8039 17781 1 SM
8039 17781 1 SM
Abstrak
Tujuan penelitian secara umum untuk mengkaji persepsi dan partisipasi
masyarakat dalam pemanfaatan, pencegahan kerusakan hutan mangrove, untuk
mencari alternatif arahan pengelolaan hutan mangrove dari aspek sosial ekonomi
masyarakat di sekitarnya. Pengumpulan data menggunakan metode survei,
dengan melakukan wawancara terhadap sample responden sebanyak 90 kepala
keluarga (KK) atau 25 persen dari seluruh jumlah populasi sebanyak 358 KK..
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk (48,8%) memiliki
pengetahuan kategori sedang tentang manfaat, kerusakan akibat pemanfaatan, dan
perlunya pencegahan kerusakan hutan mangrove. Sebagian besar penduduk
(53,6%) memiliki persepsi pada kategori rendah. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat
pengetahuan tentang hutan mangrove (c = 12,71; signifikansi 0,013). Kebijakan
pemerintah daerah untuk pengelolalaan hutan mangrove, ditanggapi secara
negatip oleh masyarakat setempat. Hal itu disebabkan oleh belum adanya usaha
pengelolaan hutan mangrove secara jelas dan tegas. Pemerintah daerah
seyogyanya segera menyusun rencana pengelolaan hutan mangrove secara
terpadu, dan segera disosialisasikan kepada masyarakat di sekitar hutan
mangrove.
43
Jurnal Geografi Volume 11 No. 1 Januari 2014: 43-57
44
Jurnal Geografi Volume 11 No. 1 Januari 2014: 43-57
45
Jurnal Geografi Volume 11 No. 1 Januari 2014: 43-57
mangrove memiliki manfaat ganda, baik pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu,
dari aspek ekologi maupun aspek sosial perlu kebijakan untuk menentukan
ekonomi. Dari aspek ekonomi Saenger, et alternatif pemanfaatan berdasar kondisi
al. (1983) mengidentifikasi lebih dari 70 sosial ekonomi masyarakat, untuk memilih
macam fungsi mangrove bagi kepentingan dan mengadopsi cara-cara pemanfaatan
umat manusia, baik produk langsung yang paling baik, untuk memenuhi
seperti bahan bakar, bahan bangunan, areal kebutuhan mereka, sekaligus
penangkapan ikan, pupuk pertanian, bahan mengamankan sumberdaya untuk masa
baku kertas, makanan, obat-obatan, depan (Sorensen et al., 1990; Clark, 1992).
minuman, dan tekstil maupun produk tidak Salah satu aspek penting dalam
langsung seperti: tempat rekreasi, dan pengelolaan sumberdaya hutan mangrove,
bahan makanan. Mengingat besarnya adalah peningkatan peranan masyarakat.
manfaat hutan mangrove tersebut maka Sunoto (1997) mengemukakan peranan
untuk menjaga keberlanjutannya perlu masyarakat dapat ditelusuri dari hasil
pengelolaan. kajian keadaan sosial ekonomi,
Pengelolaan dalam konteks pemanfaatan kearifan lokal, perlindungan
sumberdaya hutan, merupakan penerapan terhadap teknologi tradisional dan ramah
cara-cara pengurusan, dan pengusahaan lingkungan, serta peningkatan kepatuhan
hutan, serta teknik kehutanan ke dalam masyarakat terhadap peraturan perundang-
usaha pemanfaatan sumberdaya alam hutan undangan dan tata nilai masyarakat lokal,
tersebut (Kenneth, 1979). Dalam kaitannya yang berwawasan lingkungan hidup.
dengan kebijakan, pengelolaan Maknanya, bahwa keberlanjutan hutan
dimaksudkan sebagai cara pencapaian mangrove, sangat bergantung pada respon
tujuan dengan pengarahan tindakan, yang masyarakat, baik berwujud persepsi dan
diikuti oleh suatu organisasi atau individu, partisipasi baik secara kelompok maupun
dan merupakan suatu haluan (Soekanto, secara individu setiap anggota masyarakat
1985). Khusus tentang pengelolaan hutan di sekitarnya.
mangrove di dalamnya, sebaiknya Ritohardoyo (2009) berpendapat,
dilakukan menyeluruh baik kawasan pesisir bahwa keberadaan usaha pelestarian hutan,
beserta sumberdaya alam dan jasa bukan hanya bergantung pada ada tidaknya
lingkungan. Dalam perencanaan partisipasi pemerintah dan masyarakat,
46
Jurnal Geografi Volume 11 No. 1 Januari 2014: 43-57
47
Jurnal Geografi Volume 11 No. 1 Januari 2014: 43-57
48
Jurnal Geografi Volume 11 No. 1 Januari 2014: 43-57
Berkaitan dengan masalah hutan tambak tersebut pun tidak pernah ada yang
mangrove di Kecamatan Teluk Pakedai, masuk ke kas desa setempat.
lima tahun yang lalu (2005) masih seluas Beberapa informan menyatakan
2.838,98 ha. Namun demikian akibat bahwa sebagian besar masyarakat di daerah
adanya konversi lahan hutan mangrove, penelitian tidak memiliki pengetahuan
hingga tahun 2010 tinggal seluas 2.327,1 tentang fungsi hutan mangrove. Namun
ha atau 7,97 persen dari seluruh luas daerah demikian dengan keberadaan usaha tambak
kecamatan. Penyusutan luas hutan di desa tersebut, mereka telah menyadari
mangrove selama lima tahun terakhir adanya kerusakan lahan hutan mangrove
sebesar 511,89 ha, dialihfungsikan untuk akibat penebangan untuk dijadikan lahan
lahan tambak seluas 372,38 ha, dan akibat tambak, dan telah khawatir dan merasakan
penebangan liar seluas 139,50 ha menjadi akibatnya antara lain terjadinya abrasi
lahan semak-belukar, yang kesemuanya pantai di Desa Kuala Karang.
terjadi di Desa Kuala Karang. Kekhawatiran sebagian anggota masyarakat
Keterangan kerusakan hutan tersebut sebenarnya cukup logis, mengingat
mangrove di Desa Kuala Karang dari hasil pengukuran, pengamatan, dan
beberapa informan, sebagai akibat wawancara terhadap beberapa anggota
pengusahaan tambak, yang dilakukan di masyarakat setempat, menunjukkan bahwa
daerah ini oleh beberapa pemilik modal tingkat abrasi pantai selama tahun 2005
(investor) dari luar daerah, atas ijin sampai tahun 2010 berkisar 200 meter.
rekomendasi perolehan sewa dan Konversi lahan hutan mangrove
pembelian lahan dari kepala desa setempat, seluas 139,50 hektar, yang saat ini menjadi
tanpa sepengetahuan atau ijin dari semak belukar di desa ini, pada awalnya
pemerintah atau dinas terkait. Kegiatan juga direncanakan untuk lahan usaha
usaha tambak tidak melibatkan penduduk tambak. Namun setelah pepohonan antara
asli Desa Kuala Karang, sejak dari awal lain bakau (Rhizopora spp, Brugueira spp),
kegiatan pembukaan hutan mangrove dan api-api (Avicena alba, Avicenia
hingga pengelolaan tambak, sepenuhnya marina) ditebang, ternyata hanya dibiarkan
dikelola oleh pengusaha pihak luar Desa saja dalam jangka waktu lama, sehingga
Kuala Karang. Di samping itu menurut sampai penelitian ini dilaksanakan masih
keluhan beberapa informan produk usaha berupa semak- belukar, dalam kondisi
49
Jurnal Geografi Volume 11 No. 1 Januari 2014: 43-57
rusak. Secara umum dapat dinyatakan sebagian kecil bekerja sebagai nelayan
bahwa dari hasil pengukuran peta, penangkap ikan di laut. Pemilikan dan
wawancara terhadap beberapa tokoh pengusahaan lahan pertanian yang sempit
masyarakat setempat, dan pengamatan di ini, merupakan salah satu pendorong
lapangan langsung di lapangan, hutan mereka untuk mengkonversi sebagian lahan
mangrove di desa Kuala Karang dalam hutan mangrove menjadi lahan sawah dan
kondisi kurang rusak sejak tahun 2005 kebun.
hingga 2010. Rata-rata pendapatan rumahtangga
cukup tinggi, yakni Rp 1.168.755,- per
Karakteristik Sosial Ekonomi bulan, dengan jumlah rata- rata anggota
Secara demografis sebagian besar keluarga per rumahtangga 4 jiwa, maka
(51,26%) kepala rumah tangga atau KK di besarnya pendapatan per kapita Rp
Desa Kuala Karang adalah penduduk 292.189,- per bulan. Rata-rata pendapatan
berusia dewasa (30 – 45 tahun), dengan rumahtangga tersebut sedikit lebih tinggi
jumlah tanggungan keluarga penduduk dari pada UMR di Kabupaten Kubu Raya
termasuk kecil (4 orang/KK). Tingkat besarnya Rp 1.024.500,- tahun 2010
pendidikan mereka sebagian besar (56,0 %) (Mahendra, 2010).
tidak tamat dan tamat SD, bahkan 3,6 Maknanya, bahwa ditinjau dari aspek
persen tidak pernah sekolah. Ditinjau dari pendapatan rumhtangga, kondisi sosial
proporsi penduduk menurut pekerjaan, ekonomi penduduk Desa Kuala Karang
sebagian besar (73,8%) adalah petani dan secara umum relatif sejahtera.
nelayan; sebanyak 19,1 persen bekerja Ditinjau dari aspek tingkat status
sebagai nelayan dan buruh petani tambak, sosial ekonomi, sebagian besar (64,3%)
dan hanya 7,1 persen sebagai pedagang dan rumahtangga penduduk pesisir Aeramo,
pegawai. termasuk kategori tinggi. Sebagian lagi
Bagi sebagian besar penduduk yang termasuk kelompok penduduk dengan
bekerja di sektor pertanian dan nelayan, status sosial ekonomi kategori sedang
luas pemilikan lahan pertanian sebagian (11,9%) dan kategori rendah (23,8%).
besar (65,1%) penduduk kurang dari 7.500 Tingginya status sosial ekonomi sebagian
m2. Kegiatan sebagian besar nelayan besar penduduk di Desa Kuala karang
sebagai penangkap kepiting, dan hanya sangat wajar, mengingat pendapatan rata-
50
Jurnal Geografi Volume 11 No. 1 Januari 2014: 43-57
rata perkapita yang cukup tinggi. Dengan namun tampaknya mereka belum
pendapatan yang relatif tinggi, seharusnya menyadari pentingnya usaha di luar
mampu untuk memanfaatkan sebagai pertanian.
modal usaha di luar sektor pertanian,
Tabel 2. Hubungan antara Pengetahuan tentang Hutan Mangrove dengan Persepsi Penduduk
terhadap Hutan Mangrove
51
Jurnal Geografi Volume 11 No. 1 Januari 2014: 43-57
mangrove secara umum, pada sebagian dilaksanakan di desa ini, maka partisipasi
besar penduduk tentang pentingnya penduduk dalam pemanfaatan hutan
keberadaan hutan mangrove dianggap mangrove sebagian besar (95,2%) pada
kurang penting. Hal ini tampak dari kategori sedang. Dalam pencegahan
persepsi mereka terhadap hutan mangrove kerusakan lahan maupun tumbuh-
secara umum (53,6%) termasuk pada tumbuahan hutan mangrove, sebagian besar
kategori persepsi rendah. partisipasi penduduk juga pada kategori
Pada Tabel 2 ditunjukkan sebagian sedang (50,0% dan 48,8%). Wujud
besar kelompok penduduk yang memiliki partisipasi dalam pencegahan kerusakan
pengetahuan tentang hutan mangrove tersebut, terbatas dalam pemanfaatan hutan
kategori rendah dan sedang (63,3%); mangrove untuk sumber kayu bakar dan
adalah mereka yang memiliki tingkat pertukangan, jika pengambilan kayu masih
persepsi terhadap hutan mangrove pada berukuran sedikit, mereka artikan sebagai
kategori rendah. Tetapi sebagian besar ikut serta mencegah kerusakan lahan dan
(57,1%) kelompok penduduk yang vegetasi hutan mangrove. Secara umum
memiliki pengetahuan tentang hutan berbagai jenis partisipasi baik dalam
mangrove kategori tinggi, ternyata mereka pemanfaatan, maupun dalam pencegahan
yang juga memiliki persepsi tehadap hutan kerusakan hutan mangrove; atau partisipasi
mangrove pada kategori tinggi. Hasil dalam pengelolaan, termasuk pada kategori
analisis nilai c2 = 12,7; signifikansi 0,01; sedang (54,8%). Sebagian lagi (45,2%)
dan besarnya nilai koefisien kontingensi adalah kelompok penduduk dengan peran
(C) = 0,36. Artinya, makin tinggi tingkat serta kategori rendah. Partisipasi penduduk
pengetahuan penduduk tentang hutan dalam pengelolaan hutan hutan mangrove
mangrove di daerah ini, semakin tinggi tersebut, dipengaruhi oleh tingkat status
persepsinya terhadap keberadaan hutan sosial ekonomi mereka. Pada Tabel 3.
mangrove. ditunjukkan, bahwa sebagian terbesar (53,3
%) kelompok penduduk yang memiliki
Partisipasi Penduduk dalam Pengelolaan status sosial ekonomi sedang, adalah
Hutan Mangrove mereka yang memiliki partisipasi dalam
Sebagai akibat penyuluhan tentang pengelolaan hutan mangrove dengan
hutan mangrove belum pernah kategori rendah. Tetapi sebagian terbesar
52
Jurnal Geografi Volume 11 No. 1 Januari 2014: 43-57
Tabel 4. Hubungan antara Pengetahuan tentang Hutan Mangrove dengan Tingkat Partisipasi Penduduk
dalam Pengelolaan
Tabel 5. Hubungan antara Persepsi terhadap Keberadaan Hutan Mangrove dengan Tingkat Partisipasi
Penduduk dalam Pengelolaan
53
Jurnal Geografi Volume 11 No. 1 Januari 2014: 43-57
54
Jurnal Geografi Volume 11 No. 1 Januari 2014: 43-57
umum adalah sebagai berikut. (1) Dinas Kehutanan, Perikanan dan Kelautan,
Mengingat belum adanya rencana Pertanian dan pemuka masyarakat setempat
pengelolaan hutan mangrove di Kecamatan dalam hal (a) penataan daerah perikanan
Teluk Pakedai dari Pemerintah Daerah tambak di areal hutan mangrove; dan (b)
Kabupaten Kubu Raya, maka secepatnya penyuluhan mengenai kegiatan usaha
perlu disusun rencana pengelolaan hutan tambak yang ramah lingkungan.
mangrove, yang sebelumnya perlu
penelitian aspek biofisik hutan KESIMPULAN
mangrove untuk identifikasi dan
inventarisasi permasalahan biofisik dan Keberadaan hutan mangrove di Desa
sosio budaya masyarakat sekitar hutan Kuala Karang secara umum dipahami oleh
mangrove. (2) Apabila rencana pengelolaan penduduk. Pengetahuan penduduk setempat
di tingkat kabupaten telah tersusun, maka relatif cukup tinggi tentang manfaat,
perlu disosialisasikan kepada beberapa kerusakan akibat pemanfaatan, serta
instansi yang terkait (Kehutanan, Perikanan perlunya pencegahan kerusakan hutan
dan Kelautan), dan kepada pemerintah mangrove. Namun demikian tingkat
daerah di setiap kecamatan yang memiliki pengetahuan tentang hutan mangrove
hutan mangrove, dan yang penting kepada tersebut lebih mengarah pada pengetahuan
masyarakat sekitar hutan mangrove. (3) manfaat ekonomi rumahtangga. Pentingnya
Perencanaan kegiatan penyuluhan kepada hutan mangrove secara umum
masyarakat seyogyanya diikuti kegiatan dipersepsikan oleh penduduk setempat
pengawasan, dan pengendalian langsung di masih pada tingkat rendah. Persepsi
lapangan yang sesegera mungkin penduduk tersebut lebih banyak
dilaksanakan. (4)Agar program diakibatkan tingkat pengetahuan mereka
pengelolaan hutan mangrove memperoleh tentang hutan mangrove, dari pada akibat
dukungan penuh dari segenap komponen perbedaan status sosial ekonomi.
masyarakat, dan agar memperoleh hasil Peran serta penduduk dalam
yang baik, maka perlu menjalin koordinasi pengelolaan hutan mangrove, termasuk
yang lebih baik dengan semua pihak yang kategori sedang. Variasi tinggi- rendahnya
terkait. (5) Untuk mengurangi konflik tingkat partisipasi penduduk dalam usaha
penggunaan lokasi; perlu kerja sama antara pengelolaan hutan mangrove bergantung
55
Jurnal Geografi Volume 11 No. 1 Januari 2014: 43-57
pada status sosial ekonomi, pengetahuan Teluk Pakedai Dalam Angka Tahun
2005. Sungai Raya: BPS. Kab. Kubu
tentang hutan mangrove, dan tingkat
Raya.
persepsi terhadap hutan mangrove
____ . 2010. Kecamatan Teluk Pakedai
Dari sisi partisipasi pemerintah dalam
Dalam Angka Tahun 2010. Sungai
wujud kebijakan untuk pengelolalaan hutan Raya: BPS. Kab. Kubu Raya.
mangrove di Kabupaten Kubu Raya belum
Clark, R.B., 1992, Biological Causes and
tersedia. Akibatnya, tanggapan masyarakat Effect of Paralytic Shelfish
Poisoning, in The Lancet (7571). P:
setempat terhadap peranserta pemerintah
770-772.
cenderung negatip, dalam kaitannya dengan
Dahuri, R. J. Rais, S.P. Ginting. dan M. J.
belum tersedianya pengelolaan hutan
Sitepu. 1996. Pengelolaan
mangrove. Sumberdaya Wilayah Pesisir dan
Lautan Secara Terpadu. Jakarta: PT.
Arahan pengelolaan hutan mangrove
Pradnya Paramita.
dari aspek sosial ekonomi, pemerintah
Dinas Kehutanan Kabupaten Kubu Raya.
daerah perlu secepatnya menyusun
2010. Perkembangan Kondisi
pengelolaan hutan mangrove. Pengelolaan Kawasan Hutan. Sungai Raya: Dinas
Kehutanan Kabupaten Kubu Raya.
perlu disosialisasikan kepada beberapa
instansi terkait dan masyarakat sekitar FAO. 2007. The World’s Mangroves 1980
– 2005.A thematic study prepared in
hutan mangrove, dengan cara secepatnya
the freamwork of the global forest
merencanakan kegiatan penyuluhan kepada Resources Assessment 2005. Rome:
FAO.
masyarakat, disertai kegiatan pengawasan,
dan pengendalian langsung di lapangan. Giesen, Wim, Zieren, Max, Scholten, and
Liesbeth. 2006. Mangrove
Guidebook For Southeast Asia.
DAFTAR PUSTAKA FAO and Wetlands International.
Bengen, D.G. 1999. Ekosistem dan Kenneth, F.D. 1979. Forest Management,
Sumberdaya Alam Pesisir, dalam Regulation, and Valuation. London:
Bahan Kuliah SPL. Bogor: Program McGraw-Hill Book Co.
Pasca Sarjana IPB.
Kompas. 2008. ‘209.547 Hektar Hutan
BPS. Kab. Kubu Raya. 2005. Kecamatan Mangrove di Kalimantan Barat
56
Jurnal Geografi Volume 11 No. 1 Januari 2014: 43-57
57