Fathan - Jurnal PKN
Fathan - Jurnal PKN
Abstrak
Abtract
The issue of upholding human rights has always been the main topic of discussion that
is of interest to the public, one of which is in Indonesia. This is because human rights
are inherently inherent in every human being, so that their existence cannot be
separated from human life. Various efforts have been made to realize human rights in
real life from the past until now, one of which is by upholding human rights. The
purpose of this scientific paper is to explain the theoretical aspects of human rights,
describe in detail about important instruments for upholding human rights, various
problems in upholding human rights in Indonesia, as well as several important
solutions that need to be implemented immediately in practice of upholding human
rights so that the manifestation of truth and substantive justice is truly felt by all levels
of Indonesian society.
Pendahuluan
Hak asasi manusia pada dasarnya ada sejak manusia dilahirkan karena hak
tersebut melekat sejak keberadaan manusia itu sendiri. Akan tetapi persoalan hak
asasi manusia baru mendapat perhatian ketika mengimplementasikannya dalam
kehidupan. Hak asasi manusia menjadi perhatian manakala ada hubungan dan
keterikatan antara individu dan masyarakat (Atmaja, Mulyani, & Sihotang, 2020),
misalnya polemik pada peristiwa sejarah dunia dan di Indonesia yang menyebabkan
adanya interaksi sosial.
Dari sini dapat ditarik suatu asumsi bahwa seandainya sistem hukum itu
bekerja dengan baik untuk mencapai tujuannya di atas, maka krisis yang
bersifat multidimensional itu akan dapat teratasi dan penegakan HAM akan
berjalan dengan baik. Dengan demikian rekonstruksi sistem hukum harus
menjadi sebuah perioritas. Rekonstruksi sistem hukum tersebut meliputi tiga
unsur pokok, yaitu struktur, substansi. dan kultur. Struktur mencakup institusi-
institusi penegakan hukum, yang dalam prakteknya belum sepenuhnya
independen, atau dengan kata lain, masih sering diintervensi oleh pihak lain
dalam mengambil keputusan hukum. Keberadaan Kepolisian dan Kejaksaan
sebagai institusi penegakan hukum yang merupakan bagian dari eksekutif
adalah sebuah problem tersendiri bagi kemandirian yudisial di negara kita.
Sehingga ini merupakan salah satu upaya Perlindungan HAM terutama melalui
pembentukan instrumen-instrumen dan kelembagaan HAM. Juga dapat
melalui berbagai faktor yang berkaitan dengan upaya pencegahan HAM
yang dilakukan individu maupun masyarakat dan negara (Triwahyuningsih,
2018).
Selain institusi, struktur sistem hukum juga meliputi aparat penegak
hukum. Problem krusial yang ada pada jajaran aparat penegak hukum secara
umum adalah tingkat moralitas dan integritas personalnya yang sangat rendah
sehingga hukum tidak dapat diimplementasikan sesuai ketentuan yang berlaku.
Hukum tidak lebih sebagai sebuah komoditas yang bisa diperjualbelikan atau
dinegosiasikan berdasarkan kepentingan yang melatarinya. Dua permasalahan
di atas menuntut upaya restrukturisasi institusi-institusi penegakan hukum,
sehingga kemandirian yudisial dapat dicapai. Demikian juga reformasi sistem
pendidikan calon aparat penegak hukum perlu dilakukan agar dapat dihasilkan
out-put yang profesional dan memiliki tingkat moralitas dan integritas personal
yang tinggi. Faktor ini sangatlah penting dan menentukan sebab bagaimanapun
baiknya sebuah sistem hukum itu dibangun tentu tidak akan berarti apa apa
kalau kualitas aparatnya rendah secara profesional maupun moral dan personal
(Laurensius, 2016).
Dilihat dari latar belakang munculnya, posistivisme ini dilatari oleh politik
liberalisme yang memperjuangkan kemerdekaan individu sehingga wajar
apabila faham ini tidak memberikan concern terhadap keadilan yang luas bagi
masyarakat. Dan baginya untuk mewujudkan kemerdekaan individu diperlukan
kepastian hukum dalam bentuk undang undang dan prosedur hukum yang
jelas. Dengan memahami karakter posistivisme, maka apabila faham ini terus
mendominasi sistem hukum negara kita tentu akan menghambat penegakan
hukum yang berkeadilan dan menimbulkan keterpurukan hukum yang krusial
terus menerus. Maka untuk bisa keluar dari problem ini bangsa Indonesia harus
dapat melepaskan diri dari belenggu positivisme karena dengan hanya
mengandalkan teori dan pemahaman hukum secara legalistikpositivistik yang
berbasis pada peraturan tertulis (rule bound) dan prosedur hukum semata
sistem hukum Indonesia tidak akan pernah mampu menangkap hakikat
kebenaran dan keadilan. Dan lebih ironis lagi penegakan hukum hanya
diimplementasikan dalam format peradilan formal (formal justice) semata yang
tidak akan mampu menangkap substansinya (Putra, 2015).
Hukum hanya berurusan dengan hal hal yang bersifat teknis dan
teknologis. Sentuhan kemanusiaan hukum menjadi hilang. Hukum direduksi
menjadi dua hal yang berhadapan secara berlawanan yaitu benar-salah,
menangkalah dan lain sebagainya. Langkah strategis yang sangat mendesak
untuk dilakukan untuk dapat keluar dari perangkap positivisme yang sangat
merugikan tatanan hukum kita adalah melakukan reformasi hukum menuju
Sistem Hukum Progresif. Untuk sampai kepada sistem hukum progresif ini
semua konsep perlu dikaji ulang dan digugat, baik konsep negara hukum,
konsep penegakan hukum, konsep peradilan bahkan konsep keadilan itu
sendiri. Karena fokusnya menuju hukum progresif maka kemudian yang
dihasilkan nanti adalah negara hukum progresif, konsep penegakan hukum
progresif, konsep keadilan progresif dan konsep konsep hukum lain yang
progresif. Untuk memulai reformasi hukum bisa dilakukan dari posisi saat ini,
dari tradisi dan praktek bernegara hukum dan penegakan hukum yang
diterapkan selama ini. Semua ini dijadikan obyek gugatan, atau dengan kata lain
keterpurukan hukum yang terjadi selama ini menjadi entry point gugatan untuk
menemukan format baru yang progresif. Yang menjadi problem dari kultur
hukum adalah belum kondusifnya praktek budaya penegakan hukum bagi
bekerjanya sistem hukum secara sistemik dan berkeadilan.
Kesimpulan
1. HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan
anugerahNya yang wajib dihormati dijunjung tinggi dan dilindungi oleh
negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan dan
perlindungan harkat dan martabat manusia.
2. Instrumen penegakan HAM di Indonesia secara konstitusional dan yuridis
cukup kuat dan memadai.
3. Penegakan HAM di Indonesia dihadapkan kepada problem problem.
Diantaranya terpuruknya sistem hukum negara Indonesia yang unsur
unsurnya terdiri dari struktur, substansi dan kultur hukum, di samping
terpuruknya sistem sistem lain yang juga berpengaruh seperti sistem
ekonomi, politik dan sosial.
4. Solusi problem penegakan HAM diupayakan melalui rekonstruksi sistem
hukum nasional dengan melakukan restrukturisasi institusi-institusi
penegakan hukum untuk menjamin kemandirian yudisialnya serta
mereformasi sistem pendidikan aparat penegak hukum agar bermoral dan
profesional. Di samping itu dipandang perlu meninjau ulang ideologi
positivisme yang bercorak formalistik dan prosedural yang sangat
berpengaruh terhadap sistem hukum nasional untuk dapat merumuskan
sistem hukum yang progresif yang mampu menangkap substansi keadilan
dan kebenaran sebagai esensi penegakan hukum secara umum. Lebih dari
itu, untuk membangun kultur hukum yang kondusif diperlukan keteladanan
dari jajaran aparat penegak hukum dan para elite penguasa serta seluruh
warga negara untuk menunjukkan komitmen yang tinggi terhadap Indonesia
sebagai negara hukum. Dari semua usaha di atas, diharapkan sistem hukum
nasional akan dapat ditata kembali dan akan berpengaruh secara signifikan
terhadap perbaikan sistem yang lain termasuk penegakan HAM.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, A. (2002). Keterpurukan Hukum di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Atmaja, Y. D., Mulyani, T., & Sihotang, A. P. (2020). Analisis yuridis mengenai hak
mengeluarkan pendapat dalam perspektif HAM. Semarang Law Review (SLR)
.
Basar. (2011). Pelaksanaan Dan Penegakkan Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Di
Indonesia,. Jurnal Humaniora.
hadi, P., & Savitri Wisnuwadhani. (2008). Penegakan Hak Asasi Manusia dalam 10
Tahun. Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Laurensius, A. (2016). omnas Ham Sebagai State Auxialiary Bodies Di Dalam
Penegakan Hak Asasi Manusia Di Indonesia. Jurnal Bina Mulia Hukum.
Legowo, S. H., Krisnadi, I., & Sumartono, H. (2013). Dinamika politik rezim orde baru
di Indonesia studi tentang kegagalan konsilidasi politik rezim orde baru
pada tahun 1990-1996. Jurnal Publik Budaya.
Putra, M. A. (2015). ksistensi Lembaga Negara Dalam Penegakan HAM Di Indonesia.
iat Justisia Jurnal Ilmu Hukum.
Sidharta, B. A. (2000). Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum. Bandung: CV.Mandar
Maju,.
Siroj, A. M. (2020). Problem Penegakan Hak Asasi Manusia. Jurnal Hukum.
Sobarnapraja, A. (2020). Penegakan hukum dan pelanggaran Hak Asasi Manusia di
Indonesia. Jurnal Ilmu Kepolisian.
Supriyanto, B. H. (2020). Penegakan Hukum Mengenai Hak Asasi Manusia (HAM).
Jurnal AL-AZHAR INDONESIA SERI PRANATA SOSIAL.
Suwirta, A. (2018). Pers dan kritik sosial pada masa order baru. Jurnal Indonesia
untuk Kajian Pendidikan, .
Triwahyuningsih, S. (2018). Perlindungan Penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di
Indonesia. Jurnal Hukum.
Warjiyati, S. (2018). Instrumen Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Instrumen Hukum Penegakan Hak Asasi Manusia.
Wilujeng, S. R. (2017). Hak Asasi Manusia ditinjau dari Aspek Historis dan Yuridis.
Jurnal Unnes.