KLP3 Terjemahan

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 11
Jadi, sebab persclisihan mercka dalam pembahasan ini yaitu: pertentangan di antara qiyas-qiyas syabah. Cabang-cabang pembahasan ini cukup banyak, hanya saja akan kami sebutkan beberapa pembahasan yang terkenal, supaya sejalan dengan masalah pokok. Babi Jual Beli Riba Para ulama sepakat bahwa riba terdapat pada dua hal: pada jual beli dan pada sesuatu yang berada dalam tanggungan seperti penjualan, pinjaman atau yang lainnya. Riba pada sesuatu yang berada dalam tanggungan ada dua jenis: Pertama, jenis yang disepakati; riba jahiliyah yang dilarang, yaitu bahwa mereka memberikan pinjaman dengan pengembalian yang bertambah jika menunda pembayaran, mereka mengatakan, “Tangguhkanlah aku, maka akan aku berikan tambahan untukmu.” Inilah yang dimaksudkan oleh Nabi SAW dalam sabda beliau pada haji Wada’: ae gf pau, bal uy SH ey chek v, “Ketahuilah, sesungguhnya riba jahiliyah itu telah dihapuskan dan riba pertama yang saya hapus ialah riba Al Abbas bin Abdul Muththalib.”* Kedua, hapuskan dan bersegeralah. Ini masih diperselisihkan dan akan kami jelaskan pada pembahasan berikutnya. Adapun riba dalam jual beli: para ulama sepakat bahwa itu ada dua macam: nasi‘ah dan tafadhul. Kecuali pendapat yang diriwayatkan dari Tbnu Abbas tentang pengingkarannya terhadap riba fafadhul, berdasarkan hadits yang diriwayatkan olehnya dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda, eo ge '™” Potongan dari hadits Jabir yang cukup panjang pada haji Nabi SAW. Takhrij hadits tersebut telah dijelaskan. 256 Bidayatul Mujtahid “Tidak ada riba kecuali pada riba nasi‘ah (jual beli dengan penundaan).”"** Jumhur berpendapat bahwa riba terdapat pada kedua macam ini, berdasarkan hadits yang shahih dari Nabi SAW Pembicaraan mengenai riba terangkum dalam empat pasal Pasal pertama: Barang-barang yang tidak boleh ada lebihan dan tidak boleh ada penundaan serta penjelasan tentang alasannya Kami katakan, para ulama telah sepakat bahwa tafadhul (penambahan) dan nasi ‘ah (penundaan) termasuk yang tidak boleh terjadi pada satu dari jenis barang yang telah ditegaskan di dalam hadits Ubadah bin Ash-Shamit, kecuali pendapat yang telah diriwayatkan dari Tbnu Abbas. Sedangkan hadits Ubadah yaitu: dia berkata, 4 Bh ba Layee gly clus Atk Pay cell wy Me “A aay xaally wih a S55) 3 5G ab ae OF ali alps x ay au “Aku mendengar Rasulullah SAW melarang menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, kecuali sama banyaknya dan dilakukan dengan tunai. Barangsiapa yang menambah atau meminta tambahan, maka sungguh telah melakukan riba.”""* Hadits ini menegaskan tentang larangan melakukan penambahan pada satu jenis di antara barang-barang tersebut. "* Hadits ini adalah hadits Usamah bin Zaid, di dalam hadits tersebut dijelaskan bahwa Ibnu Abbas datang menemui Tbnu Umar, lalu memberikan salam kepadanya, dan berkata, “Apakah kamu menuduh Usamah.” Dia mengatakan, Tbnu Umar menjawab, “Tidak.” Dia mengatakan, “Sungguh dia telah menceritakan kepadaku bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Tidak ada riba Kecuali pada riba nasi'ah’." HR, Al Bukhari (2178, 2179), Muslim (1596), Ibnu Majah (2257), Abmad (5/200, 204, 206, 208, 209), dan Ad-Darimi (2/259), Shahth, HR. Muslim (1587), Abu Daud (3349), At-Tirmidzi (1240), An-Nasa’i (7/274), Tomu Majah (2254), Ahmad (5/319, 320) dan Ath-Thayalisi (581) Bidayatul Mujtahid 257 Sedangkan larangan penundaan, terdapat ketetapan lebih dari satu hadits, yang paling masyhur yaitu hadits Umar bin Al Khaththab, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda, * Vig Bo oe WOR Ee Foy Yio ¥, . 2% a 2% Ny set oto SU Bu Sy ot os, Cay Cali eB YU, AL atts olay ela YU) ASU “Emas dengan emas adalah riba kecuali dengan serah terima Jangsung, Kurma dengan kurma adalah riba kecuali dengan serah terima langsung, Gandum dengan gandum adalah riba kecuali dengan serah terima langsung.”"” wl Hadits Ubadah mengandung arti larangan untuk melakukan penambahan pada satu jenis dan hadits Ubadah juga mengandung arti larangan penundaan pada dua jenis dari barang-barang ini dan dibolehkannya melakukan penambahan, itu terdapat dalam riwayat yang shahih, yaitu setelah disebutkan larangan melakukan penambahan pada enam barang tersebut dikatakan: ps OS fay Ny ae oe OS Bly Ca tay vty 1 “Dan juallah emas dengan perak sekehendakmu secara tunai dan biji gandum dengan gandum (sya ‘ir) sekehendakmu secara tunai.” Ini semua telah disepakati di antara para fuqaha kecuali biji gandum dengan sya ‘ir, Mereka berbeda pendapat tentang selain enam barang yang telah ditegaskan tersebut: 1. Sekelompok ulama —di antaranya ahli zhahir— mengatakan sesungguhnya larangan penambahan tersebut terdapat pada masing- masing enam jenis barang ini saja, sedangkan yang lainnya tidak dilarang melakukan penambahan pada satu jenis barang. Mereka juga mengatakan bahwa penundaan dilarang pada enam jenis barang ini saja, baik barang-barang tersebut sama atau berbeda. Ini " Muttafag ‘Alaih, HR. Al Bukhari (2174), Muslim (1586), Abu Daud (3348), At-Tirmidzi (1243), An-Nasa’i (7/273), Ibnu Majah (2253), Ahmad (1/24, 45), Ad-Darimi (2/258), dan Tbnu Al Jarud (651). 258 — Bidayatul Mujtahid adalah perkara yang disepakati (maksudnya, larangan penundaan pada barang-barang tersebut dengan perbedaan jenisnya), kecuali pendapat yang diriwayatkan dari Ibnu Aliyah, bahwa dia berkata, jika ada dua jenis yang berbeda, maka dibolehkan — adanya penambahan dan penundaan selain emas dan perak. Jadi mereka menganggap bahwa larangan yang berhubungan dengan zat enam barang ini termasuk bab kata khusus yang dimaksudkan untuk pengertian khusus pula 2. Jumhur fuqaha berbagai negeri sepakat menyatakan bahwa itu merupakan kata khusus yang dimaksudkan untuk pengertian umum. Mereka berbeda pendapat tentang makna umum yang diperingatkan dengan jenis-jenis ini (maksudnya, tentang pengertian alasan penambahan dan larangan penundaan pada barang-barang tersebut). Yang diakui olch para cendekiawan dari madzhab Malikiyah yaitu bahwa sebab larangan penambahan adalah sebagai berikut: Adapun pada empat barang; satu jenis termasuk yang bisa disimpan serta sebagai makanan pokok. Pendapat lain mengatakan, itu adalah satu jenis yang bisa disimpan, meskipun bukan makanan pokok. Termasuk syarat bisa disimpan menurut mereka yaitu agar terjadi pada umumnya. Sebagian pengikutnya mengatakan riba terjadi pada satu jenis yang bisa disimpan meskipun jarang disimpan. Sedangkan « alasannya menurut' mercka tentang —_larangan penambahan pada emas dan perak, yaitu sama jenis, disamping keduanya sebagai patokan harga dan nilai barang-barang yang dikonsumsi. Alasan inilah yang menurut mereka dikenal dengan illat gashirah (alasan yang terbatas) karena menurut mereka illat tersebut tidak terdapat pada selain emas dan perak. Adapun alasan larangan penundaan menurut madzhab Maliki pada empat barang yang telah ditegaskan yaitu makanan dan dapat disimpan tanpa adanya kesamaan jenis. Karena itu, jika jenisnya berbeda, menurut mereka dibolehkan melakukan penambahan tanpa ada penundaan. Untuk itu menurut mereka dibolehkan melakukan penambahan pada makanan yang tidak bisa disimpan (maksudnya, pada satu jenis dari barang-barang tersebut) dan tidak boleh melakukan penundaan. Dibolehkannya melakukan penambahan; karena barang-barang tersebut tidak bisa disimpan. Pendapat lain mengatakan bahwa bisa Bidayatul Mujtahid 259 disimpan merupakan syarat keharaman melakukan penambahan pada satu jenis, Sedangkan larangan penundaan pada barang-barang tersebut, yaitu karena itu adalah makanan yang bisa disimpan. Telah kami katakan bahwa makanan secara mutlak merupakan alasan dilarangnya penundaan pada makanan: 1. Ulama madzhab Syafi'i_ menyatakan bahwa alasan_ larangan melakukan penambahan pada keempat barang ini menurut mereka yaitu makanan saja, disamping kesamaan satu jenis. Sedangkan alasan larangan penundaan yaitu karena barang-barang tersebut ialah makanan tanpa mempertimbangkan jenis, seperti pendapat Malik. 2. Ulama madzhab Hanafi menyatakan bahwa alasan_ larangan melakukan penambahan menurut mereka pada keenam barang tersebut adalah satu yaitu takaran atau timbangan disamping kesamaan jenis. Sedangkan alasan penundaan pada barang-barang tersebut ialah perbedaan jenis selain pada tembaga dan emas. Telah terjadi ijma’ tetntang dibolehkan nya penundaan dalam hal itu. Syafi'i sependapat dengan Malik tentang alasan larangan melakukan penambahan dan penundaan pada emas dan perak (maksudnya, bahwa kedua barang tersebut sebagai patokan harga dan nilai barang-barang yang dikonsumsi yaitu menurat mereka alasan larangan penundaan jika jenisnya berbeda. Jika sama maka dilarang melakukan penambahan). Sedangkan lama madzhab Hanafi mempertimbangkan pada takaran suatu ukuran yang bisa ditakar. Akan dijelaskan hukum-hukum uang emas dan uang perak dengan kekhususannya pada kitab Sharf. Adapun di sini, maksudnya ialah menjelaskan berbagai pendapat pada fugaha tentang beberapa alasan riba yang mutlak pada barang-barang ini serta penjelasan dalil masing-masing kelompok dari mereka. Maka kami katakan: Sesungguhnya para ulama yang membatasi jenis riba pada enam jenis barang ini, mereka adalah salah satu dari dua kelompok: Kemungkinan mereka adalah sekelompok ulama yang meniadakan qiyas dalam syari’at (maksudnya, meniadakan pengambilan illat (alasan) dari lafazh-lafazh) mereka adalah ahli zhahir. 260 Bidayatul Mujtahid Dan kemungkinan mereka adalah sekelompok ulama yang meniadakan qiyas syabah, yaitu bahwa semua orang yang menyandarkan sesuatu yang tidak dijelaskan dengan sesuatu yang diucapkan di sini, hanya menyandarkannya dengan qiyas syabah bukan dengan qiyas illat. Kecuali pendapat yang diriwayatkan dari Ibnu Al Majisyun, bahwa dia dalam hal ini mempertimbangkan sebagai harta; dia mengatakan, alasan larangan riba hanyalah cakupan harta, yang dimaksud ialah larangan barangnya Sedangkan Al Qadhi Abu Bakar Al Bagilani berpendapat bahwa qiyas syabah menurutnya adalah lemah, sedangkan qiyas makna menurutnya adalah lebih kuat dari giyas syabah, maka dalam hal ini dia mempertimbangkan qiyas makna, karena qiyas illat belum sampai kepadanya, maka dia hanya menyertakan anggur kering saja pada keempat jenis barang tersebut, karena dia menganggap bahwa anggur kering itu sama maknanya dengan kurma. Bagi masing-masing mereka (maksudnya, para ulama yang menyatakan adanya qiyas) memiliki dalil dalam pengambilan kesamaan yang menjadi pertimbangan dalam menyandarkan sesuatu yang tidak dijelaskan dengan yang diucapkan dari keempat barang ini: 1, Ulama madzhab Syafii_ mengatakan tentang penetapan_ilfat syabah: bahwa suatu hukum jika digantungkan pada isim musytaq, menunjukkan bahwa makna yang membentuk isim merupakan illat hukum, seperti firman Allah Ta‘ala, “Laki-laki dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya.” (Qs. Al Maa’idah (5) 38) Setelah menggantungkan hukum pada isim musytaq yaitu pencuri, maka dapat diketahui bahwa hukum tersebut berhubungan dengan pencurian itu sendiri. Mereka berkata, “Begitu pula halnya kasus ini; dijelaskan pada hadits Ma’mar bin Abdullah, bahwa dia berkata, ‘aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: fin Se pay fucks Bidayatul Mujtahid 261 . sts Makanan dengan makanan adalah harus sama’ *"** Maka jelas bahwa hukum ntungkan pada makanan 2 Ulama madzhab Maliki mengatakan bahwa menambahkan pada makanan ialah kemungkinan satu. sifat, yaitu bisa disimpan berdasarkan pendapat yang terdapat dalam Al Muwaththa’. Dan kemungkinan dua sifat yaitu bisa disimpan dan makanan pokok, berdasarkan pendapat yang dipilih oleh para ulama Baghdad. Mereka dalam pengambilan il/ar ini berpegang pada alasan bahwa seandainya yang dimaksud adalah makanan saja, maka hal itu cukup diingatkan dengan satu nash dari salah satu keempat jenis yang telah disebutkan. Setelah menyebutkan sejumlah barang, maka bisa diketahui bahwa tujuan pada masing-masing adalah penjelasan tentang sesuatu yang terdapat pada maknanya, dan semuanya terhimpun pada makanan dan dapat disimpan. Sedangkan biji gandum dan sya’ir, dengan keduanya mengisyaratkan jenis biji-bijian yang bisa disimpan. Sedangkan kurma, mengisyaratkan semua jenis manisan yang bisa disimpan seperti gula, madu dan anggur kering. Adapun garam mengisyaratkan semua jenis bumbu yang bisa disimpan sebagai pelezat makanan. Mereka juga mengatakan setelah makna yang dipahami pada riba yaitu agar sebagian manusia tidak menipu sebagian yang lain dan supaya harta mereka dijaga, maka haruslah hal itu terdapat pada dasar-dasar kehidupan yaitu makanan pokok. 3. Ulama madzhab Hanafi: dalil mereka tentang pertimbangan takaran dan timbangan yaitu setelah Rasulullah SAW menggantungkan kehalalan dengan kesamaan jenis dan kesamaan ukuran, serta menggantungkan keharaman dengan kesamaan jenis dan perbedaan ukuran dalam sabda beliau kepada seorang pekerjanya di Khaibar dari hadits Abu Sa’id dan lainnya, “Kecuali takaran dengan takaran, tunai dengan tunai.”"”? Mereka berpendapat bahwa ukuran * Shahih. HR. Muslim (1592), Ahmad (6/400), Tbnu Abi Ashim di dalam Al Ahad wa Al Matsani (766), Ad-Daruquthni (3/24), Ath-Thabrani di dalam Al Kabir (20/447), (1095), dan Al Baihaqi (5/283). " Sanadnya shahih. HR. Tbnu Abi Syaibah di dalam Al Mushannaf (4/496), Abu Ya'la (2/283), (999), dan lafazhnya: “Rasulullah SAW membagi makanan yang berbeda berupa kurma, lalu kami saling menukar di antara kami dengan ada 262 Bidayatul Mujtahid (maksudnya, takaran dan timbangan) adalah yang berpengaruh pada hukum seperti pengaruh jenis. Barangkali mereka berhujjah dengan hadits-hadits yang tidak masyhur, di dalamnya terdapat peringatan kuat mengenai pertimbangan takaran atau timbangan, di antaranya: bahwa mereka meriwayatkan di sebagian hadits-hadits yang mengandung nama-nama yang ditegaskan dalam hadits Ubadah sedagai tambahan, yaitu, “Begitujuga yang dapat ditakar dan ditimbang.” Serta di sebagian lain, “Begitujuga takaran dan timbangan.” Ini merupakan nash jika hadits-hadits tersebut shahih. Tetapi jika urusan tersebut direnungi dari jalan makna, maka jelaslah —wallahu a'lam— bahwa alasan mereka adalah alasan yang paling utama, yaitu karena melalui syari’at, nampak bahwa maksud keharaman riba hanyalah karena di dalamnya terdapat penipuan yang banyak. Sedangkan keadilan dalam muamalah (transaksi) hanya mendekati kesamaan, Karena itu, setelah merasa sulit untuk mengetahui kesamaan pada barang-barang yang zatnya berbeda (maksudnya, tanpa ditimbang dan ditakar) keadilan dalam muamalah tersebut hanya terdapat pada adanya ukuran (maksudnya, agar ukuran nilai salah satu dari dua barang kepada jenisnya sebagai ukuran nilai barang yang lain kepada jenisnya) contohnya: dinamakan keadilan jika seseorang menjual seekor kuda dengan kain, yaitu agar ukuran kuda tersebut disamakan dengan kuda- kuda yang lain merupakan ukuran kain tersebut disamakan dengan kain- kain yang lain. Jika kuda itu harganya lima puluh, maka harga kain tersebut harus lima puluh. Jadi, yang menyamai ukuran jumlahnya adalah sepuluh kain, kalau begitu, perbedaan barang-barang yang dijual ini sebagiannya dengan sebagian yang lain mengenai jumlahnya harus ada keadilan dalam muamalah (maksudnya, agar bandingan dalam kesamaan satu ekor kuda adalah sepuluh kain). Adapun barang-barang yang dapat ditakar dan ditimbang: karena hal itu bukan perbedaan yang kuat, sementara manfaatnya hampir sama dan tidak ada kebutuhan pokok bagi orang yang memiliki satu jenis darinya untuk menggantinya dengan jenis yang sama kecuali karena tambahan, maka Rasulullah SAW melarang untuk menjualnya kecuali takaran dengan takaran yang sama.” Bidayatul Mujtahid 263 pemborosan, keadilan dalam hal ini yaitu dengan adanya persamaan pada takaran atau timbangan jika tidak ada perbedaan dalam manfaat Juga, karena larangan penambahan pada barang-barang, ini mengharuskan tidak terjadinya muamalah, karena manfaatnya tidak berbeda, padahal muamalah benar-benar dibutuhkan ketika dalam manfaat yang berbeda. Jadi, larangan penambahan pada barang-barang ini (maksudnya, yang ditakar dan ditimbang) ada dua il/at (alasan): Pertama, adanya keadilan pada barang-barang tersebut Kedua, larangan bermuamalah, karena bermuamalah dengan barang-barang tersebut termasuk pemborosan. Sedangkan permasalahan uang dinar dan uang dirham, alasan larangan padanya sangat jelas, karena yang dimaksud dari barang-barang itu adalah bukan keuntungan, tetapi yang dimaksud ialah perkiraan barang-barang yang memiliki manfaat yang, pokok. Malik meriwayatkan dari Sa'id bin Al Musayyib, bahwa dia mempertimbangkan takaran dan makanan tentang alasan riba pada jenis barang-barang ini, itu adalah makna yang bagus, karena makanan adalah suatu kebutuhan pokok bagi manusia, hal itu sama dengan menjaga barang dan menjaga pemborosan pada makanan, lebih penting dari yang bukan makanan. Diriwayatkan dari sebagian tabi’in bahwa dalam permasalahan riba mereka mempertimbangkan jenis-jenis yang wajib dizakati. Dan dari sebagian yang lain mereka mempertimbangkan kemanfaatan secara mutlak (maksudnya, harta) ini adalah pendapat Tbnu Al Majisyun. Pasal kedua: Barang-barang yang dibolehkan ada penambahan dan tidak dibolehkan ada penundaan Dari pengertian ini alasan larangan penundaan pada barang-barang yang dianggap riba haruslah berupa makanan menurut Malik dan Syafi’i Sedangkan pada barang-barang yang tidak dianggap riba, termasuk barang-barang yang bukan makanan. Alasan larangan penundaan dalam hal ini menurut Malik ialah satu jenis yang berbagai manfaatnya disepakati dengan adanya penambahan. Sedangkan menurut Syafii tidak ada penundaan pada barang-barang yang tidak dianggap riba. 264 ~~ Bidayatul Mujtahid Abu Hanifah menyatakan bahwa alasan larangan penundaan menurutnya adalah takaran pada barang-barang yang dianggap riba, sedangkan pada barang-barang yang tidak dianggap riba yaitu satu jenis, baik ada penambahan atau tidak ada penambahan. Kadang nampak dari Ibnu Al Qasim, suatu riwayat dari Malik, bahwa dia melarang penundaan pada barang-barang ini, karena menurutnya hal itu termasuk pembahasan utang yang mendatangkan manfaat. Pasal ketiga: Barang yang dibolehkan adanya penambahan dan penundaan. Adapun tentang sesuatu yang dibolehkan adanya dua hal tersebut bersama-sama (maksudnya, penambahan dan penundaan) yaitu sesuatu yang tidak dianggap riba menurut Syafi'i. Sedangkan menurut Malik yaitu sesuatu yang tidak dianggap riba, dan juga sesuatu yang bukan satu jenis yang sama atau satu jenis secara mutlak berdasarkan madzhab Abu Hanifah. Malik mempertimbangkan kesamaan manfaat dan perbedaannya pada jenis yang berpengaruh dalam penambahan pada barang-barang yang dianggap riba serta dalam penundaan pada barang-barang yang tidak dianggap riba. Jika barang-barang tersebut berbeda, maka dia menganggapnya dua jenis meskipun namanya satu. Sedangkan Abu Hanifah mempertimbangkan nama, begitu juga Syafi'i, meskipun menurut Syafi?i jenis tersebut tidak berpengaruh kecuali pada barang-barang yang dianggap riba saja (maksudnya, bahwa dia melarang penambahan padanya) dan menurutnya itu bukanlah alasan bagi penundaan sama sekali. Maka inilah hasil yang dicapai oleh ketiga madzhab fugaha tentang ketiga pembahasan tersebut. Adapun barang-barang yang tidak dibolehkan adanya penundaan, ada dua bagian: di antaranya barang-barang yang tidak dibolehkan adanya penambahan hal ini telah dijelaskan- dan barang-barang yang dibolehkan adanya penambahan. Barang-barang yang tidak dibolehkan adanya penambahan: alasan larangan penundaan pada barang-barang ini yaitu makanan menurut Malik. Menurut Syafi’i makanan saja. Sedangkan menurut Abu Hanifah makanan yang dapat ditakar dan ditimbang. Jadi jika makanan disertai dengan kesamaan jenis, maka haram melakukan penambahan menurut Syafi’i, Jika disertai dengan sifat ketiga yaitu dapat disimpan, maka Bidayatul Mujtahid 265 haram melakukan penambahan menurut Malik. Jika jenisnya berbeda, maka dibolehkan adanya penambahan dan dilarang adanya penundaan. Sedangkan barang-barang yang tidak diharamkan adanya penambahan menurut Malik ada dua jenis: kadang makanan dan kadang bukan makanan. Tentang makanan, menurutnya tidak — dibolehkan adanya penundaan pada makanan tersebut dan alasan larangan tersebut adalah makanan. Adapun selain makanan, tidak dibolehkan adanya penundaan menurutnya pada barang yang memiliki kesamaan manfaat bersamaan dengan penambahan. Jadi, menurutnya tidak dibolehkan seekor kambing ditukar dengan dua ekor kambing sampai batas waktu tertentu, kecuali jika salah satu dari keduanya kambing perahan dan yang lain untuk dimakan dagingnya. Inilah pendapat yang masyhur darinya. Pendapat lain mengatakan, bahwa dia mempertimbangkan kesamaan manfaat tanpa ada penambahan, Dengan demikian, menurutnya tidak boleh menukar seekor kambing perahan dengan seekor kambing perahan yang lain sampai batas waktu tertentu. Adapun jika manfaatnya berbeda, maka menurutnya penambahan dan penundaan dibolehkan , meskipun jenisnya satu. Pendapat lain mempertimbangkan kesamaan nama disertai dengan kesamaan manfaat. Pendapat yang paling masyhur yaitu tidak dipertimbangkan dan pendapat lain mengatakan, dipertimbangkan. Adapun Abu Hanifah, yang dipertimbangkan menurutnya pada larangan penundaan —selain barang-barang yang tidak dibolehkan adanya penambahan menurutnya— yaitu kesamaan jenis, baik manfaatnya sama atau berbeda. Jadi menurutnya tidak dibolehkan menukar seekor kambing dengan seekor kambing, dan tidak pula dengan dua ekor kambing dengan adanya penundaan, jika manfaatnya berbeda. Adapun Syafi'i, setiap barang yang menurutnya tidak dibolehkan ada penambahan pada satu jenis, maka tidak dibolehkan ada penundaan. Maka dia membolehkan menukar seekor kambing dengan dua ekor kambing, baik pembayarannya dengan cara penundaan atau kontan, begitujuga seekor kambing dengan seekor kambing. Dalil Syafi'i yaitu hadits Amru bin Al Ash’: ‘© Hadits tersebut adalah hadits Abdullan bin Amru, bukan Amn bin Al Ash. 266 — Bidayatul Mujtahid

Anda mungkin juga menyukai