Anda di halaman 1dari 48

7

Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Serial Hadist Nikah 6: Hak & Kewajiban Suami Istri

Penulis : Firman Arifandi

52 hlm

Judul Buku

Serial Hadist Nikah 6: Hak Kewajiban Suami


Istri
Penulis

Firman Arifandi
Editor

Chozan
Setting & Lay out

Fayyad
Desain Cover

Faqih

Penerbit

Rumah Fiqih Publishing

Jalan Karet Pedurenan no. 53 Kuningan

Setiabudi Jakarta Selatan 12940


Cetakan Pertama

Januari 2020
Contents
Kata Pengantar........................................................................... 7
A. Hadist Terkait Kewajiban Suami Istri ............................... 12
1. Penjelasan Hadist ......................................................... 16
B. Hak dan Kewajiban Kedua Belah Pihak ............................ 17
1. Hak Istimta’ .................................................................. 17
a. Larangan Dalam Istimta’ .......................................... 20
Hubungan Ketika Haid ..................................................... 20
Menjima pada dubur ....................................................... 21
Membiarkan Istri dari Istimta’ Berbulan-Bulan ............... 23
2. Hak Berhias .................................................................. 24
a. Batasan Berhias........................................................ 25
3. Hak Saling Mewarisi ..................................................... 25
4. Hak Dipergauli dengan Baik ......................................... 26
C. Hak Istri dan Kewajiban Suami......................................... 26
1. Mahar........................................................................... 27
2. Nafkah .......................................................................... 27
a. Jenis Nafkah ............................................................. 29
b. Kadar Nafkah............................................................ 30
c. Suami Tidak Memberi Nafkah.................................. 31
3. Dipergauli dengan Baik ................................................ 33
4. Dipenuhi Kebutuhan Biologisnya ................................. 34
5. Diperlakukan Secara Adil Bersama Para Istrinya ......... 36
D. Hak Suami dan Kewajiban Istri......................................... 36
1. Dipergauli dengan Baik ................................................ 37
2. Ditaati oleh Istri ........................................................... 37
a. Ketika Istri Nusyuz.................................................... 38
b. Hukuman Nusyuz Dilakukan Bertahap .................... 39
c. Batasan Dibolehkannya Memukul Istri .................... 41
3. Tinggal Bersama Satu Rumah ...................................... 42
4. Istri Wajib Izin Suami.................................................... 43
5. Menjaga Harta Suami .................................................. 44
E. Kompilasi Hukum Islam Terkait Hak dan Kewajiban Suami
Istri 44
Penutup.................................................................................... 48
Kata Pengantar

Bismillahirrahmanirrahim.

Para pembaca yang budiman, pernikahan yang telah


terjalin dengan akad yang sah akan menjadi sebuah
pernikahan yang agung dan bernilai mulia di hadapan
Allah bila masing-masing pihak dari suami maupun istri
menjalankan kewajiban dan mendapatkan haknya
masing-masing.

Kewajiban adalah segala hal yang harus dilakukan


oleh setiap pihak, sementara hak adalah segala yang
harus diterima oleh masing-masing pihak suami dan istri.
Keterikatan kewajiban dan hak ini adalah bagian dari
komitmen pernikahan yang merupakan amanah dari
Syariat untuk dijalankan dengan maksimal, dan semuanya
telah diatur serta diberikan petunjuknya untuk kemudian
kita ikuti.

Aturan syariat terkait hak dan kewajiban ini tak lain


adalah demi tercapainya mahligai keluarga yang sakinah
mawaddah dan rahmah. Dalam masalah menunaikan hak
dan kewajiban ini ada hadist dari Rasulullah yang
terkenal, diantaranya:

‫اّللِ َواستَحلَلتُم‬ ِ ‫اّلل ِف النِس ِاء فَِإنَّ ُكم أَخذُتُُوه َّن ِِبَم‬
َّ ‫ان‬ َ ُ َ َ ََّ ‫فَاتَّ ُقوا‬
ِ َِّ ‫فُروجه َّن بِ َكلِم ِة‬
َ ‫اّلل َولَ ُكم َعلَي ِه َّن أَن لَ يُوطئ َن فُ ُر َش ُكم أ‬
‫َح ًدا‬ َ َُ ُ
. ‫وف‬ ِ ‫ وََل َّن علَي ُكم ِرزقُه َّن وكِسوُُتُ َّن ِِبلمعر‬...‫تَكرهونَه‬
َُ َ َ ُ َ ُ َ ُ َُ
Artinya: “Takutlah kepada Allah di dalam perihal istri-
istri, karena sesungguhnya kalian mengambil mereka
dengan keamanan dari Allah dan menghalalkan
kemaluan-kemaluan mereka dengan kalimat Allah, dan
kalian memiliki hak atas mereka yaitu mereka tidak
membiarkan seorangpun yang kalian benci untuk tidur di
ranjang-ranjang kalian,… dan mereka (para istri) memiliki
hak katas kalian, yaitu kalian memberikan harta dan
pakaian kepada mereka dengan hal yang baik.” (HR.
Muslim)

Kemudian Firman Allah SWT dalam Surat an Nisaa:


19:

ِ ‫اشروه َّن ِِبلمعر‬


‫وف‬ ِ
ُ َ ُ ُ ‫َو َع‬
“Dan pergaulilah istri-istri mu sekalian dengan baik”.

Lalu dalam Surat al Baqarah: 228 yang berbunyi:

َّ ‫وف َولِ ِلر َج ِال َعلَي ِه َّن َد َر َجة َو‬


ُ‫اّلل‬
ِ ‫وََل َّن ِمثل الَّ ِذي علَي ِه َّن ِِبلمعر‬
َُ َ ُ َُ
‫َع ِزيز َح ِكيم‬
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan
tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan
daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.”

Begitu pula bagi istri-istri mereka, wajib mempergauli


suami mereka dengan baik. Bahkan setiap istri sangat
‫‪dianjurkan menjaga rumah dan melayani suaminya. Dalam‬‬
‫‪hadist Asma’ binti Abu Bakar dikatakan:‬‬

‫عن أمساء بنت أيب بكر رضي هللا عنهما قالت‪:‬‬

‫تزوجين الزبري‪ ،‬وما له يف األرض من مال ول مملوك‪ ،‬ول‬


‫شي غري انضح وغري فرسه‪ ،‬فكنت أعلف فرسه وأستقي املاء‪،‬‬
‫وأخرز غربه وأعجن‪ ،‬ومل أكن أحسن أخبز‪ ،‬وكان خيبز جارات‬
‫يل من األنصار‪ ،‬وكن نسوة صدق‪ ،‬وكنت أنقل النوى من أرض‬
‫الزبري اليت أقطعه رسول هللا صلى هللا عليه وسلم على رأسي‪،‬‬
‫وهي مين على ثلثي فرسخ‪ ،‬فجئت يوما والنوى على رأسي‪،‬‬
‫فلقيت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم ومعه نفر من األنصار‪،‬‬
‫فدعاين مث قال‪( :‬إخ إخ)‪ .‬ليحملين خلفه‪ ،‬قاستحييت أن أسري‬
‫مع الرجال‪ ،‬وذكرت الزبري وغريته وكان أغري الناس‪ ،‬فعرف‬
‫رسول هللا صلى هللا عليه وسلم أين قد استحييت فمضى‪،‬‬
‫فجئت الزبري فقلت‪ :‬لقيين رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
‫وعلى رأسي النوى‪ ،‬ومعه نفر من أصحابه‪ ،‬فأانخ ألركب‪،‬‬
‫فاستحييت منه وعرفت غريتك‪ ،‬فقال‪ :‬وهللا حلملك النوى كان‬
‫ حت أرسل إيل أبو بكر بعد‬:‫ قالت‬،‫أشد علي من ركوبك معه‬
.‫ فكأمنا أعتقين‬،‫ذلك خادم يكفيين سياسة الفرس‬
Telah menceritakan kepada kami Mahmuud : Telah
menceritakan kepada kami Abu Usamah : Telah
menceritakan kepada kami Hisyaam, ia berkata : Telah
mengkhabarkan kepadaku ayahku, dari Asmaa’ binti Abi
Bakr radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : “Aku dinikahi oleh
Az-Zubair yang tidak memiliki harta dan budak kecuali
cucuran keringat dan seekor kuda. Aku bertugas memberi
makan dan minum kudanya, mengambil air, memperbaiki
embernya, dan membuat adonan roti, namun aku tidak
pandai membuat adonan roti. Untungnya aku
mempunyai tetangga-tetangga yang baik yang
membantuku, yaitu wanita-wanita Anshar. Aku juga
bertugas mengangkut biji kurma di atas kepalaku dari
kebun Az-Zubair yang telah diberikan Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang berjarak 2/3 farsakh.
Pada suatu hari, aku bertemu dengan Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam beserta sejumlah orang
Anshaar. Beliau memanggilku seraya berkata : ‘Ikh, ikh”
(menderumkan ontanya) – dengan maksud membawaku
di belakangnya. Namun aku malu berjalan bersama orang
laki-laki dan aku ingat akan kecemburuan Az-Zubair,
karena ia seorang laki-laki pencemburu. Ketika Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengetahui bahwa aku
malu, beliau pun terus berlalu. Aku kemudian menemui
Az-Zubair dan aku katakan kepadanya : “Tadi ketika aku
sedang mengangkut kurma di atas kepalaku, aku bertemu
dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para
shahabatnya, kemudian beliau menderumkan ontanya
agar aku naik bersama beliau, namun aku merasa malu
dan ingat kecemburuanmu”. Az-Zubair berkata : “Demi
Allah, beban pekerjaanmu mengangkut biji kurma di atas
kepalamu lebih berat bagiku daripada engkau naik onta
bersama beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam”. Setelah
itu, Abu Bakr memberiku seorang pembantu yang
menggantikanku mengurus kuda, seakan-akan ia telah
membebaskanku” (HR Bukhari)

Kewajiban dan hak suami dan istri harus berjalan


seimbang karena keduanya mempunyai porsi yang nyaris
setara dalam hal ini sebagaimana dalam Quran dikatakan:

ِ ‫وف و لِ لرِج‬
‫ال َع لَ ي ِه َّن‬ ِ ‫و ََل َّن ِم ث ل ا لَّ ِذ ي ع لَ ي ِه َّن ِِب ل م ع ر‬
َ
َ َ ُ َ ُ ُ َ
‫اّللُ َع زِيز َح ِك يم‬ َّ ‫َد َر َج ة َو‬
dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para
suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada
isterinya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Al
Baqarah : 228).

Syariat secara tegas telah mengatur hal tersebut


namun dalam prakteknya, tak sedikit dari masing-masing
pihak tak mampu dan bahkan tidak mau menjalankan
kewajiban masing-masing sehingga hak pihak lain jadi
terbengkalai. Hal inilah yang kemudian akan menjadi
salah satu bagian dari pembahasan dalam tulisan ini.
Termasuk di dalamnya akan kami sertakan bagaiamana
syariat ini tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai
sebuah implementasi hokum keluarga yang berlaku di
Indonesia.

Selamat Membaca.

A. Hadist Terkait Kewajiban Suami Istri


Ada banyak hadist yang berbicara tentang kewajiban
suami dan istri hingga hak masing-masing pihak bisa
terpenuhi. Di antaranya adalah hadist-hadist berikut:
‫ عوراتنا ما أنيت منها وما نذر؟‬،‫ اي رسول هللا‬: ‫عن معاوية قال‬
)!‫ (احفظ عورتك إل من زوجك أو ما ملكت ميينك‬: ‫قال‬
:‫ اي رسول هللا إذا كان القوم بعضهم يف بعض؟ قال‬،‫ قلت‬:‫قال‬
‫ اي‬،‫ قلت‬:‫(إن استطعت أن ل يرينها أحد فال يرينها!) قال‬
‫ (هللا أحق أن يستحيا‬:‫رسول هللا إذا كان أحدان خياليا؟ قال‬
)‫منه من الناس‬
"Wahai Rasulullah, apa yang harus kami jaga
berkaitan dengan aurat kami?" Rasulullah berkata:
'Jagalah auratmu kecuali terhadap isteri atau budakmu!'
Ia berkata: 'Aku berkata lagi: 'Wahai Rasulullah,
bagaimana kalau di antara kami saja sesama pria?'
Rasulullah berkata: 'Usahakanlah semampu kamu agar
auratmu tidak terlihat oleh siapa pun.' Ia berkata: 'Aku
bertanya: 'Wahai Rasulullah, bagaimana kalau kami
seorang diri?' Rasulullah berkata: 'Kamu lebih patut malu
terhadap Allah daripada malu terhadap manusia.' (HR.
Abu Dawud)

Selanjutnya adalah hadist lain yang berbunyi:

‫اّللِ َواستَحلَلتُم‬ ِ ‫اّلل ِف النِس ِاء فَِإنَّ ُكم أَخذُتُُوه َّن ِِبَم‬
َّ ‫ان‬ َ ُ َ َ ََّ ‫فَاتَّ ُقوا‬
ِ َِّ ‫فُروجه َّن بِ َكلِم ِة‬
َ ‫اّلل َولَ ُكم َعلَي ِه َّن أَن لَ يُوطئ َن فُ ُر َش ُكم أ‬
‫َح ًدا‬ َ َُ ُ
. ‫وف‬ ِ ‫ وََل َّن علَي ُكم ِرزقُه َّن وكِسوُُتُ َّن ِِبلمعر‬...‫تَكرهونَه‬
َُ َ َ ُ َ ُ َ ُ َُ
Artinya: “Takutlah kepada Allah di dalam perihal istri-
istri, karena sesungguhnya kalian mengambil mereka
dengan keamanan dari Allah dan menghalalkan
kemaluan-kemaluan mereka dengan kalimat Allah, dan
kalian memiliki hak atas mereka yaitu mereka tidak
membiarkan seorangpun yang kalian benci untuk tidur di
ranjang-ranjang kalian,… dan mereka (para istri) memiliki
hak katas kalian, yaitu kalian memberikan harta dan
pakaian kepada mereka dengan hal yang baik.” (HR.
Muslim)

Selanjutnya:

ِ ِ ِ
َ‫ت عُت بَة‬ ُ ‫ ( َد َخلَت هن ُد بِن‬:‫َعن َعائ َشةَ َرض َي اَ َّّللُ َعن َها قَالَت‬
. ‫ول اَ َّّللِ صلى هللا عليه وسلم‬ ِ ‫ َعلَى رس‬-‫اِمرأَةُ أَِيب سفيا َن‬-
َُ َُ َ
‫ول اَ َّّللِ! إِ َّن أ ََِب ُسفيَا َن َر ُجل َش ِحيح َل يُع ِط ِيين‬ َ ‫ َاي َر ُس‬:‫فَ َقالَت‬
‫ت ِمن َمالِِه بِغَ ِري‬ ُ ‫َخذ‬َ ‫ إَِّل َما أ‬,‫ين‬
ِ ِ ِ ِ
َّ َِ‫من اَلنَّ َف َقة َما يَكف ِيين َويَكفي ب‬
‫ ُخ ِذي ِمن َمالِِه‬:‫ال‬ َ ‫ك ِمن ُجنَاح? فَ َق‬ ِ َّ َ‫ فَهل ع ِل‬,‫ِعل ِم ِه‬
َ ‫ي ِيف َذل‬ َ َ َ
‫يك ) ُمتَّ َفق َعلَي ِه‬ِ ِ‫ ويك ِفي بن‬,‫يك‬ ِ ِ ِ
َ َ َ ‫ِِبل َمع ُروف َما يَكف‬
'Aisyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Hindun binti
Utbah istri Abu Sufyan masuk menemui Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan berkata: Wahai
Rasulullah, sungguh Abu Sufyan adalah orang yang pelit.
Ia tidak memberiku nafkah yang cukup untukku dan anak-
anakku kecuali aku mengambil dari hartanya tanpa
sepengetahuannya. Apakah yang demikian itu aku
berdosa? Beliau bersabda: "Ambillah dari hartanya yang
cukup untukmu dan anak-anakmu dengan baik."
(Muttafaq Alaihi)
Kemudian

‫ َاي‬:‫ت‬ُ ‫ ( قُل‬:‫ال‬ َ َ‫ َعن أَبِ ِيه ق‬,‫َو َعن َح ِكي ِم ب ِن ُم َعا ِويَةَ اَل ُق َش ِري ِي‬
‫ أَن تُطعِ َم َها إِذَا‬:‫ال‬ َ َ‫َح ِد َان َعلَي ِه? ق‬ ِ ِ َ ‫رس‬
َ ‫ول اَ َّّلل! َما َح ُّق َزو َجة أ‬ َُ
‫ َوَل تُ َقبِح‬,َ‫ َوَل تَض ِر ِب اَل َوجه‬,‫ت‬ ِ ِ
َ ‫ َوتَك ُس َوَها إِ َذا اكتَ َسي‬,‫ت‬ َ ‫طَعم‬
Hakim Ibnu Muawiyah al-Qusyairy, dari ayahnya,
berkata: Aku bertanya: Wahai Rasulullah, apakah hak istri
salah seorang di antara kami? Beliau menjawab: "Engkau
memberinya makan jika engkau makan dan engkau
memberinya pakaian jika engkau berpakaian." (HR. Abu
Daud)

‫َّب صلى هللا‬ ِ ِ‫ ( َجاءَ َر ُجل إِ ََل اَلن‬:‫ال‬ َ َ‫َو َعن أَِيب ُهَري َرةَ رضي هللا عنه ق‬
ِ َ َ‫ّلل! عِن ِدي ِدينار? ق‬ َِّ َ‫ول ا‬
‫ك‬َ ‫ أَنفقهُ َعلَى نَف ِس‬:‫ال‬ َ َ ‫ َاي َر ُس‬:‫ال‬ َ ‫عليه وسلم فَ َق‬
:‫ال‬َ َ‫آخ ُر? ق‬ ِ ِ َ َ‫ أَن ِفقه علَى ولَ ِد َك ق‬:‫ال‬ ِ ِ َ َ‫ق‬
َ ‫ عندي‬:‫ال‬ َ َ ُ َ َ‫آخ ُر? ق‬َ ‫ عندي‬:‫ال‬
ِ ِ َ َ‫ ق‬,‫ عِن ِدي آخر‬:‫ال‬ ِ ِ
‫ال‬
َ َ‫ك ق‬ َ ‫ أَنف ُقهُ َعلَى َخاد ِم‬:‫ال‬ َُ َ َ‫ك ق‬ َ ‫أَنفقهُ َعلَى أَهل‬
,‫ َوأَبُو َد ُاوَد‬,ُ‫ظ لَه‬ ُ ‫لشافِعِ ُّي َواللَّف‬َّ َ‫ت أَعلَ َم ) أَخَر َجهُ ا‬ َ ‫ أَن‬:‫ال‬َ َ‫ ق‬,‫آخ ُر‬
َ ‫عندي‬
ِِ

‫َّسائِ ُّي َواحلَاكِ ُم بِتَق ِد ِمي اَ َّلزو َج ِة َعلَى اَل َولَ ِد‬
َ ‫َوأَخَر َجهُ الن‬
Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu berkata: Ada seseorang
datang kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan
berkata: Wahai Rasulullah, aku mempunyai satu dinar?.
Beliau bersabda: "Nafkahilah dirimu sendiri." Ia berkata:
Aku mempunyai satu dinar lagi. Beliau bersabda: "Nafkahi
anakmu." Ia berkata: Aku mempunyai satu dinar lagi.
Beliau bersabda: "Nafkahi istrimu." Ia berkata: Aku
mempunyai satu dinar lagi. Beliau bersabda: "Nafkahi
pembantumu." Ia berkata lagi: Aku mempunyai satu dinar
lagi. Beliau bersabda: "Engkau lebih tahu (siapa yang
harus diberi nafkah)." (HR Abu Daud)

Kemudian hadist berikut:

‫اان أَح َسنُ ُهم ُخلُقاً َو ِخيَا ُرُكم ِخيَ ُارُكم لِنِ َسائِ ِهم‬
ً َ‫ْي إِمي‬ِِ
َ ‫أَك َم ُل ال ُمؤمن‬
‫خلقا‬

“Kaum Mukminin yang paling sempurna imannya adalah


yang paling baik akhlaknya di antara mereka, dan yang
paling baik di antara kalian adalah yang paling baik
kepada isteri-isterinya.” (HR Tirmidzi)

1. Penjelasan Hadist
2. Nafkah untuk istri meliputi semua kebutuhannya
mulai dari makanan, rumah, obat-obatan hingga
menyediakan pelayan untuknya bila diperlukan1.
3. Seorang istri boleh mengambil hak nafkah
finansialnya tanpa sepengetahuan suami jika sang
suami tidak memberikannya nafkah sesuai
kebutuhannya2.
4. Suami dan istri berhak mendapatkan perlakuan
dengan akhlaq yang baik.
5. Suami boleh menikmati istrinya dengan bahkan
melihat seluruh tubuhnya, begitupula istri
terhadap suaminya3.
6. Suami wajib berbuat adil terhadap semua istrinya.

1
Lihat : Al Bahrur Raiq 4/188
2
Bidayatul mujtahid hal 241, Fathul bari : 9/299
3
Mughnil Muhtaj 3/181
B. Hak dan Kewajiban Kedua Belah
Pihak
Dalam Islam terdapat aturan dimana kedua belah
pihak mendapatkan hak yang serupa, diantaranya
adalah hak istimta’, berhias, saling mewarisi, dan hak
untuk mengklaim anak sebagai nasabnya.

1. Hak Istimta’

Maksud dari hak istimta’ adalah hak untuk bermesraan


demi memuaskan syahwat. Hak ini sama-sama dimiliki
oleh kedua belah pihak baik suami ataupun istri.
Bermesraan sebenarnya adalah salah satu dari tujuan
pasangan kita dihalalkan, akad nikah membuat batasan
interaksi antara dua orang yang bukan mahrom menjadi
terbuka, tanpa sekat dan bebas akses. Yang menjadi
pembeda antara hak istimta’ suami dan istri adalah suami
dapat bermesraan dengan istrinya yang lain, sementara
istri hanya boleh bermesraan dengan suaminya saja. Ia
tidak diperbolehkan bermesraan dengan selain
suaminya4.

Termasuk di antara hak istimta’ itu adalah kebolehan


melakukan jima’ atau hubungan intim. Apabila seorang
suami menelantarkan seorang istri lalu hanya
bermesaraan dengan istrinya yang lain, dalam hal ini dia
sudah tidak adil dan berdosa.

Al bahuti dalam kasyaful Qina’ berkata: Nikah merupakan


syariat untuk kemaslahatan suami dan istri serta untuk
menolak bahaya dari keduanya. Jima’ merupakan salah
satu jalan untuk melampiaskan syahwat seorang istri
secara halal sebagaimana ia juga ada untuk menjadi
pemuas syahwat seorang suaminya. Sehingga dengan itu
maka jima’ merupakan hak bagi keduanya yang harus
dipenuhi oleh masing-masing pasangan. Bahkan jika
suami kena lemah syahwat diwajibkan baginya untuk
berobat untuk memenuhi kewajibannya di atas ranjang5.

Memandang dan meraba bagian tubuh pasangan juga


masuk bagian dari istimta’ ini. Hal ini boleh karena
logikanya, berjima’ saja boleh dan halal apalagi sesuatu
yang tingkatannya berada di bawah jima’. Dengan kata
lain, apapun sarana yang membuat jima’ itu bisa bangkit
maka boleh saja dilakukan selama tidak bertantangan
dengan syariat. Di antara contohnya, Rasulullah mandi

4
Lihat :Syekh Abdul Karim Zaydan. Al Mufashal fii ahkamil mar’ah.
3/145
5
Kasyaful Qina’ 3/114
bersama Aisyah, dan riwayat ini sangatlah mashur bagi
umat Islam6.

Memandang bagian tubuh pasangan secara keseluruhan


juga diperbolehkan dalam Islam, tapi ingat, ini hanya
berlaku bagi suami dan istri yang sah. Rasulullah SAW
bersabda :

‫احفظ عورتك إل من زوجك أو ما ملكت ميينك‬


Jagalah auratmu kecuali dari pandangan istrimu atau
hamba sahayamu (HR. Abu Daud)

Hadist ini menunjukan bahwa seorang suami


boleh melihat seluruh tubuh istrinya, begitupula istri
kepada suaminya. Bahkan termasuk kebolehan melihat
kemaluan masing-masing, hal ini karena dengan melihat
kemaluan termasuk dalam rangka melampiaskan syahwat
7.

Biasanya pendapat kebolehan melihat kemaluan


pasangan ini ditepis dengan hadist dimana Aisyah
mengatakan tidak pernah melihat aurat Rasulullah SAW,
padahal hadist tersebut dianggap dhaif oleh sebagian
besar ulama. Jadi barangkali bisa diambil kesimpulan
bahwa hubungan badan dengan menutup badan hanya
sekedar anjuran saja bukan wajib8.

6
HR Muslim
7
Lihat : Mughnil Muhtaj 3/181
8
Faidhul Qadir 1/238
a. Larangan Dalam Istimta’

Hubungan Ketika Haid

Hal ini sangat dilarang dalam agama dan dianggap


tercela. Dalam Al Quran sendiri telah ditegaskan :

‫يض قُل ُه َو أَذًى فَاعتَ ِزلُوا النِ َساءَ ِيف‬ ِ ‫ك َع ِن ال َم ِح‬ َ َ‫َويَسأَلُون‬
‫وه َّن ِمن‬
ُ ُ‫وه َّن َح َّ ىت يَط ُهر َن فَِإ َذا تَطَ َّهر َن فَأت‬ ُ ُ‫يض َوَل تَقَرب‬ ِ ‫ال َم ِح‬
‫ين‬ ِ
َ ‫ب ال ُمتَطَه ِر‬ُّ ‫ْي َوُُِي‬ ُّ ‫اّللَ ُُِي‬
َ ِ‫ب الت ََّّواب‬ َّ ‫اّللُ إِ َّن‬
َّ ‫ث أ ََمَرُك ُم‬
ُ ‫َحي‬
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah:
“Haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu
hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu
haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum
mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah
mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah
kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang
mensucikan diri. (Al Baqarah 222)

Ketika Yahudi dan Majusi membiasakan menjauhi


wanita yang haid, kemudian orang-orang Nasrani justru
menjima’ wanita yang sedang haid, Islam justru
mengambil jalan tengah dengan tetap membolehkan
suami bermesraan dengan istrinya yang sedang haid
namun tidak boleh menjima’nya9. Para ulama
membolehkan hal tersebut sepanjang keduanya

9
Al Jami’ li ahkamil Quran
mengenakan kain sarung atau tidak melakukan jima’10.
Adapun dalil yang mereka pakai adalah hadist Aisyah:

‫كان إحداان إذا كانت حائضا أمرها النب صلى هللا عليه وسلم‬
‫أن أتتزر مث يباشرها‬
Apabila salah seorang dari kami sedang haid maka
Rasulullah SAW menyuruhnya untuk memakai kain
sarung kemudian beliau menyetubuhinya (HR Muslim)

Dalam hadist yang lain, nabi SAW juga bersabda :

‫اصنعوا كل شيء إل النكاح‬


Lakukanlah apapun dengan istri kalian yang haid kecuali
nikah (jima’) . (HR Muslim)

Berangkat dari korelasi antara hadist dan ayat


Quran sebelumnya, jika suami sekedar mengajak
bermesraan maka istri tidak boleh menolak, namun jika
sampai kepada hubungan jima’ maka istri berhak untuk
menolaknya.

Menjima pada dubur


Ini juga jenis pekerjaan yang tidak diindahkan
dalam syariat kita. Berdasarkan Firman Allah SWT dalam
Al baqarah 223:

10
Bidayatul Mujtahid 1/131
‫َو قَ دِ ُم وا‬ ‫ََّنى ِش ئ تُ م‬
َّ ‫نِ َس ا ُؤ ُك م َح رث لَ ُك م فَ أ تُوا َح رثَ ُك م أ‬
‫َو بَ ِش ِر‬ َّ ‫ِألَن ُف ِس ُك م َواتَّ ُق وا‬
ُ‫اّللَ َواع لَ ُم وا أَنَّ ُك م ُم َال قُوه‬
‫ْي‬ ِِ
َ ‫ال ُم ؤ م ن‬
Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu

bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat

bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.

Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan

bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu

kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira

orang-orang yang beriman. (AL Baqarah 223)

Sebab turunnya ayat ini adalah dari riwayat Jabir

bin Abdillah bahwa orang Yahudi berkata: Apabila

seseorang menyetubuhi istrinya pada kemaluannya tapi

dari belakang maka anaknya akan juling, maka turunlah

ayat tersebut menepis pendapat mereka. Karena kalimat

(‫ )أنى‬dapat bermakna kapan saja atau dari arah mana saja.

Maka menurut para ulama ayat tersebut membolehkan

suami mendatangi istri dengan gaya apapun selain pada

duburnya.

Diriwayatkan dari Ibnu Abas RA bahwa Rasulullah

SAW bersabda:
‫ل ينظر هللا إَل رجل جامع امرأة يف دبرها‬
Allah tidak melihat kepada seorang lelaki yang
menyetubuhi istrinya pada duburnya (HR Al Baihaqi)

Kemudian dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW


bersabda :

‫من أتى حائضا أو امرأة يف دبرها أو كاهنا فصدقه مبا يقول فقد‬
‫كفر مبا أنزل على حممد‬
Barangsiapa menjima istrinya saat haid atau menjimanya
pada duburnya atau ia mendatangi dukun dan
membenarkan ucapannya maka sungguh ia telah kafir
kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad (HR
Timridzi & Ibnu Majah)

Maka dalam urusan jima ini yang dihalalkan


adalah pada bagian kemaluan saja sedangkan dubur
diharamkan. Karena pada prinsipnya bagian dubur
bukanlah harts (tempat yang cocok untuk bercocok
tanam atau menghasilkan keturunan).

Menjaga kelangsungan generasi (hifzu nasl)


sangat dianjurkan dalam Islam bahkan menjadi satu dari
tujuan penting berdirinya syariat. Maka untuk
menjadikan istimta’ ini sesuai syariat, aturan mainnya
juga harus kita patuhi.

Membiarkan Istri dari Istimta’ Berbulan-Bulan


Di antara sebuah kesalahan yang fatal adalah
pergi meninggalkan istri beberapa bulan hingga bertahun
tahun sehingga nafkah lahir dan batin sama sekali tak
terpenuhi selama itu. Itulah kenapa dalam shigat ta’liq
yang tertera dalam buku nikah KUA menyebutkan bila
suami meninggalkan istri tidak dinafkahi hingga 3 bulan
lamanya maka sang istri berhak mengajukan gugatan ke
pengadilan agama. Karena wanita tidak bisa ditinggal
sekian lama tanpa nafkah biologis.

Bahkan sayyidina Umar bin Al Khattab pernah


menetapkan masa paling lama orang keluar berjihad
adalah empat bulan. Beliau menetapkan masa tersebut
setelah meminta pendapat kepada puterinya mengenai
lamanya wanita dapat bersabar ditinggalkan suaminya.

Para suami juga hendaknya harus mengerti,


bahwa wanita tidak mungkin mengungkapkan nafsunya
yang meledak-ledak di hadapan suaminya. Hal tersebut
kadang yang menjadikan kejiwaan para wanita tidak
stabil, maka durasi meninggalkan istri juga harus
diperhatikan jangan sampai demi kerja ke luar negeri, hak
finansial terpenuhi tapi hak istimta’ terbengkalai.

2. Hak Berhias
Berhias dalam hal ini adalah berpenampilan baik di
hadapan pasangan, dan ini adalah hak yang berlaku bagi
keduanya. Ibnu Abbas RA berkata bahwa dirinya juga
senang berhias untuk menyenangkan istrinya. Berhias
dalam hal ini adalah seperti menggunakan kosmetik
untuk wajah, memakai parfum, pakaian yang indah, dan
perhiasan seperti kalung, anting dan gelang bagi wanita.
a. Batasan Berhias
Sebagaimana disebutkan tadi bahwa istri dan suami
berhak memakai kosmetik, parfum, atau berhias dari
pakaiannya. Tapi bagi keduanya ada batasannya yaitu
agar perhiasan yang dipakai tidak lantas
membahayakannya.

Kemudian jangan sampai demi berhias justru


mengubah ciptaan Allah dari badanya seperti operasi
plastik padahal tidak terjadi kecelakaan atau tidak ada
kondisi yang mengharuskannya melakukan hal tersebut.
Menambahkan tato di badan dalam rangka memperindah
diri juga tidak diperbolehkan dalam syariat kita.

Kebiasaan wanita zaman sekarang adalah mencukur


alisnya kemudian menggantinya dengan pensil alis atau
ditanam. Dominan para ulama mengharamkan hal ini
sebagaimana juga tertera dalam redaksi hadist Rasulullah
SAW :

‫لعن هللا النامصة واملتنمصة‬


“Allah melaknat wanita yang mencabut rambut alisnya
dan wanita yang minta dicabutkan rambut alisnya (HR
Bukhari & Muslim)

3. Hak Saling Mewarisi


Apabila suami meninggal maka istri memiliki hak
waris atasnya begitu pula sebaliknya. Hal ini selain tertera
dalam Quran juga telah menjadi ijma dari para ulama.
4. Hak Dipergauli dengan Baik
Tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini,
kadang sebelum menikah seorang lelaki atau wanita
selalu saja memasang ekspektasi yang tinggi dari calon
pasangannya. Kemudian setelah pernikahan terjalin
dalam jangka waktu lama, ekpektasi tersebut ambyar
lantaran ternyata yang banyak terlihat justru kekurangan
masing-masing. Maka di sinilah masing-masing pasangan
dituntut untuk bersabar menerima dan berupaya untuk
saling melengkapi apa yang kurang.

Seorang suami harus bnar-benar bersabar dalam


berinteraksi dengan istrinya, karena seburuk-buruknya
manusia pasti ada celah kebaikannya. Begitupula sang
istri pada suami, jika hidup berlandaskan kepada saling
ridho, maka akan terbina rumah tangga yang harmonis.
Allah SWT berfirman:

‫وعاشروهن ِبملعروف‬
“dan pergaulilah mereka (istri) secara patut” (An Nisa
19)

Keduanya dituntut oleh Islam untuk berusaha


menghadirkan komunikasi yang baik, penuh akhlaq dan
kebaikan.

C. Hak Istri dan Kewajiban Suami


Pada umumnya hak-hak seorang istri yang wajib
dipenuhi oleh suaminya terdiri dari dua macam yakni,
yang bersifat materi dan non-materi. Berikut
penjabarannya secara detail:
1. Mahar
Mahar sebagaimana kita bahas dalam serial hadist
nikah sebelumnya adalah merupakan hak istri yang wajib
dibayarkan oleh suami.

‫ص ُدقَاُتِِ َّن ِِنلَة‬ ِ


َ َ‫َوآتُوا الن َساء‬
Berikanlah maskawin itu kepada wanita yang kau
nikahi dengan penuh kerelaan (An Nisa 4)

Selanjutnya penjelasan detail tentang mahar bisa


dibuka pada serial hadist nikah keempat dengan tema
mahar.

2. Nafkah
Istri berhak mendapatkan nafkah dari suaminya
bahkan nafkah terhadap istri lebih diutamakan daripada
anak. Nafkah terhadap istri ini bisa meliputi makan dan
minum, rumah dan perlengkapannya, obat, serta pelayan
atau pembantu. Adapun dalil dari Quran adalah firman
Allah SWT:

         

            

    

hendaklah orang yang mampu memberi nafkah


menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan
rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang
diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban
kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah
berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan
kelapangan sesudah kesempitan. (At Thalaq: 7)

juga dalam hadist disebutkan:

‫اّللِ َواستَحلَلتُم‬ ِ ‫اّلل ِف النِس ِاء فَِإنَّ ُكم أَخذُتُُوه َّن ِِبَم‬
َّ ‫ان‬ َ ُ َ َ ََّ ‫فَاتَّ ُقوا‬
ِ َِّ ‫فُروجه َّن بِ َكلِم ِة‬
َ ‫اّلل َولَ ُكم َعلَي ِه َّن أَن لَ يُوطئ َن فُ ُر َش ُكم أ‬
‫َح ًدا‬ َ َُ ُ
. ‫وف‬ ِ ‫ وََل َّن علَي ُكم ِرزقُه َّن وكِسوُُتُ َّن ِِبلمعر‬...‫تَكرهونَه‬
َُ َ َ ُ َ ُ َ ُ َُ
Artinya: “Takutlah kepada Allah di dalam perihal istri-
istri, karena sesungguhnya kalian mengambil mereka
dengan keamanan dari Allah dan menghalalkan
kemaluan-kemaluan mereka dengan kalimat Allah, dan
kalian memiliki hak atas mereka yaitu mereka tidak
membiarkan seorangpun yang kalian benci untuk tidur di
ranjang-ranjang kalian,… dan mereka (para istri) memiliki
hak katas kalian, yaitu kalian memberikan harta dan
pakaian kepada mereka dengan hal yang baik.” (HR.
Muslim)

‫ َاي‬:‫ت‬ ُ ‫ ( قُل‬:‫ال‬ َ َ‫ َعن أَبِ ِيه ق‬,‫َو َعن َح ِكي ِم ب ِن ُم َعا ِويَةَ اَل ُق َش ِري ِي‬
‫ أَن تُطعِ َم َها إِ َذا‬:‫ال‬ َ َ‫َح ِد َان َعلَي ِه? ق‬ ِ ِ َ ‫رس‬
َ ‫ول اَ َّّلل! َما َح ُّق َزو َجة أ‬ َُ
‫ َوَل تُ َقبِح‬,َ‫ َوَل تَض ِر ِب اَل َوجه‬,‫ت‬ ِ ِ
َ ‫ َوتَك ُس َوَها إِ َذا اكتَ َسي‬,‫ت‬ َ ‫طَعم‬
Hakim Ibnu Muawiyah al-Qusyairy, dari ayahnya,
berkata: Aku bertanya: Wahai Rasulullah, apakah hak istri
salah seorang di antara kami? Beliau menjawab: "Engkau
memberinya makan jika engkau makan dan engkau
memberinya pakaian jika engkau berpakaian." (HR. Abu
Daud)

‫َّب صلى هللا‬ ِ ِ‫ ( َجاءَ َر ُجل إِ ََل اَلن‬:‫ال‬ َ َ‫َو َعن أَِيب ُهَري َرةَ رضي هللا عنه ق‬
ِ َ َ‫ّلل! عِن ِدي ِدينار? ق‬ َِّ َ‫ول ا‬
‫ك‬َ ‫ أَنفقهُ َعلَى نَف ِس‬:‫ال‬ َ َ ‫ َاي َر ُس‬:‫ال‬ َ ‫عليه وسلم فَ َق‬
:‫ال‬َ َ‫آخ ُر? ق‬ ِ ِ َ َ‫ أَن ِفقه علَى ولَ ِد َك ق‬:‫ال‬ ِ ِ َ َ‫ق‬
َ ‫ عندي‬:‫ال‬ َ َ ُ َ َ‫آخ ُر? ق‬َ ‫ عندي‬:‫ال‬
ِ ِ َ َ‫ ق‬,‫ عِن ِدي آخر‬:‫ال‬ ِ ِ
‫ال‬
َ َ‫ك ق‬ َ ‫ أَنف ُقهُ َعلَى َخاد ِم‬:‫ال‬ َُ َ َ‫ك ق‬ َ ‫أَنفقهُ َعلَى أَهل‬
,‫ َوأَبُو َد ُاوَد‬,ُ‫ظ لَه‬ ُ ‫ت أَعلَ َم ) أَخَر َجهُ اَلشَّافِعِ ُّي َواللَّف‬ َ ‫ أَن‬:‫ال‬َ َ‫ ق‬,‫آخ ُر‬
َ ‫عندي‬
ِِ

‫َّسائِ ُّي َواحلَاكِ ُم بِتَق ِد ِمي اَ َّلزو َج ِة َعلَى اَل َولَ ِد‬
َ ‫َوأَخَر َجهُ الن‬
Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu berkata: Ada seseorang
datang kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan
berkata: Wahai Rasulullah, aku mempunyai satu dinar?.
Beliau bersabda: "Nafkahilah dirimu sendiri." Ia berkata:
Aku mempunyai satu dinar lagi. Beliau bersabda: "Nafkahi
anakmu." Ia berkata: Aku mempunyai satu dinar lagi.
Beliau bersabda: "Nafkahi istrimu." Ia berkata: Aku
mempunyai satu dinar lagi. Beliau bersabda: "Nafkahi
pembantumu." Ia berkata lagi: Aku mempunyai satu dinar
lagi. Beliau bersabda: "Engkau lebih tahu (siapa yang
harus diberi nafkah)." (HR Abu Daud)

Hadist di atas menjelaskan tentang hak nafkah istri


dari suami, yang bahkan dalam hal ini Istri layak lebih
diutamakan dibandingkan anaknya.

a. Jenis Nafkah
Al Khatib Asy Syarbini menerangkan bahwa nafkah itu
terbagi menjadi tujuh jenis yaitu : nafkah makanan, lauk
pauk, pakaian, tempat tinggal, dan pelayan atau
pembantu rumah tangga apabila sang istri dikhawatirkan
kelelahan bila melakukan tugas rumah sendiri11.

Nafkah atas istri ini wajib hukumnya diberikan oleh


suami jika telah tercapai syarat berikut:

1) Pernikahannya sah
2) Istri sepenuhnya menyerahkan dirinya kepada
suami dan tinggal serumah
3) Istri tidak nusyuz atau durhaka kepada suami. Bila
suami telah mendapati istri melakukan nusyuz
hingga pada level pisah ranjang, maka boleh
baginya dihentikan sementara pemberian nafkah
untuk membuatnya jera. Termasuk jika ternyata
istri keluar rumah untuk bekerja tanpa izin
suaminya, jika telah diizinkan maka tidak dianggap
nusyuz12.

b. Kadar Nafkah
Terkait kadar nafkah, para ulama terpecah kepada
dua pendapat :

Pendapat Pertama : pendapat kelompok ini


mengklasifikasikan kadar nafkah tergantung pada status
ekonomi suami. Untuk lelaki yang kaya maka besar
nafkahnya adalah dua mudd (0,75 kg) perhari. Sementara
yang fakir satu mudd, dan yang ekonominya pertengahan
adalah 1,5 mudd perhari. Semua kadar tersebut adalah kadar
minimal. Jenis makanan yang dinafkahkan adalah makanan
pokok yang umum di negerinya, dalam hal ini suami wajib pula

11
Mughnil Muhtaj 3/559
12
Al Mughni 8/198
menyediakan peralatan masak13. Pendapat pertama ini adalah
yang dipegang oleh madzhab syafi’I sebagaimana dijelaskan
dalam kitab mughnil muhtaj.

Pendapat Kedua : kelompok di pendapat kedua ini tidak


menentukan kadar minimal, namun justru lebih
mengembalikan kepada kemampuan masing-masing suami.
Sebagian besar ulama juga mewajibkan suami menyediakan
perhiasan yang umum dipakai oleh orang-orang di sekitarnya.

c. Suami Tidak Memberi Nafkah


Dalam kasus dimana Suami enggan memberikan
nafkah kepada keluarganya, maka istri diperbolehkan
mengambilnya sesuai kadar yang dibutuhkan. Hal ini
sebagaimana disebutkan dalam hadist:

ِ ِ ِ
َ‫ت عُت بَة‬ ُ ‫ ( َد َخلَت هن ُد بِن‬:‫َعن َعائ َشةَ َرض َي اَ َّّللُ َعن َها قَالَت‬
. ‫ول اَ َّّللِ صلى هللا عليه وسلم‬ ِ ‫ َعلَى رس‬-‫اِمرأَةُ أَِيب سفيا َن‬-
َُ َُ َ
‫ول اَ َّّللِ! إِ َّن أ ََِب ُسفيَا َن َر ُجل َش ِحيح َل يُع ِط ِيين‬ َ ‫ َاي َر ُس‬:‫فَ َقالَت‬
‫ت ِمن َمالِِه بِغَ ِري‬ ُ ‫َخذ‬َ ‫ إَِّل َما أ‬,‫ين‬
ِ ِ ِ ِ
َّ َِ‫من اَلنَّ َف َقة َما يَكف ِيين َويَكفي ب‬
‫ ُخ ِذي ِمن َمالِِه‬:‫ال‬ َ ‫ك ِمن ُجنَاح? فَ َق‬ ِ َّ َ‫ فَهل ع ِل‬,‫ِعل ِم ِه‬
َ ‫ي ِيف َذل‬ َ َ َ
‫يك ) ُمتَّ َفق َعلَي ِه‬ِ ِ‫ ويك ِفي بن‬,‫يك‬ ِ ِ ِ
َ َ َ ‫ِِبل َمع ُروف َما يَكف‬
'Aisyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Hindun binti
Utbah istri Abu Sufyan masuk menemui Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan berkata: Wahai
Rasulullah, sungguh Abu Sufyan adalah orang yang pelit.

13
Mughnil muhtaj 3/560
Ia tidak memberiku nafkah yang cukup untukku dan anak-
anakku kecuali aku mengambil dari hartanya tanpa
sepengetahuannya. Apakah yang demikian itu aku
berdosa? Beliau bersabda: "Ambillah dari hartanya yang
cukup untukmu dan anak-anakmu dengan baik."
(Muttafaq Alaihi)

Namun di kemudian hari jika kasus ini terulang atau


bahkan berkelanjutan, maka sang istri berhak
mengajukan gugatan. Hal ini dijelaskan dalam Quran :

        

         

           

          

        

Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh


rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan
dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil
kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada
mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan
dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu
khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa
atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri
untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka
janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang
melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-
orang yang zalim. (Al Baqarah 229)

3. Dipergauli dengan Baik


Mempergauli istri dengan baik adalah kewajiban
suami, sekalipun dalam dirinya ditemukan aib atau
kekurangan maka suami tetap harus menutupinya, lemah
lembut kepadanya, dan berakhlaq.

ِ ‫اشروه َّن ِِبلمعر‬


‫وف‬ ِ
ُ َ ُ ُ ‫َو َع‬
“Dan pergaulilah istri-istri mu sekalian dengan baik”.

Al ma’ruf dalam hal ini dimaksudkan segala hal yang


baik yang disukai dan menyenangkan hati istri. Kalau kita
buka dalam tafsir maka kita temukan makna ayat ini
adalah:

a) Mengucapkan perkataan yang baik Serta


memperlakukan dengan akhlaq yang mulia.
b) Berbuat adil kepada mereka dalam urusan
menginap dan bermalam di rumah masing-
masing istri.
c) Memenuhi segala haknya.

Dalam hadist Rasulullah SAW bersabda:

‫ْي إِميَا ًان أَح َسنُ ُهم ُخلُقاً َو ِخيَا ُرُكم ِخيَ ُارُكم لِنِ َسائِ ِهم‬ِِ
َ ‫أَك َم ُل ال ُمؤمن‬
‫خلقا‬
“Kaum Mukminin yang paling sempurna imannya adalah
yang paling baik akhlaknya di antara mereka, dan yang
paling baik di antara kalian adalah yang paling baik
kepada isteri-isterinya.” (HR Tirmidzi)

Bahkan Rasulullah sendiri mencontohkan kepada sahabat


bahwa dirinya juga berbuat baik kepada istri-istrinya:

‫خريكم خريكم ألهله وأان خريكم ألهلي‬


Orang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik
kepada keluarganya, dan Aku adalah orang terbaik
kepada keluargaku (HR. Ibnu Majah)

4. Dipenuhi Kebutuhan Biologisnya


Dalam sebuah hadist dikabarkan bahwa Rasulullah SAW
bersabda:

‫وإن لزوجك عليك حقا‬


Sesungguhnya pada istrimu ada hak yang harus kau
tunaikan (HR Bukhari)

Dalam kitab fathul bari dijelaskan bahwa maksudnya


adalah jangan seseorang memberatkan dirinya sendiri
dengan ibadah sehingga justru badannya lemah dan tidak
mampu menegakkan hak-hak istrinya seperti urusan jima’
dan nafkah14.

Ketika suami merasa ada kelainan dalam dirinya


seperti lemah syahwat atau kurang bertenaga maka wajib

14
Fathul bari 9/299
baginya untuk berobat agar kewajiban terhadap hak
istrinya bisa dipenuhi dengan maksimal15.

Melakukan jima’ bersama istri juga ada etikanya,


di antaranya adalah16:

a) Dianjurkan membaca basmalah sebagaimana


sabda Rasulullah SAW :

‫ بسم هللا أللهم جنبنا الشيطان‬: ‫لو أن أحدكم إذا أتى أهله قال‬
‫وجنب الشيطان ما رزقتنا فقضي بينهما ولد مل يضره‬
Jika salah seorang dari kalian hendak berjima dengan
istrinya, lalu ia mengucapkan : bismillah, ya Allah
jauhkanlah syaithan dari kami dan jauhkanlah syaithan
dari anak-anak kami yang Engkau rezekikan, kemudian
kelak jika lahir seorang anak dari hubungan tersebut,
maka syaithan tidak akan membahayakan anak ini (HR
Bukhari)

b) Dianjurkan menutup badan, namun tidak wajib.


c) Dianjurkan melakukan pemanasan agar syahwat
istrinya makin bangkit.
d) Jika suami selesai duluan, jangan mencabut
kemaluannya hingga istri telah puas.
e) Tidak boleh menceritakan kepada orang lain
termasuk istrinya yang lain tantang apa yang
dilakukan.

15
Tafsir Qurthubi 3/242
16
Al mughni 7/25
5. Diperlakukan Secara Adil Bersama Para
Istrinya
Jika seorang suami melakukan poligami maka wajib
baginya adil kepada para istrinya. Adil dalam hal ini
adalah memberikan hak-hak yang sama kepada mereka.
Kecenderungan cinta yang ada dalam hati tidak boleh
ditampakkan dalam masalah pemberian nafkah.

Nabi SAW bersabda:

‫من كانت له امرأاتن مييل إلحدامها على األخرى جاء يوم‬


‫القيامة جير أحد شقيه ساقطا أو مائال‬
Barangsiapa memiliki dua istri, dimana ia cenderung
kepada salah satu istrinya, maka pada hari kiamat ia akan
menyeret salah satu sisi badannya yaitu miring jalannya
(HR Ahmad)

Di antara perkara yang dapat dilakukan oleh


suami untuk adil adalah urusan bermalam, walaupun
istrinya sakit, atau sedang haid. Karena tujuan bermalam
bukan sekedar untuk jima saja. Terkait pembagiannya
bisa dalam hitungan malam, atau pekan, atau bulanan.

D. Hak Suami dan Kewajiban Istri


Jika sebelumnya adalah kewajiban suami untuk
memenuhi kebutuhan hak istrinya, kali ini pembahasan
kita beralih kepada kewajiban istri.
1. Dipergauli dengan Baik
Kata “ma’ruf” dalam ayat sebelumnya didefinisikan
sebagai hal atau perlakuan yang tidak diingkari oleh
syariat serta tidak ditentang oleh adat manusia17.

2. Ditaati oleh Istri


Istri diwajibkan taat kepada suami karena hal tersebut
adalah konsekuensi dari ridhanya dia menjadikan sang
suami sebagai pemimpin dalam rumah tangganya. Dalam
Quran disebutkan:

       

        

       

    

         

    

kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,


oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena
mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang

17
Tafsir al Kasyaf 1/272
taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya
tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).
wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznyaMaka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika
mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari
jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi lagi Maha besar.

Ada sejumlah poin yang bisa digali dari ayat ini


sebagai berikut:

a) Istri harus beretika dan tidak Berlaku curang


serta memelihara rahasia dan harta suaminya.
b) Allah telah mewajibkan kepada suami untuk
mempergauli isterinya dengan baik.
c) Arti Nusyuz: Yaitu meninggalkan kewajiban
bersuami isteri. nusyuz dari pihak isteri seperti
meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.
d) Untuk memberi peljaran kepada isteri yang
dikhawatirkan nusyuz atau
pembangkangannya haruslah mula-mula
diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat
barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka,
bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan
memukul mereka dengan pukulan yang tidak
meninggalkan bekas. bila cara pertama telah
ada manfaatnya janganlah dijalankan cara
yang lain dan seterusnya.

a. Ketika Istri Nusyuz


Tak sedikit laki-laki yang kemudian bila mendapati
istrinya telah berbuat nusyuz kemudian bergegas
bereaksi dengan jurus ringan tangannya alias melakukan
tamparan, hal ini mereka lakukan dengan bersandar
kepada surat An Nisa’ ayat 34 yang berbunyi :

ِ ‫الاليت ََتافُو َن نُشوزه َّن فَعِظُوه َّن واهجروه َّن ِيف المض‬
‫اج ِع‬ َ َ ُ ُُ َ ُ َُ ُ َ ِ ‫َو‬
‫اّللَ َكا َن َعلِيًّا‬
َّ ‫وه َّن فَِإن أَطَعنَ ُكم فَال تَب غُوا َعلَي ِه َّن َسبِيال إِ َّن‬
ُ ُ‫َواض ِرب‬
‫َكبِ ًريا‬
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika
mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari
jalan untuk menyusahkannya Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi lagi Maha besar. (An Nisa : 34)

b. Hukuman Nusyuz Dilakukan Bertahap


Memahami ayat di atas, sebenarnya jika laki-laki
menemukan istrinya telah berbuat nusyuz, maka
hukuman yang dilakukan adalah bertahap sesuai levelnya
dan tidak dibenarkan langsung melakukan hukuman fisik.
Dalam tafsir al Maroghi dikatakan:

‫والاليت أتنسون منهن الرتفع وَتافون أل يقمن حبقوق الزوجية‬


‫على الوجه الذي ترضونه فعليكم أن تعاملوهن على النهج‬
‫ مث‬،‫ أن تبدءوا ِبلوعظ الذي ترون أنه يؤثر ف نفوسهن‬:‫اآليت‬
.‫ مث الضرب غري املربح‬،‫اَلجر واإلعراض ف املضجع‬
Dan wanita-wanita yang diketahui mulai berbuat arogan
serta dikhawatirkan tidak menjalankan hak-haknya dalam
keluarga dalam perihal yang diridhoi, maka bagi kalian
(para suami) agar menyikapinya dengan tahapan-tahapan
sebagai berikut: memulai dengan nasehat yang dapat
membuatnya sadar, kemudian pisah ranjang dan
memalingkan diri darinya di atas ranjang, kemudian
memukulnya dengan pukulan yang tidak keras.

Hal ini juga diterangkan dalam oleh Imam Al Muzani


dalam kitabnya Mukhtashor al Muzani :

‫ب فِ ِيه‬ ُ َ‫يما تُ َعات‬


ِ ِ ِ ِ ِ
َ ‫ك َدَللَة َعلَى اخت َالف َحال ال َمرأَة ف‬
ِ
َ ‫َوِيف َذل‬
‫ف ِمن فِعل أَو‬ ِ ‫وتُعاقَب علَي ِه فَِإ َذا رأَى ِمن ها دَللَةً علَى اْلو‬
َ َ َ َ َ َ ُ ََ
ِ
َ ‫قَول َو َعظَ َها فَِإن أَب َدت نُ ُش ًوزا َه َجَرَها فَِإن أَقَ َامت َعلَيه‬
‫ضَرََبَا‬
Dan di dalamnya (surah An Nisa’ : 34) adalah petunjuk
pada konsekuensi dalam setiap kondisi wanita kapan
mereka ditegur dan dihukum bila ditemukan pada
mereka indikasi yang mengkhawatirkan baik dari
perbuatan atau perkataan, maka ditegur lebih dahulu,
jika tetap berbuat nusyuz maka pisah ranjang, dan bila
masih berbuat demikan maka pukullah.

Dari kedua referensi di atas maka jelaslah bahwa hukuman fisik


bagi istri berupa pukulan itu hanya berlaku bagi mereka yang
level nusyuznya sudah kepalang meradang, serta telah
melewati dua step sebelumnya.
c. Batasan Dibolehkannya Memukul Istri
Jika istri masih berbuat nusyuz atau durhaka dan telah
dilakukan dua step sebelumnya, maka dibolehkan bagi suami
untuk memukulnya. Namun syariat tetap membatasi
kebolehan memukul ini, dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan:

‫ إِ َذا َمل يَرتَ ِدعن ِِبل َمو ِعظَِة َوَل‬:‫وه َّن} أَي‬ ُ ُ‫ { َواض ِرب‬:ُ‫َوقَولُه‬
ِ ِ
‫ت ِيف‬ َ َ‫ َك َما ثَب‬،‫ضرًِب َغ َري ُم َِربح‬ َ ‫وه َّن‬ُ ُ‫ فَلَ ُكم أَن تَض ِرب‬،‫ِِبَلجَران‬
ِ َّ ‫َّب صلَّى‬ ِ ِ ‫ص ِح‬
ُ‫ أَنَّه‬:‫اّللُ َعلَيه َو َسلَّ َم‬ َ ِ ِ‫يح ُمسلم َعن َجابِر َع ِن الن‬ َ
ِ ِ‫ "واتَّ ُقوا هللا ِيف الن‬:‫ال ِيف ح َّج ِة الود ِاع‬
‫ فَِإ ََّّنُ َّن ِعن َد ُكم‬،‫ساء‬ َ َ‫ق‬
َ ََ َ
‫ فَِإن‬،ُ‫َح ًدا تَكَرُهونَه‬ ِ
َ ‫ َولَ ُكم َعلَي ِه َّن أََّل يُوطئ َن فُ ُرشكم أ‬،‫َع َوان‬
‫هن وكِسوُتن‬ َّ ُ‫ َوََلُ َّن رزق‬،‫ضرِب َغ َري ُم َِربح‬ َ ‫وه َّن‬ ُ ُ‫فَ َعلن فَاض ِرب‬
ِ ‫ِِبلمعر‬
.‫وف‬ َُ
Dan firman-Nya: dan pukullah mereka, atau: apabila istri-
istrimu tidak tergoyahkan (nusyuznya) dengan nasehat
dan pisah ranjang, maka dibolehkan bagimu memukul
mereka dengan pukulan yang tidak melukai. Sebagaimana
telah ditetapkan dalam sahih Muslim dari Jabir dari Nabi
SAW: sesungguhnya beliau bersabda dalam haji wada’ :
Bertaqwalah kepada Allah dalam masalah wanita, karena
mereka adalah penolong (kalian dalam mengarungi
hidup). Hak kalian atas mereka yaitu, mereka tidak boleh
memasukkan seorang pun ke dalam tempat tidur kalian;
orang yang kalian benci, jika mereka melakukannya maka
pukullah mereka dengan pukulan yang tidak berbekas.
Hak mereka atas kalian adalah agar kalian memberi rizki
dan pakaian kepada mereka dengan cara yang baik.”

Begitu juga para fuqaha’ dalam mengomentari


masyruiyahnya suami memukul istri yang nusyuz,
mayoritas mereka mensyaratkan agar tidak memukul
dengan pukulan yang keras, tidak pula membekas, tidak
menyebabkan luka, tidak berulang kali, tidak membuat
memar atau patah tulang, dan jangan melakukan pukulan
yang menyebabkan kematian karena tujuan utamanya
adalah untuk membuatnya menjadi wanita baik bukan
sakit atau malah mati.

3. Tinggal Bersama Satu Rumah


Dalam Quran disebutkan:

        

       

       

  

dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah


kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang
Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah
zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya
Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu,
Hai ahlul bait[1217] dan membersihkan kamu sebersih-
bersihnya. (Al Ahzab : 33)

yang bisa diambil dari ayat ini adalah:

1) isteri-isteri Rasul agar tetap di rumah dan ke luar


rumah bila ada keperluan yang dibenarkan oleh
syara'. perintah ini juga meliputi segenap
mukminat.
2) Yang dimaksud Jahiliyah yang dahulu ialah Jahiliah
kekafiran yang terdapat sebelum Nabi
Muhammad s.a.w. dan yang dimaksud Jahiliyah
sekarang ialah Jahiliyah kemaksiatan, yang terjadi
sesudah datangnya Islam.
3) Ahlul bait di sini, Yaitu keluarga rumah tangga
Rasulullah s.a.w.

4. Istri Wajib Izin Suami


Hal ini tentu bukan tanpa dalil, ada sebuah hadist
yang mensyariatkan hal tersebut, dimana Rasulullah SAW
bersabda:

‫ل ُيل للمرأة أن تصوم وزوجها شاهد إل إبذنه ول أتذن يف‬


‫بيته إل إبذنه‬
Tidak dihalalkan bagi seorang wanita untuk berpuasa
sementara suaminya di sampingnya kecuali dengan izin
darinya. Dan istri tidak boleh mengizinkan laki-laki lain
masuk ke rumahnya kecuali atas izin suaminya (HR
Bukhari)
5. Menjaga Harta Suami
Sebagaimana disebutkan bahwa diantara kewajiban
suami adalah menfakahi keluarganya, maka secara logis
syariatpun mengatur bahwa ketika suami harus keluar
rumah mencari nafkah, sang istri wajib menjaga harta
yang ada di rumah.

E. Kompilasi Hukum Islam Terkait Hak


dan Kewajiban Suami Istri

Hak dan kewajiban suami dan istri sebenarnya telah


diatur oleh kompilasi hukum islam (KHI) didalam bab VII
pasal 77 sampai pasal 83 , dinyatakan sebagai berikut:

Pasal 77

1) Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk


menegakkan keluarga yang sakinah, mawadah
dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari
susunan masyarakat.
2) Suami istri wajib saling cinta-mencintai, hormat-
menghormati, setia dan memberi bantuan lahir
batin antara yang satu dengan yang lain.
3) Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh
dan memelihara anak-anak mereka, baik
mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun
kecerdasan dan pendidikan agamanya.
4) Suami istri wajib memelihara kehormatannya.
5) Jika suami atau istri melalaikan kewajibanya,
masing-masing dapat mengajukan gugatan ke
pengadilan agama.
Pasal 78

1) Suami istri harus mempunyai kediaman yang sah.


2) Rumah kediaman yang dimaksud oleh ayat (1)
ditentukan oleh suami istri bersama.

Pasal 79

1) Suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu


rumah tangga.
2) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang
dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup
bersama dalam masyarakat.
3) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan
perbuatan hukum.

Pasal 80

1) Suami adalah pembimbing terhadap istri dan


rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal
urusan rumah-tangga yang penting diputuskan
oleh suami istri bersama. Suami wajib melindungi
istrinya dan memberikan sesuatu keperluan hidup
berumah tangga sesuai dengan kemampuanya.
2) Suami wajib memberikan pendidikan dan
kesempatan belajar pengetahuan yang berguna
dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
3) Sesuai dengan penghasilan suami menanggung:
a). Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri.
b). Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan
biaya pengobatan bagi istri dan anak.Biaya
pendidikan anak. c). Kewajiban suami terhadap
istrinya seperti tersebut dalam ayat (4) huruf a
dan b di atas berlaku sesudah ada tamkin dari
istrinya.
4) Istri dapat membebaskan suaminya dari
kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut
pada ayat (4) huruf a dan b.
5) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5)
gugur apabila istri nusyus.

Pasal 81

(tentang tempat kediaman)

1) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi


istri dan anak-anaknya atau bekas istri yang masih
dalam masa iddah.
2) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang
layak untuk istri selama dalam ikatan atau dalam
iddah talak atau iddah wafat.
3) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi
istri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain,
sehingga mereka merasa aman dan tenteram.
Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat
menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat
menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.
4) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai
dengan kemampuannya serta disesuaikan dengan
keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik
berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun
sarana penunjang lainnya.

Pasal 82
(kewajiban suami yang beristri lebih dari seorang)

1) Suami yang mempunyai istri lebih dari seorang


berkewajiban memberi tempat tinggal dan biaya
hidup kepada masing-masing istri secara
berimbang menurut besar kecilnya jumlah
keluarga yang ditanggung masing-masing istri,
kecuali jika ada perjanjian perkawinan.
2) Dalam hal para istri rela dan ikhlas, suami dapat
menempatkan istrinya dalam satu tempat
kediaman.

Pasal 83

(Kewajiban istri terhadap suaminya)

1) Kewajiban utama bagi seorang istri adalah


berbakti lahir dan batin di dalam batas-batas yang
dibenarkan oleh hukum Islam.
2) Istri menyelanggarakan dan mengatur keperluan
rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.
Penutup
Keagungan sebuah pernikahan bisa diraih apabila
kedua belah pihak memegang erat komitmen yang ada
sebagi suami ataupun istri. Uniknya, syariat islam
ternyata sudah mengatur dengan detail apa saja
kewajiban suami ataupun istri dalam kehidupan berumah
tangga. Pengetahuan tentangnya bisa didapatkan melalui
dalil-dalil yang rinci yang telah dibukukan oleh para
ulama. Buku ini dengan apik kemudian mengemas
semuanya dengan ikut menyebutkan implementasinya
dalam kompilasi hukum islam yang secara esensi ternyata
tidak jauh beda dengan apa yg dipaparkan dalam kitab-
kitab turats.

Anda mungkin juga menyukai