyeksi rugi laba menunjukkan bahwa pada tahun pertama, usaha
pemindangan ikan mampu menghasilkan keuntungan sebesar Rp
242,399,877,- dengan profit margin sebesar 6,60%. Pada tahun
selanjutnya besarnya keuntungan dan profit margin lebih tinggi sejalan
dengan lunasnya kredit yang harus dibayar.
Proyeksi Laba Rugi Usaha Pemindangan Ikan jika dilihat berdasarkan musim
ikan setiap bulannya dapat dibagi menjadi 3 musim yaitu musim sepi
(paceklik) yang terjadi pada bulan Desember hingga Maret, musim normal
terjadi pada bulan April hingga Agustus dan musim ramai yang terjadi pada
bulan September hingga November.
Musim paceklik ikan ditandai dengan jumlah ikan yang tersedia tidak
sebanding dengan permintaan. Kendatipun harga ikan bisa naik hingga
mencapai Rp. 10.000,- per kg, tetapi harga jual pindang juga naik hingga
dapat mencapai harga Rp 13.500,- per kg. Pada kondisi paceklik ikan
pengusaha dapat menikmati profit margin sebesar 7,80% dengan BEP
penjualan per bulan mencapai Rp 78.311.487,- dan BEP produksi per bulan
mencapai 5.801 Kg. Pada Tabel 5.10 dijelaskan secara lebih detil Laba Rugi
Usaha pada kondisi sepi ikan.
Sepi
No Uraian
Januari Februari Maret
Pada musin normal jumlah ikan yang tersedia untuk diolah relatif stabil.
Dengan demikian maka harga jual pindang juga relatif stabil dengan harga
Rp 12.250 per kg. Pada kondisi inil, profit margin yang bisa dinikmati oleh
pengusaha sebesar 6,86%, dengan BEP penjualan per bulan mencapai Rp.
84.011.903,- dan BEP produksi per bulan mencapai 6.858 Kg. Pada Tabel
5.10 dijelaskan secara lebih detil Laba Rugi Usaha per bulan pada Kondisi
musim ikan normal.
Normal
No Uraian
April Mei Juni Juli
Ramai
No Uraian
Agustus September Oktober November
1 Pendapatan 275,000,000 275,000,000 275,000,000 275,000,000
2 Pengeluaran
a. Biaya Operasional 242,420,945 242,420,945 242,420,945 242,420,945
b. Penyusutan 164,583 164,583 164,583 164,583
c. Bunga bank 1,444,444 1,444,444 1,444,444 1,444,444
Jumlah 244,029,973 244,029,973 244,029,973 244,029,973
Laba sebelum
pajak 30,970,027 30,970,027 30,970,027 30,970,027
- Pajak 15% 4,645,504 4,645,504 4,645,504 4,645,504
Proyeksi Rugi Laba Pemindangan Ikan secara bulanan ini dikaitkan dengan
kemampuan angsuran pinjaman sebagaimana Tabel 5.5 dan Tabel 5.6, dapat
dikatakan bahwa dalam situasi yang tidak normal (sepi maupun ramai)
usaha pemindangan ikan masih dapat memenuhi kewajiban keuangan
kepada pihak perbankan.
Di bawah ini ditunjukkan proyeksi biaya dan pendapatan yang akan diperoleh
dari usaha pemindangan ikan. Biaya pada tahun ke-0 sebesar Rp
30.875.000,- dan pendapatan sebesar 0 karena pada tahap ini produksi
belum dilaksanakan. Pada tahun ke-1 dan 2, besarnya pendapatan setiap
tahun sebesar Rp 3.675.000.000,-, pengeluaran setiap tahun sebesar Rp
3.370.544.150,- dan surplus sebesar Rp 304.455.850,-.
g. Analisis Sensitivitas
1. Penurunan Pendapatan:
Berdasarkan analisis pada arus kas dengan menggunakan asumsi dasar yang
telah ditetapkan kemudian dilakukan simulasi penurunan pendapatan,
meskipun pendapatan turun hingga sebesar 3% namun usaha ini masih
layak dan menguntungkan untuk dilanjutkan karena nilai IRR lebih besar dari
suku bunga kredit yang berlaku, yaitu sebesar 25.79%, nilai NPV positif
sebesar Rp 47,745,487,- dan Net B/C Ratio yang lebih dari 1, yaitu sebesar
1.13. Sementara apabila terjadi penurunan pendapatan sebesar 4%, maka
akan menyebabkan usaha Pemindangan ikan ini menjadi tidak layak
dilaksanakan. Hasil perhitungan menunjukkan NPV negatif yaitu sebesar Rp
(62,159,509), IRR kurang dari suku bunga kredit yaitu 12,04 % dan Net
B/C Ratio kurang dari1, yaitu sebesar 0,83. Dengan demikian usaha
pemindangan ikan sangat sensitif terhadap penurunan pendapatan hingga
4%. Hasil analisis sensitivitas seperti dirangkum pada Tabel 5.14.
Kriteria
No
Kelayakan Turun 4% Turun 5%
1 NPV Rp 47,745,487 Rp (62,159,509)
2 IRR 25.79% 12.04%
0.83
3 Net B/C ratio 1.13
Layak Tidak layak
Penilaian
dilaksanakan dilaksanakan
Sumber : Data Primer, diolah
Pada tahap ini, dilakukan simulasi pada komponen biaya. Walaupun biaya
operasional mengalami kenaikan sebesar 3%, usaha ini masih layak dan
menguntungkan untuk dilanjutkan karena diperoleh IRR sebesar 25,79%
lebih besar dari suku bunga yang diharapkan (Suku bunga kredit 20%), Net
B/C Ratio lebih dari 1 yaitu 1,13 dan NPV lebih besar dari 0 (positif) yaitu
sebesar Rp 47,745,487,-. Namun jika kenaikan biaya operasional sampai
4%, usaha pemindangan ikan menjadi tidak layak, karena NPV negatif yaitu
sebesar Rp (25,758,810 ), IRRkurang dari suku bunga kredit yaitu 16.77,
dan Net B/C Ratio kurang dari 1, yaitu sebesar 0.93. Dengan demikian
usaha pemindangan ikan sangat sensitif terhadap kenaikan biaya operasional
hingga 4%. Hasil analisis sensitivitas seperti dirangkum pada Tabel 5.15.
Tabel 5.15.
Analisis Sensitivitas: Biaya Operasional Naik
Tabel 5.16.
Analisis Sensitivitas : Perubahan Pendapatan dan Biaya
2. Manfaat Sosial
b. Dampak Lingkungan
b. Saran
2. Dari sisi perbankan, usaha pemindangan ikan ini layak untuk dibiayai,
namun perbankan dalam menyalurkan kredit investasi dan modal
kerja perlu lebih memperhatikan aspek dan kemampuan pengusaha
dalam mempertahankan kontinuitas produksi.