Anda di halaman 1dari 12

PERMASALAHAN PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

Fathan Muhamad Nurrahman1

Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Abstrak

Permasalahan penegakan hak asasi manusia selalu menjadi topik perbincangan


utama yang menarik dimata publik, salah satunya di Indonsia. Hal ini karena HAM
memiliki sifat yang selalu melekat (inherent) pada diri setiap manusia, sehingga
eksistensinya tidak dapat dipisahkan dari kehidupan umat manusia. Berbagai upaya
dilakukan untuk mewujudkan HAM dalam kehidupan nyata sejak dahulu hingga
sekarang salah satunya adalah dengan cara penegakan hak asasi manusia. Adapun
tujuan dari karya tulis ilmiah ini adalah untuk menjelaskan tentang aspek teoritis
dari hak asasi manusia, mendeskripsikan secara detail tentang instrumen-instrumen
penting bagi penegakan hak asasi manusia, berbagai problem penegakan hak asasi
manusia di Indonesia, serta beberapa solusi penting yang perlu segera
diimplementasikan dalam praktek penegakan hak asasi manusia sehingga wujud
kebenaran dan keadilan yang substantif itu benar-benar dirasakan oleh seluruh
lapisan masyarakat Indonesia.

Kata Kunci: Problematika HAM, Penegakan HAM, Solusi Penegakan HAM

Abtract

The issue of upholding human rights has always been the main topic of discussion that
is of interest to the public, one of which is in Indonesia. This is because human rights
are inherently inherent in every human being, so that their existence cannot be
separated from human life. Various efforts have been made to realize human rights in
real life from the past until now, one of which is by upholding human rights. The
purpose of this scientific paper is to explain the theoretical aspects of human rights,
describe in detail about important instruments for upholding human rights, various
problems in upholding human rights in Indonesia, as well as several important
solutions that need to be implemented immediately in practice of upholding human
rights so that the manifestation of truth and substantive justice is truly felt by all levels
of Indonesian society.

Keywords: Human Rights Problems, Human Rights Enforcement, Human Rights


Enforcement Solutions

Pendahuluan

Hak asasi manusia pada dasarnya ada sejak manusia dilahirkan karena hak
tersebut melekat sejak keberadaan manusia itu sendiri. Akan tetapi persoalan hak
asasi manusia baru mendapat perhatian ketika mengimplementasikannya dalam
kehidupan. Hak asasi manusia menjadi perhatian manakala ada hubungan dan
keterikatan antara individu dan masyarakat (Atmaja, Mulyani, & Sihotang, 2020),
misalnya polemik pada peristiwa sejarah dunia dan di Indonesia yang menyebabkan
adanya interaksi sosial.

Dari sejarah dunia di negara negara Eropa pernah menjajah bangsa-bangsa di


benua Asia, Afrika, Australia, dan Amerika. Realitas sejarah berupa penjajahan suatu
bangsa atas bangsa lain ini merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM.
Pelanggaran HAM juga terjadi di Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah kepada
rakyatnya sendiri. Misalnya pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal
Soeharto, lahir dalam suasana krisis ekonomi, kekalutan politik, dan huru-hara
sosial (Suwirta, 2018). Kebebasan berkumpul, berserikat, dan mengeluarkan
pendapat sangat dibatasi. Begitu juga kejahatan terhadap kemanusiaan dalam
berbagai bentuknya sering terjadi, seperti penangkapan, penyiksaan dan
pembunuhan atas orang-orang yang dianggap dapat mengancam dan
menggoyahkan eksistensi kekuasaannya. Rezim Orde Baru yang represif dan
otoriter sudah terlalu banyak melakukan pelanggaran pelanggaran HAM, sehingga
menimbulkan gejolak gejolak sosial dan politik (Siroj, 2020).

Berjayanya Orde Baru selama 32 tahun disebabkan karena kakuatan politik


yang didapatkan dari proses konsolidasi politik mulai rezim ini muncul. sebuah
rentang waktu yang cukup lama bagi sebuah kekuasaan untuk dapat menanamkan
pengaruhnya terhadap pola pikir dan prilaku masyarakatnya (Legowo, Krisnadi, &
Sumartono, 2013). Meskipun rezim tersebut telah jatuh dan berganti dengan rezim
baru (Orde Reformasi tahun 1998) tetapi pengaruh Rezim Orde Baru itu masih
tampak kuat dalam membentuk dan mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia.
Walaupund demikian, dalam era reformasi ini telah berhasil disusun instrumen
instrumen penegakan HAM. Diantaranya amandemen UUD 1945 yang kemudian
memasukkan HAM dalam bab tersendiri dengan pasal pasal yang menyebutkan
HAM secara lebih rinci. Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi
Manusia yang menugaskan kepada lembaga lembaga tinggi negara dan seluruh
aparatur pemerintah untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan
pemahaman mengenai HAM kepada seluruh masyarakat. Juga menugaskan kepada
Presieden RI dan DPR RI untuk meratifikasi berbagai instrumen PBB tentang HAM
sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45 (Siroj, 2020).

Berdasarkan uraian sebelumnya, dijelaskan bahwa instrumen instrumen


penegakan HAM di Indonesia sudah cukup memadai, akan tapi dalam prakteknya
penegakan HAM masih dihadapkan kepada berbagai problem yang perlu
diidentifikasi dan dicarikan solusi, sehingga Indonesia sebagai negara hukum yang
diantara ciri-cirinya menegakkan HAM tidak hanya sebuah teoritis saja, tapi benar
benar menjadi sebuah jati diri negara Indonesia yang sesungguhnya.
Pembahasan

1. Hak Asasi Manusia


Hakikat hak asasi manusia secara pengertian pada dasarnya meliputi hak-
hak alamiah manusia, yang menurut Piagam PBB tentang Deklarasi
Universal of Human Right meliputi: a. Hak berpikir & mengeluarkan
pendapat; b. Hak memiliki sesuatu; c. Hak mendapatkan pendidikan &
pengajaran; d. Hak menganut aliran kepercayaan atau agama; e. Hak untuk
hidup; f. Hak untuk kemerdekaan hidup; g. Hak untuk memperoleh nama
baik; h. Hak untuk memperoleh pekerjaan; i. Hak untuk mendapatkan
perlindungan hukum (Sobarnapraja, 2020). Dari pengertian tersebut dapat
disimpulkan bahwa HAM itu adalah sekumpulan hak yang melekat pada diri
setiap manusia dan merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus
dihormati dan dilindungi oleh siapapun juga. Mengabaikannya berarti
mengingkari anugerah Tuhan Yang Maha Esa sekaligus berarti pula
mengingkari eksistensi Nya sebagai al-Khaliq. Manusia merupakan makhluk
yang paling mulia dalam pandangan Tuhan. Ia diberi Nya akal budi yang
menjadi sebuah potensi baginya untuk dapat membedakan mana yang baik
dan mana yang buruk. Karenanya martabat manusia yang mulia tersebut
harus dihormati dan dijunjung tinggi termasuk hak hak yang melekat
padanya.
2. Instrumen Penegakan HAM
Bentuk perlindungan HAM sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia sudah cukup menunjukkan kepedulian
dari pemerintah untuk mengakomodir kepentingan perlindungan HAM bagi
warga negaranya dengan cukup maksimal, juga menunjukkan bahwa
pemerintahan di era reformasi telah responsif dan progresif untuk
melakukan instrumentasi terkait perlindungan, penghormatan dan
pemenuhan HAM. Hal ini ditandai dengan, Pancasila, Pembukaan UUD 1945,
Pasal 27-34 UUD 1945 dan adanya Undang-undang Nomor 39 tahun 1999
dan Undang-Undang nomor 26 Tahun 2000 serta undang-undang lainnya
(Sobarnapraja, 2020).
Berikut ini akan dijelaskan secara lebih detail bentuk bentuk hukum di atas
sebagai instrumen penegakan HAM di Indonesia (Warjiyati, 2018):
a. Pancasila Pancasila sebagai dasar negara Indonesia mengandung
pemikiran bahwa manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa dengan
menyandang dua aspek individual (pribadi) dan aspek sosial
(bermasyarakat). Pancasila menjunjung tinggi keluhuran harkat dan
martabat manusia sebagai makluk Tuhan sehingga setiap orang memiliki
kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia orang lain.
b. TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM TAP MPR No.
XVII/MPR/1998 tentang HAM yang di kukuhkan Pada sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang di selenggarakan pada tanggal 13
November 1998 sebagai salah satu bentuk dan upaya pemerintah pusat
untuk menghadapi masalah pelanggaran HAM yang kian marak di
Indonesia dan tentang penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Selain itu,
hadirnya TAP MPR ini adalah sebagai upaya untuk menjawab tuntutan
reformasi yang berlangsung pada tahun 1998. Adapun kandungan dari
TAP MPR tersebut No.XVII/MPR/1998 tentang HAM yaitu :
a. Pasal 2 berbunyi “Menugaskan kepada Lembaga-Lembaga Tinggi
Negara dan seluruh Aparatur Pemerintah untuk menghormati,
menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi
manusia kepada seluruh masyarakat”.
b. Pasal 3 yang berbunyi “Menugaskan kepada Presiden Republik
Indonesia dan Dewan Perwailan Rakyat Republik Indonesia untuk
meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Hak Asasi Manusia, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945”.
3. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
1945) Hak Asasi Manusia dalam bidang politik, ekonomi, social, dan
budaya dalam hal ini sangat di tegaskan di dalam pasal-pasal dalam UUD
1945. Pasal-pasal tersebut adalah:
• Pasal 27 ayat (1), (2), dan (3);
• Pasal 28 A;
• Pasal 28 B ayat (1), (2);
• Pasal 28 C ayat (1) dan (2);
• Pasal 28D ayat (1), (2), (3) dan (4);
• Pasal 28E ayat (1), (2), (3)
• Pasal 28F
• Pasal 28G ayat (1) dan (2)
• Pasal 28H ayat (1), (2), (3) dan (4)
• Pasal 28I ayat (1), (2), (3), (4) dan (5)
• Pasal 28J ayat (1) dan (2)
Di samping berbagai instrumen hukum dalam hal penegakan hukum
hak asasi manusia di sebutkan diatas, peraturan hukum yang mengatur
tentang penegakan HAM lainnya yang menjadi media tanggung jawab
masih cukup banyak yang di gunakan untuk memenuhi, menghormati dan
melindungi Hak Asasi Manusia, seperti UU No. 21 tahun 2007 tentang
Perdagangan Orang, UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganeraan
Indonesia, UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi,
UU No. 3 tahun 1999 tentang Pemilu, UU No. 40 tahun 1999 tentan Pers,
UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian, UU No. 3 tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman, UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah,
UU No. 3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, dan beberapa lainnya
(hadi & Savitri Wisnuwadhani, 2008).
Problem Penegakan HAM di Indonesia
Penegakkan Hak Asasi Manusia di Indonesia hingga saat ini di rasa kurang
terlaksana dengan baik. Dengan melihat banyaknya kasus pelanggaran HAM
yang sering di jumpai dalam lingkungan kita seperti membunuh, memperkosa,
merampas harta benda orang lain, dan lain sebagainya. Selan itu terdapat pula
kasus-kasus yang beberapa waktu lalu yang cukup membelalakkan mata terjadi
di Indonesia seperti kasus di Aceh, Maluku, pelanggaran HAM di Timor Timur,
Papua, Semanggi, Tanjung Priok dan Poso di rasa merupakan salah satu contoh
bentuk perlindungan Hak Asasi Manusia yang belum berjalan denga baik dan
pelaksanaan penegakan yang belum maksimal. Sehingga di butuhkan adanya
instrumen hukum dan lembaga- lembaga penegakan HAM di Indonesia untuk
menangani dan mengurus permasalahan HAM seperti Komisi Pengadilan HAM,
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Komnas HAM, dan lain
sebagianya yang dalam kaitannya di harapkan kasus pelanggaran HAM yang
terjadi di Indonesia semakin sedikit dan perkembangan HAM di Indonesia
dapat terwujud ke arah yang lebih baik. Dengan melihat banyaknya kasus dan
peristiwa yang terjadi saat ini yang masih sangat menunjukkan pelanggaran
hak asasi manusia hal ini membuktikan bahwa masyarakat Indonesia baik
warga negara, penegak hukum dan penyelenggara negara belum mengerti dan
memahami tentang hakikat sesungguhnya dari hak asasi manusia dan
kewajiban asasinya (Wilujeng, 2017).
Apabila setiap invidu masyarakat mengingat, menyadari dan memahami
kewajiban-kewajibannya dengan menjalankan haknya maka hak asasi manusia
akan dapat hidup dan berjalan dengan baik. Selain itu, hak asasi manusia akan
dapat hidup dan berjalan dengan efektif jika setiap individu manusia menyadari
bahwa hak asasi yang ada dalam dirinya itu masih dibatasi oleh hak asasi orang
lain dalam artian bahwa hak asasi manusia akan hidup berjalan dengan baik
apabila masyarakat mengerti dan memahami ada hak orang lain yang sama
dengan dirinya yang harus di hormati. Peraturan perundang-undangan dalam
hal ini berperan sebagai instrumen hukum penegakkan hak asasi manusia di
Indonesia atau dengan kata lain sebagai tools of law enforcement sudah
seharusnya wajib untuk di patuhi, di laksanakan serta di tegakkan. Mekanisme
peradilan yang tidak diskriminan dan memberikan sanksi atau hukuman bagi
pihak yang bersalah yang di dasarkan atas keadilan hukum hukum dan di
selenggarakan menurut mekanisme hukum yang benar (Basar, 2011).
Problem penegakan HAM di Indonesia tidak hanya menyangkut sistem
hukum yang mengalami degradasi sebagaimana telah dijelaskan di atas, tapi
juga melibatkan sistem sistem lain yang turut berpengaruh secara signifikan
misalnya sistem politik, ekonomi dan sosial. Sistem politik transisional dari
sistem politik otoriter ke demokratis ternyata tidak bisa berjalan mulus.
Pergantian rezim dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah banyak menimbulkan
berbagai bentuk pelanggaran HAM. Begitu juga ketika Orde Reformasi berkuasa
timbul gejolak dan pergumulan di antara kekuatan reformasi sendiri, tanpa
menafikan pengaruh dan peran kuat orang-orang yang pro-status quo untuk
saling berebut kekuasaan, yang hal ini juga banyak menimbulkan berbagai
bentuk pelanggaran HAM, terutama ketika militer diposisikan sebagai alat dan
pendukung kekuasaan yang sedang berlangsung.
Sistem ekonomi yang dibangun selama masa Orde Baru terbukti belum
mampu menyejahterakan dan mengangkat martabat kehidupan bangsa
Indonesia terutama rakyat kecil yang secara kuantitatif paling banyak
jumlahnya. Bahkan sejak terjadi krisis ekonomi yang menyebabkan jatuhnya
rezim Orde Baru, kondisi bangsa Indonesia semakin terpuruk den krisis itu
semakin melebar dan meluas hingga bersifat multidimensional. Keterpurukan
ekonomi ini juga menjadi problem penegakan HAM di negara kita, sebab
bagaimana seorang akan dapat menghormati dan menghargai serta menghayati
HAM kalau ia belum mampu memenuhi kebutuhan dasarnya yang minimum
sekalipun.

Analisis dan Pencarian Solusi

Penegakan HAM secara umum membutuhkan penciptaan sebuah kondisi


yang kondusif melalui penguatan sistem. Terpuruknya hukum itu dapat juga
dipengaruhi oleh sistem lain seperti sistem politik, sistem ekonomi dan sistem
sosial tapi pengaruh lemahnya sistem hukum terhadap rusaknya sistem sistem
tersebut paling signifikan sebab hukum dilihat dari segi tujuannya merupakan
yang paling bertanggung jawab atas hal tersebut di atas. Tujuan hukum itu
antara lain untuk memberikan pengayoman kepada anggota masyarakat yang
dilakukan dengan usaha mewujudkan:

1. Ketertiban dan keteraturan yang memunculkan prediktabilitas.

2. Kedamaian yang berketenteraman.

3. Keadilan (distributif, komulatif, vindikatif, protektif).

4. Kesejahteraan dan keadilan sosial.

5. Pembinaan akhlak luhur berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Sidharta,


2000).

Dari sini dapat ditarik suatu asumsi bahwa seandainya sistem hukum itu
bekerja dengan baik untuk mencapai tujuannya di atas, maka krisis yang
bersifat multidimensional itu akan dapat teratasi dan penegakan HAM akan
berjalan dengan baik. Dengan demikian rekonstruksi sistem hukum harus
menjadi sebuah perioritas. Rekonstruksi sistem hukum tersebut meliputi tiga
unsur pokok, yaitu struktur, substansi. dan kultur. Struktur mencakup institusi-
institusi penegakan hukum, yang dalam prakteknya belum sepenuhnya
independen, atau dengan kata lain, masih sering diintervensi oleh pihak lain
dalam mengambil keputusan hukum. Keberadaan Kepolisian dan Kejaksaan
sebagai institusi penegakan hukum yang merupakan bagian dari eksekutif
adalah sebuah problem tersendiri bagi kemandirian yudisial di negara kita.
Sehingga ini merupakan salah satu upaya Perlindungan HAM terutama melalui
pembentukan instrumen-instrumen dan kelembagaan HAM. Juga dapat
melalui berbagai faktor yang berkaitan dengan upaya pencegahan HAM
yang dilakukan individu maupun masyarakat dan negara (Triwahyuningsih,
2018).
Selain institusi, struktur sistem hukum juga meliputi aparat penegak
hukum. Problem krusial yang ada pada jajaran aparat penegak hukum secara
umum adalah tingkat moralitas dan integritas personalnya yang sangat rendah
sehingga hukum tidak dapat diimplementasikan sesuai ketentuan yang berlaku.
Hukum tidak lebih sebagai sebuah komoditas yang bisa diperjualbelikan atau
dinegosiasikan berdasarkan kepentingan yang melatarinya. Dua permasalahan
di atas menuntut upaya restrukturisasi institusi-institusi penegakan hukum,
sehingga kemandirian yudisial dapat dicapai. Demikian juga reformasi sistem
pendidikan calon aparat penegak hukum perlu dilakukan agar dapat dihasilkan
out-put yang profesional dan memiliki tingkat moralitas dan integritas personal
yang tinggi. Faktor ini sangatlah penting dan menentukan sebab bagaimanapun
baiknya sebuah sistem hukum itu dibangun tentu tidak akan berarti apa apa
kalau kualitas aparatnya rendah secara profesional maupun moral dan personal
(Laurensius, 2016).

Secara ekstrim keterpurukan hukum di Indonesia penyebab utamanya


adalah banyaknya aparat penegak hukum yang tidak memenuhi kualifikasi di
atas. Substansi, yang menjadi permasalahan berkenaan dengan substansi
adalah kuatnya pengaruh legal positivisme dalam sistem hukum di negara kita.
Pemikiran positivisme hukum lahir bersama dengan kelahiran negara modern
pada akhir abad 18. Sebelum itu masyarakat masih menggunakan hukum yang
dinamakan interactional law atau customary law. Positivisme kental dengan
dokumentasi dan formalisasi hukum dalam wujudnya sebagai bureaucratic law.
Dalam ilmu hukum yang legalistik-positivistik hukum dipandang sebagai
pranata pengaturan yang mekanistik dan deterministik. Dengan kata lain
positivisme telah melakukan penyederhanaan.

Penyederhanaan yang berlebihan dan hukum dipahami sebagai suatu


keteraturan. Bagi kaum positivis, hukum tidak lain dari perintah yang
bersumber dari otoritas yang berdaulat dalam masyarakat yang mengharuskan
orang atau orang orang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Perintah itu
disandarkan kepada ancaman keburukan berupa sanksi yang dipaksakan
berlakunya bagi orang yang tidak taat. Perintah, kewajiban untuk mentaati dan
sanksi merupakan tiga unsur essensial hukum dalam pandangan positivisme.
Bagi faham ini hukum positif berbeda jika dibandingkan dengan asas asas lain
misalnya asas asas yang didasarkan pada moralitas, religi, kebiasaan, konvensi
ataupun kesadaran masyarakat.Bahkan lebih ekstrim lagi, hukum harus
melarang setiap aturan yang mirip hukum tetapi tidak bersifat perintah dari
otoritas yang berdaulat (Ali, 2002).

Dilihat dari latar belakang munculnya, posistivisme ini dilatari oleh politik
liberalisme yang memperjuangkan kemerdekaan individu sehingga wajar
apabila faham ini tidak memberikan concern terhadap keadilan yang luas bagi
masyarakat. Dan baginya untuk mewujudkan kemerdekaan individu diperlukan
kepastian hukum dalam bentuk undang undang dan prosedur hukum yang
jelas. Dengan memahami karakter posistivisme, maka apabila faham ini terus
mendominasi sistem hukum negara kita tentu akan menghambat penegakan
hukum yang berkeadilan dan menimbulkan keterpurukan hukum yang krusial
terus menerus. Maka untuk bisa keluar dari problem ini bangsa Indonesia harus
dapat melepaskan diri dari belenggu positivisme karena dengan hanya
mengandalkan teori dan pemahaman hukum secara legalistikpositivistik yang
berbasis pada peraturan tertulis (rule bound) dan prosedur hukum semata
sistem hukum Indonesia tidak akan pernah mampu menangkap hakikat
kebenaran dan keadilan. Dan lebih ironis lagi penegakan hukum hanya
diimplementasikan dalam format peradilan formal (formal justice) semata yang
tidak akan mampu menangkap substansinya (Putra, 2015).

Hukum hanya berurusan dengan hal hal yang bersifat teknis dan
teknologis. Sentuhan kemanusiaan hukum menjadi hilang. Hukum direduksi
menjadi dua hal yang berhadapan secara berlawanan yaitu benar-salah,
menangkalah dan lain sebagainya. Langkah strategis yang sangat mendesak
untuk dilakukan untuk dapat keluar dari perangkap positivisme yang sangat
merugikan tatanan hukum kita adalah melakukan reformasi hukum menuju
Sistem Hukum Progresif. Untuk sampai kepada sistem hukum progresif ini
semua konsep perlu dikaji ulang dan digugat, baik konsep negara hukum,
konsep penegakan hukum, konsep peradilan bahkan konsep keadilan itu
sendiri. Karena fokusnya menuju hukum progresif maka kemudian yang
dihasilkan nanti adalah negara hukum progresif, konsep penegakan hukum
progresif, konsep keadilan progresif dan konsep konsep hukum lain yang
progresif. Untuk memulai reformasi hukum bisa dilakukan dari posisi saat ini,
dari tradisi dan praktek bernegara hukum dan penegakan hukum yang
diterapkan selama ini. Semua ini dijadikan obyek gugatan, atau dengan kata lain
keterpurukan hukum yang terjadi selama ini menjadi entry point gugatan untuk
menemukan format baru yang progresif. Yang menjadi problem dari kultur
hukum adalah belum kondusifnya praktek budaya penegakan hukum bagi
bekerjanya sistem hukum secara sistemik dan berkeadilan.

Kentalnya KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) di Indonesia yang hingga


kini menjadi permasalahan bangsa yang krusial sangat menghambat penegakan
hukum secara umum termasuk penegakan HAM. Untuk membangun kultur
hukum yang kondusif diperlukan keteladanan yang baik dari kalangan aparat
penegak hukum dan para elite kekuasaan untuk menunjukkan komitmen yang
tinggi terhadap Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana telah ditegaskan
dalam UUD 45. Hal ini dapat terwujud apabila mereka memiliki moralitas dan
integritas personal yang tinggi dalam menjalankan tugas masing-masing.

Sarana penyelesaian yang digunakan dalam penyelesaian kasus Hak Asasi


Manusia di Indonesia tentunya dengan mengedepankan norma-norma kaidah
hukum yang berlaku dalam menyelesaikan permasalahan- permasalahan
hukum. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yaitu perdamaian
kedua belah pihak, penyelesaian perkara melalui cara konsultasi negosiasi,
mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli. Penyelesaian perkara terhadap
pelanggaran Hak Asasi Manusia di wilayah Indonesia tentunya harus
mempertimbangkan kaidah-kaidah yang ada di dalam masyarakat Indonesia.
Maka dari itu seyogyanya pelaksanaan segala kebijakan republik terhadap
masyarakat yang terjadi kasus-kasus pelanggaran HAM tentunya berkiblat
kepada nilai-nilai budaya, sosial, agama dan ekonomi masyarakat itu sendiri.
Dalam rangka untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang yang
timbul dengan damai dan bermartabat diperlukan suatu cara yang terus
menerus dan tuntas hingga ke akar segala permasalahan di propinsi itu. Mulai
dari segi ekonomi hingga pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri bukan
muncul karena tidak bersebab terjadinya pelanggaran-pelanggaran di
karenakan terjadinya benturan-benturan kepentingan antara daerah dengan
pusat, ketidak adilan yang telah lama dirasakan oleh masyarakat di sana karena
dianggap sebagai sapi perahan kebijakan pusat yang tampa peduli untuk
membangun daerah yang telah memberikan pendapatan bagi anggaran
pendapat belanja negara (Wilujeng, 2017).

Terlepas dari siapa yang mulai membuat situasi yang dishormanisasi


dalam masyarakat yang terjadi pelanggaran HAM, haruslah disadari sarana
penyelesaian dengan kekerasan atau senjata sudah tidak efektif dalam
menyelesaikan segala permasalahan. Sarana penyelesaian yang dapat di terima
oleh semua pihak lapisan masyarakat tentunya penyelesaian yang
mengedepankan nilainilai manusia tentu dengan menggunakan cara-cara yang
lebih manusia yaitu dengan cara mediasi dialog damai antara kelompok-
kelompok yang bertikai. Karena sarana penyelesaian dengan damai lebih
menguntungkan segala pihak-pihak yang bertikai dan dapat mengurangi
dampak kerugian akibat terjadinya peperangan. Sarana penyelesaian melalui
perundingan, dialog lebih arif dan bijaksana dari pada penyelesaian masalah
dengan senjata. Manusia dimanapun ketika dihargai dan dihormati nilai-nilai
dasar sebagai manusia, tidak akan merendahkan Hak Asasi Manusia lainnya
namun sebaliknya, itulah mengapa para pengamat para tokoh-tokoh negarawan
lebih mengedepan penyelesaian permasalahan pelanggaran Hak Asasi Manusia
dengan cara damai dan lebih bermartabat. Penegakan terhadap Hak Asasi
Manusia di Indonesia tidak dapat di tegakkan selama pola pemikirannya hanya
bersandar pada nilai-nilai Hak Asasi Manusia suatu negara. Sebab penegakan
terhadap nilai-nilai Hak Asasi Manusia dalam setiap wilayah negara akan
berbeda-beda karena dipengaruhi oleh kultur budaya, sosial dan religius suatu
bangsa, jika Indonesia ingin penegakan Hak Asasi Manusia berdiri di negara ini
serta harus sesuai dengan nilai kaidah yang ada di dalam jiwa bangsa Indonesia,
selama itu belum dipahami nilai penegakan Hak Asasi Manusia hanya sebagai
plaform belaka (Supriyanto, 2020).

Kesimpulan

Dari keseluruhan pembahasan diatas selanjutnya dapat ditarik beberapa


poin kesimpulan sebagai berikut:

1. HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan
anugerahNya yang wajib dihormati dijunjung tinggi dan dilindungi oleh
negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan dan
perlindungan harkat dan martabat manusia.
2. Instrumen penegakan HAM di Indonesia secara konstitusional dan yuridis
cukup kuat dan memadai.
3. Penegakan HAM di Indonesia dihadapkan kepada problem problem.
Diantaranya terpuruknya sistem hukum negara Indonesia yang unsur
unsurnya terdiri dari struktur, substansi dan kultur hukum, di samping
terpuruknya sistem sistem lain yang juga berpengaruh seperti sistem
ekonomi, politik dan sosial.
4. Solusi problem penegakan HAM diupayakan melalui rekonstruksi sistem
hukum nasional dengan melakukan restrukturisasi institusi-institusi
penegakan hukum untuk menjamin kemandirian yudisialnya serta
mereformasi sistem pendidikan aparat penegak hukum agar bermoral dan
profesional. Di samping itu dipandang perlu meninjau ulang ideologi
positivisme yang bercorak formalistik dan prosedural yang sangat
berpengaruh terhadap sistem hukum nasional untuk dapat merumuskan
sistem hukum yang progresif yang mampu menangkap substansi keadilan
dan kebenaran sebagai esensi penegakan hukum secara umum. Lebih dari
itu, untuk membangun kultur hukum yang kondusif diperlukan keteladanan
dari jajaran aparat penegak hukum dan para elite penguasa serta seluruh
warga negara untuk menunjukkan komitmen yang tinggi terhadap Indonesia
sebagai negara hukum. Dari semua usaha di atas, diharapkan sistem hukum
nasional akan dapat ditata kembali dan akan berpengaruh secara signifikan
terhadap perbaikan sistem yang lain termasuk penegakan HAM.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, A. (2002). Keterpurukan Hukum di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Atmaja, Y. D., Mulyani, T., & Sihotang, A. P. (2020). Analisis yuridis mengenai hak
mengeluarkan pendapat dalam perspektif HAM. Semarang Law Review (SLR)
.
Basar. (2011). Pelaksanaan Dan Penegakkan Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Di
Indonesia,. Jurnal Humaniora.
hadi, P., & Savitri Wisnuwadhani. (2008). Penegakan Hak Asasi Manusia dalam 10
Tahun. Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Laurensius, A. (2016). omnas Ham Sebagai State Auxialiary Bodies Di Dalam
Penegakan Hak Asasi Manusia Di Indonesia. Jurnal Bina Mulia Hukum.
Legowo, S. H., Krisnadi, I., & Sumartono, H. (2013). Dinamika politik rezim orde baru
di Indonesia studi tentang kegagalan konsilidasi politik rezim orde baru
pada tahun 1990-1996. Jurnal Publik Budaya.
Putra, M. A. (2015). ksistensi Lembaga Negara Dalam Penegakan HAM Di Indonesia.
iat Justisia Jurnal Ilmu Hukum.
Sidharta, B. A. (2000). Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum. Bandung: CV.Mandar
Maju,.
Siroj, A. M. (2020). Problem Penegakan Hak Asasi Manusia. Jurnal Hukum.
Sobarnapraja, A. (2020). Penegakan hukum dan pelanggaran Hak Asasi Manusia di
Indonesia. Jurnal Ilmu Kepolisian.
Supriyanto, B. H. (2020). Penegakan Hukum Mengenai Hak Asasi Manusia (HAM).
Jurnal AL-AZHAR INDONESIA SERI PRANATA SOSIAL.
Suwirta, A. (2018). Pers dan kritik sosial pada masa order baru. Jurnal Indonesia
untuk Kajian Pendidikan, .
Triwahyuningsih, S. (2018). Perlindungan Penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di
Indonesia. Jurnal Hukum.
Warjiyati, S. (2018). Instrumen Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Instrumen Hukum Penegakan Hak Asasi Manusia.
Wilujeng, S. R. (2017). Hak Asasi Manusia ditinjau dari Aspek Historis dan Yuridis.
Jurnal Unnes.

Anda mungkin juga menyukai