Anda di halaman 1dari 248

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/364024603

Epidemiologi Penyakit Menular

Book · September 2022

CITATION READS

1 4,469

1 author:

I Made Dwi Mertha Adnyana


Airlangga University
32 PUBLICATIONS 100 CITATIONS

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by I Made Dwi Mertha Adnyana on 30 September 2022.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


COVER
BUNGA RAMPAI

EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR


UU No 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta
Fungsi dan sifat hak cipta Pasal 4
Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf
a merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral
dan hak ekonomi.
Pembatasan Pelindungan Pasal 26
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23,
Pasal 24, dan Pasal 25 tidak berlaku terhadap:
i Penggunaan kutipan singkat Ciptaan dan/atau
produk Hak Terkait untuk pelaporan peristiwa aktual
yang ditujukan hanya untuk keperluan penyediaan
informasi aktual;
ii Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait
hanya untuk kepentingan penelitian ilmu
pengetahuan;
iii Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait
hanya untuk keperluan pengajaran, kecuali
pertunjukan dan Fonogram yang telah dilakukan
Pengumuman sebagai bahan ajar; dan
iv Penggunaan untuk kepentingan pendidikan dan
pengembangan ilmu pengetahuan yang
memungkinkan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak
Terkait dapat digunakan tanpa izin Pelaku
Pertunjukan, Produser Fonogram, atau Lembaga
Penyiaran.

Sanksi Pelanggaran Pasal 113


1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan
pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa
izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan
pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d,
huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR
Agustiawan
I Made Dwi Mertha Adnyana
Ashriady
Yeni Paramata
Tanti Asrianti
Lenny Erida Silalahi
Miftakhul Ulfa
Lala Foresta Valentine Gunasari
Sarinah Basri K
Ririn Pakaya
Budi Yulianto
Marselia Sandalayuk

Editor:
Annisa Ishmat Asir

Penerbit

CV. MEDIA SAINS INDONESIA


Melong Asih Regency B40 - Cijerah
Kota Bandung - Jawa Barat
www.medsan.co.id

Anggota IKAPI
No. 370/JBA/2020
EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR

Agustiawan
I Made Dwi Mertha Adnyana
Ashriady
Yeni Paramata
Tanti Asrianti
Lenny Erida Silalahi
Miftakhul Ulfa
Lala Foresta Valentine Gunasari
Sarinah Basri K
Ririn Pakaya
Budi Yulianto
Marselia Sandalayuk

Editor :
Annisa Ishmat Asir

Tata Letak :
Risma Birrang
Desain Cover :
Syahrul Nugraha
Ukuran :
A5 Unesco: 15,5 x 23 cm
Halaman :
vi, 236
ISBN :
978-623-362-707-8
Terbit Pada :
September 2022

Hak Cipta 2022 @ Media Sains Indonesia dan Penulis

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang keras menerjemahkan,


memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit atau Penulis.

PENERBIT MEDIA SAINS INDONESIA


(CV. MEDIA SAINS INDONESIA)
Melong Asih Regency B40 - Cijerah
Kota Bandung - Jawa Barat
www.medsan.co.id
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,


karena berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga buku
kolaborasi dalam bentuk book chapter dapat dipublikasikan
dan dapat sampai di hadapan pembaca. Buku ini disusun oleh
sejumlah akademisi dan praktisi sesuai dengan kepakarannya
masing-masing. Buku ini diharapkan dapat hadir memberi
kontribusi positif dalam ilmu pengetahuan khususnya terkait
dengan Epidemiologi Penyakit Menular.
Sistematika buku Epidemiologi Penyakit Menular ini mengacu
pada pendekatan konsep teoritis dan contoh penerapan. Buku
ini terdiri atas 12 bab yang dibahas secara rinci, diantaranya
Pengertian dan Konsep Epidemiologi, Prinsip Epidemiologi,
Teori Penyakit Menular, Faktor Risiko Penyakit Menular, Agent
Penyakit Menular, Penyakit Tuberkulosis, Penyakit Hiv dan
Aids, Penyakit Malaria, Penyakit Diare, Penyakit Demam
Dengue, Penyakit Filariasis, dan Penanganan Penyakit Menular.
Kami menyadari bahwa tulisan ini jauh dari kesempurnaan dan
masih terdapat banyak kekurangan, sejatinya kesempurnaan
itu hanya milik Yang Kuasa. Oleh sebab itu, kami tentu
menerima masukan dan saran dari pembaca demi
penyempurnaan lebih untuk karya lebih lanjut.
Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih yang tak terhingga
kepada semua pihak yang telah mendukung dalam proses
penyusunan dan penerbitan buku ini, secara khusus kepada
Penerbit Media Sains Indonesia sebagai inisiator book chapter
ini. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian.

Bandung, 15 September 2021.

Editor

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................i
DAFTAR ISI .....................................................................ii
1 PENGERTIAN DAN KONSEP EPIDEMIOLOGI ..........1
Pendahuluan ..........................................................1
Definisi Epidemiologi ..............................................2
Istilah Terkait Epidemiologi ....................................4
Konsep Dasar .......................................................11
Daftar Pustaka......................................................16
2 PRINSIP EPIDEMIOLOGI.......................................19
Pengantar Epidemiologi ........................................19
Tujuan Analisis Epidemiologi ................................23
Metode Studi Epidemiologi ....................................24
Istilah dan Ukuran dalam Epidemiologi ................27
Wabah, Sporadis, Endemi, Epidemi dan Pandemi .29
Prinsip Umum dan Tujuan Penyelidikan Penyakit
Menular ................................................................30
Prinsip Umum Mencegah Penularan .....................31
Langkah- Langkah Investigasi Penyakit Menular ..34
3 TEORI PENYAKIT MENULAR ................................41
Pendahuluan ........................................................41
Pengertian dan Istilah dalam Penyakit Menular ....44
Spektrum Penyakit Menular .................................46
Mekanisme Penularan Penyakit ............................50
Aspek Penting Penularan Penyakit ........................59
4 FAKTOR RISIKO PENYAKIT MENULAR .................65
Pendahuluan ........................................................65

ii
Pengertian dan Jenis Faktor Risiko .......................66
Faktor Risiko Pejamu (Host) ..................................67
Faktor Risiko Bibit Penyakit (Agent) ......................68
Faktor Risiko Lingkungan (Environment) ..............69
Kegunaan Identifikasi Faktor Risiko .....................70
5 AGENT PENYAKIT MENULAR ...............................73
Definisi .................................................................73
Karakteristik Agent ...............................................74
Jenis Agent Penyakit Menular ...............................76
6 PENYAKIT TUBERKULOSIS ..................................89
Pendahuluan ........................................................89
Epidemologi ..........................................................90
Definisi Tuberkulosis ............................................91
Patofosiologi ..........................................................92
Evaluasi, Upaya, dan Pengendalian Serta
Pengobatan ...........................................................98
Upaya dan Pengendalian.......................................98
Pengobatan ...........................................................99
7 PENYAKIT HIV DAN AIDS ...................................103
Pendahuluan ......................................................103
Pengertian .......................................................... 104
Pembagian Klinis Penyakit Virus HIV AIDS .........105
Cara Penularan Penyakit HIV AIDS .....................106
Manifestasi Klinis Penyakit HIV AIDS .................107
Dampak Penyakit HIV AIDS ................................ 109
Penanganan Dan Pencegahan Penyakit HIV
AIDS ...................................................................110

iii
Diagnosis HIV AIDS ............................................113
Respon Sosial Terhadap ODHA ........................... 115
8 PENYAKIT MALARIA ...........................................121
Epidemiologi Global Malaria ............................... 121
Epidemiologi Malaria di Indonesia ......................126
Etiologi Malaria ...................................................127
Penularan Malaria ..............................................132
Diagnosis Malaria ...............................................136
Upaya Kontrol dan Pencegahan .......................... 142
9 PENYAKIT DIARE................................................151
Definisi Diare ......................................................151
Beban Penyakit ...................................................152
Klasifikasi Diare ..................................................154
Diagnosis Diare...................................................157
Epidemiologi Diare ..............................................157
Etiologi Diare ......................................................158
Patofisiologi Diare ...............................................164
Pencegahan Diare ...............................................165
10 PENYAKIT DEMAM DENGUE .............................. 175
Pendahuluan ......................................................175
Epidemiologi .......................................................176
Definisi ............................................................... 177
Transmisi............................................................ 178
Patofisiologis dan Pathogenesis ........................... 180
Karakteristik Penyakit (Tanda Dan Gejala) ..........181
Diagnostik .......................................................... 183
Faktor Risiko ......................................................184

iv
Pencegahan dan Pengendalian ............................ 184
11 PENYAKIT FILARIASIS ........................................191
Gambaran Umum Filariasis ................................ 191
Etiologi Filariasis ................................................193
Gejala Filariasis ..................................................194
Diagnosis Filariasis .............................................196
Agen Filariasis ....................................................203
Siklus Hidup Cacing Filaria ................................ 207
Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Vektor
Pembawa Mikrofilaria .........................................209
Pengendalian Filariasis .......................................210
Pengobatan Filariasis ..........................................212
12 PENANGANAN PENYAKIT MENULAR ..................219
Latar Belakang ...................................................219
Pemodelan Epidemiologi .....................................220
Penyakit Menular ................................................222
Transisi Epidemiologi ..........................................223
Infeksi Menular Seksual .....................................225
Penanganan Penyakit Menular............................ 227
Penanganan Penyakit Menular di Puskesmas .....229
Penanganan Penyakit Menular di Rumah dan di
Sekolah ............................................................... 232

v
vi
1
PENGERTIAN DAN KONSEP
EPIDEMIOLOGI

dr. Agustiawan, AMRSPH


Health Education and Promotion (HEP) Indonesia

Pendahuluan

Kita semua tentu pernah mendengar mengenai


penyebaran atau distribusi penyakit, terlebih di jaman
pandemi Covid-19 seperti sekarang ini. Kita tidak asing
mendengar istilah ‘cluster’, menentukan status pandemi,
endemic dan lain sebagainya. Semua yang disebutkan di
atas sangat berkaitan dengan ilmu dan epidemiologi dan
seorang epidemiolog. Epidemiologi merupakan suatu ilmu
yang mempelajari mengenai distribusi dan determinan
keadaan, kondisi, atau kejadian yang berhubungan
dengan kesehatan pada populasi tertentu dan penerapan
hasil studi ini untuk pengendalian masalah kesehatan
tertentu (Alfred S Evans, 1979).
Epidemiologi merupakan ilmu kuantitatif yang berkaitan
erat dengan penyakit menular dengan keadaan di mana
proses penyakit terjadi, faktor-faktor yang mempengaruhi
kejadiannya dan respons pejamu terhadap agen infeksi,
dan penggunaan pengetahuan ini untuk pengendalian
dan pencegahan. Hal tersebut dapat mencakup
patogenesis penyakit baik yang sedang terjadi di
masyarakat maupun di tingkat individu (Young, 2017).

1
Konsep dan metode epidemiologi juga dapat digunakan
untuk penyakit menular maupun penyakit tidak menular,
sehingga sudah tidak ada lagi dikotomi esensial antara
keduanya. Secara umum, epidemiologi dapat dianggap
sebagai perkembangan, patogenesis, dan ekspresi infeksi
dan penyakit dalam suatu komunitas dalam banyak cara
yang sama seperti kedokteran klinis yang berkaitan
dengan perkembangan, patogenesis, dan ekspresi yang
terjadi pada individu (A S Evans, 1987; Alfred S Evans,
2009).
Pentingnya belajar epidemiologi didasarkan pada dua
asumsi mendasar. Pertama, penyakit yang terjadi tidak
acak (yaitu, berbagai faktor mempengaruhi kemungkinan
berkembangnya penyakit). Kedua, studi populasi
memungkinkan identifikasi penyebab dan faktor
pencegahan yang terkait dengan penyakit. Ahli
epidemiologi mengandalkan model dan definisi kejadian
penyakit dan menggunakan berbagai alat, yang paling
dasar adalah rate atau tingkat kejadian untuk menyelidiki
penyakit dalam populasi.

Definisi Epidemiologi

Identitas orang yang menciptakan istilah epidemiologi


tidak diketahui, tetapi istilah ini sudah diketahui berasal
dari Bahasa Yunani yang berarti studi atas populasi (epi =
upon, demos = people, ology = study). Derivasi ini tidak
menyampaikan apa yang dipelajari atau sifat studi itu dan
secara efektif sama dengan demografi yang merupakan
studi tentang karakteristik populasi, seperti ukuran,
pertumbuhan, kepadatan, distribusi, dan statistik vital.
Epidemiologi berkaitan dengan penyakit, dan bagaimana
penyakit dapat menurunkan kualitas kesehatan (Bhopal
RS, 2002).

2
Kata yang lebih deskriptif adalah epidemiopathology
(pathos adalah kata Yunani untuk penderitaan dan
penyakit), tetapi kata tersebut terlalu kikuk untuk
direkomendasikan oleh ahli. Kata epidemi digunakan oleh
Hippocrates, tetapi tulisannya masih berupa kompilasi
dari sejarah kasus orang yang terkena dampak dan bukan
studi tentang penyebab atau deskripsi pola epidemi dalam
populasi. Aplikasi awal epidemiologi adalah dalam studi
epidemi penyakit menular, bahaya lingkungan dan
masalah gizi. Pemeriksaan kesenjangan sosial dalam pola
kematian juga merupakan fokus awal epidemiologi.
Sebagian besar epidemiologi berada pada populasi
manusia tetapi epidemiologi veteriner penting baik dalam
dirinya sendiri maupun dalam interaksi manusia dan
hewan, menyebabkan penyakit yang dikenal sebagai
zoonosis (Bhopal RS, 2002).
Epidemiologi merupakan studi yang mempelajari
mengenai distribusi dan determinan dari keadaan,
kondisi, atau kejadian yang berhubungan dengan
kesehatan pada populasi tertentu dan penerapan hasil
studi ini digunakan untuk pengendalian masalah
kesehatan. Epidemiologi merupakan ilmu kuantitatif yang
berkaitan dengan penyakit menular, dimana ahli
mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi
kejadiannya dan respon pejamu terhadap agen infeksi,
dan penggunaan pengetahuan ini untuk pengendalian
dan pencegahan. Ini mencakup patogenesis penyakit baik
di masyarakat maupun individu (Alfred S Evans, 2009;
Hamzah et al., 2021).

3
Istilah Terkait Epidemiologi

Ahli epidemiologi mengklasifikasikan jenis kasus penyakit


dan frekuensi kejadian penyakit dalam suatu populasi
sebagai endemik atau epidemi. Endemik didefinisikan
sebagai kejadian biasa suatu penyakit dalam suatu
populasi. Sebaliknya, epidemi adalah peningkatan tiba-
tiba dan besar dalam terjadinya suatu penyakit dalam
suatu populasi. Epidemi dapat menimbulkan pandemi,
yang merupakan wabah penyakit yang muncul dengan
cepat yang mempengaruhi populasi di wilayah geografis
yang luas. Pandemi sering kali cakupannya mendunia,
minimal melibatkan beberapa benua.
Sebagai ilustrasi dari tiga istilah di atas, misalnya:
sejumlah kecil penduduk Kota X dapat mengalami
influenza sepanjang tahun, sehingga dapat digolongkan
atau dianggap sebagai kasus penyakit endemik. Apabila
jumlah orang yang terkena influenza di kota yang sama
meningkat ke tingkat yang tinggi di musim dingin, maka
akan dianggap sebagai epidemi. Apabila jenis influenza
baru muncul dan mempengaruhi orang-orang di seluruh
dunia, maka akan dianggap sebagai pandemi. Contoh
pandemi adalah pandemi influenza 1918-1919, yang
menyebar ke negara-negara di seluruh dunia dan
menewaskan sekitar 20 juta sampai dengan 50 juta orang.
Kemudian, Covid-19 yang menyebar di seluruh dunia
bahkan kasusnya di Indonesia sudah mencapai lebih dari
lima juta kasus.
Ada beberapa istilah yang berkaitan erat dengan
epidemiologi, yaitu:
1. Infeksi merupakan dampak dari pertemuan
mikroorganisme yang berpotensi patogen dengan
pejamu manusia yang rentan melalui pintu masuk

4
yang sesuai dan biasanya melibatkan respons pejamu
yang dapat dibuktikan terhadap agen tersebut.
2. Paparan merupakan faktor kunci, dan sumber infeksi
sebagian besar terletak di luar inang individu
manusia, di dalam lingkungan, atau di inang yang
terinfeksi lainnya.
3. Penyakit adalah salah satu dampak yang mungkin
terjadi dari infeksi, dan faktor-faktor penting dalam
perkembangannya sebagian besar bersifat intrinsik
pada pejamu, meskipun dosis dan virulensi mikroba
penginfeksi berperan. Faktor intrinsik ini termasuk
usia pada saat infeksi, pintu masuk, ada atau
tidaknya kekebalan, kekuatan sistem pertahanan
primer, efisiensi dan sifat respons imun humoral dan
seluler, susunan genetik dari sistem kekebalan tubuh
pejamu, keadaan gizi, adanya penyakit lain, dan
pengaruh psikososial.
4. Rasio kasus (attack rate atau case ratio)
menunjukkan tingkat kejadian suatu kasus dalam
kelompok populasi selama periode waktu tertentu
atau dalam keadaan khusus seperti dalam epidemi.
Hal ini sering dinyatakan sebagai persen (kasus per
100).
5. Tingkat serangan sekunder (secondary attack rate)
merupakan proporsi orang yang mengalami infeksi
dalam masa inkubasi setelah terpapar kasus primer
dibagi dengan jumlah yang terpapar. Kelompok-
kelompok yang terpapar sering kali adalah anggota
keluarga atau orang-orang yang berada di sebuah
komunitas/institusi.
6. Carrier adalah orang, hewan, atau artropoda yang
mengandung agen infeksi tertentu tanpa adanya
penyakit klinis dengan atau tanpa respon imun yang
terdeteksi. Status pembawa dapat mencerminkan

5
pembawaan organisme dalam masa inkubasi sebelum
gejala klinis muncul, selama infeksi yang tampak atau
tidak nyata (pembawa sehat atau tanpa gejala), atau
setelah pemulihan dari penyakit, mungkin berdurasi
pendek atau panjang (carrier kronis), dan mungkin
intermiten atau terus menerus. Carrier dapat
menyebarkan agen infeksi ke orang lain.
7. Case-fatality rate merupakan tingkat / jumlah
kematian akibat penyakit tertentu dibagi dengan
jumlah kasus × 100.
8. Imunitas yang diperantarai sel atau cell-mediated
immunity merupakan istilah ini telah digunakan
sebelumnya untuk menunjuk mekanisme kekebalan
yang sebagian besar bergantung pada aktivitas
limfosit dan berbeda dengan "kekebalan humoral."
Karena limfosit T sekarang diakui berperan penting
dalam keduanya, sehingga istilah kekebalan sel T
lebih banyak digunakan.
9. Kemoprofilaksis merupakan aktifitas pemberian zat
kimia atau antibiotik untuk mencegah infeksi atau
untuk mencegah perkembangan penyakit pada orang
yang sudah terinfeksi.
10. Kolonisasi merupakan multiplikasi organisme pada
permukaan tubuh (misalnya, kulit, epitel, maupun
mukosa / selaput lendir) tanpa membangkitkan
respons jaringan atau imun.
11. Periode menular atau communicable period
merupakan waktu di mana seseorang (atau hewan)
menularkan penyakit kepada orang lain, hewan, atau
artropoda.
12. Endemik merupakan istilah ini menunjukkan
terdapat peristiwa infeksi atau penyakit yang konstan
atau biasa dalam suatu komunitas. Tingkat

6
endemisitas yang tinggi disebut hiperendemik, dan
endemisitas dengan tingkat infeksi yang sangat tinggi
sejak awal kehidupan dan mempengaruhi sebagian
besar populasi disebut holoendemik.
13. Epidemi atau wabah dikatakan ketika jumlah kasus
penyakit yang tidak biasa terjadi dalam periode waktu
dan wilayah geografis tertentu dibandingkan dengan
pengalaman sebelumnya dengan penyakit yang sama
di daerah tersebut. Apabila penyakit tersebut sudah
ada di masyarakat / komunitas, maka perlu diketahui
jumlah kasus yang ada (prevalensi) maupun kasus
baru (insiden) untuk mengetahui apakah telah terjadi
peningkatan. Definisi peningkatan kasus luar biasa
tidak seragam atau bervariasi berdasarkan penyakit.
14. Pejamu atau host merupakan seseorang, hewan, atau
artropoda tempat agen infeksi hidup atau menginfeksi
dalam kondisi alami, meskipun banyak buku yang
merujuk istilah tersebut pada "inang manusia",
kecuali dinyatakan lain sebelumnya.
15. Imunitas merupakan resistensi spesifik terhadap
agen infeksi yang dihasilkan dari antibodi humoral
dan lokal dan dari respons yang dimediasi sel
merupakan kekebalan. Imunitas atau kekebalan
dapat diperoleh melalui infeksi alami, imunisasi aktif,
transfer faktor kekebalan melalui plasenta, atau
imunisasi pasif dengan antibodi dari orang atau
hewan lain. Keadaan kekebalan adalah relatif dan
tidak mutlak, sebagian besar diatur melalui kontrol
genetik, dan dapat diubah oleh penyakit atau
imunosupresi yang diinduksi obat.
16. Immunodeficiency merupakan keadaan yang
mewakili gangguan sistem kekebalan pejamu,
sehingga dapat memengaruhi kemampuannya dalam
merespons antigen. Kondisi ini dapat menjadi kondisi

7
bawaan sejak lahir, atau yang didapat seperti akibat
penyakit itu sendiri, atau obat imunosupresif atau
agen infeksi yang menekan sistem kekebalan tubuh.
Human immunodeficiency virus (HIV-1 dan HIV-2)
merupakan contoh utama dari kasus ini.
17. Insiden merupakan jumlah kejadian baru (infeksi
atau penyakit spesifik) pada periode waktu tertentu
dalam populasi tertentu sebagai pembilang dan
jumlah orang yang rentan dalam populasi tersebut
yang terpapar agen sebagai penyebut. Ini biasanya
dinyatakan sebagai kasus (atau infeksi) per 100,
1.000, atau 100.000. Angka ini dapat disesuaikan
untuk pembilang dan penyebut khusus usia atau
jenis kelamin atau karakteristik minat lainnya.
18. Masa inkubasi adalah interval antara paparan dan
munculnya tanda atau gejala penyakit yang pertama
kali terdeteksi. Paparan yang tidak jelas terhadap
sumber infeksi atau pajanan pada orang tanpa
penyakit yang jelas dapat mengaburkan titik awal
masa inkubasi, dan tanda-tanda penyakit yang tidak
jelas, pertanda, atau prodromal dapat mengaburkan
titik terminasi. Estimasi terbaik sering kali
diturunkan dari paparan tunggal dengan durasi
pendek terhadap kasus klinis atau sumber infeksi
yang telah ditetapkan (misalnya, udara, makanan, air,
maupun vektor artropoda) dan perkembangan
karakteristik pertama atau gambaran klasik penyakit.
Infeksi eksperimental pada sukarelawan memberikan
periode inkubasi yang jelas, tetapi ini mungkin tidak
selalu sama dengan kondisi alami.
19. Indeks kasus merupakan indeks atau kasus utama
penyakit yang terjadi dalam keluarga, kelompok,
institusi, atau komunitas yang dapat menjadi sumber
infeksi bagi orang lain.

8
20. Isolasi adalah memisahkan orang yang terinfeksi di
tempat dan/atau dalam kondisi tertentu untuk
mencegah kontak atau penularan melalui udara dari
agen infeksi ke orang lain selama periode penularan.
Praktik pengendalian infeksi di rumah sakit seperti
yang direkomendasikan oleh CDC telah membagi
isolasi menjadi dua tingkat kewaspadaan isolasi.
Tingkat pertama dikenal sebagai kewaspadaan
standar dan kewaspadaan berbasis transmisi tingkat
kedua. Mencuci tangan tetap menjadi tindakan
pencegahan utama dalam kaitannya dengan infeksi
nosokomial.
21. Angka morbiditas merupakan kejadian di mana
pembilangnya mencakup semua orang yang sakit
secara klinis dalam waktu dan populasi tertentu dan
penyebutnya adalah populasi yang terlibat atau
subunitnya, biasanya dinyatakan sebagai jumlah
kasus per 100.000 orang berisiko.
22. Angka kematian memiliki prinsip yang sama dengan
angka kesakitan, kecuali pembilangnya terdiri dari
kematian. Angka kematian mungkin jumlah total
kematian dalam suatu kelompok populasi (angka
kematian kasar, biasanya dinyatakan sebagai
kematian per 1.000) atau kematian akibat penyakit
tertentu (kematian spesifik penyakit, biasanya
dinyatakan sebagai kematian per 100.000).
23. Infeksi nosocomial adalah infeksi yang berkembang
setelah masuk ke rumah sakit atau institusi
perawatan kesehatan lainnya dan yang tidak ada atau
tidak dalam masa inkubasi pada saat masuk atau sisa
infeksi yang diperoleh selama masuk sebelumnya.
24. Patogenisitas merupakan kemampuan agen infeksi
untuk menghasilkan penyakit pada pejamu yang
rentan. Beberapa agen nonpatogen dapat menjadi

9
patogen pada pejamu yang sistem imunnya lemah
seperti orang yang terinfeksi HIV.
25. Prevalensi merupakan rasio jumlah orang dalam
populasi tertentu yang terkena penyakit pada satu
waktu sebagai pembilang dan populasi yang terpapar
pada saat itu sebagai penyebut. Apabila angka ini
didasarkan pada frekuensi kasus pada suatu waktu,
maka istilah prevalensi titik dapat digunakan.
Apabila angka ini mencerminkan proporsi orang yang
terkena dampak selama periode yang lebih lama,
maka istilah periode prevalensi dapat digunakan.
Sebagian besar penyakit menular bersifat akut dan
berumur pendek, sehingga tingkat prevalensi tidak
umum digunakan. Penggunaan tingkat prevalensi
lebih relevan untuk penyakit yang lebih berlarut-larut
seperti endokarditis bakterial subakut, tuberkulosis,
dan kusta, atau untuk mencerminkan status karier
yang dapat bertahan selama berbulan-bulan atau
bertahun-tahun. Tingkat prevalensi mencerminkan
kejadian kali durasi penyakit. Dalam penggunaan
seroepidemiologi, istilah prevalensi menunjukkan
adanya antigen, antibodi, atau komponen lain dalam
darah.
26. Karantina adalah pembatasan orang atau hewan
yang terpajan pada sumber yang terinfeksi selama
masa inkubasi penyakit tersebut untuk mengamati
jika penyakit berkembang sehingga orang lain tidak
akan terpajan agen infeksi selama periode tersebut.
27. Reservoir adalah seseorang, hewan, tanah, atau
lingkungan lain di mana agen infeksi biasanya ada
dan berkembang biak dan yang dapat menjadi sumber
infeksi ke host lain.
28. Surveilans yang berkenaan dengan kesehatan
masyarakat adalah pengumpulan data sistematis

10
yang berkaitan dengan kejadian penyakit tertentu
atau kondisi terkait kesehatan, analisis dan
interpretasi data ini, dan penyebaran informasi yang
terkonsolidasi dan diproses kepada kontributor
program dan lainnya. orang yang berkepentingan
untuk tujuan pengendalian dan/atau pencegahan.
29. Surveilans serologis adalah identifikasi infeksi saat
ini dan masa lalu melalui pengukuran antibodi atau
antigen dalam serum dari sampel yang mewakili
populasi atau kelompok sasaran lainnya.
30. Kerentanan merupakan keadaan di mana seseorang
atau hewan mampu terinfeksi mikroorganisme.
Kurangnya antibodi pelindung spesifik biasanya
menunjukkan kerentanan terhadap agen tersebut,
meskipun reaktivasi atau reinfeksi pada beberapa
agen dapat terjadi dengan adanya antibodi.
31. Transmisi merupakan mekanisme di mana agen
infeksi menyebar ke host lain.
32. Virulensi merupakan derajat patogenisitas agen
infeksi yang dicerminkan oleh keparahan penyakit
yang dihasilkan dan kemampuannya untuk
menyerang jaringan pejamu.
33. Zoonosis atau infeksi atau penyakit menular yang
ditularkan dalam kondisi alami dari hewan ke
manusia. Ini mungkin endemik (enzootic) atau
epidemi (epizootic).

Konsep Dasar
Ahli epidemiologi sering menggunakan model untuk
menjelaskan terjadinya penyakit. Salah satu model yang
umum digunakan memandang penyakit dalam hal
kerentanan dan faktor paparan. Agar individu dapat
mengembangkan penyakit, mereka harus rentan terhadap
penyakit dan terkena penyakit. Misalnya, bagi seseorang

11
untuk mengembangkan campak (rubeola), penyakit virus
yang sangat menular yang pernah umum di antara anak-
anak, orang tersebut harus terpajan dengan orang yang
menularkan virus campak (kasus aktif) dan harus
kekurangan kekebalan terhadap virus campak. penyakit.
Kekebalan terhadap campak dapat diperoleh baik karena
sebelumnya pernah menderita penyakit tersebut atau
karena telah divaksinasi (Bhopal RS, 2002; Notoadmojo S,
2011).
Model lain yang umum digunakan adalah triad
epidemiologi (atau segitiga epidemiologi), memandang
terjadinya penyakit sebagai keseimbangan faktor host,
agen, dan lingkungan. Pejamu adalah penerima atau
korban yang sebenarnya atau potensial dari penyakit.
Host memiliki karakteristik yang mempengaruhi mereka
atau melindungi mereka dari penyakit. Karakteristik
tersebut mungkin biologis (misalnya, usia, jenis kelamin,
dan tingkat kekebalan), perilaku (misalnya, kebiasaan,
budaya, dan gaya hidup), atau sosial (misalnya, sikap,
norma, dan nilai). Agen adalah faktor penyebab penyakit
(Bhopal RS, 2002; Notoadmojo S, 2011).
Agen mungkin berasal dari benda yang bersiffat biologis
(misalnya, bakteri dan jamur), kimia (misalnya, gas dan
senyawa alami atau sintetis), nutrisi (misalnya, aditif
makanan), atau fisik (misalnya, radiasi pengion).
Lingkungan mencakup semua faktor eksternal, selain
pejamu dan agen, yang mempengaruhi kesehatan.
Lingkungan dapat dikategorikan sebagai lingkungan
sosial (misalnya, ekonomi, hukum, dan politik),
lingkungan fisik (misalnya, kondisi cuaca), atau
lingkungan biologis (misalnya, hewan dan tumbuhan).
Untuk menggambarkan triad epidemiologi, kasus kanker
paru-paru dapat dipertimbangkan. Pejamu adalah orang
yang mengembangkan kanker paru-paru. Mereka
mungkin memiliki kebiasaan merokok selama bertahun-

12
tahun. Agen adalah asap dan tar dan bahan kimia
beracun yang terkandung dalam tembakau. Lingkungan
mungkin merupakan tempat kerja di mana merokok di
tempat kerja diizinkan dan tempat di mana rokok atau
produk tembakau lainnya tersedia (Bhopal RS, 2002;
Notoadmojo S, 2011).

Pejamu
• Status imun
• Status gizi
• Status kesehatan

Lingkungan Agen
• Biologis • Virus
• Kimiawi • Bakteri
• Fisik • dll

Gambar 1. Segitiga Epidemiologi

Ahli epidemiologi menggunakan sumber data primer dan


sekunder untuk menghitung angka kejadian dan
melakukan studi. Data primer merupakan dat a asli yang
dikumpulkan untuk tujuan tertentu oleh atau untuk
penelitian. Misalnya, seorang ahli epidemiologi dapat
mengumpulkan data primer dengan mewawancarai
orang-orang yang jatuh sakit setelah makan di restoran
untuk mengidentifikasi makanan tertentu yang
dikonsumsi. Pengumpulan data primer mahal dan
memakan waktu, sehingga hanya dilakukan apabila data
sekunder tidak tersedia. Data sekunder adalah data yang
dikumpulkan untuk tujuan lain oleh individu atau
organisasi lain. Contoh sumber data sekunder yang
umum digunakan dalam studi epidemiologi meliputi akta
kelahiran dan kematian, catatan sensus penduduk,

13
catatan medis pasien, daftar penyakit, formulir klaim
asuransi dan catatan tagihan, laporan kasus departemen
kesehatan masyarakat, dan survei individu dan rumah
tangga (Bhopal RS, 2002; Notoadmojo S, 2011).
Epidemiologi deskriptif digunakan untuk
mengkarakterisasi distribusi penyakit dalam suatu
populasi. Ini menggambarkan orang, tempat, dan
karakteristik waktu terjadinya penyakit. Epidemiologi
analitik digunakan untuk menguji hipotesis untuk
menentukan apakah ada hubungan statistik antara
dugaan faktor penyebab dan kejadian penyakit. Ini juga
digunakan untuk menguji efektivitas dan keamanan
intervensi terapeutik dan medis. Pengujian epidemiologi
analitik dilakukan melalui empat jenis utama desain studi
penelitian: studi cross-sectional, studi kasus-kontrol,
studi kohort, dan uji klinis terkontrol (Bhopal RS, 2002;
Notoadmojo S, 2011).
Studi cross-sectional digunakan untuk mengeksplorasi
hubungan penyakit dengan variabel yang diminati.
Misalnya, sebuah studi cross-sectional yang dirancang
untuk menyelidiki apakah paparan gas radioaktif radon di
perumahan meningkatkan risiko kanker paru-paru dapat
memeriksa tingkat gas radon di rumah pasien kanker
paru-paru. Studi cross-sectional memiliki keuntungan
karena murah dan sederhana untuk dilakukan.
Kekurangan utama dari studi ini adalah hanya dapat
membangun asosiasi, bukan kausalitas (Bhopal RS, 2002;
Notoadmojo S, 2011).
Studi kasus-kontrol dimulai dengan menelaah orang
dengan penyakit (kasus) tertentu dan kelompok kontrol
yang sesuai tanpa penyakit. Peneliti membandingkan
kedua kelompok tersebut untuk keterpaparan mereka
terhadap faktor yang diduga menyebabkan penyakit
tersebut. Studi kasus-kontrol paling berguna untuk
memastikan penyebab kejadian langka, seperti kanker

14
langka. Studi kasus-kontrol memiliki keuntungan karena
cepat dilakukan dan tidak mahal, dan hanya memerlukan
sejumlah kecil kasus dan kontrol. Kekurangan utama
adalah penelitian ini mengandalkan ingatan, sehingga
memiliki risiko bias dalam menentukan status paparan
(Bhopal RS, 2002; Notoadmojo S, 2011).
Studi kohort merupakan studi observasional di mana
sekelompok orang tertentu (kohort) diikuti dari waktu ke
waktu dan hasilnya dibandingkan untuk individu yang
terpapar atau tidak terpapar faktor pada tingkat yang
berbeda. Kohort dapat dikumpulkan di masa sekarang
dan diikuti ke masa depan (studi kohort konkuren) atau
diidentifikasi dari catatan masa lalu (studi kohort
historis). Keuntungan utama dari studi kohort adalah
mereka mengidentifikasi waktu dan arah kejadian.
Kerugian utama studi kohort adalah membutuhkan
ukuran sampel yang besar dan waktu tindak lanjut yang
lama. Mereka juga tidak cocok untuk penelitian penyakit
langka.
Uji klinis terkontrol adalah studi yang menguji obat
terapeutik atau intervensi medis lainnya untuk menilai
efektivitas dan keamanannya. Sebuah uji klinis terkontrol
membandingkan hasil dari obat baru atau intervensi yang
diberikan kepada kelompok eksperimen dengan kelompok
kontrol yang tidak menerima obat atau intervensi yang
sama. Untuk meminimalkan bias, individu yang terlibat
dalam uji klinis dapat secara acak ditugaskan ke
kelompok eksperimen dan kontrol. Di banyak negara,
agen terapeutik dan perangkat medis baru harus
menjalani uji klinis terkontrol yang ketat sebelum tersedia
untuk umum. Keuntungan utama dari uji klinis terkontrol
adalah memberikan hasil yang tidak bias, tetapi sangat
mahal untuk dilakukan (Ilyas, 2012; Suryabrata S, 2008).

15
Daftar Pustaka

Bhopal RS. (2002). Concepts of Epidemiology: An


integrated introduction to the ideas, theories, principles
and methods of epidemiology. Oxford University Press.
Evans, A S. (1987). Subclinical epidemiology. The first
Harry A. Feldman memorial lecture. American Journal
of Epidemiology, 125(4), 545–555.
https://doi.org/10.1093/oxfordjournals.aje.a114568
Evans, Alfred S. (1979). RE: “DEFINITIONS OF
EPIDEMIOLOGY.” American Journal of Epidemiology,
109(3), 379–382.
https://doi.org/10.1093/oxfordjournals.aje.a112692
Evans, Alfred S. (2009). Epidemiological Concepts. In
Bacterial Infections of Humans: Epidemiology and
Control (hal. 1–50). https://doi.org/10.1007/978-0-
387-09843-2_1
Hamzah, B., Akbar, H., Rafsanjani, T. M., Sinaga, A. H.,
Hidayani, W. R., Panma, Y., & Bela, S. R. (2021). Teori
Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Yayasan
Penerbit Muhammad Zaini.
Ilyas, Y. (2012). Kinerja, teori, penilaian dan penelitian.
Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan FKM Universitas
Indonesia.
Notoadmojo S. (2011). Kesehatan Masyarakat, Ilmu &
Seni. Rineka Cipta.
Suryabrata S. (2008). Metodologi Penelitian. Raja Grafindo
Persada.
Young, J. M. (2017). Concepts of Epidemiology.
International Journal of Epidemiology, 46(4), 1347.
https://doi.org/10.1093/ije/dyx112.

16
Profil Penulis

Agustiawan

Agustiawan, lahir di Bangka, 2 Agustus 1993


merupakan Dokter di Rumah Sakit Islam (RSI)
Ibnu Sina Pekanbaru dan kemudian menjadi
kepala humas dan pemasaran. Selain itu, Agustiawan
juga masih aktif sebagai dokter umum di Rumah Sakit
Umum Daerah (RSUD) Arifin Achmad Pekanbaru, Riau.
Penulis menyelesaikan pendidikan di Fakultas
Kedokteran Universitas Malikussaleh pada tahun 2018.
Sekarang juga sedang menjalani Pendidikan Ilmu Hukum
di Universitas Terbuka serta Promosi Kesehatan dan Ilmu
Perilaku dalam pendidikan S2 Magister Kesehatan
Masyarakat di Institut Kesehatan Helvetia Medan.

Penulis tergabung dalam organisasi Ikatan Ahli Kesehatan


Masyarakat Indonesia (IAKMI), Perkumpulan Promotor
dan Pendidik Kesehatan Masyarakat Indonesia (PPPKMI),
Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Ahli Kesehatan
dan Keselamatan Kerja Indonesia (PAKKI), dan
mendirikan Perkumpulan Health Education and Promotion
(HEP) Indonesia. Menyelesaikan program kursus Ahli Ilmu
Faal Olahraga Klinis (AIFO-K) dan mendapatkan
sertifikasi tersebut dari BNSP RI. Penulis aktif menulis
beberapa jurnal dengan bahasan yang fokus pada Ilmu
Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran. Agustiawan juga
merupakan Associate Member dari Royal Society for Public
Health (AMRSPH) yang berpusat di London, UK.
Agustiawan juga menyelesaikan Diploma dalam
Sustainable Management dari IBMI Berlin.

Email: Agustiawan.dr@gmail.com

17
18
2
PRINSIP EPIDEMIOLOGI

I Made Dwi Mertha Adnyana, S.Si., C.MIE., M.Ked.Trop


(Cand).
Universitas Airlangga

Pengantar Epidemiologi

Epidemiologi adalah studi tentang distribusi dan


determinan keadaan atau kejadian yang berhubungan
dengan kesehatan pada populasi tertentu dan penerapan
studi ini untuk pengendalian masalah kesehatan yang
dihadapi oleh masyarakat secara luas. Menurut
Osterholm & Hedberg (2020) menjelaskan epidemiologi
adalah studi tentang peristiwa yang berhubungan dengan
kesehatan dalam populasi manusia atau hewan. Peristiwa
ini mencakup penyakit dan kondisi tertentu serta paparan
dan faktor pejamu yang berkontribusi terhadap kejadian
tersebut. Philip S. Brachman (1996), secara sederhana
menjelaskan epidemiologi adalah studi tentang pola,
penyebab, dan efek kondisi kesehatan dan penyakit pada
populasi tertentu. Studi epidemiologis meliputi etiologi
penyakit, surveilans dan skrining penyakit,
biomonitoring, dan uji klinis. Epidemiologi melibatkan
deskripsi yang cermat dari peristiwa dalam populasi dan
perbandingan tingkat di mana peristiwa ini terjadi antara
kelompok dalam populasi tersebut. Konsep epidemiologi
berlaku untuk penyakit menular dan tidak menular.
Berakar pada definisi, konsep dan gambaran umum
prinsip epidemiologi, maka secara harafiah epidemiologi
adalah studi (ilmiah, sistematis, data-driven) dari
19
distribusi (frekuensi, pola) dan determinan (penyebab,
faktor risiko) dari keadaan dan kejadian yang
berhubungan dengan kesehatan (bukan hanya penyakit)
pada populasi tertentu (pasien adalah komunitas,
individu dan dilihat secara kolektif), dan penerapan untuk
mengendalikan masalah kesehatan masyarakat secara
luas. Pada studi epidemiologi terdapat tiga hubungan
utama yang dipelajari mengenai proses dan konsep
terjadinya suatu penyakit diantaranya agen etiologi,
metode penularan (melalui kontak, oleh kendaraan
umum, atau melalui udara atau vektor), dan host. Tenaga
kesehatan umumnya menggunakan prinsip-prinsip
epidemiologi sebagai dasar untuk kegiatan surveilans dan
penyelidikan penyakit di suatu wilayah berbasis
komunitas.
Terdapat beberapa istilah yang digunakan dalam
mempelajari prinsip – prinsip epidemiologi diantaranya
distribusi, determinan, populasi tertentu dan aplikasi
(Phillips & Acheson, 2014; Roht et al., 1982a).
1. Distribusi epidemiologi berkaitan dengan frekuensi
dan pola kejadian kesehatan dalam suatu populasi.
Frekuensi tidak hanya mencakup jumlah kejadian
dalam suatu populasi, tetapi juga tingkat atau risiko
penyakit dalam populasi tersebut. Menentukan
tingkat kejadian penyakit (jumlah kejadian dibagi
dengan ukuran populasi) untuk membuat
perbandingan yang valid dan hubungan jumlah
tersebut dengan ukuran populasi. Sedangkan, Istilah
"pola" mengacu pada frekuensi terjadinya peristiwa
yang berhubungan dengan kesehatan dalam
kaitannya dengan waktu, tempat, dan orang. Pola
waktu mungkin tahunan, musiman, mingguan,
harian, jam, hari kerja vs akhir pekan, atau interval
waktu lain yang dapat mempengaruhi terjadinya
penyakit atau cedera. Pola geografis, perbedaan

20
perkotaan/pedesaan, dan lokasi pekerjaan atau
sekolah merupakan contoh pola tempat. Karakteristik
pribadi meliputi usia, jenis kelamin, status
perkawinan, dan tingkat sosial ekonomi, serta
perilaku dan paparan lingkungan.
2. Determinan merupakan penyebab dan faktor lain
yang mempengaruhi terjadinya penyakit dan kejadian
lain yang berhubungan dengan kesehatan
(Crookshank, 2016). Dalam studi epidemiologi
determinan digunakan untuk mencari penyebab dan
faktor lain yang mempengaruhi terjadinya kejadian
suatu penyakit. Terjadinya suatu kejadian yang
berhubungan dengan penyakit biasanya berkaitan
dengan berbagai determinan yang harus
dipertimbangkan. Sebagai contoh faktor penentu
termasuk kerentanan host terhadap penyakit, dan
kesempatan untuk terpapar mikroorganisme, toksin
lingkungan, vektor atau individu lain yang terinfeksi
yang menimbulkan risiko tertular penyakit.
3. Populasi tertentu digunakan oleh ahli epidemiologi
atas keprihatinan dengan kesehatan kolektif individu
di komunitas atau area lain dan dampak peristiwa
kesehatan pada populasi tersebut. Sebagai contoh:
ketika seorang pasien dengan penyakit diare datang
ke tempat pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan
tertarik untuk menegakkan diagnosis yang benar.
Dokter biasanya berfokus pada merawat individu agar
kembali sehat namun, ahli epidemiologi berfokus
pada mengidentifikasi paparan atau sumber yang
menyebabkan penyakit, jumlah orang lain yang
mungkin telah terpapar serupa, potensi penyebaran
lebih lanjut di masyarakat, dan intervensi untuk
mencegah kasus tambahan atau kekambuhan.
4. Aplikasi umumnya digunakan oleh seorang ahli
epidemiologi untuk menyediakan data guna

21
mengarahkan tindakan atau diagnosis untuk
meningkatkan kesehatan masyarakat. Metode ilmiah
epidemiologi deskriptif dan analitik digunakan
dalammenegakkan suatu kondisi dan atau
"mendiagnosis" pasien. (Kim-Farley R.J, (2015)
menjelaskan aplikasi epidemiologi tidak hanya "studi
tentang" kesehatan dalam suatu populasi, tetapi
melibatkan penerapan pengetahuan yang diperoleh
dari studi ke praktik berbasis masyarakat. Seperti
praktik kedokteran, praktik epidemiologi adalah ilmu
sekaligus praktik yang diterapkan oleh seorang tenaga
kesehatan. Guna menegakkan diagnosis yang tepat
dan meresepkan pengobatan yang tepat untuk pasien,
dokter menggabungkan pengetahuan medis (scientific)
dengan pengalaman, penilaian klinis, dan
pemahaman pasien. Demikian pula, ahli epidemiologi
menggunakan metode ilmiah epidemiologi deskriptif
dan analitik serta pengalaman, penilaian
epidemiologi, dan pemahaman tentang kondisi lokal
dalam "diagnosing" kesehatan masyarakat dan
mengusulkan intervensi kesehatan masyarakat yang
tepat, praktis, dan dapat diterima untuk
mengendalikan dan mencegah penyakit di
masyarakat.
Surveilans penyakit umumnya dimulai dengan
epidemiologi deskriptif terkait mendefinisikan apa, siapa,
kapan, dan di mana kejadian terkait kesehatan (Dicker et
al., 2006; McNamara & Martin, 2018). Studi epidemiologi
cenderung menggunakan akronim untuk 5 W diantaranya
diagnosis atau peristiwa kesehatan (apa), orang (siapa),
tempat (dimana), waktu (kapan), dan penyebab, faktor
risiko, dan cara penularan (mengapa/ bagaimana).
a. Apa (What): Mendefinisikan kejadian penyakit
dan/atau determinannya

22
b. Bagaimana (Who): Deskripsi karakteristik demografis
sangat membantu dalam menentukan kelompok
mana yang berisiko untuk beberapa hasil.
Karakteristik demografi umumnya mencakup usia,
jenis kelamin dan ras/etnis. Kategori lain termasuk
status sosial ekonomi, riwayat pekerjaan, atau
kebiasaan merokok, yang memberikan informasi
berguna tentang pajanan yang dapat menimbulkan
risiko. Riwayat penyakit yang mendasari mungkin
berguna untuk menentukan kerentanan terhadap
kondisi tertentu.
c. Kapan (When): Mengikuti perubahan tingkat penyakit
dari waktu ke waktu, mengikuti tren penyakit jangka
panjang dan pengetahuan tentang musim penyakit
tertentu membantu mengidentifikasi kejadian tidak
biasa yang dapat menentukan epidemi. Hubungan
temporal antara pajanan pada penyakit memberikan
informasi tentang masa inkubasi dan pajanan yang
menimbulkan risiko bagi orang lain.
d. Dimana (Where): Wawasan tentang jangkauan
geografis dari peristiwa yang berhubungan dengan
kesehatan memberikan gambaran tentang di mana
agen penyebab penyakit biasanya hidup dan
berkembang biak, apa yang dapat membawa atau
menularkannya, dan bagaimana penyakit itu
menyebar.

Tujuan Analisis Epidemiologi

Tujuan analisis epidemiologi sering dipertimbangkan


untuk menyelidiki dan mengendalikan epidemi atau
wabah pada suatu wilayah dan atau populasi (Benatar,
2014; Osterholm & Hedberg, 2020). Terdapat 10 tujuan
analisis epidemiologi yakni:

23
1. Menjelaskan pola infeksi dan kejadian penyakit dalam
populasi.
2. Identifikasi wabah atau tingkat kejadian penyakit
yang tidak biasa.
3. Memfasilitasi upaya berbasis laboratorium untuk
mengidentifikasi agen infeksi.
4. Jelaskan terjadinya infeksi tanpa gejala dan spektrum
penyakit yang terkait dengan agen spesifik.
5. Memberikan deskripsi penyakit klinis berbasis
populasi untuk meningkatkan spesifisitas diagnosis
penyakit individu.
6. Membantu dalam pemahaman patogenesis penyakit.
7. Mengidentifikasi dan mengkarakterisasi faktor-faktor
dalam rantai infeksi yang berkontribusi terhadap
transmisi agen dan perkembangan penyakit.
8. Mengembangkan dan mengevaluasi protokol
pengobatan melalui uji klinis.
9. Mengembangkan dan mengevaluasi tindakan
pencegahan dan pengendalian primer, sekunder, dan
tersier untuk individu.
10. Menjelaskan dan menilai penggunaan tindakan
pencegahan pada komunitas secara luas.

Metode Studi Epidemiologi

Dalam studi epidemiologi umumnya mengandalkan


disiplin ilmu lain seperti biologi untuk lebih memahami
proses penyakit, statistik untuk memanfaatkan data
secara efisien dan menarik kesimpulan yang tepat, ilmu
sosial untuk lebih memahami penyebab langsung dan
distal, dan rekayasa untuk penilaian paparan (Taylor et
al., 2016). Metode studi epidemiologi umumnya
menerapkan berbagai desain penelitian termasuk desain

24
studi observasional hingga eksperimental. Desain
penelitian epidemiologi meliputi studi deskriptif, analitis
(bertujuan untuk memeriksa lebih lanjut asosiasi yang
diketahui atau hubungan yang dihipotesiskan), dan
eksperimental (istilah yang sering disamakan dengan uji
klinis atau komunitas pengobatan dan intervensi lainnya)
(Rothman & Greenland, 2005; Tweeten, 2016).
Metode studi epidemiologi menggunakan pendekatan
sistematis untuk pemecahan masalah dengan: (1)
menetapkan keberadaan epidemi dan memvalidasi
diagnosis; (2) mengembangkan definisi kasus dan
mengumpulkan data kasus; (3) menganalisis data
berdasarkan waktu, tempat, dan orang; (4)
mengembangkan hipotesis; (5) melakukan studi
tambahan yang diperlukan; (6) mengembangkan dan
menerapkan tindakan pengendalian dan pencegahan; (7)
menyusun dan menyebarluaskan laporan publik; dan (8)
mengevaluasi tindakan pengendalian dan pencegahan
(Kebede, 2004; Roht et al., 1982b).
Teknik dalam Studi Epidemiologi
Tiga teknik epidemiologi utama adalah deskriptif, analitik,
dan eksperimental.
a. Epidemiologi Deskriptif
Dalam epidemiologi deskriptif, data yang
menggambarkan terjadinya penyakit dikumpulkan
dengan berbagai metode dari semua sumber yang
relevan. Data tersebut kemudian dikumpulkan
berdasarkan waktu, tempat, dan orang. Empat tren
waktu dipertimbangkan dalam menggambarkan studi
dan data epidemiologi. Tren sekuler menggambarkan
terjadinya penyakit dalam jangka waktu lama,
umumnya bertahun-tahun dan dipengaruhi oleh
tingkat kekebalan dalam populasi dan kemungkinan
tindakan nonspesifik. Tren periodik, modifikasi

25
sementara dalam tren sekuler secara keseluruhan,
tren periodik dapat menunjukkan perubahan
karakteristik antigenik dari agen penyakit. Tren
musiman, mencerminkan perubahan musiman
dalam kejadian penyakit mengikuti perubahan
kondisi lingkungan yang meningkatkan kemampuan
agen untuk mereplikasi atau ditularkan. Tren
epidemi penyakit, tren ini adalah tahap keempat
yang mendefinisikan epidemi suatu penyakit yang
berkaitan dengan peningkatan kejadian tiba-tiba
karena faktor umum yang mendukung penularan.
b. Epidemiologi Analitik
Metode epidemiologi kedua adalah epidemiologi
analitik, yang menganalisis determinan penyakit
untuk kemungkinan hubungan sebab akibat. Dua
metode analitik utama adalah metode kasus-kontrol
(atau perbandingan kasus) dan metode kohort.
Metode kasus-kontrol dimulai dengan akibat
(penyakit) dan secara retrospektif menyelidiki
penyebab yang menyebabkan akibat. Kelompok kasus
terdiri dari individu dengan penyakit, kelompok
pembanding memiliki anggota yang mirip dengan
kelompok kasus tetapi tidak adanya penyakit. Kedua
kelompok ini kemudian dibandingkan untuk
menentukan perbedaan yang menjelaskan terjadinya
penyakit. Pendekatan kasus-kontrol relatif mudah
dilakukan, dapat diselesaikan dalam waktu yang lebih
singkat, dan tidak mahal serta dapat direproduksi.
namun, bias dapat terjadi saat memilih dan
menentukan dua kelompok dikarenakan sulit untuk
mengecualikan kasus subklinis dari kelompok
pembanding, dan ingatan pasien tentang peristiwa
masa lalu mungkin salah. Metode kohort, yang
secara prospektif mempelajari dua populasi: satu yang
memiliki kontak dengan faktor penyebab yang

26
dicurigai yang diteliti dan kelompok serupa yang tidak
memiliki kontak dengan faktor tersebut. Ketika kedua
kelompok diamati, efek dari faktor tersebut harus
menjadi jelas. Keuntungan dari studi kohort berkaitan
dengan keakuratan data yang dikumpulkan dan
kemampuan untuk membuat perkiraan langsung dari
risiko penyakit akibat kontak faktor, namun, studi
kohort membutuhkan waktu lebih lama dan lebih
mahal untuk dilakukan. Metode analitik lain adalah
studi cross-sectional, di mana populasi disurvei
selama periode terbatas untuk menentukan
hubungan antara penyakit dan variabel yang ada
pada saat yang sama yang dapat mempengaruhi
kejadiannya.
c. Epidemiologi Eksperimental
Metode epidemiologi eksperimental merupakan salah
satu pendekatan epidemiologi yang berkaitan dengan
penyusunan sebuah hipotesis, dikembangkan dan
model eksperimental dibangun di mana satu atau
lebih faktor yang dipilih untuk dimanipulasi. Efek
manipulasi akan mengkonfirmasi atau menyangkal
kebenaran suatu hipotesis.

Istilah dan Ukuran dalam Epidemiologi

Mempelajari prinsip – prinsip epidemiologi, tidak terlepas


dari perhitungan secara statistik dan dibarengi dengan
istilah dan ukuran untuk menginterpretasikan suatu data
yang telah diperoleh secara deskriptif, analitik maupun
eksperimental. Istilah dan ukuran epidemiologi antara
lain (Benatar, 2014; Crookshank, 2016; Roht et al., 1982c)
1. Insiden (Incidence rate) adalah ukuran risiko/ tingkat
kejadian dari jumlah kasus baru dibagi dengan
populasi selama periode waktu tertentu atau jumlah
kasus baru yang dibagi dengan jumlah populasi

27
berisiko (population at risk) pada waktu tertentu dan
dikali dengan kontanta (k). Sedangkan, Attack rate
adalah ukuran risiko tingkat kejadian dari jumlah
kasus baru dibagi dengan jumlah populasi pada
waktu yang terbatas yang dikalikan dengan konstanta
(% atau 100). Attack rate umumnya digunakan
sebagai ukuran terjadinya kasus luar biasa atau
wabah.
2. Prevalensi merupakan jumlah total kasus penyakit
dalam suatu populasi daripada laju terjadinya kasus
baru (Rothman & Greenland, 2005). Selanjutnya,
prevalensi adalah proporsi jumlah kasus terhadap
jumlah penduduk dan lebih merupakan ukuran
beban penyakit pada masyarakat (Tweeten, 2016).
Prevalensi terbagi menjadi dua yakni prevalensi
periode (Period Prevalence Rate) yakni proporsi kasus
lama dan baru dibagi dengan populasi pertengahan
tahun sedangkan, prevalensi poin (Point Prevalence
Rate) yakni proporsi kasus lama dan baru pada suatu
titik tertentu dibagi dengan jumlah populasi saat itu.
Prevalensi suatu penyakit untuk menyampaikan
seberapa luas penyakit di suatu wilayah.
3. Morbiditas adalah keadaan sakit, cacat, atau
kesehatan yang buruk karena sebab apapun. Istilah
ini dapat digunakan untuk merujuk pada keberadaan
segala bentuk penyakit, atau sejauh mana kondisi
kesehatan mempengaruhi pasien. Dalam
epidemiologi, istilahtingkat morbiditas dapat merujuk
pada tingkat insiden, atau prevalensi suatu penyakit,
atau kondisi medis.
4. Mortalitas adalah suatu kondisi proporsi orang yang
meninggal selama interval waktu tertentu dibagi
dengan jumlah populasi kasus pada waktu tertentu.
Pada mortalitas sering disebut sebagai ukuran Case
Fatality Rate (CFR). Sedangkan, untuk menentukan

28
angka kematian kasar umumnya menggunakan
estimasi proporsi orang yang meninggal pada populasi
tertentu dan disebut Crude Death Rate (CDR). CDR
tidak mempertimbangkan variasi usia, gender dan
faktor lain.

Wabah, Sporadis, Endemi, Epidemi dan Pandemi

Ukuran suatu penyakit di wilayah tertentu


dikelompokkan berdasarkan istilah dan besaran dari
kasus yang terjadi yang terbagi menjadi wabah, sporadis,
endemi, epidemi dan pandemi (Kebede, 2004; Osterholm
& Hedberg, 2020; Phillips & Acheson, 2014).
1. Wabah adalah istilah yang menggambarkan kejadian
penyakit yang mengalami peningkatan signifikan dan
lebih besar daripada yang diperkirakan pada waktu
dan tempat tertentu.
2. Sporadis adalah istilah yang menggambarkan
kejadian penyakit yang ditemukan di wilayah tertentu
dan frekuensinya berubah- ubah menurut waktu
tertentu.
3. Endemi adalah istilah yang menggambarkan kejadian
penyakit yang menyebar di dalam wilayah geografis
atau di antara sekelompok masyarakat. Endemik
mengacu pada suatu kondisi atau kejadian penyakit
yang persisten atau lazim di suatu populasi atau
wilayah geografis.
4. Epidemi adalah istilah yang menggambarkan
kejadian penyakit menular yang menyebar dengan
cepat di wilayah yang luas dan mengakibatkan
mortalitas banyak orang. Peningkatan abnormal
dalam jumlah penyakit dalam populasi di wilayah
geografis tertentu yang biasanya terjadi secara tidak
terduga.

29
5. Pandemi adalah istilah yang menggambarkan wabah
yang menyebar dengan cepat dan seragam di seluruh
wilayah geografis yang luas. Pandemi menyebar ke
seluruh negara atau benua, biasanya berdampak
pada populasi yang sangat besar.

Prinsip Umum dan Tujuan Penyelidikan Penyakit


Menular

Secara umum penyakit menular di suatu populasi harus


di cegah melalui kegiatan surveilance yang terintergrasi
berdasarkan pada frekuensi dan kompleksitasnya
(Richard Dicker, 2015). Penyakit menular dapat
ditransmisikan melalui tiga cara antara lain: 1) melalui
kendaraan; 2) melalui vektor, dan 3) melalui udara.
Penularan melalui kendaraan terjadi ketika bahan apa
pun berfungsi sebagai perantara dimana agen infeksi
dimasukkan ke dalam pejamu (host) yang rentan melalui
pintu masuk yang sesuai penularan melalui vektor terjadi
ketika propagasi (perbanyakan), perkembangan siklik,
atau kombinasi dari peristiwa-peristiwa ini
(siklopropagatif) diperlukan sebelum arthropoda
menularkan agen yang terinfeksi ke manusia. Sedangkan,
melalui udara melibatkan penyebaran aerosol dengan
agen infeksius ke portal masuk yang sesuai ke pejamu
umumnya saluran pernapasan.
Tujuan penyelidikan penyakit menular untuk:
1. Mencegah penularan dari kasus ke kontak melalui
diskusi lengkap tentang topik ini dimulai di bawah.
2. Identifikasi sumber penyakit melalui identifikasi
sumbernya yang mungkin dari lingkungan, makanan,
atau orang lain. Identifikasinya dapat mengarah pada
pengendalian.

30
3. Identifikasi kasus lain melalui setiap kasus yang
dilaporkan harus dianggap sebagai kejadian
kesehatan sentinel. Upaya mengidentifikasi kasus
lain yang tidak terdiagnosis dan/atau dilaporkan
dapat mengungkap wabah dan sumber
umum. Penting untuk mempertanyakan kasus yang
dilaporkan tentang orang lain yang telah terpapar
atau yang memiliki gejala serupa.
4. Melakukan surveilans melalui Informasi yang
dikumpulkan saat menyelidiki penyakit yang
dilaporkan dapat diperiksa berdasarkan negara
bagian atau regional untuk mengidentifikasi wabah
atau tren dan untuk merumuskan
kebijakan. Informasi ini dikumpulkan pada formulir
standar dan sering dikirim ke Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Penyakit untuk pengawasan secara
nasional.
5. Memastikan host memiliki pengawasan medis yang
memadai yang merupakan tanggung jawab termasuk
memastikan host dirawat dengan baik dan memahami
konsekuensi penyakitnya. Jika perawatan medis
tidak memadai, rujukan yang tepat harus dilakukan.

Prinsip Umum Mencegah Penularan

Pada bagian ini menjelaskan bagaimana kasus dan


kontak dapat dikelola untuk mencegah penularan
penyakit menular dari agen ke penjamu melalui 2 prinsip
utama yakni manajemen kasus dan manajemen kontak
(Kim-Farley R.J, 2015; McNamara & Martin, 2018;
Osterholm & Hedberg, 2020).
1. Manajemen Kasus
Tahapan dari manejemen kasus antara lain.

31
a. Verifikasi Diagnosis, sangat penting dilakukan
untuk segera menetapkan atau memverifikasi
agen etiologi yang bertanggung jawab atas
penyakit ini. Untuk banyak penyakit yang
dilaporkan oleh dokter atau orang lain, seringkali
hanya ada sedikit atau tidak ada data
laboratorium yang tersedia untuk memverifikasi
diagnosis. Karena upaya pengendalian
bergantung pada diagnosis yang tepat, penting
untuk: (a) menentukan apakah informasi ini
ada; (b) mengatur pengujian laboratorium jika
informasi tersebut tidak ada; atau (c) membuat
tebakan terbaik tentang diagnosis jika tidak dapat
diperoleh.
b. Tentukan apakah Kasusnya Menular atau
Mungkin Menular. Jika kasusnya masih
menular, Anda harus mengidentifikasi langkah-
langkah yang tersedia untuk mencegah
penularan. Ada dua cara untuk menilai
infektivitas kasus:
 Estimasi, pada tahap ini dapat menggunakan
tanggal mulai sakit, tanggal pengobatan yang
diketahui, dan periode penularan penyakit
yang diketahui.
 Verifikasi, pada tahap ini memerlukan
pengujian laboratorium terhadap spesimen
untuk kasus tersebut (misalnya, spesimen
tinja untuk penjamah makanan dengan
salmonellosis). Metode mana yang Anda
gunakan tergantung pada penyakitnya
(periode penularan untuk beberapa penyakit
tepat untuk yang lain tidak tepat), kualitas
informasi tentang kasus (misalnya, apakah
tanggal mulai diketahui?), dan kebutuhan

32
untuk mengetahui pasti apakah kasus ini
menular atau tidak.
c. Minimalkan Durasi Infektivitas Kasus,
penggunaan obat-obatan adalah cara paling
penting untuk mempersingkat durasi infektivitas
untuk banyak penyakit. Biasanya, keputusan
tentang perawatan obat akan dibuat pada saat
tenaga medis melakukan penyelidikan.
d. Menerapkan Praktik untuk Mencegah
Penularan, melalui praktik ini bergantung pada
penyakit dan keadaan lainnya. Apabila penyakit
menular harus melakukan desinfeksi dan buang
bahan yang terkontaminasi, desinfektan kotak,
pakaian, tempat tidur, dan lain sebagainya,
mendorong praktik perilaku kasus (misalnya,
mencuci tangan, menutup hidung dan mulut saat
batuk/bersin, melindungi lesi dari kontak dengan
orang lain), mengisolasi kasus baru dengan durasi
dan derajat penyakitnya.
2. Manajemen Kontak
Tahapan pada manajemen kontak antara lain.
a. Tentukan risiko infeksi pada kontak, pada
tahap ini diperlukan evaluasi mengenai seberapa
besar frekuensi, durasi dan dosis paparan.
b. Tentukan apakah kontak tersebut sakit atau
terinfeksi, pada tahap ini tenaga medis dan atau
epidemiolog mencari tanda atau gejala
klinis. Penting untuk mengetahui apakah kontak
tersebut pada tahap awal suatu penyakit atau
terinfeksi tanpa gejala dan harus mengandalkan
laboratorium.
c. Mencegah penyakit pada orang yang rentan,
pada tahap ini perlu untuk memikirkan kontak

33
dalam dua cara: Mereka yang telah terpapar, dan
mereka yang mungkin belum terpapar, baik
dengan sumber aslinya atau kontak yang
kemudian mendapatkan infeksi. Pilihan tindakan
pencegahan tergantung pada
penyakitnya. Identifikasi cepat dari orang yang
rentan adalah penting. Pada tahap ini diharapkan
melakukan pengawasan pribadi terhadap orang
yang terpajan dan melaporkan pada akhir masa
inkubasi maksimum untuk melihat apakah host
sakit atau cukup minta kontak untuk menelepon
apabila terdapat peningkatan gejala kasus.
Intensitas pengawasan tergantung pada intensitas
pencegahan penularan dari orang terpajan ke
orang lain.

Langkah- Langkah Investigasi Penyakit Menular

Lembaga layanan kesehatan memiliki tanggung jawab


untuk melembagakan tindakan pengendalian dan
pencegahan suatu penyakit terutama penyakit menular.
Investigasi penyakit dianggap sebagai peluang untuk
mempelajari kejadian penyakit dan latihan bagi mereka
yang melakukan investigasi. Jika kasus terus terjadi
tujuan utama untik mencegah kasus munculnya
tambahan (Dicker et al., 2006; Kebede, 2004). Investigasi
penyakit menular dapat dilakukan melalui langkah –
langkah berikut.
1. Mempersiapkan fisik untuk bekerja secara
lapangan, pada tahap ini umumnya epidemiolog
melakukan diskusi dan pembahasan bersama ahli
dan melakukan, tinjauan literatur untuk peningkatan
konsep dan pematangan rencana kerja.
2. Menetapkan keberadaan penyakit menular, wabah
atau epidemi adalah terjadinya kasus penyakit secara

34
signifikan daripada yang diperkirakan di daerah
tertentu atau di antara sekelompok orang tertentu
selama periode waktu
tertentu. Cluster adalah agregasi kasus di area
tertentu selama periode tertentu tanpa
memperhatikan jumlah kasus lebih dari yang
diharapkan. Pada tahap ini penting untuk
menetapkan status penyakit berdasarkan ukuran
epidemiologi. Beberapa alasan untuk epidemi "palsu"
yakni laporan kasus sporadis dari kasus yang tidak
terkait dari penyakit yang sama, laporan kasus serupa
tetapi penyakit yang tidak terkait, atau perubahan
dalam surveilans atau prosedur pelaporan.
3. Verifikasi diagnosis, pada tahap ini dilakukan
pengumpulan informasi klinis yang dikonfirmasi
melalui hasil tes laboratorium yang dilakukan.
4. Mendefinisikan dan mengidentifikasi kasus, pada
tahap ini dilakukan penetapan definisi kasus untuk
penyakit menggunakan seperangkat kriteria standar
untuk memutuskan pasien tergolong kedalam
penyakit menular atau tidak.
5. Lakukan epidemiologi deskriptif, pada tahap ini
proses pengumpulan informasi untuk
mengkarakterisasi wabah menurut waktu, tempat,
dan orang serta pedoman apa, siapa, kapan dan di
mana terjadinya penyakit.
6. Kembangkan hipotesis, Setelah mengumpulkan
beberapa informasi awal yang mencirikan wabah,
seseorang harus dapat merumuskan hipotesis yang
membahas sumber agen, cara (dan kendaraan atau
vektor) penularan, dan pajanan yang menyebabkan
penyakit pada host atau penjamu di suatu wilayah.
7. Evaluasi hipotesis, pada tahap ini proses
membandingkan hipotesis dengan fakta yang

35
ada. Apakah masuk akal dan konsisten? Jika tidak,
hipotesis harus direvisi. Jika perlu, pertimbangkan
kembali/perbaiki hipotesis dan lakukan studi
tambahan.
8. Menerapkan tindakan pengendalian dan
pencegahan, pada tahapan ini adalah tujuan utama
dari sebagian besar investigasi wabah. Langkah-
langkah pencegahan dan pengendalian harus
dilaksanakan sesegera mungkin dalam pengaturan
wabah. pada tahap ini dilakukan pemberantasann
agen atau sumber penyebab penyakit atau
mengimunisasi dan memberikan profilaksis kepada
populasi yang berisiko terpajan penyakit atau agen
tersebut.
9. Membuat daftar baris, item penting dipilih dari
formulir pengumpulan data dan diatur sehingga data
dari beberapa kasus dapat dimasukkan dalam kolom
pada satu lembar untuk meringkas data. Setiap kolom
mewakili variabel penting berupa identitas, nomor
identifikasi, usia, jenis kelamin, dan klasifikasi kasus.
Sedangkan, setiap baris mewakili kasus yang berbeda.
10. Menyusun dan menetapkan kurva epidemi, pada
tahap ini berfungsi sebagai peta epidemi sekaligus
informasi visual dari besarnya penyakit dan tren
waktu.
11. Komunikasikan temuan, pada tahap ini sebuah
briefing lisan atau laporan tertulis selalu berguna
untuk meringkas penyelidikan. Menyajikan
rekomendasi secara formal memberikan blue point
untuk tindakan dan dapat berfungsi sebagai referensi
menghadapi situasi serupa di masa depan.

36
Daftar Pustaka

Benatar, M. (2014). Basic Principles of Epidemiology and


Biostatistics. In Neuromuscular Disease: Evidence and
Analysis in Clinical Neurology (pp. 1005–1012).
Humana Press Inc.
Crookshank, F. . (2016). First Principles and
Epidemiology. In Epidemiology and State medicine (pp.
160–184). SAGE.
Dicker, R., Coronado, F., Koo, D., & Parrish, R. G. (2006).
Principles of Epidemiology in Public Health Practice. In
Centers for Disease Control and Prevention (CDC
(Third, Issue May). Centers for Disease Control and
Prevention (CDC).
Kebede, Y. (2004). Epidemiology: For Environment and
Occupational Health Students. The Ethiopia Ministry of
Health.
Kim-Farley R.J. (2015). Principles of infectious disease
control. Oxford University Press.
https://doi.org/10.1093/med/9780199661756.003.
0238
McNamara, L. A., & Martin, S. W. (2018). Principles of
Epidemiology and Public Health. In Principles and
Practice of Pediatric Infectious Diseases (Fifth Edit).
Elsevier Inc. https://doi.org/10.1016/B978-0-323-
40181-4.00001-3
Osterholm, M. T., & Hedberg, C. W. (2020). Epidemiologic
Principles. In Epidemiology of Infectious Disease (pp.
146–157).
Philip S. Brachman. (1996). Epidemiology. In B. S. (Ed.),
Medical Microbiology (4th ed.). The University of Texas
Medical Branch at Galveston.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK7993/

37
Phillips, A., & Acheson, N. (2014). Basic epidemiology (2nd
ed.). World Health Organization.
https://doi.org/10.1017/CBO9781139696951.003
Richard Dicker. (2015). Principles of Epidemiology. In
Centers for Disease Control and Prevention (CDC)
(Second, Issue CDC). Centers for Disease Control and
Prevention (CDC).
Roht, L. H., Selwyn, B. J., Holguin, A. H., & Christensen,
B. L. (1982a). Introduction to Basic Tenets of
Epidemiology. In Principles of Epidemiology (p. 10).
https://doi.org/10.1016/b978-0-12-593180-
9.50006-3
Roht, L. H., Selwyn, B. J., Holguin, A. H., & Christensen,
B. L. (1982b). Introduction to Epidemiologic Strategy.
In Principles of Epidemiology (p. 232).
https://doi.org/10.1016/b978-0-12-593180-
9.50014-2
Roht, L. H., Selwyn, B. J., Holguin, A. H., & Christensen,
B. L. (1982c). Introduction to Study Design and
Interpretation of Data. In Principles of Epidemiology (p.
357). https://doi.org/10.1016/b978-0-12-593180-
9.50018-x
Rothman, K. J., & Greenland, S. (2005). Causation and
causal inference in epidemiology. American Journal of
Public Health, 95, 144–150.
https://doi.org/10.2105/AJPH.2004.059204
Taylor, A. N., Cullinan, P., Blanc, P., & Pickering, A.
(2016). Parkes’ occupational lung disorders, fourth
edition (Third). Centers for Disease Control and
Prevention (CDC).
https://doi.org/10.1201/9781315381848

38
Tweeten, S. M. (2016). General Principles of
Epidemiology. Apix Text of Infection Control and 39
Epidemiology, 224–241. DOI: 10.18356/8d67c26a-en

39
Profil Penulis
I Made Dwi Mertha Adnyana
Penulis dilahirkan di Negara 30 Juli 1998.
Menyelesaikan studi di Program Strata 1
Biologi dengan Predikat Cumlaude dan
sebagai lulusan Terbaik ditingkat Fakultas
pada tahun 2021 dan saat ini penulis
melanjutkan dan menempuh studi di Program Studi
Magister Ilmu Kedokteran Tropis, Fakultas Kedokteran,
Universitas Airlangga dengan minatstudi/konsentrasi
Epidemiologi Kedokteran Tropis. Penulis telah
memperoleh sertifikasi internasional dari Microsoft
(Certified Microsoft Innovatif Educator) pada tahun 2021.
Aktif berkontribusi dalam riset bidang epidemiologi
penyakit tropis, penyakit tular vektor, kesehatan
lingkungan, biofarmasi dan natural produk.
Prestasi utama yang pernah diraih yakni penghargaan 10
kali di tingkat internasional dan 44 Kali di tingkat
Nasional dalam bidang karya tulis ilmiah, poster dan
essay. Aktif melaksanakan riset dan publikasi jurnal
Internasional Bereputasi terindeks Scopus (ID
57506719400/ Web of Science (ID AAC-8778-2022) dan
jurnal nasional terindeks SINTA. Telah menghasilkan book
chapter dengan judul “Metode penelitian pendekatan
kuantitatif” (2021) dan sebagai editor dan reviewer buku
dan jurnal nasional dan internasional. Telah
menyelesaikan exchange master program di Department of
Tropical Medicine, Faculty of Tropical Medicine, Mahidol
University (Thailand), menyelesaikan Short Course di
London School of Hygiene & Tropical Medicine (United
Kingdom) – 2021 dan Taipei Medical University (2022).
Aktif sebagai narasumber dalam acara seminar, pelatihan,
dan sejenisnya.
Email Penulis : dwikmertha13@gmail.com
i.made.dwi.mertha-2021@fk.unair.ac.id

40
3
TEORI PENYAKIT MENULAR

Ashriady, S.KM., M.Kes.


Poltekkes Kemenkes Mamuju

Pendahuluan

Beberapa dekade terakhir, masalah penyakit menular


sudah mulai dapat teratasi bahkan berkat kemajuan
teknologi beberapa penyakit menular telah dapat
diberantas melalui penanganan lingkungan biologis yang
sangat berkaitan dengan timbulnya penyakit menular
tersebut. Walaupun demikian, di negara sedang
berkembang sebagian besar penduduk masih merasakan
masalah penyakit menular ini disamping munculnya
beberapa masalah baru berupa penyakit tidak menular
pada negara maju.
Pada sisi yang lain, semakin berkembangnya ilmu
pengetahuan dan teknologi turut memberikan dampak
terhadap lingkungan sosial budaya yang juga akan
mempengaruhi pola perilaku di masyarakat. Dalam
hubungannya dengan pola penyakit, perubahan
lingkungan sosial budaya dapat berpengaruh positif
maupun negatif terhadap pola penyakit yang akan terjadi.
Pada kondisi yang lain, semakin berkembangnya bidang
komunikasi dan transportasi yang mengantarkan
manusia melewati batas-batas negara juga akan
berpengaruh terhadap kejadian penyakit menular.
Bahkan kejadian penyakit menular pada suatu negara

41
tertentu akan menjadi ancaman potensial untuk negara
yang lain (Noor, 2006).
Kemunculan Covid-19 di beberapa negara beberapa tahun
terakhir ini telah menjadi penanda kebangkitan kembali
masalah penyakit menular. Untuk negara Indonesia
dengan kondisi ini akan dihadapkan dengan triple burden
yaitu masih tingginya kasus penyakit menular, prevalensi
penyakit tidak menular juga semakin meningkat, dan
penyakit yang dahulu sudah terselesaikan mulai muncul
kembali (re-emerging infectious diseases) atau munculnya
penyakit-penyakit baru (new emerging infectious diseases)
(Cahyani et al., 2020). Salah satu faktor yang mendorong
munculnya penyakit menular baru adalah pengabadian
virus pada inang yang tidak disengaja. Bertahannya virus
di dalam tubuh inang yang tidak biasa dapat
meningkatkan kemungkinan terjadinya kesalahan dalam
proses duplikasi RNA dan munculnya mutasi dalam
waktu yang relatif singkat. Fakta ini dapat memicu
perubahan morfologi virus, menciptakan agen infeksi baru
dengan potensi virulen yang belum diketahui,
menggunakan strategi adaptif baru dan resistensi
terhadap vaksin, sehingga meningkatkan laju penularan
virus pada populasi rentan.

42
Gambar 1. Peran hewan liar dalam amplifikasi dan penyebaran
agen etiologi yang menyebabkan penyakit menular pada
manusia, dan keadaan epidemiologis yang terlibat dalam
luapan zoonosis, dan interaksi biotik yang memicu munculnya
agen etiologi baru yang berpotensi berdampak pada
kesehatan masyarakat (Cupertino et al., 2020)

Berkaitan dengan penyakit menular menurut (Noor, 2006)


dapat dikelompokkan dalam 3 kategori utama, yaitu:
1. Penyakit menular dengan angka kematian yang tinggi
(sangat berbahaya).
2. Penyakit menular dengan dampak yang lebih ringan
(menimbulkan kematian atau kecacatan).
3. Penyakit menular yang mewabah (jarang
menimbulkan kematian dan cacat), menimbulkan
kerugian materi, waktu, dan dana.

43
Pengertian dan Istilah dalam Penyakit Menular

Untuk memudahkan para pembaca dalam memahami


penjelasan terkait dengan pembahasan penyakit menular,
berikut ini akan disajikan beberapa pengertian dan istilah
yang berkaitan dengan penyakit menular (Benenson,
1990) (Noor, 2006) (Muslimin et al., 2021).
1. Communicable Disease
Penyakit yang diakibatkan oleh agent penyebab
menular tertentu yang terjadi karena perpindahan
agent dari orang yang terinfeksi, hewan, atau reservoir
lainnya (benda lain) kepada pejamu yang rentan baik
secara langsung maupun tidak langsung melalui
vektor atau lingkungan yang tidak hidup.
2. Contact
Orang atau hewan yang telah berinteraksi dengan
orang, hewan terinfeksi, atau lingkungan yang
terkontaminasi sehingga dapat memberikan peluang
dalam mendapatkan agent penyakit menular.
3. Contamination
Adanya agent penyakit menular pada permukaan
tubuh, pakaian, termasuk semua yang berkaitan
dengan tempat tidur (bedding), mainan, alat-alat atau
baju operasi, maupun benda mati termasuk air dan
makanan.
4. Desinfection
Upaya mematikan agent penyakit menular dengan
menggunakan bahan-bahan kimiawi atau cara yang
bersifat fisik yang kontak secara langsung dengan
agent penyakit menular di luar tubuh.

44
5. Endemic
Adanya penyakit atau agent penyakit menular dalam
jumlah yang tetap pada suatu area geografis tertentu
atau adanya penyakit yang secara normal biasa
timbul pada suatu area tertentu.
6. Epidemic
Kejadian dalam suatu masyarakat atau wilayah dari
suatu kasus penyakit tertentu yang secara nyata
melebihi dari jumlah yang telah diperkirakan.
7. Immunity
Kekebalan yang dihubungkan dengan adanya
antibodi atau hasil aksi sel-sel yang spesifik terhadap
mikroorganisme penyebab dan yang dapat
menimbulkan penyakit menular tertentu.
8. Inapparent Infection
Adanya infeksi pada pejamu tanpa disertai tanda-
tanda klinis yang jelas atau yang dapat dikenal.
9. Incubation Periode
Selang waktu antara terjadinya permulaan kontak
dengan agent penyebab penyakit menular sampai
munculnya gejala yang dicurigai atau yang pertama
kali pada transmisi vektor penyakit.
10. Sporadic
Suatu keadaan penyakit yang berada di suatu wilayah
yang frekuensinya berubah-ubah menurut waktu
tertentu.

45
Spektrum Penyakit Menular

Spektrum penyakit adalah berbagai variasi tingkatan


simptom dan gejala penyakit menurut intensitas infeksi
atau penyakit pada penderitanya, dari yang ringan,
sedang sampai yang berat dengan komplikasi pada organ-
organ vital (Ismah, 2018). Secara umum pada proses
kejadian penyakit menular, dapat ditemukan berbagai
manifestasi klinik yang merupakan gambaran proses
kejadian penyakit pada seseorang. Kondisi ini dimulai dari
gejala klinik yang tampak sampai pada keadaan yang
berat disertai komplikasi dan berakhir dengan kecacatan
bahkan meninggal dunia.
Urutan peristiwa yang terjadi pada manusia sejak
terjadinya paparan (exposure) terhadap agent etiologi
sampai dengan kematian (gambar 3.2), kondisi kasus
yang telah berkembang penuh, hanya sebagian kecil yang
umumnya disadari oleh pengamat kesehatan. Walaupun
demikian, dalam epidemiologi diupayakan untuk sedapat
mungkin mempelajari seluruh rentang spektrum penyakit
(Sari et al., 2021).

Gambar 2. Spektrum Penyakit

Manifestasi klinik penyakit menular pada dasarnya dapat


dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok utama yaitu:
1. Kelompok yang Lebih Banyak dengan tanpa Gejala
Klinik
Yaitu kondisi penyakit dengan lebih banyak penderita
terselubung atau penderita tanpa gejala dan disertai

46
hanya dengan gejala ringan, penyakit tidak
menampakkan dirinya dalam berbagai tingkatan.
Jenis penyakit ini memiliki tingkat patogenitas yang
rendah, hanya Sebagian yang menampakkan diri
secara klinis dan hanya sedikit yang menjadi berat
atau meninggal dunia. Dalam masyarakat jenis
penyakit ini biasa disebut sebagai bentuk gunung es
(iceberg), masalah yang Nampak dipermukaan hanya
sebagian kecil dari keseluruhan.
Contoh penyakit ini adalah tuberkolusis, dimana
jumlah penduduk dengan tes tuberkulosis cukup
tinggi yang berarti pernah terserang TB di masa yang
lampau tetapi hanya sebagian kecil yang terlaporkan
sebagai pendertita TB selama ini. Contoh lainnya
adalah poliomyelitis, hepatitis A pada anak serta
berbagai penyakit infeksi lainnya.

Gambar 3. Iceberg Phenomenon (Medical Junction, 2022)

47
2. Kelompok yang Lebih Banyak dengan Gejala Klinik
Penyakit dengan penderita terselubung atau tanpa
gejala relatif kecil. Sebagian besar penyakit sudah
nampak secara klinis dan dapat dengan mudah untuk
dilakukan diagnosis karena umumnya penderita
muncul dengan gejala yang klasik. Diantara beberapa
penderita penyakit ini hanya sebagian kecil saja yang
menjadi berat atau berakhir dengan kematian. Contoh
penyakit ini antara lain adalah penyakit campak
(measles), penyakit cacar air (chickenpox).
3. Kelompok yang Umumnya Berakhir dengan
Kematian
Penyakit yang menunjukkan proses kejadian yang
umumnya berakhir dengan adanya kelainan atau
berakhir dengan kecacatan dan bahkan kematian.
Kelompok penyakit ini secara klinik selalu disertai
dengan gejala yang berat dan sebagian besar
meninggal.
Contoh penyakit ini adalah penyakit rabies (gila
anjing) yang memiliki CFR (Case Fatality Rate) sangat
tinggi. Selain itu ada pula penyakit tetanus pada bayi
serta penyakit virus yang menyerang selaput otak,
dan lain-lain.
Pada kasus penyakit menular, penyakit tersebut
dianggap berat apabila mempunyai CFR yang tinggi
atau apabila sembuh maka sebagian besar penderita
sembuh namun masih disertai dengan gejala sisa
berupa kecacatan. Secara epidemiologi, untuk melihat
berat ringannya sebuah penyakit dapat dilihat dari
dua sudut pandang yaitu dari sudut pandang individu
dan masyarakat (pengaruhnya terhadap kelompok
populasi). Penyakit yang memiliki insidensi rendah
tetap dengan CFR yang tinggi maka penyakit ini akan
berat secara perorangan sedangkan penyakit dengan

48
insidensi tinggi tetapi tidak berat akan memberikan
keadaan yang lebih serius dalam hubungannya
dengan masalah Kesehatan Masyarakat karena
merupakan unsur penyebab yang akan meningkatkan
kematian populasi secara keseluruhan.
Kejadian penyakit Covid-19 yang melanda dunia baru-
baru ini memberikan gambaran bahwa insidensi
penyakit ini cukup tinggi dengan CFR mencapai
1,43%. Namun, angka mortalitas pada populasi
anak dilaporkan lebih rendah, artinya kejadian
penyakit ini memiliki gejala klinis yang berat pada
usia tua sehingga dianggap bahwa usia berkorelasi
dengan klasifikasi klinis tingkat keparahan Covid-19
sebagaimana yang ditunjukkan pada gambar berikut
ini.

Gambar 4. Clinical classification (including asymptomatic


cases) and age distribution of patients with COVID-19 (Yan et
al., 2020).

49
Mekanisme Penularan Penyakit

Mekanisme penularan (mode of transmissions) merupakan


aspek sentral penyebaran penyakit menular di
masyarakat, dimana unsur penyebab penyakit dapat
sampai kepada manusia sebagai pejamu (host) yang
potensial. Seseorang yang sehat merupakan pejamu yang
potensial memiliki peluang untuk ketularan suatu
penyakit tertentu sesuai dengan kondisinya di
masyarakat serta pengaruh dari berbagai reservoir yang
ada di sekitarnya.
Mekanisme penularan penyakit dapat meliputi cara unsur
penyebab (agent) meninggalkan reservoir, cara penularan
untuk mencapai pejamu potensial, dan cara masuk ke
pejamu potensial tersebut.
1. Cara Unsur Penyebab Meninggalkan Reservoir
Unsur penyebab akan meninggalkan pejamu karena
setiap individu memiliki usaha perlawanan terhadap
unsur penyebab patogen yang mengganggu dan
merusak kondisi keseimbangan dalam tubuh pejamu.
Unsur penyebab (agent) keluar dengan cara yang
beranekaragam sesuai dengan jenis dan sifat dari
unsur penyebab tersebut. Secara garis besar unsur
penyebab keluar dari tubuh pejamu dengan cara
sebagai berikut, walaupun ada beberapa unsur
penyebab dapat menggunakan lebih dari satu cara.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam pembahasan
berikut ini.
a. Melalui conjunctiva
Cara ini biasanya banyak ditemukan pada
beberapa penyakit mata tertentu, misalnya:
trakom, dan lainnya.

50
b. Melalui saluran napas
Saluran napas berupa hidung dan tenggorokan
yang dikeluarkan dalam bentuk droplet sewaktu
penerita berbicara, bersin, batuk, atau melalui
udara pernapasan. Cara ini terjadi pada penyakit
TB, influenza, campak, dan lain sebagainya.
c. Melalui pencernaan
Keluar bersama ludah, muntah, atau pun
bersama dengan kotoran manusia (tinja). Seperti
yang terjadi pada penyakit kolera, tifus
abdominalis, beberapa jenis cacing, dan lain-lain.
d. Melalui saluran urogenitalia
Bersama-sama dengan urine atau zat lain yang
keluar melalui saluran ini, misalnya pada
penyakit hepatitis.
e. Melalui luka
Luka yang terjadi pada kulit ataupun mukosa,
misalnya pada penyakit sifilis, frambusia, dan
lainnya.
f. Melalui mekanik
Melalui suntikan atau gigitan pada beberapa
penyakit tertentu, misalnya malaria, filariasis,
dan lain sebagainya.
2. Cara Penularan
Jalur penularan adalah suatu lingkaran perjalanan
khusus atau jalur khusus yang dilalui unsur
penyebab (agent) setelah meninggalkan reservoir agar
mendapatkan pejamu potensial yang baru. Secara
garis beras, jalur penularan ini dapat dibagi menjadi
2 (dua) yaitu:

51
a. Penularan Langsung (Direct Transmisson)
Penularan penyakit yang terjadi secara langsung
dari penderita ke pejamu potensial yang baru.
Tidak berarti bahwa harus terjadi persentuhan
antara sumber dengan pejamu potensial tetapi
dapat dalam bentuk jarak yang dekat, misalnya
penularan dengan droplet nuclei, dengan
tumbuhan atau benda lain yang mengalami
kontaminasi. Jenis penularan ini juga dapat
diklasifikasikan dalam beberapa kelompok:
1) Penularan langsung dari orang ke orang
Termasuk semua penyakit yang hanya dapat
menyerang manusia, atau manusia sebagai
satu-satunya reservoir. Misalnya: berbagai
penyakit kelamin yang ditularkan secara
seksual, seperti sifilis, gonorrhoe, chlamydia
trchomatis, herpex simplex tipe I, dan lainnya.
2) Penularan langsung dari binatang ke orang
Penyakit yang pada umumnya hanya
ditemukan pada binatang tetapi dapat
menular kepada orang secara langsung.
Penyakit ini masuk dalam kelompok penyakit
zoonosis. Penularan yang dimaksudkan
adalah terjadi sentuhan dengan 2 (dua) cara
yaitu pertama bersentuhan langsung dengan
binatang yang menderita termasuk melalui
gigitan, atau bagian-bagian binatang yang
mati karena penyakit tersebut seperti rabies,
brucellosis. Kedua yaitu bersumber dari
binatang yang menderita atau membawa
kuman, tetapi cara penularannya melalui
benda lain atau alat perantara lain yang
terkontamiansi.

52
3) Penularan dari tumbuhan ke orang
Pada kelompok ini termasuk penyakit yang
disebabkan oleh jamur. Penularannya selain
melalui kontak langsung dengan tumbuhan
juga dengan tanah yang mengandung jamur
serta ada yang menular melalui udara.
Bahkan dapat terjadi dari orang ke orang.
4) Penularan dari orang ke orang melalui benda
lain
Penularan terjadi karena adanya kontak
dengan benda yang terkontaminasi seperti
tanah atau benda lainnya seperti kejadian
penyakit cacing tambang (ancylostomiasis),
cacing kremi (trichuris), dan berbagai
penyakit lainnya.
b. Penularan Tidak Langsung (Indirect Transmission)
1) Penularan Melalui Udara (Air Borne)
Penularan melalui udara yang dimaksudkan
adalah cara penularan yang terjadi tanpa
melakukan kontak dengan penderita.
Penularan penyakit melalui udara dapat
terjadi dalam bentuk droplet nuclei maupun
dalam bentuk dust.
Droplet nuclei merupakan partikel yang sangat
kecil yang merupakan sisa droplet yang
mengering. Pembentukannya dapat melalui
berbagai cara, antara lain melalui evaporasi
droplet yang dibatukkan atau yang
dibersihkan ke udara. Ukurannya yang sangat
kecil menyebabkannya dapat bertahan di
udara dalam waktu yang cukup lama dan
dapat diisap pada waktu bernapas dan masuk
ke alat pernapasan. Dust merupakan bentuk

53
partikel dengan berbagai ukuran, merupakan
hasil dari resuspensi partikel yang terletak di
lantai, di tempat tidur serta tempat yang
tertiup angin bersama debu lantai. Ukuran
besar kecilnya droplet nuclei maupun dust
dapat menentukan terjadinya penularan atau
tidak.
2) Penularan Melalui Makanan/Minuman dan
Benda Lain (Vechicle Borne)
Penularan melalui kontak tidak langsung
melalui benda mati (fomites) seperti makanan,
minuman, susu, perlengkapan dapur,
perlengkapan bedah, mainan anak-anak, dan
yang lainnya. Benda-benda yang mengandung
unsur penyebab dan berfungsi sebagai
penyalur dalam proses penularan tidak dapat
disebut terinfeksi tetapi hanya terkontaminasi
karena tidak mengalami proses infeksi.
Benda-benda yang mengalami kontaminasi
merupakan alat penularan yang paling baik.
Khusus benda-benda yang bersifat alat seperti
pakaian, tempat tidur, alat-alat dapur, dan
alat-alat makan tidak memiliki pengaruh yang
besar karena banyak diantara
mikroorganisme penyebab tidak dapat
bertahan lama pada keadaan kering.
Berdasarkan media utama penularan maka
jenis penyakit ini dapat dibagi dalam beberapa
kelompok utama yaitu:
a) Melalui Air (Water Borne Disease)
Jenis penyakit ini pada umumnya masuk
ke dalam tubuh melalui mulut (oral
penetration), melalui kulit (contact
penetration) seperti schitosomiasis.

54
Penyakit yang penularannya melalui air
yang masuk ke dalam tubuh melalui
mulut merupakan golongan penyakit yang
paling sering terjadi dalam masyarakat
bahkan beberapa diantaranya dapat
mewabah (water borne epidemics).
Penyakit ini telah cukup banyak
memakan korba jiwa terutama pada
daerah-daerah dengan sumber air minum
yang tidak memenuhi syarat serta
keadaan sanitasi lingkungan yang masih
jelek. Beberapa penyakit utama yang
masuk dalam kelompok ini seperti kolera
dan parakholera eltor, tifus abdominalis,
disentri amuba dan basiler, infeksi
hepatitis, dan beberapa jenis virus
lainnya.
b) Melalui Makanan (Food Borne Disease)
Penyakit ini merupakan penyakit-
penyakit yang berasal dari manusia yang
penularannya dapat terjadi melalui
makanan seperti organisme usus yang
meliputi tifus abdominalis, salmonellosis,
disentri, kolera, diare pada bayi.
Organisme yang masuk ke dalam
makanan melalui droplet nuclei seperti
penyakit tuberculosis dan streptococcus,
berbagai jenis infeksi pada kulit oleh
streptococcus maupun staphylococcus
yang dapat menyebabkan keracunan
makanan serta beberapa jenis parasit
seperti askaries, amubiasis dan lain-lain.
Sejumlah penyakit menular juga
penularannya melalui binatang ke

55
manusia dengan jalur makanan atau
bahan makanan yaitu melalui daging
hewan seperti trichinosis dan taenia solium
(daging babi), taenia saginata (sapi), dan
diphilobothrium (ikan). Selain itu, dapat
juga melalui telur pada peternakan
unggas seperti salmonellosis, melalui
kontaminasi pada makanan dengan
binatang tertentu seperti leptospirosis
(tikus), echinococcosis/hidatosis (anjing),
dan salmonellosis (tikus dan anjing).
c) Melalui Susu (Milk Borne Disease)
Susu merupakan media yang paling baik
untuk pertumbuhan mikroorganisme
penyebab penyakit. Susu yang mengalami
kontaminasi bakteri tidak
memperlihatkan tanda-tanda tertentu
padahal susu sering diminum dalam
kondisi segar tanpa dimasak atau
dipasturisasi. Susu juga merupakan
minuman bagi bayi dan anak usia muda
dimana kelompok ini merupakan
kelompok yang memiliki tingkat resistensi
yang masih rendah.
Penyakit yang dapat ditularkan melalui
susu, diantaranya adalah penyakit yang
berasal dari manusia dan dapat menular
melalui susu yaitu jenis pertama adalah
kelompok penyakit menular melalui
droplet nuclei, makanan dan minuman
seperti tuberculosis, dipteria, disentri,
enteric fever, staphylococcus food
poisoning, salmonellosis, infant diarre oleh
E. coli. Jenis yang kedua adalah penyakit
yang berasal dari sapi dan dapat menular

56
kepada manusia melalui susu, jenis
penyakit ini antara lain tuberculosis
(bovine), brucellosis, streptococcus (bovine),
Q-fever serta penyakit mulut dan kuku.
3) Penularan Melalui Vektor (Vector Borne
Disease)
Vektor merupakan jenis makhluk hidup selain
manusia pembawa agen patogen yang
menularkan ke manusia atau hewan. Vektor
juga sering diartikan sebagai pembawa (one
sho carriers). Penyakit menular yang
penularannya melalui vektor dapat
diklasifikasikan berdasarkan jenis vektornya
yaitu:
a) Vektor nyamuk (mosquito borne disease)
Vektor ini berupa malaria, filariasis, dan
beberapa jenis virus encephalitis, demam
dengue, dengue hemorrhagic fever serta
yellow faver.
b) Vektor kutu louse (louse borne disease)
Berupa epidemic tifus fever dan epidemic
relapsing fever.

Gambar 5. Louse-Borne Relapsing Fever (ECDC,


2015)

57
c) Vektor kutu flea (flea borne disease)
Vektor pada penyakit pes dan tifus murin.

Gambar 6. Fleas and Flea-Borne Diseases of


North Africa (Hamzaoui et al., 2020)

d) Vektor kutu mite (mite borne disease)


Berupa scrub tifus (tsutsugamushi) dan
vesicular ricketsiosis

Gambar 7. Mite-Borne Disease (Northeast News,


2018)

e) Vektor kutu tick (tick borne disease)


Vektor ini berupa spotted fever, epidemic
relapsing fever, dan lain-lain.

58
Gambar 8. Tick-Borne Diseases (CDC, 2011)

f) Penyakit oleh serangga lainnya


Seperti sunfly fever, lesmaniasis,
barthonellosis oleh lalat phlebotonus,
onchocerciasis oleh blackflies genus
simulium, trypanosomiasis di Afrika oleh
lalat tsetse dan kotoran kutu triatomid di
Amerika.

Aspek Penting Penularan Penyakit

1. Waktu Generasi (Generation Time)


Yaitu masa antara masuknya penyakit pada pejamu
tertentu sampai masa kemampuan maksimal pejamu
tersebut untuk dapat menularkan penyakit. Pada
penyakit menular yang penularannya langsung dari
orang ke orang maka jarak antara kasus yang satu
dengan kasus berikutnya ditenntukan dengan
generation time.
Masa generasi dan masa tunas terkadang memiliki
persamaan waktu kejadian tetapi kedua istilah ini
harus mampu dibedakan. Masa tunas ditentukan oleh
masuknya unsur penyebab sampai timbulanya gejala
penyakit sehingga tidak dapat ditentukan pada
penyakit yang terselubung (tidak manifest).

59
Sedangkan waktu generasi ditentukan antara
masuknya unsur penyebab sampai timbulnya
kemampuan untuk menularkan kepada pejamu lain
walaupun tanpa adanya gejala klinik (terselubung).
2. Kekebalan Kelompok (Herd Immunity)
Yaitu tingkat kemampuan atau daya tahan suatu
kelompok penduduk tertentu terhadap serangan
penyakit menular tertentu berdasarkan tingkat
kekebalan sejumlah anggota kelompok tertentu. Herd
immunity merupakan istilah yang lebih cocok
digunakan untuk mengemukakan keadaan kekebalan
suatu kelompok penduduk tertentu.
Herd Immunity juga dikenal sebagai “kekebalan
populasi” yaitu ketika sebagian besar orang dalam
komunitas kebal terhadap penyakit tertentu. Hal ini
membuat penyebaran penyakit dari orang ke orang
tidak mungkin terjadi. Herd Immunity dicapai melalui
vaksinasi dan/atau penyakit sebelumnya dengan
penyakit tertentu. Herd Immunity sangat penting
untuk melindungi masyarakat dari penyakit
berbahaya dan mematikan. Biasanya, persentase
tertentu dari populasi harus mampu mendapatkan
penyakit (tidak diimunisasi) agar dapat menyebar ke
orang lain. Persentase ini disebut proporsi ambang
batas, jika proporsi ambang batas lebih rendah dari
proporsi populasi yang kebal terhadap penyakit
(mereka yang divaksinasi atau sudah menderita
penyakit), penyebaran penyakit akan menurun. Hal
inila dikenal sebagai ambang kekebalan kelompok
(Herd immunity threshold).
Kekebalan kelompok dibutuhkan untuk melindungi
orang-orang yang paling rentan di komunitas
(masyarakat), itu berarti orang yang tidak dapat
divaksinasi, misalnya bayi, wanita hamil dan orang

60
dengan sistem kekebalan yang lemah, seperti mereka
yang menerima kemoterapi atau transplantasi organ.
Ketika penyakit ini memiliki sedikit kesempatan
untuk menyebar di dalam komunitas, kecil
kemungkinan orang-orang yang tidak divaksinasi ini
akan terpapar dan mereka juga dapat tetap aman.
Berapa persentase komunitas yang perlu kebal untuk
mencapai kekebalan kelompok?. Hal ini bervariasi
dari penyakit ke penyakit, semakin menular suatu
penyakit, semakin besar proporsi orang yang
diimunisasi yang dibutuhkan untuk menghentikan
penyebaran.

Gambar 9. Herd Immunity (Kenealy, 2021).

61
Daftar Pustaka
Benenson, A. S. (1990). Control of Communicable Diseases
in Man (Edisi 15). Organización Panamericana de la
Salud.
https://books.google.co.id/books?id=Ixrcqwy4y
78C&hl=id&source=gbs_navlinks_s.
Cahyani, D. I., Kartasurya, M. I., & Rahfiludin, M. Z.
(2020). Gerakan Masyarakat Hidup Sehat dalam
Perspektif Implementasi Kebijakan (Studi Kualitatif).
Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia, 15(1), 10.
https://doi.org/10.26714/jkmi.15.1.2020.10-18.
CDC. (2011). Tick-Borne Diseases. The National Institute
for Occupational Safety and Health (NIOSH).
https://www.cdc.gov/niosh/topics/tick-
borne/default.html.
Cupertino, M., Resende, M., Mayer, N., Carvalho, L., &
Siqueira-Batista, R. (2020). Emerging and re-emerging
human infectious diseases: A systematic review of the
role of wild animals with a focus on public health
impact. Asian Pacific Journal of Tropical Medicine,
13(3), 99. https://doi.org/10.4103/1995-
7645.277535.
ECDC. (2015). Louse-Borne Diseases.
https://www.ecdc.europa.eu/en/louse-borne-
diseases.
Hamzaoui, B. El, Zurita, A., Cutillas, C., & Parola, P.
(2020). Fleas and flea-borne diseases of North Africa.
Acta Tropica, 211, 105627.
https://doi.org/10.1016/j.actatropica.2020.105627.
Ismah, Z. (2018). Bahan Ajar Dasar Epidemiologi. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negeri
Medan Sumatera Utara.
Kenealy, H. (2021). Herd immunity.

62
https://www.healthnavigator.org.nz/health-a-
z/h/herd-immunity/.
Medical Junction. (2022). Iceberg Phenomenon.
https://medical-junction.com/iceberg-phenomenon-
is-shown-by/
Muslimin, I., Ashriady, Mariana, D., Syamsul, M.,
Hrengky, H. K., Saeni, R. H., Rahmah, S., Hasnawaty,
Gebang, A. A., & Hamzah, H. (2021). Epidemiologi
Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular. Duta
Media Publishing.
Noor, N. N. (2006). Pengantar Epidemiologi Penyakit
Menular (2nd ed.). Rineka Cipta.
Northeast News. (2018). Outbreak of mite-borne disease
Scrub Typhus claims one in Mizoram.
https://nenow.in/north-east-news/scrub-
typhus.html.
Sari, M. H. N., Rasmaniar, Ashriady, Mubarak,
Purnawinadi, I. G., Razak, R., Budiastuti, A., Hidayati,
W., Sianturi, E., Suryana, Argaheni, N. B., & Wijayati,
S. (2021). Dasar-Dasar Epidemiologi. Yayasan Kita
Menulis. https://books.google.co.id/books/about/
Dasar_Dasar_Epidemiologi.html?id=3yA5EAAAQBAJ
&redir_esc=y.
Yan, X., Han, X., Peng, D., Fan, Y., Fang, Z., Long, D., Xie,
Y., Zhu, S., Chen, F., Lin, W., & Zhu, Y. (2020). Clinical
Characteristics and Prognosis of 218 Patients With
COVID-19: A Retrospective Study Based on Clinical
Classification. Frontiers in Medicine, 7(August).
https://doi.org/10.3389/fmed.2020.00485

63
Profil Penulis
Ashriady
Lahir di Kajuara-Bone, 25 Agustus 1984,
sebuah desa kecil terpencil di Kecamatan
Awangpone Kabupaten Bone, jaraknya
sekitar 16 km dari Kota Bone. Jenjang
pendidikan SD sampai SMA diselesaikan di
Bone. Menempuh pendidikan S1 di Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan (STIK) Tamalatea Makassar tahun 2006
jurusan Epidemiologi dan Biostatistik, melanjutkan
kuliah Magsiter (S2) di Program Pascasarjana Universitas
Hasanuddin Makassar konsentrasi Epidemiologi, selesai
tahun 2009. Saat ini berstatus mahasiswa Program
Doktor (S3) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Airlangga Surabaya.
Penulis bekerja sebagai salah satu dosen tetap di
Poltekkes Kemenkes Mamuju, aktivitas di kampus selain
sebagai pengajar juga aktif menjadi reviewer/editor di
beberapa jurnal nasional. Saat ini penulis telah
berkontribusi dalam beberapa penulisan buku antologi
cerpen seperti: Aku dan Wahdah Islamiyah, A Love Story
in the Time of Corona, Dari dan Untuk Guru, Jika Allah
Berkehendak, Sepercik Goresan Pena, Rasa yang Rumit,
Keluarga dan Segala Kisah Tentangnya, Tentang Luka,
Linor 6,2 Magnitudo, Angkasa. Penulis juga telah
berkontribusi dalam penulisan buku kolaborasi seperti:
Dasar-Dasar Epidemiologi, Epidemiologi Penyakit Menular
dan Penyakit Tidak Menular, Dasar Ilmu Manajemen,
Merdeka Belajar Merdeka Mengajar, Pendidikan
Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Pengetahuan Lingkungan,
Indonesia Kuat Dengan Merdeka Belajar.
Email Penulis: ashriady.abumuadz@gmail.com

64
4
FAKTOR RISIKO PENYAKIT
MENULAR

Yeni Paramata, S.KM., M.Kes.


Universitas Gorontalo

Pendahuluan

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam


bidang kedokteran mendorong para tenaga ahli selalu
mengadakan riset terhadap berbagai penyakit termasuk
salah satunya adalah penyakit menular demi mengatasi
kejadian penderitaan dan kematian akibat penyakit.
Penyakit menular timbul akibat dari beroperasinya
berbagai faktor baik dari agen, induk semang atau
lingkungan. Bentuk ini tergambar didalam istilah yang
dikenal luas dewasa ini. Yaitu penyebab majemuk
(multiple causation of disease) sebagai lawan dari
penyebab tunggal (single causation). Didalam usaha para
ahli untuk mengumpulkan pengetahuan mengenai
timbulnya penyakit, mereka telah melakukan eksperimen
terkendali untuk menguji sampai dimana penyakit itu
bisa di cegah sehingga dapat meningkat taraf hidup
penderita (Irwan, 2017).
Dalam epidemiologi ada tiga faktor yang dapat
menerangkan penyebaran (distribusi) penyakit atau
masalah kesehatan yaitu orang (person), tempat (place),
dan waktu (time). Informasi ini dapat digunakan untuk
menggambarkan adanya perbedaan keterpaparan dan

65
kerentanan. Perbedaan ini bisa digunakan sebagi
petunjuk tentang sumber, agen yang bertanggung jawab,
transisi, dan penyebaran suatu penyakit.

Pengertian dan Jenis Faktor Risiko

Menurut Simborg DW, Risk factors are characteristic, sign,


symptoms in disease free individual which are statistically
associated with an increased incidence of subsequent
disease. Faktor risiko merupakan karakteristik,
kebiasaan, tanda atau gejala yang tampak pada seseorang
atau populasi sebelum terserang suatu penyakit. Namun
secara keilmuan, faktor risiko memiliki definisi tersendiri,
yaitu karakteristik, tanda atau kumpulan gejala pada
penyakit yang diderita individu yang mana secara statistic
berhubungan dengan peningkatan kejadian kasus baru
berikutnya (beberapa individu lain pada suatu kelompok
masyarakat). Menurut kestabilan peranan faktor risiko
dikenal:
1. Suspected risk factors: faktor risiko yang dicurigai,
yakni faktor-faktor yang belum mendapat dukungan
sepenuhnya dari hasil-hasil penelitian sebagai faktor
risiko misalnya, rokok sebagai penyebab kanker leher
rahim.
2. Established risk factors: faktor risiko yang telah
ditegakkan, yakni faktor risiko yang telah mantap
mendapat dukungan ilmiah/penelitian dalam
peranannya sebagai faktor yang berperanan dalam
kejadian suatu penyakit. Misalnya, rokok sebagai
faktor risiko terjadinya kanker paru.
Setiap faktor risiko memiliki penanda risiko atau risk
marker, yaitu suatu variabel yang secara kuantitatif
berhubungan dengan penyakit. Kriteria faktor risiko
menurut Austin Bradford Hill, (1965) dapat dikelompokan
berdasarkan Kekuatan hubungan, Temporal, Respon

66
terhadap dosis, Reversibilitas, Konsistensi, Kelayakan
biologis, Spesifisitas dan Analogi.

Faktor Risiko Pejamu (Host)

Host adalah manusia atau mahluk hidup lainnya, faktor


host yang berkaitan dengan terjadinya penyakit menular
berupa umur, jenis kelamin, ras, etnik, anatomi tubuh,
dan status gizi. Faktor manusia sangat kompleks dalam
proses terjadinya penyakit dan tergantung pada
karakteristik yang dimiliki oleh masing-masing individu.
Karakteristik tersebut antara lain:
1. Umur Menyebabkan adanya perbedaan penyakit yang
diderita seperti penyakit campak pada anak-anak,
penyakit kanker pada usia pertengahan dan penyakit
aterosklerosis pada usia lanjut.
2. Jenis Kelamin Frekuensi penyakit pada laki-laki lebih
tinggi dibandingkan pada wanita dan penyakit
tertentu seperti penyakit pada kehamilan serta
persalinan hanya terjadi pada wanita sebagaimana
halnya penyakit hipertrofi prostat hanya dijumpai
pada laki-laki.
3. Ras; Hubungan antara ras dan penyakit tergantung
pada tradisi, adat istiadat dan perkembangan
kebudayaan. Terdapat penyakit tertentu yang hanya
dijumpai pada ras tertentu seperti fickle cell anemia
pada ras Negro.
4. Genetik; Ada penyakit tertentu yang diturunkan
secara herediter seperti mongolisme, fenilketonuria,
buta warna, hemofilia dan lain-lain.
5. Pekerjaan; Status pekerjaan mempunyai hubungan
erat dengan penyakit akibat pekerjaan seperti
keracunan, kecelakaan kerja, silikosis, asbestosis dan
lainnya.

67
6. Status Nutrisi Gizi yang buruk mempermudah
seseorang menderita penyakit infeksi seperti TBC dan
kelainan gizi seperti obesitas, kolesterol tinggi dan
lainnya.
7. Status Kekebalan; Reaksi tubuh terhadap penyakit
tergantung pada status kekebalan yang dimiliki
sebelumnya seperti kekebalan terhadap penyakit
virus yang tahan lama dan seumur hidup. contoh:
campak
8. Adat-Istiadat; Ada beberapa adat-istiadat yang dapat
menimbulkan penyakit seperti kebiasaan makan ikan
mentah dapat menyebabkan penyakit cacing hati.
9. Gaya hidup Kebiasaan minum alkohol, narkoba dan
merokok dapat menimbulkan gangguan pada
kesehatan.
10. Psikis; Faktor kejiwaan seperti emosional, stres dapat
menyebabkan terjadinya penyakit hipertensi, ulkus
peptikum, depresi, insomnia dan lainnya.

Faktor Risiko Bibit Penyakit (Agent)

Agent (Penyebab) adalah unsur organisme hidup, atau


kuman infeksi, yang menyebabkan terjadinya suatu
penyakit. beberapa penyakit agen merupakan penyebab
tunggal (single) misalnya pada penyakit menular,
sedangkan pada penyakit tidak menular biasanya terdiri
dari beberapa agen contohnya pada penyakit kanker.
Berikit ini yang termasuk kedalam faktor agen:
1. Faktor Nutrtisi: Bisa dalam bentuk kelebihan gizi,
misalnya tinggi kolesterol, atau kekurangan gizi baik
itu protein, lemak atau vitamin.
2. Penyebab Kimiawi: Misalnya zat-zat beracun (karbon
monoksida), asbes, kobalt, atau allergen

68
3. Penyebab Fisik: Misalnya radiasi dan trauma mekanik
(pukulan, tabrakan)
4. Penyebab Biologis
a. Metazoa: cacing tambang, cacing gelang,
cshistosoma, Protozoa: amoeba, malaria
b. Bakteri: Siphilis, typhoid, pneumonia syphilis,
tuberculosis,
c. Fungi (jamur): Histosplasmosis, taenea pedis
d. Rickettsia: Rocky Mountain spot fever
e. Virus: Cacar, campak, poliomyelitis.

Faktor Risiko Lingkungan (Environment)

Lingkungan adalah faktor luar dari individu yang


tergolong faktor lingkungan hidup manusia pada
dasarnya terdiri dari dua bagian, yaitu lingkungan hidup
internal berupa keadaan yang dinamis dan seimbang yang
disebut hemostasis, dan lingkungan hidup eksternal di
luar tubuh manusia. Lingkungan hidup eksternal ini
terdiri dan tiga komponen yaitu:
1. Lingkungan Fisik Bersifat abiotik atau benda mati
seperti air, udara, tanah, cuaca, makanan, rumah,
panas, sinar, radiasi dan lain-lain. Lingkungan fisik
ini berinteraksi secara konstan dengan manusia
sepanjang waktu dan masa, serta memegang peran
penting dalam proses terjadinya penyakit pada
masyarakat, seperti kekurangan persediaan air bersih
terutama pada musim kemarau dapat menimbulkan
penyakit diare.
2. Lingkungan biologis Bersifat biotik atau benda hidup
seperti tumbuh-tumbuhan, hewan, virus, bakteri,
jamur, parasit, serangga dan lain-lain yang dapat
berfungsi sebagai agen penyakit, reservoar infeksi,

69
vektor penyakit atau pejamu (host) intermediate.
Hubungan manusia dengan lingkungan biologisnya
bersifat dinamis dan bila terjadi ketidakseimbangan
antara hubungan manusia dengan lingkungan
biologis maka manusia akan menjadi sakit.
3. Lingkungan sosial Berupa kultur, adat istiadat,
kebiasaan, kepercayaan, agama, sikap, standar dan
gaya hidup, pekerjaan, kehidupan kemasyarakatan,
organisasi sosial dan politik. Manusia dipengaruhi
oleh lingkungan sosial melalui berbagai media seperti
radio, TV, pers, seni, literatur, cerita, lagu dan
sebagainya. Bila manusia tidak dapat menyesuaikan
dirinya dengan lingkungan sosial, maka akan terjadi
konflik kejiwaan dan menimbulkan gejala
psikosomatik seperti stres, insomnia, depresi dan
lainnya.

Kegunaan Identifikasi Faktor Risiko

Perlunya faktor risiko diketahui dalam terjadinya penyakit


dapat berguna dalam hal-hal berikut ini (Fletcher, 131):
1. Prediksi: Untuk meramalkan kejadian penyakit.
Misalnya perokok berat mempunyai kemungkinan 10
kali lebih besar untuk kena kanker paru daripada
bukan perokok.
2. Penyebab: kejelasan/beratnya faktor risiko dapat
mengangkatnya menjadi faktor penyebab, setelah
menghapuskan pengaruh dari faktor penggangu
(confounding factor).
3. Diagnosis: Membantu proses diagnosis
4. Prevensi: Jika satu faktor risiko juga sebagai
penyebab, penghilang dapat digunakan untuk
pencegahan penyakit meskipun mekanisme penyakit
sudah diketahui atau tidak.

70
Daftar Pustaka

Bustan, Nadjib. (2012). Pengantar Epidemiologi. Jakarta:


Rineka Cipta
Centers for Disease Control and Prevention. (2012).
Principles of Epidemiology in Public Health Practice,
Third Edition, Atlanta: CDC
Gerstman, B. Burt. (2013). Epidemiology Kept Simple: An
Introduction to Traditional and Modern Epidemiology,
3rd ed.. UK: John Willey & Sons
Hikmawati. (2011). Buku Ajar Epidemiologi, Yogyakarta
Nuha Medika
Irianto, Koes. (2018). Epidemiologi Penyakit Menular dan
Tidak Menular Panduan Klinis. Bandung: Alfabeta.
Irwan. (2017). Epidemiologi Penyakit Menular. Absolute
Media
Noor, Nur Nasry. (2008). Epidemiologi. Jakarta: Rineka
Cipta
Nugrahaeni DK. 2011. Konsep Dasar Epidemiologi.
Jakarta: EGC
Ridwan Amiruddin, dkk. (2011). Modul Epidemiologi
Dasar. Bagian epidemiologi FKM-Unhas.

71
Profil Penulis
Yeni Paramata
Penulis merupakan Dosen di Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas
Gorontalo. Penulis menempuh pendidikan
awal di Fakultas Kesehatan Masyarakat.
Penulis kemudian melanjutkan di Program
Magister Pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Hasanuddin Makassar pada peminatan
Epidemiologi.
Penulis memiliki kepakaran dalam bidang epidemiologi.
Pada bidang pengajaran, Penulis mengampuh beberapa
matakuliah antara lain Epidemiologi Gizi, Current Issue
Epidemiologi, Surveilans Kesehatan Masyarakat,
Epidemiologi Perencanaan dan Pelayanan Kesehatan,
serta Perencanaan dan Evaluasi Kesehatan. Banyak
melakukan penelitian dibidang Epidemiologi Gizi dan
sudah dipublish dibeberapa jurnal internasional dan
nasional.
Email Penulis: yeniparamata20@gmail.com

72
5
AGENT PENYAKIT MENULAR

Tanti Asrianti, SKM., M.Kes.


Universitas Mulawarman

Definisi

Timbulnya penyakit melibatkan interaksi antara host,


agent dan environment. Kondisi sakit muncul ketika ada
ketidakseimbangan antara ketiga unsur segitiga
epidemiologi tersebut.

agent host / reservoir transmission

Gambar 1. Komponen Proses Penyakit Menular

Dalam proses terjadinya penyakit menular, faktor yang


memegang peranan penting adalah agent, reservoir dan
mode of transmission. Host dapat berperan sebagai
reservoir penyakit menular. Reservoir merupakan tempat
dimana agent penyakit menular dapat tumbuh atau hidup
secara normal dan berkembang sampai siap untuk
menularkan penyakit ke host potensial lainnya.

73
Agent merupakan suatu substansi atau elemen yang
dapat menimbulkan atau mempengaruhi perjalanan
suatu penyakit (Zulkifli, 2012). Suatu penyakit dikatakan
menular jika agent penyakitnya dapat berpindah atau
dipindahkan baik melalui perantara maupun tanpa
perantara dari reservoir ke host potensial lainnya dan
mampu menimbulkan penyakit yang sama dengan yang
ditimbulkan dari reservoir sebelumnya.
Agent berbeda dengan vektor. Vektor menjadi salah satu
media perpindahan penyakit dengan memindahkan agent
penyakit dari sumber ke sasaran host rentan lainnya.
Vektor penyakit adalah hewan avertebrata yang bertindak
sebagai pembawa agent penyakit dari reservoir ke pejamu
potensial lainnya. Pada prinsipnya, agent penyakit
menular harus ada pada host untuk menyebabkan
penyakit yang spesifik.

Karakteristik Agent

Kemampuan agent untuk menyebabkan penyakit pada


manusia dipengaruhi oleh karakteristik dari agent. Pada
agent penyakit menular, karakteristik agent meliputi:
1. Infektivitas.
Infektivitas adalah kemungkinan suatu agent untuk
menginfeksi host yang terpapar oleh agent. infektivitas
menggambarkan kemampuan suatu agent untuk masuk
dan berkembang hingga menimbulkan infeksi dalam
tubuh host.
2. Patogenisitas
Patogenisitas merujuk pada kemampuan agent untuk
menyebabkan penyakit pada host. Patogenisitas
mencakup mekanisme infeksi dan mekanisme
perkembangan penyakit.

74
3. Virulensi
Virulensi merujuk pada kemungkinan atau peluang
untuk menyebabkan keparahan pada host yang
menderita penyakit. Virulensi juga merupakan
ukuran keganasan atau derajat kerusakan yang
ditimbulkan oleh agent. Virulensi sering diukur
dengan menggunakan Case fatality Rate (CFR) atau
proporsi orang yang meninggal diakibatkan oleh
penyakit tertentu.
4. Antigenesitas
Antigenesitas atau reaktivitas antigenik mengacu
pada kapasitas agent penyakit untuk mengikat
antibody spesifik (Regenmortel, 2008). Antigenesitas
adalah kemampuan agent untuk merangsang
timbulnya mekanisme pertahanan tubuh (antigen)
pada diri host (Zulkifli, 2012).
Ketika host potensial terpapar pada agent infeksius, hasil
paparannya tergantung pada hubungan dinamis antara
agent penentu infektivitas, patogenisitas, dan virulensi
serta karakteristik dari host terkait kerentanannya
terhadap infeksi dan penyakit. Kerentanan atau
susceptibility merujuk pada kemampuan individu atau
sekelompok orang yang terpapar untuk melawan infeksi
atau membatasi penyakit (Seventer & Hochberg, 2017).

75
Gambar 2. Potensial Outcome Paparan Agent Infeksius pada
Host Rentan.

Jenis Agent Penyakit Menular

Jenis-jenis agent pada penyakit menular meliputi bakteri,


virus, jamur, cacing, protozoa dan arthropoda.
1. Bakteri
Bakteri merupakan makhluk hidup mikroskopis
uniseluler (bersel tunggal). Dikatakan mikroskopis
karena berukuran sangat kecil, dan hanya dapat
terlihat dengan jelas jika menggunakan bantuan
mikroskop. Tortura (2010) menyatakan bahwa
ukuran diameter bakteri berkisar 0,2 – 2,0 µm dan
Panjang sel sekitar 2 - µm (Boleng, 2015).
Secara umum bakteri dikelompokkan dalam tiga
bentuk dasar, yakni bacillus untuk yang berbentuk
batang lurus, coccus untuk yang berbentuk bulat, dan

76
spirillus yang juga dikenal dengan spirochaeta untuk
yang berbentuk heliks panjang (Al-mohanna, 2016).

Gambar 3. Bentuk dasar bakteri: a) Pseudomonas


aeruginosa, bakteri dengan bentuk bacillus; b)
streptococcus, bakteri berbentuk coccus yang membetuk
rantai; c) Spirillum volutans, bakteri berbentuk spirilla (Al-
mohanna, 2016)

Sel bakteri memiliki struktur yang terdiri dari


flagellum, fili/ fimbriae, kapsul, dinding sel, membran
sitoplasma, mesosoma, ribosom, nukleotid, dan
endospora (Boleng, 2015). Adapun struktur bakteri
dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 4. Struktur bakteri

77
Beberapa jenis bakteri dapat menyebabkan penyakit.
Berikut ini adalah contoh bakteri yang menyebabkan
penyakit yang spesifik pada manusia (Al-mohanna, 2016):
Tabel 1. Bakteri yang Menimbulkan Penyakit pada
Manusia
Penyakit
Pathogen yang Reservoir Epidemiologi
ditimbulkan
Bacillus Antraks Binatang Infeksi bakteri
anthracis yang dapat
ditularkan
melalui kontak
atau tertelan.
Jarang terjadi,
kecuali jika
terjadi wabah
sporadis. Bisa
berakibat fatal
Vibrio cholerae Kolera Feces Menyebabkan
manusia diare berat yang
dapat
menyebabkan
kematian karena
dehidrasi. 50%
kematian terjadi
jika penyakit
tidak diobati.
Streptococcus Pneumonia Manusia Infeksi akut pada
pneumoniae paruparu, sering
berakibat fatal
jika tanpa
pengobatan
Salmonella Demam Manusia Penyakit bacterial
typhi typhoid sistemik yang
menyebar di
seluruh dunia.
Dapat menyebar
melalui air atau
makanan yang
terkontaminasi.

2. Virus
Virus adalah parasit intraseluler obligat yang menular
dan genomnya terdiri dari DNA atau RNA. Genom
virus mengarahkan replikasinya dan sintesis

78
komponen virus lainnya dengan menggunakan system
seluler dalam sel inang yang sesuai (Pellett, Mitra, &
Holland, 2014).
Virus minimal terdiri dari sebuah genom dilapisi
mantel protein yang dikenal sebagai kapsid. Untuk
beberapa virus, kapsid yang berisi genom dikelilingi
oleh selubung yang merupakan selaput lipid yang
berasal dari membran plasma sel inang atau
membran vesikel intraseluler.

Gambar 5. Bagan Penyusun Virus (Suprobowati & Kurniati,


2018)

Virus bergantung pada sel inang untuk biosintesis


protein dan makromolekul lainnya (Pellett, Mitra, &
Holland, 2014). Virus hanya dapat bereplikasi dalam
sel hidup dengan menginvasi dan memanfaatkan sel
tersebut karena virus tidak memiliki perlengkapan
seluler untuk proses tersebut (Suprobowati &
Kurniati, 2018)

79
Adapun ciri-ciri virus adalah sebagai berikut:
1. Virus bukan sel, strukturnya terdiri dari genom
asam nukleat dilindungi kulit dari protein
2. metabolisme sangat lambat dan hanya dapat
hidup dalam sel host (obligat intraseluler)
3. Hanya daoat bereplikasi dalam kultur sel, tidak
dapat dibiakkan dalam kultur buatan
4. Genom hanya terdiri atas satu tipe, DNA atau RNA
saja
5. Tidak memiliki organel
6. Berukuran sangat kecil, diameternya sekitar
20nm – 200nm

Gambar 6. Perbandingan Ukuran Virus, Bakteri, dan Sel


Hewan

Partikel virus, dikenal sebagai virion, terbentuk dari


komponen yang baru disintesis dalam sel inang.
Virion adalah bentuk infeksius dari virus, dan
keberadaannya untuk melindungi genom virus dalam
proses perjalanannya serta memfasilitasi proses
masuknya genom ke dalam sel rentan. Virion
mengandung genom virus dan protein yang

80
membentuk kapsid untuk melindungi genom (Pellett,
Mitra, & Holland, 2014).
Beberapa jenis virus dapat menyebabkan penyakit
pada manusia. Berikut ini adalah contoh virus serta
penyakit yang disebabkan pada manusia.
Penyakit yang ditimbulkan
Genom Jenis virus
Non-neurologik Neurologik
DNA Herpes HSV-1: Demam, enchepalitis, Bell’s
simplex gingivostomatitis palsy
virus (HSV) HSV-2: Lesi
1 dan 2 genital
Varicella- Varicella (chicken herpes zoster,
zoster virus pox), herpes zoster enchepalitis,
postherpetic
neuralgia, bell’s palsy
Variola Smallpox enchepalitis
virus
RNA SARS acute respiratory axonopathic
coronavirus distress polyneuropathy,
myopathy, ischemic
stroke
Dengue DBD/ Dengue meningitis,
virus shock syndrome meningoenchepalitis,
polyneuritis
hepatitis C infeksi hepatitis C neuropati perifer
virus akut/kronis,
sirosis,
hepatoselular
karsinoma,
rubella rubella (german congenital rubella
virus measles) syndrome

3. Jamur
Jamur merupakan tumbuhan yang sangat sederhana,
berinti, berspora, tidak berklorofil, berupa sela tau
benang bercabang-cabang dengan dinding dari
selulosa atau kitin, atau keduanya. Pada umumnya
jamur berkembang biak secara seksual dan aseksual
(Suryani, Taupiqurrahman, & Kulsum, 2020).
Semua jamur bersifat kemoheterostropik
(kemoorganostropik) yakni mensintesis senyawa
organik yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan

81
energi dari sumber organik yang sudah ada
disekitarnya dengan menggunakan energi dari reaksi
kimiawi. Berdasarkan cara memperoleh nutrisi, jamur
dikelompokkan dalam tiga kelompok, yakni jamur
saprofit yang memperoleh nutrisi dari tanaman atau
binatang yang mati atau dari sisa makhluk hidup
lainnya; jamur parasit yang tumbuh memperoleh
nutrisi dari makhluk hidup lainnya sehingga dapat
menimbulkan masalah bagi makhluk hidup yang
ditumpanginya; serta jamur simbiotik yang hidup dan
memperoleh nutrisi pada organisme lainnya namun
tidak menimbulkan masalah pada organisme yang
ditumpanginya (El-Ghany & El-Sheikh, 2016).
Jenis jamur parasit ini adalah penyebab penyakit baik
pada manusia maupun pada makhluk hidup lainnya.
Penyakit yang ditimbulkan oleh jamur dikenal juga
sebagai mikosis. Jenis mikosis berdasarkan letak
infeksi yakni (Suryani, Taupiqurrahman, & Kulsum,
2020):
a. Superficial mikosis, yakni infeksi jamur pada
bagian luar dan kulit, contohnya pada penyakit
panu (Tinea versicolor) dan erythrasma.
b. Cutaneus mikosis adalah infeksi jamur pada
bagian yang lebih dalam daripada infeksi
superfisialis, contohnya candidiasis, tinea
corporis dan tinea capitis.
c. Subcutaneus mikosis adalah infeksi jamur pada
bagian subkutan dari kulit, biasanya
menyebabkan borok.
d. Systemic mikosis, yakni infeksi jamur pada organ-
organ atau jaringan dalam tubuh
Jenis mikosis berdasarkan organ atau jaringan yang
sakit yakni dermatomikosis (infeksi jamur pada kulit),

82
onikomikosis (infeksi jamur pada kuku),
bronchomikosis (infeksi jamur pada organ
pernafasan), pulmomikosis (infeksi jamur pada paru)
dan otomikosis (infeksi jamur pada telinga).
Berdasarkan patogennya, penyakit jamur digolongkan
menjadi: actinomicosis (dari golongan actinomyces),
mucormicosis (dari golongan Mucorales), penicollosis
(darigenus penicillium), dan aspergillosis (disebabkan
oleh aspergillus) (Suryani, Taupiqurrahman, &
Kulsum, 2020).
4. Parasit
Centers for Disease Control and Prevention (CDC)
menyatakan a parasite is an organism that lives on or
in a host organism and get its food from or at the
expense of its host (CDC, 2022). Parasit adalah
organisme hidup yang hidup pada organisme lainnya
sebagai inang dan memperoleh nutrisinya dari
organisme yang ditumpanginya tanpa memberi
manfaat pada inangnya tersebut. Jenis parasit
penyebab penyakit menular pada manusia adalah
golongan helminth dan protozoa. Helminth berasal dari
Bahasa Yunani yang berarti cacing (Al Amin &
Wadhwa, 2021). Protozoa adalah sel eukariotik
uniseluler yang melakukan semua fungsi fisiologis.

PROTOZOA HELMINTH ECTOPARASITES


Gambar 7. Jenis Parasit yang Merugikan Manusia (CDC,
2022)

83
Parasit diklasifikasikan sebagai berikut (Sastry & Bhat K,
2014):
1. Ectoparasite, yakni parasit yang menghuni
permukaan tubuh inang tanpa menembus ke dalam
jaringan. Parasit ini juga berperan menjadi vektor
yang menularkan mikroba pathogen, contohnya kutu
dan caplak. Infeksi dari ektoparasit disebut infestasi.
2. Endoparasite, adalah parasit yang hidup dalam tubuh
mikroorganisme yang menjadi inangnya. Invasi dari
endoparasit disebut infeksi.
Tipe-tipe endoparasit adalah sebagai berikut:
a. Parasit obligat: tidak dapat hidup tanpa
kehidupan parasit dalam tubuh inangnya,
contohnya Plasmodium sp.
b. Parasit fakultatif: dapat menjalani kehidupan
parasit ataupun kehidupan bebas Ketika ada
kesempatan, contohnya Acanthamoeba.
c. Parasit accidental: atau parasit yang tidak
disengaja, yakni menginfeksi inang yang tidak
biasa, contohnya Echinococcus granulosus
menginfeksi manusia secara tidak sengaja.
d. Parasit menyimpang atau parasit pengembara:
menginfeksi inang dimana mereka tidak dapat
hidup atau berkembang lebih jauh, contohnya
Toxocara pada manusia.
Siklus hidup parasit adalah sebagai berikut:
1. Langsung/ siklus hidup sederhana: Ketika parasit
hanya membutuhkan satu host untuk melengkapi
perkembangannya, contohnya entamoeba histolytica
dan Ascaris lumbricoides yang hanya membutuhkan
manusia sebagai host

84
2. Tidak langsung/ siklus hidup kompleks: Ketika
parasit membutuhkan dua host, yakni host definitif
dan host intermediate untuk melengkapi
perkembangannya, bahkan ada jenis cacing yang
membutuhkan tiga host, satu definitif dan dua
intermediate host. Berikut ini adalah contoh parasit
dengan siklus hidup yang kompleks (Sastry & Bhat K,
2014):
Tabel 2. Parasit dengan Siklus Hidup Kompleks
Manusia Sebagai Host Definitive
Host Host Intermediate
Parasit
Definitif
Leishmania spp manusia lalat pasir
Trypanosoma manusia lalat tsetse
brucei
Taenia solium manusia babi
Schistosoma spp manusia keong
cacing filaria manusia nyamuk (Culex, Aedes,
Anopheles) dan lalat (lalat hitam
dan lalat domba)
Manusia Sebagai Host Intermediate
Parasit Host Host Intermediate
Definitif
Plasmodium spp nyamuk manusia
Anopheles
betina
Toxoplasma kucing manusia
gondii
Echinococcus anjing manusia
granulosus
Taenia solium manusia manusia
(Cysticercosis)
Membutuhkan Lebih Dari Satu Host Intermediate
Parasit Host Host Host
Definitif Intermediate Intermediate
1 2
Fasciola hepatica manusia keong tanaman air
Paragonimus spp manusia keong kepiting dan
ikan

85
Daftar Pustaka

Al Amin, A., & Wadhwa, R. (2021, January). Helminthiasis.


Retrieved June 2022, from NCBI Bookshelf:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK560525/
Al-mohanna, M. T. (2016). Bacterial Introduction. Retrieved
June 19, 2022, from Researchgate:
https://www.researchgate.net/publication/3159481
04_Bacterial_introduction
Boleng, D. T. (2015). Bakteriologi Konsep-konsep Dasar.
Malang: UMM Press.
CDC. (2022, March 21). Parasites. Retrieved 2022 June,
from Centers for Disease Control and Prevention:
https://www.cdc.gov/parasites/
El-Ghany, T., & El-Sheikh, H. (2016). Mycology. Foster
City: OMICS Group eBooks. Retrieved June 2022,
from www.esciencecentral.org/ebooks
Pellett, P., Mitra, S., & Holland, T. (2014). Basics of
Virology. In Handbook of Clinical Neurology Vol 123
(3rd series) Neurovirology. Elsevier.
Regenmortel, M. (2008). Antigenicity and immunogenicity
of Viral Protein. In Encyclopedia of Virology (Third
Edition). Elsevier.
Sastry, A., & Bhat K, S. (2014). Essentials of Medical
Parasitology. India: Jaypee Brothers Medical Publisher
(P) Ltd.
Seventer, J. M., & Hochberg, N. (2017). Principles of
Infectious Diseases: Transmission, Diagnosis,
Prevention, and Control. In S. Quah (Ed.), The
International Encyclopedia of Public Health 2nd edition
(pp. 22-39). Singapore: Elsevier Inc.
Suprobowati, O., & Kurniati, I. (2018). Virologi. BPPSDMK
Kementerian Kesehatan RI. Retrieved June 19, 2022

86
Suryani, Y., Taupiqurrahman, O., & Kulsum, Y. (2020).
Mikologi. Padang: PT. Freeline Cipta Granesia.
Zulkifli, A. (2012). Epidemiologi Teori dan Aplikasi.
Makassar: Masagena Press.

87
Profil Penulis
Tanti Asrianti
Lahir di Watansoppeng, Kabupaten Soppeng
Sulawesi Selatan pada tanggal 28 Februari
1985. Memulai mengenali bidang kesehatan
masyarakat pada tahun 2005 melalui bangku
kuliah di Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Hasanuddin di Kota Makassar dan mencapai
gelas Sarjana Kesehatan Masyarakat pada tahun 2009.
Dengan bekal ilmu dan gelar tersebut penulis kemudian
mengikuti berbagai kegiatan lapangan sebagai
enumerator sebelum akhirnya melanjutkan ke jenjang
magister di almamater yang sama dengan jenjang sarjana
pada tahun 2012.
Penulis menekuni bidang Epidemiologi sejak jenjang
sarjana hingga saat ini berprofesi sebagai salah satu
dosen pada Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Mulawarman di Kota Samarinda
dari tahun 2018. Sebelumnya merupakan dosen tetap
pada Prodi Kebidanan Akademi Kebidanan Kesdam VII
Wirabuana tahun 2010 sampai dengan 2017, serta
sebagai staf pengajar tidak tetap pada Prodi Kesehatan
Masyarakat Universitas Hasanuddin tahun 2017. Selain
mengajar, penulis juga melaksanakan tridharma
perguruan tinggi yakni penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat dengan bidang kepakaran epidemiologi,
khususnya epidemiologi kesehatan ibu dan anak.
Email Penulis: tantiasrianti.naim@gmail.com

88
6
PENYAKIT TUBERKULOSIS

Lenny Erida Silalahi S. Kep., Ners., M. Kep.


Perawat RW 08 Sukapura

Pendahuluan

Tuberkulosis atau lebih di kenal dengan penyakit TB


merupakan penyebab utama kematian dan menjadi salah
satu permasalahan kesehatan di masyarakat baik di
Indonesia maupun di dunia.
World Health Organization Global Surveillance
mengatakan penyakit Tuberkulosis (TB) di dunia pada
tahun 2019-2020 mengalami angka penurunan. Meski
demikian jumlah penderita masih di perkirakan sekitar 10
juta jiwa. Dengan tingkat kematian diperkirakan
mencapai 1.2 juta (WHO Global Survailance, 2020).
Indonesia merupakan negara urutan ketiga dengan angka
kejadian TB paling tinggi di dunia (Yanti, 2021). Emigrasi
individu yang terinfeksi dari negara-negara prevelensi
yang tinggi sangat rentan mengalami transmisi terutama
pada daerah pemukiman yang padat, tuna wisma,
penyalagunaan obat serta kurang nya akses pada
pelayanan kesehatan terhadap TB.
Di laporkan bahwa poliomorfisme genetis berperan
terhadap kerentanan penyakit tuberkolosis. Salah satu
yang pernah di laporkan di Indonesia adalah
poliomorfisme gen reseptor P2X7 di makrofag yang
berperan dalam kerentanan terjadinya tuberkulosis
ekstrapulmoner. Hal ini merupakan penyebab salah satu
89
faktor tinggi nya beban tuberculosis di Indonesia.(Strehle
EM, 2012).

Epidemologi

Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang di sebabkan


oleh Mycobacterium tuberculosis, suatu bacillus yang
tahan asam yang dapat menyerang organ paru tetapi juga
dapat menyerang organ tubuh lain nya.(McCance et al.,
2019). Tuberkulosis merupakan penyakit kronis yang
menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh secara
serius. Maka diperlukan komitmen global dan Nasional
dalam penangulangan yang tepat untuk dapat mengakhiri
kasus tuberculosis.
Komitmen global dalam penanganan tuberculosis
mengakhiri tuberkulosis di tuangkan dalam End TB
Strategy yang menargetkan penurunan angka kematian
akibat kasus Tuberculosis di harapkan capaian nya hingga
90% pada tahun 2030. Dalam End TB Strategy
ditegaskan bahwa target tersebut di harapkan dapat
tercapai dengan adanya inovasi secara ilmiah seperti
pengembangan vaksin dan obat TB dengan rejimen jangka
pendek.(Who, 2019)
Kemenkes RI menyusun peta jalan Eliminasi Tuberkulosis
di Indonesia tahun 2020-2030. Dalam perencanaan
tersebut di targetkan penurunan insidensi tuberculosis
mendekati 65 kasus per 10.000 penduduk pada tahun
2030. Dimana pencapaian target eliminasi tuberculosis di
Indonesia pada tahun 2030 di optimasi dengan pemodelan
epidemologi tuberculosis dengan menggunakan perangkat
Tuberkulosis Impact Model and Estimates (TIME).
Permodelan eliminasi tuberculosis tahun 2030
mengambarkan lima intervensi sebagai berikut
(Kemenkes RI, 2020) :

90
1. Pengelolaan tuberkulosis laten, dengan target cakupan
terapi pencegahan hingga 80% pada seluruh
individual dengan infeksi laten pada tahun 2030.
2. Skrining pada kelompok-kelompok dengan risiko
tinggi tuberculosis dan memperluas jangkauan
layanan pada orang-orang dengan tuberkulosis di
masyarakat yang selama ini tidak terdeteksi.
3. Mencapai cakupan diagnosis terkonfirmasi
bakteriologis yang tinggi pada terduga tuberkulosis
pada tahun 2030.
4. Ekspansi diagnosis bakteriologis dengan penggunaan
tes cepat molekuler (TCM) hingga 80% pada seluruh
terduga tuberkulosis pada tahun 2030.
5. Meningkatkan investasi sumber daya untuk
memperkuat layanan tuberculosis sehingga dapat
meningkatkan keberhasilan pengobatan tuberkulosis
sensitif dan resistan obat.
Data WHO dan Strategi TB: Pencapaian 2020 (WHO Global
Survailance, 2020)
1. Tingkat Inseden TB: Tahun 2015-2020 target
pengurangan 20% hasil terjadi pengurangan insiden
11%.
2. Jumlah Kematian: Tahun 2015-2020 target
pengurangan 35% hasil terjadi pengurangan 9,2%.
3. Persentase orang yang menghadapi biaya bencana
Tahun 2020 tidak ada (0) hasil orang dengan TB
menghadapi 47%.

Definisi Tuberkulosis

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi kronik yang


umum nya dapat mengenai organ paru dan tidak
menutup kemungkinan juga dapat mengenai organ lain

91
nya. Biasa nya penyakit ini bisa terjadi berulang.(LeMone,
P., Burke, K. M. and Bauldoff, 2017).Disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis.

Patofosiologi

1. Tuberkulosis Pulmonal
Penularan TB di tularkan melalui orang ke orang lewat
percikan air liur atau airbone droplets. Pada individu
yang imunokompeten, mikroorganisme biasa nya
berada dalam system inflamasi dan respon imun, hal
ini disebut sebagai infeksi TB laten dan tidak
ditemukan bukti klinis penyakit. Setelah kuman TB
masuk kedalam tubuh manusia melalui pernafasan,
maka kuman itu akan berdiam di bagian perifer paru
biasa nya di lobus atas, dan dapat menyebabkan
terjadi nya pneumonitis non spesifik (inflamasi paru).
Kuman bacilli dapat berpindah melalui aliran limfe
berdiam di kelenjar getah bening, dan bertemu dengan
limfosit, dan menginisiasi respon imun. Proses
inflamasi paru akan menyebabkan aktivasi makrofag
dan neutropil alveoli. Dimana fagosit akan menelan
bacilli dan memulai proses dimana mekanisme
pertahanan tubuh mengisolasi bacilli, mencegah
bacilli menyebar. Namun bakteri dapat bertahan
karena ia dapat bermultiplikasi dalam makrofag dan
melawan lisosom yang membunuhnya, yang
membentuk lesi granulomatous yang disebut dengan
tuberkel. Jaringan yang terinfeksi dalam turbekel
kemudian mati, kemudian membentuk materi seperti
keju yang disebut nekrosis kaseosa.
Jaringan parut kolagen kemudian terbentuk di daerah
tuberkel, menyelesaikan isolasi basil, dan respon
imun berproses dalam waktu 10 hari untuk mencegah
multiplikasi basil lebih lanjut. Dalam kondisi bacilli

92
terisolasi di dalam tuberkel dan daya tahan tubuh
dalam kondisi baik, tuberculosis masih tetap hidup
tetapi dalam keadaan dorman. Dan jika imun
terganggu, maka akan terjadi reaktivasi dengan
penyakit yang progresif dan menyebar melalui aliran
darah dan limfa ke organ lain. Infeksi human
immunodeficiency virus (HIV) salah satu factor risiko
tunggal terbesar untuk terjadinya reaktivasi infeksi
tuberculosis. Kanker dan pengobatan
imunosupresif,status nutrisi yang sangat buruk serta
gagal ginjal juga dapat me-reaktivasi
penyakit.(McCance et al., 2019).
2. Manifestasi dan Komplikasi

Pada penderita TB umum nya infeksi awal tidak


disadari hingga dalam pemeriksaan tuberculin
menjadi positif atau terkalsifikasi pada pemeriksaan
sinar X dada. Manifestasi perkembangan primer atau
TB reaktif sering kali terjadi secara tiba-tiba dan
awalnya tidak spesifik di tandai dengan berat badan
turun, kelelahan, letergi, anorexia (nafsu makan
turun) umum nya akan mengalami sub febris pada
sore hari. Batuk dengan sputum purulent akan timbul
perlahan dan menjadi lebih sering dalam beberapa
minggu atau bulan. Keringat malam hari dan persaan
cemas akan di rasakan.Sesak napas, nyeri dada dan
batuk darah dapat terjadi pada penyakit yang
lanjut.(McCance et al., 2019).

93
Komplikasi:
1. Tuberkulosis Ekstrapulmonal: Sering ditemukan
pada individu yang terinfeksi human
immunodeficiency virus (HIV) dan dapat
mengakibatkan defisit neurologis, gejala
meningitis, nyeri tulang, seta adanya gangguan
berkemih.
2. Tuberkulosis Milier: Terjadi dari hematogenus
(melelui darah) bacilli sluruh tubuh. Kondisi ini
dapat menyebabkan demam dan rasa menggil,
kelemahan, malaise, dispnea progresif. Lesi
multiple datar terdistribusi keseluruh paru di
temukan pada pemeriksaan sinar-X dada.
Sputum jarang mengandung organismia,
trombositopenia dan leukositosis.
Tanpa pengobatan yang tepat akan terjadi
prognosis yang buruk.
3. Tuberkulosis Genitourinari: Organ ginjal dan
saluran genitourinari merupakan tempat
ekstrapulmonal yang umum terjadi pada kasus
TB. Penyebaran organisme ke ginjal melalui
darah, memulai proses inflamasi yang serupa
dengan terjadi di organ paru. Reaktivasi dapat
terjadi beberapa tahun setelah infeksi awal.
Kemudian lesi membesar dan terjadi degenerasi
jaringan mati, bagian besar parenkim paru rusak.
Infeksi kemudian dapat menyebar ke saluran
kemih, termasuk ureter dan kandung kemih.
Jaringan parut dan striktur umumnya terjadi
pada pria, prostat, vesika seminal dan epididimis
dapat andil. Manifestasi nya terjadi secara
tersembunyi. Gejala infeksi saluran kemih seperti:
malaise, dysuria, hematuria dan piuria. Pada pria

94
umumnya akan mengalami prostatitis di tandai
dengan nyeri perineal, sacral atau scrotum dan
nyeri tekan, kesulitan berkemih dan demam. Pada
Wanita dapat terjadi penyakit radang panggul,
gangguan fertilitas, atau kehamilan ektopik
(LeMone, P., Burke, K. M. and Bauldoff, 2017).
4. Meningitis Tuberkulosis: Umumnya terjadi pada
usia lansia di sebabkan reaktivasi penyakit laten
dimana ketika TB menyebar keruang
subarachnoid. Manifestasi terjadi secara bertahap
di tandai dengan adanya demam, anoreksia,
iritabilitas. Pada lansia gejala awal di tandai
dengan adanya perubahan perilaku dan sakit
kepala. Seiring dengan perkembangan penyakit,
intensitas sakit kepala meningkat dan dapat
terjadi keluhan muntah serta penurunan
kesadaran bahkan bisa terjadi kondisi koma.
Keadaan ini dapat terjadi bila pengobatan tidak
tepat dan efek neurologis dapat menjadi
permanen.
5. Tuberkulosis Skeletal: Terjadi sering terjadi pada
anak-anak dimana Ketika epifisis tulang terbuka.
Organisme menyebar melalui aliran darah ke
vertebra, ujung tulang Panjang dan sendi. Imun
dan proses inflamasi mengisolasi bacilli dan
penyakit seringkali menjadi muncul setelah
bertahun-tahun. Spondilitis tuberkulosis dapat
mengenai vertebra toraks, mengakibatkan badan
vertebra terkikis dan menyebabkannya kolaps.
Terjadi kifosis yang signifikan, dan korsda spinal
dapat tertekan. Sendi yang menunjang berat
badan dan besar paling sering terkena artritis
tuberculosis di tandai dengan adanya nyeri,
hangat dan lunak.(LeMone, P., Burke, K. M. and
Bauldoff, 2017).

95
3. Faktor Risiko
Risiko penyakit TB disebabkan oleh karakteristik
orang yang terinfeksi serta daya tahan tubuh yang
menurun.
Dalam perspektif epidemologi dapat dilihat bahwa
kejadian penyakit di pengaruhi oleh tiga komponen
penjamu (host), penyebab (agent), serta lingkungan
(environment).
1. Penjamu (host)
Resiko tinggi pada penyakit TB adalah pada usia
produktif di perkirakan sebanyak 95% kasus dan
kematian pada TB paru di dunia yang terjadi di
negara-negara berkembang dengan
berpenghasilan rendah(WHO, 2014).Faktor lain
nya juga seperti penurunan daya tahan tubuh,
merokok dan penyakit HIV sangat beresiko tinggi
terkena TB.
2. Penyebab (agent)
Agent infeksius yang utama pada penyakit TB
adalah Mycobacterium tuberculosis suatu bacillus
yang tahan asam yang tumbuh dengan lambat
dan sensitive terhadapat panas dan sinar
matahari.

Sumber; microbiologyresearch.org

96
3. Lingkungan (environment)
Lingkungan perumahan dan lingkungan sosial
ekonomi merupakan factor kedekatan kontak
dengan penjamu BTA+ dimana sangat erat kaitan
nya dengan penyebaran bakteri ke manusia.
Dimana kuman ini dapat bertahan hidup selama
1-2 jam bahkan sampai dengan beberapa hari
hingga berminggu-minggu dan penularan nya
melalui kontak langsung lewat udara (droplet).
Kondisi lingkungan rumah yang tidak sehat
menjadi salah satu factor penyebaran penyakit TB
seperti:
a) Tidak adanya paparan sinar matahari ke
rumah
b) Ventilasi yang buruk
c) Kepadatan kapasitas penghuni rumah

Sumber; dewitamulani.blogspot.com.

97
Evaluasi, Upaya, dan Pengendalian Serta Pengobatan

Tuberkulosis dapat didagnosis dengan pemeriksaan uji


tuberculin atau tuberculin skin test dengan menggunakan
purified protein derivate (PPD) dan dapat dilakukan
pemeriksaan lain juga seperti pemeriksaan kultur
sputum, immunoassays dan foto toraks.(McCance et al.,
2019).
Bila hasil uji kulit positif mengindikasikan perlu
dilakukan pemeriksaan secara berkala untuk mengetahui
adanya penyakit aktif. Adapun individu yang sudah
mendapatkan vaksin BCG (bacilli Calmette - Guerin) akan
menunjukan hasil tes tuberculin yang positif bahkan jika
mereka belum pernah menderita TB.
Bila penyakit TB menjadi aktif, pemeriksaan bisa
dilakukan dengan kultur sputum. Untuk melihat
pengecatan tahan asam.
Tetapi pemeriksaan ini memerlukan waktu yang lama
selama 6 minggu untuk menjadi positif.

Upaya dan Pengendalian

Dalam penanganan kasus TB perlu dilakukan


pencegahan dan pengendalian factor resiko TB dapat
dilakukan dengan:(Kemenkes RI, 2018)
1. Membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat
2. Membudayakan perilaku etika berbatuk

98
Sumbe: rsj.acehprov.go.id

3. Melakukan pemeliharaan dan perbaikan kualitas


tempat tinggal dan lingkungan nya sesuai dengan
standar rumah sehat
4. Peningkatan daya tahan tubuh
5. Penanganan penyakit penyerta TB
6. Penerapan dan pengendalian infeksi TB di fasilitas
Pelayanan Kesehatan, dan di luar Fasilitas Pelayanan
Kesehatan.

Pengobatan

Kombinasi terapi antibiotik dapat di berikan untuk


mengontrol penyakit aktif atau mencegah reaktivasi LTBI
(Laten TB Infection). Vaksin BCG dapat di berikan pada
negara-negara yang mengalami endemis TB. Sedangkan
pengobatan koinfeksi TB HIV memerlukan pendampingan
serta pengawasan interaksi obat dan toksisitas.(Regazzi
M, 2014).

99
Daftar Pustaka
Kemenkes RI (2018) ‘Tuberkulosis ( TB )’, Tuberkulosis,
1(april), p. 2018. Available at: www.kemenkes.go.id.
Kemenkes RI (2020) ‘Strategi Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis di Indonesia 2020-2024’, Pertemuan
Konsolidasi Nasional Penyusunan STRANAS TB, p.
135.
LeMone, P., Burke, K. M. and Bauldoff, G. (2017) Buku
Ajar Keperawatan Medikal Bedah Gangguan
respirasi:Diagnosis Keperawatan Nanda Pilihan, NIC &
NOC. 5th edn. Jakarta: EGC.
McCance, K. L. et al. (2019) Buku Ajar Patofisiologi Vol.2.
Regazzi M, et al (2014) Treatment Optimization in patients
co-infected with HIV and Mycobacterium tuberculosis
infections ; focus on drug -drug interactions with
rifamycin,Clin Pharmacokinet.
Strehle EM, et al (2012) ‘Can home monitoring reduce
mortality in infants at increased risk of sudden infant
death syndrome.’, A systematic review,Acta Paediatr,
101(1), pp. 8–13.
Who (2019)
‘TheENDTBSTRATEGY.Globalstrategyandtargetsfortu
berculosisprevention, careandcontrolafter 2015’, who.
Available at: www.who.int/tb/strategy/end-tb/en.
WHO (2014) ‘Global Tuberculosis Report’.
WHO Global Survailance (2020) ‘Global Tuberculosis
Report’, pp. 99–117.
Yanti, B. (2021) ‘Penyuluhan Pencegahan Penyakit
Tuberkulosis (Tbc) Era New Normal.’, Jurnal
Pengabdian Kepada Masyarakat., 4 (1), p. 325

100
Profil Penulis
Lenny Erida Silalahi
Pengalaman bekerja penulis di berbagai
Rumah Sakit Negri dan Swasta di Jakarta.
Bekerja sebagai Staf pengajar AKKES YRSJ.
Fokus mengajar mata kuliah Medikal Bedah,
dan berbagai mata kuliah yang berkaitan.
Kegiatan yang lain dilakukan saat ini aktif di masyarakat
sebagai Perawat RW 08 Sukapura Jakarta dan Sebagai
Penulis.
Email Penulis: eridalenny21@gmail.com

101
102
7
PENYAKIT HIV DAN AIDS

Ns. Miftakhul Ulfa, S.Kep. M.Kep.


STIKES Widyagama Husada Malang

Pendahuluan

Kasus HIV di Asia Tenggara dari tahun 2000-2015 terus


mengalami peningkatan, dari 2,9 juta menjadi 3,5 juta
penderita (Kemenkes RI, 2017). Jumlah kasus yang
tercatat bulan Oktober 2005 – Desember 2017 sebanyak
2.528 yang terdiri dari 859 kasus HIV dan AIDS sebesar
1.669, serta meninggal dunia sebanyak 701 orang
(UNAIDS, 2017). Di seluruh dunia, setiap hari
diperkirakan sekitar 2000 anak di bawah 15 tahun
tertular HIV dan sekitar 1400 anak di bawah usia 15
tahun meninggal dunia, serta menginfeksi lebih dari 6000
orang berusia produktif (Purwaningsih, 2008).
Menurut data Kemenkes RI, kasus HIV/AIDS di Indonesia
pada tahun 2017 sebanyak 330.152 orang, dengan
terinfeksi HIV sebanyak 242.699 orang dan yang
mengalami AIDS sebanyak 87.453 orang. Urutan
prevalensi HIV/AIDS yang cukup tinggi di provinsi yang
ada di Indonesia antara lain DKI Jakarta, Jawa Timur,
Papu, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali dan Sumatera utara.
Peningkatan kasus baru HIV/AIDS diproyeksikan akan
terjadi pada populasi kunci, seperti sopir dikarenakan
sopir termasuk mobile men with money and migrant (laki-
laki yang memiliki waktu yang banyak di luar rumah
dengan uang yang cukup serta jauh dari keluarga).

103
Berdasarkan data Komisi Penanggulangan AIDS
menyebutkan bahwa sopir yang mengidap HIV/AIDS
meningkat setiap tahun. Pada tahun 2008, sopir yang
mengidap HIV/AIDS berjumlah 14 orang (2,89%), naik
menjadi 26 orang (6,73%) tahun 2009, tahun 2010
menjadi 47 orang (11,31%) dan bertambah menjadi 67
orang (19,08%) sampai bulan Maret 2011. Data ini
mengindikasikan besarnya risiko perilaku seksual laki-
laki yang bergantiganti pasangan terutama terhadap
istrinya sendiri. Hal ini semakin memperburuk kondisi
perempuan, terutama ketika mereka terinfeksi HIV/AIDS
meskipun dari suaminya sendiri (Dalimoenthe, 2011).

Pengertian

AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan


kumpulan gejala penyakit yang timbul akibat
menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan
oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) (WHO,
2007), ditemukan dalam tubuh terutama darah, cairan
sperma, cairan vagina, air susu Ibu (Depkes RI, 2007 dan
Dirjen PPM&PL 2008). Acquired Immunodefiency
Syndrome (AIDS) merupakan penurunan system
kekebalan tubuh gejala yang timbul diawali dengan
perubahan metabolisme pada tubuh (Amalia et al., 2018)
HIV merupakan jenis virus yang menurunkan sistem
kekebalan tubuh, sehingga orang yang terkena virus ini
menjadi rentan terhadap beragam infeksi atau juga
mudah terkena tumor (WHO, 2007 dan Depkes RI, 2008).
HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency
Virus, yaitu virus yang menyerang sistem kekebalan
tubuh manusia. Orang yang mengidap HIV positif atau
pengidap HIV. Orang yang telah terinfeksi HIV dalam
beberapa tahun pertama belum menunjukkan gejala
apapun, secara fisik kelihatan tidak berbeda dengan orang

104
lain. Namun, dia sudah bisa menularkan HIV pada orang
lain.

Pembagian Klinis Penyakit Virus HIV AIDS

Pembagian tingkat klinis penyakit virus HIV oleh Global


Programme on AIDS dari Badan Kesehatan Dunia (WHO)
mengusulkan “pembagian tingkat klinis penyakit HIV”
pada pertemuan di Jenewa bulan Juni 1989 dan Februari
1990, berdasarkan penelitian terhadap 907 penderita
zeropositif HIV dari 26 Pusat Perawatan yang berasal dari
5 benua. Pembagian tingkat klinis HIV tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Tingkat Klinis 1 (Asiptomatik/LGP): tanpa gejala sama
sekali atau mengalami Linfadenopati Generalisata
Persisten (LPG), yakni pembesaran kelenjar getah
bening di beberapa tempat yang menetap. Pada
tingkat ini, pasien belum mempunyai keluhan dan
tetap dapat melakukan aktivitas.
2. Tingkat Klinis 2 (dini): penurunan berat badan kurang
dari 10 %; kelainan kulit dan mulut yang ringan,
misalnya dermatitis seboroika, prurigo, infeksi jamur
pada kaki, ulkas pada mulut berulang, dan chelitis
anguralis; herpes zoster yang timbul pada lima tahun
terakhir; dan infeksi saluran nafas bagian atas
berulang, misalnya sinusitis. Pada tingkat ini, pasien
sudah menunjukkan gejala tetapi aktivitasnya tetap
normal
3. Tingkat Klinis 3 (menengah): penurunan berat badan
lebih dari 10%, diare kronik lebih dari 1 bulan, dengan
penyebab tidak diketahui; panas yang tidak diketahui
sebabnya selama lebih dari 1 bulan, hilang-timbul,
maupun terus menerus; kandidiasis mulut, bercak
putih berambut di mulut; tuberkolosis setahun
terakhir; infeksi bakteri yang berat, misalnya

105
pnemonia. Pada tingkat ini, penderita biasanya
berbaring di tempat tidur lebih dari 12 jam per hari.
4. Tingkat Klinis 4 (lanjut): badan menjadi kurus (HIV
Wasting Sydrome), yaitu berat badan turun lebih dari
10 % dan diare kronik lebih dari sebulan dengan
penyebab tidak diketahui, atau kelemahan kronik
timbul panas yang tidak diketahui sebabnya selama
lebih dari 1 bulan: pnemonia pneumosistis karini,
toksoplasmosis otak; kriptosporidiosis dengan diare
lebih dari 1 bulan, penyakit virus sitomegalo pada
organ tubuh, kecuali di limfa, hati, atau kelenjar
getahbening; infeksi virus herpes simpleks
dimukokutan lebih dari satu bulan, atau di alat dalam
(visceral) lamanya tidak dibatasi; mikosis (infeksi
jamur) apa saja, tuberkulosis di luar paru; limfoma,
sarcoma Kaposi; ensefatopati HIV, sesuai kriteria
Center for Disease Control and Prevention (CDC) yaitu
gangguan kognitif atau disfungsi motorik yang
mengganggu aktivitas sehari-hari, progresif setelah
beberapa minggu atau beberapa bulan, tanpa
ditemukan penyebab selain HIV (Rustamaji,
2000:134-135).

Cara Penularan Penyakit HIV AIDS

KPA DIY (2016) mengemukakan bahwa penularan HIV


dapat terjadi bila ada kontak atau masuknya cairan tubuh
yang mengandung HIV, yaitu:
a. Melalui hubungan seksual yang berisiko tanpa
menggunakan pelindung dengan seseorang yang
mengidap HIV.
b. Melalui tranfusi darah dan transplantasi organ yang
tercemar HIV.

106
c. Melalui alat suntik atau alat tusuk lainnya yang dapat
menembus kulit (akupuntur, tindik, tato) yang
tercemar oleh HIV.
d. Penularan HIV dari perempuan pengidap HIV bisa
terjadi melalui beberapa proses, yaitu saat menjalani
kehamilan, saat proses melahirkan, melalui
pemberian ASI.
e. Melalui orang-orang yang memiliki perilaku berisiko
tinggi untuk terinfeksi HIV, yaitu:
1. Perempuan dan laki-laki yang berganti-ganti
pasangan, beserta pasangan mereka.
2. Penjaja seks, serta pelanggannya.
3. Pasangan dari laki-laki pelanggan pekerja seks,
misalnya ibu rumah tangga.
4. Pengguna narkotika suntik yang menggunakan
jarum suntik secara bersamaan.

Manifestasi Klinis Penyakit HIV AIDS

Manifestasi klinis HIV/AIDS yang dikemukakan oleh


Diane Richardson (2002: 25) mencakup hal-hal sebagai
berikut:
1. Kelelahan yang sangat, yang berlangsung selama
beberapa minggu tanpa sebab yang jelas
2. Demam tanpa sebab yang jelas, menggigil kedinginan
atau berkeringat berlebihan di malam hari,
berlangsung selama beberapa minggu.
3. Hilangnya berat badan lebih dari 5 kg dalam waktu
kurang dari dua bulan.
4. Pembengkakan kelenjar, terutama di leher atau
ketiak.

107
5. Sariawan sejenis bisul atau luka bernanah di mulut
atau tenggorokan. Sariawan adalah infeksi yang
umumnya terjadi di vagina, mengakibatkan keluarnya
cairan putih yang menggangu (jamur vagina tidak
berhubungan dengan AIDS). Pada laki-laki jamur ini
timbul berupa bintik-bintik putih yang menggangu
ujung penis atau munculnya kotoran putih yang
keluar dari anus.
6. Diare terus menerus.
7. Nafas menjadi tidak stabil, lambat-laun menjadi
buruk setelah beberapa minggu, disertai dengan
gangguan batuk kering yang tidak diakibatkan oleh
rokok dan berlangsung lebih daripada batuk karena
flu.
8. Bisul jerawat baru, berwarna merah muda atau ungu
rata atau timbul (biasanya tidak sakit) muncul dikulit
bagian mana saja, termasuk dimulut atau kelompak
mata. Dalam banyak kasus luka-luka tersebut dapat
juga timbul organ bagian dalam seperti misalnya
selaput paru-paru, usus atau anus. Awalnya luka
tersebut melepuh, berdarah atau memar, tetapi tidak
memucat jika ditekan dan tidak hilang. Biasanya luka
melepuh ini salah satu bentuk kanker kulit yang
dikenal dengan leaposis sarcoma.
Untuk keperluan surveilans AIDS di Indonesia, maka
digunakan definisi kasus AIDS yang disusun oleh US
Center for Disease Control (CDC) dan disetujui oleh WHO,
sehingga untuk penegakan diagnosa AIDS, apabila
terdapat dua gejala mayor dan satu gejala minor serta
tidak ada sebab-sebab immunosupresi yang diketahui
seperti kanker, malnutrisi berat dan etiologi lainnya.
Adapun gejala mayor dan gejala minor dari penderita HIV
AIDS, adalah sebagai berikut:

108
a. Gejala Mayor
1. Demam berkepanjangan lebih dari 3 bulan
2. Diare kronis lebih dari 1 bulan, baik berulang
maupun terus menerus
3. Penurunan berat badan lebih dari 10% dalam 3
bulan
b. Gejala Minor
1. Batuk kronis selama lebih dari 1 bulan
2. Infeksi pada mulut dan tenggorokan yang
disebabkan oleh jamur candida
albicans
3. Pembengkakan kelenjar getah bening yang
menetap di seluruh tubuh
4. Munculnya Herpes zoster berulang dan
5. Bercak-bercak gatal seluruh tubuh

Dampak Penyakit HIV AIDS

Richard D. Muma dan kawan-kawan (1997: 279) yang


mengatakan bahwa dampak yang dialami oleh penderita
HIV adalah:
1. Kecemasan: rasa tidak pasti tentang penyakit yang
diderita, perkembangan dan pengobatannya, merasa
cemas dengan gejala-gejala baru, prognosis, dan
ancaman kematian, hiperventilasi, serangan panik.
2. Depresi: merasa sedih, tidak berdaya, rendah diri,
merasa bersalah, tidak berharga, putus asa,
berkeinginan untuk bunuh diri, menarik diri,
memberikan ekspresi pasrah, sulit tidur, dan hilang
nafsu makan.

109
3. Merasa terisolasi dan berkurangnya dukungan sosial,
merasa ditolak oleh keluarga, dan orang lain.
Sedikitnya orang yang menjenguk pada saat ODHA
dirawat semakin memperkuat perasaan ini.
4. Merasa takut bila ada orang yang mengetahui atau
akan mengetahui penyakit yang dideritannya.
5. Merasa khawatir dengan biaya perawatan, khawatir
kehilangan pekerjaan, pengaturan hidup selanjutnya
dan transportasi.
6. Merasa malu dengan adanya stigma sebagai penderita
AIDS, penyangkalan terhadap kebiasaan seksual.
7. Penyangkalan hidup riwayat penggunaan obatobatan
terlarang.

Penanganan Dan Pencegahan Penyakit HIV AIDS

Setyoadi dan Endang (2012) mengemukakan bahwa


pencegahan penyakit HIV AIDS dapat dilakukan dengan
menggunakan pendekatan tiga tingkat pencegahan yaitu
pencegahan primer, pencegahan sekunder dan
pencegahan tersier. Pencegahan primer berfokus pada
upaya pencegahan faktor risiko sebelum proses penyakit
dimulai. Bentuk kegiatan yang dapat dilakukan adalah
memberikan pendidikan kesehatan tentang HIV/AIDS,
cara penularan dan cara pencegahan, meningkatkan
kesadaran masyarakat tentang pentingnya perilaku yang
lebih sehat dengan cara menghindari narkoba, setia pada
pasangan dan menghindari hubungan seksual sebelum
waktunya. Menurut Khan (2010) merekomendasikan
beberapa upaya pencegahan HIV dan AIDS sebagai
berikut: peningkatan pengetahuan tentang HIV dan AIDS,
program perubahan perilaku khususnya pada remaja
yang berisiko HIV dan pada orang yang terinfeksi AIDS,
promosi penggunaan kondom pada laki-laki maupun
wanita, tes HIV dan AIDS secara sukarela, pencegahan

110
pada wanita hamil, pencegahan penularan dari ibu ke
anak, bahaya penggunaan jarum suntik bersama,
pendidikan masyarakat, perubahan dalam bidang hukum
dan kebijakan untuk melawan stigma, peningkatan
ekonomi masyarakat.
Pusat Promosi Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
(2012), ada beberapa upaya yang dapat dilakukan
seseorang dalam mencegah tertularnya HIV, seperti
berikut:
1. Pencegahan Jangka Pendek
Upaya pencegahan HIV AIDS jangka pendek dapat
dilakukan melalui KIE, dengan memberikan informasi
kepada kelompok risiko tinggi terkait bagaimana pola
penyebaran virus HIV AIDS, sehingga dapat diketahui
langkah-langkah pencegahannya, diantaranya
sebagai berikut:
Pencegahan penularan melalui kontak seksual (ABC)
a. A = abstinence atau absen, tidak melakukan
hubungan seksual sama sekali. Hubungan
seksual hanya dilakukan melalui pernikahan
yang sah.
b. B = be faithfull atau saling setia, hanya
melakukan hubungan seksual dengan satu orang,
saling setia dan resmi sebagai pasangan suami
istri.
c. C = condom, apabila salah satu pasangan sudah
terinfeksi HIV atau tidak dapat saling setia, maka
gunakan pengaman atau pelindung untuk
mencegah penularan

111
Pencegahan penularan melalui darah (termasuk DE)
a. D= drug, jangan menggunakan narkoba terutama
yang narkoba suntik karena dikhawatirkan jarum
suntik tidak steril.
b. E= education atau equipment, pendidikan seksual
sangat penting khususnya bagi para remaja agar
mereka tidak terjerumus dalam perilaku berisiko
serta mewaspadai semua alat-alat tajam yang
ditusukkan ketubuh atau yang dapat melukai
kulit, seperti jarum akupuntur, alat tindik, pisau
cukur, agar semuanya steril dari HIV lebih dulu
sebelum digunakan atau pakai jarum atau alat
baru yang belum pernah digunakan.
Pencegahan penularan dari ibu kepada anak
Pada kondisi biasa, janin dari perempuan pengidap
HIV berisiko tertular sekitar 25-30%. Risiko bayi
terinfeksi HIV melalui ASI adalah sangat kecil
sehingga tetap dianjurkan bagi si ibu untuk
memberikan ASI pada bayinya. Program pencegahan
penularan penyakit dari perempuan atau ibu
pengidap HIV kepada bayinya dikenal dengan PMTCT
(Prevention of Mother to Child Transmission) atau
PPTCT (Prevention of Parents to Child Transmisson).
Program ini meliputi 3 tindakan utama yaitu:
a. Pemberian ARV (antiretroviral) saat kehamilan.
b. Terapi kelahiran, misal kelahiran caesar.
c. Pemberian ASI ekslusif selama 3 atau 6 bulan
pertama tanpa pemberian makanan tambahan
atau tidak melakukan pemberian ASI ekslusif,
tetapi diganti dengan pemberian susu formula
dari awal, maka bisa dilakukan juga pemberian
makanan tambahan lainnya.

112
2. Pencegahan Jangka Panjang
Upaya pencegahan jangka panjang yang harus kita
lakukan untuk mencegah penularan HIV AIDS adalah
dengan mengubah sikap dan perilaku masyarakat
melalui kegiatan yang meningkatkan norma-norma
agama maupun sosial sehingga masyarakat dapat
berperilaku seksual yang bertanggung jawab, melalui:
a. Tidak melakukan hubungan seksual diluar
pernikahan
b. Hanya melakukan hubungan seksual dengan
pasangan yang sudah sah, setia dan tidak
terinfeksi HIV
c. Menghindari hubungan seksual dengan wanita
tuna susila
d. Menghindari hubungan seksual dengan orang
yang memiliki lebih dari satu pasangan seksual
e. Menghindari hubungan seksual dengan kelompok
risiko tinggi tertular AIDS
f. Tidak melakukan hubungan anogenital
Kegiatan yang bernilai positif dapat berupa dialog
dengan tokoh-tokoh agama, penyebarluasan
informasi tentang AIDS dengan bahasa agama,
melalui pendidikan kesehatan dan lain- lain yang
bertujuan untuk meningkatkan keimanan kita
kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Diagnosis HIV AIDS

Menurut Kemenkes (2013) dalam menegakkan diagnosa


klinis dari HIV AIDS harus mempertimbangkan beberapa
penilaian, diantaranya sebagai berikut:

113
1. Penilaian Stadium Klinis
Stadium klinis harus dinilai pada saat kunjungan
awal dan setiap kali kunjungan untuk menentukan
terapi ARV dengan lebih tepat waktu.
2. Penilaian Imunologi (Pemeriksaan Jumlah CD4)
Jumlah CD4 merupakan cara dalam menilai status
imunitas ODHA. Pemeriksaan CD4 ini melengkapi
pemeriksaan klinis untuk menentukan pasien yang
memerlukan pengobatan profilaksis IO dan terapi
ARV. Rata – rata penurunan CD4 sekitar 70-100
sel/mm3/tahun, dengan peningkatan setelah
pemberian ARV antara 5-100 sel/mm3/tahun.
Jumlah limfosit total (TLC) tidak dapat menggantikan
pemeriksaan CD4.
3. Pemeriksaan Laboratorium Sebelum Terapi
Pada dasarnya pemantauan laboratorium bukan
merupakan salah satu persyaratan mutlak untuk
menginisiasi terapi ARV. Pemeriksaan CD4 dan viral
load juga bukan kebutuhan mutlak dalam
pemantauan pasien yang mendapat terapi ARV,
namun pemantauan laboratorium atas indikasi gejala
yang ada sangat dianjurkan untuk memantau
keamanan dan toksisitas pada ODHA yang menerima
terapi ARV. Hanya apabila sumberdaya
memungkinkan maka dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan viral load pada pasien tertentu untuk
mengkonfirmasi adanya kegagalan terapi menurut
kriterian klinis dan imunologis.

114
Respon Sosial Terhadap ODHA

Ketakutan seseorang terhadap penyakit HIV AIDS dapat


disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah
minimnya informasi yang diperoleh dari sumber yang
terpercaya sehingga menimbulkan rasa takut atau cemas
yang berlebihan. Pada sebagian orang yang berisiko tinggi
seperti homoseksual merasa dikucilkan dan kehilangan
mata pencaharian, anak – anak penderita HIV AIDS
dilarang bersekolah (C.Long Baebara, 2006:573).
Stigma terkait AIDS merupakan segala persangkaan,
penghinaan dan diskriminasi yang ditujukan kepada
ODHA serta individu, kelompok atau komunikasi yang
berhubungan dengan ODHA tersebut. Diskriminasi
merupakan aksi atau tindakan yang berasal dari
munculnya stigma dan langsung kepada orang yang
terstigma. Stigma dan diskriminasi terhadap ODHA erat
kaitannya dengan cara penularan HIV AIDS yang identik
dengan perbuatan tercela seperti penggunaan obat
terlarang, perilaku homoseksual, pelacuran dan lain
sebagainya (UNAIDS, 2005). Menurut Paryati, (2012) ada
beberapa bentuk stigma eksternal dan diskriminasi yang
di terima oleh ODHA, diantaranya sebagai berikut:
1. Menjauhi ODHA atau tidak menginginkan untuk
menggunakan peralatan yang sama.
2. Penolakan oleh keluarga, teman atau masyarakat
terhadap ODHA
3. Peradilan moral berupa sikap yang menyalahkan
ODHA karena penyakitnya dan menganggapnya
sebagai orang yang tidak bermoral
4. Stigma terhadap orang-orang yang terkait dorongan
ODHA, misalnya keluarga dan teman dekatnya
5. Keengganan untuk melihat ODHA dalam suatu
kelompok atau organisasi

115
6. Diskriminasi yaitu penghilangan kesempatan untuk
ODHA seperti ditolak bekerja, penolakan dalam
pelayanan kesehatan bahkan perlakuan yang berbeda
yaitu ODHA oleh petugas kesehatan
7. Pelecehan terhadap ODHA baik lisan maupun fisik
8. Pelanggaran Hak asasi manusia, seperti pembukaan
status HIV seseorang pada orang lain tanpa seijin
penderita, dan melakukan tes HIV tanpa adanya
informed consent

116
Daftar Pustaka
Amalia, R., Sumartini, S., & Sulastri, A. (2018). Gambaran
Perubahan Psikososial dan Sistem Pendukung Pada
Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) di Rumah Cemara
Gegerkalong Bandung. JURNAL PENDIDIKAN
KEPERAWATAN INDONESIA. https://
doi.org/10.17509/jpki.v4i1.12346
Dalimoenthe. (2011). Ikhlasiah Perempuan dalam
cengkeraman HIV/AIDS: kajian sosiologi feminis
perempuan ibu rumah tangga. Jurnal Komunitas; 5
(1): 41 - 4
DinKes, (2008), Dir Jen PPM&PL Dinas Kesehatan,
Jakarta
KPA DIY. (2016). Buku Referensi (Materi HIV, AIDS, dan
IMS bagi Tenaga Pengajar Penjasorkes SMA dan SMK).
Yogyakarta: KPA DIY;. p. 1-31.
Kemenkes. (2013). Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis
Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral Pada Orang
Dewasa. Jakarta: Kemenkes
Kemenkes RI. (2017). Laporan Perkembangan HIV-AIDS.
Muma, D. Richard, et al. (1997). HIV Manual untuk
Tenaga Kesehatan.Jakarta: EGC
Paryati T. (2012). Faktor-faktor yang mempengaruhi
stigma dan diskriminasi kepada ODHA oleh petugas
kesehatan: Kajian Literatur. Progra, Pascasarjana
Universitas Padjajaran, Bandung
Purwaningsih S. (2008). Perkembangan HIV dan AIDS di
Indonesia. Jurnal Kependudukan Indonesia; 3 (2): 11
- 16.
Pusat Promosi Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
(2012). Buku Petunjuk Penggunaan Media KIE Versi
Pelajar Aku Bangga Aku Tahu; p. 7: 64- 67.

117
UNAIDS. (2017). Global HIV Statistics’, Fact sheet, p. 6.
Available at:
http://www.unaids.org/en/resources/fact-sheet.
WHO. (2007). Technical Working Group for The
Development of an HIV/AIDS Diagnostic Support
Toolkit: p. 2
Stewart, D. & Simmons, M. (2010). The Business
Playground: Where Creativity and Commerce Collide.
Berkeley, AS: New Riders Press.
Rerung, R. R., Fauzan, M., & Hermawan, H. (2020).
Website Quality Measurement of Higher Education
Services Institution Region IV Using Webqual 4.0
Method. International Journal of Advances in Data and
Information Systems, 1(2), 89-102

118
Profil Penulis
Miftakhul Ulfa
Lahir dari orang tua Bpk. Rohib dan Ibu
Salamah sebagai anak pertama dari dua
bersaudara. Penulis dilahirkan di Kota
Pasuruan, tanggal 09 Juli 1984. Penulis
menempuh pendidikan dimulai dari SDN
Kejapanan II Gempol (lulus tahun 1996), SMPN 1 Gempol
(lulus tahun 1999), SMUN 1 Kota Bangil (lulus 2002),
dilanjutkan menempuh Pendidikan S1 Ilmu Keperawatan
Fakultas Kedokteran di Universitas Brawijaya (lulus
tahun 2006), kemudian melanjutkan ke Pendidikan
Magister Keperawatan di Universitas Brawijaya (lulus
tahun 2018). Penulis saat ini aktif sebagai Tenaga
Pengajar (Dosen Tetap) di STIKES Widyagama Husada
Malang pada keilmuan Keperawatan Jiwa. Penulis juga
tergabung sebagai anggota dalam Asosiasi Dosen
Indonesia dan organisasi PPNI (Persatuan Perawat
Nasional Indonesia). Adapun pengalaman riset dimulai
sejak tahun 2005 hingga saat ini dengan fokus pada
bidang penelitian keperawatan jiwa (kelompok sehat jiwa,
kelompok risiko dan kelompok gangguan jiwa). Adapun
Hasil Karya penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat sudah terpublikasi pada jurnal nasional
maupun internasional.
Email Penulis: mimiulfah336@gmail.com

119
120
8
PENYAKIT MALARIA

dr. Lala Foresta Valentine Gunasari, M. Biomed.


Universitas Bengkulu

Epidemiologi Global Malaria

Hingga saat ini, penyakit infeksi parasit masih


menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan
di seluruh dunia. Pada tahun 2013, diperkirakan bahwa
lebih dari 2 juta kasus penyakit infeksi parasit terjadi
(Herricks et al., 2017). Dilaporkan, lebih dari 15% kasus
penyakit infeksi parasit ini merupakan penyakit parasit
yang ditularkan oleh vektor, yang menyebabkan kematian
hingga 600.000 kasus per tahun. Malaria adalah salah
satu penyakit infeksi parasit yang ditularkan oleh vektor
yang menyebabkan lebih dari 400.000 kematian di
seluruh dunia setiap tahunnya, dia pertiga kasus terjadi
pada kelompok anak-anak usia balita (World Health
Organization, 2020).
Meskipun upaya kontrol dan eliminasi telah
diimplementasikan pada program kontrol malaria
nasional dan internasional, malaria masih menjadi
penyakit parasit yang paling mendapat perhatian.
Program Eradikasi Malaria Global yang diinisiasi pada
tahun 1969 berujung pada kegagalan setelah dilaporkan
terdapat ratusan juta orang yang terinfeksi malaria,
puluhan juta di antaranya bahkan mengalami kematian
(kebanyakan kasus terjadi di sub-Sahara Afrika), ratusan
ribu wanita hamil meninggal selama proses kelahiran

121
akibat komplikasi malaria, dan jutaan anak lahir dengan
berat badan rendah yang menyebabkan kematian atau
disabilitas. Namun, dua dekade pertama di abad ini
merupakan era emas dalam sejarah kontrol malaria.
Berdasarkan laporan tahunan malaria global terbaru yang
dikeluarkan oleh World Health Organization (WHO),
diperkirakan terdapat 229 juta kasus malaria pada tahun
2019 di 87 negara endemik malaria, berkurang 9 juta
kasus dibandingkan pada tahun 2000. Meskipun
demikian, angka tersebut masih lebih tinggi dibandingkan
perkiraan oleh Global Technical Strategy (GTS) for malaria
2016-2030 pada tahun 2015 lalu, yaitu 218 juta kasus
balita (World Health Organization, 2020). Hal ini
menggambarkan penurunan insiden kasus malaria global
(kasus per 1000 populasi berisiko) dari 80 kasus di tahun
2000 menjadi 58 kasus pada tahun 2015 dan 57 kasus
pada tahun 2019. Insiden kasus malaria global berkurang
sebanyak 27% antara tahun 2000 dan 2015, serta < 2% di
antara tahun 2015 dan 2019, yang mengindikasikan
terjadinya perlambatan dalam penurunan kasus sejak
2015 (Dayanand et al., 2018). Penurunan kasus malaria
juga dilaporkan di India, Sudan, daerah Pasifik Barat, dan
Amerika; bahkan Eropa telah bebas dari kasus malaria
sejak tahun 2015 lalu balita (World Health Organization,
2020).
Malaria pada manusia disebabkan oleh lima spesies
Plasmodium, yaitu Plasmodium falciparum, Plasmodium
vivax, Plasmodium ovale, Plasmodium malariae, dan
Plasmodium knowlesi. Kebanyakan kasus malaria di
Afrika disebabkan oleh Plasmodium falciparum yang
memang terbukti lebih virulen dan paling sering
menyebabkan mortalitas di seluruh dunia. Sementara itu,
peningkatan prevalensi infeksi Plasmodium vivax,
terutama pada sub-kontinen India, merupakan tantangan
baru dalam diagnosis dan terapi (Dayanand et al., 2018).

122
Plasmodium vivax memiliki stadium hypnozoite yang
bersifat dorman dan persisten di sel hati, stadium ini
dapat menyebabkan episode rekuren malaria. Akibatnya,
Plasmodium vivax seringkali menyebabkan kasus malaria
impor terutama di antara penduduk yang tinggal di luar
Afrika sub-Sahara (6). Pada tahun 2019, dari seluruh
kasus malaria yang dilaporkan di Afrika, 99% di
antaranya adalah akibat Plasmodium falciparum. Kasus
malaria akibat Plasmodium falciparum di Afrika ini
merupakan 94% dari seluruh kasus malaria dan kematian
di seluruh dunia balita (World Health Organization, 2020).
Meskipun kasus malaria dilaporkan terjadi pada 29
negara, 51% kasus malaria pada tahun 2019 berasal dari
Nigeria (27%), Republik Demokrasi Kongo (12%), Uganda
(5%), Mozambique (4%), dan Niger (3%). Pada dekade lalu,
diperkirakan kematian akibat malaria per tahun
meningkat dari 888.000 kasus pada tahun 1990 menjadi
1,2 juta kasus pada tahun 2004, lalu berkurang menjadi
855.000 kasus kematian pada tahun 2014 (Murray et al.,
2014). Sejak tahun 1990, kasus kematian akibat malaria
di luar Afrika menurun secara bertahap sebagai efek dari
peningkatan upaya eliminasi malaria di seluruh dunia
(Murray et al., 2014). Mortality rate malaria juga
berkurang dari ~25/100/000 populasi pada tahun 2000
menjadi 12/100.000 pada tahun 2015 dan 10/100.000
pada tahun 2019. Penurunan mortality rate paling besar
(74%) terjadi di Asia Tenggara. Secara global, malaria
menyebabkan 409.000 kematian pada tahun 2019, 95%
di antaranya dilaporkan dari 31 negara, dan 51% dari
seluruh kasus kematian terjadi hanya pada 6 negara yaitu
Nigeria (23%), Republik Demokrasi Kongo (11%), Tanzania
(5%), Mozambique (4%), Niger (4%), dan Burkina Faso
(4%). Sebanyak 67% dari seluruh kasus kematian akibat
malaria terjadi pada anak-anak usia di bawah 5 tahun.
WHO menargetkan penurunan angka mortalitas global

123
akibat malaria sebesar 40% di tahun 2020 dan 90% di
tahun 2030. Jumlah kematian akibat malaria yang
dilaporkan pada tahun 2017 di Indonesia adalah sebesar
261.617 kasus balita (World Health Organization, 2020).
Kasus impor malaria pada daerah non-endemik dan
negara bebas kasus malaria saat ini menjadi tantangan
bagi negara-negara industrial dan non-endemik lainnya.
Perubahan iklim dan ekosistem akibat pemanasan global
juga meningkatkan risiko penularan penyakit terkait
vektor, termasuk malaria (Rossati et al., 2016).
Peningkatan jumlah perjalanan terkait bisnis dan/atau
migrasi penduduk karena alasan pekerjaan atau komflik
geopolitik juga menyebabkan perubahan karakteristik
epidemiologi malaria pada banyak negara yang non-
endemik maupun bebas malaria (Loutan, 2003;
Mischlinger et al., 2020).
Endemisitas malaria sangatlah kompleks. Suatu daerah
yang memiliki level endemisitas sama biasanya memiliki
karakteristik distribusi penyakit yang serupa, sehingga
dapat dijadikan dasar oleh para ahli untuk
merencanakan, meingimplementasikan, dan mengawasi
aktivitas kontrol dan pencegahan malaria (autino4).
Menurut Autino et al. (2012), endemisitas malaria di suatu
daerah dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu: (1) faktor
interaksi manusia (aktivitas pertanian, aktivitas
nokturnal, migrasi, peperangan, keterbatasan sumber
daya, (2) faktor parasit (perbedaan spesies, durasi siklus
sporogoni, usia, kerentanan terhadap obat), (3) faktor
vektor (densitas, tempat perindukan larva, suhu udara,
pola makan, kerentanan terhadap insektisida), dan (4)
faktor lingkungan (fisik, biologis, sosioekonomi). Terdapat
beberapa metode yang digunakan untuk
mengklasifikasikan endemisitas malaria pada suatu
populasi, antara lain (1) proporsi individu dalam suatu
populasi yang mengalami splenomegali (spleen rate), (2)

124
proporsi individu dalam suatu populasi yang
terkonfirmasi mengalami infeksi parasit malaria secara
laboratorik (parasite rate), (3) jumlah gigitan yang infektif
per manusia (entomological inoculation rate), dan (4)
jumlah kasus malaria yang terkonfirmasi dengan
pemeriksaan mikroskopik dalam 1 tahun per unit
populasi (annual parasite incidence). Area dengan status
endemisitas malaria yang berbeda memiliki situasi
epidemiologi yang juga berbeda, hal ini mendasari
perbedaan target kontrol dan eliminasi untuk setiap
daerah (Hay et al., 2008).
Belakangan ini, telah dilaporkan juga beberapa
permasalahan baru terkait malaria. Delesi gen
Plasmodium falciparum histidine-rich protein (pfhrp)-2 dan
pfhrp-3 telah dilaporkan dari 11 negara (China, Equatorial
Guinea, Ethiopia, Ghana, Myanmar, Nigeria, Sudan,
Uganda, Inggris, Tanzania, dan Zambia). Hal tersebut
menyebabkan parasit malaria tidak dapat terdeteksi oleh
alat tes rapid diagnostic yang pemeriksaannya
berdasarkan pada deteksi pfhrp-2. Selain itu, mutasi pada
gen PfKelch13 telah diidentifikasi berhubungan dengan
kejadian resistensi terhadap artemisinin, terapi lini
pertama infeksi Plasmodium falciparum (World Health
Organization, 2020). Resistensi terhadap obat lain
(antifolat, naphtoquiones, antibiotik seperti clindamycin
dan doxycycline, dan 4-aminoquinolines) juga banyak
dilaporkan dan menjadi tantangan baru dalam
pengembangan obat baru malaria (Shibeshi et al., 2020).

125
Epidemiologi Malaria di Indonesia

Kasus malaria telah dilaporkan dari seluruh provinsi di


Indonesia dengan insidensi tertinggi di Indonesia bagian
Timur; insiden sedang di beberapa wilayah di Sumatera,
Kalimantan, dan Sulawesi; sedangkan insiden rendah di
Jawa dan Bali dengan daerah tertentu di pedesaan yang
menjadi perhatian karena insidensi malaria yang tinggi.
Angka kejadian malaria di Indonesia menggunakan
Annual Parasite Incidence (API) pada tahun 2008–2009
menurun dari 2,47 per 1.000 penduduk menjadi 1,85 per
1.000 penduduk. Pada tahun 2008–2009, Papua Barat,
Nusa Tenggara Timur, dan Papua merupakan provinsi
dengan API tertinggi. Berdasarkan laporan WHO, di tahun
2017 masih ada beberapa wilayah di Papua dengan >100
kasus infeksi Plasmodium falciparum terkonfirmasi per
1000 penduduk. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2018, prevalensi malaria menurut hasil
pemeriksaan rapid diagnostic test (RDT) sebesar 0,4%.
Spesies Plasmodium falciparum ditemukan pada 57%
kasus (Kemenkes RI, 2018).
Berdasarkan data endemisitas malaria di tahun 2018,
beberapa kabupaten di Nusa Tenggara Timur (Sumba
Barat Daya, Sumba Barat, Sumba Tengah, Sumba Timur,
dan Lembata), beberapa kabupaten di Papua Barat
(Kaimana, Teluk Wondana, Manokwari, dan Manokwari
Selatan), kabupaten di Papua (Merauke, Jayawijaya,
Nabire, Asmat, Mappi, Yahukimo, Waropen, dan
Mamberamo Raya), dan kabupaten Penajam Paser Utara
di Kalimantan Timur merupakan daerah dengan tingkat
endemis tinggi I. Sedangkan kabupaten Jayapura,
Mimika, Boven Digoel, Sarmi, dan Keerom merupakan
kabupaten dengan tingkat endemisitas malaria paling
tinggi. Pada tahun 2018, terdapat 3 provinsi yang telah
mencapai target bebas penularan malaria, yaitu DKI
Jakarta, Bali, dan Jawa Timur (Kemenkes RI, 2018).

126
Etiologi Malaria

Malaria ialah suatu penyakit infeksi parasit akut maupun


kronik yang disebabkan oleh serangan Plasmodium spp.
pada eritrosit manusia. Plasmodium spp merupakan
Protozoa genus Plasmodia, famili Plasmodiidae, dari ordo
Coccidiidae (Chwatt, 1993). Manifestasi klinis malaria
dapat berupa demam, menggigil, anemia, dan pembesaran
limpa. Sejauh ini, telah dilaporkan 5 spesies parasit
penyebab malaria pada manusia, yaitu: (1) Plasmodium
falciparum, (2) Plasmodium vivax, (3) Plasmodium ovale, (4)
Plasmodium malariae, (5) Plasmodium knowlesi (Al-Awadhi
et al., 2021)
Dalam siklus hidupnya, Plasmodium spp. membutuhkan
manusia sebagai hospesnya dan nyamuk betina
Anopheles spp. sebagai vektornya. Secara alamiah,
penularan malaria terjadi karena adanya interaksi antara
agen (parasit Plasmodium spp.), hospes definitif (nyamuk
Anopheles spp.), hospes intermediate (manusia), serta
lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan
manusia dan nyamuk sebagai vektor malaria. Karena itu,
penularan malaria dipengaruhi oleh keberadaan dan
fluktuasi populasi vektor, yaitu nyamuk Anopheles spp.,
yang juga dipengaruhi oleh intensitas curah hujan,
sumber parasit Plasmodium spp., serta penderita malaria
dan hospes yang rentan. Sumber parasit Plasmodium spp.
adalah manusia yang menjadi penderita malaria (Russel,
1963; Bates, 1990).
Perbedaan sifat spesifik masing-masing spesies
Plasmodium spp. Juga berpengaruh terhadap manifestasi
klinis dan penularan malaria. Plasmodium falciparum
mempunyai masa inkubasi yang paling singkat, namun
menyebabkan parasitemia yang paling tinggi dan
menimbulkan manifestasi klinis yang paling berat.
Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale memiliki masa

127
inkubasi yang lebih panjang dan menyebabkan gejala
klinis yang lebih ringan, namun stadium sporozoit kedua
spesies ini di dalam hati dapat berkembang menjadi
hypnozoite yang menjadi penyebab terjadinya relaps
(Nugroho & Tumewu, 2000).
1. Plasmodium falciparum
Infeksi Plasmodium falciparum menyebabkan malaria
tropikana, masa inkubasinya 9-14 hari. Gejalanya bisa
berupa demam kontinu maupun intermiten. Infeksi
malaria akibat spesies ini cenderung berat dengan
risiko kematian yang cukup tinggi. Patogenesis malaria
berat akibat infeksi spesies ini berhubungan dengan
kemampuannya mengubah struktur dan biomolekul
eritrosit, meliputi perubahan mekanisme transpor
membran, terjadinya proses sitoadherensi, serta
terbentuknya sekuestrasi dan rosette (Lee et al., 2019;
Zekar & Sharman, 2020). Eritrosit yang terinfeksi
Plasmodium falciparum mengalami peningkatan
afinitas sehingga akan melekat pada reseptornya di
permukaan endotel venula dan kapiler. Proses
pelekatan ini yang disebut dengan sitoadherensi.
Sitoadherensi dimediasi oleh protein membran eritrosit
yang dihasilkan oleh Plasmodium falciparum (PfEMP1)
yang dihasilkan dari hasil transkripsi gen var. Protein
tersebut yang nantinya akan berikatan dengan
reseptor CD-36 dan intercellular adhesion molecule-1
(ICAM-1) pada sel endotel. Selain itu, eritrosit yang
terinfeksi parasit juga dapat melekat dan dikelilingi
oleh eritrosit yang tidak terinfeksi. Kumpulan eitrosit
tersebut membentuk struktur yang menyerupai bunga
atau rosette (Lee et al., 2019; Zekar & Sharman, 2020).
Sitoadherensi dan rosetting dapat menyebabkan
terjadinya sekuestrasi pada pebuluh darah kecil di
berbagai organ, akibatnya dapat terjadi obstruksi pada
sirkulasi mikro, gangguan perfusi jaringan, asidosis

128
laktat, hingga kerusakan organ. Sekuestrasi pada
plasenta wanita hamil juga dapat menyebabkan
komplikasi berupa abortus, bayi lahir dengan berat
badan rendah, serta malaria kongenital (Zekar &
Sharman, 2020). Plasmodium falciparum tersebar luas
hampir di seluruh negara endemik malaria, kasus
tertinggi dilaporkan dari Afrika, Asia Tenggara, dan
Pasifik Barat (Guerra et al., 2008).
2. Plasmodium vivax
Infeksi Plasmodium vivax menyebabkan malaria
tertiana, masa inkubasinya 12-18 hari. Manifestasi
klinisnya berupa demam berulang dengan interval
bebas demam selama 2 hari (Zekar & Sharman, 2020).
Demam biasanya muncul saat hypnozoite melepaskan
merozoit. Plasmodium vivax lebih banyak menginfeksi
retikulosit, dengan bantuan antigen Duffy, akibatnya
parasitemianya relatif lebih rendah. Retikulosit
berukuran lebih besar dibandingkan eritrosit matur,
sehingga pada apusan darah tepi akan dijumpai
eritrosit yang terinfeksi berukuran lebih besar
dibandingkan yang tidak (Milner, 2018). Pada pasien
tanpa penyakit komorbid, infeksi Plasmodium vivax
jarang menyebabkan kematian. Namun, pada pasien
dengan penyakit kronis, infeksinya dapat
menimbulkan komplikasi berupa anemia berat,
malnutrisi, dan imunodefisiensi. Manifestasi berat
yang paling sering dijumpai ialah acute respiratory
distress syndrome, gagal ginjal, kerusakan hati, dan
syok. Komplikasi berupa penurunan kesadaran
jaranng terjadi karena spesies ini tidak menyebabkan
sekuestrasi di otak (Milner, 2018). Plasmodium vivax
banyak dijumpai di Asia dan merupakan spesies yang
dominan, namun jarang dijumpai di Afrika Tengah
dan Barat. Prevalensi fenotipe Duffy negatif pada
eritrosit penduduk Afrika Tengah dan Barat

129
menyebabkan merozoit Plasmodium vivax sukar
menginvasi eritrosit targetnya (Culleton et al., 2008;
Dash et al., 2008).
3. Plasmodium ovale
Masa inkubasi Plasmodium ovale juga berkisar antara
12-18 hari, sehingga pola gejala demamnya serupa
dengan Plasmodium vivax (Flavin et al., 2018). Sifat
infeksinya mirip dengan Plasmodium vivax, namun
tidak memerlukan antigen Duffy untuk menginvasi
eritrosit. Pada pemeriksaan apusan darah tepi,
trofozoit Plasmodium ovale tampak seperti komet dan
eritrosit berbentuk oval dengan fimbria pada membran
selnya. Stadium skixon dan gametosit Plasmodium
ovale juga sama dengan Plasmodium vivax (Milner,
2018). Epidemiologi Plasmodium ovale sukar diketahui,
karena penegakan diagnosis untuk spesies ini cukup
sulit. Infeksi Plasmodium ovale pernah dilaporkan dari
Afrika sub-Sahara dan Asia khususnya di Gujarat,
India, Malaysia, Sri Lanka, Thailand, dan Papua
Indonesia (Marathe et al., 2006; Wickremasinghe et al.,
2008; Putaporntip et al., 2009a; Siswantoro et al.,
2011)
4. Plasmodium malariae
Infeksi Plasmodium malariae menyebabkan malaria
kuartana yang memiliki manifestasi klinis paling
ringan, yaitu demam berulang dengan interval bebas
demam selama 3 hari. Masa inkubasinya sekitar 2-4
minggu (Flavin et al., 2018). Merozoit yang
dikeluarkan saat skizon ruptur jumlahnya sedikit,
sehingga parasitemia yang diakibatkannya juga
rendah dibandingkan malaria jenis lainnya. Malaria
akibat spesies ini dapat berlangsung kronis hingga
bertahun-tahun. Deposit kompleks imun akibat
infeksi Plasmodium malariae di ginjal bisa

130
menyebabkan nefritis. Pada apusan darah tepi,
parasit terlihat seperti pita melintang di eritrosit,
skizon yang berisi merozoit, dan globul dengan pigmen
keemasan di bagian tengah (Milner, 2018).
Plasmodium malariae tersebar di Afrika sub-Sahara,
Asia Tenggara termasuk Indonesia dan Thailand,
beberapa pulau di Pasifik Barat, dan Amerika Selatan
(Collins & Jeffery, 2007).
5. Plasmodium knowlesi
Plasmodium knowlesi memiliki masa inkubasi 9-12
hari. Demam dan sakit kepala merupakan manifestasi
klinis yang paling sering dijumpai. Spesies ini juga
cukup sering menyebabkan malaria dengan
komplikasi berat, bahkan lebih sering dibandingkan
Plasmodium vivax dan Plasmodium falciparum (Flavin
et al., 2018; Milner, 2018). Gejala beratnya antara lain
berupa hipotensi, distres pernapasan, gagal ginjal
akut, hiperbilirubinemia, dan syok. Koma dan
penurunan kesadaran jarang dijumpai pada malaria
tipe ini. Gejala berat tersebut terjadi akibat respon
imun tubuh yang berlebihan karena penanganan yang
terlambat. Gambaran patologi pada otak akibat infeksi
Plasmodium knowlesi mirip dengan infeksi akibat
Plasmodium falciparum, namun dengan jumlah ICAM-
1 yang lebih sedikit. Spesies ini juga dapat
menyebabkan sekuestrasi pada endotel, namun
mekanisme pastinya belum diketahui (Milner,
2018).Plasmodium knowlesi memiliki hospes yang
spesifik, yaitu kera Macaca fascicularis dan Macaca
nemestrina yang habitatnya di Kalimantan, Indonesia.
Infeksi Plasmodium knowlesi bersifat zoonotik dan
belum ada bukti kuat bahwa malaria jenis ini dapat
ditularkan secara langsung dari manusia ke manusia
(Brock et al., 2016). Infeksi Plasmodium knowlesi
hanya dijumpai di daerah Asia Tenggara. Kasusnya

131
pertama kali dilaporkan dari Sarawak, Malaysia (Lee
et al., 2009). Hingga saat ini, kasus lain pernah
dilaporkan dari Thailand, Myanmar, Filipina, dan
Singapura (Luchavez et al., 2008; Putaporntip et al.,
2009b; Jeslyn et al., 2011; Autino et al., 2012).

Penularan Malaria

Malaria ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk,


yaitu Anopheles sp.betina. Nyamuk ini merupakan vektor
untuk Plasmodium spp. Saat mengigit dan mengisap
darah manusia yang terinfeksi malaria, Plasmodium spp.
yang banyak terdapat di dalam darah akan ikut terisap.
Parasit tersebut selanjutnya akan bereproduksi di dalam
tubuh nyamuk. Saat nyamuk tersebut menggigit manusia
lain yang tidak terinfeksi malaria, parasit akan masuk ke
tubuh manusia tersebut bersamaan dengan air liur
nyamuk. Dari 400 lebih spesies nyamuk Anopheles spp.
yang ada di seluruh dunia, hanya sekitar 67 spesies yang
terbukti dapat menularkan malaria (Nugroho & Tumewu,
2000). Walaupun jarang terjadi, namun malaria juga
dapat ditularkan melalui transfusi darah, tusukan jarum
bekas penderita malaria, atau dari ibu hamil ke janinnya
(Fitriany & Sabiq, 2018).
Nyamuk Anopheles sp. Umumnya hidup di daerah
beriklim tropis dan subtropis. Habitat nyamuk ini ialah
pada dataran rendah, jarang dijumpai pada ketinggian di
atas 2.000 meter. Masing-masing spesiesnya hidup sesuai
dengan kondisi ekologi setempat, antara lain di air payau
(An. sundaicus, An. subpictus), air sawah (An. aconitus), air
bersih pegunungan (An. maculatus), genangan air hujan
di hutan (An. balabacencis), serta genangan air yang
terpapar sinar matahari (An. punctulatus, An. farauti), dan
lain sebagainya (Nugroho & Tumewu, 2000). Siklus hidup
nyamuk sebagai vektor malaria sangat dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan, seperti lingkungan fisik (suhu udara,

132
kelembaban udara, curah hujan, kecepatan angin, cahaya
matahari, dan ketinggian), lingkungan kimiawi (kadar
garam dan keasaman air), dan lingkungan biologik
(keberadaan predator alami serta keberadaan tanaman
bakau, ganggang, dan vegetasi lain di sekitar tempat
perindukan nyamuk). Efektivitas nyamuk sebagai vektor
malaria dipengaruhi oleh beberapa hal berikut ini:
(Nugroho & Tumewu, 2000).
1. Kepadatan vektor di sekitar pemukiman manusia
2. Kebiasaan mengisap darah manusia (antropofilia)
3. Frekuensi mengisap darah
4. Lamanya siklus sporogoni (proses perkembangan
parasit menjadi stadium infektif dalam tubuh
nyamuk)
5. Usia nyamuk (cukup untuk menjalani siklus
sporogoni dan menginfeksi manusia)
Karakteristik lingkungan lainnya yang dapat
meningkatkan angka kejadian malaria antara lain
keberadaan semak-semak dan genangan air di sekitar
rumah serta lingkungan rumah yang berada dekat dengan
daerah aliran sungai. Hal ini mungkin diakibatkan oleh
adanya paparan yang konstan terhadap vektor karena
tinggal di dekat tempat perindukan nyamuk (Nyasa et al.,
2021).
Nyamuk Anopheles sp. betina menggigit manusia di antara
waktu senja dan subuh. Jarak terbangnya terbatas, hanya
2-3 km dari tempat perindukan. Saat angin sedang
bertiup kencang, nyamuk bisa ikut terbawa hingga jarak
30 km. Nyamuk yang terbawa pesawat terbang atau kapal
laut dapat menyebarkan malaria ke daerah yang non
endemik. Berikut ini pengelompokkan nyamuk
berdasarkan kebiasaan makan dan istirahatnya (Nugroho
& Tumewu, 2000; Rampengan, 2000):

133
a. Endofilik (habitatnya di dalam rumah/bangunan)
b. Eksofilik (habitatnya di luar rumah/bangunan)
c. Endofagi (menggigit di dalam rumah/bangunan)
d. Eksofagi (menggigit di luar rumah/bangunan)
e. Antropofilik (menggigit manusia)
f. Zoofilik (menggigit hewan)
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa golongan
manusia tertentu memiliki risiko yang lebih tinggi untuk
mengalami malaria dibandingkan yang lainnya. Berikut
ini adalah beberapa faktor yang mempengaruhi risiko
seseorang terinfeksi malaria:
a. Usia
Anak berusia kurang dari 5 tahun lebih berisiko
terinfeksi malaria dibandingkan dengan orang
dewasa. Hal ini berkaitan dengan kondisi sistem imun
anak-anak yang belum sempurna untuk
mengeliminasi patogen yang menginfeksi (Simon et al.,
2015; Nyasa et al., 2021).
b. Jenis kelamin
Kejadian malaria pada laki-laki lebih banyak dijumpai
dibandingkan pada perempuan. Laki-laki cenderung
menghabiskan lebih banyak waktu di luar rumah saat
sore dan malam hari, baik untuk bekerja maupun
bermain, sehingga lebih berisiko untuk terekspos
gigitan nyamuk (Nyasa et al., 2021).
c. Status pernikahan
Orang yang belum menikah lebih berisiko terinfeksi
malaria dibandingkan yang sudah menikah. Hal ini
dikaitkan dengan kemungkinan bahwa orang yang
sudah menikah mampu meningkatkan kualitas
kesehatannya karena biasanya sudah lebih mapan

134
secara ekonomi, mampu mengakses pelayanan
kesehatan dengan lebih baik, memiliki kemampuan
mengelola stres yang lebih baik, serta memiliki
pasangan yang berperan penting untuk mengawasi
dan mendukung kebiasaan sehat sehari-hari (Nyasa
et al., 2021).
d. Status ekonomi
Diketahui bahwa status ekonomi juga berpengaruh
terhadap kejadian malaria. Orang dengan status
ekonomi rendah cenderung lebih berisiko mengalami
infeksi malaria. Hal tersebut kmungkinan diakibatkan
oleh asupan nutrisi yang tidak adekuat dan
ketidakmampuan mengakses pelayanan kesehatan
yang berkualitas (Tusting et al., 2016; Nyasa et al.,
2021).
e. Ras atau suku bangsa
Setiap ras tertentu memiliki ciri khas masing-masing,
termasuk dalam hal kondisi fisik dan genetiknya.
Penduduk Afrika memiliki hemoglobin S (HbS) dalam
darahnya dengan jumlah yang cukup tinggi.
Keberadaan HbS dapat menghambat
perkembangbiakan Plasmodium falciparum dalam
tubuh manusia. Hal tersebut menyebabkan
penduduk Afrika cenderung lebih tahan dari infeksi
Plasmodium falciparum dibandingkan dengan
penduduk di daerah lainnya (Lelliott et al., 2015).
f. Kelainan genetik
Beberapa kelainan genetik pada manusia yang
mengubah struktur hemoglobin atau adanya enzim
tertentu dikaitkan dengan resistensi terhadap
malaria. Defisiensi enzim Glucose 6-Phospate
Dehydrogenase (G6PD) dan anemia sel sabit justru
memberikan perlindungan terhadap infeksi berat dari

135
Plasmodium falciparum. Ketiadaan antigen Duffy
memberikan perlindungan terhadap infeksi
Plasmodium vivax. Begitu pula dengan orang dengan
thalassemia, hemoglobin C, dan hemoglobin E
memiliki peluang terinfeksi Plasmodium falciparum
atau Plasmodium vivax lebih kecil (Culleton et al.,
2008; Dash et al., 2008; Lelliott et al., 2015).
g. Imunitas
Di daerah endemis tinggi malaria, seringkali gejala
klinis pada penderita tidak muncul, meskipun parasit
terus hidup di dalam tubuhnya. Hal ini disebabkan
adanya perubahan tingkat resistensi manusia
terhadap parasit sebagai akibat tingginya frekuensi
kontak dengan parasit, bahkan di beberapa negara
pernah dilaporkan adanya kekebalan terhadap parasit
malaria yang diturunkan melalui mutasi genetik
(Nyasa et al., 2021). Keadaan ini dapat mengakibatkan
timbulnya penderita carrier (pembawa penyakit) atau
penderita malaria tanpa gejala klinis (asimptomatik),
dapat menularkan parasit ke manusia lain setiap saat,
sehingga kasus baru bahkan kejadian luar biasa (KLB)
malaria dapat terjadi pada waktu yang tidak terduga.
Seseorang yang bermigrasi ke daerah endemis malaria
dan tidak memiliki kekebalan tubuh terhadap
malaria, penderita human immunodeficiency virus
dengan acquired immune deficiency syndrome
(HIV/AIDS), dan wanita hamil juga lebih berisiko
terinfeksi malaria (Siagian, 2020).

Diagnosis Malaria

Diagnosis malaria ditegakkan berdasarkan hasil


anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
laboratorium. Diagnosis pasti malaria ditegakkan dari
pemeriksaan darah mikroskopis atau rapid diagnostic test

136
(RDT). Diagnosis malaria berat ditegakkan berdasarkan
kriteria malaria berat dari WHO (Kemenkes RI, 2020).
1. Anamnesis
Pada anamnesis, gejala utama malaria yang sering
dikeluhkan adalah demam, menggigil, malaise,
mialgia, gejala gastrointestinal (mual, muntah, dan
diare), gejala neurologis (disorientasi dan penurunan
kesadaran), sakit kepala, dan/atau batuk. Gejala
klasik malaria adalah demam paroksismal yang
didahului fase menggigil lalu diikuti demam tinggi dan
berkeringat banyak (Kemenkes RI, 2020). Pada pasien
yang tinggal di daerah endemis, terkadang gejala
klasik malaria tidak ditemukan. Pasien anak-anak
juga sering kali datang dengan gejala yang tidak
spesifik dan gejala gastrointestinal yang menonjol
(Kemenkes RI, 2020; Zekar & Sharman, 2020).
Malaria wajib dicurigai bila ditemukan gejala-gejala
tersebut pada pasien yang tinggal di daerah endemis
malaria atau pada pasien dengan riwayat bepergian ke
daerah endemis malaria (CDC, 2019; Kemenkes RI,
2020). Perlu juga diketahui riwayat sakit malaria atau
minum obat malaria, status imunologi pasien, usia,
status kehamilan, alergi, penyakit lain yang diderita
pasien, riwayat transfusi darah, dan obat-obatan yang
dikonsumsi (Herchline, 2020; Kemenkes RI, 2020).
Sebagian pasien yang terinfeksi malaria dapat bersifat
asimptomatik, tetapi tetap menunjukkan hasil positif
pada pemeriksaan apusan darah tepi atau skrining
dengan RDT (Milner, 2018).
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, tanda yang sering ditemukan
adalah demam 37,5- 41oC, konjungtiva anemis, sklera
ikterik, dan hepatosplenomegaly (Kemenkes RI, 2020).
Tipe demam yang umum dijumpai pada pasien

137
malaria adalah demam paroksismal. Gejala didahului
dengan menggigil selama 1–2 jam, diikuti dengan
demam tinggi, kemudian terjadi diaforesis lalu suhu
tubuh pasien kembali normal atau di bawah normal.
Demam paroksismal dapat terjadi setiap 48 jam
(Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax,
Plasmodium ovale) atau setiap 72 jam (Plasmodium
malariae). Pasien anak dengan infeksi malaria lebih
mudah mengalami hepatosplenomegali, anemia berat,
kejang, hipoglikemia, dan sepsis. Malaria tanpa
komplikasi tidak menunjukkan gejala klinis yang
berat dan hasil laboratorium yang menandakan
malaria berat atau disfungsi organ (Oakley et al.,
2011; Herchline, 2020; Zekar & Sharman, 2020).
Kriteria malaria berat berdasarkan WHO adalah
ditemukannya stadium aseksual Plasmodium
falciparum atau Plasmodium vivax atau Plasmodium
knowlesi ditambah minimal satu dari manifestasi
klinis berikut (World Health Organization, 2014;
Kemenkes RI, 2020):
a. Penurunan kesadaran GCS<11 atau Blantyre <3
b. Acute respiratory distress syndrome pada anak
c. Kejang berulang lebih dari 2 episode dalam 24 jam
d. Syok (pengisian kapiler >3 detik, tekanan sistolik
<80 mmHg (dewasa) atau <70 mmHg (anak)
e. Kelemahan otot (tidak bisa duduk, berjalan, atau
minum pada anak yang lebih kecil)
f. Perdarahan spontan abnormal (epistaksis,
perdarahan gusi, hematemesis, melena,
perdarahan dari tempat punksi vena)
g. Edema paru, ditentukan berdasarkan Rontgen
toraks atau saturasi oksigen <92% yang disertai
frekuensi pernapasan >30 kali/ menit

138
h. Jaundice dengan bilirubin plasma/serum >3
mg/dL dan kepadatan parasit >100.000/µL
(Plasmodium falciparum) atau >20.000/ µL
(Plasmodium knowlesi)
i. Anemia berat, ditandai dengan Hb <7 g/dL atau
hematokrit <21% (dewasa); Hb <5g/dL atau
hematokrit <15% (anak di daerah endemis tinggi);
Hb <7 g/dL atau hematokrit <21% (anak di daerah
endemis sedang–rendah)
j. Asidosis base deficit >8 mEq/L atau plasma
bikarbonat <15 mEq/L atau laktat plasma vena >5
mEq/L
k. Hipoglikemia glukosa plasma <40 mg/dL
l. Hiperparasitemia
m. Hiperlaktatemia
n. Hemoglobinuria (black water fever)
o. Gangguan fungsi ginjal kreatinin serum >3 mg/dL
atau ureum darah >20 mmol/L
Di Indonesia, setiap orang yang tinggal di daerah
endemis malaria yang mengalami demam atau riwayat
demam dalam 48 jam terakhir dan tampak anemis,
wajib dicurigai sebagai malaria, tanpa
mengesampingkan penyebab demam lain. Gejala awal
malaria berupa flu-like syndrome dengan manifestasi
klinis yang tidak spesifik, sehingga menyerupai infeksi
saluran pernapasan, demam tifoid, demam dengue,
hepatitis, leptospirosis, dan chikungunya (Kemenkes
RI, 2020). Pada pasien yang mengalami demam
disertai penurunan kesadaran, meningoensefalitis
viral atau bakterial perlu disingkirkan dan dapat
dipertimbangkan konfirmasi dengan pemeriksaan
punksi lumbal (Buck & Finnigan, 2020). Cara
membedakan malaria dengan penyakit lain yang

139
menjadi diagnosis bandingnya adalah melalui tes
apus darah mikroskopik atau RDT (Buck & Finnigan,
2020; Kemenkes RI, 2020).
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang wajib dilakukan pada semua
pasien yang dicurigai mengalami infeksi malaria.
Pemeriksaan penunjang untuk mengonfirmasi
diagnosis malaria adalah pemeriksaan apusan darah
tebal dan tipis menggunakan mikroskop
a. Pemeriksaan Mikroskopis Apusan Darah Tepi
Pemeriksaan mikroskopis apusan darah tepi
berguna untuk menentukan ada tidaknya parasit
malaria, menentukan spesies penyebab, stadium
penyakit, dan kepadatan parasit. Pemeriksaan
apusan darah tebal sensitif untuk mendeteksi
Plasmodium, tetapi lebih sulit untuk menentukan
spesies penyebab. Apusan darah tipis digunakan
untuk menentukan spesies dan kepadatan parasit
(Wilson, 2012; Kemenkes RI, 2020). Pemeriksaan
apusan darah tepi mampu mengidentifikasi
spesies Plasmodium (termasuk pada kasus infeksi
campuran), menentukan kepadatan parasitemia,
dan memantau efikasi terapi, dengan alat
pemeriksaan yang sederhana dan biaya
pemeriksaan yang relatif murah. Kekurangan
pemeriksaan apusan darah tepi adalah sulit
mendeteksi pada kondisi parasitemia yang rendah
dan membutuhkan tenaga terlatih yang mampu
membaca hasil (Wilson, 2012).
b. Rapid Diagnostic Test (RDT)
Pemeriksaan penunjang alternatif yang dapat
dilakukan adalah rapid diagnostic test (RDT) yang
menggunakan metode imunokromatografi untuk

140
mendeteksi antigen malaria menggunakan strip
yang dilapisi antibodi anti malaria. Pemeriksaan
RDT berguna untuk skrining karena memberikan
hasil yang cepat (Wilson, 2012; CDC, 2019;
Herchline, 2020). Tes ini memiliki kelebihan
berupa mudah dilakukan (tidak memerlukan
tenaga ahli untuk membaca hasil) dan hasilnya
cepat. Namun, RDT kurang efektif pada jumlah
parasit di bawah 100/mL darah. Selain itu, hasil
positif palsu dapat terjadi pada pasien yang
diterapi hingga 2 minggu karena masih ada
antigen yang bersirkulasi. Oleh karena itu,
pemeriksaan RDT tidak dapat digunakan untuk
mengevaluasi respons pengobatan (Herchline,
2020; Kemenkes RI, 2020).
c. Pemeriksaan Darah
Pada pemeriksaan darah pasien dengan riwayat
bepergian ke daerah endemis, jika ditemukan
trias berupa trombositopenia, peningkatan kadar
laktat dehidrogenase (LDH), dan limfositosis
atipikal maka perlu dicurigai sebagai infeksi
malaria dan perlu dilakukan pemeriksaan apusan
darah tepi. Kadar hemoglobin, trombosit, fungsi
hepar, fungsi ginjal, kadar glukosa darah, dan
parameter lain untuk mengevaluasi hemolisis juga
perlu diperiksa untuk mengevaluasi kondisi klinis
pasien dan menentukan penatalaksanaan
tambahan yang dibutuhkan (Herchline, 2020).
d. Polymerase Chain Reaction Assay
Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR)
lebih sensitif dan spesifik daripada apusan darah
tepi untuk mendiagnosis malaria. Namun
pemeriksaan ini tidak dilakukan secara rutin
karena hanya tersedia di laboratorium tertentu,

141
pengerjaannya lama, dan harganya relatif mahal.
PCR dapat digunakan untuk mengonfirmasi
spesies parasit dan menentukan mutasi pada
kasus resistensi obat (Mukry et al., 2017; CDC,
2019).

Upaya Kontrol dan Pencegahan

Upaya untuk menekan morbiditas dan mortalitas


dilakukan melalui program pemberantasan malaria
antara lain meliputi diagnosis dini, pengobatan cepat dan
tepat, surveilans, dan pengendalian vektor yang
semuanya bertujuan untuk memutus mata rantai
penularan malaria. Terdapat beberapa upaya yang
dilakukan dalam program pencegahan malaria, antara
lain:
1. Pemakaian kelambu
Pembagian kelambu berinsektisida telah dilakukan ke
beberapa provinsi di Indonesia sebagai salah satu
upaya mencegah kontak antara nyamuk sebagai
vektor dan manusia dan terbukti cukup efektif
mencegah penularan malaria (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2011).
2. Pengendalian vektor
Beberapa upaya pengendalian vektor yang dapat
dilakukan antara lain kontrol kimiawi (pemberian
larvasida dan insektisida), kontrol biologis
(menggunakan ikan pemakan jentik nyamuk),
manajemen lingkungan, dan sebagainya.
Pengendalian vektor harus dilakukan secara REESAA
(rational, effective, eficient, sustainable, effective, and
affordable) mengingat kondisi geografis Indonesia
yang luas dan bionomik vektor yang beraneka ragam,
sehingga pemetaan breeding places dan perilaku

142
nyamuk menjadi sangat penting (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2011).
3. Kemoprofilaksis
Edukasi dan promosi kesehatan mengenai risiko
infeksi malaria dan upaya pencegahan berupa
pemberian kemoprofilaksis perlu diberikan kepada
pelancong yang hendak bepergian ke daerah endemis
atau orang-orang yang berdomisili di daerah endemis
malaria (CDC, 2019).

143
Daftar Pustaka
Al-Awadhi, M., Ahmad, S., & Iqbal, J., 2021. Current
status and the epidemiology of malaria in the middle
east region and beyond. Microorganisms 9: 1–20.
doi:10.3390/microorganisms9020338
Autino, B., Noris, A., Russo, R., & Castelli, F., 2012.
Epidemiology of malaria in endemic areas. Mediterr. J.
Hematol. Infect. Dis. 4. doi:10.4084/MJHID.2012.060
Bates, A., 1990. The Natural History of Mosquitoes and
Plasmodium Parasites. Gloucester. Mass. Peter
Smith., New York.
Brock, P.M., Fornace, K.M., Parmiter, M., Cox, J.,
Drakeley, C.J., Ferguson, H.M., et al., 2016.
Plasmodium knowlesi transmission: Integrating
quantitative approaches from epidemiology and
ecology to understand malaria as a zoonosis.
Parasitology 143: 389–400.
doi:10.1017/S0031182015001821
Buck, E., & Finnigan, N., 2020. Malaria. StatPearls
Publishing, Treasure Island.
CDC, 2019. Treatment of Malaria (Guidelines For
Clinicians). Treat. Malar. Guidelines Clin.
Chwatt, L.J.B., 1993. essential Malariology, 3rd ed.
William Heinemann Medical Books Ltd, London.
Collins, W.E., & Jeffery, G.M., 2007. Plasmodium
malariae: Parasite and disease. Clin. Microbiol. Rev. 20:
579–592. doi:10.1128/CMR.00027-07
Culleton, R.L., Mita, T., Ndounga, M., Unger, H., Cravo,
P.V.L., Paganotti, G.M., et al., 2008. Failure to detect
Plasmodium vivax in West and Central Africa by PCR
species typing. Malar. J. 7: 1–8. doi:10.1186/1475-
2875-7-174

144
Dash, A.P., Valecha, N., Anvikar, A.R., & Kumar, A., 2008.
Malaria in India: Challenges and opportunities. J.
Biosci. 33: 583–592. doi:10.1007/s12038-008-0076-x
Dayanand, K.K., Achur, R.N., & Gowda, D.C., 2018.
Epidemiology, Drug Resistance, and Pathophysiology
of Plasmodium vivax Malaria. J. Vector Borne Dis. 55:
1–8. doi:10.4103/0972-9062.234620
Fitriany, J., & Sabiq, A., 2018. Malaria. J. Averrous 4: 1–
20.
Flavin, K., Morkane, C., & Marsh, S., 2018. Malaria: In
Principles and Practice for Public Health and
Healthcare Practitioners. Cambridge University Press,
Cambridge. doi:10.1017/9781108233712.056
Guerra, C.A., Gikandi, P.W., Tatem, A.J., Noor, A.M.,
Smith, D.L., Hay, S.I., et al., 2008. The limits and
intensity of Plasmodium falciparum transmission:
Implications for malaria control and elimination
worldwide. PLoS Med. 5: 0300–0311.
doi:10.1371/journal.pmed.0050038
Hay, S.I., Smith, D.L., & Snow, R.W., 2008. Measuring
malaria endemicity from intense to interrupted
transmission. Lancet Infect. Dis. 8: 369–378.
doi:10.1016/S1473-3099(08)70069-0
Herchline, T., 2020. Malaria [WWW Document]. URL
https://emedicine.medscape.com/article/221134-
clinical
Herricks, J.R., Hotez, P.J., Wanga, V., Coffeng, L.E.,
Haagsma, J.A., Basáñez, M.G., et al., 2017. The global
burden of disease study 2013: What does it mean for
the NTDs? PLoS Negl. Trop. Dis. 11: 1–21.
doi:10.1371/journal.pntd.0005424
Jeslyn, W.P.S., Huat, T.C., Vernon, L., Irene, L.M.Z., Sung,
L.K., Jarrod, L.P., et al., 2011. Molecular

145
epidemiological investigation of Plasmodium knowlesi
in humans and macaques in Singapore. Vector-Borne
Zoonotic Dis. 11: 131–135.
doi:10.1089/vbz.2010.0024
Kemenkes RI, 2020. Buku saku tatalaksana kasus
malaria. Jakarta.
Kemenkes RI, 2018. Hasil utama Riskesdas 2018 [WWW
Document]. URL
https://kesmas.kemkes.go.id/assets/upload/dir_51
9d41d8cd98f00/files/Hasil-riskesdas-2018_1274.pdf
(accessed 5.1.22).
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011.
Epidemiologi Malaria di Indonesia, Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
Lee, K.S., Cox-Singh, J., Brooke, G., Matusop, A., & Singh,
B., 2009. Plasmodium knowlesi from archival blood
films: Further evidence that human infections are
widely distributed and not newly emergent in
Malaysian Borneo. Int. J. Parasitol. 39: 1125–1128.
doi:10.1016/j.ijpara.2009.03.003
Lee, W.C., Russell, B., & Rénia, L., 2019. Sticking for a
cause: The falciparum malaria parasites
cytoadherence paradigm. Front. Immunol. 10: 1–15.
doi:10.3389/fimmu.2019.01444
Lelliott, P.M., McMorran, B.J., Foote, S.J., & Burgio, G.,
2015. The influence of host genetics on erythrocytes
and malaria infection: Is there therapeutic potential?
Malar. J. 14: 1–15. doi:10.1186/s12936-015-0809-x
Loutan, L., 2003. Malaria: Still a threat to travellers. Int. J.
Antimicrob. Agents 21: 158–163. doi:10.1016/S0924-
8579(02)00367-9
Luchavez, J., Espino, F., Curameng, P., Espina, R., Bell,
D., Chiodini, P., et al., 2008. Human infections with

146
Plasmodium knowlesi, the Philippines. Emerg. Infect.
Dis. 14: 811–813. doi:10.3201/eid1405.071407
Marathe, A., Date, V., Shah, H.N., & Tripathi, J.R., 2006.
Plasmodium ovale - A case report from Gujarat. J.
Vector Borne Dis. 43: 206–208.
Milner, D.A., 2018. Malaria pathogenesis. Cold Spring
Harb. Perspect. Med. 8: 1–11.
doi:10.1101/cshperspect.a025569
Mischlinger, J., Rönnberg, C., Álvarez-martínez, M.J.,
Bühler, S., & Paul, M., 2020. Imported Malaria in
Countries where Malaria Is Not Endemic : 33: 1–34.
Mukry, S.N., Saud, M., Sufaida, G., Shaikh, K., Naz, A., &
Shamsi, T.S., 2017. Laboratory diagnosis of malaria:
Comparison of manual and automated diagnostic
tests. Can. J. Infect. Dis. Med. Microbiol. 2017.
doi:10.1155/2017/9286392
Murray, C.J.L., Ortblad, K.F., Guinovart, C., Lim, S.S.,
Wolock, T.M., Roberts, D.A., et al., 2014. Global,
regional, and national incidence and mortality for HIV,
tuberculosis, and malaria during 1990-2013: A
systematic analysis for the Global Burden of Disease
Study 2013. Lancet 384: 1005–1070.
doi:10.1016/S0140-6736(14)60844-8
Nugroho, A., & Tumewu, W., 2000. Siklus Hidup
Plasmodium Malaria, in: Harijanto, P. (Ed.), Malaria:
Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis, Dan
Penanganan. EGC, Jakarta, pp. 38–52.
Nyasa, R.B., Fotabe, E.L., & Ndip, R.N., 2021. Trends in
malaria prevalence and risk factors associated with
the disease in Nkonghombeng; A typical rural setting
in the equatorial rainforest of the South West Region
of Cameroon. PLoS One 16: 1–20.
doi:10.1371/journal.pone.0251380

147
Oakley, M.S., Gerald, N., McCutchan, T.F., Aravind, L., &
Kumar, S., 2011. Clinical and molecular aspects of
malaria fever. Trends Parasitol. 27: 442–449.
doi:10.1016/j.pt.2011.06.004
Putaporntip, C., Hongsrimuang, T., Seethamchai, S.,
Kobasa, T., Limkittikul, K., Cui, L., et al., 2009a.
Differential prevalence of plasmodium infections and
cryptic plasmodium knowlesi malaria in humans in
Thailand. J. Infect. Dis. 199: 1143–1150.
doi:10.1086/597414
Putaporntip, C., Hongsrimuang, T., Seethamchai, S.,
Kobasa, T., Limkittikul, K., Cui, L., et al., 2009b.
Differential prevalence of plasmodium infections and
cryptic plasmodium knowlesi malaria in humans in
Thailand. J. Infect. Dis. 199: 1143–1150.
doi:10.1086/597414
Rampengan, T., 2000. Malaria pada Anak, in: Harijanto,
P. (Ed.), Malaria: Epidemiologi, Patogenesis,
Manifestasi Klinis, Dan Penanganan. EGC, Jakarta,
pp. 249–60.
Rossati, A., Bargiacchi, O., Kroumova, V., Zaramella, M.,
Caputo, A., & Garavelli, P.L., 2016. Climate,
environment and transmission of malaria. Infez. Med.
24: 93–104.
Russel, P.F., 1963. Practical Malariology, 2nd ed. Oxford
University Press, London.
Shibeshi, M.A., Kifle, Z.D., & Atnafie, S.A., 2020.
Antimalarial drug resistance and novel targets for
antimalarial drug discovery. Infect. Drug Resist. 13:
4047–4060. doi:10.2147/IDR.S279433
Siagian, F.E., 2020. Malaria Epidemiology : Specific
Vulnerable Group in the Population. Int. J. Res. reports
Hematol. 3: 41–52.

148
Simon, A.K., Hollander, G.A., Mcmichael, A., & Mcmichael,
A., 2015. Evolution of the immune system in humans
from infancy to old age. Proc. R. Soc. B.
doi:http://dx.doi.org/10/1098/rspb.2014.3085
Siswantoro, H., Russel, B., Ratcliff, A., Prasetyorini, B.,
Chalfein, F., Marfurt, J., et al., 2011. In vivo and in
vitro efficacy of chloroquine against Plasmodium
malariae and P. ovale in Papua, Indonesia. Antimicrob.
Agents Chemother. 55: 197–202.
doi:10.1128/AAC.01122-10
Tusting, L.S., Rek, J., Arinaitwe, E., Staedke, S.G., Kamya,
M.R., Cano, J., et al., 2016. Why is malaria associated
with poverty? Findings from a cohort study in rural
Uganda. Infect. Dis. Poverty 5: 1–11.
doi:10.1186/s40249-016-0164-3
Wickremasinghe, R., Galapaththy, G.N.L., Fernando,
W.A.P., De Monbrison, F., Wijesinghe, R.S., Mendis,
K.N., et al., 2008. Short report: An indigenous case of
Plasmodium ovale infection in Sri Lanka. Am. J. Trop.
Med. Hyg. 78: 206–207.
doi:10.4269/ajtmh.2008.78.206
Wilson, M.L., 2012. Malaria rapid diagnostic tests. Clin.
Infect. Dis. 54: 1637–1641. doi:10.1093/cid/cis228
World Health Organization, 2020. World Malaria Report
2020, Malaria report. World Health Organization,
Geneva.
World Health Organization, 2014. Severe malaria. Eur. J.
Trop. Med. Int. Heal. 19: 7–131.
Zekar, L., & Sharman, T., 2020. Plasmodium falciparum
malaria. StatPearls Publishing, Treasure Island.

149
Profil Penulis
Lala Foresta Valentine Gunasari
Penulis lahir pada tahun 1987 silam di
Banyuwangi, sebuah kabupaten di Provinsi
Jawa Timur. Namun karena mengikuti
kepindahan orang tua, akhirnya Penulis
menghabiskan masa kecil hingga remajanya
di Kota Bengkulu. Penulis lulus sebagai dokter umum dari
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwjaya pada tahun
2010. Pendidikan S2-nya ia tempuh di Program Studi
Magister Ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran, Kesehatan
Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada.
Penulis menyelesaikan pendidikan Magisternya tersebut
pada tahun 2020 yang lalu. Sejak tahun 2010 hingga saat
ini, Penulis menjadi salah satu staf pengajar di Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Bengkulu,
tepatnya di Departemen Parasitologi. Selain menjadi
akademisi, Penulis juga aktif melakukan praktik klinis
sebagai dokter umum di Klinik Pratama Asy Syifa’ Kota
Bengkulu sejak tahun 2011.
Email Penulis: lalavalentine.gunasari76@gmail.com

150
9
PENYAKIT DIARE

Sarinah Basri K., S.KM., M.Kes.


Universitas Negeri Gorontalo

Definisi Diare

Diare adalah kondisi medis umum yang ditandai dengan


peningkatan frekuensi buang air besar dan peningkatan
likuiditas tinja (Gidudu et al., 2011). Penyakit diare
ditandai dengan timbulnya tinja yang encer dengan atau
tanpa muntah, yang mungkin berhubungan dengan
manifestasi sistemik, seperti demam dan kram perut
(Kotloff, 2017). Diare didefinisikan sebagai volume tinja
>10 g/kg per hari pada bayi dan balita, dan >200 g/hari
pada anak (Kehar & Sikka, 2016). Penulis lain telah
mendefinisikan diare dalam hal peningkatan frekuensi
tinja atau berat tinja tetapi secara umum, peningkatan
buang air besar saja tidak dianggap seperti diare dan
pasien mungkin memiliki tinja yang encer atau encer
dengan berat badan normal. Diagnosis banding untuk
diare sangat luas dan mekanisme dasar yang terlibat
tergantung pada penyebab etiologi yang mendasarinya
(Warren, 2016).
Anak dengan diare akan menghadapi banyak masalah
termasuk kehilangan nafsu makan, defisit elektrolit,
malnutrisi, keterlambatan fisik pertumbuhan dan
perkembangan mental, peningkatan risiko terkena
penyakit menular lainnya (Demissie, Yeshaw, Aleminew, &
Akalu, 2021). Pada orang yang terinfeksi HIV, morbiditas

151
dan mortalitas terkait diare mungkin meningkat karena
imunosupresi. Infeksi HIV sangat lazim di banyak wilayah
di negara berkembang (Cobo, 2014). Diare menular
umumnya terjadi pada pasien dengan gangguan sistem
kekebalan dan diare kronis dianggap sebagai gejala
penyakit terdefinisi AIDS pada mereka yang terinfeksi HIV.
Penyebab parasit diare lebih sering terjadi pada individu
dengan HIV yang tidak terkontrol dan jumlah CD4 yang
rendah (Jerez Puebla et al., 2022) Meskipun pasien HIV
rentan terhadap berbagai macam patogen enterik,
penyebab umum diare menular pertama-tama harus
dipertimbangkan di antara orang dewasa dengan diare
akut di negara berkembang. Namun, beberapa bakteri
seperti Salmonella spp., Shigella spp., Campylobacter spp.,
Enteroaggregative Escherichia coli dan Vibrio spp. dapat
terjadi dengan peningkatan frekuensi dan/atau
keparahan pada populasi ini. Koinfeksi dengan beberapa
patogen juga dapat terjadi (Cobo, 2014).

Beban Penyakit

Penyakit diare paling umum dan menyebabkan morbiditas


dan mortalitas yang lebih besar pada anak-anak di bawah
usia lima tahun di negara-negara berpenghasilan rendah.
Istilah ini mencakup banyak penyebab infeksi, mulai dari
virus dan bakteri hingga protozoa dan kadang-kadang
cacing, masing-masing dengan efek yang berbeda
(Keusch, Walker, Das, Horton, & Habte, 2016).
Menurut perkiraan konservatif, sekitar 7 sampai 25%
anak-anak dalam kelompok usia prasekolah yang
menderita diare akut/gastroenteritis mungkin berakhir
dengan diare persisten di negara-negara terbatas sumber
daya (Gupte, 2016). Studi masyarakat menunjukkan
bahwa untuk setiap 100 anak di bawah 4 tahun, tujuh
kasus diare persisten terjadi setiap tahun dan
bertanggung jawab atas sepertiga hingga setengah dari

152
semua kematian terkait diare. Dua puluh persen dari
episode diare akut pada anak-anak kurang gizi bertahan
lebih dari dua minggu. Enam puluh persen diare persisten
terjadi sebelum 6 bulan dan 90% di bawah usia 1 tahun
(Matthai, 2011). Prevalensi penyakit diare kronis di
seluruh dunia berkisar antara 3% sampai 20%, dan
kejadiannya sekitar 3,2 episode per anak tahun. Penyebab
kronis bervariasi di antara berbagai usia anak (Kehar &
Sikka, 2016)
Di negara berkembang, penyakit diare menyumbang
sekitar 17,5-21% dari semua kematian pada anak di
bawah usia 5 tahun, setara dengan 1,5 juta kematian per
tahun (Black, University, & Lulu, 2010). Beban regional
kematian akibat diare pada anak usia dibawa 5 tahun
dapat dilihat pada gambar 1. Penyakit diare menyebabkan
1 dari 9 kematian anak di seluruh dunia, menjadikan
diare sebagai penyebab kematian kedua di antara anak-
anak di bawah usia 5 tahun. (Li Liu, Hope L Johnson,
Simon Cousens, Jamie Perin, Susana Scott, Joy E Lawn,
Igor Rudan, Harry Campbell, Richard Cibulskis, Mengying
Li, Colin Mathers, Robert E Black, 2013). Dari semua
kematian anak akibat diare, 78% terjadi di wilayah Afrika
dan Asia Tenggara, yang juga secara tidak proporsional
dibebani dengan infeksi HIV pada bayi dan anak-anak
(Black et al., 2010).

153
Asia Timur dan Pasifik
15.553

Asia Selatan
138.715

Sub-Sahara Afrika
278.141

Eropa
Mediterania Timur
4.399
80.759

Amerika Latin dan


Karibia
8.740

Gambar 1. Beban Regional Kematian Diare, Usia 0–4 Tahun,


2015 (Keusch et al., 2016).

Klasifikasi Diare

Diare diklasifikasikan berdasarkan durasi gejala. Diare


terjadi biasanya setidaknya tiga kali dalam periode 24 jam;
Diare akut didefinisikan sebagai diare yang berlangsung
hingga 14 hari, diare persisten yang berlangsung lebih
dari 14 hari, dan diare kronis yang berlangsung lebih dari
30 hari (Cobo, 2014).
1. Diare Akut
Diare akut adalah gangguan gastrointestinal yang
paling sering dan penyebab utama dehidrasi pada
masa kanak-kanak. Hal ini ditandai dengan
kemunculan tiba-tiba tiga atau lebih tinja encer atau
encer setiap hari. Selain itu, sering disertai anoreksia,
muntah, nyeri perut, dan peningkatan suhu tubuh
(Radlović, Leković, Vuletić, Radlović, & Simić, 2015),

154
nyeri dan kram, kembung, demam, keluar darah tinja,
tenesmus, dan urgensi tinja (Riddle, Dupont, &
Connor, 2016)
Diare berair akut menyebabkan dehidrasi; ketika
asupan makanan berkurang, itu juga berkontribusi
pada kekurangan gizi. Ketika kematian terjadi,
biasanya karena dehidrasi akut. Penyebab terpenting
diare cair akut pada anak kecil di negara berkembang
adalah rotavirus, Escherichia coli enterotoksigenik,
Shigella, Campylobacter jejuni, dan Cryptosporidium.
(World Health Organization, 1992).
Diare akut biasanya sembuh sendiri namun diare bisa
parah dan dapat menyebabkan dehidrasi berat, yang
dapat menyebabkan volume darah yang sangat
rendah, tekanan darah rendah, dan kerusakan pada
ginjal, jantung, hati, otak, dan organ lainnya. Diare
akut tetap menjadi penyebab utama kematian bayi di
seluruh dunia. Lebih dari 2 juta kematian dikaitkan
dengan diare akut setiap tahun di seluruh dunia
(Gidudu et al., 2011). Meskipun ada di seluruh dunia,
insiden tertinggi tercatat di negara berkembang.
Kecuali untuk kondisi patologis neonatus dan
pneumonia, diare akut secara global terutama
disebabkan oleh dehidrasi, yaitu hipovolemia,
ketidakseimbangan elektrolit dan asidosis, dan dalam
kasus berulang dan malnutrisi umum, penyebab
utama kematian pada anak-anak sampai selesai
tahun kelima (Radlović et al., 2015).
2. Diare Persisten
Diare persisten adalah episode diare dengan dugaan
etiologi infeksi, yang dimulai secara akut tetapi
berlangsung selama lebih dari 14 hari, dan tidak
termasuk gangguan diare kronis atau berulang seperti

155
sariawan tropis, enteropati sensitif gluten atau
gangguan herediter lainnya (Matthai, 2011).
3. Diare Kronis
Diare kronis didefinisikan sebagai buang air besar
encer atau cair, kebutuhan mendesak untuk
mengevakuasi atau perasaan tidak nyaman perut,
atau peningkatan frekuensi ini, berlangsung lebih dari
4 minggu. Konsistensi feses ditentukan oleh
hubungan antara air feses dan kapasitas menahan air
dari padatan feses yang tidak larut. Karena tinja
sebagian besar terdiri dari air (60-85%), konsistensi
sulit diukur, dan untuk alasan ini berat tinja
digunakan sebagai perkiraan konsistensi tidak
langsung yang masuk akal. Oleh karena itu, diare
dapat didefinisikan dengan berat atau volume tinja
yang diukur selama 24-72 jam (rata-rata, 2-3 hari).
Berat normal pengeluaran tinja selama periode 24 jam
pada anak-anak dan orang dewasa adalah kurang dari
200 g; dengan demikian, berat tinja >200 g/24 jam
merupakan definisi objektif dari diare (Fernández-
Bañares et al., 2016).
Diare diklasifikasikan lebih lanjut oleh patofisiologi,
yang biasanya melibatkan 1 atau lebih dari
mekanisme berikut: (1) diare osmotik, ditandai
dengan adanya peningkatan beban osmotik
intraluminal yang menyebabkan difusi pasif cairan ke
dalam lumen gastrointestinal (Gurram, 2018).Diare
osmotik terjadi ketika partikel aktif secara osmotik
berlebihan ada di dalam lumen, menghasilkan lebih
banyak cairan yang secara pasif bergerak ke dalam
lumen usus menuruni gradien osmotic (Whyte &
Jenkins, 2012); (2) diare sekretorik, ditandai dengan
peningkatan sekresi cairan ke dalam lumen
gastrointestinal melebihi kapasitas untuk
direabsorbsi (Gurram, 2018). Diare sekretorik terjadi

156
ketika mukosa usus mengeluarkan cairan dalam
jumlah berlebihan ke dalam lumen usus, baik karena
aktivasi jalur oleh toksin, atau karena kelainan
bawaan pada enterosit (Whyte & Jenkins, 2012).; dan
(3) perubahan motilitas saluran cerna. (Gurram,
2018).

Diagnosis Diare

Diagnosis Diare dapat dilakukan melalui (Riddle et al.,


2016):
1. Studi diagnostik tinja dapat digunakan jika tersedia
dalam kasus-kasus: disentri, penyakit sedang hingga
berat, dan gejala yang berlangsung lama >7 hari
untuk memperjelas etiologi penyakit pasien dan
memungkinkan terapi terarah spesifik.
2. Metode diagnosis tradisional (kultur bakteri,
mikroskop dengan dan tanpa pewarnaan khusus dan
imunofluoresensi, dan pengujian antigen) gagal
mengungkapkan etiologi sebagian besar kasus infeksi
diare akut. Jika tersedia, penggunaan metode
diagnosis independen budaya yang disetujui oleh Food
and Drug Administration dapat direkomendasikan
setidaknya sebagai tambahan untuk metode
tradisional.
3. Tes sensitivitas antibiotik untuk pengelolaan individu
dengan infeksi diare akut saat ini tidak dianjurkan.

Epidemiologi Diare

Epidemiologi patogen enterik yang menyebabkan diare


menunjukkan bahwa sebagian besar infeksi diperoleh dari
makanan, air, dan kontak tangan. Di antara penyumbang
diare pada anak, kesehatan lingkungan rumah tangga,
standar hidup, dan pengetahuan ibu memainkan peran

157
penting. Wanita bermain sebagai peran utama dalam
membuat atau memutuskan 'rantai kontaminasi' dalam
lingkup rumah tangga (Vu Nguyen, Le Van, Le Huy,
Nguyen Gia, & Weintraub, 2006).
Kematian terkait diare disebabkan oleh air yang tidak
aman, sanitasi yang tidak memadai, dan kebersihan yang
tidak memadai yakni sekitar 88% (Li Liu, Hope L Johnson,
Simon Cousens, Jamie Perin, Susana Scott, Joy E Lawn,
Igor Rudan, Harry Campbell, Richard Cibulskis, Mengying
Li, Colin Mathers, Robert E Black, 2013). Orang-orang
yang tinggal di pemukiman perkotaan yang tidak
terencana dan kamp-kamp pengungsi, dengan akses
terbatas ke fasilitas sanitasi, berisiko lebih tinggi terkena
epidemi diare, di mana air dan makanan yang
terkontaminasi memainkan peran penting (Cobo, 2014).
Air, makanan, dan benda-benda terkontaminasi dalam
banyak cara: 1) Orang dan hewan buang air besar di atau
dekat sumber air yang diminum orang; 2) Air yang
terkontaminasi digunakan untuk mengairi tanaman 3)
Penyedia makanan tidak mencuci tangan sebelum
memasak; 4) Orang dengan tangan yang terkontaminasi
menyentuh benda, seperti gagang pintu atau peralatan
memasak. (Li Liu, Hope L Johnson, Simon Cousens, Jamie
Perin, Susana Scott, Joy E Lawn, Igor Rudan, Harry
Campbell, Richard Cibulskis, Mengying Li, Colin Mathers,
Robert E Black, 2013). Cara lain untuk mendapatkan agen
infeksi ini adalah melalui kontak langsung dengan orang
yang terinfeksi, yang dapat berkontribusi pada
penyebaran epidemi disentri (Cobo, 2014).

Etiologi Diare

1. Virus
Saluran cerna adalah pintu masuk yang paling umum
untuk berbagai patogen, termasuk virus, tetapi tidak

158
semua virus ini berhubungan secara kausal dengan
penyakit diare. Di antara virus yang menginfeksi
enterosit, atau setidaknya menggunakannya sebagai
pintu masuk, ada dua kelompok besar. Kelompok
pertama terdiri dari virus-virus yang menyebabkan
infeksi sistemik setelah masuk ke dalam tubuh
melalui saluran pencernaan, dan diare, jika pernah
ada, bukanlah ciri utama infeksi. Kelompok ini
mencakup banyak enterovirus, termasuk virus polio
dan coxsackievirus, virus hepatitis A dan E, dan
beberapa adenovirus. Kelompok kedua terdiri dari
virus yang menginfeksi usus halus bagian atas dan
menyebabkan diare non-inflamasi. Secara umum
dianggap bahwa virus enteropatogenik biasanya tidak
menyebabkan infeksi sistemik. Walaupun virus-virus
ini sulit untuk tumbuh dalam kultur sel, seringkali
ada sejumlah besar virion yang dilepaskan ke dalam
tinja, yang dapat diidentifikasi dengan mikroskop
elektron langsung atau mikroskop elektron imun
(Hart, Cunliffe, & Nakagomi, 2009).
Sebagian besar anak-anak terinfeksi virus menjadi
empat genus yang berbeda: rotavirus, calicivirus,
astrovirus dan adenovirus enteric (Guarino & Albano,
2016).
a. Rotavirus
Rotavirus adalah salah satu patogen diare yang
paling umum pada anak-anak di seluruh dunia
yang menyebabkan sekitar sepertiga dari rawat
inap terkait diare dan 800.000 kematian (Workie,
Sharifabdilahi, & Addis, 2018). Rotavirus
menyumbang 30-50% dari semua rawat inap
untuk diare akut. Infeksi rotavirus lebih mungkin
parah pada anak-anak <24 bulan dibandingkan
pada anak-anak yang lebih tua dan orang dewasa
(M. Das & Delhi, 2019). Per tahun rotavirus dapat

159
menyebabkan kehilangan cairan di usus,
kekurangan elektrolit dan nutrisi yang
berlangsung relatif cepat hingga menyebabkan
dehidrasi dan kematian (Workie et al., 2018).
b. Astrovirus
Astrovirus pertama kali dijelaskan pada tahun
1975 dan sekarang ditetapkan sebagai penyebab
penting gastroenteritis pada anak-anak dan orang
dewasa. Famili Astroviridae dapat menginfeksi
berbagai spesies hewan, termasuk manusia.
Astrovirus adalah virus tak berselubung
berukuran diameter 28–30 nm (Guarino & Albano,
2016).
c. Calicivirus
Norovirus dan Sapovirus adalah dua genera virus
yang berbeda yang termasuk dalam famili
Caliciviridae dan merupakan agen penyebab
utama gastroenteritis akut pada anak-anak dan
orang dewasa. Agen Norwalk, prototipe Norovirus,
pertama kali diidentifikasi oleh mikroskop
elektron imun sebagai partikel virus 27 nm
dengan garis kasar berbulu (Hart et al., 2009).
Calicivirus menyebar melalui oral-feses route,
tetapi wabah sering disebabkan oleh
terkontaminasi makanan atau air. Permukaan
yang terkontaminasi membawa calicivirus dalam
jumlah yang dapat dideteksi, sehingga
memberikan substrat penting lainnya untuk
wabah eksplosif (Guarino & Albano, 2016).
d. Adenovirus enterik
Adenovirus enterik menyumbang sekitar 5% dari
kasus diare infantil, paling sering terjadi pada
anak-anak di bawah usia 2 tahun. Tidak ada

160
musim yang jelas terhadap infeksi. Adenovirus
enterik menyebar dari orang ke orang melalui oral-
feses route. Baik penyebaran melalui makanan
maupun penyebaran melalui air telah dijelaskan
(Hart et al., 2009)
2. Bakteri
Penyebab utama penyakit diare di negara berkembang
adalah infeksi oleh bakteri, seperti enterotoksigenik
dan enteropatogenik Shigella, Salmonella, E coli, Vibrio
cholerae (S. Das, Jayaratne, & Barrett, 2018). Patogen
bakteri tetap menjadi penyebab penting penyakit
bawaan makanan di negara maju juga (Kotloff, 2017).
a. Shigella
Empat spesies Shigella menyebabkan penyakit
pada manusia: S flexneri (penyebab utama
shigellosis di negara-negara dengan sumber daya
rendah), S sonnei (penyebab shigellosis kedua
paling umum di negara-negara berpenghasilan
rendah dan penyebab utama di negara-negara
industri dan transisi dan S boydii dan S disentri
yang lebih jarang (Kotloff, 2017). Dalam sebuah
penelitian 23% anak-anak dengan shigellosis
mengalami diare persisten. Risiko diare akut
menjadi persisten berlipat ganda pada anak-anak
kurang gizi dan pada mereka dengan malabsorpsi
karbohidrat sekunder (Matthai, 2011).
b. Salmonella
Salmonella secara klasik dibagi menjadi
Salmonella tifoid yang dibatasi manusia (S typhi
dan S paratyphi A dan B), yang menyebabkan
demam enterik, dan Salmonella nontyphoidal,
yang mengandung sebagian besar serovar lain

161
yang menyebabkan penyakit diare pada manusia
(Kotloff, 2017).
c. E. Coli
Meskipun banyak strain E. coli yang komensal
tidak berbahaya, beberapa adalah diaregenik,
meskipun dengan mekanisme yang berbeda.
Sebagai contoh, Enteropathogenic E. coli (EPEC)
dapat dibedakan dari E coli diaregenik lainnya
dengan kemampuannya untuk membentuk
penempelan/penghilangan yang diperlukan
untuk penurunan NHE3; sebaliknya, efektor lain,
EspF, telah terlibat. Tidak seperti banyak patogen
enterik lainnya, EPEC tidak hanya menghambat
mekanisme penyerapan elektrolit, tetapi juga
mampu menghambat aktivitas sodium-coupled
glucose transporter (SGLT1). Ini telah
dikemukakan sebagai penjelasan untuk fakta
bahwa diare yang berhubungan dengan infeksi
EPEC kurang responsif terhadap terapi rehidrasi
oral (ORT) (S. Das et al., 2018).
d. Vibrio cholerae
Vibrio cholerae menyebabkan epidemi diare
dehidrasi yang mempengaruhi segala usia dan
dapat menyebabkan angka kematian yang tinggi
jika intervensi kesehatan masyarakat tidak
memadai. Studi sekarang menunjukkan bahwa
mayoritas individu tidak menunjukkan gejala
atau hanya memiliki penyakit diare ringan. Vibrio
cholerae berkolonisasi di usus halus bagian atas
dan menyebabkan diare dengan merangsang
sekresi klorida yang dimediasi cAMP,
menghambat penyerapan natrium, dan
memproduksi faktor pengaktif trombosit dengan
kemungkinan perubahan yang dihasilkan dalam

162
sintesis prostaglandin. Diare terjadi secara tiba-
tiba, menyerupai air beras, dan disertai muntah.
Tanpa pengobatan yang tepat, angka fatalitas
kasus mendekati 50%. Perawatan awalnya
ditujukan untuk rehidrasi. Antibiotik diberikan
untuk mempersingkat durasi diare. Untuk kasus
yang parah, cairan intravena diperlukan dan
harus isotonik. Untuk kasus ringan, terapi
rehidrasi oral (ORT) lebih disukai (Vaziri, 2010).
e. Protozoa
Cryptosporidium adalah protozoa coccidian
pembentuk ookista. Setidaknya 13 dari lebih dari
60 spesies telah ditemukan menyebabkan
penyakit pada manusia, tetapi C hominus, dan
pada tingkat yang lebih rendah, strain antropotik
C parvum, menyebabkan sebagian besar infeksi
pada manusia. Cyclospora cayetanesis adalah
coccidian lain protozoa. Genus Entamoeba
mencakup enam spesies yang menjajah manusia;
Entamoeba histolytica dianggap sebagai satu-
satunya patogen penyebab penyakit usus. Giardia
intestinalis (sebelumnya Giardia lamblia dan
Giardia duodenalis) adalah protozoa berflagel yang
menginfeksi usus halus dan saluran empedu
(Kotloff, 2017).
Penyebab infeksi diare akut termasuk virus,
bakteri, dan parasit. Penyebab noninfeksi
termasuk efek samping obat, proses akut
abdomen, penyakit gastroenterologi, dan penyakit
endokrin. Secara klinis, diare infeksius akut
diklasifikasikan menjadi dua sindrom
patofisiologis, biasanya disebut sebagai
noninflamasi (kebanyakan virus, penyakit yang
lebih ringan) dan inflamasi (kebanyakan invasif

163
atau dengan bakteri penghasil toksin, penyakit
yang lebih parah) (Jones & Rubin, 2009).
Tidak mudah untuk mengidentifikasi penyebab
spesifik diare saja berdasarkan representasi klinis
karena beberapa pathogen dapat menunjukkan
gambaran klinis yang sama. Mengidentifikasi
penyebab diare juga diperlukan data tambahan
tentang masa inkubasi, riwayat perjalanan
sebelumnya, Riwayat makan makanan tertentu,
risiko pekerjaan, penggunaan antibiotik, dalam 2
bulan terakhir, riwayat perawatan, tempat tinggal,
hewan peliharaan, hobi, serta risiko infeksi HIV
(Imanadhia, Ranuh, & Nuswantoro, 2019). Sedikit
informasi yang tersedia tentang etiologi diare pada
anak yang terinfeksi atau terpajan HIV, sebagian
karena masalah kelayakan dan biaya yang terkait
dengan mengintegrasikan program HIV ke dalam
studi etiologi. Secara umum, studi tentang diare
dibatasi oleh kurangnya spesimen kontrol dan
pengujian spektrum patogen enterik yang
berkurang karena biaya dan kurangnya pelatihan
yang diperlukan, keterampilan laboratorium yang
canggih, komoditas dan peralatan. Akibatnya,
beberapa penelitian terhadap anak terinfeksi HIV
dilakukan di daerah dengan prevalensi HIV tinggi
yang diketahui atau di antara anak terinfeksi HIV
yang diuji untuk spektrum patogen enterik yang
terbatas (Black et al., 2010).

Patofisiologi Diare

Diare adalah hasil dari gangguan keseimbangan halus


antara proses penyerapan dan sekresi di dalam usus.
Penyerapan dan sekresi air dan elektrolit di seluruh
saluran cerna merupakan proses yang sangat seimbang
dan dinamis, dan bila keseimbangan ini hilang karena

164
penurunan absorpsi atau peningkatan sekresi, terjadilah
diare (Whyte & Jenkins, 2012). Kelebihan air tinja adalah
mekanisme patofisiologi yang paling umum untuk diare.
Usus halus dan usus besar yang normal menyerap
kembali 99% cairan yang masuk ke usus halus bagian
atas; mencret dapat terjadi ketika efisiensi proses ini
berkurang hanya 1% yang mengarah ke tingkat
penyerapan bersih 98%. Oleh karena itu, perubahan yang
relatif halus dalam penyerapan air oleh usus dapat
menyebabkan mencret dan diare. Dengan kata lain,
masing-masing dari kita sangat dekat dengan buang air
besar pada titik waktu tertentu; Isi usus yang tidak
berbentuk mungkin ada di kolon sigmoid proksimal,
hanya 30 cm dari anus (Schiller, 2012).
Kelebihan air tinja dapat tetap berada di lumen melalui
salah satu dari tiga mekanisme patofisiologis. Pertama,
tingkat penyerapan cairan dari usus dapat dikurangi.
Kedua, kecepatan sekresi cairan oleh usus dapat
ditingkatkan. Ketiga, bahan tertelan yang diserap dengan
buruk dengan aktivitas osmotik dapat menahan kelebihan
cairan di dalam lumen usus. Sekitar 10 L cairan
memasuki jejunum setiap hari dalam keadaan normal.
Keluaran tinja harus lebih besar dari 10 L per hari jika
terjadi sekresi bersih di usus. Ini hanya terjadi pada
keadaan diare yang sangat parah, seperti kolera (Schiller,
2012).

Pencegahan Diare

Diare itu sendiri tidak mematikan, pengetahuan yang


tidak tepat, praktik yang buruk dan sikap negatif ibu dan
pendekatan yang salah arah terhadap manajemen dan
pencegahannya menyebabkan dehidrasi parah dan
terakhir kematian (Workie et al., 2018).

165
Demikian pula tinggal di negara-negara terbelakang,
bersama dengan kurangnya pendidikan ibu memiliki
korelasi positif dengan penyakit diare pada anak
(Sanyaolu, Okorie, Marinkovic, Jaferi, & Prakash, 2020).
Sehubungan dengan itu, upaya harus diarahkan tidak
hanya pada pengetahuan dan praktik sosial-perilaku ibu
tetapi juga terhadap faktor lingkungan sanitasi dan
kebersihan (Khaliq et al., 2022). Penyakit diare
berhubungan dengan air, kebersihan, makanan, dan
sanitasi dan memiliki banyak transmisi oral-feses route
(Vu Nguyen et al., 2006). Tidak dapat diaksesnya air
minum yang aman mengacu pada air minum yang
terkontaminasi dengan bahan tinja. Adanya bahan tinja
dalam air minum mencerminkan adanya enteropatogen,
yang bertanggung jawab untuk berbagai jenis penyakit
enterik termasuk diare (Khaliq, Amreen, Jameel, &
Krauth, 2022) oleh karena itu untuk mencegahnya perlu
upaya promosi air minum yang aman (Matthai, 2011).
Persentase penyakit diare yang signifikan dapat dicegah
dengan sanitasi yang baik, dan kebersihan pribadi
(Sanyaolu et al., 2020). Penggunaan fasilitas toilet
bersama dan fasilitas toilet yang tidak memadai juga
meningkatkan kemungkinan penyakit diare dan enteric
pada anak-anak. Namun, penggunaan sabun setelah
buang air besar berpotensi mencegah diare karena
enteropatogen lingkungan. Faktor lingkungan yang
berhubungan sanitasi dan kebersihan menunjukkan efek
mendalam pada endemisitas penyakit diare yang tinggi
(Khaliq et al., 2022).
Selain itu intervensi hemat biaya di masyarakat termasuk
promosi ASI eksklusif, praktik pemberian makanan
pendamping ASI yang aman, oralit osmolalitas rendah,
suplementasi seng, menghindari antibiotik yang tidak
perlu dan terus memberi makan selama diare (Matthai,
2011), pemberian vitamin A, serta pencegahan dan

166
penanganan gizi kurang adalah beberapa intervensi gizi
utama untuk mencegah diare pada anak (M. Das & Delhi,
2019). ASI sebagai makanan terbersih dan terbaik untuk
bayi. Pemberian ASI eksklusif sampai usia 4 sampai 6
bulan (Bateman, Jahan, Brahman, Zeitlyn, & Laston,
1995). Tidak ada keraguan bahwa menyusui adalah
komponen penting dalam pencegahan perkembangan dan
pengurangan diare infektif, terutama virus. Juga,
probiotik dan simbiosis memiliki peran penting dalam
pencegahan enterokolitis Clostridium difficile, dan
sebagian dalam pencegahan gastroenteritis rotavirus
(Radlović et al., 2015). Suplementasi zinc merupakan
bagian dari standar manajemen kasus diare akut pada
anak. Selain itu, suplementasi seng juga telah dilaporkan
mengurangi kejadian diare sebesar 9-20%, diare persisten
sebesar 11-33%, disentri sebesar 11-15%, dan kematian
terkait diare sebesar 6-10%, dan menurunkan episode
diare. diare berat sebesar 15% dan durasi diare (jumlah
hari) sebesar 14%. Efek menguntungkan dari
suplementasi vitamin A berkala pada kematian anak
secara keseluruhan telah dibuktikan. Penurunan insiden
keseluruhan episode diare juga telah dilaporkan pada
kelompok suplemen vitamin A, terutama untuk
mengurangi episode diare berat (M. Das & Delhi, 2019).
Kepatuhan yang ketat terhadap tindakan higienis dan
sanitasi dasar yang berkaitan dengan makanan dan air
merupakan dasar dalam pencegahan infeksi dan
keracunan pencernaan, dan dalam kaitannya dengan
infeksi, menghindari kontak dengan yang sakit sama
pentingnya. Selain kontak dengan yang sakit, vaksin
rotavirus praktis merupakan satu-satunya tindakan yang
efisien dalam pencegahan gastroenteritis rotavirus
(Radlović et al., 2015). Meskipun vaksin rotavirus
menunjukkan perlindungan yang menjanjikan terhadap
rotavirus, penyebab utama rawat inap dan kematian

167
akibat diare, biayanya masih menjadi perhatian dan
hambatan untuk penggunaan universal. Dalam beberapa
tahun terakhir, vaksin yang lebih baru mungkin tersedia
dengan biaya lebih murah untuk memungkinkan
dimasukkan dalam program kesehatan masyarakat.
Intususepsi telah menjadi perhatian terkait dengan vaksin
rotavirus. Tetapi vaksin yang tersedia baru-baru ini belum
menunjukkan peningkatan risiko intususepsi (M. Das &
Delhi, 2019).

168
Daftar Pustaka
Bateman, O. M., Jahan, R. A., Brahman, S., Zeitlyn, S., &
Laston, S. L. (1995). Prevention of Diarrhea through
Improving Hygiene Behaviors: The Sanitation and
Family Education (SAFE) Pilot Project Experience. 93.
Black, R., University, J. H., & Lulu, M. (2010).
Epidemiology of Diarrheal Diseases. World Health
Organization, (Imci), 14.
Cobo, F. (2014). Diarrhoea syndrome. Imported Infectious
Diseases, 41–59.
https://doi.org/10.1533/9781908818737.41
Das, M., & Delhi, N. (2019). Prevention of Diarrhea.
(December 2014), 71–83.
Das, S., Jayaratne, R., & Barrett, K. E. (2018). The Role of
Ion Transporters in the Pathophysiology of Infectious
Diarrhea. Cmgh, 6(1), 33–45.
https://doi.org/10.1016/j.jcmgh.2018.02.009
Demissie, G. D., Yeshaw, Y., Aleminew, W., & Akalu, Y.
(2021). Diarrhea and associated factors among under
five children in sub-Saharan Africa: Evidence from
demographic and health surveys of 34 sub-Saharan
countries. PLoS ONE, 16(9 September), 1–13.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0257522
Fernández-Bañares, F., Accarino, A., Balboa, A.,
Domènech, E., Esteve, M., Garcia-Planella, E., …
Vaquero, E. (2016). Chronic diarrhoea: Definition,
classification and diagnosis. Gastroenterología y
Hepatología (English Edition), 39(8), 535–559.
https://doi.org/10.1016/j.gastre.2016.07.008
Gidudu, J., Sack, D. A., Pina, M., Hudson, M. J., Kohl, K.
S., Bishop, P., … Zaman, K. (2011). Diarrhea: Case
definition and guidelines for collection, analysis, and
presentation of immunization safety data. Vaccine,

169
29(5), 1053–1071.
https://doi.org/10.1016/j.vaccine.2010.11.065
Guarino, A., & Albano, F. (2016). Textbook of Pediatric
Gastroenterology, Hepatology and Nutrition. Textbook
of Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition,
(October 2016). https://doi.org/10.1007/978-3-319-
17169-2
Gupte, S. (2016). Persistent Diarrhea in Childhood: Issues
and Concerns. Gastroenterology & Hepatology
International Journal, 1(2), 1–8.
https://doi.org/10.23880/ghij-16000107
Gurram, B. 1. (2018). Diarrhea. Nelson Pediatric Symptom-
Based Diagnosis, 182-203.e1.
https://doi.org/10.1016/B978-0-323-39956-
2.00011-X
Hart, C. A., Cunliffe, N. A., & Nakagomi, O. (2009).
Diarrhoea Caused by Viruses. In Manson’s Tropical
Diseases (Twenty-Sec).
https://doi.org/10.1016/b978-1-4160-4470-
3.50049-5
Imanadhia, A., Ranuh, I. R. G., & Nuswantoro, D. (2019).
Etiology Based on Clinical Manifestation of Acute
Diarrhea Incidence of Children Hospitalized in Dr.
Soetomo General Hospital Surabaya Period 2011-
2013. Biomolecular and Health Science Journal, 2(1),
31. https://doi.org/10.20473/bhsj.v2i1.12744
Jerez Puebla, L. E., Núñez Fernández, F. A., Atencio
Millán, I., Pérez Avila, J., Fraga Nodarse, J., Cruz
Rodríguez, I., … Robertson, L. J. (2022). Identification
of two potential aetiological agents of chronic
diarrhoea in an immunocompromised patient in Cuba
using conventional and molecular diagnostic
techniques. Journal of Microbiological Methods,

170
192(November 2021), 2021–2023.
https://doi.org/10.1016/j.mimet.2021.106376
Jones, R., & Rubin, G. (2009). Diagnosis in general
practice: Acute diarrhoea in adults. BMJ (Online),
339(7711), 46–48.
https://doi.org/10.1136/bmj.b1877
Kehar, M., & Sikka, S. (2016). Chronic diarrhea in
children: Indian Perspective. Gastroenterology,
Hepatology and Endoscopy, 1(2), 40–43.
https://doi.org/10.15761/ghe.1000110
Keusch, G. T., Walker, C. F., Das, J. K., Horton, S., &
Habte, D. (2016). Diarrheal Diseases (Acute). In
Reproductive, Maternal, Newborn, and Child Health:
Disease Control Priorities, Third Edition (Volume 2).
(2nd ed., pp. 676–680).
https://doi.org/10.1017/chol9780521332866.097
Khaliq, A., Amreen, Jameel, N., & Krauth, S. J. (2022).
Knowledge and Practices on the Prevention and
Management of Diarrhea in Children Under-2 Years
Among Women Dwelling in Urban Slums of Karachi,
Pakistan. Maternal and Child Health Journal,
(0123456789). https://doi.org/10.1007/s10995-022-
03391-9
Kotloff, K. L. (2017). The Burden and Etiology of Diarrheal
Illness in Developing Countries. Pediatric Clinics of
North America, 64(4), 799–814.
https://doi.org/10.1016/j.pcl.2017.03.006
Li Liu, Hope L Johnson, Simon Cousens, Jamie Perin,
Susana Scott, Joy E Lawn, Igor Rudan, Harry
Campbell, Richard Cibulskis, Mengying Li, Colin
Mathers, Robert E Black, C. H. E. R. G. of W. and U.
(2013). Global Diarrhea Burden Diarrhea: Common
Illness, Global Killer. U.S. Department of Health and

171
Human Services, 1. Retrieved from
https://www.cdc.gov/healthywater/global/diarrhea-
burden.html
Matthai, J. (2011). Chronic and persistent diarrhea in
infants and young children: Status statement. Indian
Pediatrics, 48(1), 37–42.
https://doi.org/10.1007/s13312-011-0018-9
Radlović, N., Leković, Z., Vuletić, B., Radlović, V., & Simić,
D. (2015). Acute diarrhea in children. Srpski Arhiv Za
Celokupno Lekarstvo, 143(11–12), 755–762.
https://doi.org/10.2298/SARH1512755R
Riddle, M. S., Dupont, H. L., & Connor, B. A. (2016). ACG
clinical guideline: Diagnosis, treatment, and
prevention of acute diarrheal infections in adults.
American Journal of Gastroenterology, 111(5), 602–
622. https://doi.org/10.1038/ajg.2016.126
Sanyaolu, A., Okorie, C., Marinkovic, A., Jaferi, U., &
Prakash, S. (2020). Global Epidemiology and
Management of Acute Diarrhea in Children from
Developing Countries. Ann Pediatr Child Health, 8(8),
1205.
Schiller, L. R. (2012). Definitions, pathophysiology, and
evaluation of chronic diarrhoea. Best Practice and
Research: Clinical Gastroenterology, 26(5), 551–562.
https://doi.org/10.1016/j.bpg.2012.11.011
Vaziri, H. (2010). Diarrhea Diagnostic And Therapeutic
Advances. In Humana Press (Vol. 83).
https://doi.org/10.1007/978-1-60761-183-7
Vu Nguyen, T., Le Van, P., Le Huy, C., Nguyen Gia, K., &
Weintraub, A. (2006). Etiology and epidemiology of
diarrhea in children in Hanoi, Vietnam. International
Journal of Infectious Diseases, 10(4), 298–308.
https://doi.org/10.1016/j.ijid.2005.05.009

172
Warren, C. A. (2016). Bases Da Fisiopatologia Da Diarreia
(The Pathophysiology of Diarrhea). In Sistema
Digestório: Integração Básico-Clínica.
https://doi.org/DOI 10.5151/9788580391893
Whyte, L. A., & Jenkins, H. R. (2012). Pathophysiology of
diarrhoea. Paediatrics and Child Health (United
Kingdom), 22(10), 443–447.
https://doi.org/10.1016/j.paed.2012.05.006
Workie, H. M., Sharifabdilahi, A. S., & Addis, E. M. (2018).
Mothers’ knowledge, attitude and practice towards the
prevention and home-based management of diarrheal
disease among under-five children in Diredawa,
Eastern Ethiopia, 2016: A cross-sectional study. BMC
Pediatrics, 18(1), 1–9.
https://doi.org/10.1186/s12887-018-1321-6
World Health Organization. (1992). Readings on diarrhoea:
Student manual. World Health Organization Geneva,
1–143. Retrieved from
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/40343/1
/9241544449.pdf

173
Profil Penulis
Sarinah Basri K.
Penulis lahir di Ujung Pandang 22 Desember
1987. Anak Ke 2 (dua) dari 5 (lima)
bersaudara, anak pasangan Dr. Basri K., M.Si
dan Nurmia Abdullah. Memperoleh gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat pada Jurusan
Kesehatan Lingkungan dan Kesehatan Kerja (KLKK),
Universitas Nusa Cendana (UNDANA) tahun 2011 dan
gelar Master Kesehatan Masyarakat pada Jurusan
Kesehatan Lingkungan, Universtas Hasanudin Makassar
pada tahun 2014. Saat ini penulis sedang menempuh
studi S3 pada Program Studi Doktor Ilmu Kesehatan
Masyarakat Fakultas kesehatan Masyarakat Universitas
Hasanuddin. Tahun 2015-2022 penulis menjadi dosen
pada salah satu perguruan tinggi swasta di Indramayu,
Jawa Barat yakni Universitas Wiralodra. Tahun 2022
lulus CPNS Dosen di Universitas Negeri Gorontalo.
Kepakaran penulis dibidang kesehatan masyarakat yang
diwujudkan penulis sebagai dosen profesional melalui
karya ilmiah yang telah dipublikan berupa artikel
Nasional maupun Intenasional, buku ber-ISBN dan
beberapa karya tulis telah memiliki Hak Kekayaan
Intelektual (HKI) serta pernah berpartisipasi dalam
Kompetisi Nasional yang diadakan oleh Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro dan
berhasil dinobatkan sebagai Pemenang 10 terbaik
kompetisi artikel ilmiah tahun 2021.
Email Penulis: b.sarinah99@gmail.com

174
10
PENYAKIT DEMAM DENGUE

Ririn Pakaya, S.KM, M.P.H.


Universitas Gorontalo

Pendahuluan

Lima puluh juta kasus infeksis virus dengue terjadi setiap


tahunnya di seluruh dunia. Pertubuhan penduduk,
urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali,
tidak adanya pengendalian terhadap perkembangan
nyamuk yang efektif di daerah endemic, dan peningkatan
sarana transportasi merupakan faktor determinan yang
mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus
dengue saat ini (WHO, 2011) (Gubler, 1998).
Demam Berdarah Dengue adalah penyakit yang
ditularkan nyamuk dari famili Flaviviridae, yang
disebabkan oleh salah satu dari empat virus dengue yang
berkerabat dekat (DENV-1, -2, -3 dan -4). Infeksi dengan
salah satu serotipe DENV memberikan kekebalan
terhadap serotipe itu seumur hidup, tetapi tidak
memberikan kekebalan jangka panjang terhadap serotipe
lain (Sugianto, 2021) (Gubler, 1998). Ada 4 serotipe DENV
(DENV-1 hingga DENV-4) yang menyebabkan penyakit
pada manusia melalui penularan melalui vektor nyamuk
Aedes aegypti dan Aedes albopictus (Pang, Zhang and
Cheng, 2017)
Demam Berdarah (DBD) dapat dengan atau tanpa
perdarahan, sedangkan Demam Berdarah Dengue (DBD)
dapat dengan atau tanpa syok, yang disebut Dengue

175
Shock Syndrome.[3] Kriteria WHO untuk diagnosis klinis
Demam Berdarah Dengue (DBD) mensyaratkan adanya
demam akut dan terus menerus selama 2 sampai 7 hari,
hemokonsentrasi (hematokrit >20% dari baseline pasien)
dan manifestasi hemoragik yang berhubungan dengan
trombositopenia. 100.000 sel/c.mm atau kurang).
Manifestasi hemoragik dapat berupa kulit atau mukosa
atau bahkan tes tourniquet positif yang paling umum
(WHO, 2011).

Epidemiologi

Demam Berdarah (DF) dan Demam Berdarah Dengue


(DBD) endemik di zona tropis dan subtropis dan
prevalensinya meningkat di Asia Tenggara, Pasifik barat,
Amerika dan Afrika. Ada lebih 100 negara endemis DBD
di dunia. Di Asia, demam berdarah (DF) dan demam
berdarah dengue (DBD) terutama menyerang anak-anak
di bawah 15 tahun (Tantawichien, 2012). Sekitar 2,5
miliar orang berisiko terkena infeksi dengue setiap tahun.
Diperkirakan 390 juta infeksi dengue setiap tahun, 96
juta di antaranya bermanifestasi dalam berbagai tingkat
keparahan penyakit (Pang, Zhang and Cheng, 2017).
Saat ini, virus dengue (DENV) merupakan ancaman besar
bagi kesehatan masyarakat global, dan sekitar dua
perlima populasi dunia berisiko terkena infeksi dengue
(‘Dengue--an infectious disease of staggering proportions.’,
2013), (Screaton et al., 2015). DBD telah menjadi ancaman
kesehatan masyarakat yang dikaitkan dengan morbiditas
yang luar biasa. dan kematian, sejak wabah pertama
dilaporkan pada tahun 1779 di Jakarta, Indonesia.[8]
Pada akhir 2016, total 291.964 kasus demam berdarah
telah dilaporkan dalam literatur, terutama dari China
(27,9%), Singapura (27,0%) dan Malaysia (15,1%).
Sebagian besar (72,4%) pasien demam berdarah
dilaporkan di wilayah Pasifik Barat, diikuti oleh wilayah

176
Amerika (19,4%), Wilayah Asia Tenggara (4,8%), wilayah
Mediterania Timur (1,5%), wilayah Eropa (1,5%) dan
Wilayah Afrika (0,3%) (Guo et al., 2017).

Definisi

Demam Dengue (Dengue Fever) adalah penyakit virus


demam akut yang sering disertai dengan sakit kepala,
nyeri tulang atau sendi dan otot, ruam dan leukopenia
sebagai gejala. Demam berdarah dengue (DBD) ditandai
oleh empat manifestasi klinis utama: demam tinggi,
fenomena perdarahan, sering dengan hepatomegali dan,
pada kasus yang parah, tanda-tanda kegagalan peredaran
darah. Pasien tersebut dapat mengalami syok hipovolemik
akibat kebocoran plasma. Ini disebut dengue shock
syndrome (DSS) dan bisa berakibat fatal (Gould, 1998).
Dengue adalah penyakit yang ditularkan oleh nyamuk
yang disebabkan oleh salah satu dari empat virus dengue
yang berkerabat dekat (DENV-1, -2, -3, dan -4). Infeksi
dengan satu serotipe DENV memberikan kekebalan
terhadap serotipe tersebut seumur hidup, tetapi tidak
memberikan kekebalan jangka panjang terhadap serotipe
lainnya. Dengan demikian, seseorang dapat terinfeksi
sebanyak empat kali, satu kali dengan masing-masing
serotipe. Virus dengue ditularkan dari orang ke orang oleh
nyamuk Aedes (paling sering Aedes aegypti) di lingkungan
domestik. Epidemi telah terjadi secara berkala di belahan
bumi barat selama lebih dari 200 tahun. Dalam 30 tahun
terakhir, penularan dengue dan frekuensi epidemi dengue
telah meningkat pesat di sebagian besar negara tropis di
kawasan Amerika (U.S. Department of Health and Human
Services, 2009).

177
Transmisi

1. Transmisi Melalui Gigitan Nyamuk


Virus ini ditularkan ke manusia melalui gigitan
nyamuk betina yang terinfeksi, terutama nyamuk
Aedes aegypti. Spesies lain dalam genus Aedes juga
dapat bertindak sebagai vektor, tetapi kontribusinya
sekunder terhadap Aedes aegypti (WHO, 2022).
Setelah menggigit atau mengisap darah orang yang
terinfeksi DENV, virus bereplikasi di usus tengah
nyamuk, sebelum menyebar ke jaringan sekunder,
termasuk kelenjar ludah. Waktu yang dibutuhkan
dari menelan virus hingga transmisi sebenarnya ke
inang baru disebut periode inkubasi ekstrinsik
(extrinsic incubation period/ EIP). EIP memakan waktu
sekitar 8-12 hari ketika suhu lingkungan antara 25-
28° (Tjaden et al., 2013), (Tjaden et al., 2013), (Watts
et al., 1987). Variasi masa inkubasi ekstrinsik tidak
hanya dipengaruhi oleh suhu lingkungan; sejumlah
faktor seperti besarnya fluktuasi suhu harian
(Carrington et al., 2013), genotipe virus (Anderson and
Rico-Hesse, 2006), dan konsentrasi virus awal (Ye et
al., 2015) juga dapat mengubah waktu yang
dibutuhkan nyamuk untuk menularkan virus.
Setelah menular, nyamuk mampu menularkan virus
selama sisa hidupnya (WHO, 2022).
2. Penularan dari Manusia Ke Nyamuk
Nyamuk dapat terinfeksi dari orang yang viremia
dengan DENV. Ini bisa menjadi seseorang yang
memiliki gejala infeksi dengue, seseorang yang belum
memiliki gejala infeksi (pre-symptomatic), tetapi juga
orang yang tidak menunjukkan tanda-tanda penyakit
(asimptomatik) (Duong et al., 2015).

178
Penularan dari manusia ke nyamuk dapat terjadi
hingga 2 hari sebelum seseorang menunjukkan gejala
penyakit (Siler, 1926), hingga 2 hari setelah demam
mereda (Nguyen et al., 2013). Risiko infeksi nyamuk
berhubungan positif dengan viremia tinggi dan
demam tinggi pada pasien; sebaliknya, tingkat
antibodi spesifik DENV yang tinggi dikaitkan dengan
penurunan risiko infeksi nyamuk (Nguyen et al. 2013
PNAS). Kebanyakan orang mengalami viremia selama
sekitar 4-5 hari, tetapi viremia dapat bertahan selama
12 hari (Gubler et al., 1981).
Manifestasi klinis dengue selain dipengaruhi oleh
virus dengue itu sendiri, terdapat 2 faktor lain yang
berperan yaitu faktor host dan vektor perantara. Virus
dengue dikatakan menyerang manusia dan primata
yang lebih rendah. Penelitian di Afrika menyebutkan
bahwa monyet dapat terinfeksi virus ini. Transmisi
vertikal dari ibu ke anak telah dilaporkan kejadiannya
di Bangladesh dan Thailand (Mau, P.I and Bule, 2014).
Vektor utama dengue di Indonesia adalah Aedes
aegypti betina, disamping pula Aedes albopictus
betina. Ciri-ciri nyamuk penyebab penyakit demam
berdarah (nyamuk Aedes aegypti):
a. Badan kecil, warna hitam dengan bintik-bintik
putih
b. Hidup di dalam dan di sekitar rumah
c. Menggigit/menghisap darah pada siang hari
d. Senang hinggap pada pakaian yang bergantungan
dalam kamar
e. Bersarang dan bertelur di genangan air jernih di
dalam dan di sekitar rumah bukan di
got/comberan

179
f. Di dalam rumah: bak mandi, tampayan, vas
bunga, tempat minum burung, dan lain-lain.
Jika seseorang terinfeksi virus dengue digigit oleh
nyamuk Aedes aegypti, maka virus dengue akan
masuk bersama darah yang diisap olehnya. Didalam
tubuh nyamuk itu virus dengue akan berkembang
biak dengan cara membelah diri dan menyebar ke
seluruh bagian tubuh nyamuk. Sebagian besar virus
akan berada dalam kelenjar air liur nyamuk. Jika
nyamuk tersebut menggigit seseorang maka alat
tusuk nyamuk (proboscis) menemukan kapiler darah,
sebelum darah orang itu diisap maka terlebih dahulu
dikeluarkan air liurnya agar darah yang diisapnya
tidak membeku. Bersama dengan air liur inilah virus
dengue tersebut ditularkan kepada orang lain (Siler,
1926).

Patofisiologis dan Pathogenesis

Walaupun demam dengue (DD) dan demam berdarah


dengue (DBD) disebabkan oleh virus yang sama, tapi
mekanisme patofisiologisnya yang berbeda yang
menyebabkan perbedaan klinis. Perbedaan yang utama
adalah hemokonsentrasi yang khas pada DBD yang bisa
mengarah pada kondisi renjatan. Renjatan itu disebabkan
karena kebocoran plasma yang diduga karena proses
imunologi. Pada demam dengue hal ini tidak terjadi.
Manifestasi klinis demam dengue timbul akibat reaksi
tubuh terhadap masuknya virus. Virus akan berkembang
di dalam peredaran darah dan akan ditangkap oleh
makrofag. Segera terjadi viremia selama 2 hari sebelum
timbul gejala dan berakhir setelah lima hari gejala panas
mulai. Makrofag akan segera bereaksi dengan menangkap
virus dan memprosesnya sehingga makrofag menjadi APC
(Antigen Presenting Cell). Antigen yang menempel di
makrofag ini akan mengaktifasi sel T-Helper dan menarik

180
makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak virus. T-
helper akan mengaktifasi sel T-sitotoksik yang akan
melisis makrofag yang sudah memfagosit virus. Juga
mengaktifkan sel B yang akan melepas antibodi. Ada 3
jenis antibodi yang telah dikenali yaitu antibodi
netralisasi, antibodi hemagglutinasi, antibodi fiksasi
komplemen.

Karakteristik Penyakit (Tanda Dan Gejala)

Meskipun sebagian besar kasus demam berdarah tidak


menunjukkan gejala atau menunjukkan gejala ringan,
penyakit ini dapat bermanifestasi sebagai penyakit parah
seperti flu yang menyerang bayi, anak kecil, dan orang
dewasa, tetapi jarang menyebabkan kematian. Gejala
biasanya berlangsung selama 2-7 hari, setelah masa
inkubasi 4-10 hari setelah gigitan nyamuk yang terinfeksi
(World Health Organization, 2009). Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) mengklasifikasikan demam berdarah
menjadi 2 kategori utama: (1) demam berdarah (dengan /
tanpa tanda-tanda peringatan) dan (2) demam berdarah
parah. Subklasifikasi dengue dengan atau tanpa tanda
peringatan dirancang untuk membantu praktisi
kesehatan melakukan triase pasien untuk masuk rumah
sakit, memastikan observasi ketat, dan meminimalkan
risiko berkembangnya demam berdarah yang lebih parah
(World Health Organization, 2009).
1. Demam Dengue
Demam berdarah harus dicurigai bila demam tinggi
(40°C/104°F) disertai dengan 2 gejala berikut selama
fase demam (2-7 hari):
a. Sakit kepala parah
b. Sakit di belakang mata
c. Nyeri otot dan sendi

181
d. Mual
e. Muntah
f. Kelenjar bengkak
g. Ruam
2. Demam Dengue Parah
Seorang pasien memasuki apa yang disebut fase kritis
biasanya sekitar 3-7 hari setelah onset penyakit.
Selama 24-48 jam fase kritis, sebagian kecil pasien
dapat menunjukkan penurunan gejala yang tiba-tiba.
Pada saat inilah, ketika demam turun (di bawah
38°C/100 °F) pada pasien, tanda-tanda peringatan
yang terkait dengan demam berdarah berat dapat
bermanifestasi. Demam berdarah yang parah adalah
komplikasi yang berpotensi fatal, karena kebocoran
plasma, akumulasi cairan, gangguan pernapasan,
perdarahan hebat, atau kerusakan organ.
Tanda-tanda peringatan yang harus dicari dokter
meliputi:
a. Sakit perut parah
b. Muntah terus menerus
c. Pernapasan cepat
d. Gusi atau hidung berdarah
e. Kelelahan
f. Kegelisahan
g. Pembesaran hati
h. Darah dalam muntah atau tinja.
Jika pasien menunjukkan gejala-gejala ini selama fase
kritis, observasi ketat selama 24-48 jam berikutnya
sangat penting sehingga perawatan medis yang tepat
dapat diberikan, untuk menghindari komplikasi dan

182
risiko kematian. Pemantauan ketat juga harus
dilanjutkan selama fase pemulihan.

Diagnostik

Beberapa metode dapat digunakan untuk mendiagnosis


infeksi DENV. Tergantung pada waktu presentasi pasien,
penerapan metode diagnostik yang berbeda mungkin lebih
atau kurang tepat. Sampel pasien yang dikumpulkan
selama minggu pertama sakit harus diuji dengan kedua
metode yang disebutkan di bawah ini (WHO, 2022):
1. Metode Isolasi Virus
Virus dapat diisolasi dari darah selama beberapa hari
pertama infeksi. Berbagai metode reverse
transcriptase-polymerase chain reaction (RT-PCR)
tersedia dan dianggap sebagai standar emas. Namun,
mereka memerlukan peralatan dan pelatihan khusus
bagi staf untuk melakukan tes ini.
Virus juga dapat dideteksi dengan menguji protein
yang diproduksi virus, yang disebut NS1. Ada tes
diagnostik cepat yang diproduksi secara komersial
yang tersedia untuk ini, dan hanya membutuhkan
waktu ~20 menit untuk menentukan hasilnya, dan tes
tersebut tidak memerlukan teknik atau peralatan
laboratorium khusus.
2. Metode Serologis
Metode serologis, seperti enzym-linked
immunosorbent assays (ELISA), dapat
mengkonfirmasi adanya infeksi baru-baru ini atau
masa lalu, dengan deteksi antibodi anti-dengue.
Antibodi IgM terdeteksi ~ 1 minggu setelah infeksi dan
tetap terdeteksi selama sekitar 3 bulan. Kehadiran
IgM merupakan indikasi infeksi DENV baru-baru ini.
Tingkat antibodi IgG membutuhkan waktu lebih lama

183
untuk berkembang dan bertahan di dalam tubuh
selama bertahun-tahun. Kehadiran IgG merupakan
indikasi dari infeksi masa lalu.

Faktor Risiko

Infeksi sebelumnya dengan DENV meningkatkan risiko


individu mengembangkan demam berdarah parah (WHO,
2022). Urbanisasi (terutama yang tidak direncanakan),
dikaitkan dengan penularan demam berdarah melalui
berbagai faktor sosial dan lingkungan: kepadatan
penduduk, mobilitas manusia, akses ke sumber air yang
dapat diandalkan, praktik penyimpanan air, dll.
Risiko masyarakat terhadap DBD juga bergantung pada
pengetahuan, sikap dan praktik masyarakat terhadap
DBD, serta pelaksanaan kegiatan pengendalian vektor
berkelanjutan yang rutin di masyarakat. Akibatnya, risiko
penyakit dapat berubah dan bergeser dengan perubahan
iklim di daerah tropis dan subtropis, dan vektor mungkin
beradaptasi dengan lingkungan dan iklim baru (WHO,
2022).

Pencegahan dan Pengendalian

Jika telah mengetahui bahwa kita menderita demam


berdarah, hindari gigitan nyamuk lebih lanjut selama
minggu pertama sakit. Virus mungkin beredar dalam
darah selama waktu ini, dan karena itu Anda dapat
menularkan virus ke nyamuk baru yang tidak terinfeksi,
yang pada gilirannya dapat menginfeksi orang lain.
Kedekatan tempat perkembangbiakan vektor nyamuk
dengan tempat tinggal manusia merupakan faktor risiko
yang signifikan untuk demam berdarah. Saat ini, metode
utama untuk mengendalikan atau mencegah penularan
virus dengue adalah memerangi vektor nyamuk. Ini
dicapai melalui:

184
1. Pencegahan perkembangbiakan nyamuk:
a. Mencegah nyamuk mengakses habitat bertelur
dengan pengelolaan dan modifikasi lingkungan;
b. Membuang limbah padat dengan benar dan
menghilangkan habitat buatan yang dapat
menampung air;
c. Menutup, mengosongkan dan membersihkan
wadah penyimpanan air domestik setiap minggu;
d. Menerapkan insektisida yang sesuai untuk wadah
penyimpanan air di luar ruangan;
2. Perlindungan pribadi dari gigitan nyamuk:
a. Menggunakan tindakan perlindungan rumah
tangga pribadi, seperti tirai jendela, repellents,
coils dan vaporizers. Langkah-langkah ini harus
diperhatikan pada siang hari baik di dalam
maupun di luar rumah (misalnya: di tempat
kerja/sekolah) karena vektor nyamuk utama
menggigit sepanjang hari;
b. Mengenakan pakaian yang meminimalkan
paparan kulit terhadap nyamuk disarankan;
3. Perlindungan Komunitas:
a. Mendidik masyarakat tentang risiko penyakit
yang dibawa nyamuk;
b. Terlibat dengan masyarakat untuk meningkatkan
partisipasi dan mobilisasi untuk pengendalian
vektor berkelanjutan;
4. Surveilans nyamuk dan virus aktif:
a. Pemantauan aktif dan surveilans kelimpahan
vektor dan komposisi spesies harus dilakukan
untuk menentukan efektivitas intervensi
pengendalian;

185
b. Pantau secara prospektif prevalensi virus dalam
populasi nyamuk, dengan skrining aktif terhadap
koleksi nyamuk sentinel;
c. Surveilans vektor dapat dikombinasikan dengan
surveilans klinis dan lingkungan.
Selain itu, ada penelitian yang sedang berlangsung di
antara banyak kelompok kolaborator internasional untuk
mencari alat baru dan strategi inovatif yang akan
berkontribusi dalam upaya global untuk menghentikan
penularan demam berdarah. Integrasi pendekatan
manajemen vektor didorong oleh WHO untuk mencapai
intervensi pengendalian vektor lokal yang efektif dan
berkelanjutan (WHO, 2022).

186
Daftar Pustaka
Anderson, J.R. and Rico-Hesse, R. (2006) ‘Aedes aegypti
vectorial capacity is determined by the infecting
genotype of dengue virus.’, The American journal of
tropical medicine and hygiene, 75(5), pp. 886–892.
Carrington, L.B. et al. (2013) ‘Fluctuations at a Low Mean
Temperature Accelerate Dengue Virus Transmission
by Aedes aegypti’, PLOS Neglected Tropical Diseases,
7(4), p. e2190. Available at:
https://doi.org/10.1371/journal.pntd.0002190.
‘Dengue--an infectious disease of staggering proportions.’
(2013) Lancet (London, England). England, p. 2136.
doi:10.1016/S0140-6736(13)61423-3.
Duong, V. et al. (2015) ‘Asymptomatic humans transmit
dengue virus to mosquitoes.’, Proceedings of the
National Academy of Sciences of the United States of
America, 112(47), pp. 14688–14693.
doi:10.1073/pnas.1508114112.
Gould E.A. (1998) ‘Dengue haemorrhagic fever: Diagnosis,
treatment, prevention and control’, Transactions of the
Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene. 2nd ed.
Geneva PP - Geneva: World Health Organization, p.
470. doi:10.1016/s0035-9203(98)91100-2.
Gubler, D.J. et al. (1981) ‘Viraemia in patients with
naturally acquired dengue infection.’, Bulletin of the
World Health Organization, 59(4), pp. 623–630.
Gubler, D.J. (1998) Dengue and dengue hemorrhagic fever,
Handbook of Zoonoses, Second Edition, Section B: Viral
Zoonoses. doi:10.1201/9780203752463.
Guo, C. et al. (2017) ‘Global Epidemiology of Dengue
Outbreaks in 1990-2015: A Systematic Review and
Meta-Analysis.’, Frontiers in cellular and infection
microbiology, 7, p. 317.

187
doi:10.3389/fcimb.2017.00317.
Mau, F., P.I, I. and Bule, S. (2014) ‘Dengue Hemorrhagic
Fever And TransOvarial Transmission Of Dengue
Virus In Aedes Spp .’, Penyakit Bersumber Binatang,
2(1), pp. 1–7.
Nguyen, N.M. et al. (2013) ‘Host and viral features of
human dengue cases shape the population of infected
and infectious Aedes aegypti mosquitoes’, Proceedings
of the National Academy of Sciences of the United
States of America, 110(22), pp. 9072–9077.
doi:10.1073/pnas.1303395110.
Pang, X., Zhang, R. and Cheng, G. (2017) ‘Progress
towards understanding the pathogenesis of dengue
hemorrhagic fever.’, Virologica Sinica, 32(1), pp. 16–22.
doi:10.1007/s12250-016-3855-9.
Screaton, G. et al. (2015) ‘New insights into the
immunopathology and control of dengue virus
infection.’, Nature reviews. Immunology, 15(12), pp.
745–759. doi:10.1038/nri3916.
Siler, J.F. (1926) Dengue: its history, epidemiology,
mechanism of transmission, etiology, clinical
manifestations, immunity, and prevention,. Manila:
Bureau of printing.
Sugianto, N.A. (2021) ‘Pathophysiologyof Dengue
Haemorrhagic Fever’, World Journal of Pharmaceutical,
10(14), pp. 218–223. doi:10.20959/wjpr202114-
22382.
Tantawichien, T. (2012) ‘Dengue fever and dengue
haemorrhagic fever in adolescents and adults.’,
Paediatrics and international child health, 32 Suppl
1(s1), pp. 22–27.
doi:10.1179/2046904712Z.00000000049.
Tjaden, N.B. et al. (2013) ‘Extrinsic Incubation Period of

188
Dengue: Knowledge, Backlog, and Applications of
Temperature Dependence’, PLOS Neglected Tropical
Diseases, 7(6), p. e2207. Available at:
https://doi.org/10.1371/journal.pntd.0002207.
U.S. Department of Health and Human Services (2009)
‘Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever Information
for Health Care Practitioners’, Center For Disease
Contol and Prevention, pp. 1–4.
Watts, D.M. et al. (1987) ‘Effect of temperature on the
vector efficiency of Aedes aegypti for dengue 2 virus.’,
The American journal of tropical medicine and hygiene,
36(1), pp. 143–152. doi:10.4269/ajtmh.1987.36.143.
WHO (2011) Comprehensive guidelines for prevention and
control of dengue and dengue haemorrhagic fever, WHO
Regional Publication SEARO. Available at:
http://scholar.google.com/scholar?hl=en&btnG=Sear
ch&q=intitle:Comprehensive+Guidelines+for+Preventi
on+and+Control+of+Dengue+and+Dengue+Haemorrh
agic+Fever#1.
WHO (2022) Dengue and severe dengue. Available at:
https://www.who.int/news-room/fact-
sheets/detail/dengue-and-severe-dengue.
World Health Organization (2009) ‘Dengue guidelines for
diagnosis, treatment, prevention and control : new
edition’. World Health Organization, p.
WHO/HTM/NTD/DEN/2009.1.
Ye, Y.H. et al. (2015) ‘Wolbachia Reduces the Transmission
Potential of Dengue-Infected Aedes aegypti’, PLOS
Neglected Tropical Diseases, 9(6), p. e0003894.
Available at:
https://doi.org/10.1371/journal.pntd.0003894

189
Profil Penulis
Ririn Pakaya
Penulis lahir di Limboto, 27 Mei 1989,
Pendidikan dasar, SMP dan SMA diselasaikan
di Kecamatan Limboto Kabupaten Gorontalo.
Penulis melanjutkan Pendidikan S-1 pada
Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Gorontalo
tahun 2007 dan memperoleh gelar sarjana Kesehatan
Masyarakat (SKM) Tahun 2011. Penulis melanjutkan
studi pada jenjang strata 2 magister pada Program studi
Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada Tahun 2014 dan memperoleh
gelar Master of Public Health (M.P.H) tahun 2016. Saat ini
penulis sedang melanjutkan studi Doktor (S3) pada
program studi Ilmu Kedokteran dan Kesehatan pada
Fakultas Kedokteran-Kesehatan Masyarakat dan
Keperawatan Universitas Gadjah Mada. Penulis
merupakan dosen tetap pada Perguruan Tinggi
Universitas Gorontalo sejak Tahun 2011 hingga saat ini.
Kegiatan akademisi (pengajaran, penelitian dan
pengabdian) penulis terutama berkaitan erat dengan
Kesehatan lingkungan, analisis kualitas lingkungan,
Sanitasi tempat-tempat umum, Demam berdarah dengue,
Penyakit akibat lingkungan, Personal Hygiene dan
Perubahan Iklim. Saat ini Penulis juga aktif sebagai
anggota The Climate Reality Project Indonesia dan Ikatan
Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia.
Email Penulis: ririn.pakaya@mail.ugm.ac.id

190
11
PENYAKIT FILARIASIS

Dr. Budi Yulianto, M.Kes


Poltekkes Kemenkes Surabaya

Gambaran Umum Filariasis

Filariasis atau penyakit kaki gajah (elephantiasis)


merupakan menular yang disebabkan parasite berupa
cacing baik (Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan
Brugia timori), perpindahan / transmisi filariasis dari
penderita ke host baru melalui gigitan nyamuk baik
Anopheles, Culex, Aedes dan Mansonia.1 Filariasis limfatik
dapat merusak sistem limfatik dan dapat menyebabkan
pembesaran abnormal bagian tubuh termasuk
pembengkakan skrotum, menyebabkan rasa sakit, cacat
permanen dan stigma sosial. Manifestasi penyakit ini
menyebabkan rasa sakit, limfedema, kaki gajah dan
pembengkakan skrotum dan dapat menyebabkan cacat
permanen. Pasien-pasien filariasis juga menderita
kerugian mental, sosial dan finansial yaitu hilangnya
peluang untuk memperoleh pendapatan yang
berkontribusi terhadap kemiskinan dan stigma sosial.
Filariasis yang disebabkan oleh parasite ini telah tersebar
luas di seluruh dunia. Menurut WHO (2022), pada tahun
2018 terdapat 893 juta orang yang tersebar di 49 negara
di dunia memiliki resiko tertular filariasis, dari jumlah
tersebut sebanyak 60% nya terdapat di Asia Tenggara dan

191
sebanyak 11 negara di Asia Tenggara dinyatakan sebagai
endemis Filariasis termasuk Indonesia (WHO,2022)2
Menurut Dirjen P2P Kemenkes RI (2021), bahwa di
Indoenesia pada tahun 2021 sebagian besar wilayah
Indonesia berjangkit filariasis yang tersebar di 236
Kabupaten maupun Kota di Indonesia dan 45,9%
merupakan wilayah endemis filariasis tersebar di 28
Provinsi. Jumlah Provinsi yang tidak memiliki
Kabupaten/Kota endemis (Provinsi non-endemis filariasis)
sebanyak 6 Propinsi diantaranya: DKI, Yogyakarta, Jawa
Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Utara.
Papua merupakan salah satu Provinsi di wilayah timur
Indonesia yang memiliki kasus Filariasis tertinggi sebesar
3.615 kasus, Nusa Tenggara Timur 1.534 kasus, dan
Jawa Barat sebanyak 641 kasus. Sedangkan Provinsi
yang memiliki kasus filariasis < 5 kasus diantaranya:
Bali, DI Yogyakarta, Kalimantan Utara, dan Gorontalo.
(Kemenkes RI, 2021)
Berdasarkan gambaran filariasis yang sudah menyebar di
sebagian besar wilayah di Indonesia meskipun angka
kejadian filariasis sudah menurun dibanding tahun-
tahun sebelumnya tetap perlu dilakukan upaya untuk
mencegahan, mengendalikan dan pengobatan secara
rutin terhadap penderita.

192
Gambar: Penderita Filariasis
(Sumber: Rafikasari,2016)
.

Etiologi Filariasis

Filariasis merupakan penyakit menular di masyarakat


yang disebabkan oleh infeksi parisit cacing Filaria yang
terdapat di dalam saluran kelenjar getah bening (limfatik)
dan mikrofilaria (anak cacing) hidup di dalam darah
perifer pada malam hari. Terdapat 3 jenis spesies cacing
Filariasis yang ada di Indonesia yaitu Wuchereria
Bancrofti, Brugia Malayi, Brugia Timori. Infeksi cacing
filaria dapat menyebabkan gejala klinis akut maupun
kronis. Diperkirakan 70% dari infeksi Filaria (Filariasis)
tidak menimbulkan gejala, namun apabila infeksi ini terus
berkembang dapat menjadi penyakit kronis yang
berkibatkan kecacatan seumur hidup. Infeksi Filariasis
limfatik pada tahap awal tidak menunjukan gejala dan
tanda-tanda eksternal gejala pada individu yang terinfeksi

193
(asimtomatik) namun dapat menyebabkan kerusakan
pada system limfatik dan ginjal serta mengubah system
kekebalan tubuh individu.

Gejala Filariasis

Gejala filariasis dibagi menjadi dua, yaitu gejala akut dan


gejala kronis. Gejala Filariasis akut merupakan gajala
yang muncul dalam kurun waktu tidak lama atau
muncul secara tiba-tiba dan memburuk secara cepat.
1. Gejala Filariasis Akut
Yang termasuk gejala Filariasis akut diantaranya:
a. Demam, biasanya terjadi berulang selama 3-5
hari, demam ini dapat hilang bila penderita
beristirahat, namun apabila penderita
beraktivitas berat maka demam akan timbul
kembali.
b. Pembengkakan kelenjar getah bening,
pembengkakan ini terjadi tanpa adanya luka
pada daerah paha, ketiak (limfademanitis)
tampak kemerahan, terasa panas dan sakit.
c. Radang saluran getah bening, setelah terjadi
pembengkakan pada kelenjar getah bening akan
terjadi radang pada bagian saluran getah bening
dan terasa panas serta sakit, menjalar dari
pangkal ke arah ujung kaki atau lengan.
d. Abses Filariasis, yaitu kondisi kelenjar getah
bening yang membengkak kemudian pecah dan
mengeluarkan nanah serta darah. Apabila
individu sudah mencapai pada tahap ini sudah
menunjukan infeksi tubuh sudah mulai
menyebar.

194
e. Pembesaran dini, merupakan gejala akhir
terjadinya pembesaran pada area tungkai,
lengan, payudara, dan testis. Pembengkakan ini
berwarna kemerahan dan terasa panas.

2. Gejala Filariasis Kronis


Gejala kronis adalah penyakit yang berkembang
secara bertahap dan memburuk dalam jangka waktu
yang lama. Gejala-gejala filariasis kronis pada
penderita filariasis meliputi terjadinya pembesaran
yang menetap pada tungkai, lengan, payudara, atau
testis. Pembesaran ini dapat disebabkan oleh
microfilaria dan cacing dewasa baik yang hidup
maupun yang mati.
Microfilaria biasanya tidak menimbulkan
kelainan, tetapi dalam keadaan tertentu dapat
menyebabkan occult filariasis. (penghancuran
mikrofilaria dalam jumlah yang berlebihan oleh sistem
kekebalan penderita).
Gejala yang ditimbulkan oleh cacing dewasa
menyebabkan limfadenitis (pembengkakan
jaringan) dan limfagitis retrograd dalam stadium
akut, disusul dengan obstruktif menahun.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO),
cacat tubuh sebagai akibat penyakit kaki gajah
sering menimbulkan stigma sosial dan kesehatan
mental yang kurang optimal, hilangnya peluang
memperoleh pendapatan, serta peningkatan biaya
pengobatan yang bisa berujung pada kemiskinan.

195
Diagnosis Filariasis

Menurut National Organization for Rare Disorder,


Filariasis atau penyakit kaki gajah perlu dilakukan
pemeriksaan atau tes darah yang bertujuan untuk
mendeteksi keberadaan larva cacing Wuchereria
bancrofti atau Brugia malayi. Keberadaan atau jumlah
parasit (parasitemia) dalam darah penderita lebih
banyak ditemukan pada waktu malam hari, sehingga
pengambilan sampel darah untuk mendeteksi jumlah
parasite sebaiknya dilakukan pada malam hari juga.
Diagnosis filariasis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium yang
meliputi hematologi, kimia klinik dan pemeriksaan
hapusan darah tetes tebal.
Diagnosis filariasis limfatik setidaknya didasarkan pada
empat pendekatan yaitu diagnosis klinis, diagnosis
parasitologis dan diagnosis serologis serta diagnosis
berdasarkan DNA. Tidak setiap penderita filariasis
limfatik memiliki manifestasi klinis tertentu. Terutama
penderita yang tinggal di daerah endemis filariasis
mayoritas penduduknya berstatus asimtomatik walaupun
di dalam darah perifernya terdapat mikrofilaria
(mikrofilaremia asimtomatik). Beberapa Teknik
pemeriksaan diperlukan untuk mendeteksi keberadaan
mikrofilaria dalam darah maupun deteksi keberadaan
cacing dewasa agar diagnosis filariasis limfatik ditegakkan
sedini mungkin sehingga penderita filariasis limfatik tidak
sampai jatuh pada kondisi filariasis kronis dengan
elefantiasis dengan segala dampaknya.
Diagnosis filariasis limfatik secara klinis dilakukan
berdasarkan gejala-gejala klinis yang ada pada penderita
stadium akut maupun stadium kronik. Kasus filariasis di
Indonesia umumnya ada 3 jenis filariasis limfatik sesuai
spesies cacing filaria sebagai penyebabnya. Ketiga jenis

196
filariasis limfatik tersebut yaitu filariasis bancrofti
penyebabnya Wuchereria bancrofti, filariasis malayi
penyebabnya Brugia malayi dan filariasis timori
penyebabnya Brugia timori. Gejala akut pada penderita
filariasis bancrofti berupa peradangan pada saluran limfe
genitalia (timbul funikulitis, epididimitis dan orkitis.
Sedangkan filariasis limfatik stadium kronik terjadi
khiluria, hidrokel testis, elefantiasis skroti maupun
elefantiasis seluruh tungkai atau lengan dan mammae.
Pada penderita filariasis malayi dan filariasis timori gejala
stadium akut berupa demam, limfadenitis, limfangitis
desendens, abses dan limfedema. Sedangkan gejala
penderita filariasis malayi stadium kronik terjadi
elefantiasis pada tungkai di bawah lutut ataulengan di
bawah siku (Rosanti, 2014)
1. Diagnosis Parasitologis
Diagnosis filariasis limfatik secara parasitologis
bertujuan untuk mengidentifikasi adanya mikrofilaria
dan cacing dewasa, baik di dalam darah, urin maupun
cairan hidrokel. Cacing dewasa dapat ditemukan di
dalam kelenjar/saluran limfe inang definitifnya.
a. Pemeriksaan Mikrofilaria di dalam Darah
Diagnosis dengan cara ini hanya dapat
mengidentifikasi mikrofilaria apabila tingkat
kepadatanya dalam darah tinggi. Sebaliknya
apabila tingkat kepadatanya rendah maka
mikrofilaria sulit untuk ditemukan/tidak
terdeteksi. Pemeriksaan mikrofilaria melalui
sediaan darah secara langsung dengan
menggunakan metode ini sebenarnya mudah
dilakukan karena metodenya mudah/dan
sederhana serta mudah pelaksanaanya, cepat
namun hasilnya kurang dapat dipercaya karena
hasilnya sering memberikan kesalahan hitung

197
terhadap jumlah mikrofilaria hal ini dikarenakan
mikrofilaria sering bergerak ke tepi gelas penutup
dan kemungkinan karena terjadinya
penggumpalan darah.
Cara pemeriksaan mikrofilaria ini dilakukan
dengan mengambil setetes darah dari ujung jari
kemudian diteteskan pada kaca obyek kemudian
ditutup dengan kaca penutup lalu diamati secara
langsung di bawah mikroskop dengan
pembesaran 10 x untuk melihat gerakan
mikrofilaria. (Denham et al.,1971).
b. Pemeriksaan Mikrofilaria di dalam Sediaan Darah
Tebal
Cara pemeriksaan mikrofilaria ini sering
digunakan karena lebih murah, sering digunakan
dilapangan untuk mengidentifikasi spesies.
Namun cara ini memiliki kelemahan yaitu
kadang-kadang terdapat mikrofilaria yang hilang
pada proses hemolisis dan pewarnaan, kelemahan
ini bisa diatasi dengan menggunakan kaca obyek
yang bersih atau dengan mengeringkan darah
selama lebih dari 12 jam untuk mencegah
hilangnya mikrofilaria pada proses hemolisis dan
pewarnaan (Partono & Idris,1977). Cara
pemeriksaan mikrofilaria di dalam sediaan darah
tebal dapat dilakukan dengan mengambil sampel
darah pada ujung jari 20-60 µl dengan
menggunkan pipet kapiler kemudian dibuat
sediaan darah pada kaca obyek kemudian
dilakuka pewarnaan Giemsa, selanjutnya
pewarnaan tersebut dilihat di bawah mikroskop
dengan pembesaran 10x.

198
c. Cara Pemeriksaan Mikrofilaria di dalam Darah
dengan Bilik Hitung
Cara pemeriksaan mikrofilaria di dalam darah
dengan bilik hitung ini tidak dapat digunakan
untuk melihat morfologi mikrofilaria. Cara ini
hanya dapat dilakukan di daerah yang sudah
diketahui spesiesnya. Pemeriksaan ini dilalukan
dengan cara mengambil 60 µl darah dari ujung jari
dan diencerkan dalam aquabides. Dari larutan ini
kemudian diteteskan pada bilik hitung untuk
dilihat mikrofilarianya di bawah mikroskop. Jika
tidak segera dapat diidentifikasi maka darah
dapat dilarutkan dalam asam asetat dan
kemudian di simpan (WHO, 1987).
d. Cara Pemeriksaan Mikrofilaria di dalam Darah
Filtrasi (Darah yang disaring)
Metode ini adalah metode yang paling peka dalam
mendeteksi mikrofilaria namun biayanya mebih
mahal, sehingga digunakan untuk tujuan tertentu
yaitu mendiagnosis perorangan atau untuk
mengevaluasi pasca pengobatan (WHO,1987).
Cara pemeriksaan mikrofilaria ini dilakukan
dengan mengambil 1-5 ml darah vena kmudian di
saring menggunakan membrane filter 5 µm yang
dipasang pada nukleopore. membrane filter ini
kemudian dikeringkan dengan fiksasi dan
diwarnai dengan Giemsa kemudian di lihat di
bawah mikroskop. Menurut McCarthy (2000)
penggunaan membran filter ini sangat mudah
untuk mendeteksi adanya mikrofilaria dan
menghitung beratnya infeksi serta sangat sesuai
untuk mendeteksi adanya mikrofilaria pada tahap
awal infeksi sebelum manifestasi klinis
berkembang.

199
e. Cara Pemeriksaan Mikrofilaria di dalam Darah
dengan Teknik Konsentrasi Knott’s
Untuk keperluan identifikasi mikrofilaria,
sensivitas teknik ini lebih rendah dari pada cara
filtrasi, hal ini dikarenakan mikrofilaria dapat
hilang atau rusak pada proses pengendapan. Cara
pemeriksaan mikrofilaria di dalam darah
menggunakan teknik konsentrasi Knott’s
dilakukan dengan cara mengencerkan darah vena
dengan menggunakan formalin 2% dengan
perbandingan 1:10. Kemudian dilakukan
sentrifugasi dengan kecepatan 1500 rpm dalam
waktu 5 menit. Dari hasil sentrifugasi ini bagian
supernatan dibuang, sedangkan bagian endapan
diambil lalu diteteskan pada kaca obyek dengan
menambah tetesan metilen biru 1% dengan
tujuan agar mikrofilaria lebih jelas terlihat melalui
mikroskop.
f. Cara Pemeriksaan Mikrofilaria di dalam Darah
dengan Teknik Quantitative Buffy Coat (QBC)
Pemeriksaan mikrofilaria dengan cara ini
dilakukan dengan mengambil darah
menggunakan pipet kapiler yang sudah heparin.
EDTA dan Acridine orange kemudian dilanjutkan
dengan sentrifugasi dengan tujuan agar
mikrofilaria terkonsentrasi di daerah buffy coat.
Pemberian acridine orange pada metode ini adalah
memberikan pewarnaan pada mikrofilaria agar
morfologinya dapat terlihat dengan jelas di bawah
mikroskop (Long et al., 1990).
g. Pemeriksaan Mikrofilaria dalam Urin atau Cairan
Hidrokel
Cara pemeriksaan mikrofilaria dengan
menggunakan teknik ini mudah dikerjakan.

200
Teknik ini dilakukan dengan mengambil urine
penderita sebanyak 15 ml kemudian di
sentrifugasi dengan kecepatan 2000 rpm selama 5
menit. Supernatan dari hasil sentrifugasi dibuang,
sedangkan endapanya dilakukan pemeriksaan
dengan menggunakan mikroskop (WHO, 1987).
h. Pemeriksaan Cacing Dewasa di dalam Kelenjar
atau Saluran Limfe
Pemeriksaan cacing dewasa di dalam kelenjar
atau saluran limfe dapat dilakukan dengan cara:
1) Biopsi kelenjar limfe.
Diagnosis dengan cara biopsi kelenjar limfe ini
jarang dilakukan untuk mengidentifikasi
filariasis. Metode ini diperlukan pengetahuan
mikroanatomi penampang lintang cacing
dewasa agar dapat dilakukan diagnose
dengan pasti. Keberadaan mikrofilaria
disekitar cacing dewasa atau dalam uterusnya
akan sangat membantu dalam diagnosisnya.
Biopsi kelenjar getah bening untuk
mendiagnosis cacing dewasa dilakukan
dengan membuat sediaan jaringan, umumnya
cacing dewasa sudah mati bahkan sering kali
telah mengalami klasifikai (WHO, 1987).
2) Cara ultrasound.
Metode ini digunakan untuk mendiagnosa
efek obat anti filaria terhadap stadium dewasa
secara invivo (Dreyer et al., 1995). Dengan
menggunakan ultrasound akan diketahui
adanya Gerakan cascing dewasa dalam
saluran limfe di sekitar skrotum (filaria dance
sign (Amaral et al., 1994). Untuk filariasis
bancrofti dengan status mikrofilaremia, 80%

201
dapat menunjukkan filaria dance sign (Noroes
et al., 1996). Menurut Amaral et al (1994)
dengan menggunakan USG akan membantu
lokasi dan memvisualisasikan gerakan cacing
W.bancrofti hidup pada pembuluh limfe
skrotum penderita filariasis asimptomatik
mikrofilaremia. Sedangkan USG tidak dapat
digunakan pada pasien dengan limfoedema
sebab cacing dewasa tidak ada pada stadium
limfoedema demikian juga pada Brugia
malayi. Namun pada filariasis malayi
disebabkan karena spesies cacing
penyebabnya tidak menyebabkan manifestasi
klinis pada genitalia (Shenoy, 2000).
3) Cara High-power videomicroscopy.
Cara ini digunakan untuk
mengidentifikasi/melihat cacing dewasa yang
masih hidup pada saluran limfe tungkai
hewan coba (Case et al, 1992). Cara ini belum
diujicobakan untuk diagnosis filariasis pada
manusia. Dari beberapa cara untuk
mengidentifikasi/ mendiagnosis filariasis
limfatik, cara pemeriksaan darah dari jari
atau Survei Darah Jari (SDJ) dengan
menggunaakan sediaan darah tebal masih
banyak digunakan setelah menentukan
endemisitas terlebih dahulu suatu wilayah
maupun untuk mengevaluasi hasil
pengobatan.

202
Agen Filariasis

1. Wuchereria Bancrofti
Pada spesies ini cacing dewasa menyebabkan
filariasis brancrofti, dan mikrofilaria dapat
menimbulkan occult filariasis. Parasit ini tersebar
luas di daerah tropis dan subtropis yaitu di Afrika,
Amerika, Eropa dan Asia termasuk di Indonesia
(WHO,2020). Cacing dewasa Wuchereria bancrofti
berbentuk seperti rambut dan berwarna putih susu,
mempunyai panjang sekitar dua spikulum yang tidak
sama panjang. Cacing jantan mempunyai panjang
sekitar ±10 cm dan mempunyai ekor runcing.
Cacing dewasa hidup dalam saluran dan kelenjar
limfe (limfatik), tidak ada hewan yang bertindak
sebagai reservoir. Larva filaria atau yang biasa
disebut mikrofilaria mudah ditemukan dalam darah
perifer atau darah tepi pada malam hari, yang
mempunyai panjang sampai 300 mikron dan lebar 8
mikron, mempunyai selubung hialin dengan inti sel
somatik berbentuk granul yang tersusun tidak
mencapai ujung ekor. (WHO)

Gambar: Wuchereria Bancrofti


(sumber: https://medlab.id/wuchereria-bancrofti/)

203
Filariasis bancrofti kebanyakan bersifat periodik
nokturnal, mikrofilaria hanya ditemukan dalam
darah perifer pada waktu malam hari. Di daerah
P asifik mikrofilaria lebih banyak ditemukan pada
siang hari dan malam hari, walaupun di Thailand
ditemukan mikrofilaria yang bersifat subperiodik
nokturnal. Pada spesies Wuchereria Bancrofti,
manusia merupakan satu-satunya host defenitif dan
nyamuk yang bertindak sebagai vektor dalah dari
genus Culex, Aedes, dan Anopheles.
2. Brugia malayi
Brugia malayi ada yang hidup pada manusia, namun
ada juga yang bersifat zoonotic artinya penyakit
filariasis dari spesies ini juga dapat ditularkan melalui
hewan mamalia sebagai hospes definitfnya (reservoir
host) kepada manusia baik agen berupa virus, bakteri,
jamur, serta parasite (cacing filaria).
Burgia malayi berukuran panjang 170 – 260 μm dan
lebar ± 6 μm, memiliki sarung / sheath. ujung bagian
anterior berbentuk bulat / tumpul dengan 2 buah
stylet (alat pengebor) pada ujung posterior berbentuk
runcing.

Gambar Brugia malayi


(sumber :https://medlab.id/brugia-malayi/)

204
Periodisitas Brugia Malayi bermacam-macam, ada
yang nokturnal periodik, nokturnal subperiodik atau
non periodik. Secara epidemiologi Brugia malayi
memiliki 3 tipe, yaitu B malayi yag ditemukan di areal
persawahan memiliki sifat periodic nokturna
(mrikrofilaria berada di darah tepi pada malam hari).
Brugia malayi yang ditemukan di areal rawa memiliki
sifat subperiodik nokturna dan Brugia malayi yang
ditemukan di hutan memiliki sifat non periodic.
Malayan filariasis atau filariasis malayi merupakan
sebutan untuk filariasis yang disebabkan oleh infeksi
Brugia malayi. B. malayi dapat dibagi dalam 2 varian
yaitu yang hidup pada manusia, dan hewan, misalnya
kera, kucing, dan lain-lain. (Gandahusada, 2003)
Sifat periodik nokturna B. malayi menunjukkan
bahwa penularan filariasis terjadi pada malam hari.
Hal ini merupakan hasil adaptasi yang terjadi antara
perilaku nyamuk vektor yang menggigit pada malam
hari dengan perilaku mikrofilaria yang bersifat
nokturna. Vektor utama filariasis adalah nyamuk
Culex dan Anopheles, dan Anopheles barbirostris
merupakan salah satu vektor alaminya. B. malayi
yang hidup pada manusia di tularkan oleh nyamuk
Anopheles.
Parasit Burgia malayi memiliki siklus hidup sama
dengan siklus hidup Wuchereria
bancrofti. Keberadaan mikrofilaria B malayi di dalam
tubuh manusia melalui gigitan nyamuk dari genus
(Mansonia, Culex, Aedes, dan Anopheles). Dalam
tubuh manusia mikrofilaria masuk ke dalam saluran
limfa kemudian menjadi dewasa. Dari hasil kopulasi
cacing jantan dan betina menyebabkan cacing gravid
dan mengeluarkan larva mikrofilaria. Mikrofilaria ini
hidup di dalam pembuluh darah dan pembuluh limfa.
Mikrofilaria B malayi dapat masuk ke dalam tubuh

205
nyamuk pada saat nyamuk menggigit dan menghisap
darah manusia. Mikrofilaria kemudian berkembang
menjadi larva stadium 1, kemudian berubah menjadi
larva stadium 2 dan larva stadium 3 dan siap
ditularkan kepada manusia.
3. Brugia Timori
B. Timori merupakan spesies dari filariasis yang
ditemukan di Nusa Tenggara Timur dan Timor Timur
yang pertama kalinya diperkenalkan oleh Omiyati dan
Tjoen pada tahun 1966. Nematoda ini dan memiliki
sifat periodik nokturna. Nematoda ini hanya di
temukan menginfeksi pada manusia. Nematoda
dewasa jantan dan betina dari spesies ini hidup di
saluran dan pembuluh limfe, bentuknya halus seperti
benang dan berwarna putih susu. Cacing dewasa
betina mengeluarkan mikrofilaria yang memiliki
sarung. periodisitas mikrofilaria B. timori memiliki
sifat periodic noturna. Vektor yang memindahkan
mikrofilaria pada manusia adalah nyamuk Anopheles
barbirostris yang banyak berkembang biak di daerah
sawah dekat pantai maupun daerah pedalaman
sehingga nelayan dan petani di daerah ini memiliki
resiko terinfeksi

Gambar : Brugia timori


(sumber :https://medlab.id/brugia-timori/)

206
Cacing B timori dewasa memiliki bentuk mirip dengan
W. bancrofti, sehingga sulit untuk membedakan.
Morfologi B timori betina dewasa memiliki panjang
mencapai 21-39 mm diameter 0,1 mm, sedangkan
cacing jantan memiliki panjang 22-23 dan diameter
0,09 mm dengan ekor melingkar. Cacing betina dapat
menghasilkan mikrofilaria dengan ukuran 280-310
mikron dengan diameter 7 mikron. Mikroflaria B
Timori memiliki sarung berwarna pucat, lekuk badan
kaku, panjang ruang kepalanya berukuran 3 kali
lebarnya. Badan mikrofilaria B timori ini mempunyai
inti yang letaknya tidak beraturan dengan 2 ekor,
memiliki 2 inti tambahan seperti halnya B malayi.
Masa pertumbuhan B timori di dalam nyamuk kurang
lebih 10 hari.

Siklus Hidup Cacing Filaria

Siklus hidup cacing filaria merupakan perkembangan


cacing filaria sejak dari mikrofilaria sampai menjadi
cacing dewasa termasuk mikrofilaria yang siap
menginfeksi pada manusia. Siklus hidup filaria dapat
dijelaskan melalui tahap perkembangan di dalam tubuh
nyamuk (vector) dan tahap perkembangan di dalam
tubuh manusia.

1. Tahap Perkembangan Filaria Pada Tubuh Nyamuk


(Vector)

Tahapan ini dimulai pada saat nyamuk (vector)


menggigit manusia yang terinfkesi cacing filaria
secara bersamaan terhisap beberapa mikrofilaria
bersama darah masuk ke lambung nyamuk. Di
dalam lambung nyamuk mikrofilaria melepaskan
selubungnya dan menerobos dinding lambung ke

207
arah rongga badan hingga ke jaringan otot thoraks.
Di jaringan otot thoraks terjadi perkembangan larva
dari stadium 1 menjadi stadium 2 dan kemudian
berkembang menjadi stadium 3 yang bersifat infektif
pada manusia. Waktu yang diperlukan berkembang
dari larva stadium 1 sampai dengan stadium 3
(infektif) bagi setiap jenis sebagai berikut : W Bancrofti
10-14 hari, B Malayi dan B Timori 7-10 hari . Larva
stadium 3 bergerakan menuju probosis (alat tusuk)
nyamuk yang sewaktu-waktu dapat memindahkan
larva infeksif tersebut kepada manusia melalui
gigitan nyamuk hingga berulang kali agar terjadi
infeksi pada manusia. Mikrofilaria selama di dalam
tubuh nyamuk tidak mengalami perkembangiakan
namun hanya mengalami perubahan bentuk.
(Cyclicodevelopmental).
2. Tahap Perkembangan Filaria pada Tubuh Manusia
dan Hewan Perantara (Hospes Reservoir).
Larva stadium 3 pada tubuh manusia akan masuk ke
system limfe kemudian tumbuh menjadi cacing
dewasa betina atau jantan dan terjadi kopulasi
sehingga cacing betina menghasilkan mikrofilaria
beredar dalam darah manusia (penderita filariasis).
Cacing betina dewasa dapat menghasilkan 50.000
larva per hari. Waktu yang diperlukan dari larva
stadium 3 mencapai cacing dewasa untuk B Bancrofti
sampai menghasilkan mikrofilaria ± 9 bulan baik
pada manusia maupun tubuh hewan reservoir .
sedangkan B. Malayi dan B Timori selama 3 bulan.

208
Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Vektor Pembawa
Mikrofilaria

1. Kebiasaan / Perilaku Nyamuk sebagai Vector


Filariasis.
Filariasis dapat ditularkan dari penderita ke host baru
melalui gigitan vektor nyamuk (vector born disease)
Anopheles, Chulex dan Mansonia. Peningkatan
populasi vector di daerah endemis dapat
meningkatkan resiko terjadinya penularan filariasis.
Untuk menekan resiko terjadinya penularan filariasis
perlu dipahami kebiasaan vector dalam berkembang
biak, kebiasaan beristirahat, dan kebiasaan waktu
mencari makan. Nyamuk yang terinfeksi mikrofilaria
dan sudah berkembang menjadi larva stadium 3
berpeluang tinggi menginfeksi pada host baru.
Nyamuk spesies Cx. quinquefasciatus dan Aedes
beristirahat di luar dan di dalam rumah (endofilik)
dengan memilih tempat, perabotan berwarna gelap
dan pakaian yang digantung. Kebiasaan nyamuk ada
yang suka menggigit di dalam rumah (endofagik) dan

209
di luar rumah (eksofagik) dan suka tinggal di luar
rumah (eksofilik) memiliki peluang bagi masyarakat
digigit nyamuk yang terinfeksi. Kebiasaan nyamuk
mencari makan ada malam hari.
2. Kebiasaan Masyarakat.
Kebiasaan masyarakat di daerah endemis dengan
beraktifitas di luar rumah sampai larut malam
memiliki peluang terinfeksi melalui gigitan vector yang
terinfeksi, Selama beraktifitas dimalam hari
masyarakat perlu mengantisipasi dengan
menggunakan repelent. Di daerah endemis laki-laki
yang banyak beraktifitas di luar rumah pada malam
hari memiliki peluang terinfeksi larva stadium 3
melalui gigitan vector sehingga insidensi filriasis laki-
laki lebih tinggi disbanding peremuan.

Pengendalian Filariasis

Penanggulangan Filariasis merupakan kegiatan dan atau


tindakan yang ditujukan untuk menurunkan prevalensi
(microfilaria rate) serendah mungkin agar resiko terjadinya
penularan Filariasis dapat dihindari. Pengendalian
filariasis di suatu wilayah yang dilakukan Pemerintah
(Pusat dan Daerah) dengan melibatkan peran serta
masyarakat. Pemerintah dengan mengerahkan tenaga
kesehatan yang memiliki keahlian dan kompetensi serta
dapat mengikut sertakan kader. Pengendalian Filariasis
dilakukan melalui Program Eliminasi Filariasis yang
pertama kali dicanangkan oleh World Health Assembly
tahun 1997 dengan menetapkan resolusi “Elimination of
Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem”, resolusi
ini diperkuat oleh WHO tahun 2000 melalui deklarasi “The
Global Goal of Lymphatic Filariasis as a Public Health
Problem by the Year 2020”. Kementerian Kesehatan pada

210
tanggal 8 April 2002 turut mencanangkan dimulainya
eliminasi filariasis limfatik global.
Tujuan utama eliminasi filariasis adalah memutus mata
rantai penularan serta mencegah dan membatasi
kecacatan. Kebijakan dalam upaya Pengendalian dan
Penanggulangan Filariasis dituangkan dalam Peraturan
Menteri Kesehatan No. 94 Tahun 2014 tentang
Penanggulangan Filariasis. Strategi dan kegiatan pokok
penanggulangan Filariasis sesuai dengan PMK RI No 94
Tahun 2014, sebagai berikut:
1. Strategi:
a. Memutuskan rantai penularan dengan Pemberian
Obat Pencegahan secara Massal (POPM) Filariasis
di Kabupaten/Kota Endemis Filariasis
b. Mencegah dan membatasi kecacatan
c. Pengendalian vektor secara terpadu
d. Memperkuat surveilans, jejaring laboratorium dan
mengembangkan penelitian
e. Kerja sama lintas batas daerah dan negara,
terutama dalam rangka memutus rantai
penularan Filariasis
2. Kegiatan pokok penanggulangan Filariasis:
a. Surveilans Kesehatan, dilaksanakan berbasis
indikator dan berbasis kejadian dengan
melakukan analisis terhadap data yang
dikumpulkan melalui penemuan penderita baik
secara aktif (survey darah jari & survey kasus
klinis) dan secara pasif (penderita yang datang ke
fasilitas pelayanan kesehatan dan laporan
masyarakat.
b. Survei data dasar prevalensi mikrofilaria
bertujuan untuk menentukan wilayah endemis

211
c. Filariasis dan untuk mengevaluasi keberhasilan
penurunan prevalensi mikrofilaria setelah
kegiatan POPM. Survei evaluasi penularan
Filariasis bertujuan untuk mengtahui ada atau
tidak adanya penularan filariasis sesudah paling
sedikit 5 tahun kegiatan POPM filariasis
dilakukan.
d. Penanganan Penderita, dilakukan melalui
pengobatan dan perawatan setiap penderita yang
ditemukan oleh tenaga kesehatan atau pada
fasilitas pelayanan kesehatan.
e. Pengendalian factor resiko, dilakukan dengan
memutus mata rantai penularan melalui POPM
Filariasis di wilayah endemis dan upaya
perlindungan dari gigitan nyamuk. Pengndalian
factor resiko juga dapat dilakukan pengendalian
secara terpadu sesuai dengan ketentuan.
f. Komunikasi, informasi, dan edukasi dilakukan
dengan cara sosialisasi dan advokasi ditujukan
untuk:
 Peningkatan pengetahuan masyarakat
terhadap gejala, cara penularan, penanganan
penderita, dan reaksi obat Filariasis;
 Peningkatan pengetahuan dan keterampilan
masyarakat dalam pencegahan Filariasis;

 Kesinambungan pelaksanaan kegiatan


Penanggulangan Filariasi

Pengobatan Filariasis

Pengobatan penderita filariasis di daerah endemis


ditujukan untuk mematikan mikrofilaria secara serentak
kepada semua penduduk sasaran (usia 2-70 tahun)
melalui kegiatan Pemberian Obat Pencegahan Secara

212
Massal atau serentak (POPM) Filariasis. POMP
dilaksanakan setiap setahun sekali sedikitnya selama 5
tahun berturut-turut. Selain dilakukan pengobatan
secara masal juga dilakukan upaya perlindungan dari
gigitan nyamuk. Untuk mementukan wilayah endemis
Filariasis dari Kabupaten/Kota didasarkan pada hasil
survei data dasar prevalensi mikrofilaria yang
menunjukkan angka mikrofilaria (microfilaria rate) ≥ 1%.
Apabila hasil survei evaluasi penularan dari suatu daerah
Kabupaten/Kota menunjukkan angka mikrofilaria
(microfilaria rate) < 1% (satu persen), pemberian obat
Filariasis hanya dilakukan terhadap Penderita saja.
Pelaksanaan POPM Filariasis wajib diteruskan selama 2
(dua) tahun apabila berdasarkan hasil survei evaluasi
penularan Filariasis masih terjadi penularan dan/atau
cakupan pengobatan tidak memenuhi persyaratan
minimal 65 % dari penduduk sasaran. Pelaksanaan
POPM Filariasis dihentikan apabila dari hasil survei
evaluasi penularan Filariasis sudah tidak terjadi
penularan. Meskipun POPM sudah dihentikan maka
setelah 2 tahun wilayah tersebut tetap dilakukan survey
ulang penularan filariasis.
Dalam melaksanakan POPM juga harus diperhatikan
kejadian Ikutan Pasca Pengobatan Filariasis sebgai gejala
yang timbul akibat reaksi imunitas seseorang terhadap
cacing filaria yang mati dan gejala yang timbul akibat efek
samping obat Filariasis setelah POPM Filariasis atau
pengobatan penderita Filariasis dengan mengacu pada
cara penatalaksanaan kasus di lapangan/masyarakat
atau di fasilitas pelayanan kesehatan berdasarkan
pertimbangan medis dan/atau laboratorium.

213
Daftar Pustaka

Amaral, F., Dreyer, G., Figueredo-Silva, J.,Noroes, J.,


Cavalcanti,A., Samico, C.S., Santos, A. And outinho,
A. 1994. Adultworms detected by ultrasonographhy in
human bancroftian filariasis. Am.J.Trop.Med.Hyg. 50:
753-757
Case, T.C.,Witte, M.H., Way, D.L., Witte. C.L., Crandal,
C.A.and Crandal, R.B. 1992.Videomicroscopy of
intralymphatic dwelling Brugia malayi.
Ann.Med.Parasitol. 86 (4): 435-438
Diana Rafikasari, 2016, Penderita Kaki Gajah di
Indonesia Mencapai 13.032, SINDOnews.com pada
Selasa, 27 September 2016 - 14:25.
https://lifestyle.sindonews.com/berita/1142549/15
5/penderita-kaki-gajah-di-indonesia-mencapai-
13032.
Gadis et al. (2021) Filariasis Diagnostic Test Using the
Rapid Diagnostic Test (RDT) Brugia malayi on
Microscopic Examination in Buntoi Village, Gunung
Mas Regency, Central Kalimantan Province,
file:///C:/Users/ASUS%20A407U/Downloads/4461-
Article%20Text-40196-3-10-20211216.pdf BALABA
Vol. 17 No. 2, Desember 2021: 107-118
Gandahusada S, Ilahude HD, Pribadi W. Parasitiologi
Kedokteran Edisi Ketiga. Jakarta: Fakultas
kedokteran Universitas Indonesia; 2003.
Kemenkes RI (2021), Profil Kesehatan Indonesia Tahun
2020, Kementerian Kesehatan RI, Jakarta,
Kemenkes RI, 2014, Peraturan Menteri Kesehatan RI
No.94 Tahun 2014 tentang Penanggulangan Filariasis.

214
McCarthy, J.2000. Diagnosis of lymphatic filarial
infection. In: Lymphatic Filariasis. Nutmant TB.ed .
Imperial College Press.London.127-41
National Organization for Rare Disorder (NORD), Rare
Disease Database, https://rarediseases.org/rare-
diseases/filariasis/ , (diakses 23 Mei 2022)
Partono, F.1987.The spectrum of disease in lymphatic
filariasis. Ciba Foundation Symphosium 127. John
Wiley & Son. P: 15-31
Shenoy, RK., John A., Hameed S. 2000. Apparent failure
of ultrasonography to detect adult worms of Brugia
malayi. Ann Trop Med Parasitol. 94: 77-82
WHO 2013 Vector Biology and Profile in Global Programme
to Eliminate Lymphatic Filariasis
WHO,2020, World Health Organization. Lymphatic
filariasis 2020 May 13]. Available from:
https://www.who.int/news-
room/factsheets/detail/lymphatic-filariasis
WHO. 1987. Control of lymphatic filariasis: A manual for
health personal.Geneva. Switzerland
Word Health Organization. Lymphatic filariasis, 16 Maret
2022 https://www.who.int/news-room/fact-
sheets/detail/lymphatic-filariasis (diakses 23 Mei
2022)
World Health Organization. Lymphatic filariasis
(Elephantiasis) – Global [Internet]. 2013 [cited 2020
May 13]. Available from:
https://www.who.int/healthtopics/lymphatic-
filariasis#tab=tab_1
World Health Organization. Sustaining the drive to
overcome the global impact of neglected tropical

215
diseases: second WHO report on neglected tropical
diseases. Switzerland; 2016.

216
Profil Penulis
Budi Yulianto
Ketertarikan Penulis terhadap penyakit
Filariasis sebagai penyakit berbasis
lingkungan sesuai dengan latar belakang
keilmuan yang penulis tekuni. Menekuni
bidang Kesehatan lingkungan dimulai
Penulis belajar di SPPH Madiun (1984) bidang Kesehatan
lingkungan (Diploma I), Akademi Kesehatan Lingkungan
Depkes Surabaya (Diploma 3/1994), Magister Kesehatan
Masyarakat Unair minat Kesehatan Lingkungan (2002),
Program Doktor Ilmu Lingkungan UNS Surakarta (2018).
Karier Penulis dimulai dari Guru SPPH Tahun 1986-1995,
kemudian penulis diangkat sebagai Dosen Tetap AKL
Depkes Madiun sejak 1995-2000. Sejak tahun 2000
penulis sebagai Dosen Tetap di Prodi D3 Kesehatan
Lingkungan Poltekkes Kemenkes Surabaya.
Sebagai dosen Penulis aktif melaksanakan penelitian,
pengabdian kepada masyarakat dan menulis Kesehatan
Kerja (Monograf), Buku Pegangan Bagi Siswa SKM
Kesehatan (Penerbit EGC), BookChapter, serta sebagai
editor dibeberapa penulisan.
Email Penulis: budyul.by@gmail.com

217
218
12
PENANGANAN PENYAKIT
MENULAR

Marselia Sandalayuk, S.KM., M.Kes.


Universitas Gorontalo

Latar Belakang

Derajat kesehatan masyarakat merupakan cerminan


kualitas sumber daya suatu bangsa dalam menciptakan
kesejahteraan bersama. Salah satu indikator yang
digunakan untuk mengukur derajat kesehatan
masyarakat adalah persentase penduduk yang
mempunyai keluhan kesehatan. Salah satu “Isu Strategis
dan Rancangan Kebijakan Pembangunan Kesehatan
2015-2019” sebagai tindak lanjut pencapaian target
MDGs pada tahun 2015 yaitu pengendalian penyakit
menular dan penyakit tidak menular (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2015) dalam jurnal
(Setiawan, Ilyas and Wibowo, 2018).
Prioritas pencegahan dan pengendalian penyakit menular
tertuju pada pencegahan dan pengendalian penyakit
HIV/AIDS, tuberculosis, pneumoni, hepatitis, malaria,
demam berdarah, influenza, flu burung dan penyakit
neglected diseases antara lain kusta, frambusia, filariasis
dan chsitosomiasis. Selain penyakit tersebut, penyakit
yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) seperti polio,
campak, difteri, pertusis, hepatitis B dan tetanus baik
pada maternal maupun neonatal juga tetap menjadi
perhatian walaupun pada tahun 2014 Indonesia telah

219
dinyatakan bebas polio dan tahun 2016 sudah mencapai
eliminasi tetanus neonatorum. Termasuk prioritas dalam
pengendalian penyakit menular adalah pelaksanaan
Sistim Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa,
Kekarantinaan Kesehatan untuk mencegah terjadinya
Kejadian Kesehatan yang Meresahkan (KKM) dan
pengendalian penyakit infeksi emerging (Direktorat
Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, 2018).
Mekanisme penularan suatu penyakit umumnya terjadi
dari penginfeksi kepada yang rentan. Hampir semua
penyakit infeksi dan penyebaran penyakit melalui rantai
infeksi sudah diketahui, akan tetap interaksi penularan
pada populasi sangat kompleks sehingga sulit memahami
dinamika penyebaran penyakit berskala besar tanpa
struktur formal.

Pemodelan Epidemiologi

Pemodelan epidemiologi atas penularan penyakit infeksi


semakin berpengaruh pada teori dan praktek penanganan
dan pengendalian penyakit. Pemodelan matematika pada
penyebaran penyakit infeksi telah menjadi bagian dari
pengambilan keputusan kebijakan epidemiologi di banyak
negara maju, termasuk United Kingdom, Belanda, Canada
dan Amerika Serikat. Melihat hal ini maka pendekatan
pemodelan menjadi sangat penting untuk pengambilan
keputusan tentang program pengendalian penyakit
infeksi, dalam hal ini bentuk intervensi kesehatan
masyarakat (Djafri, 2015).
Perhatian dalam pemodelan epidemiologi dititikberatkan
pada pemahaman terminologi penyakit menular yang
biasanya dan paling sederhana dikategorikan sebagai
akut atau kronis. Istilah akut mengacu pada “cepat” atau
kata lain disebut juga “infeksi”, di mana respon imun
relatif cepat menghilangkan patogen setelah periode

220
waktu yang singkat (hari atau minggu) termasuk
influenza, distemper, rabies, cacar air dan rubella.
Sedangkan infeksi kronis, berlangsung selama jangka
waktu yang lebih lama (bulan atau tahun) termasuk
herpes dan chlamydia.
Model dengan berfokus pada infeksi akut, dengan asumsi
patogen penyebab penyakit untuk jangka waktu yang
diikuti oleh (biasanya seumur hidup) imunitas. Skenario
ini secara matematis digambarkan oleh apa yang disebut
model SIR (Dietz 1967), model dasar didalam pemodelan
epidemiologi penyakit menular. Fomula ini yang awalnya
dipelajari secara mendalam oleh Kermack dan
McKendrick (1927), mengkategorikan pejamu (host) dalam
suatu populasi sebagai kelompok rentan (Susceptible)
(jika sebelumnya tidak terpajan patogen penyakit ),
terinfeksi (Infected) (jika saat ini terinfeksi oleh patogen ),
dan pulih (Recovered) ( jika mereka telah bersih dari
infeksi ) (Djafri, 2015).

Gambar 1. Model SIR dalam Pemodelan Epidemiologi

Pemodelan epidemiologi dapat menjelaskan fenomena


yang terjadi di lapangan dan ukuran epidemiologi didalam
pemodelan merupakan indikator yang penting untuk
pengambilan keputusan didalam menetapkan langkah-
langkah pencegahan dan penanggulangan penyakit
(Evidence Based). Metodologi ilmiah menjadi penting
didalam membangun kerangka penelitian kesehatan, baik

221
penegakan diagnosis, maupun langkah-langkah
penanggulangan dan pemberantasan penyakit.

Penyakit Menular

Penyakit menular adalah penyakit yang disebut juga


penyakit infeksi yang dapat menular ke manusia dimana
disebabkan oleh agen biologi, antara lain virus, bakteri,
jamur dan parasit; bukan disebabkan faktor fisik atau
kimia; penularan bisa langsung atau melalui media atau
vektor dan binatang pembawa penyakit. Penyakit menular
masih menjadi masalah besar kesehatan masyarakat yang
dapat menimbulkan kesakitan, kematian dan kecacatan
yang tinggi sehingga perlu dilakukan penyelenggaraan
penanggulangan melalui upaya pencegahan,
pengendalian dan pemberantasan yang efektif dan efisien.
Penyakit menular yang bisa menjadi wabah
adalah kejadian berjangkitnya
suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah
penderita meningkat secara nyata melebihi dari pada
keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta
dapat menimbulkan malapetaka. COVID-19 yang
disebabkan oleh penularan dan infeksi Virus SARSCoV2
merupakan contoh penyakit menular yang telah menjadi
wabah bahkan pandemi yang melanda hampir seluruh
penjuru dunia (IHC, 2022).
1. Jenis Penyakit Menular:
a. Berdasarkan cara penularannya, penyakit
menular dikelompokkan menjadi:
Penyakit menular langsung; dan
b. Penyakit tular vektor dan binatang pembawa
penyakit.

222
2. Penyakit Menular Langsung:
Beberapa penyakit menular langsung, antara lain:
Difteri; Pertusis; Tetanus; Polio; Campak; Typhoid;
Kolera: Rubella; Yellow Fever; Influensa; Meningitis;
Tuberkulosis; Hepatitis; penyakit akibat
Pneumokokus; penyakit akibat Rotavirus; penyakit
akibat Human Papiloma Virus (HPV); penyakit Virus
Ebola; MERS-CoV; Infeksi Saluran Pencernaan;
Infeksi Menular Seksual; Infeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV); Infeksi Saluran
Pernafasan; Kusta; dan Frambusia.
3. Penyakit Tular Vektor dan Binatang Pembawa
Penyakit:
Beberapa penyakit tular vektor dan binatang
pembawa penyakit antara lain : Malaria; Demam
Berdarah (DBD); Chikungunya; Filariasis dan
Kecacingan; Schistosomiasis; Japanese Enchepalitis;
Rabies; Antraks; Pes; Toxoplasma; dll.

Transisi Epidemiologi

Transisi epidemiologi atau perubahan pola penyakit


adalah keadaan terjadinya perubahan pola penyakit,
dimana saat ini penyakit menular masih belum teratasi
dengan baik namun di sisi lain penyakit tidak menular
terus mengalami peningkatan. Perubahan ini disebabkan
oleh beberapa faktor diantaranya adalah akibat gaya
hidup yang tidak sehat seperti merokok, penyalahgunaan
zat, kebiasaan tubuh kurang bergerak, pola makan tidak
seimbang, cedera akibat kecelakaan dan tindak
kekerasan. Perubahan gaya laju modernisasi yang cepat
dan berkembangnya nilai-nilai baru sebagai dampak dari
derasnya arus globalisasi saat ini.
Transisi epidemiologi ditandai dengan munculnya kembali
penyakit menular yang sebelumnya telah dapat

223
dikendalikan (re-emerging disease) seperti polio; dan
penyakit menular jenis baru yang sebelumnya belum ada
(new emerging disease) seperti Middle East Respiratory
Syndrome – Corona Virus (MERS-CoV) (Yuningsih, 2015).
Teori tentang transisi epidemiologi pertama kali
dikenalkan oleh Abdel Omran pada tahun 1971. Teori
yang dia kemukakan telah mengalami beberapa revisi
yang diusulkan oleh para ahli yang salah satunya perlu
ada pembedaan antara transisi epidemiologi yang terjadi
di negara maju (ada 5 fase) dengan transisi yang terjadi di
negara berkembang (3 fase). Tiga fase transisi epidemiologi
untuk negara berkembang seperti Indonesia adalah
sebagai berikut:
1. The age of pestilence and famine (masa wabah dan
kelaparan), ditandai dengan tingginya angka
kematian, rendahnya usia harapan hidup yaitu
dibawah 40 tahun dan pertumbuhan populasi yang
tidak terkontrol. Fase ini terjadi sejak abad 17 hingga
awal abad 20. Pola penyakit dalam fase ini ditandai
dengan peningkatan paparan mikroba, gizi buruk,
penyakit karena penyimpanan makanan yang tidak
adekuat, penyakit menular dan penyakit endemik.
2. The age of receding pandemics (masa menurunnya
pandemi), ditandai dengan penurunan angka
kematian karena penurunan epidemi dan
peningkatan usia harapan hidup menjadi sekitar 55
tahun. Masa ini terjadi pada pertengahan abad ke 20.
Pada fase ini mulai terjadi pergeseran pola penyakit
dan kematian yang awalnya dikarenakan penyakit
infeksi, kini disebabkan karena penyakit degeneratif
dan kronik.
3. The age of triple health burden (masa tiga beban
kesehatan), ditandai dengan penurunan signifikan
angka kematian dan peningkatan usia harapan hidup
menjadi mencapai 70 tahun. Fase ini terjadi pada

224
akhir abad 20 atau awal abad 21. Frenk dan Gomez-
Dantes mengatakan triple burden of disease pada
negara berkembang di fase ini meliputi; a) Timbunan
permasalahan kesehatan klasik, seperti penyakit
infeksi, gizi buruk dan kematian ibu, 2) Meningkatnya
tantangan penyakit tidak menular, seperti kanker,
diabetes, penyakit jantung dan penyakit mental, 3)
Munculnya permasalahan kesehatan yang
berhubungan dengan globalisasi, seperti new
emerging disease dan permasalahan kesehatan terkait
perubahan iklim dan gaya hidup.
Berdasarkan teori tentang transisi epidemiologi tersebut
sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa kini Indonesia
berada di fase ketiga, yaitu the age of triple health burden
(Novianto, 2017).

Infeksi Menular Seksual

Infeksi menular seksual (IMS) merupakan sekelompok


infeksi yang saat ini bertanggung jawab terhadap
sejumlah besar morbiditas dan mortalitas di negara
berkembang, karena IMS memiliki peran dalam
memfasilitasi transmisi human immunodeficiency virus
(HIV) serta memberikan dampak negatif yang signifikan
terhadap kesehatan reproduksi dan anak-anak.
Komplikasi dari IMS dapat menyebabkan infertilitas baik
pada laki-laki maupun perempuan, kehamilan ektopik,
kanker serviks, kematian prematur, sifilis kongenital,
berat lahir rendah, prematuritas dan oftalmia neonatorum
(Wisnu, 2016).
World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa
340 juta kasus baru dari 4 jenis IMS yang dapat
disembuhkan (gonore, infeksi klamidia, sifilis dan
trikomoniasis) terjadi setiap tahunnya, dengan 85%
diantaranya terjadi di negara berkembang. Selain itu

225
berjuta-juta kasus IMS yang disebabkan oleh virus juga
telah dilaporkan di seluruh dunia, terutama infeksi HIV,
human herpes simpleks virus (HSV), human papilloma
virus (HPV) dan virus hepatitis B. Tidak hanya
menyebabkan morbiditas dan mortalitas, secara global
IMS juga memberikan beban ekonomi yang tinggi di
negara berkembang dengan menyumbang 17% economic
loss di bidang kesehatan (Wisnu, 2016).
Salah satu perilaku pencegahan penularan HIV/AIDS dan
IMS yaitu dengan menggunakan kondom. Meskipun
kondom tidak memberikan perlindungan 100% untuk
setiap infeksi, namun apabila digunakan dengan tepat
akan sangat mengurangi risiko infeksi. Faktor-faktor yang
mempengaruhi penggunaan kondom oleh Wanita Pekerja
Seks (WPS) dan atau pelanggannya yaitu pengetahuan,
sikap, akses informasi, persepsi, dan dukungan germo
(Kiswanti and Azinar, 2017).
Upaya penanganan IMS di negara berkembang juga masih
mengalami hambatan karena gagalnya implementasi
prinsip-prinsip dasar penanganan IMS. Selain itu upaya
advokasi untuk mendapatkan komitmen politik dan
finansial dalam menangani IMS dan komplikasinya masih
terhalang oleh adanya stigma di masyarakat dan
kurangnya data mengenai beban penyakit serta
rendahnya pencatatan mengenai efektifitas pengobatan
(Wisnu, 2016).
Terdapat beberapa penanganan IMS menurut WHO pada
tahun 2016 (Astuti, Santoso and Estiwidani, 2017)
diantaranya :
1. Konseling dan pendekatan perilaku yang menawarkan
pencegahan primer terhadap IMS (termasuk HIV),
serta terhadap kehamilan yang tidak diinginkan.
Konseling meliputi:

226
a. Pendidikan seks yang komprehensif, konseling
sebelum dan sesudah tes HIV.
b. Konseling seks yang lebih aman dan promosi
kondom.
c. Intervensi ditargetkan pada populasi utama,
seperti pekerja seks, laki-laki yang berhubungan
seks dngan laki-laki dan orang-orang yang
menyuntikkan narkoba.
d. Pendidikan dan konseling disesuaikan dengan
kebutuhan.
2. Metode barier / kondom
Metode ini ketika digunakan dengan benar dan
konsisten, kondom menawarkan salah satu metode
yang paling efektif untuk perlindungan terhadap IMS,
termasuk HIV. Kondom wanita efektif dan aman,
namun tidak digunakan secara luas oleh program
nasional sebagai kondom laki-laki.

Penanganan Penyakit Menular

Penanganan penyakit menular adalah upaya kesehatan


yang mengutamakan aspek promotif dan preventif yang
ditujukan untuk menurunkan dan menghilangkan angka
kesakitan, kecacatan dan kematian, membatasi
penularan, serta penyebaran penyakit agar tidak meluas
antar daerah maupun antar negara serta yang berpotensi
menimbulkan kejadian luar biasa / wabah.
1. Pencegahan, pengendalian dan pemberantasan
penyakit dapat dilakukan melalui beberapa upaya
dalam kegiatan berupa:
a. Promosi kesehatan;
b. Surveilans kesehatan;
c. Pengendalian faktor risiko;

227
d. Penemuan kasus;
e. Penanganan kasus;
f. Pemberian kekebalan (imunisasi); dan
g. Pemberian obat pencegahan secara massal.
2. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) paling sedikit
berupa :
a. Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS);
b. Pemberantasan jentik nyamuk;
c. Menggunakan air bersih untuk keperluan rumah
tangga;
d. Mengkonsumsi makanan gizi seimbang;
e. Melakukan aktivitas fisik setiap hari;
f. Menggunakan jamban sehat;
g. Menjaga dan memperhatikan kesehatan
reproduksi; dan
h. Mengupayakan kondisi lingkungan yang sehat.
3. Mengurangi kontak
Pencegahan penyakit menular dapat diupayakan
melalui perilaku mengurangi kontak, yaitu
mengurangi kontak dengan orang yang sakit dan
mengurangi kontak dengan binatang pembawa
penyakit. Perilaku mengurangi kontak antara lain:
mengenakan masker, menjaga jarak, dan tidak
mengunjungi tempat yang sedang terdapat wabah.
Pengendalian faktor risiko ditujukan untuk memutus
rantai penularan dengan cara perbaikan kualitas media
lingkungan, pengendalian vektor dan binatang pembawa
penyakit, rekayasa lingkungan. Sedangkan pemberian
vaksin untuk mencegah dan menangkal terjadinya
penyakit tertentu merupakan suatu cara untuk

228
meningkatkan kekebalan seseorang terhadap suatu
antigen, sehingga jika terpapar olen antigen yang sama
tidak terjadi infeksi.
Pencegahan dengan vaksin relatif lebih baik, namun
proses pembuatan vaksin sejak munculnya penularan
atau infeksi cukup lama dan punya perjalanan panjang
dengan berbagai tahapan. Pembuatan vaksin selain
memakan waktu yang lama juga memerlukan biaya tinggi,
dimulai dengan identifikasi virus atau mikroorganisme,
pembuatan, percobaan pada hewan, percobaan pada
manusia, sampai dinyatakan aman untuk digunakan
sebagai vaksin (IHC, 2022).

Penanganan Penyakit Menular di Puskesmas

Puskesmas merupakan salah satu pusat pelayanan


kesehatan masyarakat yang mempunyai Program
Pemberantasan dan Pengendalian Penyakit Menular
(P2M). Penyakit menular masih menjadi masalah utama
kesehatan masyarakat di Indonesia. Nusa Tenggara Timur
(NTT) merupakan salah satu dari lima provinsi yang
jumlah kasus penyakit menularnya tinggi dengan kondisi
sosial ekonomi yang masih rendah.
Secara epidemiologi kejadian penyakit merupakan hasil
hubungan interaktif antara manusia dan perilakunya
serta komponen lingkungan yang memiliki potensi
penyakit. Jumlah kasus penyakit menular di masyarakat
masih tinggi yang juga dibarengi dengan adanya
keterbatasan sumber daya manusia dan fasilitas di
puskesmas yang menyebabkan upaya penanggulangan
penyakit menular belum dapat dilaksanakan secara
maksimal. Menyikapi hal ini, pemerintah dan pemerintah
daerah hendaknya paham dengan kondisi penyakit
menular di wilayahnya serta komitmen dalam

229
mengupayakan ketersediaan sumberdaya di puskesmas
yang cukup serta berkualitas (Lestari, 2017).
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah upaya
untuk memberikan pengalaman belajar atau menciptakan
suatu kondisi bagi perorangan, keluarga, kelompok dan
masyarakat dengan membuka jalur komunikasi,
memberikan informasi dan edukasi untuk meningkatkan
pengetahuan, sikap, dan perilaku sehingga membantu
masyarakat mengenali dan mengatasi masalah sendiri
dalam tatanan rumah tangga, agar dapat menerapkan
cara – cara hidup sehat dalam rangka menjaga,
memelihara dan meningkatkan kesehatan (Tania et al.,
2022).
Perilaku hidup bersih dan sehat di tatanan rumah tangga
dinilai berdasarkan 16 (enam belas) indikator yang terdiri
atas 9 (sembilan) indikator perilaku yaitu tidak merokok,
persalinan oleh nakes, imunisasi lengkap, penimbangan
balita, sarapan pagi, kepesertaan dana sehat, kebersihan
cuci tangan, kebersihan gigi dan olahraga. Kemudian
diikuti dengan 7 (tujuh) indikator lingkungan yaitu sarana
air bersih, ketersediaan jamban, tempat sampah, sarana
pembuangan air limbah, ventilasi tuah, kepadatan rumah
dan lantai rumah. Melalui tangan, bibit penyakit bisa
memasuki mulut, lubang hidung, mata atau liang telinga
karena kebiasaan memasukkan jari ke hidung, mengucek
mata, mengorek liang telinga, bukan pada waktu yang
tepat (pada saat tangan kotor).
Kebiasaan mencuci tangan sebelum dan sesudah
melakukan aktivitas / kegiatan dengan menggunakan
sabun dan air mengalir adalah bagian perilaku hidup
sehat yang mudah dan sederhana namun efisien.
Kebiasaan ini juga merupakan salah satu cara untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat tentang
pemeliharaan kesehatan pribadi dan pentingnya perilaku
hidup bersih dan sehat. Selain itu pengendalian risiko

230
penyakit yang berhubungan dengan lingkungan, seperti
penyakit diare, penyakit kecacingan dan tifoid dapat
dicegah dengan kebiasaan buang air besar di jamban,
kebiasaan mencuci tangan dengan sabun setelah buang
air besar, demikian halnya dalam penyediaan air minum
dan sebelum menjamah makanan (Susantiningsih et al.,
2018).
Adapun langkah-langkah cuci tangan pakai sabun
sebagai berikut : membasahi kedua tangan dengan air
mengalir, beri sabun secukupnya, menggosokkan kedua
telapak tangan dan punggung tangan, menggosok sela-
sela jari kedua tangan, menggosok kedua telapak tangan
dengan jari-jari rapat, tangan kiri ke kanan dan
sebaliknya. Kemudian menggosok ibu jari dengan cara
memutar dalam genggaman tangan kanan dan
sebaliknya, menggosok kuku jaki kanan dengan
memutarkannya ke telapak tangan kiri dan sebalinya
kemudian bilas dengan air dan mengeringkan tangan
(Panirman et al., 2021).
Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya penanganan
penyakit menular dapat dilakukan dengan cara yang
cukup sederhana, yaitu dengan membiasakan diri
mencuci tangan dengan menggunakan sabun secara baik
dan benar untuk menghilangkan kotoran dan debu dari
permukaan kulit dan mengurangi jumlah mikroorganisme
penyebab penyakit seperti bakteri, virus dan parasit
lainnya pada kedua tangan (Risnawaty, 2016).

231
Penanganan Penyakit Menular di Rumah dan di
Sekolah

Terdapat kelompok penting dalam penanganan penyakit


menular yaitu masyarakat, orang tua dan anak-anak yang
perlu mengetahui bagaimana mengenali penyakit menular
dan bagaimana mengelola penyakit tersebut agar dapat
mencegah penularannya, baik di lingkungan sekolah,
keluarga, maupun lingkungan masyarakat. Upaya
pemahaman lainnya tentang penyakit menular bisa
berupa aktivitas melalui UKS ataupun melalui aktivitas
mata pelajaran. Adapun kegiatan berupa webinar /
seminar online dapat menjadi salah satu alternatif upaya
pengenalan dan pencegahan penyakit menular sehingga
dapat tersampaikan dengan baik.
Salah satu yang menjadi titik tumpu kesehatan di sekolah
adalah melalui PHBS, yaitu perilaku hidup bersih dan
sehat yang dimulai dari diri sendiri dan imbasnya kepada
teman, keluarga di rumah dan masyarakat sekitar.
Tahapan pertama dalam mengawali perilaku hidup bersih
yaitu mengetahui seperti apa macam-macam penyakit
menular dan yang tidak menular, tahapan kedua berupa
pemberian pemahaman penyakit-penyakit yang bisa
berkembang di sekolah, di masyarakat atau di rumah,
kemudian tahapan ketiga adalah melaksanakan
pencegahan melalui evaluasi pencegahan dengan
menentukan siapa saja yang dilibatkan.
Warga sekolah juga perlu membiasakan menerapkan 3M
Plus (Menguras, Menutup, Mendaur Ulang, Plus kegiatan
pencegahan lainnya). Hal ini diharapkan menjadi budaya
yang dapat dikembangkan di satuan pendidikan. Jika
semua elemen menerapkan dasar-dasar itu maka sekolah
di Indonesia akan menjadi sekolah sehat (Direktorat
Sekolah Dasar, 2022).

232
Daftar Pustaka
Astuti, D. Y., Santoso, S. and Estiwidani, D. (2017)
‘Hubungan Tingkat Pengetahuan Dengan Kejadian
Infeksi Menular Seksual Pada Wanita Usia Subur Di
Puskesmas Sleman Tahun 2016’, Politeknik
Kesehatan Kementerian Kesehatan Yogyakarta.
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit. (2018) ‘Rencana Aksi Program Pencegahan
Dan Pengendalian Penyakit 2015-2019 (Revisi I -
2018)’.
Direktorat Sekolah Dasar. (2022) ‘Perkuat Pendidikan
Karakter Anak Melalui Pengenalan Dan Pencegahan
Penyakit Menular’, Direktorat Jenderal PAUD Dikdas
Dan Dikmen Kementerian Pendidikan Kebudayaan
Riset Dan Teknologi,
https://ditpsd.kemdikbud.go.id/artikel/detail/perku
at-pendidikan-karakter-anak-melalui-pengenalan-
dan-pencegahan-penyakit-menular.
Djafri, D. (2015) ‘Pemodelan Epidemiologi Penyakit
Menular’, Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas
(JKMA), pp. 1–2.
IHC. (2022) ‘Penyakit Menular, Jenis dan
Penanggulangannya’, Rumah Sakit Krakatau Medika,
https://krakataumedika.com/info-
media/artikel/penyakit-menular-jenis-dan-
penanggulangannya.
Kiswanti, A and Azinar, M. (2017) ‘SMS Reminder Untuk
Peningkatan Perilaku Pencegahan HIV / AIDS Dan
IMS’, Jurnal of Health Education Universitas Negeri
Semarang, 2(1), pp. 1–10.
Lestari, T. R. P. (2017) ‘Penanggulangan Penyakit Menular
Di Puskesmas : Studi Kasus Di Kabupaten Belu
Provinsi Nusa Tenggara Timur’, Pusat Penelitian
Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, 22(4).

233
Novianto, M. R. (2017) ‘Transisi Epidemiologi Di
Indonesia’, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, https://fkik.uin-
malang.ac.id/index.php/2017/01/28/transisi-
epidemiologi-di-indonesia/.
Panirman, L. et al. (2021) ‘Manajemen Enam Langkah
Cuci Tangan Menurut Ketentuan WHO Sebagai Upaya
Pencegahan Covid-19’, Jurnal Abdi Masyarakat
Humanis Universitas Pamulang, 2(2), pp. 105–113.
Risnawaty, G. (2016) ‘Faktor Determinan Perilaku Cuci
Tangan Pakai Sabun (CTPS) Pada Masyarakat Di
Tanah Kalikedinding’, Jurnal Promkes Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, pp. 70–
81.
Setiawan, T. A., Ilyas, A. and Wibowo, A. P. (2018)
‘Pencegahan Dan Edukasi Masyarakat Dalam
Penanganan Endemik Penyakit Berbasis Web Untuk
Peningkatan Kesehatan Masyarakat Di Kota
Pekalongan’, Jurnal Litbang Kota Pekalongan, 15.
Susantiningsih, T. et al. (2018) ‘PKM Pelatihan Mencuci
Tangan Menggunakan Sabun Sebagai Perilaku Hidup
Bersih Dan Sehat Untuk Masyarakat RT 007/RW 007
Desa Pangkalan Jati Kecamatan Cinere Kota Depok’,
Jurnal Bakti Masyarakat Indonesia, 1(2), pp. 75–84.
Tania, M. et al. (2022) ‘Pencegahan Penyakit Menular
Melalui Pelatihan Cuci Tangan Pakai Sabun Pada
Anak Sekolah Mi Muhammadiyah Singasari’, Literasi
Jurnal Pengabdian Pada Masyarakat, pp. 81–85.
Wisnu, M. N. M. (2016) ‘Pencegahan Dan Pengendalian
Infeksi Menular Seksual Di Negara Berkembang’, FK
UNUD Denpasar, pp. 1–38.
Yuningsih, R. (2015) ‘Penanggulangan Wabah Penyakit
Menular Di Kabupaten Bantul Tahun 2014’, Jurnal
Kajian, pp. 17–30.

234
Profil Penulis
Marselia Sandalayuk
Lahir di Provinsi Sulawesi Selatan Kabupaten
Tana Toraja tepatnya di Makale, 16 Mei 1986.
Pendidikan SD dan SMP diselesaikan di
Provinsi Gorontalo - Kota Gorontalo,
sementara pendidikan SMA diselesaikan di
Kota Makassar (SMA Katolik Rajawali).
Penulis melanjutkan pendidikan S1 pada Program Studi
Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Gorontalo tahun 2004 dan
memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
tahun 2008. Penulis melanjutkan studi pada jenjang
strata 2 magister pada Program Studi Ilmu Kesehatan
Masyarakat Universitas Sam Ratulangi tahun 2013 dan
memperoleh gelar Magister Kesehatan (M.Kes) tahun
2016. Penulis merupakan dosen tetap pada Perguruan
Tinggi Universitas Gorontalo sejak tahun 2011 hingga saat
ini. Kegiatan akademisi (Pengajaran, Penelitian dan
Pengabdian) penulis terutama berkaitan erat dengan
Epidemiologi Penyakit Menular, Survey Epidemiologi,
Epidemiologi Kesehatan Darurat, Kesehatan Agropolitan,
Analisis Gender, Public Health Enterpreneurship,
Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Ilmu
Penyakit Umum, Pengembangan dan Pengorganisasian
Masyarakat, Status Gizi, Penyakit Tidak Menular,
Kelangsungan Hidup dan Perkembangan Anak.
Email Penulis: marseliasandalayuk16@gmail.com

235
View publication stats

Anda mungkin juga menyukai