Anda di halaman 1dari 21

Pendaftaran Tanah (Initial Registration) Tanah Bekas Hak Milik Adat 143

PENDAFTARAN TANAH (INITIAL REGISTRATION)


TANAH BEKAS HAK MILIK ADAT
DI KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN BOGOR
DAN KOTA DEPOK
(LAPORAN PENELITIAN SINGKAT
MENGENAI PRAKTEK PELAKSANAANNYA)
Suparjo Sujadi

Lands that were formerly owned based on adat title are historically
attached to and inseparable from the history of the bourne identity of The
Republic of Indonesia with its various ethnic and social system
background. Agrarian policy is stipulated in the Constitution 1945 as the
political master plan in Article 33 paragraph (3) regarding agrarian,
further stipulated in Law NO.5 Year 1960 (Agrarian Law) which affirmed
the deliverance of authority to the State to manage agrarian elements. In
line with the system adopted by the conversion provisions in Agrarian
Law, ownership of land must be followed up by registration in order to
obtain protection and certainty of rights based on Agrarian Law system
including ownership of lands that were formerly owned by adat title. This
esay elaborates the way the practice of such registration will guarantee
certainty of law and protection of law especially within the area of Bogar
and Depok as the samples of this research.

A. Pendahuluan

Tanah-tanah bekas hak milik adat yang menurut perkembangan


sejarah tidak lepas dari sejarah lahirnya entitas Negara Republik
Indonesia. Bahwa lahirnya Negara Republik Indonesia yang merupakan
negara bangsa (nation state) memiliki latar belakang etnis dan sistem
kemasyarakatan yang beragam. Berbagai keragaman itu selanjutnya secara
politis telah menuju pada suatu bentuk negara kesatuan sebagai master
plan politik pembentukan negara yang secara jelas dapat dilihat pada
naskah proklamasi dan pembukaan UUD Negara RI 1945 .

Nomor 2 Tahun XXXIV


144 Hukum dan Pembangunan

Konsekuensi dari bentuk negara kesatuan itu kemudian dijabarkan


ke dalam berbagai aspek kehidupan, sosial, ekonomi, politik, hukum,
hankam. Maka selanjutnya kondisi bentuk dan sistem kemasyarakatan
yang beraneka ragam itupun dalam berbagai bentuknya dijalankan dengan
konsep dasar sebagai bentuk negara kesatuan. Salah satu wujud kedaulatan
yang tercermin di dalam wilayah teritorial negara berlaku satu hukum
yang berlaku nasiona!.
Konsep pengaturan yang bersifat nasional yang relevan dengan
penelitian ini adalah sebagaimana ditetapkan di dalam Pasal 33 ayat (3)
UUD 1945 menyangkut bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dalam bentuk mekanisme adanya penguasaan oleh negara Rl.
Pelaksanaan lebih lanjut dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 mengenai
bidang agraria selanjutnya antara lain ditetapkan di dalam UU No. 5
Tahun 1960 (UUPA) dengan menegaskan adanya pember ian kewenangan
kepada negara untuk mengelola unSUf-unsur agraria sebagaimana diarur
secara khusus di dalam Pasal 2 UUPA berikut ini.
(1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-undang Dasar dan
hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal I, bumi air dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu
pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara , sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat.
(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi
wewenang untuk:
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai
bumi, air dan ruang angkasa.
(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut
pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar
kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan
kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang
merdeka, berdaulat, adil dan makmur.

April - fun; 2004


Pendaftaran Tanah (Initial Registration) Tanah Bekas Hak Milik Adat 145

(4) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat


. dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-
masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan
Pemerintah.
Di dalam pemahaman hukum , untuk dapat melaksanakan
kewenangan negara dalam rangka mengatur pengelolaan tanah di
Indonesia diperlukan adanya perlindungan hak dan jaminan kepastian
hukum bagi pemegang hak. Untuk itulah penyelenggaraan pendafiaran
tanah harus dilakukan sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 19 UUP A
sebagai berikut:
(1) Untuk menjamm kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan
pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut
ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meiiputi:
a. pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah;
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.

Berkaitan dengan pendaftaran tanah yang diamanatkan UUPA itu,


adalah kondisi yang merupakan latar beJakang sistem kemasyarakatan asli
(masyarakat hukum adat) dan sistem penguasaan hak atas tanah di
Indonesia yang beraneka ragam telah diarahkan menuju sistem unifikasi
hukum agraria yang bersifat nasional sebagaimana diatur di dalam
Ketentuan Konversi Pasal II yang menetapkan sebagai berikut.
Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau
mirip dengan hak yang dimaksud dalam Pasal 20 ayat 1 seperti yang
disebut dengan nama sebagai di bawah, yang ada pada mulai berlakunya
Undang-undang ini, yaitu: hak agrarisch eigendom, milik, yasan,
andarbeni, hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini, grant sultan,
landerijenbezitrecht, altijddurende ertpacht, hak usaha atas bekas tanah
partikelir dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan
ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya
Undang-undang ini menjadi hak milik tersebut dalam Pasal 20 ayat I,
kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai yang

Nomor 2 Tahun XXXIV


146 Hukum dan Pembangunan

tersebut dalam Pasal 21. Menurut alur log is dari pengaturan yang dimuat
di dalam UUPA maka terhadap tanah-tanah bekas hak milik adat yang
juga dikenal istilah bekas hak-hak Indonesia yang telah diakomodasikan di
dalam ketentuan konversi di atas maka secara hukum telah berubah
menjadi tanah hak milik sesuai ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPA.
Sejalan dengan sistem yang dianut ketentuan konversi UUP A,
maka harus diikuti dengan pendaftaran agar dapat memperoleh
perlindungan dan kepastian hak menurut sistem UUPA. Secara khusus
pendaftaran tanah bekas hak milik adat (bekas hak-hak Indonesia) itu
ditetapkan di dalam Pasal 15, 18 PP Nomor IO Tahun 1961 dan
diselenggarakan dengan Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor
2 Tahun 1962 dan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. SK.
261DDA11970 . Terakhir dengan adanya penggantian PP No. IO Tahun
1961 dengan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, maka
pendaftaran terhadap tanah-tanah tersebut yang belum didaftarkan akan
dilakukan menurut ketentuan peraturan pemerintah tersebut yang
dilaksanakan dengan Peraturan Menteri Negara Agraria No.3 Tahun 1997.

B. Permasalahan

Permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah untuk


menjelaskan prosedur dan berapa lama waktu yang dibutuhkan bagi
pendaftaran tanah-tanah tersebut menu rut peraturan dan bagaimana di
dalam prakteknya di Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor dan Kola Depok
berkaitan dengan pertanyaan "Apakah praktek pendaftaran tanah-
tanah bekas hak milik adat terse but menjamin kepastian hukum dan
perIindungan hukum?"

C. Praktek Pendaftaran Tanah Bekas Hak Milik Adat di Kantor


Pertanahan Kabupaten Bogor dan Kota Depok

Penjelasan yang diperoleh dalam rangka pengumpulan informasi


dari nara sumber di Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor dan Kota Depok
mengenai praktek pelaksanaan pendaftaran tanah-tanah bekas hak milik
adat tidak lepas dari hukum positif yang berlaku saat ini yaitu PP No. 24

April - Juni 2004


Pendaftaran Tanah (Initial Registration) Tanah Bekas Hak Milik Adar 147

Tahun 1997 dan Peraturan Menteri Negara Agraria No.3 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah'.
Adapun tahapan prosedur yang harus dilalui dalam pendaftaran
tanah pertama kali yang berlaku untuk tanah-tanah bekas hak milik adat di
kantor pertanahan adalah sebagai berikut.
1. Pengumpulan Data Fisik
Untuk memperoleh data fisik atas bidang tanah yang didaftarkan
maka langkah-langkah yang harus dilakukan adalah (1) mendatangi
lokasi tanahnya; (2) menetapkan batas-batas tanah berdasarkan
persetujuan dari para pemegang hak yang berbarasan bidang tanahnya
(Contradiction Delimitation); (3) menyelesaikan perselisihan jika ada
dan jika perselisihan yang ada tidak terselesaikan akan dibuat batas-
batas tanah berdasarkan penetapan batas sementara; (4) membuat
tanda-tanda batas; (5) melakukan pengukuran; (6) pembuatan peta
bidang tanah yang didaftar dan sura! ukur.
2. Pengumpulan Data Yuridis
Data yuridis diperoleh dari pembuktian hak atas tanah dengan
mengumpulkan dan meneliti kebenaran alat-alat bukti yang diajukan
dan menuangkan hasil penelitian tersebut ke dalam daftar is ian berupa
Risalah Penelitian Data Yuridis dan Penetapan Batas.
3. Pengumuman
Pengumuman atas Daftar Isian yang berisi data fisik dan data
yuridis beserta peta bidang tanah yang akan didaftar di Kantor
Pertanahan setempat dan Kantor Kepala Desa/Lurah setempat selama
30 hari (jika dilakukan pendaftaran tanah yang bersifat sistematik)
atau 60 hari (jika pendaftaran dilakukan secara sporadik).
Pengumuman ini dimaksudkan dapat memberikan kesempatan bagi
pihak lain yang berkepentingan untuk mengajukan keberatan.

I Sesuai dengan proses penctaftaran tanah yang diatur di dalam peraturan tersebut , maka
pendaftaran tanah bekas hak milik adat adalah termasuk dalam jenis pendaftaran tanah
untuk pertama kali (initial registration) yailu di dalam Pasal 14 s.d. 31 PP No. 24 Tahun
1997 dan di dalam Pasal 82 s.d. 177 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.
3 Talmn 1997.

Nomor 2 Tahun XXXIV


148 Hukum dan Pembangunan

4. Penyelesaian Keberatan
Apabila muneul keberatan dad pihak lain maka keberatan tersebut
akan diupayakan penyelesaiannya secara musyawarah mufakat yang
akan dituangkan ke dalam Berita Acara Penyelesaian. Namun jika
penyelesaian tidak tercapai pad a tahap ini maka Kepala Kantor
Pertanahan akan menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada pihak
yang mengajukan keberatan itu agar melanjutkan proses itu ke
pengadilan dalam tenggang waktu 90 hari terhitung sejak
disampaikannya pemberitahuan terse but.
5. Pengesahan data fisik dan data yuridis
Pengesahan terhadap data fisik dan data yuridis dilakukan dengan
membuat Berita Acara Pengesahan Data Fisik dan Data Yuridis.
6. Penegasan Konversi Hak atas Tanah
Penegasan konversi dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan
dengan menambahkan catatan di dalam Risalah Hasil Penelitian dan
Penetapan Batas tentang penegasan konversi hak atas tanah tersebut
menjadi Hak Milik dengan mencantumkan nama pemohon sebagai
pemegang hak.
7. Pembukuan Hak
Pembukuan Hak dilakukan dengan membuat buku tanah (mencatat
dalam buku tanah) Hak Milik atas nama pemohon dengan nomor
sendiri dan mencatatkan hak itu pada surat ukur dan daftar umum
lainnya.
8. Penerbitan Sertipikat atas nama pemohon
Sertipikat akan diterbitkan jika di dalarn buku tanah tidak ada
catatan mengenai kekuranglengkapan data, ada sengketa yang terjadi
atas tanah tersebut.

C.l. Praktek Pendaftaran Tanah Bekas Hak Milik Adat di Kantor


Pertanahan Kabupaten Bogor

a. Aparat Pelaksana dan Proses Pendaftaran


Pendaftaran tanah bekas hak milik adat di Kantor Pertanahan
Bogor dilakukan oleh Seksi Pendaftaran Tanah dan dibantu oleh

April - fun; 2004


Peruiaftaran Tanah (Initial Registration) Tanah Bekas Hak Milik Adat 149

Sekretariat Bersama (Sekber) yang berperan sebagai pengelola dan


penyimpanan data. Sekber ini dipimpin oleh Koordinator Sekber yang
langsung bertanggung jawab kepada Kepala Kantor Pertanahan Bogor.
Adapun anggota Sekber adalah wakil-wakil dari setiap sub-seksi yang ada
di bawah seksi pendafiaran tanah.
Sekber ini memiliki lingkup tugas pendafiaran tanah sejak tahap
awal hingga terbitnya sertipikat hak atas tanah. Dalam prakteknya, Sekber
ini mengurusi masuknya berkas-berkas dokumen pendaftaran tanah di
laket yang disediakan , lalu tahap-tahap pembuatan sertipikat dan
pengelolaan administrasinya termasuk penyimpanan data. Adanya
mekanisme ini dapat memudahkan para pendaftar untuk dapat lebih mudah
mengetahui kemajuan tahapan pendaftaran tanahnya yang telah dilakukan .
Adapun peranan Sekber ini di dalam pelaksanaan pendaftaran
tanah dapat diuraikan sebagai berikut:
a. apabila berkas diterima oleh petugas loket pendaftaran hak atas tanah,
maka kepada pemohon akan diberikan tanda terima dan berkas
tersebut diberi nomor dan resi penerimaan;
b. tahap pengumpulan dan penelitian data fisik yang dilakukan oleh
petugas dari sub-seksi I (pengukuran, pemetaan dan konversi) yang
disebut dengan Satgas (satuan petugas) yang bertugas melakukan
sidang di lapangan untuk melakukan tindakan-tindakan: (I) melakukan
kunjungan lokasi (on the spot visit); (2) menetapkan batas-batas tanah
berdasarkan petunjuk pemohon dan pemilik tanah yang berbatasan; (3)
menyelesaikan perselisihan yang muneul; (4) menanam tanda batas; (5)
melakukan pengukuran; (6) membuat gambar ukur; (7) membuat peta
bidang ukur dan surat ukur.

Terhadap pengukuran bidang tanah pada Kantor Pertanahan


Kabupaten Bogor hanya dilakukan oleh seorang anggota Satgas beserta
beberapa stafnya';
a. tahap pengumpulan data yuridis sampai dengan tahap penegasan
konversi hak atas tanah;

2 Hal itu dengan pertimbangan fakta bahwa dari penelitian Tesis Selijali Sekaras ih tahun
2002 pada Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor diperoleh data bahwa jumlah permohonan
pendaftaran yang mencapai 300 berkas per bulan, yang mana berarti tidak seluruh anggoGt
Satgas dapat melakukan pengukuran pada saat bersamaa n di S3tU lokasi.

Nomor 2 Tahun XXXIV


150 Huku", dan Pembangltnan

b . tahap pembukuan hak, berupa pembuatan buku tanah dan pencatatan


dalam surat ukur dan daftar umum lainnya, pembuatan sertipikat
sampai dengan menyerahkan sertipikat kepada pemohon yang
dilakukan oleh petugas dari sub-seksi II (Penerbitan Sertipikat)

b. Tenggang waktu pendaftaran dan perolehan sertipikat


Sementara itu berkaitan dengan efektifitas mekanisme dan
prosedur yang diterapkan di Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor,
diperoleh rentang waktu pendaftaran tanah bekas hak milik adat kurang
lebih 4 bulan terhitung sejak masuknya berkas ke loket hingga terbitnya
sertipikat dengan rincian sebagai berikut:
a. 30 hari sejak berkas diterima di loket pendaftaran dan diberi resi dan
nomor, lalu diteliti kelayakannya sesuai dengan persyaratan yang
ditetapkan di dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN
No. 3 Tahun 1997. J ika sudah lengkap dan memenuhi syarat maka
akan dilakukan pengukuran yang disaksikan oleh pemilik hak yang
bidang tanahnya berbatasan;
b. 15 hari selanjutnya adalah untuk membuat peta bidang tanah hasil dari
pengukuran yang sudah dilakukan;
c. 60 hari yang kemudian adalah saat untuk mengumumkan di kantor
kepala desallurah setempat agar jika ada pihak yang berkeberatan
dapat mengajukan keberatan;
d. 15 hari terakhir adalah untuk pembuatan sertipikat dan memberikan
kepada pemohon.

c. Faktor-faktor Penghambat/Kendala
Namun demikian dari tenggang waktu tersebut tidak dapat dicapai
secara konsisten dan akurat karena adanya faktor penghambat berupa:
a. pihak pemohon yang tidak serta merta melengkapi berkas pendaftaran
yang diperlukan sesuai peraturan yang berlaku;
b. adanya kuantitas permohonan pendaftaran tanah yang mencapai jumlah
rata-rata 300 per bulan

Kelengkapan data pendaftaran akan menjadi penghambat


signifikan jika hal ini dikaitkan dengan kemungkinan prosedur konversi

April - Juni 2004


Pendaftaran Tanah (Initial RegisTraTion) Tanah Bekas Hak Milik AdaT 151

yang dapat dilakukan berdasarkan perbedaan tingkat kelengkapan data dan


kondisi status tanahnya pada tanggal 24 September 1960, yaitu:
a. hak-hak yang sudah ada tanda bukti haknya yang memenuhi syarat
(Iengkap) tidak memerlukan lagi mengenai penegasan haknya.
Penegasan konversi dan pendaftaran haknya yang baru hasil konversi
dilakukan seeara bersamaanlserentak oleh kepala kantor pertanahan.
Penegasan konversinya langsung dan tidak memerlukan ' suatu
keputusan tersendiri 3;
b. hak-hak yang tidak ada atau tidak ada lagi tanda bukti haknya masih
tetap perlu dilakukan penegasan hak, tapi penegasan hak itu dan
penegasan konversinya Uuga disebut : Pengakuan Hak) sejak tahun
1962 dilakukan oleh satu instansi saja yaitu Inspeksi Agraria atau
instansi agraria daerah lainnya yang lebih rendah 4
Aeara pengakuan hak masih tetap diperlukan, karena seringkali
perlu diperoleh kepastian apakah hak yang dimintakan pembukuan
memang betul sesuai yang dikatakan oleh pemohon dan bukan hak lain
yang lebih rendah .
Adanya kendala tersebut menimbulkan variasi tenggang waktu
terbitnya sertipikat yang diterima pemohon pendaftaran, ada yang 12
bulan hingga 8 tahun pun belum tuntas memperoleh sertipikat, karena
kendala tersebut.
Kendala yang timbul di atas tidak berdiri sendiri tetapi timbul atau
muneul karena adanya faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi, yaitu:
a. masih belum lengkap dan akurat data dan administrasi tingkat
desa/kelurahan yang dijumpai misalnya nomor persil tanah yang
didaftarkan tidak sesuai dengan eatatan di kantor desa/lurah;

3 Kriteria lengkap dokumen uotuk konversi laogsung ini menurut Pasai 2 Peraturan
Me nteri Pertanian dan Agraria No.2 Tahun 1962 , yailu: (1) tanda bukti haknya; (2) tanda
bukti kewarganegaraan ; dan (3) keterangan pemilik lanah tentang penggunaan tanahnya
uotuk perumahan alau pertanian.
4 Sebelum berlakunya Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2 Ta hun 1962,
pendaftaran tanah-tanah bekas hak milik adat dilakukan di tiga instansi yang berbeda
berkaitan dengan:
a. pemberian penegasan haknya yang dikonversi (Bupati)
h. pemberian penegasan konvers i (Kepala Inspeksi Agraria)
c. yang membukukan hak yang baru (Kepala Kantor Pendaftaran Tanah/ KKPT)

Nomor 2 Tahun XXXIV


152 Hukum dan Pembangunan

b . adanya pralctek yang dilakukan aparat kantor desa/lurah sengaja


menghambat untuk memperoleh suap (sogokan);
c. masih adanya penggunaan perantara (calo) oleh pemohon akan
memperpanjang jalur informasi kekurangan dokumen pendaftaran
kepada pihak pemilik tanah;
d . adanya penguasaan tanah secara absente (beda wilayah dengan
tanahnya) mempersulit penyampaian informasi

C .2. Praktek Pendaftaran Tanah Bekas Hak Milik Adat di Kantor


Pertanahan Kota Depok

Untuk melengkapi informasi yang diuraikan di bagian awal di


Kabupaten Bogor berikut ini uraian mengenai kondisi yang terjadi dalam
praktek pendafiaran tanah di wilayah Kota Depok. Alasan pembandingan
dengan praktek di Kabupaten Bogor adalah dapat dijelaskan dari aspek
geografis berdekatan dengan Kota Depok; dan secara administratif dan
kronologinya bahwa pada awalnya pelayanan pertanahan di dua wilayah
dimaksud berada di satu Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor terkait
dengan administrasi pemerintahan dan wilayahnya dimana Kota Depok
adalah merupakan pemekaran wilayah dan administrasi pemerintahan
Kabupaten Bogor. Khusus di bidang pelayanan pertanahan terhitung sejak
lahun 1999, Kantor Pertanahan Kota Depok mulai melakukan pelayanan
di bidang pertanahan di wilayah Kota Depok. Dari penelitian ini dapat
pula diperoleh gambaran sekilas dari efek pemekaran wilayah dalam
rangka otonomi daerah dan implikasinya dalam efektifitas dan kinerja
pelayanan publik di bidang pertanahan.

a. Aparat Pelaksana dan Prosedur Pendaftaran


Sarna halnya dengan proses pendaftaran tanah bekas hak milik
adat di Kantor Pertanahan Bogor, di Kantor Pertanahan Kota Depok juga
dilakukan oleh Seksi Pendaftaran Tanah dan dibantu oleh Sekretariat
Bersama (Sekber) yang berperan sebagai pengelola dan penyimpanan data.
Sekber ini dipimpin oleh Koordinator Sekber yang langsung bertanggung-
jawab kepada kepala kantor pertanahan Depok.
Dalam prakteknya Sekber ini mengurusi masuknya berkas-berkas
dokumen pendaftaran tanah di loket yang disediakan, lalu tahap-tahap

April - funi 2004


Pendajtaran Tanah (Initial Registration) Tanah Bekas Hak Milik Adat 153

pembuatan sertipikat dan pengelolaan administrasinya termasuk


penyimpanan data. Adanya mekanisme ini dapat memudahkan para
pendaftar untuk dapat lebih mudah mengetahui kemajuan tahapan
pendaftaran tanahnya yang telah dilakukan.
Namun di dalam prakteknya adanya Sekber di Kantor Pertanahan
Kota Depok, tetap bel urn meningkatkan kinerja aparat pelaksana dan
belum menunjang percepatan pelayanan halmana diketahui dari hasil
wawancara dengan salah seorang aparat Kantor Pertanahan Kota Depok
adanya fakta sebagai berikut:
a. Tenggang waktu pendaftaran sejak penerimaan berkas di Kantor
Pertanahan Kota Depok masih belllm dapat memenuhi ketentuan PP
No. 24 tahun 1997 dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
BPN No.3 tahun 1997 (100 hari) . Mereka membuat target kerja yang
sarna dengan data di Kantor Pertanahan Kabupaten Bogar kurang
lebih 4 bulan (120 hari);
b. Fakta yang diperoleh penyelesaian pendaftaran tanah bekas hak milik
adat berkisar antara 6-8 bulan, dan maksimum keterlambatan
mencapai 1 tahun saja;
c. Data terakhir mengenai jumlah berkas pendaftaran yang masuk ke
loket pendaftaran rata-rata 300 setiap bulannya, sementara kinerja yang
tidak optimal aparat di sana belum mampu menyelesaikan berkas yang
masuk sejumlah itu, dan tidak tepat waktu;
d. Abbat dari kinerja yang tidak optimal serta fasilitas kerja yang belum
memadai, maka setiap bulan hanya mampu diselesaikan kurang lebih
30% saja dari berkas yang masuk ke loket pendaftaran. Hal itu berarti
bahwa sekalipun ada pamtla Sekber belum terbukti dapat
menyelesaikan pensertipikatan sesuai peraturan bahkan setiap bulannya
ada tunggakan 70% dan data terakhir pada akhir bulan Juni 2004 sudah
ada tunggakan 800 berkas.'

h. Tenggang waktu pendaftaran dan perolehan sertipikat


Sementara itu berkaitan dengan efektifitas mekanisme dan
prosedur yang diterapkan di Kantor Pertanahan Kabupaten Depok

5Data hasiJ wawancara tanggal 1 Juli 2004 dengan nara sumber di Kantor Pertanahan
Kota Depok.

Nomor 2 Tahun XXXIV


154 Hukum dan Pembangunan

diperoleh rentang waktu pendaftaran tanah bekas hak milik adat kurang
lebih 4 bulan terhitung sejak masuknya berkas ke loket hingga terbitnya
sertipikat dengan rincian sebagai berikut.
a. 30 hari sejak berkas diterima di loket pendaftaran dan diberi resi dan
nomor, lalu diteliti kelayakannya sesuai dengan persyaratan yang
ditetapkan di dalam Peraturan menteri Negara Agraria/Kepala BPN
No. 3 tahun 1997. Jika sudah lengkap dan memenuhi syarat maka
akan dilakukan pengukuran yang disaksikan oleh pemilik hak yang
bidang tanahnya berbatasan;
b. 15 hari selanjutnya adalah untuk membuat peta bidang tanah hasil dari
pengukuran yang sudah dilakukan;
c. 60 hari yang kemudian dalah saat untuk mengumumkan di kantor
kepala desallurah setempat agar jika ada pihak yang berkeberatan
dapat mengajukan keberatan;
d. 15 hari terakhir adalah untuk pembuatan sertipikat dan memberikan
kepada pemohon.

c. Faktor-faktor Penghambat/kendaIa
c. 1. Faktor Intern Aparat
Penyebab dari tenggang waktu yang tidak dapat dicapai secara
konsisten dan akurat di Kantor Pertanahan Kota Depok diinventaris karena
adanya faktor-faktor penghambat berupa:
a. belum adanya pemahaman yang mantap mengenai prinsip publikasi
negatif yang dianut menimbulkan "ketakutan" di kalangan aparat
untuk bertindak mencari aman dari gugatan dan tuntutan, khususnya
tuntutan pidana. Hal itu tercermin dari perlakuan terhadap pendaftaran
bekas hak milik ad at yang bukan berupa Akta Jual beJi, kebanyakan
masih berupa jual beli di atas kertas segel. Pihak aparat pendaftaran
tanah tidak mau menerima kertas segel untuk dilengkapi berkas
pendukung yang harus diperoleh dari keterangan riwayat tanah dari
kepala desallurah setempat, sementara hal itu tidak selalu dapat
diperoleh karena kacaunya administrasi desa;
b. adanya kuantitas permohonan pendaftaran tanah yang mencapai jumlah
rata-rata 300 per bulan dan terus menumpuknya tunggakan secara
akumulatif terus-menerus;

April - funi 2004


Penilajtaral1 Tallllh (Initial Registration) Tallah Bekas Hak Milik Adal 155

c. selain iru di Kantor Pertanahan Kota Depok ada ketidaksinkronan


antara petugas loket terdepan dengan aparat yang memproses
pendaftaran tanah bekas hak milik adat sekalipun sudah ada panduan
daftar kelengkapan berkas . Hal itu karena beberapa faktor:
1) Rendahnya kualitas petugas loket yang tidak terlatih me nang ani
pekerjaannya;
2) Belum adanya kesamaan persepsi aparat yang memproses
pendaftaran mengenai standar dokumen seperti yang ada di dalam
panduan daftar kelengkapan berkas pendaftaran;
3) "kultur birokrasi" yang dominan masih terlihat dari sikap aparat
yang berperilaku bukan sebagai pelayan masyarakat melainkan
menonjolkan arogansi sebagai penguasa;

c.2 . Faktor Eksternal


Kendala yang timbul di atas tidak berdiri sendiri tetapi timbul atau
muncul karena adanya faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi. yaitu:
a . unsur pendukung kelengkapan data pendaftaran tanah bekas hak milik
adat yang kompleks khususnya pada aparat di tingkat desa/kelurahan;
b . pihak pemohon yang tidak serta merta melengkapi berkas pendaftaran
yang diperlukan sesuai peraturan yang berlaku; masih belum lengkap
dan akurat data dan administrasi tingkat desa/kelurahan yang dijumpai
misalnya nomor persil tanah yang didaftarkan tidak sesuai dengan
catatan di kantor desallurah dan adanya indikasi kuat praktek yang
dilakukan aparat kantor desallurah sengaja menghambat untuk
memperoleh suap (sogokan);
c . di kantor kelurahan/desa menyirnpan potensi menghambat pada figur
kepala desallurah yang terus berganti menyebabkan tidak selalu ada
pengertian dan pemahaman yang baik terhadap status kepemilikan
tanah dan letak persil tanah bekas hak milik adat yang belurn
bersertipikat;
d. dalam banyak kasus pendaftaran terhadap tanah-tanah yang diperoleh
melalui pembelian tanah bekas hak milik adat yang merupakan harta
warisan yang jual belinya dilakukan di hadapan Camat juga
menimbulkan potensi menghambat karena dapat membuat akta jual

Nomar 2 Tahun XXXIV


156 Hukum dan Pembangunan

beli yang tidak menyertakan dokumen pendukung berupa persetujuan


dari isteri bekas pemilik6;
e. kasus lainnya yang terjadi di Kantor Pertanahan Kota Depok adalah
"akta bertingkat", yaitu pada kasus penjualan tanah bekas hak milik
adat dengan akta jual beli secara berantai, dan belum pernah
didaftarkan. Masalahnya kemudian timbul pada saat didaftarkan ke
kantor pertanahan akan diminta kelengkapan dokumen pendukung
masing-masing akta hingga akta terakhir yang menjadi berkas
pendaftaran yang tidak mudah dipenuhi karena faktor putusnya
hubungan dengan pihak-pihak pemilik tanah yang sebelumnya dan
kualitas administrasi kantor lurah/desa;

D. Analisis

Untuk menjawab pertanyaan "Apakah praktek pendaftaran


tanah-tanah bekas hak milik adat tersebut menjamin kepastian
hukum dan perlindungan hukum?" yang diajukan dalam penelitian ini
berkaitan dengan prosedur dan berapa lama waktu yang dibutuhkan bagi
pendaftaran tanah-tanah tersebut menurut peraturan dan prakteknya di
Kantor Pertanahan Kabupaten Bogar dan Kota Depok dapat dijawab
dengan uraian sebagai berikut.

0.1. Analisis dari Perspektif Hukum

a. Analisis Terhadap Sistem Pendaftaran dan lmplikasi Penerapan


Publikasi Negatif
Sesuai dengan ketentuan yang sejak awal diamanatkan Pasal 19
UUPA bahwa pendaftaran tanah yang harus dilaksanakan pemerintah

6 Hal itu menghambat dalam proses pe ndaftaran selanjutnya di kantor pertanahan yang
berpedoman pada konsep harta bersama yang diatur di dalam Pasal 35 dan 36 UU No.1
Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menetapkan bahwa terhadap harta bersama (harta
yang dim iliki yang diperoleh dalam hubungan perkawinan) harus dengan persetujuan pihak
isteri atau suami. Mesk ipun di dalam penerapannya seeara hukum dapat dilihat dari bukl i-
bukti perolehannya dapat diketahui statusnya sebagai harta bersama atau harta pribadi,
yang implikasinya jelas untuk memberlakukan persaya ratan persetujuan dari suam i/ iste ri
atau tidak. Namun kebanyakan hal itu tidak menj adi perhat ian aparat pendaftaran tanah
yang menerapkan pukul rata mensyaratkan adanya persetujuan suamilisteri.

April - Juni 2004


Pentiaftaran Tanah (Initial RegiscrationJ Tanah Bekas Hak Milik Adat 157

dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum. Kepastian


hukum tersebut akan dapat tercapai melalui serangkaian prosedur yang
selanjutnya diatur di dalam PP No.lO Ttahun 1961 yang lalu diganti
dengan PP No. 24 Tahun 1997.
Namun ada masalah lain yang signifikan dari materi pengaturan di
dalam pelaksanaan pendafataran tanah menurut UUPA adalah adanya
bentuk ataupun wujud jaminan kepastian hukum berupa sertipikat hak
hanya merupakan alat bukti yang kuat (belum/tidak sebagai alat bukti
yang mutlak) sebagai hasil dari proses pendaftaran tanah yang menganut
sistem publikasi negatif.
Dalam sistem pendaftaran yang demikian itu, maka sertipikat
tanah tidak dapat memberikan jaminan kepasrian hukum yang permanen
melainkan temporer yaitu selama tidak ada gugatan dari pihak lain yang
merasa berhak ataupun berkepentingan aras suatu bidang tanah maka si
pemilik/pemegang hak di dalam serripikat memperoleh kepastian hukum.
Namun jika ada pihak lain yang menggugat kepemilikannya dan diproses
melalui lembaga peradilan (PTUN, atau Peradilan Umum) dan terbukti
bahwa si pemegang sertipikat dikalahkan oleh bukri-bukti yang diajukan
penggugat maka dia akan kehilangan hak atas tanahnya.
Lain halnya dalam proses pendaftaran tanah yang menerapkan
sistem publikasi positif yang akan menghasilkan alat bukti berupa
sertipikat yang memiliki kekuaran pembuktian yang mutlak, permanen dan
tidak dapat diganggu gugat lagi kebenaran data yang terdapat di dalam
sertipikat itu.
Dari dua model pendaftaran tanah dan sistem publikasi yang
dianut sudah dapar dilihat keunggulan sistem pendaftaran ranah yang
menerapkan publikasi positif karena memberikan jaminan kepastian
hukum yang permanen, sementara sistem pendaftaran tanah yang
menerapkan sistem publ ikasi negatif hanya memberikan jaminan kepastian
hukum yang temporer.
Hingga saat ini belum ada argumen yang menjelaskan alasan tidak
diterapkannya publikasi positif di Indonesia selain dari alas an faktor luas
wilayah dan jumlah bidang tanah yang masih belum didaftarkan beserta
alasan minimnya fas ilitas dan infrastruktur pendukung penyelenggaraan
pendaftaran tanah. Ada hal lain yang semsetinya menjadi bahan pemikiran
dari aspek atau sisi political will dari pemerintah.
Terhadap beragai alasan klasik itulah yang sebenarnya harus dapat
dijabarkan hingga titik tertentu yang secara obyektif dan adequate untuk

Nomor 2 Tahun XXXIV


158 Hukum dan Pembangunan

mengambil keputusan dengan menimbang keunggulan dan kelemahan


penerapan sistem publikasi negatif di Indonesia. Harus ada penelitian yang
komperehensif mengenai hitungan ekonomis untuk penerapan publikasi
positif dengan memasukkan pertimbangan fakta lain dengan efek dari
sistem publikasi negatif yang telah diterapkan dikaitkan dengan biaya
proses berperkara di pengadilan yang tidak ada standar batas maksimal
biaya berperkara dari data berbagai kasus tanah yang terjadi di seluruh
Indonesia.
Selain hitungan ekonomi, juga hitungan lain yang relevan dan
siginifikan menyangkut social cost yang timbul sebagai dampak negatif
dari penerapan sistem publikasi negatif. Untuk memberikan gambaran
awal dapat dikemukakan di sini dapat dilihat bagaimana kasus-kasus tanah
yang bersifat massal yang muneul berkaitan dengan tanah-tanah ulayat
dengan perkebunan besar , pertambangan, real estate, kawasan industri.
Dari berbagai kasus terse but telah menimbulkan fenomena ibarat dua sisi
mata uang, yaitu; (I) dari aspek sosial politik yang dapat dilihat dari
berbagai gejolak sosial dalam berbagai konflik pertanahan; (2) dari aspek
investasi yang bersifat ekonomis telah menjadi peniIaian yang diterima
umum (semaeam common sense) bahwa berkaitan dengan kepentingan
investasi di Indonesia , khusus berkaitan dengan masalah pertanahan seeara
jelas membuktikan tidak ada jaminan perlindungan hukum yang lalu di
respon dengan banyaknya langkah investor di Indonesia yang merelokasi
investasi ke negara lain. Hal mana juga berarti hilangnya devisa negara
yang seeara signifikan maupun tidak berarti mengurangi potensi
pembiayaan pembangunan.

b. Analisis Khusus Mengenai Konversi dan Prosedur Pengakuan Hak


Penjelasan mengenai persoalan prosedur konversi dan berbagai
variasinya sesuai kondisi tanahnya pada tanggal 24 September 1960,
seeara log is dapat dipahami berdasarkan argumen-argumen berikut.
1. Pada tataran politik hukum , seeara jelas bahwa salah satu wujud dari
kedaulatan wilayah/teritorial dan bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia maka harus terwujud keberlakuan hukum nasional yang
mengatur antara lain di bidang pertanahan sesuai ketentuan Pasal 33
ayat (3) UUD 1945 bahwa adanya otoritas yang diberikan kepada
negara untuk menguasai dan mengelola bumi, air dan kekayaan alam

April - Juni 2004


Pendaftaran Tanah (Initial Registration) Tanah Bekas Hak Milik Adat 159

yang terdapat di dalamnya yang kemudian menjadi dasar politik


pertanahan nasional.
2. Pad a tataran implementasi, politik pertanahan nasional selanjutnya
diatur secara khusus di dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960,
yang tentu saja tidak terlepas dari sensitivitas kedaulatan dan bentuk
negara kesatuan, maka berkaitan dengan pertimbangan seperti inilah
berlakunya UUPA dalam melaksanakan unifikasi hukum dan unifikasi
hak atas tanah dan implikasinya harus dilaksanakan.
3. Pada tataran teknis, pelaksanaan konversi tidak dapat dilakukan dengan
satu standar prosedur saja hal itu mengingat adanya pluralisme hukum
dan pluralisme hak-hak atas tanah sebelum berlakunya UUPA yang
juga menimbulkan adanya berbagai otoritas dan kewenangan dalam
bidang pertanahan'.
4. Pada tataran realita, kondisi yang rumit, kompleks ini tentu saja
merupakan tantangan besar dalam melaksanakan unifikasi hukum dan
unifikasi hak atas tanah yang mengharuskan dilakukannya konversi
terhadap hak-hak atas tanah yang sudah ada sebelum berlakunya

7 Khusus lerhadap keragaman struktur sosial pada berbagai kelompok masyarakat di


Indonesia yang terbentuk dari berbagai etnik, budaya, agama dan terr itorial yang 3mat Iuas
dan khusus mcnyangkut keragaman ini yang salah satu konsekucnsinya menghormati
masyarakat ada!, dan terrnasuk terhadap hak-haknya dan hak-hak yang bersumber dari
kesatuan masyarakal hukum adat berupa tanah bekas hak milik adat yang sebenarnya tClap
dihormati sebagaimana diatur di dalam Pasa! 3 UUPA dan selajutnya ditegaskan UUD
1945, Pasal 18B ayat (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
rnasyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, ya ng
diatur dalam undang-undang. Pemahaman berdasarkan landasan hukum tersebut, tentunya
harus dimaknai bahwa dalam rangka pendaftaran tanah bekas hak milik adat melalui
konversi tidaklah merupakan bentuk atau wujud elimin3si terhadap hak-hak itu, melainkan
harus dipahami sebagai upaya memberikan perlindungan hukum ya ng lehih realistis
melalui prosedur ya ng diatur daJam berbagai ketemu3n pendaftaran tanah. Istilah
Pengakuan hak dalam rangka konversi selain konversi secara langsung secara log is dapal
dipahami sebagai respon terhadap kondisi dan reaJita pluralisme hukum dan hak-hak atas
tanah yang pernah berlaku dengan menempatkan unifikasi hukum dan hak-hak tanah
sebagai dasar pelaksanaan konversi sebagai upaya menerapkan hukum tanah nasional yang
tidak terlepas dari seman gat kesatuan dalam rangka melaksanakan dan menuju politik
pertanahan nasional, yaitu tercapainya kemakmuran rakyat. Adapun yang harus menjadi
perhatian dan pengkajian ya ng lebih mendalam adalah upaya memudahkan Jangkah dan
metodenya daJam rangka mencapai tujuan itu di dalam bidang penghormatan hak-hak alas
tanah bekas hak milik adat melalui proses dan prosedur yang lebih baik.

Nomor 2 Tahun XXXIV


160 Hukum dan Pembangunan

UUPA dengan tujuan untuk memberikan kepastian hukum dan


perlindungan hukum kepada siapapun yang memiJiki hak atas tanah di
Indonesia. Secara ideal maka sebenarnya pelaksanaan konversi
terhadap tanah bekas hak milik adat amatlah sederhana seperti kriteria
kelengkapan dokumen untuk dapat dikonversi langsung ini yang pernah
diatur menu rut Pasal 2 Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No.2
Tahun 1962, yaitu' :
(1) tanda bukti haknya;
(2) tanda bukti kewarganegaraan; dan
(3) keterangan pemilik tanah tentang penggunaan tanahnya untuk
perumahan atau pertanian.

Sedangkan terhadap hak-hak yang tidak ada atau tidak ada lagi
tanda bukti haknya masih tetap perlu dilakukan penegasan hak, tapi
penegasan hak itu dan penegasan konversinya (juga disebut:
Pengakuan Hak) melalui Panitia Pemerikasaan Tanah A yang dulu
dibentuk dengan Keputusan Menteri Agraria No . SK. 113/Ka/ 1961 yang
menyaratkan adanya pengumuman selama 2 bulan di kantor desa, camat
dan Kepala Agraria Daerah. Acara pengakuan hak masih tetap diperlukan,
karena seringkali sangat perlu diperoleh kepastian apakah hak yang
dimintakan pembukuan memang betul sesuai yang dikatakan oleh
pemohon dan bukan hak lain yang lebih rendah.

D.2. Analisis dari Perspektif Praktek Pelaksanaan

Sesuai hasil wawancara dan pengaJaman peneliti di Kantor


Pertanahan Kota Depok khususnya , jaminan kepastian hukum yang sudah
demikian (hanya temporer) semakin sulit dijangkau dan diperoleh
pemegang hak yang ingin mendaftarkan tanahnya karena belum adanya
beberapa faktor yang menentukan ada tidaknya, cepat lambatnya
perwujudan jaminan kepastian hukum itu sendiri.

8 Bandingkan dengan ketentuan Pasal 24 PP Nomor 24 Tahun 1997 bahwa uotuk


pembuktian hak lama (bekas hak milik adat) yang berasal daTi konversi. data yuridisnya
dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti adanya hak itu dengan bukti tertulis, keterangan
saksi dan atau pernyataan pemilik yang bersangkutan.

April - Juni 2004


Pendaftaran Tanah (Initial Registration) Tanah Bekas Hak Milik Adat 161

a. Faktor Pemahaman dan Persepsi Stake holders


Hal itu dapat terlihat dari keterangan nara sumber di Kantor
Pertanahan Kota Oepok dan Kabupaten Bogor menyangkut para stake
holders (aparat BPN, kelurabanldesa, PPAT, dan masyarakat). Ada
berbagai perilaku mereka yang berdarnpak menghambat proses
pendaftaran tanab sebagaimana terlihat dalarn uraian di muka akibat
pemahaman dan persepsi yang masih rendab mengenai bagaimana atau
apa yang hams mereka lakukan untuk mencapai sasaran dari pendaftaran
tanah yaitu jaminan kepastian hukurn bagi masing-masing. Penjelasannya
adalab bagi aparat BPN jika mereka pabarn akan mempercepat kinerja
sebagai etos kerja positif (memenuhi tenggang waktu sesuai peraturan);
bagi aparat lurabJdesa demikian dengan adanya pemabaman yang benar
akan mempercepat dan mempermudah pelayanan kepada masyarakat sarna
halnya dengan PPA T ICamat; bagi aparat ini mereka akan mengurangi
beban kerja (tunggakan berkas) dan menghindari gugatan hukum;
sementara masyarakat hams pabarn mengenai kewajiban untuk melengkapi
data berarti akan mempercepat hak mereka memperoleh sertipikat dan
sebaliknya.

b. Faktor Kualitas dan Kompetensi Stake holders tidak Sepadan


Kedua faktor ini mempakan pasangan yang ideal dalarn arti saling
mempengaruhi dalarn kinerja aparat kantor pertanahan. Rendahnya
kualitas sumber daya manusia pada aparat akan mengurangi kompetensi
atau bahkan inkompeten untuk melaksanakan kompetensi dalam bentuk
penugasan untuk melaksanakan misalnya sebagai petugas loket penerimaan
berkas pendaftaran yang tidak pabarn terhadap kriteria kelengkapan
walaupun telab ada daftar (check-list) sebagai panduan kelengkapan data
atau kualitas pejabat lurab, carnat mengenai hukum agraria yang minim
sementara mereka (Iurah) hams meneliti riwayat tanah agar dapat
memberikan surat keterangan riwayat tanab sebagai dokumen pendukung
pendaftaran tanab bekas hak milik adat, atau carnat yang berlaku sebagai
PPAT yang membuat akta jual beli tanpa memperhatikan kelengkapan
dokumen pendukung. Kondisi seperti itu terbukti telah menghambat
pendaftaran tanab bekas hak milik adat di Bogor dan Oepok.

Nomor 2 Tahun XXXIV


162 Hukum dan Pembangunan

c. Faktor Sosio-kultur dan Mentalitas Korup


Penjelasan dari dua faktor di atas tidak dapat dilepaskan dalam
menjelaskan pada paragraf ini. Penjelasan di sini dimulai dari pendapat
Dr. Kartini Kartono yang menyatakan bahwa banyak pegawai negeri dan
pejabat tidak lagi mempunyai otonomi (karena sudah terbelenggu oleh
suapan dan sogokan), dan tidak punya pertalian dengan rakyat yang harus
diberi pelayanan sosial. Hal itu timbul akibat dari sikap mereka yang
mengkaitkan peranan kelembagaannya dengan tuntutan-tuntuan eksternal,
yaitu pihak-pihak yang bersedia menyuap dan memberikan hadiah-hadiah'.
Terhadap pendapat Dr. Kartini tersebut dapat dipahami dari faktor
kualitas dan kompetensi yang tidak sesuai (sebagai faktor internal
individual) yang berdampak tidak cukupnya persepsi, pemahaman
terhadap tugas dan wewenang mereka ditambah dengan faktor eksternal
lemahnya kontrol sosial dan secara hukum. Kondisi yang demikian telah
terbukti dari wawancara dengan nara sumber di Kantor Pertanahan Kota
Depok pada fakta adanya vanaSI (perbedaan) kecepatan proses
pendafataran tanah bekas hak milik adat karena alasan tebal-tipisnya
amplop sogokan, siapa yang mewakilinya misalnya kalau dititipkan
melalui kepala kantor pasti cepat selesai, atau akan sarna jika pendaftaran
dilakukan menjelang adanya pemeriksaan inspeksi mendadak dari
Gubernur, Menteri 10

c. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis terhadap pennasalahan "Apakah


praktek pendaftaran tanah-tanah bekas hak milik adat terse but
menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum?" yang diajukan
dalam penelitian ini berkaitan dengan prosedur dan berapa lama waktu
yang dibutuhkan bagi pendaftaran tanah-tanah terse but menurut peraturan
dan prakteknya di Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor dan Kota Depok

9 Dr. Kartona Kartini. Patologi Sosial, Jakarta: PT Radja Grafindo Persada, 1999 dalam
Bab 4, mengenai korupsi.
10 Data hasH wawancara tanggal 1 Juli 2004 dengan nara sumber di Kantor Pertanahan
KOla Depok

April - Juni 2004


PeJUiaf/aran Tanah (lnitiaL Registration) Tanah Bekas Hak MiLik Adar 163

dapat diajukan kesimpulan, bahwa praktek pendafiaran tanah-tanah bekas


hak milik adat tidaklbelum menjamin kepastian hukum dan perlindungan
hukum, karena argumen-argumen di bawah ini:
[. Pendaftaran tanah bekas hak milik adat melalui konversi tidaklah
merupakan bentuk atau wujud eliminasi terhadap hak-hak itu,
melainkan harus dipahami sebagai upaya memberikan perlindungan
hukum yang lebih realistis melalui prosedur yang diatur dalam
berbagai ketentuan pendaftaran tanah yang harus dipermudah melalui
proses dan prosedur yang lebih baik.
2. Faktor hukum positif (UUPA dan peraturan pe\aksananya) yang
menerapkan sistem pendaftaran tanah yang masih menerapkan
publikasi negatif;
3. Faktor di luar hukum tepatnya pada kelemahan-kelemahan pada stake
holders terkait dengan pendaftaran tanah bekas hak milik adat di
kedua wilayah yang diteliti.

Daftar Pustaka

Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia . Sejarah Pembentukan


Undang-undang Pokok Agraria, lsi dan Pelaksanaannya. Jakarta:
Djambatan, 1999 (ed.revisi)
Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia. Himpunan Peraturan-
peraturan Hukum Tanah dan Appendiks. Jakarta: Djambatan,
1992, 1997, dan 2000
Hutagalung, Arie S. Serba Aneka Masalah Tanah dalam Kegiatan
Ekonomi (Suatu Kumpulan Karangan). Jakarta: Badan Penerbit
FHUI,1998
Kartini, Kartono. Pato[ogi Sosial. Jakarta: PT. Radja Grafindo Persada,
1999

Nomor 2 Tahun XXXIV

Anda mungkin juga menyukai