Siyasah Kel 10-Dikonversi
Siyasah Kel 10-Dikonversi
Oleh :
Saiful Anwar ( 2002016144 )
Sinta Choiriyah ( 2002016017 )
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas karunia dan izin-Nya, sehingga
penulis dapat membuat laporan Makalah tentang “PEMIKIRAN SISTEM POLITIK MENURUT
IBNU ARABI DAN AL-FARABI” Dalam kesempatan ini saya menyampaikan ucapan terima
kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Imam Taufiq, M.Ag selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Walisongo.
2. Bapak Ismail Marzuki, M.A.Hk selaku Dosen Pengampu.
3. Teman-teman dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan semuanya,
terikasih atas bantuan yang telah di berikan.
Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
penulis dapat memperbaiki laporan ini.
Akhir kata penulis berharap semoga Makalah penulis ini dapat memberikan
manfaat terhadap pembaca.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Politik merupakan salah satu aktivitas manusia yang terpenting sepanjang sejarah
manusia. Dengan berpolitik, manusia saling mengelola potensi di antara mereka, saling
memahami dalam perbedaan yang ada, saling menjaga peraturan yang disepakati bersama. Ada
yang dipimpin, ada yang memimpin ada yang memerintah dan ada pula yang diperintah.
Semuanya merupakan aktivitas manusia.
Bagi Al-Farabi, politik berperan sebagai etika dan swakarsa yang terkait erat dengan
kebahagiaan dan kesejahteraan manusia. AlFarabi memulai pemikiran politiknya tatkala
menyinggung asalusul dan kemunculan negara atau kota. Menurutnya, masyarakat mucul
dari keberadaan persatuan di antara individu-individu yang saling membutuhkan satu
sama lain. Tidak seorang pun dapat mencukupi kebutuhannya sendirisendiri, baik itu
kebutuhan primer maupun sekunder.
Pemikiran politik Al-Farabi banyak mendapat pengaruh dari para Filosof Barat,
terutama Plato dan Aristoteles. Penggambaran negara utama yang diterapkan oleh Al-Farabi
sama dengan konsep Plato. Dalam kaitan ini, muncul pertanyaan bagaimana konsep
pemikiran Al-Farabi tentang politik dan negara? bagaimana pengaruh pemikiran Filsafat
Yunani terhadap pemikirn Al-Farabi tentang politik dan negara?bagaimana perbedaan konsep
Al-Farabi tentang politik dan negara dengan Filosof Islam lainnya?. Dari rumusan masalah
tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konsep pemikiran Al-Farabi
tentang politik dan negara, pengaruh pemikiran Filsafat Yunani terhadap pemikirn Al-
Farabi tentang politik dan negara, dan perbedaan pemikiran Al-Farabi dengan ilmuan lainnya.
Metodologi yang digunakan dalam memahami persoalan ini adalah kajian
studi perpustakaan (Library research) yaitu mengumpulkan data dari buku-buku dan
referensi lain yang relevan dengan masalah yang sedang dibahas. Sedangkan dalam
menganalisis data, digunaka metode induktif dan deduktif.
B. Rumusan Masalah.
1. Bagaimana biografi Ibnu Arabi ?
2. Bagaimana pemikiran sistem politik menurut Ibnu Arabi ?
3. Bagaimana Biografi Al-Farabi ?
4. Bagaimana pemikiran sistem politik menurut Al-Farabi ?
C.Tujuan Permasalahan.
1. Untuk mengetahui biografi Ibnu Arabi
2. Untuk mengetahui sitem politik menurut Ibnu Arabi
3. Untuk mengetahui biografi Al-Farabi
4. Untuk mengetahui sistem politik Al-Farabi
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pemikiran sistem politik Ibnu Arabi
A. Biografi Ibnu Arabi
Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin ali bin Muhammad bin Ahmad bin
Abdullah al-Hatimi1 yang kemudian dikenal dengan Ibn ‘Arabi. Bahagian Timur beliau
dikenal dengan nama al-Hatimi dan Ibn ‘Arabi sedangkan di belahan Barat dikenal dengan
Ibn al-‘Arabi. Lain halnya di tanah kelahirannya beliau lebih dikenal dengan panggilan Ibn
Suraqah. Lahir pada tanggal 17 Ramadan tahun 560 H bersamaan dengan 1165 M di daerah
Mursiyah bahagian utara Andalusia, sebuah keluarga keturunan Arab yang termasuk dalam
kabilah Ta’i.2 Ibnu ‘Arabi berasal dari keluarga berpangkat, hartawan dan ilmuwan di
Mercia, Andalusia Tenggara. Ketika ia berumur 8 tahun bersama keluarganya pindah ke
Sevilla, tempat dimana ia mulai belajar Al-qur’an dan fikih. Sevilla adalah pusat sufisme
yang penting di samping sebagai pusat ilmu pengetahuan.3
Bagaikan minum air laut, semakin diminum semakin haus, barang kali pepatah ini sesuai
ditujukan kepada Ibn ‘Arabi, beliau belum merasa puas dengan ilmu yang dimiliki, semakin
hari semakin merasa kekurangan terhadap ilmu pengetahuan dan semakin hari semakin kuat
keinginannya untuk menimba ilmu pengetahuan lebih dalam lagi. Dalam fikirannya ilmu
pengetahuan merupakan segala-galanya, hal ini yang menyababkan timbulnya satu tekad
1
A. Ates, Ibn ‘Arabi dalam The Encylopedioa of Islam. (E. J. Brill, 1986 Leiden. Jld.3), h. 104.
2
R.W. J. Austin, Introduction to Sufis of Andalusia: The Ruh al-Quds and Durrat al-Fakhirah of Ibn ‘Arabi (
London, 1971), h. 21. http://pengkajianpelitahati.wordpress.com, (15 Oktober 2013).
3
Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 339
4
Kautsar Azhri Noer, Ibnu Arabi: Wahda Al-Wujud dalam Perdebatan, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 18.
bagi dirinya untuk mengembara meninggalkan kampung halaman, mencari anak-anak kunci
di berbagai tempat yang akan dipergunakan untuk membuka gudang-gudang ilmu ilmu
pengetahuan. Sebelum memulai pengembaraan, beliau telah mempersiapkan mental untuk
menghadapi onak dan duri serta pahit getirnya sebagai seorang pengambara. Pendekatan diri
beliau kepada sang maha Pencipta semakin diperkuat dan beliau pun memulai hidup sebagai
seorang sufi.
Beliau melakukan perjalanan berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk
memperoleh dan menambah ilmu serta pengalaman lebih banyak lagi dengan tiga tahapan.
Beliau mengakhiri pengembaraannya di Damsik. Di kota ini beliau menghabiskan sisi-sisa
kehidupannya setelah malang melintang mengadakan pengembaraan demi mencari setitik
ilmu yang dapat mengobati kehausan dan memperoleh kepuasan. Pada malam jumat 28 Rabi’ul
akhir tahun 638 H beliau dipanggil yang Maha Kuasa kembali menghadap Ilahi dengan usia 78 tahun.
Beliau pergi yang tidak akan kembali lagi meninggalkan semua yang ada diduni ini. Jasadnya
yang sudah membeku, membisu seribu bahasa dimakamkan di kaki gunung Qasiyun di
pekuburan pribadi Qadi Muhyi.5 Meskipun jasadnya telah kembali keasalnya, mulutnya tidak
pernah bicara lagi tangannya telah berhenti menggoreskan tinta, namun karyanya masih tetap
berbicara, semua usaha dan jerih payahnya masih dapat dinikmati hingga saat ini tetap hidup
dihati. Di antara karya-karya Ibnu ‘Arabi yang masyhur bagi kalangan pemikir- pemikir
muslim adalah sebagai berikut: Al-Futhah al-Makkiyah (penyingkapan-penyingkapan ruhani
di Makkah) , Full al-Hikam (permata-permata hikmah)
Mengenai proses terbentuknya sebuah negara atau kota, pemikiran Ibnu Abi Rabi
bertitik tolak pada adanya kecenderungan watak dasar pada diri manusia untuk
berkumpul dan bermasyarakat6. tanpa kebutuhan tersebut. Dan manusia sebagai individu
jelas tidak akan mampu dalam memenuhi semua kebutuhan tersebut, karena dalam
pengadaannya dibutuhkan berbagai keahlian ilmu dan keterampilan dari banyak orang.
5
A.E. Affifi, a Mistical Philoshopy of Muhyiddin Ibn ‘Arabi, terj. Syahrir Mawi dan Nandi Rahman, Filsafat Mistis
Ibnu Arabi, (Cet. II; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1995), h. 2.
6
Ibnu Abi Rabi, Suluk al-Malik fi Tadbiri al-Mamalik. (selanjutnya disebut Suluk), h. 103. Munawir
Sjadzali, op. cit., h. 4
Oleh karena itu diperlukan adanya kerjasama, dan kerjasama itu sekaligus mendorong
untuk hidup berkelompok dan menetap secara bersama-sama dalam suatu tempat, proses
inilah menurut Ibnu Abi Rabi yang membawa terbentuknya kota dan akhirnya menjadi
sebuah negara.
2. Unsur-unsur Negara
Untuk mendirikan sebuah negara menurut Ibnu Abi Rabi, diperlukan beberapa
unsur, diantaranya antara lain: pertama, wilayah, yang di dalamnya harus ada sejumlah
komponen penting, seperti tersedianya air bersih, sumber pangan yang memadai, daerah
yang strategis dengan udara yang bagus, tidak jauh dari tempat pengembalaan atau
perkebunan, posisinya terlindung dari ancaman musuh, terdapatnya tempat shalat dan
pasar di tengah kota, serta dikelilingi oleh sekelompok masyarakat yang bisa menopang
pengembangan masyarakatnya8.
Kedua, Kepala Negara/Raja. Menurut Ibnu Abi Rabi sebuah negara harus
memiliki kepala negara atau raja yang tugas utamanya adalah menyelenggarakan segala
urusan negara dan rakyat, serta melindungi warganya dari gangguan atau bahaya, yang
timbul di antara mereka sendiri, atau yang datang dari luar9.
7
Ibid.,
8
Ibnu Abi Rabi, op. cit., h. 104.
9
Jalal Al-Syarif, Al-Fiqh Al-Siyasi fi Al-Islam, (Mishriyah: Al-Dar al-Jami’ah, 1978 M), h. 216-217.
Khusus kriteria seorang raja, Ibn Abi Rabi’ sebagaimana dikutip Munawir Sadzali
menegmukakan beberapa persyaratan sabagai berikut:
1. Harus anggota dari keluarga raja, dan mempunyai hubungan nasab yang dekat
dengan raja sebelumnya.
Ketiga, Rakyat. Dalam menjelaskan, rakyat sebagai salah satu unsur negara,
tanpaknya Ibnu Abi Rabi lebih banyak melihat dari sisi pekerjaan atau fungsinya di
tengah-tengah masyarakat, di samping juga ia melihat dari sisi moral mereka.
Keempat, Keadilan, bagi Ibnu Abi Rabi merupakan unsur terpenting dalam suatu
negara. Ibnu Abi Rabi, mendefinisikan keadilan sebagai penetapan hukum Tuhan di
muka bumi.
10
Suyitno, dan Syahril jamil, 2014. Konsep Negara Menurut M. Natsir Tinjauan Dalam Pemikiran Politik Islam.
Yogyakarta: Idea Press. hlm. 39.
Kelima, Pemerintahan. Ibnu Abi Rabi juga memberikan penjelasan mengenai
pemerintahan atau administrasi negara. Menurutnya, suatu pemerintahan negara mesti
memerlukan pengelolaan yang baik.
3. Bentuk Pemerintahan
Dengan melihat realitas politik yang dialami pada masa pemerintahan Abbasiyah
saat itu, maka tidak salah kalau kecenderungan Ibnu Abi Rabi dalam konteks ini
dianggap oleh sejumlah pemikir politik terpengaruh oleh suasana kerajaan yang saat itu
memang sedang mencapai puncak kejayaannya. Bagi Ibnu Abi Rabi seorang raja adalah
orang yang memiliki segala keutamaan yang serba lebih dari para warga negara. Seorang
raja tidak dapat dianggap sebagai bagian dari warga negara dan tidak harus tunduk
kepada hukum negara sebagaimana warga negara yang lain, justru rajalah yang
merupakan sumber sekaligus pelaksana hukum.
Dari sejumlah pernyataan dan alasan yang dikemukakan oleh Ibnu Abi Rabi
mengenai kekuasaan istimewa raja tersebut, maka otoritas atau dasar kekuasaan seorang
raja menurut Ibnu Abi Rabi adalah mandat dari Tuhan.
Perspektif di atas, dapat dikemukakan bahwa Ibnu Abi Rabi adalah salah
seorang pemikir politik muslim pertama yang telah banyak memberikan kontribusi
dalam bidang politik dan kenegaraan dengan landasan moral-keagamaan. Dan hasil
telaah terhadap pemikiran politiknya, terutama yang berkenaan dengan kekuasaan raja,
serta proses terbentuknya negara, sangat tanpa adanya keterpengaruhan alam pikiran
Yunani terutama Plato serta adanya keterpengaruhan dari peta politik pemerintahan
Abbasiyah yang sedang solid, di samping juga disemanganti oleh akidah Islam yang
menjadi keyakinannya. Untuk itu wajar kalau akhirnya ia berkesimpulan bahwa proses
terbentuknya negara adalah karena adanya kecenderungan watak manusia untuk
berkumpul yang memang telah diciptakan oleh Tuhan sebelumnya. dan bentuk negara
yang paling ideal bagi Ibnu Abi Rabi adalah Monarki serta otoritas dari seorang raja
adalah mandat dari Tuhan.
Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkas ibn Auzalagh, demikian nama
lengkapnya, dilahirkan di Utrar (Farab) pada tahun 257 H/870 M, dan meninggal dunia di
Damaskus pada tahun 339 H/950 M dalam usia 80 tahun. Di Eropa ia lebih dikenal
dengan nama Alpharabius.
Al Farabi terkenal sebagai salah satu tokoh filsuf Islam yang memiliki keahlian dalam
banyak bidang keilmuan, dan memandang filsafat secara utuh, sehingga filsuf Islam yang
datang sesudahnya, seperti Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd, banyak mengambil dan mengupas
sistem filsafatnya. Ia berusaha untuk mengakhiri kontradiksi antara pemikiran Plato dan
Aristoteles melalui risalahnya al-Jam’u Baina Ra’yay al-Hakimain, Aflathun wa Aristhu.
Dalam bidang filsafat, ia digelari dengan al-Mu’allim al-Tsani (Guru Kedua), sedang
yang digelari sebagai al-Mu’allim al-awwal (Guru Pertama) ialah Aristoteles.
11
Muhammad Iqbal. (2013). Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga Indonesia
Kontemporer. Jakarta: PT Fajar Interpratama Mandiri, Cet, ke-2, hal.11
Adapun dua belas kualitas luhur yang harus dimiliki oleh seorang kepala negara,12
antara lain: 1) lengkap anggota badannya; 2) baik daya pemahamannya; 3) tinggi
intelektualitasnya dan kuat daya ingatannya; 4) cerdik dan pintar; 5) pandai
mengemukakan pendapat dan mudah dimengerti uraiannya; 6) cinta kepada ilmu
pengetahuan; 7) tidak rakus dan menjauhi kelezatan jasmani; 8) cinta kejujuran dan benci
kebohongan; 9) berjiwa besar dan berbudi luhur; 10) cinta keadilan dan benci
kezaliman;11) kuat pendirian; dan 12) tidak terikat pada materi dan uang.
12
Ibid., hal. 13
daripada realistis-pragmatis. Hal ini memang dapat dimaklumi karena ia sendiri hanyalah
seorang ahli pikir yang dalam dan luas.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mengenai proses terbentuknya sebuah negara atau kota, pemikiran Ibnu Abi Rabi
bertitik tolak pada adanya kecenderungan watak dasar pada diri manusia untuk berkumpul
dan bermasyarakat. Oleh karena itu diperlukan adanya kerjasama, dan kerjasama itu
sekaligus mendorong untuk hidup berkelompok dan menetap secara bersama-sama
dalam suatu tempat, proses inilah menurut Ibnu Abi Rabi yang membawa terbentuknya
kota dan akhirnya menjadi sebuah negara. Khusus kriteria seorang raja, Ibn Abi Rabi’
sebagaimana dikutip Munawir Sadzali menegmukakan beberapa persyaratan yaitu, harus
anggota dari keluarga raja, dan mempunyai hubungan nasab yang dekat dengan raja
sebelumnya, aspirasi yang luhur, pandangan yang mantap dan kokoh, ketahanan dalam
menghadapi kesukaran tantangan, kekayaan yang banyak, pembantu-pembantu yang setia.
Dari sejumlah macam bentuk pemerintahan sebagaimana dikemukakan oleh pemikir-
pemikir politik, termasuk Aristoteles, bentuk negara yang ideal dan terbaik menurut Ibnu
Abi Rabi sebagaimana yang dikemukakan Munawir Sjadzali, adalah bentuk pemerintahan
Monarki, yaitu sebuah pemerintahan yang berada di bawah pimpinan seorang raja sebagai
penguasa tunggal.
Mungkin, konsep yang digagas al-Farabi secara sempurna belum pernah ada dalam
perkembangan peradaban manusia di dunia ini. Namun, pola kehidupan politik yang
digambarkan al-Farabi telah kita temukan-sekali lagi meski tidak sesempurna yang
digambarkannya-pada pemerintahan yang dipimpin Muhammad SAW. Di mana legitimasi
kekuasaan didapat dari Tuhan, dan diterapkan berdasarkan keadilan menuju kebahagiaan
dunia dan akhirat. Selain itu juga, model pemerintahan yang sekarang ini paling dekat
dengan konsep al-Madinah al-Fadilah al-Farabi dapat kita temui pada konsep Teo-
demokrasi yang kini telah dijalankan di Iran. Dengan konsep wilayatul fakih dan
demokrasi, tujuan kebahagiaan itu hendak diraih.
DAFTAR PUSTAKA
Ates, A. Ibn ‘Arabi dalam The Encylopedioa of Islam. E. J. Brill, Leiden: Jld.3,1996.
R.W. J. Austin, Introduction to Sufis of Andalusia: The Ruh al-Quds and Durrat al-Fakhirah of
Ibn ‘Arabi ( London, 1971), h. 21. http://pengkajianpelitahati.wordpress.com, (15 Oktober 2013)
As, Asmaran. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
Suyitno, dan Syahril jamil, 2014. Konsep Negara Menurut M. Natsir Tinjauan Dalam
Pemikiran Politik Islam. Yogyakarta: Idea Press.
Ali Abdul Mu’ti Muhammad,Filsafat Politik antara Barat dan Islam, (Bandung : CV Pustaka
Setia, 2010),