Anda di halaman 1dari 25

Laporan Kegiatan Pelayanan Kesehatan Masyarakat Primer

(PKMP) Usaha Kesehatan Masyarakat (UKM)

F6 : UPAYA PENGOBATAN DASAR


“Gastroenteritsi Akut”
Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Dalam Menempuh
Program Dokter Internsip Indonesia

Oleh :
dr. Hewin irawan
Pendamping :
dr. H. Ramli
Yunus Wahana :
Puskesmas Lampa

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


KABUPATEN PINRANG
PROVINSI SULAWESI SELATAN
2016
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : dr. Herwin Irawan


Judul Laporan : Laporan Kasus Gastro enteritis akut (GEA) di Puskesmas
Lampa
Laporan Kasus Gastro enteritis akut (GEA) di Puskesmas Lampa telah disetujui
guna melengkapi tugas Dokter Internsip dalam Pelayanan Kesehatan Masyarakat Primer
(PKMP) dan Usaha Kesehatan Masyarakat (UKM) di bidang Upaya Pengobatan Dasar.

Pinrang, Oktober 2016

Mengetahui,

Pendamping Dokter Internsip

dr. H. Ramli Yunus

2
I. Latar belakang
Gastroenteritis atau penyakit diare adalah penyakit yang terjadi akibat
adanya peradangan pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh infeksi
(Cakrawardi et. al,2009). Penyakit ini ditandai dengan gejalanya terutama diare,
muntah atau keduanya dan dapat juga disertai dengan demam, nyeri abdomen dan
anoreksia (Elliott J. E., 2007). Secara global, setiap tahun diperkirakan dua juta
kasus gastroenteritis yang terjadi di kalangan anak berumur kurang dari lima
tahun. Walaupun penyakit ini seharusnya dapat diturunkan dengan pencegahan,
namun penyakit ini tetap menyerang anak terutamanya yang berumur kurang dari
dua tahun. Selain menyebabkan jumlah kematian yang tinggi di kalangan anak,
penyakit gastroenteritis juga menimbulkan beban kepada ibu bapa dari segi biaya
pengobatan dan waktu. Penyakit ini terutama disebabkan oleh makanan dan
minuman yang terkontaminasi akibat akses kebersihan yang buruk (Howidi et. al,
2012).
Gastroenteritis atau penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat di negara berkembang seperti di Indonesia, karena morbiditas dan
mortalitasnya yang masih tinggi. Survei morbiditas yang dilakukan oleh Subdit
Diare, Departemen Kesehatan (Depkes) dari tahun 2000 sehingga tahun 2010
terlihat kecenderungan insidens naik. Pada tahun 2000 incidence rate penyakit
diare 301/1000 penduduk, tahun 2003 naik menjadi 374/1000 penduduk, tahun
2006 naik menjadi 423/1000 penduduk dan tahun 2010 menjadi 411/1000
penduduk. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), studi
mortalitas dan Riset Kesehatan Dasar dari tahun ke tahun diketahui bahawa diare
masih menjadi penyebab utama kematian balita di Indonesia. Penyebab utama
kematian karena diare perlu tatalaksana yang cepat dan tepat (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia,2011).
Biasanya gastroenteritis dapat pulih sendiri tanpa terapi. Penatalaksanaan
kasus gastroenteritis mempunyai tujuan mengembalikan cairan yang hilang akibat
diare. Kegagalan dalam pengobatan gastroenteritis dapat menyebabkan infeksi
erulang atau gejala berulang dan bahkan timbulnya resistensi. Untuk

3
menanggulangi masalah resistensi tersebut, WHO telah merekomendasikan
pengobatan gastroenteritis berdasarkan penyebabnya. Terapi antibiotik
diindikasikan untuk gastroenteritis yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Hal ini
karena antibiotik merupakan obat andalan untuk terapi infeksi bakteri. Namun,
ketepatan dosis dan lama pemberian antibiotik adalah sangat penting agar tidak
terjadi resistensi bakteri dan infeksi berulang (Cakrawardi et. al, 2009). Resistensi
antibiotik di kalangan bakteri enterik dapat menimbulkan implikasi buruk karena
dapat mengancam nyawa dan menyebabkan penyakit yang lebih serius (A
Elmanama et al., 2013).
Sebuah studi di Makassar pada tahun 2009 pernah meneliti tentang pola
penggunaan antibiotik pada pasien anak dengan gastroenteritis, namun belum ada
lagi penelitian yang meneliti tentang hubungan antara ketepatan dosis dan lama
pemberian antibiotik dengan lama perawatan pada pasien anak dengan
gastroenteritis. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti
hubungan ketepatan dosis dan lama pemberian antibiotik dengan lama perawatan
pada pasien anak dengan gastroenteritis di RSUP Haji Adam Malik.

II. Permasalahan
Masih tingginya angka kejadian penyakit ISPA di Indonesia, hal tersebut
erat kaitannya dengan kebersihan masyarakat yang membuat penulis merasa
penting untuk membahas mengenai penyakit ISPA.

III. Laporan kasus


I. Identitas Pasien
Nama : Tn. H
Umur : 65 Tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Status : Menikah
Tanggal masuk : 08 Agustus
2016 Perawatan : VIP Kamar 1

4
II. Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada tanggal 08/08/2016 di UGD PKM Lampa
secara autoanamnesis dan alloanamnesis.
A. Keluhan utama : Berak cair
B. Riwayat Penyakit Sekarang
± 1 hari Sebelum masuk, pasien mengeluh berak cair berwarna
kekuningan, berlendir, tidak berdarah, tidak berbau busuk dan tidak
berampas. Berak terus-menerus sebanyak lebih dari 5 kali. Pasien juga
mengeluh muntah sebanyak kurang lebih 3 kali, muntahan berupa apa
yang dimakan. Nyeri perut dirasakan pasien selama 1 hari terus menerus,
nyeri perut seperti ditusuk-tusuk. Pasien juga mengeluh demam, demam
dirasakan terus menerus.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat sakit serupa : disangkal
Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
Riwayat kencing manis : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi obat : disangkal
Riwayat alergi makanan : disangkal
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluhan serupa : disangkal
Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
Riwayat kencing manis : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi obat : disangkal
Riwayat alergi makanan : disangkal
E. Riwayat Pribadi
Kebiasaan merokok : disangkal
Kebiasaan konsumsi alkohol : disangkal
Kebiasaan konsumsi obat-obatan : disangkal

5
F. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien berobat ditanggung oleh BPJS
G. Anamnesis Sistem
Sistem respirasi : sesak napas (-), batuk (-), mengi (-), tidur
mendengkur (-)
Sistem kardiovaskuler : sesak napas saat beraktifitas (-), nyeri dada (-),
berdebar-debar (-), keringat dingin (-), sesak
napas sewaktu berbaring (-)
Sistem gastrointestinal : mual (+), muntah (+), nyeri perut (+),
konstipasi (-), nyeri ulu hati (+), nafsu makan
menurun (-), diare (+)
Sistem musculoskeletal : nyeri otot (-), nyeri sendi (-), kaku otot (-)
Sistem genitourinaria : sering kencing (-), nyeri saat kencing (-),
keluar darah (-), berpasir (-), kencing nanah
(-), sulit memulai kencing (-), warna kencing
kuning jernih, anyang-anyangan (-), BAK
berwarna seperti teh (-)

Ekstremitas
Atas : Luka (-), kesemutan (-), bengkak (-), sakit
sendi (-), panas (-), berkeringat (-), palmar
eritema (-), gemetar (-).
Bawah : Luka (-), gemetar (-), ujung jari dingin (-),
kesemutan di kaki (-), sakit sendi (-), bengkak
kedua kaki (-)
Sistem neuropsikiatri : Kejang (-), gelisah (-), kesemutan (-),
mengigau (-), emosi tidak stabil (-)

6
Sistem Integumentum : Kulit kuning (-), pucat (-), gatal (-), bercak
merah kehitaman di bagian dada, punggung,
tangan dan kaki (-).

III. Pemeriksaan Fisik


A. Keadaan Umum : Sakit sedang/gizi baik/composmentis
B. Tanda vital
- TD : 120/80 mmHg
- Nadi : 87 x/menit (regular, isi dan tegangan cukup)
- RR : 24 x/menit
- Suhu : 38,5 0C (per axilla)
C. Status Internus
1. Kepala : mesocephal
2. Mata : cekung (+), konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik
(-/-), reflek pupil direct (+/+), reflek pupil indirect (+/
+), edem palpebral (-/-), pupil isokor (2,5 mm/ 2,5 mm)
3. Telinga : serumen (-), nyeri tekan mastoid (-/-), nyeri tekan tragus
(-/-)
4. Hidung : nafas cuping hidung (-), deformitas (-), secret (-)
5. Mulut : kering (+), sianosis (-), lidah kotor (-), uvula simetris
6. Leher : pembesaran limfonodi (-), nyeri tekan tragus (-), otot
bantu pernapasan (-), pembesaran tiroid (-)
7. Thoraks :
a. Pulmo
Inspeksi : Normothoraks
Palpasi : NT (-)
Perkusi : Sonor
Auskultasi : BP: Vesikuler, Rh-/-, Wh-/-
b. Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat

7
Perkusi : konfigurasi jantung dalam batas normal
- Batas atas jatung : ICS II linea parasternal sinistra
- Pinggang jantung : ICS III linea parasternal sinistra
- Batas kiri bawah jantung : ICS V linea mid clavicula sinistra
- Batas kanan bawah jantung : ICS V linea sternalis dextra
Auskultasi : suara jantung I dan II murni, bising jantung (-),
gallop (-)
8. Abdomen
Inspeksi : permukaan datar, warna sama seperti kulit sekitar
Auskultasi : bising usus (+) meningkat
Perkusi : timpani seluruh lapangan abdomen, pekak sisi (+)
normal, pekak alih (-), nyeri ketok CVA (-)
Palpasi : nyeri tekan epigastrium (+), hepar tidak teraba, lien
tidak teraba, ginjal tidak teraba
9. Ektremitas
Superior Inferior
Akral dingin -/- -/-
Oedem -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Gerak Dalam batas normal Dalam batas normal
Capillary Refill <2 detik / <2 detik <2 detik / <2 detik

IV. DIAGNOSIS
- Gastroenteritis Akut

V. DIAGNOSIS BANDING
- Demam Thypoid

VI. PENATALAKSANAAN
- IVFD RL 20 tetes/menit
- Cotrimoxazole 480 mg 2dd2
- Metronidazole 500 mg 3dd1
- Newdiatabs 2dd2

8
- Paracetamol 3dd1
VII. Follow up
Tanggal Follow Up
09/08/15 S Mual (+), muntah (+)
BAB 3 kali, nyeri perut (+), Demam (+)
O KU : lemah
TD : 64/40 mmHg
HR : 84 x/menit
RR : 24 x/menit
T : 37,0oC
Kepala : mecochepal
Mata : cekung (-), anemi (-), Ikterus (-)
Telinga : dbn
Hidung : dbn
Mulut : kering (+)
Leher : dbn
Thorax : BJ I-II regular
SD Vesikuler (+/+)
Suara tambahan (-/-)
Abdomen : Peristaltik (+) meningkat
Nyeri tekan seluruh lapangan abdomen (+)
Ektremitas : akral dingin (-/-)
A Gastroenteritis
P Terapi lanjut
10/08/16 S Mual (-), muntah (-), nyeri perut (+) berkurang,
BAB tidak ada keluhan, Demam (-)
O KU : lemah
TD : 112/62
mmHg HR : 70
x/menit RR : 23
x/menit
T : 36,6 oC
Mata : cekung (-), anemi (-), Ikterus (-)

9
Telinga : dbn

10
Hidung : dbn
Mulut : kering (+)
Leher : dbn
Thorax : BJ I-II regular
SD Vesikuler (+/+)
Suara tambahan (-/-)
Abdomen : Peristaltik (+) kesan normal
Nyeri tekan abdomen (-)
Ektremitas : akral dingin (-/-)
A Gastroenteritis
P Aff Infus
Boleh Pulang
A Gastroenteritis
P Terapi lanjut

11
PEMBAHASAN

1.
PENGERTIAN
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau
setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya
lebih dari 200 g atau 200 ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi,
yaitu buang air besar encer lebih dari 3 kali per hari. Buang air besar encer
tersebut dapat/tanpa disertai lendir dan darah. 1,2
Gastroenteritis akut (GEA) adalah diare yang onset gejalanya tiba-tiba dan
berlangsung kurang dari 14 hari, sedang diare kronik yaitu diare yang berlangsung
lebih dari 14 hari. Diare dapat disebabkan infeksi maupun non infeksi. Dari
penyebab diare yang terbanyak adalah diare infeksi. Diare infeksi dapat
disebabkan Virus, Bakteri, dan Parasit.3
Diare akut sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan, tidak saja
di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Penyakit diare masih sering
menimbulkan KLB (Kejadian Luar Biasa) dengan penderita yang banyak dalam
waktu yang singkat.4,5
Di Indonesia dari 2.812 pasien diare yang disebabkan bakteri yang datang
kerumah sakit dari beberapa provinsi seperti Jakarta, Padang, Medan, Denpasar,
Pontianak, Makasar dan Batam yang dianalisa dari 1995 s/d 2001 penyebab
terbanyak adalah Vibrio cholerae 01, diikuti dengan Shigella spp, Salmonella spp,
V. Parahaemoliticus, Salmonella typhi, Campylobacter Jejuni, V. Cholera non-01,
dan Salmonella paratyphi A.7

2.
EPIDEMIOLOGI
Diare akut merupakan masalah umum ditemukan diseluruh dunia. Di
Amerika Serikat keluhan diare menempati peringkat ketiga dari daftar keluhan
pasien pada ruang praktek dokter, sementara di beberapa rumah sakit di Indonesia
data menunjukkan diare akut karena infeksi terdapat peringkat pertama s/d ke
empat pasien dewasa yang datang berobat ke rumah sakit.dikutip dari 8

12
Di negara maju diperkirakan insiden sekitar 0,5-2 episode/orang/tahun
sedangkan di negara berkembang lebih dari itu. Di USA dengan penduduk sekitar
200 juta diperkirakan 99 juta episode diare akut pada dewasa terjadi setiap
tahunnya.5 WHO memperkirakan ada sekitar 4 miliar kasus diare akut setiap tahun
dengan mortalitas 3-4 juta pertahun.9
Bila angka itu diterapkan di Indonesia, setiap tahun sekitar 100 juta
episode diare pada orang dewasa per tahun.10 Dari laporan surveilan terpadu tahun
1989 jumlah kasus diare didapatkan 13,3 % di Puskesmas, di rumah sakit didapat
0,45% pada penderita rawat inap dan 0,05 % pasien rawat jalan. Penyebab utama
disentri di Indonesia adalah Shigella, Salmonela, Campylobacter jejuni,
Escherichia coli, dan Entamoeba histolytica. Disentri berat umumnya disebabkan
oleh Shigella dysentery, kadang-kadang dapat juga disebabkan oleh Shigella
flexneri, Salmonella dan Enteroinvasive E.coli ( EIEC).11
Beberapa faktor epidemiologis penting dipandang untuk mendekati pasien
diare akut yang disebabkan oleh infeksi. Makanan atau minuman terkontaminasi,
berpergian, penggunaan antibiotik, HIV positif atau AIDS, merupakan petunjuk
penting dalam mengidentifikasi pasien beresiko tinggi untuk diare infeksi.1,3,12

3.
PATOFISIOLOGI1,3,9,10
Diare akut infeksi diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis menjadi
diare non inflamasi dan Diare inflamasi. Diare Inflamasi disebabkan invasi bakteri
dan sitotoksin di kolon dengan manifestasi sindroma disentri dengan diare yang
disertai lendir dan darah. Gejala klinis yang menyertai keluhan abdomen seperti
mulas sampai nyeri seperti kolik, mual, muntah, demam, tenesmus, serta gejala
dan tanda dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja rutin secara makroskopis ditemukan
lendir dan/atau darah, serta mikroskopis didapati sel leukosit polimorfonuklear.
Pada diare non inflamasi, diare disebabkan oleh enterotoksin yang
mengakibatkan diare cair dengan volume yang besar tanpa lendir dan darah.
Keluhan abdomen biasanya minimal atau tidak ada sama sekali, namun gejala dan
tanda dehidrasi cepat timbul, terutama pada kasus yang tidak mendapat cairan
pengganti. Pada pemeriksaan tinja secara rutin tidak ditemukan leukosit.

13
Mekanisme terjadinya diare yang akut maupun yang kronik dapat dibagi
menjadi kelompok osmotik, sekretorik, eksudatif dan gangguan motilitas. Diare
osmotik terjadi bila ada bahan yang tidak dapat diserap meningkatkan osmolaritas
dalam lumen yang menarik air dari plasma sehingga terjadi diare. Contohnya
adalah malabsorbsi karbohidrat akibat defisiensi laktase atau akibat garam
magnesium.
Diare sekretorik bila terjadi gangguan transport elektrolit baik absorbsi
yang berkurang ataupun sekresi yang meningkat. Hal ini dapat terjadi akibat
toksin yang dikeluarkan bakteri misalnya toksin kolera atau pengaruh garam
empedu, asam lemak rantai pendek, atau laksantif non osmotik. Beberapa hormon
intestinal seperti gastrin vasoactive intestinal polypeptide (VIP) juga dapat
menyebabkan diare sekretorik.
Diare eksudatif, inflamasi akan mengakibatkan kerusakan mukosa baik
usus halus maupun usus besar. Inflamasi dan eksudasi dapat terjadi akibat infeksi
bakteri atau bersifat non infeksi seperti gluten sensitive enteropathy, inflamatory
bowel disease (IBD) atau akibat radiasi.
Kelompok lain adalah akibat gangguan motilitas yang mengakibatkan
waktu tansit usus menjadi lebih cepat. Hal ini terjadi pada keadaan tirotoksikosis,
sindroma usus iritabel atau diabetes melitus.
Diare dapat terjadi akibat lebih dari satu mekanisme. Pada infeksi bakteri
paling tidak ada dua mekanisme yang bekerja peningkatan sekresi usus dan
penurunan absorbsi di usus. Infeksi bakteri menyebabkan inflamasi dan
mengeluarkan toksin yang menyebabkan terjadinya diare. Infeksi bakteri yang
invasif mengakibatkan perdarahan atau adanya leukosit dalam feses.
Pada dasarnya mekanisme terjadinya diare akibat kuman enteropatogen
meliputi penempelan bakteri pada sel epitel dengan atau tanpa kerusakan mukosa,
invasi mukosa, dan produksi enterotoksin atau sitotoksin. Satu bakteri dapat
menggunakan satu atau lebih mekanisme tersebut untuk dapat mengatasi
pertahanan mukosa usus.
4.
DIAGNOSIS
Pendekatan Umum Diare Akut Infeksi Bakteri

14
Untuk mendiagnosis pasien diare akut infeksi bakteri diperlukan
pemeriksaan yang sistematik dan cermat. Kepada pasien perlu ditanyakan riwayat
penyakit, latar belakang dan lingkungan pasien, riwayat pemakaian obat terutama
antibiotik, riwayat perjalanan, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. 1,3,13
Pendekatan umum Diare akut infeksi bakteri baik diagnosis dan terapeutik terlihat
pada gambar 1.

5.
MANIFESTASI KLINIS8,14,15

15
Diare akut karena infeksi dapat disertai keadaan muntah-muntah dan/atau
demam, tenesmus, hematochezia, nyeri perut atau kejang perut. Diare yang
berlangsung beberapa waktu tanpa penanggulangan medis yang adekuat dapat
menyebabkan kematian karena kekurangan cairan di badan yang mengakibatkan
renjatan hipovolemik atau karena gangguan biokimiawi berupa asidosis metabolik
yang lanjut. Karena kehilangan cairan seseorang merasa haus, berat badan
berkurang, mata menjadi cekung, lidah kering, tulang pipi menonjol, turgor kulit
menurun serta suara menjadi serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan deplesi air
yang isotonik.
Karena kehilangan bikarbonas, perbandingan bikarbonas berkurang, yang
mengakibatkan penurunan pH darah. Penurunan ini akan merangsang pusat
pernapasan sehingga frekwensi nafas lebih cepat dan lebih dalam (kussmaul).
Reaksi ini adalah usaha tubuh untuk mengeluarkan asam karbonas agar pH dapat
naik kembali normal. Pada keadaan asidosis metabolik yang tidak dikompensasi,
bikarbonat standard juga rendah, pCO2 normal dan base excess sangat negatif.
Gangguan kardiovaskular pada hipovolemik yang berat dapat berupa
renjatan dengan tanda-tanda denyut nadi yang cepat, tekanan darah menurun
sampai tidak terukur. Pasien mulai gelisah, muka pucat, ujung-ujung ekstremitas
dingin dan kadang sianosis. Karena kehilangan kalium pada diare akut juga dapat
timbul aritmia jantung.
Penurunan tekanan darah akan menyebabkan perfusi ginjal menurun dan
akan timbul anuria. Bila keadaan ini tidak segera diatasi akan timbul penyulit
berupa nekrosis tubulus ginjal akut, yang berarti pada saat tersebut kita
menghadapi gagal ginjal akut. Bila keadaan asidosis metabolik menjadi lebih
berat, akan terjadi kepincangan pembagian darah dengan pemusatan yang lebih
banyak dalam sirkulasi paru-paru. Observasi ini penting karena dapat
menyebabkan edema paru pada pasien yang menerima rehidrasi cairan intravena
tanpa alkali.

6.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM

16
Evaluasi laboratorium pasien tersangka diare infeksi dimulai dari
pemeriksaan feses adanya leukosit. Kotoran biasanya tidak mengandung leukosit,
jika ada itu dianggap sebagai penanda inflamasi kolon baik infeksi maupun non
infeksi. Karena netrofil akan berubah, sampel harus diperiksa sesegera mungkin.
Sensitifitas lekosit feses terhadap inflamasi patogen (Salmonella, Shigella dan
Campylobacter) yang dideteksi dengan kultur feses bervariasi dari 45% - 95%
tergantung dari jenis patogennya.3
Penanda yang lebih stabil untuk inflamasi intestinal adalah laktoferin.
Laktoferin adalah glikoprotein bersalut besi yang dilepaskan netrofil,
keberadaannya dalam feses menunjukkan inflamasi kolon. Positip palsu dapat
terjadi pada bayi yang minum ASI. Pada suatu studi, laktoferin feses, dideteksi
dengan menggunakan uji agglutinasi lateks yang tersedia secara komersial,
sensitifitas 83 – 93 % dan spesifisitas 61 – 100 % terhadap pasien dengan
Salmonella,Campilobakter, atau Shigella spp, yang dideteksi dengan biakan
kotoran.

7.
PENATALAKSANAAN
A. Penggantian Cairan dan elektrolit
Aspek paling penting dari terapi diare adalah untuk menjaga hidrasi yang
adekuat dan keseimbangan elektrolit selama episode akut. Ini dilakukan dengan
rehidrasi oral, dimana harus dilakukan pada semua pasien kecuali yang tidak
dapat minum atau yang terkena diare hebat yang memerlukan hidrasi intavena
yang membahayakan jiwa.17 Idealnya, cairan rehidrasi oral harus terdiri dari 3,5 g
Natrium klorida, dan 2,5 g Natrium bikarbonat, 1,5 g kalium klorida, dan 20 g
glukosa per liter air.2,4 Cairan seperti itu tersedia secara komersial dalam paket-
paket yang mudah disiapkan dengan mencampurkan dengan air. Jika sediaan
secara komersial tidak ada, cairan rehidrasi oral pengganti dapat dibuat dengan
menambahkan ½ sendok teh garam, ½ sendok teh baking soda, dan 2 – 4 sendok
makan gula per liter air. Dua pisang atau 1 cangkir jus jeruk diberikan untuk
mengganti kalium.. Pasien harus minum cairan tersebut sebanyak mungkin sejak
mereka merasa haus pertama kalinya.3 Jika terapi intra vena diperlukan, cairan

17
normotonik seperti cairan saline normal atau laktat Ringer harus diberikan dengan
suplementasi kalium sebagaimana panduan kimia darah. Status hidrasi harus
dimonitor dengan baik dengan memperhatikan tanda-tanda vital, pernapasan, dan
urin, dan penyesuaian infus jika diperlukan. Pemberian harus diubah ke cairan
rehidrasi oral sesegera mungkin.
Jumlah cairan yang hendak diberikan sesuai dengan jumlah cairan yang
keluar dari badan. Kehilangan cairan dari badan dapat dihitung dengan memakai

dikutip dari 8
cara :

BD plasma, dengan memakai rumus :

Kebutuhan cairan = x Berat badan (Kg) x 4 ml

Metode Pierce berdasarkan keadaan klinis :


- Dehidrasi ringan, kebutuhan cairan 5% x KgBB
- Dehidrasi sedang, kebutuhan cairan 8% x KgBB
- Dehidrasi berat, kebutuhan cairan 10% x KgBB

B. Anti biotik
Pemberian antibotik secara empiris jarang diindikasikan pada diare akut
infeksi, karena 40% kasus diare infeksi sembuh kurang dari 3 hari tanpa
pemberian anti biotik.
Pemberian antibiotik di indikasikan pada : Pasien dengan gejala dan tanda
diare infeksi seperti demam, feses berdarah,, leukosit pada feses, mengurangi
ekskresi dan kontaminasi lingkungan, persisten atau penyel amatan jiwa pada
diare infeksi, diare pada pelancong, dan pasien immunocompromised. Pemberian
antibiotik secara empiris dapat dilakukan (tabel 2), tetapi terapi antibiotik spesifik
diberikan berdasarkan kultur dan resistensi kuman.1,5,9,16

18
C. Obat anti diare
Kelompok antisekresi selektif
Terobosan terbaru dalam milenium ini adalah mulai tersedianya secara
luas racecadotril yang bermanfaat sekali sebagai penghambat enzim
enkephalinase sehingga enkephalin dapat bekerja kembali secara normal.
Perbaikan fungsi akan menormalkan sekresi dari elektrolit sehingga
keseimbangan cairan dapat dikembalikan secara normal. Di Indonesia saat ini
tersedia di bawah nama hidrasec sebagai generasi pertama jenis obat baru anti
diare yang dapat pula digunakan lebih aman pada anak.14

Kelompok opiat
Dalam kelompok ini tergolong kodein fosfat, loperamid HCl serta
kombinasi difenoksilat dan atropin sulfat (lomotil). Penggunaan kodein adalah 15-
60mg 3x sehari, loperamid 2 – 4 mg/ 3 – 4x sehari dan lomotil 5mg 3 – 4 x sehari.
Efek kelompok obat tersebut meliputi penghambatan propulsi, peningkatan
absorbsi cairan sehingga dapat memperbaiki konsistensi feses dan mengurangi
frekwensi diare.Bila diberikan dengan cara yang benar obat ini cukup aman dan
dapat mengurangi frekwensi defekasi sampai 80%. Bila diare akut dengan gejala
demam dan sindrom disentri obat ini tidak dianjurkan.10

Kelompok absorbent

19
Arang aktif, attapulgit aktif, bismut subsalisilat, pektin, kaolin, atau
smektit diberikan atas dasar argumentasi bahwa zat ini dapat menyeap bahan
infeksius atau toksin-toksin. Melalui efek tersebut maka sel mukosa usus terhindar
kontak langsung dengan zat-zat yang dapat merangsang sekresi elektrolit.
Zat Hidrofilik
Ekstrak tumbuh-tumbuhan yang berasal dari Plantago oveta, Psyllium,
Karaya (Strerculia), Ispraghulla, Coptidis dan Catechu dapat membentuk kolloid
dengan cairan dalam lumen usus dan akan mengurangi frekwensi dan konsistensi
feses tetapi tidak dapat mengurangi kehilangan cairan dan elektrolit.
Pemakaiannya adalah 5-10 cc/ 2x sehari dilarutkan dalam air atau diberikan dalam
bentuk kapsul atau tablet.9
Probiotik
Kelompok probiotik yang terdiri dari Lactobacillus dan Bifidobacteria
atau Saccharomyces boulardii, bila mengalami peningkatan jumlahnya di saluran
cerna akan memiliki efek yang positif karena berkompetisi untuk nutrisi dan
reseptor saluran cerna. Syarat penggunaan dan keberhasilan
mengurangi/menghilangkan diare harus diberikan dalam jumlah yang adekuat.3,7,19

8.
KOMPLIKASI
Kehilangan cairan dan kelainan elektrolit merupakan komplikasi utama,
terutama pada usia lanjut dan anak-anak. Pada diare akut karena kolera kehilangan
cairan secara mendadak sehingga terjadi shock hipovolemik yang cepat.
Kehilangan elektrolit melalui feses potensial mengarah ke hipokalemia dan
asidosis metabolik.1,8
Pada kasus-kasus yang terlambat meminta pertolongan medis, sehingga
syok hipovolemik yang terjadi sudah tidak dapat diatasi lagi maka dapat timbul
Tubular Nekrosis Akut pada ginjal yang selanjutnya terjadi gagal multi organ.
Komplikasi ini dapat juga terjadi bila penanganan pemberian cairan tidak adekuat
sehingga tidak tecapai rehidrasi yang optimal.9,12,14
Haemolityc uremic Syndrome (HUS) adalah komplikasi yang disebabkan
terbanyak oleh EHEC. Pasien dengan HUS menderita gagal ginjal, anemia

20
hemolisis, dan trombositopeni 12-14 hari setelah diare. Risiko HUS akan
meningkat setelah infeksi EHEC dengan penggunaan obat anti diare, tetapi
penggunaan antibiotik untuk terjadinya HUS masih kontroversi.
Sindrom Guillain – Barre, suatu demielinasi polineuropati akut, adalah
merupakan komplikasi potensial lainnya dari infeksi enterik, khususnya setelah
infeksi C. jejuni. Dari pasien dengan Guillain – Barre, 20 – 40 % nya menderita
infeksi C. jejuni beberapa minggu sebelumnya. Biasanya pasien menderita
kelemahan motorik dan memerlukan ventilasi mekanis untuk mengaktifkan otot
pernafasan. Mekanisme dimana infeksi menyebabkan Sindrom Guillain – Barre
tetap belum diketahui.
Artritis pasca infeksi dapat terjadi beberapa minggu setelah penyakit diare
karena Campylobakter, Shigella, Salmonella, atau Yersinia spp.1

9.
PROGNOSIS
Dengan penggantian Cairan yang adekuat, perawatan yang mendukung,
dan terapi antimikrobial jika diindikasikan, prognosis diare infeksius hasilnya
sangat baik dengan morbiditas dan mortalitas yang minimal. Seperti kebanyakan
penyakit, morbiditas dan mortalitas ditujukan pada anak-anak dan pada lanjut
usia. Di Amerika Serikat, mortalits berhubungan dengan diare infeksius < 1,0 %.
Pengecualiannya pada infeksi EHEC dengan mortalitas 1,2 % yang berhubungan
dengan sindrom uremik hemolitik.1

10.
PENCEGAHAN1,3,13,16
Karena penularan diare menyebar melalui jalur fekal-oral, penularannya
dapat dicegah dengan menjaga higiene pribadi yang baik. Ini termasuk sering
mencuci tangan setelah keluar dari toilet dan khususnya selama mengolah
makanan. Kotoran manusia harus diasingkan dari daerah pemukiman, dan hewan
ternak harus terjaga dari kotoran manusia.
Karena makanan dan air merupakan penularan yang utama, ini harus
diberikan perhatian khusus. Minum air, air yang digunakan untuk membersihkan
makanan, atau air yang digunakan untuk memasak harus disaring dan diklorinasi.

21
Jika ada kecurigaan tentang keamanan air atau air yang tidak dimurnikan yang
diambil dari danau atau air, harus direbus dahulu beberapa menit sebelum
dikonsumsi. Ketika berenang di danau atau sungai, harus diperingatkan untuk
tidak menelan air.
Semua buah dan sayuran harus dibersihkan menyeluruh dengan air yang
bersih (air rebusan, saringan, atau olahan) sebelum dikonsumsi. Limbah manusia
atau hewan yang tidak diolah tidak dapat digunakan sebagai pupuk pada buah-
buahan dan sayuran. Semua daging dan makanan laut harus dimasak. Hanya
produk susu yang dipasteurisasi dan jus yang boleh dikonsumsi. Wabah EHEC
terakhir berhubungan dengan meminum jus apel yang tidak dipasteurisasi yang
dibuat dari apel terkontaminasi, setelah jatuh dan terkena kotoran ternak.
Vaksinasi cukup menjanjikan dalam mencegah diare infeksius, tetapi
efektivitas dan ketersediaan vaksin sangat terbatas. Pada saat ini, vaksin yang
tersedia adalah untuk V. colera, dan demam tipoid. Vaksin kolera parenteral kini
tidak begitu efektif dan tidak direkomendasikan untuk digunakan. Vaksin oral
kolera terbaru lebih efektif, dan durasi imunitasnya lebih panjang. Vaksin tipoid
parenteral yang lama hanya 70 % efektif dan sering memberikan efek samping.
Vaksin parenteral terbaru juga melindungi 70 %, tetapi hanya memerlukan 1 dosis
dan memberikan efek samping yang lebih sedikit. Vaksin tipoid oral telah
tersedia, hanya diperlukan 1 kapsul setiap dua hari selama 4 kali dan memberikan
efikasi yang mirip dengan dua vaksin lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ciesla WP, Guerrant RL. Infectious Diarrhea. In: Wilson WR, Drew WL,
Henry NK, et al editors. Current Diagnosis and Treatment in Infectious
Disease. New York: Lange Medical Books, 2003. 225 - 68.

22
2. Guerrant RL, Gilder TV, Steiner TS, et al. Practice Guidelines for the
Management of Infectious Diarrhea. Clinical Infectious Diseases
2001;32:331-51.
3. Lung E, Acute Diarrheal Disease. In: Friedman SL, McQuaid KR, Grendell
JH, editors. Current Diagnosis and Treatment in Gastroenterology. 2nd edition.
New York: Lange Medical Books, 2003. 131 - 50.
4. Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare. Mentri Kesehatan Republik
Indonesia. Available from : http://www.depkes.go.id/downloads/SK1216-
01.pdf
5. Manatsathit S, Dupont HL, Farthing MJG, et al. Guideline for the
Management of acute diarrhea in adults. Journal of Gastroenterology and
Hepatology 2002;17: S54-S71.
6. Jones ACC, Farthing MJG. Management of infectious diarrhoea. Gut 2004;
53:296-305.
7. Tjaniadi P, Lesmana M, Subekti D, et al. Antimicrobial Resistance of Bacterial
Pathogens Associated with Diarrheal Patiens in Indonesia. Am J Trop Med
Hyg 2003; 68(6): 666-10.
8. Hendarwanto. Diare akut Karena Infeksi, Dalam: Waspadji S, Rachman AM,
Lesmana LA, dkk, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi
ketiga. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbit Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FKUI ;
1996. 451-57.
9. Soewondo ES. Penatalaksanaan diare akut akibat infeksi (Infectious
Diarrhoea). Dalam : Suharto, Hadi U, Nasronudin, editor. Seri Penyakit
Tropik Infeksi Perkembangan Terkini Dalam Pengelolaan Beberapa penyakit
Tropik
Infeksi. Surabaya : Airlangga University Press, 2002. 34 – 40.
10. Rani HAA. Masalah Dalam Penatalaksanaan Diare Akut pada Orang Dewasa.
Dalam: Setiati S, Alwi I, Kasjmir YI, dkk, Editor. Current Diagnosis and
Treatment in Internal Medicine 2002. Jakarta: Pusat Informasi Penerbitan
Bagian Penyakit Dalam FK UI, 2002. 49-56.
11. Tatalaksana Penderita Diare. Available from :
http://www.depkes.go.id/downloads/diare.pdf.
12. Thielman NM, Guerrant RL. Acute Infectious Diarrhea. N Engl J Med
2004;350:1: 38-47.
23
13. Kolopaking MS. Penatalaksanaan Muntah dan Diare akut. Dalam: Alwi I,
Bawazier LA, Kolopaking MS, Syam AF, Gustaviani, editor. Prosiding

24
Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Ilmu penyakit Dalam II.
Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UI,
2002. 52-70.
14. Nelwan RHH. Penatalaksanaan Diare Dewasa di Milenium Baru. Dalam:
Setiati S, Alwi I, Kasjmir YI, dkk, Editor. Current Diagnosis and Treatment in
Internal Medicine 2001. Jakarta: Pusat Informasi Penerbitan Bagian Penyakit
Dalam FK UI, 2001. 49-56.
15. Procop GW, Cockerill F. Vibrio & Campylobacter. In: Wilson WR, Drew WL,
Henry NK, et al, Editors. Current Diagnosis and Treatment in Infectious
Disease, New York: Lange Medical Books, 2003. 603 - 13.
16. Procop GW, Cockerill F. Enteritis Caused by Escherichia coli & Shigella &
Salmonella Species. In: Wilson WR, Drew WL, Henry NK,et al, Editors.
Current Diagnosis and Treatment in Infectious Disease, New York: Lange
Medical Books, 2003. 584 - 66.
17. Wells BG, DiPiro JT, Schwinghammer TL, Hamilton CW. Pharmacotherapy
Handbook. 5th ed. New York: McGraw-Hill, 2003. 371-79.
18. Zein,U. Gastroenteritis Akut pada Dewasa. Dalam : Tarigan P, Sihombing M,
Marpaung B, Dairy LB, Siregar GA, Editor. Buku Naskah Lengkap
Gastroenterologi-Hepatologi Update 2003. Medan: Divisi Gastroentero-
hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU, 2003. 67-79.
19. Isaulauri E. Probiotics for Infectious Diarrhoea. Gut 2003; 52: 436-7.
LAMPIRAN

25

Anda mungkin juga menyukai