Anda di halaman 1dari 12

8

SISTEM PENDUKUNG NEGOSIASI MULTI TATARAN


DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM SECARA TERPADU:
DARI KONSEP HINGGA PRAKTEK
Gamal Pasya1,2 , Chip Fay1, dan Meine van Noordwijk1

1)
World Agroforestry Centre - ICRAF SE Asia, PO Box 161, Bogor 16001
2)
BAPPEDA Propinsi Lampung, Jl. Walter Monginsidi 69 Bandar Lampung

ABSTRACT Conflict should be managed: from dysfunctional to


functional; from destructive to constructive, and from
Human conflict can be classified in several ways: according anarchy to persuasive systems. In the context of natural
to the nature of participants/disputants and according to resources conflict management, an integrated analysis is
the issues. Participants/disputants/parties/ stakeholders needed in order to offer a broad range of resource use
may be individuals, communities, political groups, nation alternatives, to provide benefits to conflicting parties in a
states, or blocks/alliances. The issues may be rights or manner that achieves resolutions.
privileges, control over resources, political power, or, in This paper introduces an approach on how to manage
extreme cases, conflict arises from the nature of social conflict over natural resource. Conceptually, the approach
systems. The means may range from persuasive arguments is named Negotiation Support System (NSS). The NSS
to physical threat. approach was tested and implemented since 2000 in the
Conflict over natural resources such land, water/ Sumberjaya watershed, Lampung Province. How the NSS
watershed, and forest is ubiquitous. Forests are particularly approach could bring advantages to parties and it is
prone to conflict, as the stakeholders of environmental implemented is elaborated in this paper.
and social functions are not those who benefit from the _________________
financial gains of conversion or management for economic Key words: negotiation support system, conflict, natural
gains. In many cases, these differences between resources
stakeholder interests generate dysfunctional conflicts.
9

Pasya et al., Sistem Pendukung Negosiasi Multi Tataran Dalam Pengelolaan SDA Secara Terpadu

konflik yaitu: (1) Sumber daya alam melekat di dalam


ABSTRAK suatu lingkungan atau ruang yang saling berhubungan
Konflik manusia dapat diklasifikasikan dalam berbagai dimana tindakan yang dilakukan oleh individu atau
cara berdasarkan sifat pesengketa, berdasarkan isu, dan kelompok di suatu tempat dapat menimbulkan efek-
sebagainya. Pesengketa bisa perorangan, komunitas, efek off-site di tempat lain misalnya pada kasus
kelompok politik, bangsa, atau blok/aliansi. Isu konflik pengelolaan daerah aliran sungai (DAS); (2) Sumber
dapat berupa hak akan sumberdaya alam, kekuasan politik, daya alam juga tersimpan di ruang publik sosial tempat
atau pada kasus yang ekstrim adalah konflik sistem sosial
terjalinnya hubungan yang rumit dan tidak setara di
pesengketa. Cara pesengketa berkonflik bervariasi dari
antara banyak sekali pelaku sosial seperti – penghasil
sekedar beragumentasi hingga ke tindakan kekerasan.
Konflik atas sumberdaya alam terjadi dimana-mana,
agro-export, para petani kecil, suku minoritas, lembaga
di daerah aliran sungai, hutan, dan lainnya. Khususnya pemerintahan, dll. Dalam dimensi politik, para pelaku
hutan, fungsi lingkungan yang diharapkan darinya yang mempunyai akses terbesar kepada pusat kekuasan
membawa pengguna kepada perbedaan akan kepentingan dapat mengendalikan dan mempengaruhi keputusan
dan praktek pengelolaannya. Pada beberapa kasus, yang menyangkut sumber daya alam menurut kehendak
perbedaan tersebut melahirkan konflik yang disfungsional. mereka; (3) Sumber daya alam dapat berupa subyek
Konflik harus ditangani; dari disfungsional menjadi suatu kelangkaan (scarcity) akibat dari perubahan
fungsional, dari penghancuran menjadi perbaikan, dan lingkungan secara cepat, meningkatnya permintaan,
dari anarkis menjadi persuasif. Dalam konteks dan distribusi yang tidak merata, dan (4) Sumber daya
pengelolaan sumberdaya alam, analisis terpadu alam digunakan manusia secara simbolis; lahan, hutan-
dibutuhkan untuk secara luas menyediakan alternatif- hutan dan jalan air bukan hanya sumber daya yang
alternatif pemanfaatan sumberdaya yang dapat diperebutkan manusia, tapi juga merupakan bagian
memberikan manfaat kepada para pesengketa, serta dari cara hidup (petani, pemilik peternakan, nelayan,
sebagai cara untuk mencapai resolusi konflik. penebang kayu), identitas suatu suku, perangkat gender
Tulisan ini bertujuan memperkenalkan suatu dan usia. Dimensi-dimensi simbolik sumber daya alam
pendekatan dalam mengelola konflik pemanfaatan tersebut membawa mereka ke pergulatan ideologi,
sumberdaya alam. Secara konsep, pendekatan ini sosial dan politik yang secara praktek amat signifikan
dinamakan Sistem Pendukung Negosiasi (SPN). berpengaruh terhadap PSDA dan proses penanganan
Pendekatan SPN telah diuji dan dilaksanakan sejak tahun konflik.
2000 di DAS Way Besay Sumberjaya, Propinsi Lampung. Konflik-konflik manusia dapat dibagi dalam
Bagaimana pendekatan SPN dapat memberi manfaat dan beberapa macam yaitu: berdasarkan sifat pesengketa;
berpengaruh terhadap para pihak yang bersengketa akan
berdasarkan permasalahan, jika ada; berdasarkan
dibahas di dalam tulisan ini.
perangkat yang digunakan, dll (Rapaport, 1974).
______________________
Kata kunci: sistem pendukung negosiasi, konflik,
Pesengketa dapat berupa individu, kelompok kecil
sumberdaya alam (keluarga, perusahaan, gang), kelompok besar (suku,
ras, politik), negara atau blok/aliansi. Permasalahan
PENDAHULUAN dapat berkisar tentang hak-hak atau hak-hak hakiki,
kontrol atas sumber daya, kekuatan politik, atau dalam
Latar Belakang Masalah kasus yang ekstrim, eksistensi pesengketa dalam suatu
Persoalan konservasi, lingkungan dan enerji sistem. Cara yang digunakan bervariasi mulai dari
berdampak sangat besar tidak hanya terhadap hal-hal argumen secara persuasif hingga penghancuran fisik.
yang berkenaan dengan persoalan tersebut saja, tapi Konflik atas sumber daya alam seperti lahan, air, dan
juga terhadap konflik regional yang melibatkan banyak hutan terjadi dimana-mana. Khususnya konflik
pihak dalam suatu batas ekosistem. Seperti yang pengelolaan hutan, fungsi lingkungan yang diharapkan
dinyatakan oleh Buckles (1999) bahwa konflik dari hutan (fungsi ekologis, sosial dan ekonomi)
pengelolaan sumber daya alam (PSDA) dapat terjadi membawa pesengketa kepada perbedaan kepentingan
pada berbagai macam tingkatan, mulai dari tingkat dan perbedaan perlakuan terhadap sumber daya alam.
rumah tangga, tingkat masyarakat, lokal, regional dan Kecenderungan untuk melihat hutan sebagai satu-
global. Selanjutnya, konflik juga dapat melintasi semua satunya sumber kayu telah membawa kepada
tingkatan melalui berbagai titik persinggungan. Konflik deforestasi dan bahkan degradasi hutan.
yang terjadi di tingkat lokal juga dapat meluas ke Konversi hutan tropis yang demikian cepat telah
tingkat nasional dan global karena adanya keterkaitan menjurus kepada musnahnya keanekaragaman hayati,
hukum karena upaya pelaku setempat dapat pelepasan karbon ke atmosfir, masalah gangguan asap
mempengaruhi proses pembuat keputusan di tingkat kebakaran hutan, dan menurunnya fungsi DAS.
yang lebih tinggi. Dampak lain dari konversi hutan adalah kemiskinan
Paling tidak beberapa alasan mengapa (yang berhubungan dengan penebangan kayu),
pemanfaatan sumber daya alam rentan menimbulkan pengembangan hutan tanaman, program transmigrasi
10
Pasya et al., Sistem Pendukung Negosiasi Multi Tataran Dalam Pengelolaan SDA Secara Terpadu

pemerintah, dan meningkatnya akses dan konstruksi memunculkan perilaku integratif, mendorong konflik
jalan (Van Noordwijk, 2000). Ketidak-konsistenan ke arah konstrukstif, ke arah proses pemecahan
kebijakan rencana penggunaan lahan yang terjadi saat masalah, dan menuju cita-cita, yang bertujuan untuk
ini telah menyebabkan banyak konflik dan dari waktu memaksimalkan kepentingan dari berbagai pihak
ke waktu menimbulkan deforestasi. Sejauh ini, jasa
sambil menjaga hubungan. Karenanya negosiasi adalah
lingkungan yang diharapkan dari kawasan hutan tidak
dapat dibangkitkan. Dalam banyak kasus, deforestasi seni bagaimana membawa semua unsur yang terlibat
dan degradasi hutan menyebabkan masalah finansial, dan menghubungkan mereka dalam satu sistem
politik dan dampak externalitas yang nyata (Price, pengelolaan konflik yang terintegrasi. Semua unsur itu
1982). terdiri dari para pihak dengan semua kepentingan
mereka yang berbeda, sumber daya alam yang tersedia,
Pendekatan Sistem Pendukung Negosiasi (SPN); kebijakan dan pihak yang berwenang, dan tentu saja
Membawa Sain dan Pengetahuan ke Meja sejumlah masalah yang berkembang. Hal ini berarti
Perundingan negosiasi membutuhkan sebuah sistem pendekatan
Dalam menyelesaikan masalah yang telah diuraikan yang menangani interaksi antar unsur sumber daya
sebelumnya, diperlukan suatu analisis terpadu tentang alam, kolaborasi multi pihak, dan kemauan politik
berbagai alternatif penggunaan lahan, menghitung untuk mereformasi kebijakan.
manfaat lokal, nasional dan global yang diperlukan, Berkaitan dengan konflik pengelolaan sumber daya
dan juga menafsir sistem kelembagaan yang dapat alam (PSDA) dan pilihan pendekatan yang ada dalam
mendukung atau yang menjadi penghambat menangani konflik, International Center for Research
pengembangan ke depan, seperti alternatif konversi in Agroforestry (ICRAF) mengembangkan yang
hutan secara tebas-bakar terhadap praktek penggunaan disebut Sistem Pendukung Negosiasi (SPN) untuk
lahan yang tidak berkelanjutan (Van Noordwijk, 2000). PSDA terpadu. Secara konseptual, SPN dijabarkan
Proses tawar-menawar akan suatu fungsi hutan sebagai proses negosiasi yang mendorong pengelolaan
berpotensi menimbulkan konflik antar pihak konflik PSDA suatu lansekap di dalam batas ekosistem
berkepentingan. Pada kondisi demikian proses tersentu, khususnya DAS; melalui rangkaian kegiatan
negosiasi dan kompromi menjadi penting walaupun dialog multi pihak yang didukung oleh ilmu
akan ada kemungkinan untuk tidak menghasilkan pengetahuan (subsisten dan/atau modern) yang didapat
kesepakatan. Dalam situasi seperti ini, manajemen dari hasil penelitian dan pengembangan secara
konflik menjadi sangat penting untuk mempersempit partisipatif pada aspek-aspek bio-fisik, sosial-ekonomi
jurang antara hasil yang diharapkan dengan dunia dan kebijakan; guna memitigasi konflik destruktif
nyata. antar-pihak dan secara bersamaan mempromosikan
Pengetahuan tentang pengelolaan konflik banyak PSDA yang berkelanjutan. SPN adalah sebuah sistem
memiliki prinsip dan cara pemecahan konflik alternatif pendekatan yang responsif terhadap kebutuhan para
(Alternatives Dispute Resolution/ADR) daripada pihak untuk mendapatkan pemahaman yang lebih
sekedar proses hukum. Dalam konteks ADR, sangat dalam mengenai masalah-masalah PSDA yang mereka
dimengerti bahwa negosiasi bukanlah satu-satunya hadapi.
Dalam SPN, proses pendekatan negosiasi secara
cara untuk membawa pihak-pihak yang berselisih ke
sistematis diarahkan kepada upaya-upaya
perundingan dan memecahkan konflik mereka dengan pengembangan sistem insentif/disinsentif sosial-
sistem yang terpadu. Cara pendekatan lain yang juga ekonomi-ekologis termasuk membangun komitmen
dikenal dan sering digunakan oleh para praktisi dalam untuk saling berkontribusi yang ditindak lanjuti ke
berbagai situasi konflik antara lain mediasi, fasilitasi, dalam bentuk aksi kolaborasi pada setiap perubahan
arbitrasi (yang tidak) mengikat. Negosiasi adalah spontan dan/atau perubahan berkesepakatan agar
proses sukarela dari berbagai pihak untuk bertemu tercapai cita-cita dan pemecahan bersama. Seperti yang
muka guna mencapai resolusi yang dapat diterima dan digambarkan pada Gambar 1, terdapat empat tahap
saling menguntungkan semua pihak yang terlibat pelaksanaan agar SPN dapat memberikan resolusi
konflik (Buckles, 1999). Negosiasi lebih mengarah konflik (Van Noordwijk, 2000), yaitu:
1) Mengidentifikasi pelaku/stakeholder serta mengerti
kepada diskusi pemikiran yang merupakan pilihan
tujuan dan indikator yang digunakan untuk
strategis untuk menangani masalah (Isenhart and memprediksi kondisi lansekap saat ini dan masa
Spangle, 2000). mendatang;
Negosiasi mempunyai banyak tantangan untuk 2) Membangun piranti untuk menghubungkan
mengatasi masalah secara kolaboratif. Negosiasi rencana penggunaan lahan terhadap indikator
11

Pasya et al., Sistem Pendukung Negosiasi Multi Tataran Dalam Pengelolaan SDA Secara Terpadu

SISTEM PENDUKUNG NEGOSIASI (SPN);


Membawa sain dan pengetahuan ke perundingan
Sain dan pengetahuan
4. Inovasi - Biofisik
- Kebijakan

Penggunaan Lahan
2.Interaksi SDA
Filter
/Hamparan lansekap
Jalan, saluran 1. Dialog Multi
Stakeholder
Perubahan Yg Di sepakati
Agroforest kompleks (damar) 3. Proses Negosiasi

Perubahan
Spontan
Gambar 1. Rancang alur proses SPN dalam PSDA secara terpadu: (1) indikator lansekap memberikan interpretasi
yang berbeda kepada para pihak sehingga sering menimbulkan konflik, (3) yang perlu didialogkan
melalui proses negosiasi yang mampu menghasilkan rencana perubahan secara spontan dan/atau
bersepakatan, (4) Rencana perubahan berupa inovasi-inovasi teknis dan kelembagaan dalam tata
guna lahan, prasarana fisik, pilihan agroforestri, dan lain-lain, (2) yang dapat menciptakan PSDA
secara terpadu dalam suatu lansekap.
fungsi DAS, keuntungan ekonomi, fungsi sosial, menguji hipotesa sekaligus mempelajari ‘alat’ dan
dll yang dapat diterima oleh para pihak; proses’ negosiasi PSDA dilakukan di Indonesia,
3) Mendukung proses negosiasi dalam konteks butir Thailand dan Filipina. Di Indonesia difokuskan di
1 dan 2. daerah Sumber Jaya yang wilayahnya berkarakteristik
4) Menyediakan pilihan-pilihan teknis dan DAS (Way Besay) yang membentuk daerah tangkapan
institusional yang terperbaiki untuk membantu para air (catchment area) di hulu Sungai Tulang Bawang.
pihak mencapai cita-cita/pemecahan bersama. Dalam mencapai output SPN dibutuhkan usaha
terpadu dari berbagai sudut pandang. Jadi pendekatan
Hipotesa dan Penetapan Lokasi Pengujian dalam multi-disiplin harus ditujukan ke dalam setiap tahap
Konteks Pengembangan Opsi-opsi Agroforestri pelaksanaan SPN. Hal ini untuk menjamin terjadinya
Konversi hutan di beberapa bagian wilayah Asia hubungan yang berarti antara kegiatan penelitian dan
Tenggara bukanlah masalah hitam-putih tentang pengembangan melalui negosiasi untuk membangun
berlangsungnya proses deforestasi yang pemahaman para pihak tentang cara-cara PSDA
mengakibatkan hilangnya fungsi hutan secara gradual terpadu. Gambar 2 menayangkan suatu hipotesa
seiring dengan berubahnya lansekap menjadi mosaik bahwa setidaknya diperlukan enam bidang penelitian
agroforestri (Van Noordwijk, 2000). Kebijakan dan dan pengembangan secara multi-disiplin dalam
sistem kelembagaan yang ada sebagian besar melaksanaan SPN yaitu terdiri dari: (1) penelitian
berdasarkan pada dikotomi antara penggunaan lahan sosial-ekonomi, (2) pemahaman tentang lansekap, (3)
untuk hutan versus pertanian sehingga dapat mengarah pilihan-pilihan konservasi tanah dan agroforestri, (4)
kepada konflik yang semestinya tidak perlu terjadi. pemahaman tentang fungsi DAS, (5) proses SPN, dan
Masalah tersebut amat berkaitan apabila seandainya (6) pemadu-serasian dan komunikasi.
‘fungsi perlindungan DAS’ telah menjadi dasar dari
suatu sistem pangaturan. PELAKSANAAN SPN
Hipotesa ICRAF adalah ”pengembangan mosaik Rona Permasalahan: Kependudukan, Tenurial
agroforestri yang dilakukan oleh petani pada Lahan, dan Pengelolaan DAS di Propinsi Lampung
dasarnya sama efektifnya dalam melindungi fungsi
DAS sebagaimana fungsi perlindungan yang Secara geografis, Lampung merupakan propinsi yang
disediakan oleh suatu ekosistem hutan; Sehingga strategis terletak di bagian Selatan Pulau Sumatra.
konflik yang terjadi saat ini antara pengelola hutan Karesidenan Lampung merupakan bagian dari Propinsi
negara dan masyarakat lokal dapat diselesaikan serta Sumatra Selatan hingga tahun 1964. Berdasarkan
menguntungkan bagi semua pihak”. Penelitian untuk Undang-undang No.3/1964 akhirnya Lampung
menjadi propinsi pada 18 Maret 1964, terdiri dari lima
12

Pasya et al., Sistem Pendukung Negosiasi Multi Tataran Dalam Pengelolaan SDA Secara Terpadu

populasi dan migrasi ke dataran tinggi yang dilindungi


termasuk hutan.
Hampir 30% dari luas wilayah Lampung dirancang
sebagai kawasan hutan negara yang dibagi ke dalam
lebih dari 40 kesatuan wilayah pengelolaan hutan
(yang kemudian disebut Register). Pada tahun 2000,
jumlah tutupan hutan yang masih tersisa di dalam
kawasan Hutan Lindung (HL) sekitar 54.491,97 Ha
(atau 17 % dari luas total daerah) sementara Hutan
Produksi Terbatas (HPT) hanya 10,579.94 Ha (14 %
dari luas total daerah). ‘Bencana’ merupakan kata yang
tepat untuk menggambarkan kondisi deforestasi dan
degradasi hutan di propinsi ini. Bencana tersebut tidak
terlepas dari ‘sejarah hitam’ proses penunjukkan
Gambar 2. Hubungan antara kegiatan penelitian dan kawasan hutan di Lampung. Pada tahun 1990 Menteri
pengembangan secara multi-disiplin Kehutanan menerbitkan Peta Tata Guna Hutan
dalam mendukung pelaksanaan SPN. Kesepakatan (TGHK) Lampung dan menetapkan
sejumlah wilayah sebagai hutan negara. Selama proses
pemerintahan Dati II (empat kabupaten dan satu penetapan TGHK partisipasi masyarakat tidak masuk
kotamadya). dalam agenda dan akhirnya menimbulkan konflik land
Saat ini terdapat 10 pemerintahan lokal (delapan tenure di seluruh propinsi (Gambar 4). Pada tahun
kabupaten, dua kota) dengan total luas sebesar 2000 tercatat sekitar 46% demonstrasi dialamatkan
35,288.35 km2. Pada tahun 1970an, Lampung dikenal kepada pemerintahan propinsi dan kabupaten/kota dan
sebagai daerah ‘tak bertuan’. Hal ini menarik orang semuanya mengenai konflik sumber daya lahan dan
untuk bermigrasi khususnya dari pulau Jawa. hutan. Sepanjang tahun itu sekitar 224 kasus konflik
Walaupun pemerintah propinsi telah menyatakan hutan dan lahan secara resmi diajukan ke pemerintah
daerahnya tertutup sebagai tujuan transmigrasi pada (tidak termasuk konflik yang tidak tercatat), sekitar
tahun 1984, tingkat pertumbuhan penduduk tetap 52 kasus konflik ditangani sementara 172 kasus masih
tergolong tinggi akibat adanya migrasi spontan. Pada dalam sengketa yang tak berkesudahan.
tahun 2000, tingkat pertumbuhan penduduk mencapai Konflik-konflik yang terjadi di Lampung
1 % per tahun dengan jumlah populasi 6.7 juta dan merupakan ‘contoh yang bagus’ untuk belajar dimana
sekitar 47 % nya tergolong miskin karena alasan kebijakan land tenure tidak ditangani dengan baik dan
ekonomi (Kantor BKKBN Propinsi Lampung, 2001). menimbulkan biaya sosial yang tinggi. Sebaliknya,
Angka tersebut dua kali lipat dibandingkan dengan Lampung juga merupakan ’contoh yang bagus’ untuk
situasi sebelum krisis ekonomi melanda pada tahun mempelajari perbaikan kebijakan land tenure
1997. Kebanyakan dari mereka tinggal di luar wilayah dilaksanakan secara sistematis selama empat tahun
perkotaan dan daerah pedesaan. Masyarakat miskin terakhir. Momentumnya dimulai ketika pemerintah
perdesaan umumnya dicirikan oleh berpenghasilan propinsi menyadari bahwa bagian besar dari kawasan
rendah dan kekurangan input produksi pertanian hutan negara tersebut tidak dapat lagi memberikan
termasuk lahan sebagai modal. Ketimpangan distribusi fungsinya terutama kawasan Hutan Produksi dapat
penguasaan lahan menjadi masalah yang umum terjadi Dikonversi (HPK), walaupun kondisi buruk juga
di daerah perdesaan. Masalah tersebut lebih sering serupa terjadi di kawasan taman-taman nasional dan
muncul utamanya di daerah dataran tinggi atau bagian hutan lindung. Sejak tahun 1997 pemerintah telah
hulu DAS, suatu tempat yang biasanya ditetapkan memulai kebijakan ’tanah untuk rakyat’ melalui
sebagai kawasan lindung. pembentukan “Tim Penunjukkan Ulang TGHK
Lampung mempunyai tiga DAS utama (Gambar Lampung”. Tim tersebut bekerja langsung di bawah
3) yaitu: (1) Seputih – Sekampung, meliputi daerah gubernur dan didukung oleh Kanwil Kehutanan
seluas 670,227 ha dan mengaliri enam kabupaten; (2) (sekarang menjadi Dinas Kehutanan) dan Bappeda
Tulang Bawang – Mesuji, meliputi daerah seluas Propinsi Lampung. Aktivitas tim tampaknya ‘di bawah
998,300 ha dan mengaliri empat kabupaten dan; (3) permukaan’ sehingga tidak banyak orang yang tahu.
Semangka, mengaliri satu kabupaten. Sekitar 50 % Prakarsa kebijakan kemudian dapat diketahui secara
penduduk di hulu DAS Sekampung merupakan eksplisit setidaknya dalam tiga dokumen resmi 1
penduduk pegunungan yang miskin, sementara di DAS
Tulangbawang sekitar 32 %. Kemiskinan, ketimpangan 1
Ketiga dokumen itu adalah: 1) Pidato politik Gubernur dihadapan
distribusi penguasan lahan, dan kurangnya Anggota DPRD yang baru, 1999; 2) Rencana Strategis Pembangunan
Daerah Lampung, 2000-2005; dan 3) Pola Dasar Pembangunan Daerah
aksesibilitas terhadap lahan menjadi penyebab tekanan Propinsi Lampung 2000-2005.
13

Pasya et al., Sistem Pendukung Negosiasi Multi Tataran Dalam Pengelolaan SDA Secara Terpadu

Gambar 3. Peta Daerah Aliran Sungai di Lampung.

propinsi. Dokumen terkahir yang ke-4 yaitu


Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan
No.256/Kpts-II/2000 yang menyatakan persetujuan
pemerintah pusat untuk melepaskan 145.125 hektar
HPK untuk dikonversi manjadi lahan non hutan
(pertanian, industri/komersial, dan pemukiman);
namun pada daerah yang masih berupa hutan primer
harus dipertahankan seperti kondisi sebelumnya.
Menanggapi keputusan tersebut, ICRAF dan
Universitas Lampung melaksanakan studi kolaborasi
tentang ‘Proses Administrasi Pertanahan dan
Tanggapan Sosial Masyarakat Setempat Terhadap
Kebijakan Penunjukan Ulang Kawasan HPK; Studi
kasus di Bangkunat, Kabupaten Lampung Barat’ pada
bulan April-Mei 2001. Tim ICRAF - UNILA
Gambar 4. Demonstrasi rakyat menggugat sengketa status memyajikan hasilnya kepada lembaga-lembaga yang
lahan di Lampung. relevan (khususnya Kehutanan dan Bappeda) untuk
menjadi pertimbangan bagi kebijakan ke depan. Salah
satu rekomendasi studi kepada pemerintahan adalah
untuk segera melaksanakan registrasi lahan secara
14

Pasya et al., Sistem Pendukung Negosiasi Multi Tataran Dalam Pengelolaan SDA Secara Terpadu

transparan. Beberapa bulan kemudian (Oktober empat kawasan hutan negara, yaitu: 1) Register 44B
2001), pemerintahan propinsi mengeluarkan Perda Way Tenong Kenali 13,040 hektar; 2) Register 45B
No.6/2001 tentang Administrasi Pertanahan atas Ex. Bukit Rigis 8,295 hektar; 3) Register 39 Kota Agung
Kawasan HPK yang ditujukan untuk (1) memberi Utara 102,110 hektar, and; 4) Register 46 B Sekincau
kepastian kepada rakyat melalui pengadministrasian 28,900 hektar. Semua kawasan merupakan bagian dari
konversi penggunaan lahan secara transparan, dan ekosistem hulu DAS.
(2) sumber dana rehabilitasi hutan 2. Perda ini Saling percaya dibangun kembali melalui rangkaian
merupakan sebuah langkah maju dalam kebijakan land hubungan individu, sosial dan lembaga. Saling percaya
tenure yang diprakarsi oleh pemerintah propinsi merupakan modal sosial dasar untuk dialog, negosiasi
walaupun proses formulasi dan sosialisasinya kepada dan kerja kolaborasi. Pemerintah mempromosikan skim
masyarakat masih lemah. Hanya Kabupaten Lampung Hutan Kemasyarakatan (HKm).HKm digunakan
Timur yang mengkritik perda tersebut namun berkisar sebagai titik masuk kebijakan untuk merekonstruksi
pada masalah bagi hasil penerimaan pajak konversi saling percaya berdasarkan pemecahan konflik land
antara propinsi dengan kabupaten. tenure di Sumberjaya. Untuk itu Watala dan ICRAF
memfasilitasi 11 petani Sumberjaya untuk mengadakan
Fasilitasi dan Negosiasi dalam Pengelolaan kunjung silang ke Gunung Betung guna mempelajari
Konflik di Sumberjaya proses HKm. Para petani tersebut kemudian berbagi
Sumberjaya 3 terletak di bagian hulu DAS pengalaman dengan tetangga mereka. Sampai saat ini,
Tulangbawang dan terkenal dengan DAS Way Besay terdapat 12 kelompok HKm (dengan sekitar 1035 petani
(way berarti sungai) (Gambar 5). Luas daerahnya yang menjadi anggota) difasilitasi oleh Watala dan
sekitar 54,194 hektar. Pada tahun 2000 jumlah ICRAF, tiga kelompok telah memiliki Ijin Awal yang
penduduknya sekitar 81,000 jiwa dan sekitar 32 % berlaku selama lima tahun yang dikeluarkan oleh Bupati
adalah penduduk miskin. Di Sumberjaya terdapat Lampung Barat dan menjadi kelompok-kelompok HKm

Tulang Bawang Merjusi RB

Way Sekampung Way Seputih RB

Way Semangka RB
N

W E

RASTAU TERINA
BUKIT KEMUNING
JAVA SEA

Gambar 5. Posisi penting dari Sumberjaya di bagian Hulu DAS Way Besay.

2
Proses administrasi (sertifikasi) tanah ex. Kawasan HPK dikenakan
biaya.
3
Pada tahun 2000 Kecamatan Sumberjaya melebar menjadi 2 kecamatan,
Sumberjaya yang dulu dan Way Tenong.
15

Pasya et al., Sistem Pendukung Negosiasi Multi Tataran Dalam Pengelolaan SDA Secara Terpadu

pertama yang disyahkan oleh Bupati di Indonesia diskusi multi pihak pada September 2000. Untuk
berdasarkan Keputusan Mentri Kehutanan dan menindaklanjuti kebutuhan tersebut, ICRAF dan mitra
Perkebunan No.31/Kpts-II/2001 tentang HKm. (WWF (World Wild Foundation) Lampung, WCS
Watala dan ICRAF juga memfasilitasi pertemuan rutin (Wildlife Conservasion Society) Lampung, Watala,
kelompok-kelompok HKm setiap tiga bulan sekali di YASPAP (Yayasan Pemangku Adat Pesisir), PMPRD
Sumberjaya yang melibatkan Bupati, perwakilan (Persatuan Masyarakat Petani Repong Damar), unit
Kehutanan, PLTA Way Besay, kelompok HKm, teknis kabupaten, unit teknis propinsi, kelompok tani,
Koramil, polsek dan aparat desa/Kecamatan. Pada dan belakangan LATIN (Lembaga Alam Tropika
bulan Desember 2003 telah terbentuk Forum Dialog Indonesia) mengadakan seri diskusi informal dengan
Pengelolaan DAS Way Besay yang fasilitasi proses hasil terbentuknya “Tim Kajian Kebijakan – Tata
pembentukannya dimulai sejak bulan Juni 2001. Di Ruang dan Tata Guna Lahan di Lampung Barat”
tingkat lapang ada pembagian peran antara Watala disingkat menjadi Tim TKK-TRTGL. Tim tersebut
dan ICRAF. Watala lebih fokus pada fasilitasi formasi terbentuk atas Keputusan Bupati Lampung Barat No.
kelompok tani, pemetaan partisipatif dan dialog B/37/KPTS/02/2001. Dalam tim, Kantor Badan
kebijakan untuk memproses ijin HKm; sementara Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten, Kehutanan,
ICRAF memfasilitasi capacity building para pihak, Bappeda, dan beberapa unit teknis kabupaten terlibat.
penelitian kebijakan, dialog kebijakan dan negosiasi Sejak pembentukannya, tim ini telah menghasilkan
pemerintah multi tataran. Pada bulan Agustus 2001 sebelas kali pertemuan rutin tiga bulanan. Beberapa
ICRAF mengirim dokumen kajian kebijakan tentang kerja kolaboratif seperti antara lain:
Perda No.7/2000 tentang Retribusi Hasil Hutan Bukan • Dengan mengacu kepada Tap MPR No.IX/2001
Kayu (HHBK) kepada pemerintah kabupaten dengan tentang Reforma Agraria dan PSDA, tim memberi
hasilnya, Bupati Lampung Barat menunda penerapan masukan pada perbaikan Raperda
perda tersebut di daerah Sumberjaya. Penyelenggaraan Kehidupan Adat Lampung
Dialog kebijakan didahului dengan diskusi terfokus Barat.
pada kebijakan kehutanan di tingkat lapang dihadiri
• Tim mengidentfikasi dan merangkum 12 masalah
fasilitator lapang, petugas penyuluhan, dan para petani.
land tenure di kawasan hutan negara di Lampung
Selama diskusi terfokus para pihak meninjau manfaat
Barat yang penyelesaiannya perlu diprioritaskan.
dan mudlarat berbagai produk kebijakan. Hasil diskusi
Identifikasi tersebut merupakan bagian dari studi
kemudian dibawa ke lembaga-lembaga yang relevan
singkat land tenure di Lampung Barat dan
di setiap tataran pemerintah untuk menghasilkan
digunakan oleh Bupati sebagai informasi dasar
pemecahan konflik PSDA. Di Way Tenong, LSM lokal
untuk bernegosiasi ke Badan Planologi
lainnya bernama YACILI bekerja pada kegiatan yang
Departemen Kehutanan pada bulan Juni 2001.
serupa dengan apa yang dikerjakan oleh ICRAF dan
Watala. Mereka memfokuskan pada proses fasilitasi • Mengacu kepada kebutuhan masyarakat, Tim
yang mengarah pada ijin HKm. Kolaborasi dan TRTGL mengusulkan kepada pemerintah untuk
pertukaran informasi diantara ketiga institusi dan membentuk tim multi pihak untuk menyusun
petani berjalan secara dinamis. Dalam pelaksanaan naskah rancangan peraturan daerah (Raperda)
SPN, ICRAF juga melakukan fasilitasi teknis Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis
pengembangan benih, pembibitan, dan litbang biofisik Masyarakat (PSDHBM). Tim penaskah dibentuk
berkolaborasi dengan Universitas Brawijaya, pada bulan Mei 2002. Secara kolaboratif tim
Universitas Lampung dan Pusat Penelitan Tanah dan menyusun Naskah Akademik raperda. Pada awal
Agroklimat (Puslitanak) Bogor dengan menggunakan tahun 2003 substansi PSDHBM berubah menjadi
sumber dana yang lainnya. Bentuk tindakan kolaboratif Raperda Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
yaitu penelitian dan pelatihan kepada petani secara Lingkungan Berbasis Masyarakat (PSDALBM).
partisipatif. Perubahan ini dimaksudkan agar pengelolaan
hutan merupakan bagian tidak terlepas dari PSDA
Fasilitasi dan Negosiasi dalam Pengelolaan dan lingkungan. Naskah akademik pun berubah
Konflik di Tataran Kabupaten menjadi naskah akademik PSDALBM yang
kemudian dilanjutkan dengan penyusunan naskah
Tidak semua konflik lokal dapat diselesaikan karena
hukum. Proses penyusunan raperda dilakukan
beberapa otoritas dan kewenangan berada di tataran
melalui mekanisme konsultasi publik secara series
pemerintah yang lebih tinggi. Fakta, hasil temuan, dan
di empat wilayah Kabupaten Lampung Barat.
masalah lokal yang tidak terselesaikan perlu diangkat
Saat ini naskah hukum sudah selesai dan siap
ke tataran kabupaten dan/atau tataran propinsi dengan
untuk dikirim ke DPRD Kabupaten.
harapan tataran tersebut dapat mendukung tercapainya
penyelesaian melalui perbaikan dan reformasi • Pada awal tahun 2002 Kabupaten Lampung Barat
kebijakan. Kebutuhan tersebut muncul dari hasil menyelesaikan revisi Rencana Tata Ruang
16

Pasya et al., Sistem Pendukung Negosiasi Multi Tataran Dalam Pengelolaan SDA Secara Terpadu

Wilayah Kabupaten (RTRWK). Tim TRTGL Lingkungan (KKR-PSDAL) Lampung yang


mengupas secara kritis isinya. Perhatian melibatkan dua kantor taman nasional, beberapa unit
dipusatkan pada land tenure dan masalah teknis propinsi, Konsorsium Konservasi Hutan
PSDHBM dengan mengambil sintesa dan Lampung (K2HL) dan dua Kabupaten Lampung Barat
pelajaran dari Krui dan Sumberjaya. Tim dan Lampung Timur. Salah satu agenda penting KKR-
mengirimkan kertas kajian untuk naskah revisi PSDAL yaitu memberi kontribusi dalam proses
RTRWK Lampung Barat sebagai bahan penyusunan Raperda Propinsi tentang Irigasi. ICRAF
pertimbangan lebih lanjut. mempromosikan konsep jasa lingkungan dan
• Pada akhir bulan Mei 2003 Dinas Kehutanan mekanisme insentif/disinsentif hulu-hilir agar dapat
Kabupaten dan ICRAF memfasilitasi Lokakarya diadopsi untuk PSDA terpadu dalam satu ikatan
Penyusunan Kriteria dan Indikator untuk Evaluasi ekosistem khususnya DAS dimana berlangsungnya
dan Monitoring HKm secara partisipatif. Di interaksi antar-unsur ekosistem termasuk hutan. Kajian
Indonesia lokakarya ini merupakan lokakarya pertama terhadap naskah hukum raperda dilakukan
pertama yang mengetengahkan topik kriteria dan oleh ICRAF dan LATIN di Bogor dan digunakan
indikator yang materinya disusun oleh kelompok sebagai masukan untuk kajian kedua di Bandar
tani HKm. Materi teknis yang dipergunakan untuk lampung yang difasilitasi oleh KKR-PSDAL
menyusun kriteria dan indikator tersebut berasal Lampung. Hasil kajian tercantum di Pasal 8 naskah
dari sintesa hasil kegiatan litbang antara ICRAF final Raperda Irigasi sebagai berikut:
dengan mitra (terutama petani, Dinas Kehutanan 1) Pengelolaan irigasi harus dilaksanakan sebagai
dan SDA Lampung Barat, Universitas Brawijaya, bagian dari pengelolaan DAS; dan harus
Universitas Lampung, Puslitanak – Bogor, mempertimbangkan serta menstimulasi upaya-
Watala, Capable, dan LATIN). Pada bulan upaya pengelolaan ekosistem hutan di hulu secara
Desember 2003 naskah hukum kriteria dan lestari melalui mekanisme insentif/disinsentif hulu-
indikator evaluasi HKm diselesaikan dan hilir, dan
diratifikasi oleh Bupati pada Februari 2004. 2) Untuk mendukung butir satu di atas, segera setelah
raperda disyahkan, akan diikuti dengan merancang
Fasilitasi dan Negosiasi dalam Pengelolaan instrumen ekonomi lingkungan yang sesuai dengan
Konflik di Tataran Propinsi konteks dan kebutuhan setempat.
Sumber kegagalan kebijakan kehutanan di Indonesia
antara lainnya yaitu: 1) sentralisasi, dan 2) MEMADUKAN SPN
sektoralisasi. Pengelolaan hutan kebanyakan KE DALAM BINGKAI DESENTRALISASI
diterapkan secara sektoral terpisah dari pembangunan
sektor lainnya seperti irigasi, pengelolaan DAS dan SPN dalam Konteks Desentralisasi dan Otonomi
energi berbasis air. Secara operasional pemerintah dan Daerah
sektor swasta kurang memperhatikan pengelolaan
Seringkali pertanyaan “Ke meja yang manakah kita
hutan secara holistik dalam satu ikatan ekosistem,
akan membawa sain dan pengetahuan untuk
walaupun ada kebijakan yang menganjurkan untuk itu.
bernegosiasi? Dengan siapakah kita akan bernegosiasi?
Kawasan hutan negara cenderung dikelola berdasarkan
Dan apakah kita memerlukan forum negosiasi multi-
statusnya bukan berdasarkan fungsinya. Keadaan
pihak untuk membantu pihak yang lemah?” timbul
serupa juga terjadi di Lampung. Melalui diskusi
setiap kali ketika kita berpikir bagaimana
informal ICRAF dan mitra berupaya meyakinkan unit
mensukseskan konsep SPN dalam konteks
teknis propinsi (terutama Bappeda dan Dinas
desentralisasi dan otonomi daerah. Pertanyaan-
Kehutanan Propinsi) untuk mempromosikan
pertanyaan tersebut diajukan ketika penanganan
pengelolaan hutan sebagai bagian dari PSDA seperti
konflik berkaitan dengan kenyataan bahwa dalam
halnya PSDHBM sebagai bagian dari PSDALBM di
sudut pandang penyelenggaraan sistem pemerintahan,
Lampung Barat. Bidang-bidang lainnya juga harus
kewenangan PSDA tersebar di berbagai tataran
dipadukan ke dalam suatu sistem pengelolaan
pemerintahan dan di dalam berbagai unit teknis
lingkungan yang berkelanjutan. Setelah mencapai
pemerintah.
persepsi yang sama semua pihak setuju untuk
Salah satu debat yang paling penting dan berulang
mengembangkan kerja kolaboratif PSDA dan
dalam perkembangan negara-negara di dunia adalah
Lingkungan melalui Naskah Kesepahaman (MoU)
tentang besarnya kendali yang dimiliki oleh pemerintah
No.055/1338/IV.01/2001 yang ditandatangani oleh
pusat atas perencanaan dan administrasi PSDA.
Gubernur Lampung, Universitas Lampung, Watala,
Perencanaan dan administrasi yang tersentralisasi
WWF, WCS, ICRAF dan LATIN. MoU tersebut
dianggap perlu untuk memandu dan mengontrol PSDA
ditindaklanjuti dengan pembentukan Kelompok Kerja
demi kesatuan negara. Tetapi dalam kebanyakan kasus,
Sukarela-Pengelolaan Sumber Daya Alam dan
17

Pasya et al., Sistem Pendukung Negosiasi Multi Tataran Dalam Pengelolaan SDA Secara Terpadu

sentralisasi dikenal luas tidak dapat mencapai semua Negosiasi NSS Multi Tataran dalam kerangka Desentralisasi
cita-cita tersebut (Cheema and Rondinelli, 1983). TI NGKAT
NEGOSI ASI
Forum Negosiasi
Multi Pihak
Bahkan ketika laju pertumbuhan ekonomi tinggi, hanya C G
sekelompok kecil masyarakat saja yang biasanya Tingkat
diuntungkan dari peningkatan produksi sumber daya Lokal
alam nasional. Perbedaan pendapatan antara si kaya Univ, LSM
dan si miskin dan antar-wilayah terjadi di banyak Distribusi Kekuasaan,
Wew enang dan
negara. Kualitas hidup kelompok termiskin menurun Tanggung Jaw ab
C G
Tingkat
sehingga jumlah penduduk yang hidup di ‘bawah garis terhadap
Propinsi
Manajemen SDA
kemiskinan’ meningkat. Banyak pengambil keputusan, antar tingkat
politisi, dan praktisioner mulai mempertanyakan Pemerintahan Univ, LSM
C G
efektifitas sentralisasi. Karenanya, banyak pihak
berminat terhadap desentralisasi beranjak dari Tingkat
Nasional
kenyataan bahwa selama kendali PSDA tersentralisasi, Univ, LSM
pengurangan kemiskinan tidak juga terwujud.
Desentralisasi adalah transfer kewenangan Gambar 6. Negosiasi multi tataran dalam
pengambilan keputusan dan tanggung jawab kepada implementasi konsep SPN dalam bingkai
tataran pemerintahan yang lebih rendah (Smith, 1985). desentralisasi.
Dalam definisi yang sama, desentralisasi merupakan
pendelegasian Kekuasaan, Wewenang dan Tanggung pemerintahan. Secara sederhana, jika pengelolaan
jawab (KWT) secara sistematis dan rasional dari konflik dapat diisolasi di tingkat lokasi/setempat maka
pemerintahan pusat ke tataran institusi lebih rendah pengerahan sumber daya untuk memecahkan konflik
(Meinzen-Dick et al., 2000). Karena sumber daya dialokasikan cukup ke tingkat tersebut.
alam merupakan salah satu sumber daya Bagaimanapun mengingat beberapa KWT tersebar
pembangunan, unsur-unsur desentralisasi ini juga ke tataran pemerintah yang lebih tinggi (atau
melekat di dalam aspek PSDA. menengah), usaha-usaha pemecahan harus diangkat
Dalam bingkai desentralisasi yang paling ke tataran tersebut dengan harapan hasilnya dapat
dikehendaki, bagian terbesar dari porsi KWT atas mendukung penyelesaian konflik di tataran di
PSDA berpindah ke tataran pemerintah dan komunitas bawahnya. Dengan melihat alur pada Gambar 6 secara
setempat. Tetapi dalam praktiknya tidaklah demikian. garis besar, negosiasi multi tataran dapat
Di balik istilah desentralisasi sering terungkap masih disederhanakan bertujuan untuk:
banyak kekayaan sumber daya alam yang tetap 1) Memadukan pendekatan SPN ke dalam bingkai
dikontrol oleh pemerintah pusat. Atas nama proses desentralisasi dan otonomi daerah,
desentralisasi, ternyata banyak tataran pemerintah dan/ khususnya berkaitan dengan distribusi
atau komunitas setempat tetap dimarjinalisasi dengan kewenangan PSDA di berbagai tataran
sedikitnya akses terhadap sumberdaya alam. Konsep pemerintah.
SPN bukanlah ditujukan untuk mereformasi bingkai 2) Melokalisasi upaya-upaya negosiasi untuk
desentralisasi PSDA yang ‘kurang terhormat’ tersebut. menangkap konteks lokal.
Tetapi lebih ditujukan untuk mengidentifikasi
kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman (SWOT) 3) Memperpendek rantai negosiasi untuk
dari bingkai desentralisasi yang ada di suatu negara menyampaikan manfaat pengelolaan konflik
dimana konsep ini akan diperkenalkan oleh ICRAF secara langsung kepada para pihak yang terlibat
dan mitranya. Jadi seiring KWT atas PSDA tersebar dalam konflik, dan
di berbagai tataran pemerintah, negosiasi secara multi 4) Mengurangi biaya negosiasi.
tataran selayaknya dilaksanakan di setiap tataran Satu hal yang membuat pengelolaan konflik
pemerintah seperti yang terlihat dalam Gambar 6. (conflict management) berbeda dengan jenis
Gambar 6 menunjukkan bahwa setiap tataran penanganan konflik lainnya seperti pemecahan konflik
pemerintah mempunyai fungsinya sendiri, hal tersebut (conflcit resolution), penyelesaian konflik (conflict
membuat pelaksanaan SPN hadir di tataran lokasi/ settlement), pencegahan konflik (conflict prevention),
setempat, propinsi dan nasional (tergantung bentuk dan transformasi konflik (conflict tranformation),
struktur pemerintahan suatu negara mengingat beda yaitu pengelolaan konflik lebih memfokuskan pada
negara beda pula struktur pemerintahannya, misalnya bagaimana mengontrol akar konflik menjadi
negara serikat, republik, monarki, dan sebagainya). konstruktif (Fisher et al., 2000). Hal itu berarti bahwa
Pendekatan multi tataran ditawarkan berdasarkan konflik dibiarkan tetap hidup karena ia tidak dapat
kebutuhan bagaimana melaksanakan SPN secara dihindari selama terjadi interaksi antar-masyarakat dan
sistematis berdasarkan struktur organisasi antara masyarakat dengan sumber daya alam (biotik
18

Pasya et al., Sistem Pendukung Negosiasi Multi Tataran Dalam Pengelolaan SDA Secara Terpadu

dan abiotik). Karena konflik dapat dijabarkan sebagai Keterkaitan Kegiatan SPN Antar-tataran
perjuangan atas nilai dan tuntutan dari para pihak Pemerintah Dalam Konteks Pelaksanaan
terhadap kelangkaan status, kekuatan dan sumber daya Otonomi Daerah Di Lampung: Pelajaran yang
alam; sementara tujuan pihak lawan adalah untuk bisa dipetik
melemahkan atau menyingkirkan lawan (Coser in Seperti yang telah disinggung sebelumnya, pelaksanaan
Isenhart and Spangle, 2000); maka manusia harus SPN harus dimasukkan ke dalam struktur tataran
menjadi pokok ‘sentral’ dalam lingkungan konflik. Hal sistem pemerintahan mengingat kekuasaan, wewenang
tersebut berimplikasi bahwa keterwakilan para pihak dan tanggung jawab (KWT) dalam PSDA tersebar di
dan menyeimbangkan kekuatan selama negosiasi sepanjang struktur tersebut. Atas pertimbangan
menjadi hal yang sangat penting dalam pengelolaan tersebut dialog dan negosiasi multi pihak secara multi
konflik. Pada situasi tersebut, mempunyai forum tataran diadakan di lokasi Sumberjaya, tataran
negosiasi multi pihak yang terdiri dari semua pihak Kabupaten Lampung Barat dan tataran Propinsi
yang berselisih dan pihak-pihak yang independen Lampung. Pada beberapa kasus negosiasi diangkat ke
menjadi sangat penting. Gambar 6 menunjukkan tingkat nasional terutama melalui National Land
segitiga institusional inovatif sebagai refleksi forum Tenure Working Group (Kelompok Kerja Land Tenure
negosiasi di semua tataran. Di setiap tataran terdapat Nasional) yang difasilitasi oleh Badan Planologi
unsur pemerintah (G), masyarakat (C), dan pihak- Departemen Kehutanan serta Kelompok Kerja HKm
pihak independen yang diperlukan (Universitas, LSM, Nasional yang difasilitasi oleh Ditjen RLPS
lembaga penelitian, dll). Hal ini masuk akal sebab Departemen Kehutanan. Upaya-upaya pengembangan
unsur pertama dari suksesnya negosiasi adalah dengan kepastian land tenure di lokasi, advokasi penyusunan
meletakkan manusia (pihak-pihak) di pusat perhatian kebijakan (Raperda) PSDALBM dan penyusunan
dalam pengelolaan konflik. Kriteria dan Indikator Evaluasi HKm di tataran
Menyeimbangkan kekuatan juga sangat penting Kabupaten Lampung Barat, dan advokasi penyusunan
khususnya ketika konflik mencerminkan perseteruan kebijakan (Raperda) Irigasi di tataran Propinsi
antara pihak yang sangat kuat (powerful) dengan pihak Lampung, saling berhubungan satu sama lain sehingga
yang lemah (powerless). Dalam kebanyakan kasus membawa pengelolaan hutan ke dalam sistem PSDA
biasanya pihak yang berkuasa adalah pemerintah yang secara holistik di dalam suatu ekosistem DAS. Jasa
mendominasi kendali PSDA, sedangkan pihak yang lingkungan yang disediakan oleh kelompok miskin di
lemah adalah masyarakat luas dengan akses yang kecil hulu– yang kebanyakan dari mereka adalah anggota
terhadap sumber daya dan kekuasan. Usaha yang kelompok HKm di Sumberjaya diperhitungkan untuk
paling banyak dilakukan untuk menyeimbangkan menerima imbalan (rewards) dari pengguna jasa di
kekuatan adalah melalui penyediaan pendidikan wilayah hilir dan/atau dari pemerintah setempat. Akses
kepada pihak yang lemah dalam pengertian yang luas. ke lahan melalui kepastian land tenure secara semi-
Memfasilitasi kelompok miskin untuk mendapat permanen seperti dalam skim HKm harus dinaungi oleh
pemahaman yang lebih baik dalam PSDA melalui Perda Kabupaten tentang PSDALBM. Secara
lokakarya, pelatihan, penelitian dan pengembangan sistematis hubungan advokasi kebijakan lintas tataran
partisipatif dapat menjadikan mereka mampu tersebut dapat disajikan seperti pada Gambar 7.
membawa sain dan pengetahuan ke meja perundingan
dengan posisi tawar yang relatif lebih baik.

Forum
G Forum
G Forum
G
Dialog dan
negosiasi DAS Kabupaten Propinsi
Univ,LSM C Univ,LS C Univ,LSM C
Kepastian land tenure •M Penundaan retribusi HHBK
Bagi kelompok • Raperda PSDLBM (2002) Raperda Irigasi
Hasil-hasil Masyarakat petani • Kriteria dan Indikator Propinsi Lampung
Hutan (HKm) Evaluasi HKm (2002)
perubahan (2000-2002)
kebijakan
Imbalan ke wilayah
hulu

Gambar 7. Negosiasi kebijakan PSDA secara multi tataran: Pembelajaran dari Lampung.
(Keterangan: G = pemerintah, C = masyarakat)
19

Pasya et al., Sistem Pendukung Negosiasi Multi Tataran Dalam Pengelolaan SDA Secara Terpadu

KESIMPULAN Cheema, G.S. dan D.A. Rondinelli. 1983.


Sejak dimulainya pelaksanaan pendekatan SPN untuk Decentralization and Development; Policy
PSDA secara terpadu pada tahun 2000, banyak sekali Implementation in Developing Countries. Sage
manfaat yang diperoleh di samping tantangan yang Publications. London.
masih harus dihadapi. Kesuksesan terpenting yang Fisher, S.; Ludin, J.; Williams, S.; Abdi, D.I.; Smith,
dapat dipetik dari proses belajar SPN secara multi R. dan S. Williams. 2000. Working with Conflict:
tataran di Lampung setidaknya adalah (1) kegiatan Skill and Strategies for Action. Zed Books Ltd.
negosiasi yang dipromosikan mampu menciptakan London.
ruang politik untuk berdialog menyelesaikan konflik Isenhart, M.W. dan M. Spangle. 2000. Collaborative
kepentingan dalam PSDA yang melibatkan para pihak Approaches To Resolving Conflict. Sage
di berbagai tataran, (2) kegiatan peningkatan kapasitas Publications, Inc. London.
(capacity building) kelembagaan dan teknis kepada Kantor BKKBN Propinsi Lampung, 2001. Data
pihak masyarakat yang lemah (powerless) mampu Keluarga Sejahtera dan Pra-Sejahtera Propinsi
meningkatkan posisi tawar (bargaining power) Lampung Tahun 2000. Bandar Lampung.
mereka dalam bernegosiasi, dan (3) negosiasi kondusif Meinzen-Dick, R. dan A. Knox. 2000. Collective
yang dilandaskan kepada kepentingan bersama Action, property right and devolution of natural
(common interest) dan bukan berdasarkan kepada resource management Dalam: Gregorio, M. (ed.).
pendekatan kekuasaan (yang kuat versus yang lemah) Exchange of knowledge and implications for
dapat menghasilkan perubahan dan perbaikan policy. Feldafing, Germany: ZEL, Food and
kebijakan PSDA setempat bagi kepentingan semua Agriculture Development Center.
pihak yang bersengketa. Van Noordwijk, M. 2000. Forest conversion and
Tantangan yang dihadapi dalam melaksanakan watershed functions in the humid tropics.
SPN adalah kenyataan bahwa interaksi antar-manusia Proceedings IC-SEA/NIAES workshop Bogor
dan antara manusia dengan sumberdaya alam 2000. ICRAF-South East Asia Program. Bogor.
berlangsung terus dimana ada kegiatan manusia. Dalam Price, K. E. 1982. Regional Conflict and National
dinamika interaksi tersebut, akan selalu terjadi Policy. Resources for the Future, Inc. Johns
perbedaan-perbedaan norma, nilai, kepentingan, dan Hopkins University Press. London.
struktural. Kasus Lampung menunjukkan bahwa Rapaport, A. 1974. Conflict in Man-made
perbedaan nilai, kepentingan, dan struktural Environment. Penguin Books Ltd.
mendominasi bentuk-bentuk konflik PSDA yang Harmondsworth. England.
terjadi. Konflik tersebut sendiri acapkali meletup ke Van Noordwijk, M.; Tomich, T. dan B. Verbist. 2001.
permukaan namun pada saat-saat tertentu menjadi Negotiation support models for integrated natural
konflik di bawah permukaan bahkan konflik latin. Pada resource management in tropical forest margins.
kondisi demikian, mendinamisir platform-platform Conservation Ecology 5(2). URL: http://
(seperti forum) yang ada untuk para pihak tetap www.consecol.org/vol5/iss2/art21
berdialog dan bernegosiasi merupakan pekerjaan Van Noordwijk, M.; Subekti, R.; Hairiah, K.; Wulan,
penting dari setiap indiviu atau lembaga yang aktif di Y.C.; Farida, A. dan B. Verbist. 2002. Carbon
dalam kerangka kegiatan SPN. Perlunya kehadiran stock assessment for a forest-to-coffee conversion
pelaku dinamisator, mediator, dan fasilitator landscape in Sumberjaya (Lampung, Indonesia):
penyelesaian konflik di setiap saat adalah kebutuhan from allometric equations to land use change
lain yang masih belum terjawabkan oleh pendekatan analysis. Science in China, C (45): 75-86.
SPN. SPN yang dilakukan oleh ICRAF dan mitra Verbist, B.; Van Noordwijk, M.; Tameling, A.C.;
tentunya memiliki tenggang waktu yang suatu saat nanti Schmitz, K.C.L. dan S.B.L. Ranieri. 2002. A
lembaga-lembaga tersebut tidak lagi berada di arena negotiation support tool for assessment of land
konflik. Oleh karenanya, satu tugas penting yang harus use change impacts on erosion in a previously
dilakukan oleh para pihak adalah tetap menjaga rasa forested watershed in Lampung, Sumatra,
saling percaya (mutual trust), apabila rasa tersebut Indonesia. Integrated Assessment and Decision
terbangun, maka mereka yang bersengketa tidak akan Support, Lugano, International Environmental
memerlukan pihak ketiga untuk memediasi. Modelling and Software Society,
Verbist, B.; Widayati, A. dan M. Van Noordwijk.
DAFTAR PUSTAKA 2003. The link between land and water prediction
of sediment point sources in a previous forested
Buckles, D. 1999. Cultivating Peace: Conflict and watershed in Lampung, Sumatra - Indonesia. D.
Collaboration in Natural Resources Management. Post (Ed.) - MODSIM proceedings, Townsville
International Development Research Center (Australia) July 2003.
(IDRC) in collaboration with The World Bank
Institute. Ottawa. Canada

Anda mungkin juga menyukai