Anda di halaman 1dari 4

Hipertensi pada lansia Kontrol Ketat Cegah Komplikasi RACIKAN UTAMA - Edisi Juni 2007 (Vol.6 No.

11)

Sekitar 60% lansia akan mengalami hipertensi setelah berusia 75 tahun. Kontrol tekanan darah yang ketat pada pasien diabetes berhubungan dengan pencegahan terjadinya hipertensi yang tak terkendali. Hipertensi merupakan gejala yang paling sering ditemui pada orang lanjut usia dan menjadi faktor risiko utama insiden penyakit kardiovaskular. Karenanya, kontrol tekanan darah menjadi perawatan utama orang-orang lanjut usia. Jose Roesma, dari divisi nefrologi ilmu penyakit dalam FKUI-RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta mengungkapkan bahwa pada orang tua umumnya terjadi hipertensi dengan sistolik terisolasi yang berhubungan dengan hilangnya elastisitas arteri atau bagian dari penuaan. Jenis yang demikian lebih sulit untuk diobati dibanding hipertensi esensial atau pada pasien yang lebih muda. Obat-obat antihipertensi terbaru yang bekerja pada sistem renin-angiotensin-aldosteron, misalnya Angiotensin-Converting Enzyme (ACE) inhibitor dan angiotensin-receptor blocker memiliki potensi perbaikan kardiovaskular pada orang tua akibat penurunan tekanan darah efektif. Isolated systolic blood pressure Seperti telah disebutkan, para lansia ternyata lebih sering mengalami hipertensi sistolik dan pengobatan hipertensi sampai saat ini masih banyak yang terfokus pada tekanan diastolik <90 mmHg tanpa memikirkan angka sistoliknya, sehingga banyak lansia yang tidak terdeteksi menderita hipertensi sistolik. Penelitian juga menyebutkan bahwa menurunnya tekanan sistolik dapat menyebabkan penurunan curah jantung, risiko infark miokard, serta penyakit kardiovaskular lainnya. Tekanan sistolik juga menjadi prediktor yang lebih sensitif dibanding tekanan diastolik. Hipertensi juga menjadi faktor utama terjadinya penyakit jantung koroner, yang terutama menyerang di atas usia 75 tahun. Sebagai konsekuensinya, kontrol tekanan darah merupakan kunci utama menjaga kesehatan kardiovaskular. Dokter juga harus melakukan edukasi terus-menerus untuk menghindari terjadinya hipertensi sistolik. Tidak ada standar tertentu untuk menentukan kategori umur yang dikatakan tua, namun pengertian lanjut usia (lansia) ialah manusia di atas usia 60 tahun. Berdasarkan Global Risk Assesment Scoring Chart dari penelitian Framingham, berat badan seiring usia juga akan meningkatkan risiko terjadinya PJK setiap kenaikan lima tahun. Isolated systolic hypertension (ISH) didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik di atas sama dengan 140 mmHg pada tekanan diastolik kurang dari sama dengan 90 mmHg. Keadaan ini terjadi karena hilangnya elastisitas arteri atau akibat penuaan. Dalam keadaan ini aorta menjadi kaku dan akhirnya menyebabkan meningkatnya tekanan sistolik dan penurunan volume aorta, yang pada akhirnya akan menurunkan volume dan tekanan diastolik. Pada orang-orang tua, pengukuran tekanan sistolik yang meningkat ini lebih signifikan karena dapat menunjukkan terjadinya kekakuan arteri besar, terutama aorta, efeknya bisa membuat kerusakan jantung, ginjal, serta otak. Manajemen dan pencegahan Beberapa penelitian, misalnya dari Syst-Eur 1 dan 2 dan penelitian lain di Jepang dan

Australia menunjukkan bahwa tata laksana hipertensi sistolik yang optimal ialah penggunaan diuretik, penyekat beta, dan Angiotensin-receptor blockers (ARB). Bekerja di sistem renin-angiotensin-aldosteron, ARB akan meningkatkan volume sirkulasi dan merangsang sintesis kolagen akibat peningkatan jumlah sel otot polos pada pembuluh darah. Valsartan dan Losartan telah terbukti mampu menurunkan tekanan sistolik pembuluh darah, mencegah akumulasi kolagen aorta, menurunkan kekakuan arteri karotis, serta menurunkan tekanan dinding pembuluh darah pada diet rendah garam. ARB yang dikombinasi dengan diuretik juga telah terbukti memiliki efek yang sangat baik, menyerupai pemberian Ca blocker. Pada orang tua, sering ditemui gangguan pada sistem kardiovaskular berupa gagal jantung, sehingga pengobatannya harus fokus untuk proteksi kardiovaskular secara umum, tidak sekadar menurunkan tekanan darah. Sekitar 60% lansia akan mengalami hipertensi setelah berusia 75 tahun. Kontrol tekanan darah yang ketat pada pasien diabetes berhubungan dengan pencegahan terjadinya hipertensi yang tak terkendali dan beberapa penyakit lainnya, misalnya diabetes mellitus, serangan stroke, infark miokard, dan penyakit vaskular perifer. Hal ini dapat dicapai dengan menjaga tekanan darah di angka kurang dari 150/85 mmHg (kontrol ketat) atau kurang dari 180/105 mmHg (kontrol tidak terlalu ketat). Kontrol ketat dilakukan pada pasien yang memiliki risiko besar untuk memiliki komplikasi penyakit lainnya, misalnya retinopati diabetik, pengurangan kemampuan penglihatan, atau diabetes yang berat. Perspektif terkini Penelitian dari The Heart Outcomes Prevention Evaluatin (HOPE) menyatakan bahwa agen antihipertensi memang terbukti dapat mencegah pula penyakit kardiovaskular lainya. Sementara penelitian dari The Irbesartan Diabetic Nephropathy Trial (IDNT) menyatakan bahwa agen antihipertensi, khususnya Angiotensin II Antagonist Losartan (RENAAL) dapat menurunkan endpoint pasien dengan Non Insulin-dependent Diabetes Mellitus. ARB ini dinyatakan renoprotektif, lebih baik daripada ACEinhibitor. Penelitian tentang agen antihipertensi dengan mekanisme RAAS ini (ARB) monoterapi memang banyak dilakukan dan terbukti bersifat renokardioprotektif dengan mekanisme perbaikan fungsi endotel, dibanding ACE-inhibitor dan Calcium channel blocker. Seperti guidelines antihipertensi (lihat tabel) yang tercantum berikut, penatalaksanaan hipertensi terutama ditujukan pada pasien lanjut usia dengan target tekanan darah kurang dari 140/90 mmHg. Guidelines yang banyak dipakai untuk tata laksana hipertensi pada lansia diambil dari JNC 7 dan ESH/ESC 2003. Pedoman ini mengadopsi pendekatan tepat sasaran untuk lansia guna menurunkan risiko penyakit jantung koroner seiring dengan bertambahnya usia. Tujuan utama penatalaksanaan hipertensi pada lansia, kelompok usia yang rentan penyakit jantung koroner, sebenarnya juga tidak hanya menurunkan tekanan darah semata. ARB dan ACE-inhibitor digunakan secara bersama-sama, keduanya bekerja dalam sistem renin angiotensin aldosteron. ARB memblok konjugasi, sedangkan ACE-inhibitor bekerja menghambat kerja enzim, sehingga gabungan keduanya ialah penurunan tekanan darah dengan efek yang juga renokardioprotektif. Selain itu, efek proteksi vaskular dari ARB juga berlaku untuk mengurangi kemungkinan terjadiya stroke. Terdapat konsensus bahwa tekanan darah pada lansia harus di bawah angka 140/90 mmHg untuk kategori usia 60-79 tahun. Tercapainya tujuan ini akan tergantung tidak hanya berdasarkan efikasi obat antihipertensi, tapi dari segi tolerabilitasnya juga, sehingga mempengaruhi keberhasilan dari seluruh tata

laksana. Terapi seperti ini tergolong aman dan efektif, namun tetap saja terapi yang terbaik kemungkinan ialah mencegah hipertensi sebelum usia senja guna mengurangi risiko penyakit jantung koroner sejak dini. Pendekatan untuk lansia Para dokter harus benar-benar yakin bahwa data pengukuran yang didapat ialah valid, mengingat batas-batas penentuan kriteria seputar hipertensi sangat berhubungan dengan angka. Tekanan darah di bawah 140 mmHg sistolik (jika memang benar sebesar ini) akan jauh mengurangi risiko stroke, gagal jantung, dan kejadian kardiovaskular lain pada lansia, terutama yang berusia di atas 80 tahun. Meskipun tidak ada makna penting lainnya, namun angka di bawah 140 ini akan sangat mempengaruhi jenis pengobatan dan edukasi ke pasien. Selain itu, dalam rangka menurunkan tekanan darah, sebisa mungkin perlu diperhitungkan berbagai efek samping yang kemungkinan akan sangat mengganggu pasien, terutama diuretik. Pemberian diuretik harus dimulai dari level rendah, misalnya Hydrochlorotiazide (HCT) 12.5 mg atau yang setara dengannya. Jika angka ini dinilai kurang efektif, tidak langsung menambah dosisnya, tapi dikombinasikan dengan pemberian dosis rendah CCB, beta blocker, ACE-inhibitor, atau ARB. Pada beberapa keadaan penggunaan obat selain diuretik sebagai terapi inisial sah-sah saja dilakukan, asalkan sesuai indikasi. Kemungkinan hanya sekitar 40% pasien pada kelompok lansia yang akan mengalami penurunan tekanan darah sampai di bawah 140 mmHg setelah penggunaan antihipertensi ARB, sisanya, sebagian besar akan gagal. Karenanya, diperlukan manajemen titrasi dosis naik perlahan-lahan ditambah kombinasi obat lainnya. Selain itu penggunaan diuretik boros kalium juga akan menyebabkan hipokalemia jika tidak diberikan secara hati-hati. Kontrol kadar kalium hingga tidak boleh di bawah 3.5 mg/dl harus dilakukan, termasuk saat kontrol rawat jalan. Jika ternyata dalam terapi, gejala-gejala hipertensi tetap muncul, atau bahkan terjadi penyakit-penyakit kardiovaskular lainnya, penggunaan obat harus tetap dilanjutkan tanpa mengurangi dosis yang sedang diberikan. Kemungkinan gejala ini akan mereda setelah beberapa minggu atau lebih. Bisa saja terapi terus digiatkan, dosisnya ditambah, namun metode agresif seperti ini juga akan menambah efek samping, sehingga beberapa ahli tidak terlalu suka melakukannya. (farid) Seperti tercetak di Majalah Farmacia Edisi Juni 2007 , Halaman: 14 (12362 hits) Kirimkan Komentar Anda Nama Email : :

Komentar Anda :

Ubah image

Tulis karakter tertulis diatas

http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=491

Anda mungkin juga menyukai