Sistem Pendukung Negosiasi Multi Tataran
Sistem Pendukung Negosiasi Multi Tataran
1)
World Agroforestry Centre - ICRAF SE Asia, PO Box 161, Bogor 16001
2)
BAPPEDA Propinsi Lampung, Jl. Walter Monginsidi 69 Bandar Lampung
Pasya et al., Sistem Pendukung Negosiasi Multi Tataran Dalam Pengelolaan SDA Secara Terpadu
pemerintah, dan meningkatnya akses dan konstruksi memunculkan perilaku integratif, mendorong konflik
jalan (Van Noordwijk, 2000). Ketidak-konsistenan ke arah konstrukstif, ke arah proses pemecahan
kebijakan rencana penggunaan lahan yang terjadi saat masalah, dan menuju cita-cita, yang bertujuan untuk
ini telah menyebabkan banyak konflik dan dari waktu memaksimalkan kepentingan dari berbagai pihak
ke waktu menimbulkan deforestasi. Sejauh ini, jasa
sambil menjaga hubungan. Karenanya negosiasi adalah
lingkungan yang diharapkan dari kawasan hutan tidak
dapat dibangkitkan. Dalam banyak kasus, deforestasi seni bagaimana membawa semua unsur yang terlibat
dan degradasi hutan menyebabkan masalah finansial, dan menghubungkan mereka dalam satu sistem
politik dan dampak externalitas yang nyata (Price, pengelolaan konflik yang terintegrasi. Semua unsur itu
1982). terdiri dari para pihak dengan semua kepentingan
mereka yang berbeda, sumber daya alam yang tersedia,
Pendekatan Sistem Pendukung Negosiasi (SPN); kebijakan dan pihak yang berwenang, dan tentu saja
Membawa Sain dan Pengetahuan ke Meja sejumlah masalah yang berkembang. Hal ini berarti
Perundingan negosiasi membutuhkan sebuah sistem pendekatan
Dalam menyelesaikan masalah yang telah diuraikan yang menangani interaksi antar unsur sumber daya
sebelumnya, diperlukan suatu analisis terpadu tentang alam, kolaborasi multi pihak, dan kemauan politik
berbagai alternatif penggunaan lahan, menghitung untuk mereformasi kebijakan.
manfaat lokal, nasional dan global yang diperlukan, Berkaitan dengan konflik pengelolaan sumber daya
dan juga menafsir sistem kelembagaan yang dapat alam (PSDA) dan pilihan pendekatan yang ada dalam
mendukung atau yang menjadi penghambat menangani konflik, International Center for Research
pengembangan ke depan, seperti alternatif konversi in Agroforestry (ICRAF) mengembangkan yang
hutan secara tebas-bakar terhadap praktek penggunaan disebut Sistem Pendukung Negosiasi (SPN) untuk
lahan yang tidak berkelanjutan (Van Noordwijk, 2000). PSDA terpadu. Secara konseptual, SPN dijabarkan
Proses tawar-menawar akan suatu fungsi hutan sebagai proses negosiasi yang mendorong pengelolaan
berpotensi menimbulkan konflik antar pihak konflik PSDA suatu lansekap di dalam batas ekosistem
berkepentingan. Pada kondisi demikian proses tersentu, khususnya DAS; melalui rangkaian kegiatan
negosiasi dan kompromi menjadi penting walaupun dialog multi pihak yang didukung oleh ilmu
akan ada kemungkinan untuk tidak menghasilkan pengetahuan (subsisten dan/atau modern) yang didapat
kesepakatan. Dalam situasi seperti ini, manajemen dari hasil penelitian dan pengembangan secara
konflik menjadi sangat penting untuk mempersempit partisipatif pada aspek-aspek bio-fisik, sosial-ekonomi
jurang antara hasil yang diharapkan dengan dunia dan kebijakan; guna memitigasi konflik destruktif
nyata. antar-pihak dan secara bersamaan mempromosikan
Pengetahuan tentang pengelolaan konflik banyak PSDA yang berkelanjutan. SPN adalah sebuah sistem
memiliki prinsip dan cara pemecahan konflik alternatif pendekatan yang responsif terhadap kebutuhan para
(Alternatives Dispute Resolution/ADR) daripada pihak untuk mendapatkan pemahaman yang lebih
sekedar proses hukum. Dalam konteks ADR, sangat dalam mengenai masalah-masalah PSDA yang mereka
dimengerti bahwa negosiasi bukanlah satu-satunya hadapi.
Dalam SPN, proses pendekatan negosiasi secara
cara untuk membawa pihak-pihak yang berselisih ke
sistematis diarahkan kepada upaya-upaya
perundingan dan memecahkan konflik mereka dengan pengembangan sistem insentif/disinsentif sosial-
sistem yang terpadu. Cara pendekatan lain yang juga ekonomi-ekologis termasuk membangun komitmen
dikenal dan sering digunakan oleh para praktisi dalam untuk saling berkontribusi yang ditindak lanjuti ke
berbagai situasi konflik antara lain mediasi, fasilitasi, dalam bentuk aksi kolaborasi pada setiap perubahan
arbitrasi (yang tidak) mengikat. Negosiasi adalah spontan dan/atau perubahan berkesepakatan agar
proses sukarela dari berbagai pihak untuk bertemu tercapai cita-cita dan pemecahan bersama. Seperti yang
muka guna mencapai resolusi yang dapat diterima dan digambarkan pada Gambar 1, terdapat empat tahap
saling menguntungkan semua pihak yang terlibat pelaksanaan agar SPN dapat memberikan resolusi
konflik (Buckles, 1999). Negosiasi lebih mengarah konflik (Van Noordwijk, 2000), yaitu:
1) Mengidentifikasi pelaku/stakeholder serta mengerti
kepada diskusi pemikiran yang merupakan pilihan
tujuan dan indikator yang digunakan untuk
strategis untuk menangani masalah (Isenhart and memprediksi kondisi lansekap saat ini dan masa
Spangle, 2000). mendatang;
Negosiasi mempunyai banyak tantangan untuk 2) Membangun piranti untuk menghubungkan
mengatasi masalah secara kolaboratif. Negosiasi rencana penggunaan lahan terhadap indikator
11
Pasya et al., Sistem Pendukung Negosiasi Multi Tataran Dalam Pengelolaan SDA Secara Terpadu
Penggunaan Lahan
2.Interaksi SDA
Filter
/Hamparan lansekap
Jalan, saluran 1. Dialog Multi
Stakeholder
Perubahan Yg Di sepakati
Agroforest kompleks (damar) 3. Proses Negosiasi
Perubahan
Spontan
Gambar 1. Rancang alur proses SPN dalam PSDA secara terpadu: (1) indikator lansekap memberikan interpretasi
yang berbeda kepada para pihak sehingga sering menimbulkan konflik, (3) yang perlu didialogkan
melalui proses negosiasi yang mampu menghasilkan rencana perubahan secara spontan dan/atau
bersepakatan, (4) Rencana perubahan berupa inovasi-inovasi teknis dan kelembagaan dalam tata
guna lahan, prasarana fisik, pilihan agroforestri, dan lain-lain, (2) yang dapat menciptakan PSDA
secara terpadu dalam suatu lansekap.
fungsi DAS, keuntungan ekonomi, fungsi sosial, menguji hipotesa sekaligus mempelajari ‘alat’ dan
dll yang dapat diterima oleh para pihak; proses’ negosiasi PSDA dilakukan di Indonesia,
3) Mendukung proses negosiasi dalam konteks butir Thailand dan Filipina. Di Indonesia difokuskan di
1 dan 2. daerah Sumber Jaya yang wilayahnya berkarakteristik
4) Menyediakan pilihan-pilihan teknis dan DAS (Way Besay) yang membentuk daerah tangkapan
institusional yang terperbaiki untuk membantu para air (catchment area) di hulu Sungai Tulang Bawang.
pihak mencapai cita-cita/pemecahan bersama. Dalam mencapai output SPN dibutuhkan usaha
terpadu dari berbagai sudut pandang. Jadi pendekatan
Hipotesa dan Penetapan Lokasi Pengujian dalam multi-disiplin harus ditujukan ke dalam setiap tahap
Konteks Pengembangan Opsi-opsi Agroforestri pelaksanaan SPN. Hal ini untuk menjamin terjadinya
Konversi hutan di beberapa bagian wilayah Asia hubungan yang berarti antara kegiatan penelitian dan
Tenggara bukanlah masalah hitam-putih tentang pengembangan melalui negosiasi untuk membangun
berlangsungnya proses deforestasi yang pemahaman para pihak tentang cara-cara PSDA
mengakibatkan hilangnya fungsi hutan secara gradual terpadu. Gambar 2 menayangkan suatu hipotesa
seiring dengan berubahnya lansekap menjadi mosaik bahwa setidaknya diperlukan enam bidang penelitian
agroforestri (Van Noordwijk, 2000). Kebijakan dan dan pengembangan secara multi-disiplin dalam
sistem kelembagaan yang ada sebagian besar melaksanaan SPN yaitu terdiri dari: (1) penelitian
berdasarkan pada dikotomi antara penggunaan lahan sosial-ekonomi, (2) pemahaman tentang lansekap, (3)
untuk hutan versus pertanian sehingga dapat mengarah pilihan-pilihan konservasi tanah dan agroforestri, (4)
kepada konflik yang semestinya tidak perlu terjadi. pemahaman tentang fungsi DAS, (5) proses SPN, dan
Masalah tersebut amat berkaitan apabila seandainya (6) pemadu-serasian dan komunikasi.
‘fungsi perlindungan DAS’ telah menjadi dasar dari
suatu sistem pangaturan. PELAKSANAAN SPN
Hipotesa ICRAF adalah ”pengembangan mosaik Rona Permasalahan: Kependudukan, Tenurial
agroforestri yang dilakukan oleh petani pada Lahan, dan Pengelolaan DAS di Propinsi Lampung
dasarnya sama efektifnya dalam melindungi fungsi
DAS sebagaimana fungsi perlindungan yang Secara geografis, Lampung merupakan propinsi yang
disediakan oleh suatu ekosistem hutan; Sehingga strategis terletak di bagian Selatan Pulau Sumatra.
konflik yang terjadi saat ini antara pengelola hutan Karesidenan Lampung merupakan bagian dari Propinsi
negara dan masyarakat lokal dapat diselesaikan serta Sumatra Selatan hingga tahun 1964. Berdasarkan
menguntungkan bagi semua pihak”. Penelitian untuk Undang-undang No.3/1964 akhirnya Lampung
menjadi propinsi pada 18 Maret 1964, terdiri dari lima
12
Pasya et al., Sistem Pendukung Negosiasi Multi Tataran Dalam Pengelolaan SDA Secara Terpadu
Pasya et al., Sistem Pendukung Negosiasi Multi Tataran Dalam Pengelolaan SDA Secara Terpadu
Pasya et al., Sistem Pendukung Negosiasi Multi Tataran Dalam Pengelolaan SDA Secara Terpadu
transparan. Beberapa bulan kemudian (Oktober empat kawasan hutan negara, yaitu: 1) Register 44B
2001), pemerintahan propinsi mengeluarkan Perda Way Tenong Kenali 13,040 hektar; 2) Register 45B
No.6/2001 tentang Administrasi Pertanahan atas Ex. Bukit Rigis 8,295 hektar; 3) Register 39 Kota Agung
Kawasan HPK yang ditujukan untuk (1) memberi Utara 102,110 hektar, and; 4) Register 46 B Sekincau
kepastian kepada rakyat melalui pengadministrasian 28,900 hektar. Semua kawasan merupakan bagian dari
konversi penggunaan lahan secara transparan, dan ekosistem hulu DAS.
(2) sumber dana rehabilitasi hutan 2. Perda ini Saling percaya dibangun kembali melalui rangkaian
merupakan sebuah langkah maju dalam kebijakan land hubungan individu, sosial dan lembaga. Saling percaya
tenure yang diprakarsi oleh pemerintah propinsi merupakan modal sosial dasar untuk dialog, negosiasi
walaupun proses formulasi dan sosialisasinya kepada dan kerja kolaborasi. Pemerintah mempromosikan skim
masyarakat masih lemah. Hanya Kabupaten Lampung Hutan Kemasyarakatan (HKm).HKm digunakan
Timur yang mengkritik perda tersebut namun berkisar sebagai titik masuk kebijakan untuk merekonstruksi
pada masalah bagi hasil penerimaan pajak konversi saling percaya berdasarkan pemecahan konflik land
antara propinsi dengan kabupaten. tenure di Sumberjaya. Untuk itu Watala dan ICRAF
memfasilitasi 11 petani Sumberjaya untuk mengadakan
Fasilitasi dan Negosiasi dalam Pengelolaan kunjung silang ke Gunung Betung guna mempelajari
Konflik di Sumberjaya proses HKm. Para petani tersebut kemudian berbagi
Sumberjaya 3 terletak di bagian hulu DAS pengalaman dengan tetangga mereka. Sampai saat ini,
Tulangbawang dan terkenal dengan DAS Way Besay terdapat 12 kelompok HKm (dengan sekitar 1035 petani
(way berarti sungai) (Gambar 5). Luas daerahnya yang menjadi anggota) difasilitasi oleh Watala dan
sekitar 54,194 hektar. Pada tahun 2000 jumlah ICRAF, tiga kelompok telah memiliki Ijin Awal yang
penduduknya sekitar 81,000 jiwa dan sekitar 32 % berlaku selama lima tahun yang dikeluarkan oleh Bupati
adalah penduduk miskin. Di Sumberjaya terdapat Lampung Barat dan menjadi kelompok-kelompok HKm
Way Semangka RB
N
W E
RASTAU TERINA
BUKIT KEMUNING
JAVA SEA
Gambar 5. Posisi penting dari Sumberjaya di bagian Hulu DAS Way Besay.
2
Proses administrasi (sertifikasi) tanah ex. Kawasan HPK dikenakan
biaya.
3
Pada tahun 2000 Kecamatan Sumberjaya melebar menjadi 2 kecamatan,
Sumberjaya yang dulu dan Way Tenong.
15
Pasya et al., Sistem Pendukung Negosiasi Multi Tataran Dalam Pengelolaan SDA Secara Terpadu
pertama yang disyahkan oleh Bupati di Indonesia diskusi multi pihak pada September 2000. Untuk
berdasarkan Keputusan Mentri Kehutanan dan menindaklanjuti kebutuhan tersebut, ICRAF dan mitra
Perkebunan No.31/Kpts-II/2001 tentang HKm. (WWF (World Wild Foundation) Lampung, WCS
Watala dan ICRAF juga memfasilitasi pertemuan rutin (Wildlife Conservasion Society) Lampung, Watala,
kelompok-kelompok HKm setiap tiga bulan sekali di YASPAP (Yayasan Pemangku Adat Pesisir), PMPRD
Sumberjaya yang melibatkan Bupati, perwakilan (Persatuan Masyarakat Petani Repong Damar), unit
Kehutanan, PLTA Way Besay, kelompok HKm, teknis kabupaten, unit teknis propinsi, kelompok tani,
Koramil, polsek dan aparat desa/Kecamatan. Pada dan belakangan LATIN (Lembaga Alam Tropika
bulan Desember 2003 telah terbentuk Forum Dialog Indonesia) mengadakan seri diskusi informal dengan
Pengelolaan DAS Way Besay yang fasilitasi proses hasil terbentuknya “Tim Kajian Kebijakan – Tata
pembentukannya dimulai sejak bulan Juni 2001. Di Ruang dan Tata Guna Lahan di Lampung Barat”
tingkat lapang ada pembagian peran antara Watala disingkat menjadi Tim TKK-TRTGL. Tim tersebut
dan ICRAF. Watala lebih fokus pada fasilitasi formasi terbentuk atas Keputusan Bupati Lampung Barat No.
kelompok tani, pemetaan partisipatif dan dialog B/37/KPTS/02/2001. Dalam tim, Kantor Badan
kebijakan untuk memproses ijin HKm; sementara Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten, Kehutanan,
ICRAF memfasilitasi capacity building para pihak, Bappeda, dan beberapa unit teknis kabupaten terlibat.
penelitian kebijakan, dialog kebijakan dan negosiasi Sejak pembentukannya, tim ini telah menghasilkan
pemerintah multi tataran. Pada bulan Agustus 2001 sebelas kali pertemuan rutin tiga bulanan. Beberapa
ICRAF mengirim dokumen kajian kebijakan tentang kerja kolaboratif seperti antara lain:
Perda No.7/2000 tentang Retribusi Hasil Hutan Bukan • Dengan mengacu kepada Tap MPR No.IX/2001
Kayu (HHBK) kepada pemerintah kabupaten dengan tentang Reforma Agraria dan PSDA, tim memberi
hasilnya, Bupati Lampung Barat menunda penerapan masukan pada perbaikan Raperda
perda tersebut di daerah Sumberjaya. Penyelenggaraan Kehidupan Adat Lampung
Dialog kebijakan didahului dengan diskusi terfokus Barat.
pada kebijakan kehutanan di tingkat lapang dihadiri
• Tim mengidentfikasi dan merangkum 12 masalah
fasilitator lapang, petugas penyuluhan, dan para petani.
land tenure di kawasan hutan negara di Lampung
Selama diskusi terfokus para pihak meninjau manfaat
Barat yang penyelesaiannya perlu diprioritaskan.
dan mudlarat berbagai produk kebijakan. Hasil diskusi
Identifikasi tersebut merupakan bagian dari studi
kemudian dibawa ke lembaga-lembaga yang relevan
singkat land tenure di Lampung Barat dan
di setiap tataran pemerintah untuk menghasilkan
digunakan oleh Bupati sebagai informasi dasar
pemecahan konflik PSDA. Di Way Tenong, LSM lokal
untuk bernegosiasi ke Badan Planologi
lainnya bernama YACILI bekerja pada kegiatan yang
Departemen Kehutanan pada bulan Juni 2001.
serupa dengan apa yang dikerjakan oleh ICRAF dan
Watala. Mereka memfokuskan pada proses fasilitasi • Mengacu kepada kebutuhan masyarakat, Tim
yang mengarah pada ijin HKm. Kolaborasi dan TRTGL mengusulkan kepada pemerintah untuk
pertukaran informasi diantara ketiga institusi dan membentuk tim multi pihak untuk menyusun
petani berjalan secara dinamis. Dalam pelaksanaan naskah rancangan peraturan daerah (Raperda)
SPN, ICRAF juga melakukan fasilitasi teknis Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis
pengembangan benih, pembibitan, dan litbang biofisik Masyarakat (PSDHBM). Tim penaskah dibentuk
berkolaborasi dengan Universitas Brawijaya, pada bulan Mei 2002. Secara kolaboratif tim
Universitas Lampung dan Pusat Penelitan Tanah dan menyusun Naskah Akademik raperda. Pada awal
Agroklimat (Puslitanak) Bogor dengan menggunakan tahun 2003 substansi PSDHBM berubah menjadi
sumber dana yang lainnya. Bentuk tindakan kolaboratif Raperda Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
yaitu penelitian dan pelatihan kepada petani secara Lingkungan Berbasis Masyarakat (PSDALBM).
partisipatif. Perubahan ini dimaksudkan agar pengelolaan
hutan merupakan bagian tidak terlepas dari PSDA
Fasilitasi dan Negosiasi dalam Pengelolaan dan lingkungan. Naskah akademik pun berubah
Konflik di Tataran Kabupaten menjadi naskah akademik PSDALBM yang
kemudian dilanjutkan dengan penyusunan naskah
Tidak semua konflik lokal dapat diselesaikan karena
hukum. Proses penyusunan raperda dilakukan
beberapa otoritas dan kewenangan berada di tataran
melalui mekanisme konsultasi publik secara series
pemerintah yang lebih tinggi. Fakta, hasil temuan, dan
di empat wilayah Kabupaten Lampung Barat.
masalah lokal yang tidak terselesaikan perlu diangkat
Saat ini naskah hukum sudah selesai dan siap
ke tataran kabupaten dan/atau tataran propinsi dengan
untuk dikirim ke DPRD Kabupaten.
harapan tataran tersebut dapat mendukung tercapainya
penyelesaian melalui perbaikan dan reformasi • Pada awal tahun 2002 Kabupaten Lampung Barat
kebijakan. Kebutuhan tersebut muncul dari hasil menyelesaikan revisi Rencana Tata Ruang
16
Pasya et al., Sistem Pendukung Negosiasi Multi Tataran Dalam Pengelolaan SDA Secara Terpadu
Pasya et al., Sistem Pendukung Negosiasi Multi Tataran Dalam Pengelolaan SDA Secara Terpadu
sentralisasi dikenal luas tidak dapat mencapai semua Negosiasi NSS Multi Tataran dalam kerangka Desentralisasi
cita-cita tersebut (Cheema and Rondinelli, 1983). TI NGKAT
NEGOSI ASI
Forum Negosiasi
Multi Pihak
Bahkan ketika laju pertumbuhan ekonomi tinggi, hanya C G
sekelompok kecil masyarakat saja yang biasanya Tingkat
diuntungkan dari peningkatan produksi sumber daya Lokal
alam nasional. Perbedaan pendapatan antara si kaya Univ, LSM
dan si miskin dan antar-wilayah terjadi di banyak Distribusi Kekuasaan,
Wew enang dan
negara. Kualitas hidup kelompok termiskin menurun Tanggung Jaw ab
C G
Tingkat
sehingga jumlah penduduk yang hidup di ‘bawah garis terhadap
Propinsi
Manajemen SDA
kemiskinan’ meningkat. Banyak pengambil keputusan, antar tingkat
politisi, dan praktisioner mulai mempertanyakan Pemerintahan Univ, LSM
C G
efektifitas sentralisasi. Karenanya, banyak pihak
berminat terhadap desentralisasi beranjak dari Tingkat
Nasional
kenyataan bahwa selama kendali PSDA tersentralisasi, Univ, LSM
pengurangan kemiskinan tidak juga terwujud.
Desentralisasi adalah transfer kewenangan Gambar 6. Negosiasi multi tataran dalam
pengambilan keputusan dan tanggung jawab kepada implementasi konsep SPN dalam bingkai
tataran pemerintahan yang lebih rendah (Smith, 1985). desentralisasi.
Dalam definisi yang sama, desentralisasi merupakan
pendelegasian Kekuasaan, Wewenang dan Tanggung pemerintahan. Secara sederhana, jika pengelolaan
jawab (KWT) secara sistematis dan rasional dari konflik dapat diisolasi di tingkat lokasi/setempat maka
pemerintahan pusat ke tataran institusi lebih rendah pengerahan sumber daya untuk memecahkan konflik
(Meinzen-Dick et al., 2000). Karena sumber daya dialokasikan cukup ke tingkat tersebut.
alam merupakan salah satu sumber daya Bagaimanapun mengingat beberapa KWT tersebar
pembangunan, unsur-unsur desentralisasi ini juga ke tataran pemerintah yang lebih tinggi (atau
melekat di dalam aspek PSDA. menengah), usaha-usaha pemecahan harus diangkat
Dalam bingkai desentralisasi yang paling ke tataran tersebut dengan harapan hasilnya dapat
dikehendaki, bagian terbesar dari porsi KWT atas mendukung penyelesaian konflik di tataran di
PSDA berpindah ke tataran pemerintah dan komunitas bawahnya. Dengan melihat alur pada Gambar 6 secara
setempat. Tetapi dalam praktiknya tidaklah demikian. garis besar, negosiasi multi tataran dapat
Di balik istilah desentralisasi sering terungkap masih disederhanakan bertujuan untuk:
banyak kekayaan sumber daya alam yang tetap 1) Memadukan pendekatan SPN ke dalam bingkai
dikontrol oleh pemerintah pusat. Atas nama proses desentralisasi dan otonomi daerah,
desentralisasi, ternyata banyak tataran pemerintah dan/ khususnya berkaitan dengan distribusi
atau komunitas setempat tetap dimarjinalisasi dengan kewenangan PSDA di berbagai tataran
sedikitnya akses terhadap sumberdaya alam. Konsep pemerintah.
SPN bukanlah ditujukan untuk mereformasi bingkai 2) Melokalisasi upaya-upaya negosiasi untuk
desentralisasi PSDA yang ‘kurang terhormat’ tersebut. menangkap konteks lokal.
Tetapi lebih ditujukan untuk mengidentifikasi
kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman (SWOT) 3) Memperpendek rantai negosiasi untuk
dari bingkai desentralisasi yang ada di suatu negara menyampaikan manfaat pengelolaan konflik
dimana konsep ini akan diperkenalkan oleh ICRAF secara langsung kepada para pihak yang terlibat
dan mitranya. Jadi seiring KWT atas PSDA tersebar dalam konflik, dan
di berbagai tataran pemerintah, negosiasi secara multi 4) Mengurangi biaya negosiasi.
tataran selayaknya dilaksanakan di setiap tataran Satu hal yang membuat pengelolaan konflik
pemerintah seperti yang terlihat dalam Gambar 6. (conflict management) berbeda dengan jenis
Gambar 6 menunjukkan bahwa setiap tataran penanganan konflik lainnya seperti pemecahan konflik
pemerintah mempunyai fungsinya sendiri, hal tersebut (conflcit resolution), penyelesaian konflik (conflict
membuat pelaksanaan SPN hadir di tataran lokasi/ settlement), pencegahan konflik (conflict prevention),
setempat, propinsi dan nasional (tergantung bentuk dan transformasi konflik (conflict tranformation),
struktur pemerintahan suatu negara mengingat beda yaitu pengelolaan konflik lebih memfokuskan pada
negara beda pula struktur pemerintahannya, misalnya bagaimana mengontrol akar konflik menjadi
negara serikat, republik, monarki, dan sebagainya). konstruktif (Fisher et al., 2000). Hal itu berarti bahwa
Pendekatan multi tataran ditawarkan berdasarkan konflik dibiarkan tetap hidup karena ia tidak dapat
kebutuhan bagaimana melaksanakan SPN secara dihindari selama terjadi interaksi antar-masyarakat dan
sistematis berdasarkan struktur organisasi antara masyarakat dengan sumber daya alam (biotik
18
Pasya et al., Sistem Pendukung Negosiasi Multi Tataran Dalam Pengelolaan SDA Secara Terpadu
dan abiotik). Karena konflik dapat dijabarkan sebagai Keterkaitan Kegiatan SPN Antar-tataran
perjuangan atas nilai dan tuntutan dari para pihak Pemerintah Dalam Konteks Pelaksanaan
terhadap kelangkaan status, kekuatan dan sumber daya Otonomi Daerah Di Lampung: Pelajaran yang
alam; sementara tujuan pihak lawan adalah untuk bisa dipetik
melemahkan atau menyingkirkan lawan (Coser in Seperti yang telah disinggung sebelumnya, pelaksanaan
Isenhart and Spangle, 2000); maka manusia harus SPN harus dimasukkan ke dalam struktur tataran
menjadi pokok ‘sentral’ dalam lingkungan konflik. Hal sistem pemerintahan mengingat kekuasaan, wewenang
tersebut berimplikasi bahwa keterwakilan para pihak dan tanggung jawab (KWT) dalam PSDA tersebar di
dan menyeimbangkan kekuatan selama negosiasi sepanjang struktur tersebut. Atas pertimbangan
menjadi hal yang sangat penting dalam pengelolaan tersebut dialog dan negosiasi multi pihak secara multi
konflik. Pada situasi tersebut, mempunyai forum tataran diadakan di lokasi Sumberjaya, tataran
negosiasi multi pihak yang terdiri dari semua pihak Kabupaten Lampung Barat dan tataran Propinsi
yang berselisih dan pihak-pihak yang independen Lampung. Pada beberapa kasus negosiasi diangkat ke
menjadi sangat penting. Gambar 6 menunjukkan tingkat nasional terutama melalui National Land
segitiga institusional inovatif sebagai refleksi forum Tenure Working Group (Kelompok Kerja Land Tenure
negosiasi di semua tataran. Di setiap tataran terdapat Nasional) yang difasilitasi oleh Badan Planologi
unsur pemerintah (G), masyarakat (C), dan pihak- Departemen Kehutanan serta Kelompok Kerja HKm
pihak independen yang diperlukan (Universitas, LSM, Nasional yang difasilitasi oleh Ditjen RLPS
lembaga penelitian, dll). Hal ini masuk akal sebab Departemen Kehutanan. Upaya-upaya pengembangan
unsur pertama dari suksesnya negosiasi adalah dengan kepastian land tenure di lokasi, advokasi penyusunan
meletakkan manusia (pihak-pihak) di pusat perhatian kebijakan (Raperda) PSDALBM dan penyusunan
dalam pengelolaan konflik. Kriteria dan Indikator Evaluasi HKm di tataran
Menyeimbangkan kekuatan juga sangat penting Kabupaten Lampung Barat, dan advokasi penyusunan
khususnya ketika konflik mencerminkan perseteruan kebijakan (Raperda) Irigasi di tataran Propinsi
antara pihak yang sangat kuat (powerful) dengan pihak Lampung, saling berhubungan satu sama lain sehingga
yang lemah (powerless). Dalam kebanyakan kasus membawa pengelolaan hutan ke dalam sistem PSDA
biasanya pihak yang berkuasa adalah pemerintah yang secara holistik di dalam suatu ekosistem DAS. Jasa
mendominasi kendali PSDA, sedangkan pihak yang lingkungan yang disediakan oleh kelompok miskin di
lemah adalah masyarakat luas dengan akses yang kecil hulu– yang kebanyakan dari mereka adalah anggota
terhadap sumber daya dan kekuasan. Usaha yang kelompok HKm di Sumberjaya diperhitungkan untuk
paling banyak dilakukan untuk menyeimbangkan menerima imbalan (rewards) dari pengguna jasa di
kekuatan adalah melalui penyediaan pendidikan wilayah hilir dan/atau dari pemerintah setempat. Akses
kepada pihak yang lemah dalam pengertian yang luas. ke lahan melalui kepastian land tenure secara semi-
Memfasilitasi kelompok miskin untuk mendapat permanen seperti dalam skim HKm harus dinaungi oleh
pemahaman yang lebih baik dalam PSDA melalui Perda Kabupaten tentang PSDALBM. Secara
lokakarya, pelatihan, penelitian dan pengembangan sistematis hubungan advokasi kebijakan lintas tataran
partisipatif dapat menjadikan mereka mampu tersebut dapat disajikan seperti pada Gambar 7.
membawa sain dan pengetahuan ke meja perundingan
dengan posisi tawar yang relatif lebih baik.
Forum
G Forum
G Forum
G
Dialog dan
negosiasi DAS Kabupaten Propinsi
Univ,LSM C Univ,LS C Univ,LSM C
Kepastian land tenure •M Penundaan retribusi HHBK
Bagi kelompok • Raperda PSDLBM (2002) Raperda Irigasi
Hasil-hasil Masyarakat petani • Kriteria dan Indikator Propinsi Lampung
Hutan (HKm) Evaluasi HKm (2002)
perubahan (2000-2002)
kebijakan
Imbalan ke wilayah
hulu
Gambar 7. Negosiasi kebijakan PSDA secara multi tataran: Pembelajaran dari Lampung.
(Keterangan: G = pemerintah, C = masyarakat)
19
Pasya et al., Sistem Pendukung Negosiasi Multi Tataran Dalam Pengelolaan SDA Secara Terpadu