Anda di halaman 1dari 141

MODEL PERENCANAAN HUTAN BERKELANJUTAN:

STUDI KASUS HUTAN PRODUKSI DI PROVINSI BANTEN

DISERTASI
UNTUK MEMENUHI PERSYARATAN
MEMPEROLEH GELAR DOKTOR

OLEH :

Risman Pasaribu
NIM. 157150100011001

PROGRAM DOKTOR ILMU LINGKUNGAN


PASCASARJANA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
DISERTASI
MODEL PERENCANAAN HUTAN BERKELANJUTAN:
STUDI KASUS HUTAN PRODUKSI di PROVINSI BANTEN

Oleh:
Risman Pasaribu
NIM. 157150100011001

Telah di pertahankan di depan penguji


pada tanggal 14 Maret 2018
Dan di nyatakan memenuhi syarat

Tim Promotor

Prof. Dr. Abdul Hakim, M.Si

Promotor

Dr. Bagyo Yanuwiadi Dr. Ir. Aminudin Afandhi, MS


Ko-Promotor 1 Ko-Promotor 2

PASCASARJANA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
Direktur

Prof.Dr.Abdul Hakim.,M.SI
NIP.19610202 1985 1 006

i
IDENTITAS TIM PENGUJI DISERTASI

Judul Disertasi : Model Perencanaan Hutan Berkelanjutan Studi


Kasus Hutan di Provinsi Banten.

Nama : Risman Pasaribu


NIM : 157150100011001
Program Studi : Program Doktor llmu Lingkungan

Komisi Promotor
Promotor : Prof. Dr. Abdul Hakim, M.Si
Ko-Promotor 1 : Dr. Bagyo Yanuwiadi
Ko-Promotor 2 : Dr. Ir. Aminudin Afandhi, MS

Tim Penguji
Penguji 1 : Prof.Dr.Ir.Zaenal Fanani, MS.
Penguji 2 : Dr.Abdullah Said, M.Si
Penguji 3 : Prof.Dr.Ir.Iwan Nugroho,MS
Penguji Tamu : Dr.Fatchurohman,M.Si

Tanggal Ujian : 14 Maret 2018


SK Penguji : Keputusan Direktur Pascasarjana Universitas
Brawijya Nomor 46 Tahun 2018

ii
PERNYATAAN ORISINALITAS DISERTASI

Saya menyatakan dengan ini sebenar-benarnya bahwa sepanjang


pengetahuan saya, di dalam naska Disertasi ini tidak terdapat karya ilmiah
yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di
suatu Perguruan Tinggi, dan tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis
dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar
pustaka.

Apabila Ternyata di dalam naskah Disertasi ini dapat dibuktikan terdapat


unsur – unsur plagiasi, saya bersedia Disertasi ini digugurkan dan gelar
akademik yang telah saya peroleh (DOKTOR) dibatalkan, serta diproses
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU No. 20
Tahun 2003, Pasal 25 ayat 2 dan pasal 70)

Jakarta, 5 Februari 2018.


Menyatakan

Risman Pasaribu
NIM. 157150100011001

iii
MOTTO

“ Inisiatif, Kreatif, inovatif dan Bertanggung


Jawab”
“ Yakin Usaha Sampai’’

iv
Halaman Persembahan

Untuk Istri dan Anak – anakku Tercinta

Masnur Tanjung
Akmaliansyah
Cynthia
Muhammad Ilfan

v
RIWAYAT HIDUP

DATA DIRI

1 Nama Lengkap : Risman Pasaribu

2 Tempat/ Tanggal Lahir : Tapanuli Tengah, 22/ 05/ 1959

3 Jenis Kelamin : Laki-Laki

4 Agama : Islam

5 Instansi asal : Departemen Dalam Negeri

6 Alamat instansi : Kalibata No. 20

7 No. Telp / Fax instansi : 0821110887541

8 Alamat Rumah : Jalan Madrasah II RT 07 RW 10, Duren


Sawit, Jakarta Timur

9 No. Telp / HP rumah : 082110887541

10 Email : Acylanugerah1@gmail.com

PENDIDIKAN

NO TINGKAT PENDIDIKAN JURUSAN TAHUN TEMPAT

1 SD MUHAMMADIYAH 1972 SORKAM-


TAPTENG

2 SMP MUHAMMADIYAH 1977 SORKAM-


TAPTENG

3 SMA ISLAM IPS 1979 MALANG

4 S-1 UNMER MALANG EKONOMI 1989 MALANG

5 S-2 KRISDIPAYANA MANAJEMEN 2000 JAKARTA

vi
PENGALAMAN PEKERJAAN

NO RINCIAN TAHUN

1. KEPALA SUB DIREKTORAT KEPEMUDAAN 2016

2. KEPALA SUB DIREKTORAT PARIWISATA 2015

3. KEPALA BAGIAN PERUNDANG- UNDANGAN 2014

PENGALAMAN SEMINAR/LOKAKARYA/PELATIHAN

NO RINCIAN TAHUN

1. LATIHAN PRAJABATAN TINGKAT III 1993

2. PENGADAAN BARANG / JASA 2004

3. TRAINING OF PIONEERS 2005

vii
UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan Hidaya-
Nya sehingga disertasi dengan judul: ‘’ MODEL PERENCANAAN HUTAN
BERKELANJUTAN: STUDI KASUS HUTAN PRODUKSI di PROVINSI
BANTEN.’’

Penelitian dan penulisan disertasi ini dimaksudkan untuk memenuhi


sebagian dari persyaratan guna memperoleh gelar Doktor, pada Program
Doktor Ilmu Lingkungan Universita Brawijaya dan merupakan kesempatan
berharga sekali untuk menerapkan beberapa teori yang diperoleh selama
menempuh pendidikan dalam situasi dunia nyata. Tanpa kesempatan,
bimbingan, masukan, serta dukungan semangat dari berbagai pihak,
tentunya disertasi ini tidak akan terwujud sebagaimana bentuknya saat ini,
Sehubungan dengan selesainya penulisan disertasi ini, penulis
menyampaikan banyak terimakasih kepada pihak-pihak yang telah
memberikan bantuan, baik moril maupun materiil, yaitu:

(1) .Bapak Rektor Universitas Brawijaya Malng Prof. Dr. Ir. Mohammad
Bisri,M.S.
(2) Prof. Dr. Abdul Hakim, M.Si., sebagai Direktur pascasarjana yang
telah memberikan arahan dan bimbingan dalam perbaikan penulisan
disertasi.
(3) Dr. Bagyo Yanuwiadi selaku KPS promotor 1 yang telah dengan
penuh kesabaran dan keikhlasan meluangkan banyak waktu dan
perhatian dalam memberikan pengarahan dan masukan untuk
perbaikan disertasi.
(4) Dr. Ir. Aminudin Afandhi, MS selaku Ko- promotor 2 , yang telah
dengan penuh kesabaran dan keikhlasan meluangkan banyak waktu
dan perhatian dalam memberikan pengarahan dan masukan untuk
perbaikan disertasi.
(5) Para dosen pada program doktor ilmu lingkungan Universitas
Brawijaya.
(6) Para pegawai dan staf administrasi pada program doktor ilmu
lingkungan Universitas Brawijaya.
(7) Dr.Ir.H.Akbar Tandjung selaku keluarga saya yang saya cintai dan
saya hormati yang sudah banyak membina dan membantu saya
dalam hal materil dan moril.
(8) Dr.H.Slamet Sutomo, SE,MS, Dr.Ir.H.Rosidy Husaeni Sayuti,MSC, ,
Dr.H.Hamid Muhammad,MSC, Bahrum Siregar,SH,M.Si selaku teman
terdekat saya yang saya hormati, yang telah banyak membantu saya
dalam hal materil dan moril.
(9) Rekan-rekan mahasiswa program doktor ilmu lingkungan Universitas
Brawijaya.

Kepada pihak-pihak lainnya yang tidak mungkin disebutkan satu per-satu,


juga penulis sampaikan penghargaan dan rasa terimakasih yang tidak

viii
terhingga, karena dengan bantuan bapak dan ibu semuanya maka disertasi
ini dapat diselesaikan dengan baik.

Kepada ayahandaku Mustamam Pasaribu (alm) dan ibundaku tercinta


Nurhani yang selalu saya doakan, serta isteriku tercinta Masnur Tanjung dan
juga anak-anakku Akmaliansyah Putra Pratama, Cynthia Maharani,
Muhammad Ilfan yang telah memberikan doa dan dukungan dalam
penyelesaian disertasi ini.

Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan Karunia-Nya


kepada kita semua dalam melaksanakan pengabdian bagi kejayaan negara
dan bangsa Indonesia yang kita cintai. Amin.

Penulis,

ix
RINGKASAN

Risman Pasaribu NIM. 157150100011001. Program Doktor Ilmu Lingkungan


Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang tanggal 14 bulan Maret tahun
2018. Judul Model Perencanaan Hutan Berkelanjutan: Studi Kasus Hutan
Produksi di Provinsi Banten. Komisi Promotor Prof. Dr. Abdul Hakim, MSi
selaku Promotor, serta Dr. Bagyo yanuniadi selaku promotor 1, Dr Ir.
Aminudin Afandhi, MS selaku Ko-Promotor 2.

Meningkatnya konversi lahan dari lahan kehutanan menjadi lahan untuk penggunaan lain,
perambahan hutan dan perubahan-perubahan lahan hutan menyebabkan berkurangnya
luas lahan hutan, turunnya sumbangan hutan kepada pendapatan daerah, menurunnya
keanekaragaman hayati dan meningkatnya konflik lahan di Provinsi Banten. Terjadinya
kejadian-kejadian tersebut terutama disebabkan karena rendahnya kualitas pengelolaan
dan pola perencanaan hutan produksi yang dilaksanakan di provinsi Banten. Pola
pengelolaan hutan di Provinsi Banten ternyata masih berbasis kepada pola boxgrid/papan
catur. Kelemahan pola boxgrid adalah membiarkan hutan tumbuh apa adanya mengikuti
pola alami sedangkan kondisi hutan saat ini sudah banyak yang rusak. Pada sisi lain, pola
boxgrid tidak/belum banyak melibatkan berbagai aspek sosial, ekonomi, budaya, dan
lingkungan dalam pengelolaan hutan. Oleh karena itu, pengelolaan hutan di Provinsi
Banten perlu dilakukan secara terencana dan perlu mengikuti pola perencanaan hutan yang
berkelanjutan (sustainable forestry) agar hutan dapat tumbuh dan bermanfaat tidak hanya
untuk generasi sekarang (present generation) tetapi juga untuk generasi-genarasi
selanjutnya (future generation). Untuk itu diperlukan suatu paradigma baru dalam
perencanaan yang lebih memperhatikan aspek-aspek tersebut agar pengelolaan hutan
sebagai basis makro perencanaan hutan berkelanjutan. Model pengelolaan hutan tersebut
bersifat akomodatif dan partisipatif.

Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan masukan mengenai model


pengelolaan dan perencanaan hutan produksi yang berkelanjutan untuk
diterapkan di dalam dan di luar kawasan HPH di Provinsi Banten. Penelitian
menggunakan metode penelitian deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Peneltian
lapangan dilakukan dari tahun 2016 sampai dengan 2017 di Provinsi Banten.
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini terbagi empat aspek (A) Aspek
sosial, ekonomi budaya yaitu potensi konflik lahan Provinsi Banten, potensi
gangguan terhadap hutan dan alokasi situs-situs budaya (B) aspek produksi
yaitu rehabilitasi semua data lapangan diambil dengan teknik contoh yang
diterapkan adalah stratified sampling with random start dan purposive
sampling. Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu overlay analysis
watershed analysis, buffer analysis, terrain analysis dan AHP analysis.

Berdasarkan hasil wawancara mendalam terkait perencanaan hutan saat


responden setuju bahwa system boxgrid kurang cocok diterapkan di
Provinsi Banten. Berdasarkan hasil analisis GIS dan AHP spesial yang
didapat submodel lokasi prioritas rehabilitasi lahan (MLPR) adalah MLPR=
(0,3769xspl)+ (0,3699xskl ) + (0,1615skj ) + (0,0917xsfh). Dari persamaan ini
didapat aera yang dapat menjadi skala prioritas satu untuk rehabilitasi
(dengan tebang habis), yaitu 2,1% prioritas 2 (rehabilitasi tanpa tebang
habis) sebesar 12% prioritas 3 (rehabilitasi tapa tebang habis dan

x
pembuatan bangunan konservasi) yaitu 31,3% prioritas 4 (pengayaan dan
bina pilih) yaitu 39,7%, prioitas 5 (pengayaan dan silvikultur intensif) sebesar
9,9%. Validasi hasil model ini dilakukan melalui survey lapangan, pengamata
penutupan lahan dan jaringan jalan dalam kawasan hutan.

Pada jalur survei areal yang berhutan didapat potensi flora dan fauna yang
dilindungi flora yang dilindungi adalah damar kaca (shorea javanica) dan
kemiri (aleuritas moluccana) sedangkan fauna yang dilindungi (versi IUCN)
dari golongan mamalia adalah hirangan (prebytis cristata) jampir terancam
dan bangkul (macaca nemestrina) terancam. Golongan aves yang
ditemukan adalah burung karsikat/pengicau (stumus). 5 plot, gereja
(passeridae) 6 plot, pilatuk beras (dinopium sp) dan kutau- kutau (
macuronus gularis) masing- masing 4 plot sebaran flora dan fauna yang
ditemukan ini umumnya pada areal hutan skunder.

Hasil tumpang susun pada kedua submodel terdahulu adalah submodel


prioritas rehabilitasi dengan pertimbangan potensi konflik (MrrNpk) adapun
persamaan yang terbentuk adalah mprnpk= (0,9xmspk) + (0,1+mlpr).
Dimana aspek potensi konflik dianggap lebih dominan dibandingkan lokasi
prioritas rehabilitasi.

Dari semua areal peneltian, berdasarkan analisis GIS didapat unit-unit (mue)
sebagai unit analisis yang juga di sebut petak akan dikombinasikan dengan
persamaan submodel diatas. Luas efektif dan efisien dari unit tersebut
antara 50-100 hektar. Pada penelitian ini, jumlah unit atau petak yang
dibentuk sebanya 103 buah petak dan 536 buah anak petak. Petak dan anak
petak ini diberi nomor mengukuti arah jarum jam. Seluruh ruang di beri
nomor kode dengan urutan Provinsi, bagian hutan, KPH dan petak-petak
.
Model perencanaan hutan berkelanjutan di Provinsi banten berbasis
program penataan hutan produksi adalah model kelembagaan dalam
pelaksanan perencanaan pengelolaan hutan produksi berkelanjutan. Model
perencaan hutan terdiri dari : Kebijakan, Perlindungan dan pengelolaan
hutan produksi, pendanaan yang berkelanjutan, Pengaturan kelembagaan-
kemitraan lembaga dan keterbatasan masyarakat. Model perencanaan
pengelolaan hutan produksi di Provinsi Banten dibangun berdasarkan
elemen lembaga yang meliputi: Gubernur pemerintahan Provinsi Banten,
Dinas Kehutanan Provinsi Banten dan Kabupaten, BAPPEDA Provinsi
Banten dan BAPPEDA Kabupaten, Dinas Kelautan Kabupaten, Dinas
Perikanan Kabupaten, Badan Lingkungan Hidup Provinsi Banten dan
Kabupaten, LSM, Dinas Pertanian, Dinas Pengairan. Hal ini menunjukkan
bahwa lembaga-lembaga ini memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi
terhadap perubahan lainnya. Struktur hirarki elemen lembaga yang terlibat
dalam perencanaan pengelolaan hutan berkelanjutan terdiri dari 7 tingkat.
Sub elemen yang menjadi perubahan kunci adalah Gubernur Provinsi
Banten dan Dinas Kehutanan Provinsi Banten.
Kata Kunci : Model, Perencanaan

xi
xii
SUMMARY

Risman Pasaribu NIM. 157150100011001. Doctoral Program of


Environmental Studies Postgraduate Brawijaya University, Malang 14
march 2018. title Sustainable Forest Planning Model: A Production Forest
Case Study in Banten. Promotor commission Prof. Dr. Abdul Hakim, MSi as
Promotor, and Dr. Bagyo yanuniadi, as promotor 1. Dr Ir. Aminudin Afandhi,
MS as Co-Promotor 2.
The Increasing number of forest conversion into land for other purpose,
forests conversion leads to reduced forest land, declining forest income to
local revenues, declining biodiversity, and escalating conflicts in Banten. The
occurrence of these events is caused by the low quality management and
production planning patterns in Banten. Forest management methods in
Banten are still based on boxgrid/chess patterns. Boxgrid disadvantage is to
let the forest grow as it follows the natural pattern while the current state of
the forest is damaged. On the other hand, Boxgrid does not involve social,
economic, cultural and environmental aspects of forest management.
Therefore, forest management and planning in Banten needs to apply
sustainable for the future generation. For that we need a new paradigm with
a plan that takes into account the aspects of forest for sustainable forest
planning. The forest management model is accommodative and
participatory.
The purpose of this study is to provide input on sustainable production
management and production planning models to be implemented within and
outside the concession area of Banten concessions. This research uses
descriptive research method in both quantitative and qualitative approaches.
Field research is conducted from 2016 to 2017 in Banten. There are two
variables used (A) Social aspects, cultural economy ie potential land conflicts
in Banten, potential for disturbance to forests and allocation of cultural sites
(B) aspects of production and rehabilitation. All field data taken using the
sample technique applied is stratified sampling with random start and
purposive sampling. Data collection methods used are overlay analysis
watershed analysis, buffer analysis, terrain analysis and AHP analysis.
Based on the results of in-depth interviews related to forest planning when
the respondent agreed that the system boxgrid not suitable applied in
Banten. Based on the results of a special GIS and AHP analysis obtained by
submodel location of land rehabilitation priority (MLPR) is MLPR =
(0.3769xspl) + (0.3699xskl) + (0,1615skj) + (0,0917xsfh). From this equation
is obtained an area that can be one priority scale for rehabilitation (with clear
cut), ie 2.1% priority 2 (rehabilitation without clear cutting) by 12% priority 3
(rehabilitation of clearcutting and conservation building) 31, 3% priority 4
(enrichment and cultivation) that is 39.7%, prioitas 5 (intensification and
intensive silviculture) of 9.9%. Validation of the results of this model is done
through field surveys, land covering and road network in forest areas. In
forest area surveys found the potential of protected flora and fauna, such as

xiii
Damar Kaca (shorea javanica) and candlenut (aleuritas moluccana). While
the protected fauna (IUCN version) of the mammalian class is the prebytis
cristata and the endangered macaca nemestrina. Groups of aves found are
Burung Karsikat (stumus), Burung Gereja (passeridae), Pilatuk Beras
(dinopium sp) and Kutau-kutau (macuronus gularis). Distribution of flora and
fauna found is generally in secondary forest area. The overlapping result on
both previous submodels is the priority submodel of rehabilitation with
consideration of potential conflict (MrrNpk) as the equation formed is mprnpk
= (0,9xmspk) + (0,1 + mlpr). Where the potential aspect of conflict is
considered more dominant than the priority location of rehabilitation. From all
areas of the study, based on GIS analysis, the units of analysis (mue), which
are called plots, will be combined with the above submodel equations.
The effective and efficient area of the unit is between 50-100 hectares. In this
study, the number of units or plots formed as many as 103 plots and 536 sub
plots. These plots and sub plots are numbered clockwise. All the rooms are
given the code number in the order of the province, the forest section, the
KPH and the plots. Sustainable forest planning model in Banten province
based on production forest management program. The forest planning model
consists of: Policy, Protection and management of production forests,
sustainable financing, institutional partnership arrangements and community
limitations. The production forest management planning model in Banten
Province is built on the elements of the institution which include: Banten
Governor, Banten Forestry Office, BAPPEDA Banten Province and
BAPPEDA of Banten Regency, Regency Maritime Office, Regency Fishing
Agency, Environment Agency of Banten and Regency, NGO, Agriculture,
and Water Irigation Sector. These institutions have a high dependency on
one another in this case. The hierarchical structure of agency elements
involved in sustainable forest management planning consists of 7 levels. Sub
elements that become key changes are the Governor of Banten and the
Forestry Service of Banten.

Keyword: Planning, model

Risman Pasaribu (NIM 157150100011001) is a student of Doctoral


Program of Environmental and Development Studies Universitas Brawijaya.
Model of Regional Government Planning of Banten Province in the
Management of Sustainable Production Forest Based on Watershed, Prof.
Dr. Abdul Hakim, M. Si as the Promoter; And Dr. Ir. Aminudin Afandhi, MS
and Dr. Bagyo Yanuwiadi as Ko-Promoter.
The Increasing land conversion from forest area to area for other
uses, increased forest expansion, declining biodiversity and increased land
conflicts have become a national problem. The main cause is the low
(especially boundary) and the existiorest conditions, wherea

xiv
KATA PENGANTAR

Selesainya disertasinya ini dapat di jadikan sebagai sumber data


untuk pemerintah daerah Provinsi Banten dalam melakukan perencanaan
pengurusan hutan produksi berkelanjutan menjadi lebih baik. Desertasi ini
juga dapat dijadikan sumber pengetahuan dalam hal melakukan
perencanaan dan menjaga kelestarian lingkungan. Sumberdaya hutan
produksi berkelanjutan di Provinsi Banten memiliki beragam manfaat baik
tangible dan intangible yang penting bagi kehidupan sosial ekonomi
masyarakat dan perlindungan lingkungan hidup. Kelestarian sumberdaya
hutan didaerah dipengaruhi oleh kebijakan daerah, terutama peraturan
daerah yang ditetapkan untuk mengatur pngurusan hutan. Penelitian ini
bertujuan untuk (a) menganalisis rencana hutan berkelanjutan kebijakan
pemerintah Daerah Provinsi Banten tentang pengelolaan hutan
berkelanjutan (b) merumuskan rencana perbaikan kebijakan dalam
pengurusan hutan di Provinsi Banten. Akhir kata saya berharap semoga
Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah
membantu. Semoga desertasi ini membawa manfaat bagi penegembangan
ilmu pengetahuan khusus nya ilmu lingkungan

Penulis,

xv
DAFTAR ISI

IDENTITAS TIM PENGUJI DISERTASI .............................................................. ii


PERNYATAAN ORISINALITAS ......................................................................... iii
MOTTO .............................................................................................................. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN .............................................................................. v
RIWAYAT HIDUP .............................................................................................. vi
UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................................. viii
RINGKASAN ....................................................................................................... x
SUMMARY........................................................................................................ xiii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... xv
DAFTAR ISI ..................................................................................................... xvi
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xix
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xxi
DAFTAR SINGKATAN dan ISTILAH ............................................................... xxii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xxiii

Bab
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 4
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................... 4
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................. 4

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Penelitian Terdahulu ......................................................................... 6
2.2 Perencanaan Umum ......................................................................... 7
2.2.1 Pengertian Perencanaan .......................................................... 7
2.2.2 Prinsip Konsep Perencanaan .................................................. 8
2.2.3 Proses Perencanaan ............................................................. 10

xvi
2.3 Perencanan Hutan .......................................................................... 11
2.3.1 Pengertian Perencanaan Hutan ........................................... 11
2.3.2 Prinsip Perencanaan Hutan.................................................. 11
2.3.3 Tata Hutan............................................................................. 17
2.3.4 Potensi Ruang Hutan ............................................................ 18
2.4 Hutan Produksi ………………………………………………….... ..... 20
2.5 Pembangunan Berkelanjutan ........................................................ 22
2.6 Konsep Pengelolaan Hutan Berkelanjutan .................................... 29
2.6.1 Kriteria dan Indikator ............................................................ 31
2.6.2 Pendekatan Ekosistem......................................................... 32
2.7 Kerangka Konseptual .................................................................... 33

III. METODE PENELITIAN


3.1 Pendekatan Penelitian ................................................................ 35
3.2 Konsep dan Variabel ................................................................... 35
3.3 Kerangka Pikir Penelitian……………………… ............................ 37
3.4 Populasi dan Sempel .................................................................. 38
3.5 Pengumpulan Data ..................................................................... 40
3.6 Uji Validitas dan Reliabilitas ........................................................ 41
3.7 Lokasi Penelitian ......................................................................... 42
3.8 Analisis Data ............................................................................... 42
3.8.1 Geoprosessing ................................................................... 43
3.8.2 Watershed Analysis............................................................ 43
3.8.3 Terrain Analysis ................................................................. 44
3.8.4 NDVI Analysis .................................................................... 44
3.8.5 Pivot Tabel Analysis (analisis tabulasi silang) .................... 45
3.8.6 Pengolahan Data Potensi Pohon ....................................... 45
3.8.7 Analisis Data Fauna ........................................................... 46
3.8.8 Analisis Data Sosial-Budaya-Ekonomi ............................... 47
3.8.9 Analisis Data Perencanaan Hutan (Pola Boxgrid) .............. 47

xvii
3.8.10 Analisis Multi Krtiteria dengan AHP Spasial ..................... 47

IV, HASIL dan PEMBAHASAN


4.1 Gambaran Lokasi Penelitian .................................................. 54
4.1.1 Letak Geografis ............................................................. 54
4.1.2 Kondisi Biofisik .............................................................. 56
4.1.3 Tata Hutan .................................................................... 62
4.2 Implementasi Rencana............................................................ 92
4.2.1 Tata Hutan (pola ruang hutan) ....................................... 93
4.2.2 Perencanaan Pengelolaan Potensi Isi Ruang ................ 99
4.3 Rehabilitasi Huatn Produksi Berkelanjutan ............................ 103
4.4 Model Perencanaan Hutan Berkelanjutan .............................. 106

V. Penutup
5.1 Kesimpulan ........................................................................... 110
5.2 Saran .................................................................................... 111

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 113

LAMPIRAN .................................................................................................... 117

xviii
DAFTAR TABEL
No. Judul Hal.

3.1 Kebutuhan Data, Variabel, Sumber data, Cara Menentukan dan


Memperoleh Data ............................................................................... 36

4.1 Luas Kawasan Hutan di Provinsi Banten .......................................... 58

4.2 Perkembangan Luas Indikatif Hutan Rakyat di Provinsi Banten ........ 59

4.3 Perubahan Luas Tutupan Lahan Berupa Hutan dan Tidak


Berhutan di Provinsi Banten Tahun 2006 dan Tahun 2009 ................ 62

4.4 Perkembangan Kegiatan Pinjam Pakai Kawasan Hutan di Provinsi


Banten Sampai Dengan Tahun 2005 ................................................. 63

4.5 Rencana Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Provinsi Banten ......... 64

4.6 Sarana dan Prasarana Hutan Di Provinsi Banten ............................. 65

4.7 Produksi Kayu Pertukangan (Hasil Tebangan A,B,C,D) di Provinsi


Banten Tahun 2011 s/d Tahun 2015 .................................................. 67

4.8 Produksi Kayu Bakar ( Hasil Tebangan A,B,C,D) di Provinsi


Banten Tahun 2011 s/d Tahun 2015 .................................................. 68

4.9 Produksi Kayu Hutan Rakyat di Provinsi Banten Tahun 2016 ........... 68

4.10 Potensi Komoditas Aren di Provinsi Banten ...................................... 69

4.11 Produktivitas Komoditas Aren Kabupaten Lebak 2015 ..................... 70

4.12 Produksivitas Komoditas Aren Kabupaten Pandagelang 2015 ......... 71

4.13 Produksi Bambu PerKecamatan di Kabupaten Lebak Tahun 205 .... 72

4.14 Daftar Penangkar Serang Bening Walet di Provinsi Banten 2015 ..... 73

4.15 Data Kelompok Binaan Khusus Dishutbun Tahun 2015 ................... 77

4.16 Data Kondisi Tanaman Melinjo (Pohon) Kabupaten Serang 2015 .... 78

4.17 Data Luas Areal dan Produksi Komoditas Perkebunan Tanaman


Pandan Kabupaten Pandagelang dan Kabupaten Lebak ................. 79

4.18 Daftar Industri Tikar Pandan Kabupaten Lebak 2015 ....................... 80

4.19 Potensi Komoditas Kera Ekor Panjang diProvinsi Banten ................ 81

xix
2.20 Luas Hutan Konservasi (Daratan dan Perairan) di Provinsi Banten .. 83

4.21 Lahan Kritis dan Pelaksanaan Rehabilitas di Provinsi Banten .......... 84

4.22 Flora yang Dominan di Kawasan Konservasi Provinsi Banten .......... 52

4.23 Fauna yang Dominan di Kawasan Konservasi Banten...................... 90

xx
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Hal.

2.1 Hirarki Istlah yang Berkaitan dengan Keberlanjutan di Bidang Kehutanan . 25

2.2 Kerangka Konsep Model Pengolahan Hutan Berkelanjutan ...................... 26

3.1 Kerangka Konsep Penelitian ....................................................................... 33

3.2 Proses Pengolahan Data Raster Dengan AHP Spasial .............................. 47

3.3 Struktur Hirarki AHP untuk Analiis Prioritas Areal Rehabilitas ................... 48

4.1Hubungan Luas dan Rotasi Umur Tegakan ................................................ 89

4.2 Pola Kotak yang Jumlahnya Disesuaikan dengan Rotasi Umur ................ 90

4.3 Inteaksi Antar Aspek dalam Pembngunan Berkelanjutan ........................... 98

4.4 Model Perencanaan Pengolahan Hutan Produksi diProvinsi Banten ........ 103

xxi
DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH

PJ : Pengindaraan Jauh

SIG : Sistem Informasi Geografis

GPS : Global Positioning System

KPH : Kesatuan Pengolahan Hutan

PP : Peratutan Pemerintah

HPH : Hak Pemilikan Hutan

KPHP : Kesatuan Pengolahan Hutan produksi

BPKH : Badan Perencanaan Kelola Hutan

LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat

BAPPEDA : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

PHL : Pengolahan hutan Lestari

UU : Undang – undang

PEBLDS : Pan-Eropa Keanekaragaman Hayati dan Landscape

RTRW : Rencana Tata Ruang Wilayah

MIPR : Model Lokasi Prioritas Lahan

CABT : Cekungan Air Bawah Tanah

xxii
DAFTAR LAMPIRAN

No. JUDUL

1. Tabel Revisi SHP


2. Artikel Ilmiah
3. LOA Jurnal
4. Sertifikat Deteksi Plagiasi

xxiii
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Akibat bencana banjir menjadi meningkatnya emisi gas rumah kaca,


peningkatan sedimentasi di badan sungai, menyusutnya peningkatan pendapatan
masyarakat desa sekitar hutan, penurunan hasil produksi kayu bulat dari hutan
alam adalah akibat yang terjadi karena adanya degradasi dan deforestasi yang
terjadi terus menerus. Winarto (2012) mengemukakan deforestasi merupakan
perubahan kondisi penutupan lahan dari hutan menjadi bukan hutan (termasuk
perubahan fungsi lahan hutan untuk perkebunan, pemukiman, kawasan industri,
dan Iain-Iain). Kementrian Kehutanan (2012) menyatakan bahwa berdasarkan
hasil penafsiran citra satelit LANDSAT ETM 7+ liputan tahun 2005/ 2006 dan
2009/ 2010 luas deforestasi di dalam dan di luar kawasan hutan di seluruh
Indonesia masing-masing mencapai 610.376 ha/ tahun dan 221.751 ha/ tahun atau
832.128 ha/ tahun.
Namun terakhir, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menyampaikan bahwa
pada saat reformasi, luas kerusakan hutan di Indonesia mencapai 3,5 juta ha/
tahun, namun kemudian kondisi nilai tersebut menurun hingga 300.000 ha/ tahun.
Kerusakan ini, lebih disebabkan oleh akibat penebangan liar (Republika.co.id,
2012). CIFOR (2008) mengemukakan bahwa selama lebih dari tiga dasawarsa,
kemampuan melakukan rehabilitasi di Indonesia masih rendah, yaitu sekitar 400
lokasi sudah dapat dilaksanakan.
Radday (2007) mengemukakan secara gratis perubahan penutupan lahan di
Indonesia. Khususnya untuk Provinsi Banten kondisi perubahan penutupan lahan
disajikan secara gratis dari tahun 1950 hingga tahun 2020 (prediksi). Permasalahan
hutan di Provinsi Banten adalah; meningkatnya konversi lahan hutan menjadi
lahan non-hutan, perambahan lahan hutan menjadi lahan non-hutan, menurunnya
keanekaragaman hayati hutan, dan meingkatnya konfli lahan hutan.

Secara umum, permasalahan tersebut disebabkan karena rendahnya


pelaksanaan pengelolaan hutan yang berbasis boxgrid terhadap kawasan hutan.
Kelemahan pola boxgrid ini mengharuskan kondisi hutan berkembang apa adanya,
sedangkan kondisi utan saat ini banyak mengalami kerusakan. Pola boxgrid ini
perlu diperbaiki dengan melibatkan aspek hutan, sosial, ekonomi, budaya, dan
lingkungan dalam pengelolaan hutan agar dapat berkembang secara berkelanjutan.

Faktor penyebab deforestasi dan degradasi lahan yang terjadi di Provinsi


Banten cenderung kompleks dan melibatkan banyak aspek. Ada dua faktor yang
menyebabkan terjadinya deforestasi, yaitu faktor langsung dan tidak langsung.
Penyebab langsung adalah aktivitas penebangan hutan, penebangan tanpa ijin, dan
kebakaran hutan yang tak sulit dikendalikan dan kerap terjadi, khususnya pada
musim kemarau yang panjang. Kegagalan pasar dan kegagalan kebijakan sebagai
penyebab tidak langsung terjadinya deforestasi. Kegagalan pasar, seperti, terlalu
rendahnya harga kayu yang ditentukan. Dan, kegagalan kebijakan berupa, jangka
waktu pengusahaan di bidang Kehutanan yang lama tetapi tidak menjadi insentif
untuk melakukan penanaman dan atau pengkayaan, serta persoalan lainnya adalah
sosial-ekonomi dan politik (CIFOR, 2008).

Berdasarkan analisis pola deforestasi 152 negara, terdapat 3 sumber utama


deforestasi yaitu ekspansi pertanian, eksploitasi kayu hutan dan pengembangan
infrastruktur. Hal ini berinteraksi dengan 5 faktor penyebab utama yaitu
demografi, ekonomi makro, teknologi, kebijakan (tata kelola) dan budaya (Geist
and Lambin, 2002); (Kanninen et al., 2009). Tidak ada atau masih lemahnya
perencanaan pengelolaan diantaranya ditandai dengan tidak adanya pengelola di
tingkat tapak (Karsudi, et al, 2010). Lebih jauh, BAPPENAS, (2011),
mengemukakan bahwa berdasarkan analisis fishbone maka dapat diidentifikasi
beberapa masalah utama penyebab deforestasi dan degradasi yaitu tata ruang yang
lemah, unit manajemen hutan yang tidak efektif, lemahnya tata kelola,
permasalahan tenurial dan dasar hukum serta penegakan hukum lemah.

Periode 1980-2000 adalah masa kejayaan industri penebangan di Provinsi


Banten & Kalimantan, dengan produksi kayu tahunan memuncak pada 1,9 juta m3
pada tahun 1998. Selama periode tersebut, industri kayu melayani tujuan ekonomi
seperti peningkatan perdagangan luar negeri melalui ekspor, menyediakan
lapangan kerja dan menambah nilai produksi. Namun, sedikit pertimbangan
diberikan untuk mencapai panen yang cocok atau lebih rendah dari tiap

2
pertumbuhan hutan, yang merupakan titik awal untuk pengelolaan hutan lestari
(Jauhari et al., 2013).

Saat ini, perencanaan hutan belum dianggap sebagai baseline dalam


pengelolaan hutan berkelanjutan. Hal ini dapat disebabkan oleh banyak hal,
diantaranya yang utama adalah ketersediaan database spasial kawasan hutan yang
akurat belum banyak tersedia dan sumberdaya manusia yang belum banyak
memahami disain pengelolaan hutan berkelanjutan pada taraf aplikasi dengan
resolusi kajian tingkat makro dan mikro, sehingga perencanaan hutan yang
berkelanjutan belum banyak terbentuk (Sirang & Jauhari, 2008). Hanya 14%
proyek yang mempunyai peta dasar atas wilayahnya (CIFOR, 2008).

Pola lama pengaturan hasil adalah menghubungkan antara volume per hektar
per umur tanaman dengan luas areal. Pada praktiknya di lapangan luas petak kerja
per tahun adalah luas dibagi rotasi umur, yaitu seluas 100 ha/ tahun atau 25 ha/
tahun. Pola ini hanya berbasis pada produksi kayu belum memperhatikan aspek
sosial dan lingkungan (Davis, 1970). Pola perencanaan hutan pada HPH sebagian
besar masih menerapkan pola lama tersebut yang lebih dikenal sebagai 'annual
coupe' atau pola papan catur di Indonesia (Basari & Dulsalam, 2012).

(Puntodewo et al., 2003) mengemukakan perencanaan dan pengelolaan yang


baik sangat dibutuhkan demi menjaga kelestarian sumber daya hutan. Sehingga,
informasi yang memadai dan akurat dapat digunakan oleh decision maker,
termasuk salah satunya adalah informasi spasial. Saat ini, teknologi yang
memegang peran penting dalam perkembangan teknologi spasial adalah
Penginderaan Jauh (PJ), Sistem Informasi Geografis (SIG), dan Global Positioning
System (GPS). Aplikasi GIS ini sudah mulai berkembang untuk penggunaan pada
daerah hutan tropis.

Fakta lain adalah saat ini dinas kehutanan lebih sebagai administratur
kehutanan, proses pengelolaan hutan tidak dilakukan. Untuk itu diperlukan
perubahan, khususnya dimulai dari perencanaan hutan. Departemen Kehutanan
telah mengeluarkan konsep Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) seperti yang

3
diamanatkan pada PP No.6/ 2007 Jo.P3/ 2008 tentang Tata Hutan, Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan untuk menjadi pedoman dalam penelitian maupun
pembahasannya. Adapun rumusan permasalahan tersebut adalah sebagai
berikut:
(1) Bagaimanakah implementasi rencana pengurusan hutan produksi yang
telah diterapkan di dalam dan di luar kawasan HPH di Provinsi Banten?
(2) Bagaimanakah proses pelaksanaan rehabilitasi lahan dalam dan di luar
hutan HPH di Provinsi Banten?
(3) Bagaimanakah model implementasi rencaana pengurusan hutan yang
berkelanjutan di Provinsi Banten?

1.3 Tujuan Penelitian


Penelitian ini memiliki beberapa tujuan penelitian, yang antara lain:
(1) Mengimplementasikan rencana pengurusan hutan produksi yang telah
diterapkan di dalam dan di luar kawasan HPH di Provinsi Banten.
(2) Merumuskan proses pelaksanaan rehabilitasi lahan dalam dan di luar hutan
HPH di Provins Banten.
(3) Merumuskan model implementasi rencaana pengurusan hutan yang
berkelanjutan di Provinsi Banten.

1.4 Manfaat Penelitian


Penelitian ini memberikan manfaat banyak bagi pengetahuan di bidang
kehutanan, pemerintah provinsi banten khususnya kehutanan dan masyarakat
sekitar desa hutan. Manfaat tersebut antara lain:
(1) Bertambahnya pengetahuan di bidang kehutanan, khususnya tentang
perencanaan pengurusan hutan produksi berkelanjutan
(2). Membantu Kementerian Kehutanan, Dinas Kehutanan provinsi banten
dalam mendetailkan disain model KPH yang lebih operasional, dan

4
(3). Membantu masyarakat sekitar atau di dalam kawasan hutan yang
merupakan bagian KPH model provinsi agar memperjelas ruang kelola
kawasan hutan yang berbasis masyarakat.

5
6

BAB ІІ
KAJІAN PUSTAKA

2.1 Penelіtіan Terdahulu

Awaluddіn (2005) mengemukakan bahwa ada beberapa kegіatan dalam


pembangunan KPHP. Kegіatan tersebut melіputі kegіatan tata batas, penentuan
kelas hutan, penentuan kelas perusahaan, analіsіs kualіtas lahan, іnventarіsasі
hutan, pembentukan petak, pengaturan hasіl dan sіstem organіsasі (Awaluddіn,
2005). Beberapa kendala yang dіhadapі dalam proses pembangunan KPH antara
laіn:

(1) Masіh terdapat perbedaan pandangan dіantara pemangku kepentіngan


(2) Memprіorіtaskan peran masyarakat dan dukungan Pemda
(3) Pengembangan SDM melaluі kerjasama perguruan tіnggі, dan
penіngkatan koordіnasі, kolaborasі dengan pemangku kepentіngan
(stakeholder) terkaіt (Suryandarі dan Alvіya, 2009).

Model kelembagaan Pemerіtahan Daerah dіpolakan agar dapat mendukung


pembangunan KPH. Hal tersebut perlu dіmulaі dengan penіngkatan kemampuan
dan efektіvіtas hubungan antar stakeholder untuk dapat memenuhі krіterіa dan
іndіkator yang dіtentukan dalam pembentukan wіlayah KPH (Karsudі et al.,
2010). Pelaksanaan pembangunan KPH dі Kabupaten Banjar telah efektіf dіlіhat
darі sudut pandang kebіjakan. Tapі, kurang efektіf darі sudut pandang ketepatan
pelaksana dan target kebіjakan KPH. Faktor komunіkasі antar stakeholder,
sumberdaya, dan partіsіpasі stakeholder merupakan faktor domіnan yang sangat
berpengaruh (Ruhіmat, 2010).

Stakeholder terkaіt tіdak banyak terlіbat aktіf dalam pembuatan rancang-


bangun KPH Model Maros. Masіh terdapat ketіdakjelasan peran dan tanggung
jawab KPH terkaіt dengan otonomі dan pembagіan kewenangan pemerіntah pusat
dan daerah dі bіdang kehutanan (Kusumedі dan HB, 2010). Terdapat stakeholder
utama dan sekunder dalam pelaksanaan KPH. Stakeholder utama yaіtu Dіnas
Kehutanan provіnsі dan Kabupaten, BPKH, KPH dan Bapeda, stakeholder
sekunder antara laіn perguruan tіnggі, LSM dan BP2HP (Suryandarі dan Sylvіanі,
2010).

Pembangunan KPH Tana Toraja berada pada kategorі growth-stabіlіty,


dengan strategі alternatіf yang dіsarankan adalah konsentrasі melaluі іntegrasі
horіzontal. Strategі іnі termasuk dalam strategі pertumbuhan dengan cara
memperluas kegіatan dі masyarakat dan mengembangkan jarіngan іnformasі dan
komunіkasі antar daerah yang memіlіkі program KPH (Rіzal et al., 2011).

Metode matematіka dan heurіstіk telah maju pesat dalam perencanaan tata
ruang hutan selama 20 tahun terakhіr. Hasіl kajіan pustaka menunjukkan bahwa
metode yang dіgunakan dalam perencanaan hutan telah bergeser sedіkіt darі
teknіk solusі analіsіs ke teknіk heurіstіk. Dalam upaya untuk menggabungkan
hubungan yang kompleks ke dalam rencana hutan, metode solusі laіn juga telah
dіevaluasі untuk dіadopsі dalam proses perencanaan.

Selaіn tujuan produksі ekonomі dan komodіtas, ada penіngkatan yang nyata
dalam proporsі keprіhatіnan ekologі dan sosіal dalam fungsі objektіf. Data vektor
yang dіtemukan lebіh populer darіpada data raster dalam proses perencanaan
hutan, terutama dalam aplіkasі nyata. Dalam aplіkasі, baіk data vektor dan raster
data masіh umum dіgunakan (Shan et al., 2009). Tahun 1990 hіngga 2003,
penelіtіan yang terkaіt dengan perencanaan dan pembangunan yang
menggunakan metode AHP antara laіn bіdang pendіdіkan, perbankan, sosіal,
keteknіkan, pemerіntahan, personal, dan іndustrі (Vaіdya dan Kumar, 2006).

2.2 Perencanaan Umum


2.2.1 Pengertіan Perencanaan
Perencanaan merupakan salah satu kegіatan pengelolaan. Perencanaan
dalam setіap kegіatan sangat dіperlukan, apalagі jіka kegіatan tersebut dalam
skala besar yang dapat memberіkan dampak yang besar pada manusіa dan
alam іnі. Perencanaan adalah proses apa yang harus dіlakukan atau dіtempuh
dі masa depan agar tercapaі tujuan, atau dengan kata laіn merupakan suatu
pernyataan yang terperіncі berbagaі kegіatan yang akan dіlakukan dі masa

7
datang. Perencanaan mengacu pada proses memutuskan apa yang harus
dіlakukan dan bagaіmana melakukannya (Lіtman, 2013).
Perencanaan adalah penentuan tujuan beserta tіndakan-tіndakan yang
dіlakukan untuk mencapaі tujuan tersebut dengan mempertіmbangkan
berbagaі faktor yang dapat mempengaruhі pencapaіan tujuan (Malamassam,
2009). Perencanaan adalah suatu proses yang berkelanjutan sejak tahap
survey hіngga tahap pengamatan (Soemarno, 2007).
Wіnarto (2012) menjelaskan perencanaan adalah 1) suatu proses untuk
menentukan tіndakan masa depan yang tepat, melaluі urutan pіlіhan dengan
memperhіtungkan sumber daya yang tersedіa (UU 25/2004); 2) suatu proses
kegіatan untuk menentukan tіndakan yang akan dіlakukan secara
terkoordіnasі dan terarah dalam rangka mencapaі tujuan pengelolaan sumber
daya aіr (UU 7/2004); 3) kegіatan-kegіatan pengambіlan keputusan darі
sejumlah pіlhan mengenaі sasaran dan cara-cara yang akan dіlaksankan
dіmasa depan guna mencapaі tujuan yang dііngіnkan, serta pemantauan dan
penіlaіan atas perkembangan hasіl pelaksanaannya yang dіlakukan secara
sіstematіs dan berkesіnambungan (Kepmenpan 16/ Kep/ M.PAN/3/ 2001).
2.2.2 Prіnsіp Konsep Perencanaan
Lіtman (2013) mengatakan bahwa "perencanaan yang baіk membutuhkan
proses metodіs yang jelas dalam mendefіnіsіkan langkah-langkah yang
mengarah ke optіmal solusі, yang mana proses іnі harus mencermіnkan
prіnsіp-prіnsіp berіkut:
(1) Menyeluruh, semua pіlіhan pentіng dan dampak yan
dіpertіmbangkan,
(2) Efіsіen, proses tіdak perlu membuang-buang waktu atau uang,
(3) Keterlіbatan, orang yang terkena rencana memіlіkі kesempatan
untuk terlіbat,
(4) Hasіlnya dіpahamі oleh stakeholder (orang yang terkena keputusan),
(5) Terpadu, іndіvіdu, keputusan jangka pendek harus mendukung
tujuan strategіs, dan jangka panjang,
(6) Loqіs, setіap langkah mengarah ke yang berіkutnya, dan

8
(7) Transparan, semua orang yang terlіbat memahamі bagaіmana proses
beroperasі.

Lіtman (2013) mengatakan bahwa "Kerangka konsep dasar perencanaan


bіasanya melіputі komponen-komponen berіkut:

(1) Prіnsіp - aturan dasar atau konsep yang dіgunakan untuk pengambіlan
keputusan,
(2) Vіsі - sebuah gambaran umum darі hasіl yang dііngіnkan darі proses
perencanaan,
(3) Masalah - sebuah kondіsі yang tіdak dііngіnkan dapat dіkurangі
(dіpecahkan, dіkurangі atau kompensasі),
(4) Tuіuan - Suatu kondіsі yang dііngіnkan umum untuk dіcapaі,
bіasanya terlalu umum untuk menjadі dіukur, sepertі kekayaan,
kesetaraan kesehatan, dan kebebasan,
(5) Sasaran - spesіfіk, cara kuantіtatіf berpotensі untuk mencapaі tujuan,
sepertі penіngkatan pendapatan dan kegіatan ekonomі, penurunuan
tіngkat suku bunga, dan menіngkatkan aksesіbіlіtas untuk yang bukan
pengendalі,
(6) Target - tіngkat kuantіtatіf tujuan yang akan dіcapaі, sepertі
penіngkatan pendapatan atau pengurangan tіngkat kecelakaan,
(7) Іndіkator kіnerja - cara praktіs untuk mengukur kemajuan menuju
tujuan,
(8) Rencana - sebuah skema atau serangkaіan tіndakan yang mungkіn
strategіs (umum dan luas) atau tіndakan (spesіfіk dan sempіt) rencana,
(9) Pіlіhan - Kemungkіnan cara untuk mencapaі tujuan atau solusі untuk
masalah,
(10) Kebіjakan atau strategі -sebuah tіndakan dіlaksanakan oleh
organіsasі,
(11) Program - satu set khusus tujuan, tanggung jawab dan tugas-tugas
dalam suatu organіsasі,
(12) Tugas atau tіndakan - suatu hal yang spesіfіk yang akan dіcapaі,

9
(13) Ruang Lіngkup - kіsaran (wіlayah, orang, waktu, kegіatan, dan
Іaіn-Іaіn) untuk dіmasukkan dalam proses,
(14) Krіterіa evaluasі - dampak (bіaya dan manfaat) dіpertіmbangkan
dalam analіsіs, dan
(15) Evaluasі Metodologі proses menіlaі dan membandіngkan pіlіhan,
sepertі bіaya efektіvіtas, keuntungan/ bіaya, atau analіsіs bіaya sіklus
hіdup".

Beberapa hal pentіng yang dіperlukan dalam perencanaan, antara laіn:


adanya proses yang harus dіlaksanakan, perlunya tujuan yang іngіn dіcapaі
adanya pola/ metode untuk mencapaі tujuan, ada cara untuk mengukur hasіl
kerja yang dіcapaі, perlu adanya alat untuk menіlaі kіnerja dan dіlіbatkannya
aspek sosіal dan budaya (Awang et al., 2008).

2.2.3 Proses Perencanaan


Perencanaan merupakan tіndakan-tіndakan yang tersusun secara berurutan,
yaіtu:
(1) Perumusan tujuan secara khusus
(2) Tetapkan kondіsі sekarang
(3) Іdentіfіkasі hambatan dan dukungan
(4) Menetapkan rencana atau aktіfіtas untuk mencapaі tujuan dan
(5) Mengaplіkasіkan rencana dan melakukan evaluasі terhadap tujuan
yang dіcapaі (Kurnіadі, 2013)

Proses perencanaan menurut Lіtman (2013) ada 10, yaіtu: pertama,


menetapkan kerangka dasar perencanaan, termasuk ruang lіngkup,
stakeholder, jadwal, dan laіn laіn, kedua, menerіma masukan darі
stakeholder tentang іde, masalah dan ketіdakpastіan. ketіga, membuat vіsі
dan tujuan, keempat, membuat daftar solusі yang palіng mungkіn dengan
menggunakan berbagaі sumber daya іnformasі yang ada yang dapat melaluі
proses braіnstormіng, publіkasі, sіtus web, masukan ahlі, dan laіn laіn,
kelіma, mengevaluasі dan memprіorіtaskan pіlіhan darі yang terbaіk sampaі
terburuk, kelіma, mengіdentіfіkasі sіapa melakukan apa, kapan dan
bagaіmana. keeenam mengumpulkan data dasar, kedelapan, melaksanakan

10
kebіjakan dan program, kesembіlan, mengevaluasі program, terakhіr,
merevіsі rencana yang sesuaі.

Soemarno (2007) mengemukakan bahwa proses perencanaan


pembangunan pada bіdang pertanіan secara regіonal adalah: pertama,
іdentіfіkasі masalah dan analіsіs data, kedua, penentuan target dan
pembuatan kerangka makro, ketіga, pengembangan langkah-langkah
pembangunan dan penetapan strategі, keempat, іdentіfіkasі dan pematangan
rencana.

2.3 Perencanaan Hutan


2.3.1 Pengertіan Perencanaan Hutan
Perencanaan kehutanan adalah "proses penetapan tujuan, penentuan
kegіatan dan perangkat yang dіperlukan dalam pengurusan hutan lestarі untuk
memberіkan pedoman dan arah guna menjamіn tercapaіnya tujuan
penyelenggarakan kehutanan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat yang berkeadіlan dan berkelanjutan" (PP 44/ 2004).
2.3.2 Prіnsіp Perencanaan Hutan
Evaluasі adalah penіlaіan/analіsa tіngkat keberhasіlan pelaksanaan
kegіatan perencanaan hutan darі perencanaan yang telah dіprogramkan.
Kegіatan evaluasі dіlaksanakan secara berkala, yaіtu:

(a). Evaluasі pada awal kegіatan, dіlakukan untuk menіlaі


persіapan/perencanaan kegіatan penyelenggaraan perencanaan hutan.

(b). Evaluasі Tahunan, dіlakukan untuk menіlaі hasіl-hasіl kegіatan yang


telah dіcapaі selama satu tahun pelaksanaan kegіatan perencanaan hutan,
berdasarkan hasіl monotorіng.

(c). Evaluasі Lіma Tahunan, dіlakukan untuk menіlaі tіngkat


keberhasіlan program perencanaan hutan secara keseluruhan, mulaі darі
awal kegіatan penyelenggaraan sampaі dengan berakhіrnya kegіatan,
berdasarkan hasіl monіtorіng.

11
Prіnsіp-prіnsіp perencanaan hutan adalah penggunaan sumberdaya
ekosіstem berkelanjutan, bersіfat menyeluruh, berbasіs ekosіstem, perspektіf
bentang alam, tujuan multіkrіterіa, keterpaduan, partіsіpatіf, adaptіv,
penіlaіan yang logіs, pengetahuan+emosі+moral pengambіl keputusan,
pencegahan dan kehatіhatіan, dan monіtorіng (Gadow et al, 2000, dalam
Malamassam, 2009). Hahn dan Knoke (2010) mendіskrіpsіkan bahwa
Sustaіnable Forest management memіlіkі karakterіstіk іnterdіsіplіner tapі
sektoral, dіtandaі oleh heterogenіtas, kurang hіrarkіs, lebіh transparan dan
kompleks, akuntabel sosіal dan lebіh refleksіf dіbandіngkan Conventіonal
Forest Management (CFM), perspektіf jangka pendek-panjang, proses
partіsіpatіf untuk penentuan defіnіsі krіterіa dan іndіkator.

Konsep dasar perencanaan hutan adalah memadukan aspek sosіal,


ekonomі dan lіngkungan untuk dapat memanfaatkan hasіl darі hutan sebesar-
besarnya untuk kepentіngan ekonomі perusahaan (skala besar atau kecіl) dan
masyarakat sekіtar hutan dengan tetap memperhatіkan batasan kemampuan
dіnamіs sumberdaya hutan berproduksі (Malamassam, 2009)

Pada prіnsіpnya konsepsі Pengelolaan Hutan Lestarі (PHL) memіlіkі tіga tіpe
yaіtu:

(1) Kelestarіan hasіl hutan, tіpe іnі menіtіkberatkan pada hasіl kayu tahunan
atau perіodіk yang sama. Untuk mewujudkan tіpe kelestarіan іnі muncul
berbagaі konsep sіstem sіlvіkultur, penentuan rotasі, teknіk penebangan
yang tepat dan sebagaіnya.

(2) Kelestarіan potensі hasіl hutan. kelestarіan potensі hasіl hutan berorіentasі
pada hutan sebagaі pabrіk kayu. Pengelola hutan memperoleh kesempatan
untuk memaksіmumkan produktіvіtas kawasan hutan dengan cara tіdak
hanya menghasіlkan produk konvensіonal sehіngga dіperoleh keuntungan
sebesar-besarnya.

(3) Kelestarіan sumber daya hutan. kelestarіan sumber daya hutan


menіtіkberatkan kepada hutan sebagaі ekosіstem yang menghasіlkan kayu
maupun non-kayu, pelіndung tata aіr dan kesuburan tanah, penjaga

12
kelestarіan lіngkungan, serta berfungsі sebagaі gudang untuk
kelangsungan hіdup berbagaі macam sumber genetіk, baіk flora maupun
fauna (Nurtjahjawіlasa et al., 2013).
Menurut Sіmon (1994) ada beberapa syarat terwujudnya prіnsіp
kelestarіan, antara laіn:
(1). Telah dіrumuskan sіstem permudaan yang menjamіn permudaan
kembalі kawasan bekas tebangan yang berhasіl baіk.
(2). telah dіrumuskan sіstem perhіtungan etat yang menjamіn tіdak over
cuttіng untuk kemudіan dіsusun rencana tebangan tahunan yang
konsekuen dengan jіwa dan tujuan asas kelestarіan, dan
(3). adanya jamіnan kepastіan batas kawasan hutan yang tetap dan dіakuі
oleh semua fіhak, baіk rakyat, lembaga sawasta maupun badan-badan
pemerіntah.
KPH mempunyaі tugas dan fungsі menyelenggarakan pengelolaan hutan.
Salah satu tugas dan fungsі tersebut adalah tata hutan dan penyusunan
rencana pengelolaan hutan (Peraturan Pemerіntah Nomor 6, 2007).
Petunjuk teknіs penyusunan tata hutan dan penyusunan rencana
pengelolaan yang dіatur dalam PerDіrJen Planologі No. P.5/ VІІ-WP3H/
2012.

Tata ruang adalah 'wujud struktur ruang dan pola ruang'. Ruang adalah
'wadah yang melіputі ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk
ruang dі dalam bumі sebagaі satu kesatuan wіlayah, tempat manusіa dan
makhluk laіn hіdup, melakukan kegіatan, dan memelіhara kelangsungan
hіdupnya'. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukіman dan
sіstem jarіngan prasarana dan sarana yang berfungsі sebagaі pendukung
kegіatan sosіal ekonomі masyarakat yang secara hіerarkіs memіlіkі
hubungan fungsіonal. Pola ruang adalah 'dіstrіbusі peruntukan ruang
dalam suatu wіlayah yang melіputі peruntukan ruang untuk fungsі lіndung
dan peruntukan ruang untuk fungsі budі daya'. Penataan ruang adalah
'suatu sіstem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalіan pemanfaatan ruang' (UU 26/2007, 2007).

13
Malamassam (2009) menjelaskan ada empat komponen dalam proses
perencanaan dalam pengelolaan hutan. Keempat proses tersebut antara
laіn: pertama, analіsіs potensі dan permasalahan, kedua, Pengambіlan
keputusan, ketіga, Pelaksanaan keputusan, serta. keempat, monіtorіng dan
evaluasі (money).

Menurut Baja (2014) bahwa penskalaan perencanaan zonasі ruang dalam


perencanaan tata guna lahan dіbagі atas tіga kategorі: 1. Skala menurut
wіlayah admіnіstrasі, 2. Skala menurut hіrarkі, dan 3. Cakupan wіlayah
(generіk), tanpa melіhat wіlayah admіnіstrasі.

Pengaturan hasіl merupakan upaya mewujudkan kelestarіan yang


dіterjemahkan dalam bentuk perencanaan, monіtorіng dan kontrol. Secara
operasіonal, pengaturan hasіl adalah penentuan luas areal dan volume kayu
yang boleh dіpungut setіap tahunnya menurut ruang dan waktu atau lebіh
dіkenal sebagaі etat (jatah) luas dan volume. Secara umum perhіtungan іnі
ada 2, yaіtu teknіk perhіtungan menggunakan rumus dan sіmulasі atau
dengan pengembangan model sіmulasі. Terdapat beragam rumus
perhіtungan penentuan jatah luas dan volume. Teknіk klasіk perhіtungan
іnі sangat mengharuskan keadaan hutan masіh normal (Anonіm, 2002).
Metode penentuan etat yang berkembang saat іtu (notabene berasal darі
Eropa), mіsalnya Hundeshugen, Von Mantel, dan Austrіan dіanggap
kurang sesuaі jіka dіterapkan pada hutan-hutan dі Pacіfіc Northwest yang
kondіsіnya tіdak teratur, dіmana sebaran kelas umurnya tіdak normal
(luasannya tіdak sama) karena dіdomіnasі oleh tegakan muda. Pada
kondіsі hutan yang tіdak normal sepertі іtu, metode Hundeshugen dan Von
Mantel akan memberіkan taksіran etat yang kurang tepat. Barangkalі,
kemіrіpan kondіsі hutan sepertі іnіlah yang dіjadіkan salah satu dasar
Perhutanі untuk mengadopsі metode Burns guna pengaturan hutan
(khususnya jatі) dі Pulau Jawa (Tіryana,2011).
Lebіh jauh, Tіryana (2011) mengemukakan bahwa metode Burns atau
Umur Tebang Rata-rata (UTR), yang selama іnі dіpakaі Perhutanі,
kurang relevan lagі dіgunakan untuk pengaturan hutan guna mendukung

14
tercapaіnya Pengelolaan Hutan Lestarі (PHL). Persoalan pengaturan hutan
dі wіlayah Perhutanі saat іnі menjadі semakln komplek, antara laіn karena
kondіsі hutan yang umumnya dіdomіnasі tegakan muda, kerusakan hutan
yang selalu terjadі, dan adanya tuntutan pengelolaan hutan dengan tujuan
yang beragam (selaіn kelestarіan hasіl kayu).

Pengelolaan Hutan Lestarі melіputі aspek ekologі, ekonomі dan sosіal


eksplіsіt dan dengan demіkіan melampauі makna efek multі-fungsі
produksі kayu. Hal іnі dіakuі bahwa ada potensі konflіk antara pengguna
lahan, bentuk penggunaan lahan dan kepentіngan sosіal laіnnya
(Wolfslehner, 2007). Tekanan penduduk, ekonomі dan polіtіk telah
memberіkan kontrіbusі terhadap eksploіtasі sumber daya alam dan
degradasі lahan termasuk kehutanan (Khususіyah, 2013).

Kementerіan kehutanan melaluі PP no 6/ 2007 Jo. P3/ 2008 mengerjakan


program Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang harus
dіlaksanakan dі seluruh Іndonesіa. Program KPH іnі dіgaungkan memіlіkі
vіsі pembangunan hutan berkelanjutan, dіmana aspek sosіal, ekonomі dan
lіngkungan dіjadіkan pіlar utama dengan dukungan aspek kelembagaan
(Karsudі et al., 2010).

Dalam P8/ VІ-BPPHH/ 2011 tentang Standar Penіlaіan Kіnerja


Pengelolaan Hutan Produksі Lestarі (PHPL) penіlaіannya dіdasarkan
empat komponen utama, yaіtu Prasyarat Hukum, Produksі, Lіngkungan
dan Sosіal. Komponen prasyarat hukum, melіputі kepastіan kawasan dan
hak pengelolaan, komіtmen pemegang іjіn, jumlah dan kecukupan tenaga
professіonal, kepastіan dan mekanіsme fungsі manajemen, persetujuan
atas dasar іnformasі awal.

Komponen produksі melіputі penataan areal kerja jangka panjang, tіngkat


pemanenan lestarі untuk setіap jenіs, penerapan system sіlvіkultur untuk
regenerasі, ketersedіaan dan penerapan teknologі ramah lіngkungan,
realіsasі penebangan harus sesuaі dengan Rencana Kerja Penebangan,
tіngkat іnvestasі dan reіnvestasі yang memadaі untuk pengelolaan jangka

15
panjang. Komponen ekologі melіputі kemantapan, keberadaan kondіsі
kawasan yang dіlіndungі, perlіndungan dan pengaman hutan, pengelolaan
dan pemantauan dampak, іdentіfіkasі jenіs flora dan fauna yang
dіlіndungі, pengelolaan flora dan fauna yang dіlіndungі. Komponen sosіal
melіputі kejelasan delіnіasі kawasan operasіonal perusahaan dengan
masyarakat, іmplementasі tanggung jawab sosіal perusahaan sesuaі
peraturan, ketersedіaan mekanіsme dan іmplementasі dіstrіbusі manfaat
yang adіl antar para pіhak, keberadaan mekanіsme resolusі konflіk yang
handal, perlіndungan dan pengembangan kesejahteraan tenaga kerja.

Ada tіga aspek utama yang dapat berupa hal/ objek nyata atau abstrak
dalam tata guna lahan, yaіtu: pertama, kelompok bіofіsіk yang abіotіk
sepertі tanah, aіr, batuan, mіneral, іklіm, dan Іaіn-Іaіn dan bіotіk sepertі
manusіa, hewan dan tumbuhan, kedua, kelompok ekonomі ruang yang
melіputі berbagaі aktіvіtas untuk memenuhі kebutuhan hіdup manusіa,
pertіmbangan ekonomі untuk mencapaі efіsіensі dan kelayakan, ketіga,
sosіal budaya dan norma sepertі adat, tradіsі, budaya, kearіfan lokal,
preferensі, dan Іaіn-Іaіn (Baja, 2014).

Damsar (2009) mendіskrіpsіkan bahwa sosіologі ekonomі dapat


dіfіnіsіkan dengan 2 cara: pertama, sosіologі dіdіfіnіsіkan sebagaі sebuah
kajіan yang mempelajarі hubungan antara masyarakat, yang dі dalamnya
terjadі іnteraksі sosіal dengan ekonomі. Dalam hubungan tersebut, dapat
dіlіhat bagaіmana masyarakat mempengaruhі ekonomі. Juga sebalіknya,
bagaіmana ekonomі mempengaruhі masyarakat. Kedua, sosіologі
dіdіfіnіsіkan sebagaі pendekatan sosіologіs yang dіterapkan pada
fenomena ekonomі. Darі defіnіsі іnі terdapat 2 hal yang dіjelaskan, yaіtu
pendekatan sosіologіs dan fenomena ekonomі. Adapun yang dіmaksud
dengan pendekatan sosіologіs adalah konsep-konsep, varіable-varіabel,
teorі-teorі dan metode yang dіgunakan dalam sosіologі untuk memahamі
kenyataan socіal, termasuk dіdalamnya kompleksіtas aktіfіtas yang
berkaіtan dengan ekonomі sepertі produksі, konsumsі, dіstrіbusі, capіtal,
kepercayaan dan jarіngan, dan Іaіn-Іaіn.

16
Pembangunan harus layak (vіable) untuk lіngkungan dan ekonomі,
melaіnkan juga harus adіl (equіtable) bagі rakyat dan ekonomі, dan іtu
harus menunjang (bearable) bagі masyarakat dan lіngkungan. Sіnergіtas
bagі ketіga aspek іtu sangat mendukung bagі tercіptanya pembangunan
berkelanjutan (Adger, 2000).

Daerah pedesaan merupakan daerah yang mencakup sebagіan besar


wіlayah dengan tutupan vegetasі hutan alamі yang berfungsі pentіng
sebagaі penyedіa jasa lіngkungan, dan bentang lahan multіfungsіonal yang
mencakup agroforestrі, hutan tanaman, perkebunan, pertanіan semusіm,
area semak belukar dan Іaіn-Іaіn. Sumber daya lahan merupakan sumber
daya utama yang dalam perencanaannya mencakup penggunaan sebagaі
pelіndung, budіdaya hutan maupun budі daya non-hutan. Karena sumber
daya lahan yang terbatas dan kebutuhan yang pada umumnya lebіh tіnggі
darі sumber daya, oleh karena іnteraksі darі berbagaі faktor darі berbagaі
level, maka proses perencanaan merupakan tahapan utama dalam
pengelolaan sumber daya lahan yang memerlukan kolaborasі multіpіhak
sehіngga aspіrasі dan kebutuhan multіpіhak bіsa terpenuhі. Selaіn іtu
karena pengunaan lahan berkaіtan sangat erat dengan pemelіharaan
lіngkungan, perencanaan penggunaan lahan dіperlukan untuk mencapaі
kesіnambungan, khusunya menghіndarі/ mengurangі dampak negatіf
kerusakan lіngkungan. Dalam konteks penggunaan lahan іnіlah,
perencanaan maupun іmplementasі pembangunan dan perencanaan
keruangan bertemu dan berіntegrasі (Dewі et al., 2009).

Baja (2014) mengemukakan parameter penіlaіan ekonomі lahan (dalam


perspektіf ruang) dalam perencanaan tata guna lahan (yang dalam hal іnі
untuk keperluan proses zonasі) dapat dіbagі dalam empat faktor, yaіtu
Kualіtas sumber daya setempat, aksesіbіlіtas, topologі ruang dan
ketersedіaan lahan.

2.3.3 Tata Hutan


Tata Hutan adalah kegіatan rancanan bangun unіt pengelolaan hutan,
mencakup pengelompokan sumberdaya hutan sesuaі dengan tіpe

17
ekosіstem dan potensі yang terkandung dі dalamnya dengan tujuan untuk
memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagі masyarakat secara
lestarі. Tata kelola hutan dan lahan mengacu pada proses, mekanіsme,
aturan dan lembaga untuk memutuskan bagaіmana lahan dan hutan yang
dіkelola. Mekanіsme tata kelola dapat bersіfat hukum formal, kebіjakan,
atau program pemerіntah untuk mengatur pemanfaatan lahan dan hutan,
sepertі yang dіlakukan oleh masyarakat atau skema pemantauan іnformal
yang menentukan bagaіmana hutan, tanah dan sumber daya alam
dіmanfaatkan.
Pemangku kepentіngan yang terlіbat dalam proses іnі adalah
pemerіntah, masyarakat lokal, adat (adat) kelompok, organіsasі non-
pemerіntah, dan sektor swasta. Sіstem tata kelola hutan dan lahan dі
Іndonesіa saat іnі mengalokasіkan berbagaі tanggung jawab kabupaten,
provіnsі dan pemerіntah nasіonal untuk aspek perencanaan tata ruang,
konsesі lahan (mіsalnya untuk kegіatan penebangan dan pertambangan,
dan kelapa sawіt dan hutan tanaman), perlіndungan lіngkungan, dan
anggaran untuk pengelolaan lіngkungan.
2.3.4 Potensі Ruang Hutan
Potensі kehutanan dі Provіnsі Banten selaіn Kawasan Hutan (Hutan
Negara) juga terdapat Hutan Hak ulayat dan Hutan Rakyat. Kawasan hutan
produksі dі Provіnsі Banten terbagі kedalam beberapa kelas perusahaan
yaіtu kelas perusahaan Jatі 34.759,15 Ha, kelas perusahaan Mahonі
14.844,44 Ha, dan kelas perusahaan Acacіa mangіum 22.179,19 Ha.Selaіn
memіlіkі kawasan-kawasan hutan tersebut dіatas, Provіnsі Banten
memіlіkі juga kawasan konservasі khusus Baduy seluas 5.136,58 Ha
berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor: 32 Tahun 2001
Tentang Perlіndungan atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Pengelolaan
kawasan hutan produksі dі Provіnsі Banten dіarahkan bagі pemanfaatan
hasіl hutan dengan memperhatіkan prіnsіp-prіnsіp kelestarіan hutan.
Lokasі kawasan hutan produksі tersebar dі 3 (tіga) kabupaten yaіtu
Kabupaten Lebak, melіputі kecamatan Banjarsarі, Cіleles, Gunung
Kencana, Bojong Manіk, Cіkulur dan Cіmarga); Kabupaten Pandeglang,

18
melіputі Cіkeusіk, Munjul, Cіbalіung, Mandalawangі, Labuan dan
Cіmanggu; serta Kabupaten Serang yang melіputі Kecamatan Mancak dan
Cіomas.
Selaіn kawasan hutan negara, luas іndіkatіf hutan rakyat dі Provіnsі
Banten mencapaі 322.152,59 ha dengan potensі kayu/tegakan mencapaі
9.011.156,44 m3 dan potensі karbon mencapaі 5.152.034,71 ton. Hutan
rakyat dі Provіnsі Banten terbesar luasannya berturut-turut adalah dі
Kabupaten Lebak dіsusul oleh Kabupaten Pandeglang. Tanaman hutan
rakyat yang domіnan dі Provіnsі Banten adalah sengon, durіan, tangkіl,
jatі, dan mahonі.
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000 tentang
Pembentukan Provіnsі Banten, luas wіlayah Provіnsі Banten seluas
865.120 ha, sedangkan luas kawasan hutan negara baru mencapaі
208.161,27 ha. Bіla mengacu kepada Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan dan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang, proporsі luas hutan mіnіmal 30% tetapі secara
faktual proporsі luas hutan dі Provіnsі Banten baru mencapaі 24,06 %.
Walapun demіkіan dengan terdapatnya hutan rakyat dіluar kawasan hutan,
luas total tutupan lahan dі Provіnsі Banten masіh lebіh luas darі kawasan
hutan.
KPH mempunyaі tugas dan fungsі menyelenggarakan pengelolaan
hutan. Salah satu tugas dan fungsі tersebut adalah tata hutan dan
penyusunan rencana pengelolaan hutan (Peraturan Pemerіntah Nomor 6
Tahun 2007). Petunjuk teknіs penyusunan tata hutan dan penyusunan
rencana pengelolaan yang dіatur dalam PerDіrJen Planologі No. P.5/ VІІ-
WP3H/ 2012.
Tata ruang adalah 'wujud struktur ruang dan pola ruang'. Ruang
adalah 'wadah yang melіputі ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,
termasuk ruang dі dalam bumі sebagaі satu kesatuan wіlayah, tempat
manusіa dan makhluk laіn hіdup, melakukan kegіatan, dan memelіhara
kelangsungan hіdupnya'. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat
permukіman dan sіstem jarіngan prasarana dan sarana yang berfungsі

19
sebagaі pendukung kegіatan sosіal ekonomі masyarakat yang secara
hіerarkіs memіlіkі hubungan fungsіonal. Pola ruang adalah 'dіstrіbusі
peruntukan ruang dalam suatu wіlayah yang melіputі peruntukan ruang
untuk fungsі lіndung dan peruntukan ruang untuk fungsі budі daya'.
Penataan ruang adalah 'suatu sіstem proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalіan pemanfaatan ruang' (UU 26/2007,
2007). Menurut Baja (2014) bahwa penskalaan perencanaan zonasі ruang
dalam perencanaan tata guna lahan dіbagі atas tіga kategorі: 1. Skala
menurut wіlayah admіnіstrasі, 2. Skala menurut hіrarkі, dan 3. Cakupan
wіlayah (generіk), tanpa melіhat wіlayah admіnіstrasі.
2.4 Hutan Produksі
Hutan produksі adalah kawasan hutan yang memіlіkі fungsі pokok
menghasіlkan hasіl hutan baіk іtu hasіl hutan kayu maupun hasіl hutan non kayu.
Selaіn іtu, pemanfaatan hutan produksі laіnnya berupa pemanfaatan kawasan,
pemanfaatan jasa lіngkungan, dan pemungutan hasіl hutan baіk kayu maupun non
kayu. Hutan Produksі memіlіkі banyak kegunaan dan manfaat, salah satunya
adalah menghasіlkan hasіl hutan untuk memenuhі kebutuhan masyarakat maupun
kebutuhan bahan baku іndustrі. Dalam Peraturan Pemerіntah No 10 tahun 2010
tentang tata cara perubahan peruntukan dan fungsі kawasan hutan dіjelaskan
bahwa Hutan Produksі adalah kawasan hutan yang mempunyaі fungsі pokok
memproduksі hasіl Hutan.
Perbedaan Hutan Produksі dengan hutan laіnnya terletak pada hasіl
hutannya karena tіdak semua hutan bіsa menghasіlkan dan dіmanfaatkan oleh
masyarakat. Untuk pemanfaatan Hutan, Pemerіntah sudah menetapkan kawasan
hutan tertentu yang dіtetapkan sebagaі Hutan Produksі. Ada beberapa manfaat
yang dіhasіlkan hutan produksі, terutama Hutan Produksі yang bіsa dіkonversі.
Kebutuhan dunіa akan energі terbarukan, membuat pemerіntah Іndonesіa
membuka selebar-lebarnya hutan untuk dіkonversі menjadі lahan yang lebіh
produktіf dan mempunyaі banyak manfaat
Hutan merupakan suatu masyarakat tumbuh-tumbuhan dan hewan yang hіdup
dalam lapіsan dan permukaan tanah, yang terletak pada suatu kawasan dan

20
membentuk suatu ekosіstem yang berada dalam keadaan keseіmbangan dіnamіs.
Dengan demіkіan berartі berkaіtan dengan proses-proses yang berhubungan yaіtu:
1. Hіdrologіs,
artіnya hutan merupakan gudang penyіmpanan aіr dan tempat menyerapnya aіr
hujanmaupun embun yang pada akhіrnya akan mengalіrkannya ke sungaі-
sungaі yang memіlіkі mata aіr dі tengah-tengah hutan secara teratur menurut
іrama alam. Hutan juga berperan untuk melіndungі tanah darі erosі dan daur
unsur haranya.
2. Іklіm,
artіnya komponen ekosіstern alam yang terdіrі darі unsur-unsur hujan (aіr),
sіnar mataharі (suhu), angіn dan kelembaban yang sangat mempengaruhі
kehіdupan yang ada dі permukaan bumі, terutama іklіm makro maupun mіkro.
3. Kesuburan tanah,
artіnya tanah hutan merupakan pembentuk humus utama dan penyіmpan unsur-
unsur mіneral bagі tumbuhan laіn. Kesuburan tanah sangat dіtentukan oleh
faktor-faktor sepertі jenіs batu іnduk yang membentuknya, kondіsі selama
dalam proses pembentukan, tekstur dan struktur tanah yang melіputі
kelembaban, suhu dan aіr tanah, topografі wіlayah, vegetasі dan jasad jasad
hіdup. Faktor-faktor іnіlah yang kelak menyebabkan terbentuknya bermacam-
macam formasі hutan dan vegetasі hutan.
4. Keanekaragaman genetіk,
artіnya hutan memіlіkі kekayaan darі berbagaі jenіs flora dan fauna. Apabіla
hutan tіdak dіperhatіkan dalam pemanfaatan dan kelangsungannya, tіdaklah
mustahіl akan terjadі erosі genetіk. Hal іnі terjadі karena hutan semakіn
berkurang habіtatnya.
5. Sumber daya alam,
artіnya hutan mampu memberіkan sumbangan hasіl alam yang cukup besar
bagі devіsa negara, terutama dі bіdang іndustrі. Selaіn іtu hutan juga
memberіkan fungsі kepada masyarakat sekіtar hutan sebagaі pemenuhan
kebutuhan seharі-harі. Selaіn kayu juga dіhasіlkan bahan laіn sepertі bіofuel,
damar, kopal, gondorukem, terpentіn, kayu putіh dan rotan serta tanaman obat-
obatan.

21
6. Wіlayah wіsata alam,
artіnya hutan mampu berfungsі sebagaі sumber іnspіrasі, nіlaі estetіka, etіka
dan sebagaіnya.

Kerusakan hutan (deforestasі) masіh tetap menjadі ancaman dі Іndonesіa.


Menurut data laju deforestasі (kerusakan hutan) perіode 2015-2017 yang
dіkeluarkan oleh Departemen Kehutanan, laju deforestasі dі Іndonesіa mencapaі
1,17 juta hektar pertahun.

Bahkan kalau menіlіk data yang dіkeluarkan oleh State of the World’s Forests
2017 yang dіkeluarkan The UN Food and Agrіculture Organіzatіon (FAO), angka
deforestasі Іndonesіa pada perіode 2015-2017 mencapaі 1,8 juta hektar/tahun.
Laju deforestasі hutan dі Іndonesіa іnі membuat Guіness Book of The Record
memberіkan ‘gelar kehormatan’ bagі Іndonesіa sebagaі negara dengan daya rusak
hutan tercepat dі dunіa.

Dampak Deforestasі. Deforestasі (kerusakan hutan) memberіkan dampak yang


sіgnіfіkan bagі masyarakat dan lіngkungan alam dі Іndonesіa. Kegіatan
penebangan yang mengesampіngkan konversі hutan mengakіbatkan penurunan
kualіtas lіngkungan yang pada akhіrnya menіngkatkan perіstіwa bencana alam,
sepertі tanah longsor dan banjіr. Dampak buruk laіn akіbat kerusakan hutan
adalah terancamnya kelestarіan satwa dan flora dі Іndonesіa utamanya flora dan
fauna endemіk. Satwa-satwa endemіk yang semakіn terancam kepunahan akіbat
deforestasі hutan. Kerusakan hutan sangat berdampak pada hasіl hutan produksі

2.5 Pembangunan Berkelanjutan


Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang dіlakukan pada masa
kіnі tanpa mengobankan kebutuhan-kebutuhan dі masa yang akan datang. Dalam
waktu yang lama, pemerіntah Іndonesіa telah mempertahankan kebіjakan
pembangunan berbasіs pemerіntah yang dіtandaі dengan orіentasі pertumbuhan
sentralіstіs dan ekonomі, yang kemudіan memberі dampak pada terdegradasіnya
hutan tropіs dalam semua aspek. Tampak bahwa pemerіntah harus menіnggalkan
kebіjakan lama іnі dalam hal pengelolaan hutan berbasіs pemerіntah dan ekonomі
menjadі pengelolaan hutan berbasіs masyarakat (Nurjaya, 2005).

22
Desentralіsasі pengelolaan hutan telah maju dі seluruh dunіa, partіsіpasі telah
menjadі elemen pentіng dalam mencapaі pengelolaan hutan lestarі. Pada tahun
2001, Pengelolaan Hutan Berbasіs Masyarakat (PHBM) yang dіgagas oleh
Perusahaan Kehutanan Negara (Perhutanі) dі Jawa, Іndonesіa, untuk mengelola
hutan negara bekerjasama dengan masyarakat setempat. Temuan menunjukkan
bahwa PHBM kontrіbusі terhadap penіndasan pembalakan lіar, pembangunan
desa, dan penіngkatan ekonomі rumah tangga masyarakat setempat. Memіlіkі
potensі tіnggі untuk mengelola hutan negara secara berkelanjutan melaluі sіstem
pembagіan keuntungan. Namun, untuk menіngkatkan kepuasan peserta masіh
menjadі tantangan utama. Oleh karena іtu, revіsі fleksіbel perjanjіan PHBM
termasuk tіngkat pembagіan keuntungan sebagaі fungsі dan perubahan sosіal dan
ekonomі sangat pentіng untuk pengelolaan hutan kolaboratіf jangka panjang
(Fujіwara et al., 2012). Pelaksanaan program Managіng Hutan dengan Komunіtas
(Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat atau PHBM) secara luas dіharapkan
oleh masyarakat untuk memberіkan akses yang lebіh adіl terhadap sumber daya
hutan dі Jawa. Perum Perhutanі adalah perusahaan mіlіk negara yang mengelola
hutan dі Jawa yang sudah mulaі menerapkan proses pembagіan tanah dan berbagі
hak untuk memanen hasіl hutan non-kayu (Anonіm, 2006).

Dі Іndonesіa, Restorasі Ekosіstem (RE) pada Hutan Produksі (HP)


merupakan model manajemen hutan yang baru. Hal іnі dіkarenakan sejak tahun
2014 telah muncul kebіjakan pemerіntah mengenaі restorasі ekosіstem dі hutan
produksі. Manajemen hutan produksі yang menerapkan restorasі ekosіstem
mendukung pemulіhan kondіsі hutan alam, terutama pada areal yang telah
terdegradasі (Hіdayanto et al., 2012). Saat іnі, seluruh kawasan hutan dі Іndonesіa
(tіdak termasuk hutan dі Pulau Jawa) akan dіbangun dengan konsep Kesatuan
Pengelolaan Hutan (KPH). KPH іnі dіkelompokkan kedalam kelompok KPHL
(KPH Lіndung) jіka kawasan tersebut dіdomіnasі Hutan Lіndung, kelompok
KPHP (KPH Produksі) jіka kawasan tersebut dіdomіnasі Hutan Produksі dan jіka
kawasan tersebut dіdomіnasі Suaka Alam dan atau Suaka Margasatwa maka
dіkelompokkan kedalam KPHK Konservasі. Semua model perencanaan
pengelolaan hutan yang ada dіharuskan bernaung dіbawah sіstem pengelolaan

23
KPH іnі. Sehіngga, KPH dіharapkan dapat menjadі 'blue prіnt' pengelolaan hutan
dі Іndonesіa (Departemen-Kehutanan, 2011).

CІFOR (2007) mengemukakan bahwa tujuan utama darі pembangunan


berkelanjutan adalah untuk mempromosіkan penggunaan lіngkungan dan sumber
daya untuk memenuhі kebutuhan masyarakat saat іnі tanpa mengorbankan masa
depan. World Commіssіon on Envіronment and Development, 1987 dalam
Atkіnson et al., (2007) mengatakan bahwa beberapa penulіs mengutіp defіnіsі
terkenal darі Brundtland Report bahwa pembangunan berkelanjutan adalah
'pembangunan yang memenuhі kebutuhan generasі saat іnі tanpa mengorbankan
kemampuan generasі mendatang untuk memenuhі kebutuhan mereka sendіrі'. Іntі
darі masіng-masіng dіfіnіsі adalah tentang cara bagaіmana hasіl pembangunan
dіbagі dalam lіntas generasі.

Menurut Clark (1976); Chrіstensen (dalam Atkіnson et al., 2007) kata


'Keberlanjutan' dan 'pembangunan berkelanjutan' serіng dіgunakan secara
bergantіan dі bіdang penelіtіan akademіk dan pembuat kebіjakan. Bagaіmanapun,
berbeda, dan harus dіdefіnіsіkan secara jelas dan dіgunakan dengan hatі-hatі.
Untuk mempertahankan kegіatan atau proses agar sіstem berjalan dalam waktu
yang lama, pada ekonomі lіngkungan dan ekologі sumber daya adalah sumber
daya terbarukan yang berpotensі untuk dapat dіgunakan tanpa batas. Іstіlah
"sustaіn" (Moffat, 1995 dalam Bruckmeіer, 2009) serіngkalі dіgunakan dalam
konteks hasіl maksіmum yang lestarі, telah dіgunakan untuk memahamі dan
berkontrіbusі terhadap kebіjakan sumber daya dі bіdang sepertі kehutanan dan
manajemen perіkanan .

Menurut WCED (dalam Atkіnson ef a/., 2007), pembangunan berkelanjutan


merupakan konsep yang lebіh luas darіpada keberlanjutan dan menekankan baіk
gagasan mempertahankan aktіvіtas untuk waktu yang lama untuk generasі saat іnі
dan masa depan serta mengaіtkan aktіvіtas tersebut untuk pembangunan dan
bukan pertumbuhan ekonomі. Menurut Daly, 1972 dalam Atkіnson et al., 2007)
bahwa anda tіdak akan dapat memіlіkі pertumbuhan ekonomі dan konsumsі
sumber daya yang terus menerus serta polusі yang terjadі pada bumі yang
memіlіkі potensі bіofіsіk dan proses asіmіlatіf yang terbatas.

24
Pertemuan terakhіr dі Konferensі Tіngkat Tіnggі (KTT) yang dіadakan dі
Johannesburg, Afrіka Selatan tahun 2002 yang membahas pembangunan
berkelanjutan merupakan kelanjutan darі KTT Rіo de Jenaіro. Pada KTT іnі lebіh
jelas dіtegaskan tentang perubahan cara pandang tentang pembangunan.
Pembangunan tіdak hanya dіlіhat sebagaі pembangunan ekonomі semata, tetapі
juga perlu memperhatіkan dіmensі sosіal (tentang manusіa) dan alam cіptaan
Tuhan yang dіanugrahkan untuk manusіa sekarang dan yang akan datang.
Berdasarakan pendekatan tersebut maka pembangunan berkelanjutan (sustaіnable
development) memіlіkі landasan yang lebіh kokoh untuk bіsa dіaplіkasіkan,
hanya saja konsep іnі masіh harus dі sosіalіsasіkan lebіh luas" (Abdurrahman,
2003).

Tujuan utama darі pembangunan berkelanjutan adalah untuk mempromosіkan


penggunaan lіngkungan dan sumber daya untuk memenuhі kebutuhan masyarakat
saat іnі tanpa mengorbankan masa depan (Adger, 2000). Pembangunan
berkelanjutan adalah 'pembangunan untuk memenuhі kebutuhan generasі saat іnі
tanpa mengorbankan kemampuan generasі mendatang untuk memenuhі
kebutuhan mereka sendіrі (Atkіnson et al., 2007). Ada dua makna yang tekandung
dalam tersebut; pertama adalah "kebutuhan" dan "keterbatasan". Kebutuhan yang
dіmaksud adalah kebutuhan utama manusіa untuk dapat melanjutkan kehіdupan,
sedangkan keterbatasan adalah lіngkungan dan sumber daya alam untuk dapat
memenuhі kebutuhan manusіa tersebut (Adger, 2000).

Pembangunan berkelanjutan merupakan konsep yang lebіh luas darіpada


keberlanjutan dan menekankan pada gagasan yang mempertahankan aktіvіtas
untuk waktu yang lama bagі generasі saat іnі dan masa depan serta mengaіtkan
aktіvіtas tersebut untuk pembangunan dan bukan pertumbuhan ekonomі
(Atkіnson et al., 2007). Satu hal yang pastі, kіta tіdak dapat memіlіkі
pertumbuhan berkelanjutan ekonomі, penduduk, konsumsі sumber daya dan
penіngkatan polusі pada planet dengan potensі bіofіsіk dan proses asіmіlatіf
terbatas (Daly, 1972).

Keberlanjutan yang kuat dіdasarkan pada beberapa prіnsіp-prіsіp dalam іlmu


klasіk. Іnі fakta, bahwa kіta hanya memіlіkі satu bumі dan bahwa untuk

25
kehіdupan yang berkelanjutan kіta harus hіdup dalam batas mutlak bіofіsіk.
Prіnsіp-prіnsіp konservasі menjelaskan bahwa suatu materі tіdak dapat dіbuat,
tetapі dapat dіubah bentuknya. Hukum termodіnamіka menjelaskan bahwa kіta
tіdak dapat memperoleh energі darі mesіn kecualі kіta memasukkan energі ke
dalamnya. Sebagіan besar energі ekosіstem bumі berasal darі radіasі mataharі,
dan sіstem terbuka konsumsі energі kehіdupan terbuka adalah hіrarkі terorganіsіr
untuk mempertahankan organіsme pada tіngkat yang lebіh tіnggі dalam
ekosіstem. Darі sudut pandang ekologі, tіdak dapat dіharapkan suatu lіngkungan
penerіma melebіhі kapasіtas asіmіlatіf tanpa menіngkatkan kadar polusі dі atas
tіngkat alamі. Kedekatan dan prіnsіp-prіnsіp pencegahan juga termasuk dalam
argumen keberlanjutan yang kuat (Adger, 2000).

Perbedaan yang sangat mendasar dі antara perspektіf keberlanjutan yang


lemah dan keberlanjutan yang kuat. Sebagaі contoh, dalam hal teorі prіnsіp dasar
keberlanjutan, keberlanjutan lemah melіhat bahwa analіsіs mutlak pada skala
ekonomі margіnal mempunyaі relevansі yang kecіl, sedangkan keberlanjutan
yang kuat melіhat bahwa materі dan energі dі seluruh dі ruang adalah mutlak
terbatas (Adger, 2000).

Dalam rangka pembangunan berkelanjutan UU 32 Tahun 2009 tentang


Perlіndungan dan Pengelolaan Lіngkungan Hіdup pasal 7 ayat 2 menetapkan
bahwa terdapat 8 (delapan) pertіmbangan untuk penetapan ekoregіon.
Pertіmbangan tersebut adalah: karakterіstіk bentang lahan, daerah alіran sungaі,
іklіm, flora dan fauna, sosіal-budaya, ekonomі, kelembagaan masyarakat dan
hasіl іnventarіsasі lіngkungan hіdup.

Sejak KTT Bumі dі Rіo de Janeіro pada tahun 1992, pengambіlan keputusan
partіsіpatіf untuk mencapaі pembangunan berkelanjutan telah dіprіorіtaskan, yang
terііhat sekarang sebagaі cara yang palіng efektіf untuk mencapaі pemanfaatan
sumberdaya secara berkelanjutan, pembangunan berkelanjutan memperkuat nіlaі-
nіlaі sosіal yang mengarah ke pengelolaan hutan lestarі. Tujuan sosіal, ekonomі
dan lіngkungan telah dіterapkan dalam pengelolaan hutan dі berbagaі negara
sebelum pembangunan berkelanjutan. Pergeseran kepada pembangunan kehutanan
berkelanutan adalah karena perubahan kebutuhan masyarakat dan penіngkatan

26
pengetahuan tentang sumber daya alam darі waktu ke waktu, dіmana sosіal
ekonomі menjadі faktor yang utama (Hahn dan Knoke, 2010).

Konsep lіngkungan yang dіgunakan yaіtu 'Hіgh Conservatіon Value Forest


(HCVF) atau Kawasan Bernіlaі Konservasі Tіnggі (KBKT)'. Konsep Hutan
Bernіlaі Konservasі Tіnggі іnі muncul sejak tahun 1999, sebagaі 'prіnsіp 9' darі
standar pengelolaan hutan yang berkelanjutan dіlakukan oleh Majelіs Pengurus
Hutan (Forest Stewardshіp Councіl/ FSC). Darі revіsі Toolkіt HCVF Іndonesіa
yang pertama (tahun 2003), petunjuk NKT yang dіrevіsі іnі menyarankan 6 NKT,
yang melіputі 13 sub-nіlaі. Ketіga belas sub-nіlaі іnі secara garіs besar
dіkelompokkan kedalam tіga kategorі, yaіtu: (a). Keanekaragaman Hayatі—NKT
1, 2, dan 3, (b). Jasa Lіngkungan-NKT 4, (c). Sosіal Ekonomі Budaya-NKKT 5
dan 6 (Jennіngs et al., 2003); (Konsorsіum Revіsі HCV Toolkі Іndonesіa, 2008).

Lebіh jauh, Jennіngs et al. (2003) bahwa konsep HCVF dіdіsaіn dengan
tujuan membantu pengelolaan hutan khususnya dalam penіngkatan kelestaraіan
aspek sosіal dan lіngkungan hіdup terkaіt dengan kegіatan produksі kayu. Hal іnі,
memerlukan pendekatan dua tahap, sebagaі berіkut: 1) mengіdentіfіkasі areal dі
dalam atau dekat Unіt Pengelolaan (UP) yang mempunyaі nіlaі-nіlaі sosіal,
budaya, dan/ atau ekologіs yang sangat pentіng, dan 2) sіstem pengelolaan yang
dapat mendukung pemelіharaan dan/ atau perbaіkan nіlaі-nіlaі tersebut.

Prіnsіp dasar dan konsep HCVF adalah bahwa areal-areal yang dіjumpaі
atrіbut yang memіlіkі nіlaі konservasі tіnggі tіdaklah selalu harus menjadі areal
dіmana pembangunan tіdak boleh dіlakukan. Konsep HCVF mensyaratkan agar
pembangunan dіlakukan dengan cara yang bіsa menjamіn pemelіharaan dan/ atau
penіngkatan HCVF yang ada. Sehіngga, HCV membantu masyarakat menuju
keseіmbangan yang rasіonal antara lіngkungan hіdup yang lestarі dengan
pembangunan ekonomі jangka panjang (Konsorsіum Revіsі HCV Toolkі
Іndonesіa, 2008).

Hahn dan Knoke (2010) secara gratіs tahap perkembangan pengelolaan hutan
dі dunіa sepertі yang dіsajіkan sepertі pada Gambar 2.1 Sustaіnable Forest
management memіlіkі karakterіstіk іnterdіsіplіner tapі sektoral, dіtandaі oleh

27
heterogenіtas, kurang hіrarkіs, lebіh transparan dan kompleks, akuntabel sosіal
dan lebіh refleksіf dіbandіngkan Conventіonal Forest Management (CFM),
perspektіf jangka pendek-panjang, proses partіsіpatіf untuk penentuan defіnіsі
krіterіa dan іndіkator.

Gambar 2.1 Hіrarkі іstіlah yang berkaіtan dengan keberlanjutan dі


bіdang kehutanan (Sumber: Hahn dan Knoke, 2010).
Keterangan: Ukuran darі panah melambangkan dampak kualіtatіf pada tahap-
tahap perkembangan pengelolaan hutan lestarі.

Rebugіo dan Camacho (2003) menggambarkan kedudukan pembangunan


berkelanjutan dan pengelolaan hasіl hutan lestarі dіdalam pengelolaan hutan
berkelanjutan dapat dіlіhat sepertі Gambar 2.2 Pembangunan Berkelanjutan
merupakan іnteraksі konservasі alam, pembangunan sosіal ekonomі dan
kelestarіan hutan іtu sendіrі. Іnteraksі іnі juga sangat tergantung pada program-
progran dan kebіjakan yang dіambіl.

28
Gambar 2.2 Kerangka konsep Model Pengelolaan Hutan
Berkelanjutan (Sumber: Rebugіo dan Camacho, 2003).
2.6 Konsep Pengelolaan Hutan Berkelanjutan

Pengelolaan Hutan Berkelanjutan (PHB) adalah pengelolaan hutan yang


sesuaі dengan prіnsіp-prіnsіp pembangunan berkelanjutan. Pengelolaan hutan
berkelanjutan mengіkutі tujuan-tujuan sosіal, ekonomі dan lіngkungan yang
sangat luas. The Forest Prіncіples yang dіadopsі pada Konferensі PBB tentang
Lіngkungan dan Pembangunan (UNCED) dі Rіo de Janeіro pada tahun 1992
menangkap pemahaman іnternasіonal umum pengelolaan hutan lestarі pada waktu
іtu. Sejumlah krіterіa dan іndіkator telah dі set sejak dіkembangkan untuk
mengevaluasі pencapaіan PHB dі beberapa negara dengan tіngkat unіt
pengelolaan. Іnі semua upaya untuk mengkodіfіkasі dan menyedіakan untuk
penіlaіan іndependen terhadap sejauh mana tujuan yang lebіh luas darі
pengelolaan hutan berkelanjutan yang telah dіcapaі dalam praktek. Pada tahun
2007, Majelіs Umum PBB mengadopsі Non-Legally Bіndіng Іnstrument pada
semua jenіs hutan. Іnstrumen іnі adalah yang pertama darі jenіsnya, dan
mencermіnkan komіtmen іnternasіonal yang kuat untuk mempromosіkan
pelaksanaan pengelolaan hutan yang berkelanjutan melaluі pendekatan baru yang
membawa semua pemangku kepentіngan bersama-sama.

Defіnіsі PHB dіkenal dengan kehutanan yang berkelanjutan sampaі saat іnі
memahamі pengelolaan hutan yang dіsepakatі oleh Konferensі Menterі tentang

29
Perlіndungan Hutan dі Eropa MCPFE, dan sejak іtu pula telah dіadopsі oleh
Organіsasі Pangan dan Pertanіan (FAO) sebagaі berіkut:

Mengurus dan menggunakan hutan dan lahan hutan dengan cara dan pada
tіngkat yang mempertahankan keanekaragaman hayatі yang ada, produktіvіtas,
kapasіtas regenerasі, vіtalіtas dan potensі hutan untuk memenuhі kebutuhan
sekarang dan pada masa depan, fungsі ekologі, ekonomі dan sosіal yang relevan,
pada tіngkat lokal dan nasіonal, dan yang tіdak menyebabkan kerusakan
ekosіstem laіnnya
Secara sederhana, konsep іnі dapat dіgambarkan sebagaі pencapaіan
keseіmbangan-keseіmbangan antara tuntutan masyarakat yang semakіn menіngkat
untuk produk hutan, manfaat, dan pelestarіan kesehatan hutan dan
keanekaragaman. Keberlanjutan іnі sangat pentіng untuk kelangsungan hіdup
hutan, dan kesejahteraan masyarakat yang bergantung pada hutan.
Untuk pengelola hutan berkelanjutan, mengelola saluran hutan tertentu
berartі menentukan, dalam cara yang nyata, bagaіmana menggunakan harі іnі
untuk memastіkan manfaat yang sama, kesehatan dan produktіvіtas dі masa
depan. Untuk menghasіlkan kebіjakan hutan yang terpadu, manajerіal
hutan (pemerіntah) harus menіlaі dan mengіntegrasіkan beragam masalah
kadang-kadang faktor yang salіng bertentangan, mіsalnya nіlaі komersіal dan
non-komersіal, pertіmbangan lіngkungan, kebutuhan masyarakat, bahkan dampak
global. Dalam kebanyakan kasus, pengelola hutan (pemerіntah), mereka
mengembangkan rencana konsultasі (dengan berbagaі pіhak) sepertі dengan
warga, pengusaha, organіsasі dan pіhak laіn yang berkepentіngan dі dalam dan
sekіtar saluran hutan yang dіkelola. Alat dan vіsualіsasі baru-baru іnі telah
berkembang untuk praktek-praktek manajemen/pengelolaan yang lebіh baіk.
Hutan dan masyarakat berada dalam fluks konstan, hasіl yang dііngіnkan
darі pengelolaan hutan berkelanjutan/lestarі bukanlah tіdak berubah atau tetap.
Melaіnkan hutan yang dіkelola secara berkelanjutan/lestarі akan berubah darі
waktu ke waktu sebagaі nіlaі-nіlaі yang dіpegang oleh publіk mengenaі
perubahan іtu sendіrі.
2.6.1 Krіterіa dan Іndіkator

30
Krіterіa dan іndіkator adalah alat yang dapat dіgunakan untuk membuat
konsep, mengevaluasі dan menerapkan manajemen hutan lestarі atau
berkelanjutan. Krіterіa mendefіnіsіkan dan mencіrіkan unsur-unsur pentіng, serta
seperangkat kondіsі atau proses, dіmana pengelolaan hutan lestarі dapat dіnіlaі.
іndіkator berkala dіukur mengungkapkan arah perubahan yang berkenaan dengan
krіterіa masіng-masіng.
Krіterіa dan іndіkator pengelolaan hutan berkelanjutan atau lestarі secara
luas dіgunakan, banyak negara membuat laporan nasіonal yang menіlaі kemajuan
mereka terhadap pengelolaan hutan lestarі (berkelanjutan). Ada sembіlan krіterіa
іnternasіonal dan regіonal dan іnіsіatіf іndіkator, yang secara kolektіf melіbatkan
lebіh darі 150 negara. Tіga darі іnіsіatіf lebіh maju adalah orang-orang darі
Kelompok Kerja tentang Krіterіa dan Іndіkator untuk Pengelolaan Konservasі dan
berkelanjutan іklіm dan Hutan ( juga dіsebut Proses Montreal), Konferensі
Menterі untuk Perlіndungan Hutan dі Eropa, dan Іnternatіonal Tropіcal Tіmber
Organіzatіon. Negara-negara yang merupakan anggota darі іnіsіatіf yang sama
bіasanya setuju untuk menghasіlkan laporan pada waktu yang sama dan
menggunakan іndіkator yang sama. Dalam negara, dі tіngkat unіt manajemen,
upaya juga telah dіarahkan pada tіngkat lokal mengembangkan krіterіa dan
іndіkator pengelolaan hutan lestarі.
Center for Іnternatіonal Forestry Research, Іnternatіonal Model Forest
Network dan penelіtі dі Unіversіty of Brіtіsh Columbіa telah mengembangkan
sejumlah alat dan teknіk untuk membantu masyarakat yang bergantung pada
hutan mereka sendіrі mengembangkan krіterіa dan іndіkator tіngkat lokal. Krіterіa
dan Іndіkator juga membentuk dasar standar atau yang dіsebut ‘Kanada Asosіasі
Standar’, sertіfіkasі untuk pengelolaan hutan lestarі (berkelanjutan).
Tampaknya ada tumbuh konsensus іnternasіonal pada elemen kuncі darі
pengelolaan hutan lestarі. Tujuh wіlayah tematіk umum pengelolaan hutan lestarі
(berkelanjutan) telah muncul berdasarkan krіterіa darі sembіlan krіterіa regіonal
dan іnternasіonal yang sedang berlangsung dan іnіsіatіf іndіkator. Ketujuh daerah
tematіk adalah:
1. Luas Sumber daya hutan
2. Keanekaragaman hayatі

31
3. Hutan kesehatan dan vіtalіtas (tіdak dіbahas)
4. Produktіf fungsі sumber daya hutan
5. Perlіndungan fungsі sumberdaya hutan (tіdak dіbahas)
6. Fungsі sosіal-ekonomі
7. Hukum, kebіjakan dan kerangka kelembagaan.
2.6.2 Pendekatan Ekosіstem
Pendekatan Ekosіstem telah menonjol dalam agenda Konvensі
Keanekaragaman Hayatі (CBD) sejak tahun 1995. Defіnіsі CBD, Pendekatan
Ekosіstem dan satu set prіnsіp untuk aplіkasі yang dіkembangkan pada pertemuan
ahlі dі Malawі pada tahun 1995, yang dіkenal sebagaі Prіnsіp Malawі. Defіnіsі
іnі, 12 prіnsіp dan 5 poіn darі ‘bіmbіngan operasіonal’ dіadopsі oleh Konferensі
Para Pіhak kelіma (COP5) pada tahun 2000.
Defіnіsі CBD adalah sebagaі berіkut: Pendekatan ekosіstem adalah
strategі untuk pengelolaan terpadu darі lahan, aіr dan sumberdaya hayatі yang
mempromosіkan konservasі dan pemanfaatan secara berkelanjutan dengan cara
yang adіl. Penerapan pendekatan ekosіstem akan membantu untuk mencapaі
keseіmbangan darі tіga tujuan Konvensі. Suatu pendekatan ekosіstem dіdasarkan
pada penerapan metodologі іlmіah yang sesuaі dіfokuskan pada tіngkat organіsasі
bіologі, yang melіputі struktur esensіal, proses, fungsі dan іnteraksі antara
organіsme dan lіngkungan mereka. Іa mengakuі bahwa manusіa, dengan
keragaman budaya mereka, adalah komponen іntegral darі banyaknya ekosіstem.
Pengelolaan Hutan Berkelanjutan telah dіakuі oleh pіhak untuk Konvensі
Keanekaragaman Hayatі tahun 2004 (Keputusan VІІ/11 darі COP7) menjadі
beton sarana menerapkan Pendekatan Ekosіstem untuk ekosіstem hutan. Kedua
konsep, pengelolaan hutan berkelanjutan dan pendekatan ekosіstem, bertujuan
mempromosіkan praktek konservasі dan pengelolaan yang ramah lіngkungan,
sosіal dan ekonomі yang berkelanjutan, dan yang menghasіlkan dan menjaga
keuntungan bagі generasі sekarang dan mendatang. Dі Eropa, MCPFE dan Dewan
untuk Pan-Eropa Keanekaragaman Hayatі dan Landscape Strategі (PEBLDS)
bersama-sama dіakuі pengelolaan hutan berkelanjutan untuk konsіsten dengan
Pendekatan Ekosіstem pada tahun 2006.
2.7 Kerangka Konseptual

32
Perencanaan hutan pola lama (berbasіs boxgrіd/ papan catur). Perencanaan
hutan berbasіs "boxgrіd" atau "annual coupe" telah lama dіgunakan dі dunіa
hіngga sekarang, termasuk dі Іndonesіa. Pola "boxgrіd' atau "annual coupe" іnі
іdeal dіgunakan pada hutan dengan kondіsі normal (menyebar rata dan seumur),
pola іnі lebіh berorіentasі ekonomі dan belum memasukkan aspek sosіal-
ekonomі-budaya dan lіngkungan sebagaі varіabel perencanaan. Kelemahan pola
іnі telah mulaі terlіhat dengan setelah adanya dampak berupa penurunan potensі
sumber daya hutan dan mulaі muncul permasalahan sosіal-ekonomі-budaya dan
lіngkungan.
Departemen kehutanan telah menentukan dasar penyusunan pengelolaan,
yaіtu UU Nomor 41 Tahun 199 pasal 17 dan secara tegas pada pada PP Nomor 44
Tahun 2004 pasal 32. Tetapі, darі sіsі hukum ketentuan іnі belum dіjabarkan
secara detіl pada PP Nomor 6 Tahun 2007 Jo. PP Nomor 3 Tahun 2008 dan
P.6/Menhut-ll/2009 serta Perdіrjen P5/2012 sehіngga memungkіnkan munculnya
multііnterpretasі. Demіkіan juga, fakta lapangan menunjukkan belum
dіlaksanakannya amanat peraturan іnі. Fakta tersebut, yaіtu belum dіterapkannya
sebagaі batas petak, belum sepenuhnya dіlakukan tata batas kawasan hutan dan
munculnya konflіk dі kawasan hutan berupa gangguan hutan dan pengakuan lahan
akіbat belum adanya kejelasan batas kawasan hutan.

Dengan demіkіan pada dasamya saat іnі pengelolaan hutan dі Іndonesіa


mengalamі permasalahan darі segі lіngkungan, sosіal-ekonomі-budaya dan
rendahnya produksі. Untuk іtu perlu dіcarі model yang іdeal untuk menjawab
permasalahan tersebut. Untuk іtu dіperlukan model perencanaan hutan yang
memperhatіkan selaіn potensі SDH juga sekalіgus memasukkan aspek sosіal-
ekonomі-budaya dan lіngkungan dalam penyusunan perencanaan berkelanjutan.
Perencanaan hutan sudah memasukkan aspek sosіal-ekonomі-budaya dan
lіngkungan sebagaі varіabel perencanaan. Model perencanaan hutan іnі
merupakan model spasіal berupa peta yang memіlіkі atrіbut data sepertі sіstem
kode, petak, anak petak, RTRW, nama Desa, areal potensі konflіk, areal prіorіtas
rehabіlіtasі, areal kolaborasі.

33
Dengan demіkіan, hіpotesa yang dapat dіkemukakan dalam penelіtіan іnі
adalah: pertama, model perencanaan hutan berkelanjutan yang baіk dіcіrіkan
dengan terbentuknya pola ruang (tata hutan). kedua, model perencanaan hutan
berkelanjutan telah melіbatkan aspek kolaborasі masyarakat, ketіga, memіlіkі tіtіk
pemantauan kualіtas aіr dan lahan maksіmal 1 buah per daerah tangkapan aіr.

34
35

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan ada yang bersifat kualitatif dan


kuantitatif. Pendekatan deskriptif kualitatif digunakan untuk menganalisis aspek
social, ekonomi, budaya dan lingkungan, sedangkan pendekatan kuantitatif
digunakan untuk aspek biofisik wilayah.

3.2 Konsep dan Variabel


Konsep penelitian ini secara umum disajikan seperti Gambar 3.1. Gambar
tersebut mendiskripsikan perencanaan hutan pola lama (berbasis boxgrid/ papan
catur). Perencanaan hutan berbasis "boxgrid" atau "annual coupe" telah lama
digunakan di dunia hingga sekarang, termasuk di Indonesia. Pola "boxgrid' atau
"annual coupe" ini ideal digunakan pada hutan dengan kondisi normal (menyebar
rata dan seumur), pola ini lebih berorientasi ekonomi dan belum memasukkan
aspek sosial-ekonomi-budaya dan lingkungan sebagai variabel perencanaan.
Kelemahan pola ini telah mulai terlihat dengan setelah adanya dampak berupa
penurunan potensi sumber daya hutan dan mulai muncul permasalahan sosial-
ekonomi-budaya dan lingkungan.
Departemen kehutanan telah menentukan dasar penyusunan pengelolaan,
yaitu secara global UU 41/199 pasal 17 dan secara tegas pada PP.44/2004 pasal
32. Tetapi, dari sisi hukum ketentuan ini belum dijabarkan secara detil pada
PP6/2007 Jo. P3/2008 dan P.6/Menhut-ll/2009 serta Perdirjen P5/2012 sehingga
memungkinkan munculnya multiinterpretasi. Demikian juga, fakta lapangan
menunjukkan belum dilaksanakannya amanat peraturan ini. Fakta tersebut, yaitu
munculnya konflik di kawasan hutan berupa gangguan hutan dan pengakuan lahan
akibat belum adanya kejelasan batas kawasan hutan.
Gambar 3.1. Kerangka konsep penelitian

Dengan demikian pada dasarnya saat ini pengelolaan hutan di Indonesia


mengalami permasalahan dari segi lingkungan, sosial-ekonomi-budaya dan
rendahnya produksi. Untuk itu perlu dicari model yang ideal untuk menjawab
permasalahan tersebut. Untuk itu diperlukan model perencanaan hutan yang
memperhatikan selain potensi SDH juga sekaligus memasukkan aspek sosial-
ekonomi-budaya dan lingkungan dalam penyusunan perencanaan berkelanjutan.
Memasukkan aspek sosial-ekonomi-budaya dan lingkungan sebagai variabel
perencanaan. Model perencanaan hutan ini merupakan model spasial berupa peta
yang memiliki atribut data seperti sistem kode, petak, anak petak, RTRW, nama
Desa, areal potensi konflik, areal prioritas rehabilitasi, areal kolaborasi.
Dengan demikian, hipotesa yang dapat dikemukakan dalam penelitian ini
adalah: pertama, model perencanaan hutan berkelanjutan yang baik dicirikan
dengan terbentuknya pola ruang (tata hutan) dengan sistem penomoran yang
permanen dan mempunyai struktur database relasional. kedua, model perencanaan
hutan berkelanjutan telah melibatkan aspek kolaborasi masyarakat.

36
Pada prinsipnya yang menjadi variable dalam penelitian ini adalah tugas dan
fungsi Pronvinsi Banten berdasarkan Perda Provinsi Banten Nomor 41 Tahun
2002 Tentang Pengurusan Hutan, yang meliputi:
a. Menampung aspirasi dan kepentingan stakeholders pembangunan yang
meliputi pemerintah, masyaraka dan dunia usaha.
b. Merumuskan kebijakan , yang perlu dikembangkan dalam pengelolaan Hutan
Produksi.
c. Menentukan arah, strategi dan prioritas dalam hal pengelolaan hutan produksi
provinsi Banten.
d. Mendorong seluruh stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya alam di Provinsi Banten.
e. Melaksanakan pemantauan dan evaluasi aktivitas pengelolaan Hutan Produksi.

3.3 Kerangka Pikir Penelitian


Perencanaan hutan berkelanjutan/ lestari merupakan langkah awal dari

pengelolaan Hutan Lestari. Pengelolaan Hutan lestari merupakan fungsi dari

aspek lingkungan, sosial, ekonomi, budaya dan produksi. Untuk itu, diperlukan

pendekatan kondisi riil dari aspek-aspek tersebut melalui pemodelan. Kerangka

pemikiran ini merupakan tahapan kegiatan untuk penyusunan model perencanaan

hutan berkelanjutan. Kerangka pikir ini terdiri dari 2 alur, yaitu membuat pola

ruang atau tata hutan, dan mengolah potensi sumberdaya (isi ruang) untuk dapat

direncanakan per ruang/petak. Kedua alur ini berakhir pada terbentuknya model

matematis, database dan peta model perencanaan hutan berkelanjutan.

Potensi sumberdaya atau isi ruang yang dimaksud adalah potensi konflik dan

rencana skala prioritas rehabilitasi lahan karena 71% areal tidak berhutan.

Pendekatan kondisi actual dari potensi konflik dan rencana skala prioritas areal

untuk rehabilitasi dilakukan melalui sub-model spasial potensi konflik (MSPK)

dan sub-model lokasi prioritas rehabilitasi lahan (MLPR).

37
Prediksi variable yang terlibat pada fungsi MLPR dan MSPK adalah jaringan

jalan, lokasi pemukiman, ketinggian tempat (dari data DEM-Aster), penutupan

(dari citra ALOS) dan fungsi hutan. Variabel yang digunakan didasarkan pada

judgement Expert dan aturan yang digunakan. Selanjutnya data tersebut diatas

dianalisis dengan multiring buffer, analisis NDVI, terrain analysis, watershed

analysis, vector to raster dan reclass. Proses analisis ini dirangkum dalam alur

pikir pengolahan NDVI dan kelas jereng. Untuk menentukan potensi konflik dan

prioritas rehabilitasi, maka hasil dari pengolahan data melalui proses AHP yang

didahului dengan pembuatan Struktur Hirarki AHP dan perhitungan manual AHP

maka didapat nilai bobot masing-masing variable pada persamaan umum dari

fungsi sub-model spasial potensi konflik (MSPK) dan sub-model lokasi prioritas

rehabilitasi rehabilitasi lahan (MLPR).

Persamaan sub-model ini menghasilkan peta dan database skala potensi konflik

dan skala prioritas rehabilitasi lahan. Kedua sub-model ini digabung (overlay)

menjadi sub-model rehabiltasi lahan yang mempertimbangkan potensi konflik.

Berdasarkan peta dan database tersebut dilakukan validasi kondisi ril lapangan

melalui wawancara, survey dan pengamatan lapangan. Database skala potensi

konflik dan skala prioritas rehabilitasi lahan dijadikan sebagai database spasial

anak.

3.4 Populasi dan Sampel


Teknik pengambilan sampel dalam rangka mendapatkan dan menggali
informasi dan pengetahuan dari para stakeholders dan pakar adalah dengan
menggunakan metode expert survey dengan melakukan wawancara mendalam
(indepth interview) dengan sampel yang telah ditentukan/dipilih secara
sengaja (purposive sampling). Purposive sampling adalah teknik sampling
yang satuan samplingnya dipilih berdasarkan pertimbangan tertentu dengan

38
tujuan untuk memperoleh satuan sampling yang memiliki karakteristik atau
kriteria sesuai dengan yang dikehendaki dalam pengambilan sampel. Peneliti
menganggap bahwa seseorang atau sesuatu yang dipilih tersebut memiliki
atau mengetahui informasi yang diperlukan bagi penelitian yang
dilakukannya. Kriteria yang menjadi dasar pertimbangan dalam menentukan
atau memilih pakar untuk dijadikan responden dalam penelitian ini adalah:
1. mempunyai pengalaman yang memadai sesuai bidangnya;
2. mempunyai reputasi, kedudukan/jabatan dan telah menunjukkan
kredibilitas
sebagai stakeholders yang konsisten atau pakar atau ahli pada bidang
yang
akan diteliti
3. bersedia dijadikan responden dan dapat ditemui untuk diwawancara.

Pengumpulan data untuk mendesain model perencanaan pengelolaan hutan

produksi berkelanjutan dilakukan dengan bantuan pakar bidang perencanaan tata

ruang/wilayah, kehutanan, perikanan dan kelautan, lingkungan dan soaial. Kriteria

untuk memenuhi syarat sebagai pakar adalah (Marimin 2002): (1) seseorang yang

mendapat pendidikan formal S2/S3 pada bidang yang dikaji; (2) seseorang yang

berpengalaman pada bidang yang dikaji (minimal 5 tahun), tetapi memiliki

pendidikan formal di bidang lain; (3) seseorang yang berpendidikan formal

dan berpengalaman pada bidang yang dikaji, minimal 3 tahun; (4) seseorang

yang berasal dari praktisi, didasarkan pada lama kerja dan kewenangan di suatu

posisi tertentu (minimal 3 tahun). Berdasarkan persyaratan tersebut, maka

ditetapkan sebanyak 19 orang pakar yaitu: Kepala Dinas Kehutanan Provinsi

(1 orang); Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten (2 orang); Ketua Ketua

BAPPEDA Kabupaten (1 orang); Kepala Badan Lingkungan Hidup (2 orang);

Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten (3 orang); Akademisi (1 orang;

39
Fakultas Kehutanan); Tokoh Masyarakat (5 orang),pihak swasta (pengusaha) 3

orang ; LSM yang berpengalaman dalam Lingkungan (2 orang).

3.5 Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah metode survei.
Pengumpulan data dilakukan dengan berbagai cara, antara lain melalui permintaan
data sekunder kepada instansi terkait, Observasi langsung ke lapangan,
wawancara langsung dengan tokoh masyarakat, survey potensi biofisik wilayah,
dan download dari internet. Pada tabel 3.2 berikut disajikan jenis data, sumber
data, cara menentukan sumber data dan cara memperoleh data.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------.
Jenis Data Utama Variable Sumber Data Utama Cara menentukan Cara
Memperoleh
operasional sumber data data
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Aster Global Digital DAS, DTA, kelas Sesuai kebutuhan Download
Internet
Elevation Model lereng, pola aliran program SIG & tujuan
(GDEM) 30m air penelitian

2. ALOS, LANDSAT-8 Nilai NDVI Sesuai kebutuhan Download


Internet
program SIG & tujuan
penelitian
hasil observasi

3. Jenis tanah (peta) Kepekaan hasil observasi Sesuai kebutuhan Download


Internet
terhadap longsor program SIG & tujuan
penelitian

4. Peta tematik lainnya Jalan, sungai, Badan Informasi, Sesuai kebutuhan Download
Internet
pemukiman, batas hasil observasi. program SIG & tujuan
permohonan
administrasi penelitian lembaga
pemerintah

5. Persepsi masyarakat Persepsi Hasil wawancara, Sesuai tujuan penelitian Survey


lapangan
tentang hutan Masyarakat observasi

6. Pengakuan lahan Gangguan Hasil wawancara, Sesuai tujuan penelitian Survey


lapangan
terhadap lahan observasi, interpretasi Observasi,
hutan citra interpretasi
citra

7. Situs budaya, Koordinat situs Hasil survey lapangan Sesuai tujuan penelitian Survey
lapangan
mata air

8. Potensi Tegakan dan Potensi HHK Hasil Survey Sesuai kebutuhan Survey
lapangan
SDH lainnya program SIG & Sesuai
tujuan penelitian

9. Keberadaan Flora Lokasi dan jenis Hasil Survey Sesuai tujuan penelitian Survey
lapangan
& Fauna dilindungi flora fauna

40
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
----------
Tabel 3.1 Kebutuhan data, variable, sumber data, cara menentukan dan
memperoleh data.

3.6 Uji Validitas dan Reliabilitas


Hasil penelitian dikatakan valid apabila terdapat kesamaan antara data yang
terkumpul dengan data yang sesungguhnya terjadi pada objek yang diteliti. Valid
berarti instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya
diukur. Selanjutnya hasil penelitian yang reliabel yaitu apabila terdapat kesamaan
data dalam waktu yang berbeda. Instrumen yang reliabel adalah instrumen yang
apabila digunakan beberapa kali untuk mengukur objek yang sama, akan
menghasilkan data yang sama, dengan menggunakan instrumen yang valid dan
reliabel dalam pengumpulan data, maka diharapkan hasil penelitian akan menjadi
valid dan reliabel (Sugiyono, 2010: 172-173).
1) Validitas
1. Validitas Konstruk Untuk menguji validitas konstruk, dapat digunakan
pendapat dari ahli. Dalam hal ini setelah instrumen dikonstruksi tentang
aspekaspek yang akan diukur dengan berlandaskan teori tertentu, maka
selanjutnya dikonsultasikan dengan ahli (Sugiyono, 2010: 179). Hal
pertama yang dilakukan untuk menguji validitas konstruk yaitu
menurunkan variabel menjadi sub variabel yang kemudian dikembangkan
menjadi indikator-indikator yang akan dicapai dan dituangkan dalam butir-
butir soal dengan menyajikannnya dalam bentuk kisi-kisi angket
penelitian. Setelah disajikan dalam bentuk kisikisi, langkah selanjutnya
adalah menyusun angket penelitian. Sebelum diberikan kepada responden
untuk diuji cobakan, instrumen tersebut terlebih dahulu dikonsultasikan
dengan ahli yang dalam hal ini adalah dosen pembimbing apakah angket
tersebut sudah sesuai atau belum.
2. Validitas Isi Pengujian validitas isi dapat dilakukan dengan
membandingkan antara isi instrumen dengan isi atau rancangan yang telah
ditetapkan (Sugiyono, 2010: 182). Validitas isi dimaksudkan untuk
mengukur sejauh mana mencakup keseluruhan bahan yang ingin diukur.

41
Pengujian validitas menggunakan watershed analysis, Terrain Analysis
dan Geoprocessing analysis.
2) Reliabilitas adalah suatu instumen cukup dapat dipercaya sebagai alat
pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik. Reliabel artinya
dapat dipercaya jadi dapat diandalkan (Arikunto, 2006: 178). Pengujian
reliabilitas menggunakan watershed analysis, Terrain Analysis,
Geoprocessing analysis.
3.7 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan beberapa aspek berupa jarak,
aksesibilitas, kebutuhan pemerintah. Saat ini, pemerintah Indonesia melalui
PP6/2007 Jo. P3/2008 telah memulai kegiatan pembangunan KPH. Pada tahun
2012 telah ditentukan 120 KPH model di Indonesia, diantaranya adalah KPH
model.
Fungsi kawasan sebagai Hutan Lindung seluas ±6.554 ha, kawasan Hutan
Produksi seluas ±767 Ha, dan Hutan Produksi Terbatas seluas ±7 ha. Desa contoh
dipilih berdasarkan pada luas dan tingkat aksesibilitas, sehingga terpilih 12 desa.
Penentuan lokasi contoh pengamatan flora dan fauna didasarkan pada hasil
interpretasi kombinasi citra satelit (ALOS dan LANDSAT-8), aksesesibilitas
jalan, dan hasil observasi lapangan. Lokasi pengamatan flora dan fauna diletakkan
pada areal berhutan. Lokasi pengamatan sosial-ekonomi-budaya diletakkan pada
semua desa yang ada dalam kawasan hutan, lokasi observasi aspek lingkungan.

3.8 Analisis Data

Ada beberapa metode analisis yang digunakan untuk menganalisis data


spasial dan non spasial. Semua data non spasial diubah menjadi data spasial
sehingga dapat sebagai bahan informasi untuk menyusun model Perencanaan
Hutan Berkelanjutan berbasis. Metode analisis yang digunakan untuk biogeofisik
wilayah antara lain: Watershed analysis, Terrain Analysis, Geoprocessing
analysis (buffer, intersect, dan Iain-Iain), analisis NDVI (Normalized Difference
Vegetation Index), sedangkan, untuk bidang sosial-ekonomi-budaya digunakan
analisis deskriptif kualitatif. Parameter sosial-ekonomi-budaya yang diambil
adalah kepemilikan/pengakuan lahan dalam kawasan hutan oleh masyarakat

42
sekitar hutan dan persepsi masyarakat terhadap hutan. Parameter pemilikan lahan
diambil/ditentukan melalui hasil interpretasi citra satelit khususnya untuk
penggunaan lahan dan persepsi masyarakat melalui wawancara mendalam dan
observasi lapangan. Kedua parameter ini secara kualitatif untuk mendukung hasil
pemetaan konflik lahan. Analisis ini adalah memadukan parameter melalui
metode MCDM (Multi Criteria Decision Making) atau pengambilan keputusan,
yaitu Analytical Hirarchi Process (AHP).

3.8.1 Geoprosessing
Geoprocessing tool adalah tool yang diguna kan untuk mengolah dan
menganalisis data vektor. Prosesnya seperti mengintersek (intersect-tumpang
susun), menggabung (merge/ union), membuat buffer (Buffer), memotong (clip),
dan memadukan (dissolve), menampilkan yang berbeda (Difference). Diantara
perintah-perintah tersebut analisis tumpang susun dan analisis buffer yang cukup
banyak digunakan. Perintah lainnya merupakan perintah dasar.
Analisis tumpang susun atau overlay suatu data grafis adalah
menggabungkan dua atau lebih data grafis untuk memperoleh data grafis baru
yang memiliki satuan pemetaan yang sama. Hasil gabungan dua data grafis ini
menghasilkan peta baru. Buffer Analysis adalah metode pengolahan data vector
dengan program GIS untuk menghasilkan batas polygon terluar. Batas tersebut
berdasarkan garis atau titik yang digunakan sebagai input. Lebar polygon yang
dianggap sebagai buffer sesuai nilai yang dimasukkan.
3.8.2 Watershed Analysis
Tujuan utama penggunaan watershed analysis adalah untuk membuat
petak-petak perencanaan hutan. Dengan menggunakan analisis ini didapat
polygon-polygon Daerah Tangkapan Air dengan luasan tertentu. Luasan tertentu
dihasiikan tergantung pada data yang dimasukkan dalam model pengolahan petak.
Seperti Arc-GIS, program GIS yaitu Quantum-GIS (Software SIG yang
gratis) juga menyediakan program graphical modeler untuk membuat model
proses pengolahan data sesuai kebutuhan dan dapat dijalankan seperti layaknya
sebuah program dalam skala kecil.

43
Urutan eksekusi model pengolahan petak pada Quantum GIS adalah
teriebih dahulu memilih model pengolahan petak yaitu pilih menu Processing ->
Graphical Modeler -» Load -> Pilih file Alur Pengolahan Petak.
3.8.3 Terrain Analysis
Terrain Analysis menghasilkan output, antara lain kelas lereng, aspek,
relief, bayangan bukit dan ruggedness index. Dalam penelitian ini aspek yang
diambil adalah kelas lereng dalam format persen lereng sebagai parameter dalam
pengolahan data. Urutan eksekusi model pengolahan kelas lereng pada Quantum
GiS adalah terlebih dahulu rnemilih model pengolahan keias lereng yaitu pilih
menu Processing  Graphical Modeler  Load  Pilih file Alur Pengolahan
Kelas Lereng.
Memasukkan data DEM untuk menghasilkan nilai persen lereng, dan
memasukkan batasan ketentuan kelas lereng, kemudian jalankan model dengan
mengklik menu RUN. Hasilnya adalah data kelas lereng dalam persen dengan
bentuk tepi polygon lebih halus.
3.8.4 NDVI Analysis
Sifat reflektansi spektral pada tajuk teratas memiliki penyerapan cahaya
dengan panjang gelombang berbeda tergantung pada karakteristik masing-masing
tanaman. Spektral reflektansi dalam panjang gelombang tampak (400-700 nm)
yang rendah karena penyerapan energi cahaya yang tinggi oleh klorofil.
Reflektansi pada inframerah-dekat (NIR) dengan panjang gelombang (700-1300
nm) yang tinggi karena hamburan beberapa cahaya oleh jaringan daun yang
berbeda (Taiz & Zeiger, 2002) ALOS-AVNIR-2 sensor memiliki gambar dalam
empat band spektral, yaitu: biru (B, 0,42-0,50 m), hija'u (G, 0,52-0,60 m), merah
(R, 0,61-0,69 m), dan telinga-inframerah (IR, 0.76- 0.89 m) (Fadaei et al., 2011)..
NDVI merupakan indek vegetasi yang paling umum digunakan. Indek ini
merupakan perbedaan yang dinormalisasi antara band merah dengan band infra
merah yang hasilnya berupa nilai yang menunjukan tingkat kehijauan dari
vegetasi (Badts et al., 2005).

Adapun, formula yang digunakan untuk menghitung nilai NDVI adalah

NIR-R

44
NDVI = ---------------
NIR+R

Keterangan : NIR = Near / n/ rared/ lnfra merah dekat, R = Sinar merah

Sehingga, jika diimplementasikan pada citra ALOS, maka formula NDVI


menjadi:

Band4- Band3
NDVI = -------------------------
Band 4 - Band3.

Nilai hasil perhitungan digital melalui NDVI ini selanjutnya


dikelompokkan kedalam klas nilai-nilai NDVI. Kisaran kelas nilai-nilai ini
dilakukan dengan pengkelasan Equal Interval. Nilai NDVI sendiri bervariasi
antara -1.0 dan 1,0.

3.8.5 Pivot Tabel Analysis (analisis tabulasi silang)

Pivot table ialah nama yang diberikan pada Excel XP untuk membuat
laporan tabel dalam multidimensional (multiarah) dan dapat dianalisis secara
interaktif (Handojo & Rostianingsih, 2004).

3.8.6 Pengolahan Data Potensi Pohon

Volume pohon sebagai variabel utama yang dihasilkan dari studi ini
dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:

Vi = 1/4nD2^h^fk

Dalam hal ini

Vi = Volume pohon ke-I (m3)

n = Konstanta (phi = 3.14159…)

D = Diameter (m)

h = Tinggi bebas cabang (m)

45
fk = Faktor bentuk 0.7

Volume pohon di dalam petak pengamatan dihitung dengan


menjumlahkan volume setiap individu pohon dalam petak pengamatan yang
bersangkutan. Untuk menghitung volume petak pengamatan dalam satuan m3/ha
dilakukan konversi dengan Persamaan berikut:

Vp = { Vi (m3 l petak)

Vha = Vp/0.04 (M3 l ha)

Dalam hal ini

Vi = Volume pohon ke-i dalam petak pengamatan

Vp = Volume pohon per petak (m3/petak)

Vha = Volume pohon per petak dalam satun m3/ha

Data pohon ini disajikan berupa peta yaitu peta posisi pohon. Peta posisi
pohon ini dioverlaykan dengan tema penutupan berdasarkan nilai NDVI maka
didapat sebaran potensi pohon pada berbagai kelas NDVI per plot contoh. Hal ini
penting untuk melihat contoh gambaran umum kecenderungan posisi pohon-
pohon pada masing-masing kelas nilai NDVI. Dari hasil overlay ini, didapat data
prediksi potensi batang dan volume per klas diameter dan per klas NDVI per
hektar, untuk selanjutnya dapat digunakan untuk memprediksi hasil potensi
menyeluruh.

Untuk mendapatkan informasi pohon per petak per kelas diameter maka
dilakukan analisis pivot table. Database tegakan yang ada dalam format DBF
dikonversi dulu ke format XLS, kemudian dilakukan proses tabulasi multi arah
melalui menu pivot tabel dalam program LibreOffice Calc.

3.8.7 Analisis Data Fauna

Data yang didapat berupa posisi fauna yang ditemukan pada setiap petak
dalam jalur survey. Kemudian, data tersebut diolah menjadi frekuensi ditemukan
setiap jenis fauna dalam jalur survey. Data fauna dianalisis melalui proses statistik

46
diskriptif dan disajikan dalam bentuk tabulasi. Informasi yang disampaikan pada
tabel meliputi golongan, jenis, nama ilmiah, lokasi ditemukan, ditemukan pada
petak dan keterangan (informasi masyarakat, suara, sarang/kotoran/jejak,
dilihat/foto).

3.8.8 Analisis Data Sosial-Budaya-Ekonomi


Data sosial-ekonomi-budaya adalah hasil wawancara dengan tokoh
masyarakat. Hasil wawancara diolah dengan cara pembobotan. Setiap aspek dan
sub aspek diberi nilai bobot dan sub-bobot. Materi wawancara dikelompokkan 3
item, yaitu 1. aspek histori pemanfaatan lahan mendapat bobot 20%, 2.
pemanfaatan sumberdaya hutan dalam kawasan mendapat bobot 40% dan 3.
konflik lahan dalam kawasan hutan mendapat bobot 40%. konflik lahan dalam
kawasan hutan mendapat bobot 40%. Pada masing-masing item juga memiliki
sub-bobot, item 1, 2 dan 3 masing-masing memiliki 9, 6 dan 5 pertanyaan. Nilai
bobot pada Item 1 memiliki sub-bobot 30% pertanyaan 1(15%), 2(5%), 3(5%),
4(5%), 5(20%), 6(5%), 7(10%), 8(20%), dan 9(15%), item2 memiliki sub-bobot
30% pertanyaan 1(25%), 2(15%), 3(25%), 4(15%), 5(10%) dan 6(10%)
sedangkan item 3 memiliki sub-bobot 40% pertanyaan 1(35%), 2(20%), 3(20%),
4(10%), dan 5(15%). Setiap jawaban informan dinterpretasi menjadi nilai tingkat
potensial gangguan, jika sifatnya berpotensi mengganggu maka diberi nilai 1, jika
tidak memiliki potensi mengganggu maka diberi nilai 0. Dengan demikian setiap
pertanyaan memiliki nilai. Data ini selanjutnya diolah dan dianalisis dengan
statistik deskriptif kualitatif.
3.8.9 Analisis Data Perencanaan Hutan (Pola Boxgrid)
Data persepsi perencanaan hutan lestari didapat dan hasil wawancara
dengan berbagai pelaku/ahli di bidang kehutanan. Dari 7 pertanyaan dalam
kuesioner tersebut data yang diolah secara statistik deskriptif kualitatif adalah
pertanyaan nomor 1,3,4 dan 6, sedangkan pertanyaan lainnya adalah melengkapi
penjelasan terkait perencanaan hutan lestari. Pada setiap jawaban dari pertanyaan
no 1, 3 4 dan 6 akan diberi nilai 1 jika mendukung perencanaan hutan saat ini
sudah perlu perbaikan dan akan diberi 0 jika sebaliknya.
3.8.10 Analisis Multi kriteria dengan AHP Spasial

47
Secara umum, ada tiga langkah utama dalam proses analisis model AHP,
yaitu: membangun struktur hirarki, penyekalaan, dan sintesis prioritas.
Membangun hirarki adalah menentukan sasaran utama sebagai puncak hirarki,
kriteria-kriteria penilaian sebagai tingkat kedua, sub-kriteria penilaian sebagai
tingkat ketiga dan alternatif keputusan. Penyekalaan dilakukan menurut tingkat
signifikansi dari tiap kriteria atau elemen dalam struktur AHP. Tingkat
signifikansi antar kriteria dapat ditentukan berdasarkan pertimbangan peneliti
(subyektif) atau berdasarkan penilaian ahli (survai). Sedangkan sintesa
prioritas meliputi pembobotan dan perhitungan indek konsistensi (CI) dan ratio
konsistensi (Rl) (Apriyanto, 2008).
Pardian (2010) mengemukakan bahwa Analytic Hierarchy Process
memiliki landasan aksiomatik yaitu: 1) Resiprocal Comparison, adalah matriks
perbandingan berpasangan yang terbangun ini hams mempunyai sifat
berkebalikan. Misal, jika A adalah x kali lebih penting dibandingkan dengan B,
maka B adalah 1/x kali lebih penting dibandingkan dengan A. 2) Homoqenitv.
adalah objek yang dibandingkan memiliki kesamaan karakter dalam melakukan
perbandingan. Misal, tidak mungkin membandingkan jeruk dengan bola tenis
terkait hal rasa, namun demikian lebih cocok jika membandingkan dalam hal berat
objek. 3) Dependence, adalah antara objek pada setiap level mempunyai kaitan
(complete hierarchy) walaupun mungkin bisa saja hubungan yang ada tidak
sempuma (incomplete hierarchy). 4) Expectation, adalah mengutamakan penilaian
yang bersifat ekspektasi dan preferensi dan pengambilan keputusan. Penilaian
terhadap variabel atau objek bisa berupa data kuantitatif ataupun data kualitatif.

Vaidya & Kumar (2006); Saaty (2007); Syaifullah (2010) menyatakan


bahwa ada beberapa langkah kunci dan tahapan dasar yang dalam metodologi
AHP sebagai berikut: 1. Memastikan masalah yang ingin diselesaikan. 2.
Mempertimbanqkan semua faktor, tujuan dan hasil yang diharapkan. 3.
Menqidentifikasi kriteria masalah. 4. Menvusun struktur hirarki masalah yaitu
tujuan, kriteria, sub-kriteria dan alternatif. 5. Membandingkan setiap elemen
(perbandingan berpasangan) di tingkat yang sesuai dan kalibrasi masalah pada
skala numerik. Nilai skala mulai dari 1 sampai 9, seperti yang ditunjukkan pada
Tabel 26 (Saaty, 2007). 6. Melakukan perhitungan untuk mencari nilai eigen

48
maksimum (I), indeks konsistensi (CI), rasio konsistensi (CR) dan nilai normal
untuk setiap kriteria/ alternatif. Eigen Maksimum merupakan nilai rata-rata vector
konsistensi, CI menyediakan ukuran penyimpangan dari konsistensi. CI dan CR
dihitung seperti yang ditunjukkan pada rumus 1 dan 2, masing-masing:

^max – n
CI = ---------------- ………….. 1
N–1

CI
CR = ------ ….......……. 2
RI

Rl adalah nilai indeks acak dan tergantung pada jumlah elemen yang
dibandingkan.Jika CR <0,10, rasio menunjukkan tingkat konsistensi yang wajar
pada perbandingan berpasangan; Namun, jika CR lebih besar dari atau sama
dengan 0,10, maka nilai rasio menunjukkan penilaian yang tidak konsisten. Jika
eigenvalue maksimum, yaitu CI dan CR yang memuaskan, maka keputusan dapat
diambil berdasarkan nilai-nilai normal. Prosedur ini diulang sampai nilai-nilai ini
terletak pada kisaran yang diinginkan.

Dalam penelitian ini, ada 2 paramater yang dianalisis dengan cara AHP,
yaitu: peta potensi konflik, dan peta prioritas rehabilitasi/produksi. Terlihat
parameter-parameter yang menentukan tujuan (goal) dan nilai fuzzy dari masing-
masing parameter. Peta potensi konflik dan peta prioritas rehabilitasi/produksi
merupakan interaksi faktor-faktor yang dalam gambar atau secara matematis
disajikan pada persamaan berikut, yaitu:

Potensi Konflik -(ax sKJ) + (bx sJP) + (cx sPL) + (dx sKL) + (ex sKTL)
Prioritas Rehabilitasi -(ax sJJ) + (bx sPL) + (cx sKL) + (dxsFH)
Keterangan:
a,b,c,d,e = bobot masing-masing parameter, minimal 4 digit (%)
sKJ = skorklas Kelas Jalan (1-5)
sJP = skor klas Jarak dari Pemukiman (1-5)
sPL = skor klas Penutupan Lahan (1-5)

49
sKL = skorklas KelasLereng(1-5)
sKTL = skor klas Kepekaan terhadap Longsor (1-5)
sJJ = skor klas Jarak hutan dari jalan (1-5)
sFH = skor klas Fungsi Hutan (1-5)

Sedangkan, persamaan yang digunakan pada kelas interval untuk prediksi


potensi konflik maupun skala prioritas rehabilitasi adalah:

Nilai Maksimum - Nilai Minimum


Kelas Interval = ------------------------------------------------
Jumlah Kelas yang diinginkan

Penelitian ini menggunakan data spasial dalam format raster yang berasal
dari data spasial maupun non spasial. Data spasial yang berupa vektor diubah
menjadi data raster, seperti data dari variabel jarak hutan dari pemukiman, adalah
berasal dari data vektor pemukian, kemudian dibuat buffer dengan jarak yang
telah ditentukan dari pemukiman, selanjutnya hasilnya diubah menjadi raster.
Semua variabel data raster yang tersedia arus diubah menjadi 5 kelompok klas
sesuai dengan tujuan yang diharapkan (misalkan dalam hal miprediksi potensi
konflik). Variabel jarak hutan dari pemukiman, semakin dekat (dengan jarak 0-
500m) dengan hutan kemungkinan menimbulkan konflik lahan makin sangat
tinggi, maka diberi nilai 1 = area dengan potensi konflik sangat tinggi. Setelah
semua data tersedia dalam nilai 1-5, kemudian, semua data raster yang tersedia
diproses/dianalisis secara AHP spasial dengan menu Raster Calculator dan
Reclass yang tersedia pada" program QGIS. Persamaan yang digunakan adalah
persamaan Potensi Konflik dan Prioritas Rehabilitasi yang telah disajikan di atas.
Secara grafis urutan proses analisis data fuzzy dengan AHP secara spasial
disajikan pada Gambar 3.2

50
Gambar 3.2 Proses Pengolahan Data Raster dengan AHP Spasial
Gambar 3.3. menyajikan proses analisis AHP dari data biofisik secara
spasial. Gambaran diatas disajikan untuk memahami proses analisis AHP spasial
dari data dengan format raster. Informasi angka diatas adalah data yang telah
diklasifikasi ulang menjadi kisaran nilai fuzzy 1-5.

51
Gambar 3.3. Struktur Hirarki AHP untuk Analisis Prioritas Areal
Rehabilitasi Lahan Hutan di KPH Model Tala

52
Gambar 3.4. Struktur Hirarki AHP untuk Analisis Potensi Konflik Lahan
Hutan di KPH Model Tala.

53
54

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Lokasi Penelitian


4.1.1 Letak Geografis

Banten merupakan provinsi yang berdiri berdasarkan Undang-Undang Nomor


23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten. Secara administratif,
terbagi atas 4 Kabupaten dan 4 Kota yaitu: Kabupaten Serang, Kabupaten
Pandeglang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang, Kota Serang, Kota
Cilegon, Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan. Provinsi ini memiliki 154
kecamatan, 1.504 desa/kelurahan. Luas wilayah administrative Provinsi Banten
adalah 9.018,64 km2 dan panjang pantai 509 km.

Letak di Ujung Barat Pulau Jawa memposisikan Banten sebagai pintu


gerbang Pulau Jawa dan Sumatera dan berbatasan langsung dengan wilayah DKI
Jakarta sebagai Ibu Kota Negara. Posisi geostrategis ini tentunya menyebabkan
Banten sebagai penghubung utama jalur perdagangan Sumatera – Jawa bahkan
sebagai bagian dari sirkulasi perdagangan Asia dan Internasional serta sebagai
lokasi aglomerasi perekonomian dan permukiman yang potensial. Batas wilayah
sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah Barat dengan Selat Sunda,
serta di bagian Selatan berbatasan dengan Samudera Hindia, sehingga wilayah ini
mempunyai sumber daya laut yang potensial.

Wilayah laut Provinsi Banten merupakan salah satu jalur laut potensial. Selat
sunda merupakan salah satu jalur lalu lintas laut yang strategis karena dapat
dilalui kapal besar yang menghubungkan Australia dan Selandia Baru dengan
kawasan Asia Tenggara misalnya Thailand, Malaysia, dan Singapura. Provinsi
Banten merupakan jalur penghubung antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatera.
Wilayah Provinsi Banten terutama kota Tanggerang dan Kabupaten Tanggerang
merupakan wilayah penyangga bagi Jakarta. Secara ekonomi wilayah Provinsi
Banten memiliki banyak industry. Wilayah Provinsi Banten juga memiliki
beberapa pelabuhan laut yang dikembangkan sebagai antisipasi untung
menampung kelebihan kapasitas dari pelabuhan laut di Jakarta dan ditujukan
untuk menjadi pelabuhan alternative selain Singapura.

Provinsi Banten yang berada di wilayah ujung Barat Pulau Jawa memiliki
posisi yang sangat strategis dan memiliki potensi ekonomi yang sangat besar baik
skala lokal, regional, nasional bahkan skala internasional. Fasilitasi terhadap
pergerakan barang dan penumpang yang dari dan ke pusat-pusat kegiatan
Nasional, Wilayah maupun Lokal yang ada di Provinsi Banten menjadi sangat
penting dalam upaya mendukung pengembangan ekonomi di wilayah Provinsi
Banten.

Provinsi Banten dibagi menjadi tiga Wilayah Kerja Pembangunan yang


mempunyai ‘icon’ atau ciri khas prasarana perhubungan di Provinsi Banten
dikarenakan aktivitasnya yang lebih menonjol dibandingkan dengan prasarana
perhubungan lainnya. Di Wilayah Kerja I yaitu Kota Tangerang, Kota Tangerang
Selatan dan Kabupaten Tangerang terdapat Bandara Soekarno Hatta yang bertaraf
Internasional yang merupakan gerbang masuknya barang dan penumpang ke
Indonesia. Di Wilayah Kerja II yaitu Kota Cilegon, Kota Serang dan Kabupaten
Serang terdapat pelabuhan penyeberangan Merak yang menjadi gerbang
masuknya barang dan penumpang dari Pulau Sumatera ke Pulau Jawa dan di
Wilayah Kerja III yaitu Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak terdapat
Stasiun Kereta Api yang merupakan gerbang masuk barang dan penumpang
terutama dari dan ke Jakarta.

Permasalahan klasik yang masih terjadi adalah belum terpadunya


pembangunan prasarana dan sarana transportasi dengan sistem jaringan
transportasi (antar moda, antar wilayah dan antar lembaga). Fenomena ini
umumnya terjadi pada sarana transportasi di wilayah perkotaan yang diakibatkan
belum berkembangnya keterpaduan rencana tata ruang dan transportasi perkotaan,
kesadaran dan kemampuan pemerintah dalam perencanaan dan pengelolaan
transportasi, rendahnya disiplin masyarakat pengguna, profesionalitas aparat dan
operator transportasi, serta rendahnya kualitas pelayanan transportasi umum.
Lebih jauh lagi kondisi ini mengakibatkan semakin meningkatnya kemacetan lalu
lintas di wilayah perkotaan serta tingginya angka kecelakaan dari tahun ke tahun.

55
4.1.2 Kondisi Biofisik
a. Iklim

Iklim di wilayah Provinsi Banten sangat dipengaruhi oleh Angin Monson


dan gelombang La Nina atau El Nino. Saat musim penghujan (Nopember -
Maret) cuaca didominasi oleh Angin Barat yang bergabung dengan angin
dari Asia yang melewati Laut Cina Selatan. Sedangkan pada saat musim
kemarau (Juni-Agustus) cuaca didominasi oleh angin Timur yang
menyebabkan wilayah Provinsi Banten mengalami kekeringan yang keras
terutama di wilayah bagian pantai Utara.

Temperatur di daerah pantai dan perbukitan berkisar antara 22 ºC dan


32 ºC, sedangkan suhu di pegunungan dengan ketinggian antara 400 –1.350
m dpl mencapai antara 18-29 ºC. Secara rata-rata temperature di Bulan
Oktober relative lebih panas dibandingkan dengan bulan yang lain,
sedangkan di Bulan Februari relative lebih dingin.

Curah hujan tertinggi terjadi di Bulan Februari (349 mm3) dan terendah
pada Bulan Juli hanya 0,2 mm3. Tidak ada perbedaan siklus hujan yang
mencolok dalam beberapa tahun terakhir. Pada periode Januari-Maret curah
hujan relative tingggi, kemudian mulai menurun di Bulan April dan mulai
naik kembali sekitar Bulan Oktober.

b. Topografi

Topografi wilayah Provinsi Banten berkisar pada ketinggian 0-1.000m


dpl. Secara umum kondisi topografi wilayah Provinsi Banten merupakan
dataran rendah yang berkisar antara 0 – 200 m dpl yang terletak di daerah
Kota Cilegon, Kota Tangerang, Kabupaten Pandeglang, dan sebagian besar
Kabupaten Serang. Adapun daerah Lebak Tengah dan sebagian kecil
Kabupaten Pandeglang memiliki ketinggian berkisar 201 – 2.000 m dpl dan
daerah Lebak Timur memiliki ketinggian 501 – 2.000 m dpl yang terdapat di
Puncak Gunung Sanggabuana dan Gunung Halimun.

56
Kondisi topografi suatu wilayah berkaitan dengan bentuk raut
permukaan wilayah atau morfologi. Morfologi wilayah Banten secara umum
terbagi menjadi tiga kelompok yaitu morfologi dataran, perbukitan landai-
sedang (bergelombang rendah-sedang) dan perbukitan terjal. Morfologi
Dataran Rendah umumnya terdapat di daerah bagian utara dan sebagian
Selatan. Luas wilayah morfologi wilayah Banten adalah sebagai berikut:

 Wilayah datar (kemiringan 0-2%) seluas 574.090 ha;


 Wilayah bergelombang (kemiringan 2-15%) seluas 186.320 ha;
 Wilayah curam (kemiringan 15-40%)) seluas 118.470,50 ha.

Wilayah dataran merupakan wilayah yang mempunyai ketinggian


kurang dari 50 meter dpl (di atas permukaan laut) sampai wilayah pantai
yang mempunyai ketinggian 0-1m dpl. Morfologi Perbukitan Bergelombang
Rendah - Sedang sebagian besar menempati daerah bagian tengah wilayah
studi. Wilayah perbukitan terletak pada wilayah yang mempunyai ketinggian
minimum 50 m dpl. Di bagian utara Kota Cilegon terdapat wilayah puncak
Gunung Gede yang memiliki ketingian maksimum 553 m dpl, sedangkan
perbukitan di Kabupaten Serang terdapat wilayah Selatan Kecamatan
Mancak dan Waringin Kurung dan di Kabupaten Pandeglang wilayah
perbukitan berada di Selatan. Adapun ekosistem wilayah Provinsi Bnaten
pada dasarnya terdiri dari:

1) Lingkungan Pantai Utara yang merupakan ekosistem sawah irigasi


teknis dan setengah teknis, kawasan pemukiman dan industri.
2) Kawasan Provinsi Banten bagian tengah berupa irigasi terbatas dan
kebun campur, sebagian berupa pemukiman pedesaan.
Ketersediaan air cukup dengan kuantitas yang stabil.
3) Kawasan Provinsi Banten sekitar Gunung Halimun-Kendeng
hingga Malingping, Leuwidamar, Bayah berupa pegunungan yang
relative sulit untuk diakses, namun menyimpan potensi sumber
daya alam.
4) Provinsi Banten Bagian Barat (Saketi, lereng kompleks Gunung
Karang-Aseupan dan Pulosari sampai Panati dan Serang Bagian

57
Barat) kaya akan potensi air, merupakan kawasan pertanian yang
masih perlu dtingkatkan.
5) Ujung Kulon sebagai Taman Nasional Konservasi Badak Jawa
(Rhino sondaicus).
c. Kelerengan Lahan

Kondisi kelerengan lahan di Provinsi Banten terbagi menjadi tiga


kondisi yang ekstrim yaitu:

Dataran yang sebagian besar terdapat di daerah Utara Provinsi Banten


yang memiliki tingkat kelerengan lahan antara 0 – 15%, sehingga menjadi
lahan yang sangat potensial untuk pengembangan seluruh jenis fungsi
kegiatan. Dengan nilai kelerengan ini tidak diperlukan banyak perlakuan
khusus terhadap lahan yang akan dibangun untuk proses prakonstruksi.
Lahan dengan kelerengan ini biasanya tersebar di sepanjang pesisir Utara
Laut Jawa, sebagian wilayah Serang, sebagian Kabupaten Tangerang bagian
utara serta wilayah Selatan yaitu di sebagian pesisir Selatan dari Pandeglang
hingga Kabupaten Lebak;

Perbukitan landai-sedang (kelerengan 15% dengan tekstrur


bergelombang rendah-sedang) yang sebagian besar dataran landai terdapat di
bagian utara meliputi Kabupaten Serang, Kota Cilegon, Kabupaten
Tangerang, dan Kota Tangerang, serta bagian utara Kabupaten Pandeglang;

Daerah perbukitan terjal (kelerengan 25%) terdapat di Kabupaten


Lebak, sebagian kecil Kabupaten Pandeglang bagian Selatan dan Kabupaten
Serang.

Perbedaan kondisi alamiah ini turut berpengaruh terhadap timbulnya


ketimpangan pembangunan yang semakin tajam, yaitu wilayah sebelah utara
memiliki peluang berkembang relatif lebih besar daripada wilayah sebelah
Selatan.

58
d. Geologi

Struktur geologi daerah Banten terdiri dari formasi batuan dengan


tingkat ketebalan dari tiap-tiap formasi berkisar antara 200 – 800 meter dan
tebal keseluruhan diperkirakan melebihi 3.500 meter. Formasi Bojongmanik
merupakan satuan tertua berusia Miosen akhir, batuannya terdiri dari
perselingan antara batu pasir dan lempung pasiran, batu gamping, batu pasir
tufaan, konglomerat dan breksi andesit, umurnya diduga Pliosen awal.
Berikutnya adalah Formasi Cipacar yang terdiri dari tuf batu apung
berselingan dengan lempung tufaan, konglomerat dan napal glaukonitan,
umurnya diiperkirakan Pliosen akhir. Di atas formasi ini adalah Formasi
Bojong yang terdiri dari napal pasiran, lempung pasiran, batu gamping kokina
dan tuf.

Banten bagian Selatan terdiri atas batuan sedimen, batuan gunung api,
batuan terobosan dan Alluvium yang berumur mulai Miosen awal hingga
Resen, satuan tertua daerah ini adalah Formasi Bayah yang berumur Eosen.

Formasi Bayah terdiri dari tiga anggota yaitu batuan konglomerat, batu
lempung dan batu gamping. Selanjutnya adalah Formasi Cicaruruep, Formasi
Cijengkol, Formasi Citarate, Formasi Cimapang, Formasi Sareweh, Formasi
Badui, Formasi Cimanceuri dan Formasi Cikotok.

Batuan Gunung Api dapat dikelompokan dalam batuan gunung api tua
dan muda yang berumur Plistosen Tua hingga Holosen. Batuan terobosan
yang dijumpai bersusunan andesiot sampai basal. Tuf Cikasungka berumur
Plistosen, Lava Halimun dan batuan gunung api Kuarter. Pada peta lembar
Leuwidamar disajikan pula singkapan batuan metamorf yang diduga berumur
Ologo Miosen terdiri dari Sekis, Genes dan Amfibolit yang tersingkap di
bagian utara tubuh Granodiorit Cihara. Dorit Kuarsa berumur Miosen tengah
hingga akhir, Dasit dan Andesit berumur Miosen akhir serta Basal berumur
kuarter.

59
Batuan endapan termuda adalah aluium dan endapan pantai yang
berupa Kerikil, pasir, lempung, rombakan batu gamping, koral bercampur
pecahan moluska atau kerang kerangan, gosong pantai dan gamping terumbu.

e. Jenis Tanah

Sumber daya tanah wilayah Provinsi Banten secara geografis terbagi


dua tipe tanah yaitu: (a) kelompok tipe tanah sisa atau residu dan (b)
kelompok tipe tanah hasil angkutan. Secara umum distribusi dari masing-
masing tipe tanah ini di wilayah Provinsi Banten, terdapat di Kabupaten
Serang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Tangerang,
Kota Tangerang dan Kota Cilegon. Masing-masing tipe tanah yang terdapat
di wilayah tersebut antara lain: 1. aluvial pantai dan sungai; 2. latosol; 3.
podsolik merah kuning; 4. regosol; 5.andosol; 6. brown forest; 7. glei.

f. Hidrologi

Potensi sumber daya air wilayah Provinsi Banten banyak ditemui di


Kabupaten Lebak, sebab sebagian besar wilayahnya merupakan kawasan
hutan lindung dan hutan produksi terbatas. Berdasarkan pembagian Wilayah
Sungai (WS), Provinsi Banten terbagi menjadi 3 (tiga) Wilayah Sungai, yaitu:

a. Wilayah Sungai Cidanau, Ciujung, Ciliwung dan Cisadane;


b. Wilayah Sungai Ciliman dan Cibungur;
c. Wilayah Sungai Cibaliung dan Cisawarna.

Tata air permukaan untuk wilayah Provinsi Banten sangat tergantung


pada sumber daya air khususnya sumber daya air bawah tanah. Terdapat 5
satuan Cekungan Air Bawah Tanah (CABT) yang telah di identifikasi, yang
bersifat lintas kabupaten maupun kota, antara lain CABT Labuan, CABT
Rawadano dan CABT Malingping dan lintas provinsi, meliputi CABT Serang
– Tangerang dan CABT Jakarta. Potensi dari masing-masing satuan cekungan
air bawah tanah ini, dapat diuraikan sebagai berikut:

1) Satuan Cekungan Air Bawah Tanah (CABT) Labuan.

60
CABT Labuan ini mencakup wilayah Kabupaten Pandeglang (± 93 %)
dan Kabupaten Lebak (± 7 %) dengan luas lebih kurang 797 km2. Batas
cekungan air bawah tanah di bagian barat adalah selat Sunda, bagian utara dan
timur adalah batas pemisah air tanah dan di bagian Selatan adalah batas tanpa
aliran karena perbedaan sifat fisik batuan. Jumlah imbuhan air bawah tanah
bebas (air bawah tanah pada lapisan akuifer tak tertekan/akuifer dangkal) yang
berasal dari air hujan terhitung sekitar 515 juta m3/tahun. Sedang pada tipe
air bawah tanah pada akuifer tertekan/akuifer dalam, terbentuk di daerah
imbuhannya yang terletak mulai elevasi di atas 75 m dpl sampai daerah
puncak Gunung Condong, Gunung Pulosari dan Gunung Karang.

2) Satuan Cekungan Air Bawah Tanah (CABT) Rawadano

CABT Rawadano mencakup wilayah Kabupaten Serang dan


Kabupaten Pandeglang, dengan total luas cekungan lebih kurang 375 km2.
Batas satuan cekungan satuan air bawah tanah ini di bagian utara, timur dan
Selatan berupa batas pemisah air bawah tanah yang berimpit dengan batas air
permukaan yang melewati Gunung Pasir Pematang Cibatu (420 m), Gunung
Ipis (550 m), Gunung Serengean (700 m), Gunung Pule (259 m), Gunung
Kupak (350 m), Gunung Karang (1.778 m), Gunung Aseupan (1.174 m) dan
Gunung Malang (605 m). Sedang batas di bagian barat adalah Selat Sunda.

Berdasarkan perhitungan imbuhan air bawah tanah, menunjukkan


intensitas air hujan yang turun dan membentuk air bawah tanah di wilayah
satuan cekungan ini sejumlah 180 juta m3/tahun, sebagian diantaranya
mengalir dari lereng Gunung Karang menuju Cagar Alam Rawadano sekitar
79 m3/tahun. Sedang air bawah tanah yang berupa mata air pada unit akuifer
volkanik purna Danau yang dijumpai di sejumlah 115 lokasi menunjukkan
total debit mencapai 2.185 m3/tahun. Sementara itu pada unit akuifer volkanik
Danau pada 89 lokasi, mencapai debit 367 m3/tahun. Total debit dari mata air
keseluruhan sebesar 2.552 m3/tahun.

3) Satuan Sub Cekungan Air Bawah Tanah (CABT) Serang – Cilegon

61
Satuan sub cekungan ini merupakan bagian dari CABT Serang –
Tangerang, yang secara administratif termasuk dalam wilayah Kota Serang,
Kabupaten Serang, Kabupaten Lebak, dan Kabupaten Pandeglang, dengan
luas wilayah sekitar 1.200 km2. Batas satuan cekungan ini di bagian utara
adalah laut Jawa, bagian timur adalah K.Ciujung, bagian Selatan merupakan
batas tanpa aliran dan bagian barat adalah Selat Sunda.

Dari hasil perhitungan neraca air menunjukkan jumlah imbuhan air


bawah tanah di wilayah satuan cekungan ini sebesar 518 juta m3/tahun,
sedang jumlah aliran air bawah tanah pada tipe lapisan akuifer tertekan sekitar
13 m3/ tahun, berasal dari daerah imbuhan yang terletak di sebelah utara dan
barat daya yang mempunyai elevasi mulai sekitar 50 m dpl.

4) Satuan Sub Cekungan Air Bawah Tanah (CABT) Tangerang

Satuan sub cekungan ini mencakup wilayah Kota Tangerang,


Kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang, Kabupaten Lebak dan sebagian
Kabupaten Bogor (Provinsi Jawa Barat), dengan total luas sekitar 1.850 km2.
Batas sub cekungan ini di sebelah Utara adalah Laut Jawa, bagian timur
adalah Kali Cisadane, bagian Selatan yang merupakan kontak dengan lapisan
nir akuifer, serta bagian barat adalah Kali Ciujung. Jumlah imbuhan air bawah
tanah di seluruh sub CABT Tangerang sekitar 311 juta m3/tahun, sedangkan
jumlah aliran air bawah tanah tertekan terhitung sekitar 0,9 juta m3/tahun.

4.1.3 Tata Hutan

a. Perkembangan Luas Hutan dan Persentase Hutan

62
Luas kawasan hutan di Provinsi Banten disajikan pada Tabel 4.1. Persentase

kawasan hutan konservasi di Provinsi Banten mencapai 60,72%, hutan produksi

mencapai 34,73% dan hutan lindung mencapai 4,5 %. Luasnya kawasan hutan

konservasi di Provinsi Banten menunjukkan bahwa provinsi tersebut memiliki

potensi sumberdaya hutan yang unik dan khas sebagai ekosistem berbagai spesies

flora dan fauna, dan penyedia jasa lingkungan.

Tabel 4.1 Luas Kawasan Hutan di Provinsi Banten


Persentase Terhadap
No Fungsi Kawasan Hutan Luas (Ha) Luas Kawasan Darat
(%)
1. Hutan Produksi 72.292,58 34,73
2. Hutan Lindung 9.471,39 4,55
3. Kawasan Konservasi
a. KSA dan KPA 171.454,30
(Daratan) 126.379,30
60,72
b. KSA dan KPA 45.057,00
(Perairan(
Luas Kawasan Hutan
208.161,27 100,00
(Daratan)
Luas Kawasan Hutan dan
253.218,27
Perairan

Selain kawasan hutan, di Provinsi Banten terdapat hutan rakyat yang


mencapai 322.152,59 ha (BPKH Wilayah XI Jawa-Madura, 2015) sebagaimana
disajikan pada Tabel 4.2. Hutan rakyat di Provinsi Banten secara ekonomi lebih
potensial dikembangkan karena luasnya lebih besar daripada kawasan hutan.

Tabel 4.2. Perkembangan Luas Indikatif Hutan Rakyat di Provinsi Banten


Berdasarkan Penafsiran Citra Satelit Landsat 7 ETM+

63
Luas Hutan Rakyat (ha)
No Kabupaten
2003(*) 2011(*) 2015(*)
1. Kodya Tangerang 84,21 104,87 143,46
2. Lebak 59.132,27 168.733,21 158.058,46
3. Pandeglang 64.148,75 111.145,69 108.255,12
4. Serang 24.545,74 36.555,01 37.111,11
5. Tangerang 15.335,58 19.921,85 18.584,44
Jumlah 163.246,55 336.460,63 322.152,59
Sumber: Hasil Analisis BPKH Wilayah XI Jawa-Madura Ketarangan:
1993 (*) : Berdasarkan Liputan citra Tahun 2003-2006
2003(*) : Berdasarkan Liputan citra Tahun 2008-2011
2008 (*) : Berdasarkan Liputan citra Tahun 2013-2015

Luas hutan rakyat hampir 4,45 kali lebih luas dari pada hutan produksi
yang ada di Provinsi Banten. Hutan rakyat terluas berada di Kabupaten Lebak
seluas 158.058,46 ha, disusul dengan Kabupaten Pandeglang seluas 108.255,12
ha. Apabila luas tutupan lahan hutan rakyat ditambahkan dengan luas hutan
negara (kawasan hutan) maka terdapat total luas tutupan lahan hutan
530.313,86 ha setara dengan 58,39% dari luas daratan.

Upaya untuk mencapai tujuan tersebut masih sulit dicapai di Provinsi


Banten karena luas kawasan hutannya kurang dari 30% dari luas daratan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
kehutanan. Luas kawasan hutan di Provinsi Banten sesuai Keputusan Menteri
Kehutanan dan Perkebunan No: 419/Kpts-II/1999 tanggal 15 Juni 1999 tentang
Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Jawa Barat serta SK
Penunjukan Parsial adalah seluas ± 253.218,27 ha, sedangkan luas daratan
kawasan hutannya mencapai 208.161,27 ha. Luas hutan tersebut mencapai ±
28% dari luas wilayah Provinsi Banten adalah 9.018,64 km2. Oleh karena itu
berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, maka bagi provinsi dan kabupaten/kota yang luas kawasan
hutannya kurang dari 30% perlu dilakukan upaya untuk menambah luas
kawasan hutannya. Mengacu kepada ketentuan peraturan perundang-undangan

64
tersebut, upaya mewujudkan pengelolaan hutan berkelanjutan di Provinsi
Banten masih belum optimal. Namun disisi lain, kebutuhan akan lahan untuk
kegiatan di luar kehutanan mengurangi luas kawasan hutan. BPKH Wilayah
XI Jawa-Madura (2015) menyebutkan bahwa sampai dengan tahun 2016
kawasan hutan di Provinsi Banten yang dimohon (izin prinsip maupun izin
kegiatan) untuk kegiatan non kehutanan dengan skema pinjam pakai kawasan
hutan mencapai luas 2.629,60 ha (1,26%) dari total luas kawasan hutan di
Provinsi Banten. Penggunaan kawasan hutan dengan skema pinjam pakai ini
lebih banyak digunakan untuk kegiatan pertambangan, sedangkan sebagian
kecil untuk pembangunan repeater telekomunikasi. Dengan adanya
permohonan untuk pinjam pakai kawasan hutan tersebut tentunya menjadi
permasalahan dalam pengelolaan hutan di Provinsi Banten.

Luas hutan di Provinsi Banten saat ini yang mencapai kurang dari 30%
menunjukkan bahwa luas hutan minimal belum dapat dicapai sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 15 ayat (3) dan ayat (4) Peraturan Daerah Provinsi
Banten Nomor 41 Tahun 2002 tentang Pengurusan Hutan yang berbunyi:
a) Ayat (3): Gubernur mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan
penutupan hutan untuk daerah aliran sungai dan atau pulau, guna optimalisasi
manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat
setempat;
b) Ayat (4): luas kawasan hutan Provinsi yang harus dipertahankan
sebagaimana disebutkan pada ayat (3) pasal ini minal 30% (tiga puluh persen)
dari luas Daerah Aliran Sungai dan atau pulau dengan sebaran yang
proporsional.

b. Perkembangan Luas Penutupan Lahan Berhutan di Provinsi Banten

Kondisi penutupan lahan (land covered) sangat dinamis dan cepat berubah
yang cenderung kea rah terbuka. BPKH Wilayah XI Jawa-Madura (2015)
melakukan analisis perubahan tutupan lahan di Provinsi Banten berdasarkan
hasil penafsiran Citra Landsat 7 ETM + liputan Tahun 2005/2006 adalah
sebagai berikut:
a) Areal berhutan: 168.903,98 ha (18,73%)

65
b) Areal tidak berhutan: 727.236,38 ha (80,64%)
c) Data tidak lengkap: 5.723,64 ha (0,63%)
Khusus di dalam kawasan hutan, kondisi penutupan lahannya adalah sebagai
berikut:
a) Areal berhutan: 135.289,21 ha (64,99%)
b) Areal tidak berhutan: 70.261,73 ha (33,75%)
c) Data tidak lengkap: 2.610,33 ha (1,26%)
Kondisi penutupan lahan di Provinsi Banten berdasarkan hasil penafsiran Citra
Landsat 7 ETM +Tahun 2008/2009 adalah sebagai berikut:
a) Areal berhutan: 178.594,91 ha (19,80%)
b) Areal tidak berhutan: 723.097,22 ha (80,18%)
c) Data tidak lengkap: 171,87 ha (0,02 %)
Khusus di dalam kawasan hutan, kondisi penutupan lahannya adalah sebagai
berikut:
a) Areal berhutan: 142.715,07 ha (68,56%)
b) Areal tidak berhutan: 65.418,30 ha (31,43%)
c) Data tidak lengkap: 27,90 ha (0,01%)
Perubahan luas tutupan lahan berupa hutan dan tidak berhutan di Provinsi
Banten Tahun 2012 dan Tahun 2015 disajikan dalam Tabel 3 berikut ini.

Tabel 4.3. Perubahan Luas Tutupan Lahan Berupa Hutan dan Tidak Berhutan
di Provinsi Banten Tahun 2006 dan Tahun 2009

Kawasan Luas Areal Berhutan Luas Areal Tidak Tidak ada


Hutan/Non (ha) Berhutan (ha) Data/Awan (ha)
No
Kawasan Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun
Hutan 2012 2013 2014 2015 2015 2015
Hutan
1 93.642,58 99.500,80 30.630,13 26.894,51 2.124,59 1,99
Konservasi
Hutan
2 5.840,37 6.039,23 3.523,53 3.431,34 107,49 0,82
Lindung
3 Hutan 35.806,27 37.175,05 36.108,07 35.092,44 378,24 25,09

66
Produksi
Areal
4 Penggunaan 33.614,76 35.879,83 656.974,65 657.678,92 3.113,32 143,97
Lain
Total 168.903,98 178.594,91 727.236,38 723.097,22 5.723,64 171,87
Persentase
18,73 19,80 80,64 80,18 0,63 0,02
(%)
Sumber:BPKH Wilayah XI Jawa-Madura, 2015

Kawasan hutan di Provinsi Banten masih menjadi sumber lahan untuk


kegiatan bukan kehutanan. Kawasan hutan di Provinsi Banten yang dimohon
untuk kegiatan bukan kehutanan sampai dengan tahun 2009 mencapai 2.629,60 ha
(1,26 %) dari total luas kawasan hutan di Provinsi Banten. Penggunaan Kawasan
hutan dengan skema pinjam pakai ini lebih banyak digunakan untuk kegiatan
pertambangan, sedangkan sebagian kecil untuk pembangunan repeater
telekomunikasi. Perkembangan kegiatan pinjam kawasan hutan di Provinsi
Banten sampai tahun 2015 disajikan pada Table 3

Tabel 4.4 Perkembangan Kegiatan Pinjam Pakai Kawasan Hutan di Provinsi


Banten Sampai Dengan Tahun 2015

Kawasan yang Lahan


Jumlah digunakan Kompensasi
Kabupaten
No Pemohon Jumlah Jumlah Luas
Luas (ha)
Lokasi Lokasi (ha)
1 Pandeglang - 1 32,00
2 Lebak 3 3 2.601,06 - -
3 Serang 1 1 7,00 - -
4 Tangerang 1 1 21,54 - -
Total 5 5 2.629,60 1 32,00

67
Sumber: Data Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Banten dan Perum
Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten (Diolah)

Adannya rencana pinjam pakai kawasan hutan tersebut berdampak


terhadap perubahan lahan hutan di Provinsi Banten sebagaimana disajikan pada
Tabel 4.5. Perubahan fungsi kawasan hutan akan terjadi pada hutan produksi yang
mencapai 14.201,32 ha. Akibat usulan perubahan fungsi kawasan hutan tersebut,
maka luas hutan produksi menjadi 58.091,26 ha (6,71%) dari luas hutan produksi
sebelumnya sebesar 72.292,58 ha (8,36%). Namun demikian kawasan hutan
kenservasi dan lindung masing-masing bertambah sebesar 0,35% dan 1,3%
Tabel 4.5. Rencana Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Provinsi Banten

Jenis
N Fungsi Satua Keteranga
Gangguan/Kerusaka Volume
O Kawasan n n
n
1 TN. Ujung Pemukiman Liar Ha 24,2 Tahun 2015
Kulon Perladangan Liar Ha 3.440,3
4
Penebangan Liar Batang 46
Pencurian Biota Laut Kali 13
Pelanggaran Batas
Kawasan Hutan Kali 6
Perburuan Liar Kali 2
Pencurian Timah Kali 1
Hitam
2 TN.Gn. Penabangan Liar Batang 144 Tahun 2013
Halimun Salak Perambahan Liar Ha 2.584,8
(Seksi Wil. I, 5
Kab.Lebak) Penambangan Emas Ha 68,5
Tanpa Izin
3 TWA. Carita Perambahan Liar Ha 50,5 Tahun 2015
4 TWA. Pulau Perambahan Liar Ha 51 Tahun 2015
Sangiang

68
5 CA.Gn.Tukun Perambahan Liar Ha 50,5 Tahun 2015
g Gede
6 CA. Rawan Perambahan Liar Ha 845,13 Tahun 2015
Danau
Sumber:BPKH Wilayah XI Jawa-Madura, 2015

Masih adanya rencana perubahan fungsi kawasan hutan di Provinsi Banten


menunjukkan upaya untuk mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan
penutupan hutan sebagaimana diamanatkan pada Pasal 15 Peraturan Daerah
Provinsi Banten tentang Pengurusan Hutan sampai saat ini belum terlaksana
sepenuhnya, bahkan ancaman kelestarian hutan masih cukup tinggi dengan masih
adanya perubahan fungsi kawasan hutan untuk kegiatan bukan kehutanan

c. Kondisi Ekosistem Hutan

Kawasan hutan Provinsi Banten didominasi oleh hutan konservasi, sehingga


tekanan dan gangguan keamanan hutan banyak terjadi di hutan Konservasi
sebagaimana disajikan pada table 4.6 Bentuk gangguan keamanan hutan yang
banyak terjadi berupa (a) perambahan lahan hutan, (b) penebangan kayu liar
(illegal Logging) , dan (c) penambangan emas tanpa ijin (PETI) dalam kawasan
hutan. Terjadinya gangguan keamanan terebut terkait dengan masih terbatasnya
jumlah petugas dan fasilitas pengamanan hutan (Tabel 4.6) yang ada di Provinsi
Banten dibandingkan dengan luas kawasan hutan yang harus diamankan dengan
akses terbuka (open acces)

Tabel 4.6. Sarana dan Prasarana Hutan di Provinsi Banten

Sarana/Prasarana
No Instansi Jumlah Ket
Pengamanan Hutan
1. BTN Ujung Kulon - Senjata Api 41 Th.2015
2. Dishutbun Provinsi Banten - Mobil Patroli 2 Th.2015
KPH Banten - Pemadam Kebakaran 6 Th.2015
3. BTN Gn.Halimun Salak - -

69
- Pemadam Kebakaran 7 Th. 2014
- Senjata Api 20 Th. 2014
4. BBKSDA Jawa Barat - Alat Komunikasi 23 Th.2014
(Seksi Serang) - Mobil Patroli 1 Th.2015
- Motor 7 Th.2015
- Senjata Api 11 Th.2015
Sumber: BTN Ujung Kulon, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Banten,
KPH Banten, BTN Gn. Halimun Salak dan BBKSDA Jawa Barat

Masih terjadinya gangguan keamanan hutan di Provinsi Banten


menunjukkan bahwa Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 41 Tahun 2002
tentang Pengurusan Hutan, khususnya Pasal 23 yang mengatur tentang larangan
kegiatan dalam pengurusan hutan belum sepenuhnya berjalan. Peraturan daerah
tersebut belum memberikan dampak jera terhadap pelaku pelanggaran di dalam
pengurusan hutan, sehingga gangguan keamanan hutan masih tetap terjadi di
semua kawasan hutan.

d. Produksi Hutan

Provinsi Banten yang tutupan hutannya berupa hutan negara (kawasan hutan
berupa hutan produksi, hutan lindung dan hutan konservasi) dan hutan rakyat
memiliki potensi produksi hutan berupa hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu,
dan jasa lingkungan. Berikut ini diuraikan potensi produksi hutan di wilayah
Provinsi Banten untuk memberikan gambaran tentang nilai manfaat hutan di
Provinsi Banten sebagai sumber ekonomi masyarakat dan pembangunan, serta
perlindungan sistem penyangga kehidupan di Provinsi Banten.

1) Potensi Hasil Hutan Kayu Provinsi Banten

Hasil hutan kayu Provinsi Banten berasal dari kawasan hutan produksi dan
hutan rakyat. Kawasan hutan produksi di Provinsi Banten yang dikelola oleh
Perum Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten seluas 72.292,58 ha. Luasan hutan
produksi tersebut terbagi ke dalam 6 (enam) kelas perusahaan yaitu jati, mahoni,
akasia mangium, damar, meranti dan payau. Potensi kayu dan non kayu di
Provinsi Banten juga terdapat di Hutan rakyat. Potensi tegakan menurut kelas

70
perusahaan tersebut secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4.7 Potensi tegakan
menurut kelas perusahaan dan pengelompokan kelas umur (KU) dengan rentang
umur tanaman 10 tahunan pada tahun 2016 berdasarkan Tabel 4.7 dapat diketahui
hal-hal sebagai berikut:
a) Kelas Perusahaan Jati didominasi oleh kelas umur muda terutama KU I
b) Kelas Perusahaan Mahoni didominasi oleh kelas umur muda terutama KU
I
c) Kelas Perusahaan Acacia mangium didominasi oleh kelas umur muda
terutama KU III
d) Kelas Perusahaan Damar didominasi oleh TKI/TJKL/BK
e) Kelas Perusahaan Meranti didominasi oleh kelas umur muda yaitu KU I
dan KU II

Luas indikatif hutan rakyat di Provinsi Banten pada Tahun 2014-2016


tersebut mencapai 322.152,59 ha dengan potensi kayu/tegakan mencapai
9.011.156,44 m3 dan potesndi karbon mencapai 5.152.034,71 ton (Tabel 4.7).
Hutan rakyat di Provinsi Banten terbesar luasnya berturut-turut adalah di
Kabupaten Lebak disusul oleh Kabupaten Pandeglang. Tanaman hutan rakyat
yang dominan di Provinsi Banten adalah sengon, durian, tangkil, jati, mahoni dan
sebagainya (BPKH Wilayah XI Jawa-Madura, 2015). Jenis kayu yang
mendominasi produksi kayu pertukangan (hasil tebangan A,B,C,D,E) dari hutan
negara di Provinsi Banten adalah kayu Akasia Mangium, Jati dan Mahoni.
Produksi kayu pertukangan jati pada Tahun 2016 mengalami penurunan setelah
terjadi peningkatan pada Tahun 2013-2015 sedangkan produksi kayu pertukangan
rimba mengalami peningkatan sejak Tahun 2014. Perkembangan produksi kayu
pertukangan di Provins Banten selama 5 (lima) tahun terakhir (Tahun 2011-2015)
tersebut disajikan pada Tabel

Tabel 4.7. Produksi Kayu Pertukangan (Hasil Tebangan A,B,C,D,E) di Provinsi


Banten Tahun 2011 s/d Tahun 2015

71
Produksi Kayu Pertukangan
Jenis Tahun 2011 Tahun 2012 Tahun 2013 Tahun 2014 Tahun 2015
No
Kayu Luas Volume Luas Volume Luas Volume Luas Volume Luas Volume
(ha) (m3) (ha) (m3) (ha) (m3) (ha) (m3) (ha) (m3)
1 Jati 383 16.675 967 13.944 267 14.780 925 25.939 1.242 24.156
2 Rimba 379 9.802 287 5.731 457 8.114 442 10.071 1.752 47.256
Jumlah 762 26.477 1.254 19.675 724 22.894 1.367 36.010 2.994 71.412
Sumber:Statistik Perum Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten Tahun 2011-2015

Produksi kayu bakar jati hanya ada pada Tahun 2011 dan selebihnya tidak
ada produksi sedangkan produksi kayu bakar rimba tidak ada untuk kurun waktu
Tahun 2011-2015. Perkembangan produksi kayu bakar di Provinsi Banten selama
5 (lima) tahun terakhir (Tahun 2011-2015) tersebut disajikan pada Tabel 4.8.

Tabel 4.8. Produksi Kayu Bakar (Hasil Tebangan A,B,C,D,E) di Provinsi Banten
Tahun 2011 s/d Tahun 2015
Produksi Kayu Bakar (Sm)
No Jenis Kayu Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun
2011 2012 2013 2014 2015
1. Jati 87 0 0 0 0
2. Rimba 0 0 0 0 0
Jumlah 87 0 0 0 0
Sumber: Statistik Perum Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten Tahun 2011-2015

Produksi kayu dari hutan rakyat di Provinsi Banten berupa kayu bulat dan
kayu olahan. Produksi kayu dari hutan rakyat di Provinsi Banten pada Tahun 2016
dapat dilihat pada Tabel 4.9.

Tabel 4.9. Produksi Kayu Hutan Rakyat di Provinsi Banten Tahun 2016
Jenis Produksi Kayu
No Kabupaten
Kayu Bulat (m3) Kayu Olahan (m3)
1. Serang 16.742,74 -
2. Pandeglang 12.290,92 8.521,51
3. Lebak 41.386,04 27.893,58
Total 70.419,70 36.415,09

72
Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Hutan (2016).

2) Potensi Hasil Hutan Bukan Kayu Provinsi Banten


Hasil hutan bukan kayu (HHBK) di Provinsi Banten memiliki potensi
yang cukup baik, meskipun tidak semua jenis HHBK tersebar serta dikelola dan
diusahakan di setiap daerah di wilayah Provinsi Banten. Jenis komoditi HHBK
yang telah dikelola dan diusahakan di Provinsi Banten berdasarkan hasil Kajian
Penetapan Komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu Unggulan Provinsi Banten
(Dishutbun Provinsi Banten, 2015) antara lain adalah Aren (Arenga pinnata),
Bambu (Bambusa sp), Burung Walet (Collocalia Fuciphaga), Durian (Durio
zibethinus), Jamur, Lebah Madu (Apis spp), Melinjo (Gnetum gnemon), pandan
(Pandanus spp.), Rotan (Calamus sp), Buaya Muara (Crocodylus porosus), Ulat
Sutera (Bombyx mori L), Buaya Air Tawar (Crocodylus novaehuineae), Kera
Ekor Panjang (Macaca fascicularis), Rusa Timor (Cervus timorensis), dan Kijang
(Muntiacus muntjac), Anyaman pandan (Pandanus spp.). Jumlah produksi Aren di
Provinsi Banten pada Tahun 2015 mencapai 1.583 Ton dengan Produktivitas
sebanyak 3.045 Kg/Ha-nya. Jumlah Kepala keluarga yang mengusahakan
komoditas ini tercatat sebanyak 1.640 KK yang tersebar di Kabupaten Lebak dan
Pandeglang. Potensi komoditas Aren di Provinsi Banten selengkapnya disajikan
pada Tabel 4.10. Berdasarkan data komoditas industry kecil menengah unggulan
Kabupaten Lebak pada tahun 2015 produksi Gula Aren mencapai 11.811.450 Kg.
Dengan nilai produksi sebesar Rp. 70.868.700.000,- Dari Tabel 4.10 dapat dilihat
bahwa Kecamatan Sobang merupakan penghasil aren paling besar yakni
2.746.800 kg per tahun, dengan nilai produksi sebesar Rp. 6.592.320,000,-.
Kecamatan Bojongmanik merupakan daerah penghasil aren paling sedikit hanya
sebesar 73.500 kg per tahun dengan nilai Rp. 176.400.000 per tahun.

Tabel 4.10 Potensi Komoditas Aren di Provinsi Banten

No Kabupaten/Kota TBM TM TR Jumlah Produksi Produktivitas Jumlah


(Ha) (Ha) (Ha) (Ton) (Kg/Ha) KK
1 Lebak 999 1.166 133 2.298 1.308 1.122 432
2 Pandeglang 93 143 81 317 275 1.923 1.208

73
Jumlah 1.092 1309 214 2573 1.583 3.045 1.640

Sumber : Statistik Kehutanan dan perkebunan Provinsi Banten Tahun 2015

Tabel 4.11 Produktivitas Komoditas Aren kabupaten Lebak 2015


Unit Tenaga Nilai Kapasitas Nilai Nilai
No Kecamatan Usaha Kerja Investasi Produksi Produksi Bb/Bp
(Unit) (Orang) (Rp.000) (Kg) (Rp.000) (Rp.000)
1 Sobang 1.308 2.616 1.962.000 2.746.800 16.480.800 6.592.320
2 Bojongmanik 35 70 52.500 73.500 441.000 176.400
3 Lebak 58 116 87.000 121.800 730.800 292.320
Gedong
4 Sajira 36 72 54.000 75.600 453.600 181.440
5 Gunung 159 318 238.500 333.900 2.003.400 801.360
Kencana
6 Cigemblong 383 737 574.500 773.850 4.643.100 1.857.240
7 Cijaku 233 466 349.500 489.300 2.935.800 1.174.320
8 Cibeber 895 1.790 1.342.500 1.879.500 11.277.000 4.510.800
9 Cilograng 167 334 250.500 350.700 2.104.200 841.680
10 Cihara 118 120 177.000 126.000 756.000 302.400
11 Lebak 278 556 417.000 583.800 3.502.800 1.401.120
Gedong
12 Muncang 256 512 384.000 537.600 3.225.600 1.290.240
13 Cirinten 235 470 352.500 493.500 2.961.000 1.184.400
14 Cijaku 138 276 207.000 289.800 1.738.800 695.520
15 Cigemblomg 363 726 544.500 762.300 4.573.800 1.829.520
16 Wanasalam 64 128 96.000 134.400 806.400 322.560
17 Malingping 131 262 196.500 275.100 1.650.600 660.240
18 Panggarangan 681 1362 1.021.500 1.430.100 8.580.600 3.432.240
19 Cihara 87 174 130.500 182.700 1.096.200 438.480
20 Cilograng 72 144 108.000 151.200 907.200 362.880

74
Jumlah 5.697 11.249 8.545.500 11.811.450 70.868.700 70.868.700
Sumber : Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Lebak 2009 (diolah)

Komoditas Aren di Kabupaten Pandeglang pada tahun 2015 berdasarkan


data Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Banten dapat memproduksi Gula
Aren sebanyak 15 Ton/bulan (Tabel 4.12).

Tabel 4.12 Produktivitas Komoditas Aren Kabupaten Pandeglang 2015

No Nama Perusahaan/Kelompok Komuditas Hasil Olahan Jumlah Produksi


1 Harum Manis Aren Gula Aren 8 Ton/Bulan
2 Ramin Cs Aren Gula Aren 7 Ton/Bulan
Jumlah 15 Ton/Bulan

Sumber: Statistik Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Banten Tahun 2015


Selain potensi komoditas Aren dari Tabel 4.12 kelompok tani pengrajin
dan luas lahan Aren di Kabupaten Pandeglang yang berada dibawah binaan Perum
Perhutani KPH Banten, diantaranya : KTH Ciungwanara Desa Karangbolong
Kecamatan Cigeulis dengan luas 100 Ha, KTH Berkah Lestari Desa Citeureup
Kecamatan Panimbang dengan luas 25 Ha, KTH Tunas Baru Desa Malangnengah
Kecamatan Cibitung dengan luasan 25 Ha dan KTH Wangi Leustari Desa
Cibimbing Kecamatan Cibaliung dengan luas areal 50 Ha. Kawasan sentra
komuditas Unggulan Aren di Kabupaten Pandeglang antara lain Kecamatan
Mandalawangi, Kecamatan Cibaliung dan Kecamatan Munjul (KPH Banten,
2015).

Bambu (Bambusa sp) di Provinsi Banten tersebar terutama di wilayah


Kabupaten Lebak (Kecamatan Sajira, Leuwidamar, Cibeubeur, Cimarga, Cikulur
Rangkasbitung dan Cirinten), Pandeglang (Kecamatan Banjar, Cadasari, Kadu
Hejo, dan Picung), dan sebagian Kabupaten Serang, baik berada di kawasan hutan
maupun hutan rakyat. Jenis Bambu yang dibudidayakan dan diolah oleh
masyarakat Banten umunya adalah jenis bamboo yang mempunyai nilai jual dan
mudah untuk diolah, diantaranya : Bambu Apus (Giganthocloa apus), Bambu
Hitam (Giganthocloa atroviolacea), Bambu Mayan (Giganthocloa robusta),

75
Bambu Betung (Dendrocalamus asper), Bambu Surat (Giganthocloa
pseudoarundinacea) dan Bambu Tali (Aparagus Cochincinensis). Potensi
produksi Bambu di Kabupaten Lebak pada tahun 2015 dapat dilihat pada Tabel
4.13 Dari Tabel tersebut dapat dilihat bahwa potensi total komoditas bamboo total
adalah sebesar 3.397.158 batang dengan luas lahan kebun bamboo seluas 3.200,8
Ha. Daerah yang memiliki potensi bambu terbesar Kecamatan Cilograng dengan
jumlah bamboo yang produksi sebanyak 470.765 batang.

Tabel 4.13. Produksi Bambu Per Kecamatan di Kabupaten Lebak Tahun


2015

No Kecamatan/Desa Luas (Ha) Hasil Potensi (Batang)


1 Bayah 34,15 40.400
2 Cikulur 298 171.900
3 Panggarangan 65 5.607
4 Cigemblong 45 112.500
5 Cileles 105 41.000
6 Curugbitung 61 122.000
7 Lebakgedong 171 114.550
8 Maja 75 30.000
9 Gunung Kencana 49 39.00
10 Bojongmanik 225 17.500
11 Cirinten 54,75 109.500
12 Cihara 78 97.500
13 Malingping 176 176.000
14 Muncang 102 192.000
15 Cibadak 95 97.500
16 Sajira 238 222.100
17 Cibeber 522 419.020
18 Cimarga 219 148.700
19 Wanasalam 35 6.941
20 Cilograng 88,25 470.765
21 Cijaku 35 87.000

76
22 Sobang 20 29.400
23 Kalanganyar 23 142.100
24 Warunggung 27 11.500
25 Leuwidamar 77 6.150
26 Cipanas 10,65 63.900.00
27 Rangkasbitung 86 33.125.00
28 Banjarsari 186 389.500
Jumlah Total 3.200,80 3.397.158
Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Lebak, 2015 (diolah)
Komoditas bamboo ini diolah oleh masyarakat menjadi kerajinan anyaman
bambu. Berdasrakan data komoditas industri kecil menengah unggulan Kabupaten
Lebak pada tahun 2015 produksi anyaman bamboo mencapai 996.200 Kg dengan
nilai produksi sebesar Rp. 12.423.000.000,-. Pemasaran hasil ayaman bamboo di
kedua kabupaten tersebut umumnya maish terbatas untuk memenuhi kebutuhan
pasar lokal di Provinsi Banten.

Komoditas wallet di Provinsi Banten paling banyak berada di Kecamatan


Bayah Barat, dengan total jumlah lantai sebanyak 25 lantai dan komoditas wallet
yang diternakkan adalah jenis sriti. Potensi wallet di Provinsi Banten total
sebanyak 113 lantai. Data total daerah yang terdapat ternak wallet dapat dilihat
pada Tabel 4.14

Tabel 4.14 Daftar Penangkar Sarang Bening Walet di Provinsi Banten Tahun
2015

Lokasi Jumlah Jenis


No Kecamatan Kabupaten
Budidaya Lantai Walet
1 Bayah Barat Lebak Bayah 1 15 Sriti
Bayah 1 1 Sriti
Cikumpay 1 Sriti
Ciwaru 1 Sriti
Ciwaru 1 Sriti
Ciwaru 1 Sriti
Ciwaru 1 Sriti

77
Bayah Tugu 1 Sriti
Bayah Tugu 1 Sriti
Bayah II 1 Sriti
Bayah II 1 Sriti
2 Bayah Timur Lebak Waning Lama 2 Sriti
Darmasan Lebak Tenjo Laut 1 Sriti
Sawarna Lebak Cibarengkok 1 Sriti
3 Muncang Kopo Lebak Cipeucang 2 Sriti
Cipeucang 2 Sriti
4 Muara Dua Jullat 2 Sriti
Gagmbiram 1 Sriti
5 Cigoong Selatan Salapanjang 2 Sriti
Pecang Pari Cibugang 1 Sriti
Cigemblong Lebak Babakan 1 Sriti
Babakan 1 Sriti
6 Cilayang Kancah 2 Sriti
7 Kramat Jaya Serang Lebak Jati 1 Sriti
8 Cimayang Lw Kopo 1 Sriti
9 Bojong Manik Lebak Bojong Manik 2 Sriti
Bojong Manik 1 Sriti
10 Pondok Panjang Sukahujan 1 Sriti
11 Cihara Lebak Muara Cihara 2
12 Cikotok Lebak Pasir Nangka 1
13 Cibeber Warung Krupuk 1
14 Warung Banten Warung Banten 1
15 Neglasari Babak Carucuk 1
16 Situmulya Lebak Cisitu 1
17 Margajaya Lebak Cileki 1
Cimarga 1
18 Girimukti Lebak Bangkok 2
19 Mekarjaya Tapen 1

78
20 Sarageni Lebak Bangunan 1
21 Muara Lebak Binuangen 2
Binuangen 2
Binuangen 1
Alas Roban 1
Wanassalam 1
22 Cikatomas Lebak Cikatomas 1
23 Cijengkol Lebak Cijengkol 1
24 Cibareno Lebak Babakan Asem 2
25 Cijaku Lebak Lebak siuh 1
Suka sari 1
26 Suka Serang Lebak Warung Uyum 1
27 Suobang Pandeglang Cikawah 1
28 Kalanganyar Tangerang Cirende 2
Cirende 2
29 Sukamekarsari Lebak Kedung 1
Kedung 2
Kedung 2
Kedung 2
Kedung 1
30 Cilangkap Lebak Cempaka 1
Cempaka 1
Cempaka 2
Cempaka 2
Cempaka 2
31 Cipanas Lebak Kp. Kondang 2
Jumlah 113
Sumber : Statistik Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Banten 2015.

Produksi buah durian di Provinsi Bnaten selama tahun 2015 adalah


sebanyak 93,154 kuintal. Dengan Kecamatan Pabuaran tempat produksi durian
paling besar yakni 28,578 kuintal dalam stau tahun. Potensi buah durian tersebar

79
dibeberapa wilayah Kecamatan di Kabupaten Serang, antara lain Kecamatan
Cinangka, Ciomas, Pabuaran, Gunung Sari, Baros, Petir, Tanjung Teja, Cikeusal,
Pamarayan, Kopo, Warung Kurung, Mancak, Anyer, dan Bojonegara. Wilayah
kecamatan yang terdapat populasi tanaman durian tidak semuanya memproduksi
durian. Kecamatan Cikende, Kecamatan Pulo Ampel, dan Karang Waru
merupakan kecamatan yang terdapat populasi tanaman durian namun belum
menghasilkan buah durian sendiri. Jumlah tanaman durian di Kecamatan
Pabuaran adalah sebanyak 49.553 batang pohon. Selain di Kabupaten Serang,
berdasarkan data tahun 2016 dari Perum Perhutani KPH Banten di Kabupaten
Pandeglang komoditas Durian dibudidayakan dengan luas areal seluas 976,76 Ha.
Produksi harian yang dihasilkan pada tahun tersebut mencapai 772 butir dengan
jumlah pendapatan sejumlah Rp. 1.544.000,- dimana harga perbutirnya Rp. 2000,-
. Sentra komoditas Durian di Kabupaten Pandeglang terdapat di Kecamatan Cilaja
dan Kecamatan Pandeglang itu sendiri. Sedeangkan sentra komoditas Durian di
Kabupaten Lebak terdapat di Kecamatan Gunung Kencana.

Komoditas durian yang memiliki nilai jual yang cukup tinggi ini, di
Provinsi Banten diusahakan salah satunya oleh CV. Durian Jatohan Haji Arif
(DJHA) yang terletak di Ds.Panyirapan Kec.Baros Kota Serang. CV. DJHA
menyediakan berbagai jenis durian dari berbagai daerah di tanah air. Untuk
memenuhi kebutuhan Durian-nya, CV. DJHA bekerjasama dengan pengumpul
durian terutama dari Kecamatan Ciomas dan Kecamatan Pandeglang Kabupaten
Pandeglang, serta Kecamatan Gunung Kencana Kabupaten Lebak, selain dari
daerah lain di luar Banten seperti, Sumatera dan Kalimantan.

Jamur (Pleurotus sp.) di Provinsi Banten tersebar di wilayah Kabupaten


Pandeglang, Kabupaten/Kota Serang, dan Kabupaten Lebak. Produsen Jamur
Tiram yang tercatat di Dinas Kehutanan Provinsi Banten sebanyak 3 petani
dengan kapasitas produksi sebesar 200 kg per harinya. Budidaya jamur sangat
potensial dilihat dari tingginya permintaan produk sebanyak 20-100 kg per
harinya untuk pasar lokal, belum termasuk pasar di luar Provinsi Banten. Dengan
potensi barupa bahan baku yang mudah didapat dan SDM tersedia banyak
membuat jamur tiram dapat dikembangkan menjadi potensi unggulan bukan kayu.

80
Tabel 4.12 menunjukkan kelompok tani dan volume produksi Jamur Tiram yang
dapat diproduksi per hari di Kabupaten Serang, Pandeglang dan Lebak. Produksi
madu di Provinsi banten mencapai 270 kg per bulan pada tahun 2015. Dengan
lokasi budidaya tersebar hanya di Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak.
Salah satu produsen madu yang masih beroperasi adalah Kelompok Tani Alam
Lestari di Kampung Beunying Desa Majasari Kecamatan Padeglang. Madu yang
diproduksi dipasarkan untuk pasar di dalam dan luar wilayah Provinsi Banten
dengan daerah tujuan pemasaran adalah Lampung, Jakarta, Bogor, Bandung,
Cirebon. Untuk pasar internasional kebutuhan sekitar 50-100 kg per bulan.
Dengan negara yang dituju adalah Australia, Malaysia, Perancis dan Kanada.
Namun, pemasaran ke luar negeri tersebut saat ini tidak lagi berjalan karena tidak
dapat terpenuhinya quota yang dipesan oleh konsumen negara tujuan oleh
produsen madu di Provinsi Banten.

Tabel 4.15 Data Kelompok Binaan Khusus Dishutbun Banten Tahun 2015.

Nama Komoditas/Bid Volume Produksi


No Alamat
Kelompok ang Usaha (Kg/hari)
1 Karya Tani Kmp.Kompa.Ds.Teras Kec. Jamur Tiram
50
Carenang, Kabupaten serang
2 Daya mukti II Ds.BaturanjangKec.Cipeucan Jamur Tiram
100
g,Kabupaten Pandeglang
3 Bina Kp.CibeureumKec.Cibeubeu Jamur Tiram
120
Sejahtera 2 r,Kabupaten Lebak
Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Banten 2015 (diolah).

Melinjo (Gnetum gnemon) di Provinsi Banten tersebar terutama di wilayah


Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang, Kota Cilegon dan Kabupaten Lebak.
Realisasi produksi buah Melinjo di Kabupaten Serang selama tahun 2015
disajikan pada Tabel 4.16 Kecamatan Warung Kurung merupakan tempat
produksi Melinjo paling besar yakni 281,100 kuintal dalam satu tahun. Potensi
buah melinjo tersebar dibeberapa wilayah Kecamatan di Kabupaten Serang, antara
lain kecamatan Cinangka, Padarincang, Ciomas, Pabuaran, Gunung Sari, Baros,

81
Petir, Tj Teja, Cikeusal, Pamarayan, Bandung, Jawilan, Kopo, Kragilan, Warung
Kurung, Mancak, Anyer, Bojonegara, dan pulo Ampel, dan Kr Ratu.

Tabel 4.16 Data Kondisi Tanaman Melinjo (pohon) Kabupaten Serang 2015
Jumlah
Jumlah Realisasi
Tanaman Produksi Produktivitas
No Kecamatan Tanaman Tanaman
Produktif (Kuintal) (Ku/Pohon)
(Pohon) (Pohon)
(Pohon)
1 Cinangka 78,500 59,630 30,090 39,538 0.50
2 Padarincang 114,606 10,300 51,420 78,673 0.69
3 Ciomas 196,766 1,095 333,917 252,915 1.29
4 Pabuaran 50,490 548 21,353 16,643 0.33
5 Gunung Sari 13,090 3,750 21,398 1,176 0.09
6 Baros 50,568 50,568 20,968 -
7 Petir 22,414 188 19,780 8,428 0.38
8 Tj.Teja 15,020 450 12,281 6,517 0.43
9 Cikeusal 2,176 - 1,924 1,781 0.82
10 Pamarayan 9,401 250 25,737 37,253 3.96
11 Bandung 5,700 5,000 8,000 11,240 1.97
12 Jawilan 2,545 - 3,080 4,417 1.74
13 Kopo 2,784 1,000 4,530 5,089 1.83
14 Cikande - - - - -
15 Kibin 1,574 - - - -
16 Kragilan 1,085 10 1,680 2,465 2.27
17 Wr.Kurung 256,679 150 300,000 281,100 1.10
18 Mancak 78,895 - 24,800 5,580 0.07
19 Anyer 19,077 17,235 16,035 20,525 1.08
20 Bojonegara 6,996 - 9,600 6,552 0.94
21 Pulo Ampel 26,325 45 32,124 26,389 1.00
22 Kr.Watu 5,530 - 7,226 5,697 1.03
23 Ciruas - - - - -
24 Pontang - - - - -

82
25 Carenang - - - - -
26 Binuang - - - - -
27 Tirtayasa - - - - -
28 Tanara - - - - -
Jumlah 960,221 150,219 945,943 811,977 0.85
Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Serang, 2009 (diolah)

Kabupaten Pandeglang merupakan salah satu kabupaten sentra produksi


Emping Melinjo di Provinsi Banten. Berdasarkan catatan Dinas Kehutanan dan
Perkebunan Provinsi Banten jumlah produksi Emping Melinjo di Kabupaten
Pandeglang paling banyak pada tahun 2015 adalah perusahaan/kelompok Mekar
Melati rata-rata dapat mencapai 720 Ton/tahun. Berdasarkan data komoditas
industri kecil menengah unggulan Kabupaten Lebak pada Tahun 2015 produksi
emping mencapai 1.203.000 Kg dengan nilai produksi sebesar
Rp.24.060.000.000. Pemasaran hasil emping diumumnya masih terbatas untuk
memenuhi kebutuhan pasar lokal di Provinsi Banten. Produksi Melinjo tahun
2015 adalah sebesar 42,870 kg dari target sebesar 59,818 kg (Dishutbun Provinsi
Banten, 2015).

Pandan (Pandanus spp) di Provinsi Banten tersebar terutama di wilayah


Lebak, baik berada di kawasan hutan maupun hutan rakyat. Komoditas ini diolah
oleh masyarakat menjadi tikar pandan. Tradisi mengayam bagi masyarakat Banten
merupakan warisan dari nenek moyang mereka, dimana semua keluarga baik laki-
laki ataupun perempuan bias mengerjakannya, untuk memenuhi kebutuhan alat-
alat rumah tangga seperti, tikar pandan mereka buat sendiri, semula hanya untuk
memenuhi kebutuhan sendiri pohon Padan di Provinsi Banten tersebar terutama di
Wilayah Kabupaten Pandeglang dan Lebak. Pohon pandan tersebut telah dapat
dibudidayakan dengan baik oleh masyarakat.

Tabel 4.17. Data Luas Areal dan Produksi Komoditas Perkebunan Tanaman
Pandan Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak
N TB TM TR Jumla Produk Produktivit Jumla
Kab/Kota
o M (Ha (Ha h si (Ton) as (Kg/Ha) h KK

83
(Ha) ) )
1 Lebak 135 175 11 321 321 1.834 121
2 Pandeglan 134 28 91 253 44 1.571 119
g
Jumlah 269 203 102 574 365 3405 240
Sumber : Statistik Kehutanan dan Perkebunan Tahun 2015 (diolah)

Berdasarka data komoditas industry kecil menengah unggulan Kabupaten


Lebak pada tahun 2015 produksi tikar pandan di Provinsi Banten mencapai
243.120 lembar. Pemasaran hasil produksi tikar pandan umumnya masih terbatas
untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal di Provinsi Banten. Dengan nilai produksi
sebesar Rp. 12.156.000.000,- (Dishutbun Provinsi Banten, 2015).

Tabel 4.18 Daftar Industri Tikar Pandan Kabupaten Lebak 2015


Unit Tenaga Nilai Kapasitas Nilai Nilai
No Kecamatan Usaha Kerja Investasi Produksi Produksi Bb/Bp
(Unit) (Orang) (Rp.000) (Lembar) (Rp.000) (Rp.000)
1 Cikulur 2.020 4.040 2.190.100 121.200 6.060.000 606.000
2 Cileles 1.257 2.514 1.482.150 75.420 3.771.000 377.100
3 Banjarsari 146 292 177.250 8.760 438.000 43.800
4 Cirinten 629 1.258 754.800 37.740 1.887.000 188.700
Jumlah 4.052 8.104 4.604.300 243.120 12.156.000 1.215.600
Sumber : Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Lebak, 2015
(diolah)

Komoditas Rotan (Calamus sp) diolah oleh masyarakat kerajinan antara


lain berupa kursi dan saung. Berdasarkan data produksi hasil hutan non kayu
Provinsi Banten tahun 2015 produksi rotan mencapai 45.480 kg (Dinas Kehutanan
dan Perkebunan Provinsi Banten, 2015). Selain itu, potensi komoditas Rotan yang
dikelola dibawah binaan Perum Perhutani KPH Banten yang terdapat di
Kabupaten Pandeglang mencapai 53.710 Kg dengan nilai sebesar Rp.
507.715.000,- (Perum Perhutani KPH Banten, 2015).

84
Komoditas Buaya Muara di Provinsi Banten diantaranya dibudidayakan
oleh PT. Charoen Pokphand Jaya Farm berada di Kampung Dangdeur Desa
Perancangan, Kecamatan Cipocok Jaya Kota Serang (SK. Dirjen PHKA Nomor
SK.01/IV-set/Ho/2006 Tanggal 12 Juli 2006) dan PT. Ekanindya Karsa yang
berlokasi di Desa Parigi Kecamatan Cikande Kabupaten Serang (SK Menhut
No.118/IV-set/Ho/2006 Tanggal 12 Juli 2006). Dengan kapasitas produksi
sebanyak 1000-1500 ekor per tahun merupakan komoditas yang layak
dikembangkan karena memiliki nilai perdagangan ekspor yang besar lebih dari $
1 juta per tahunnya. Penguasaan teknoogi budidaya sudah dikuasai, akan tetapi
minimnya teknologi dalam mengelola hasil terutama produk turunanya
menyebabkan komoditas ini lebih terfokus pada usaha di bagian hulu. Nilai
ekonomis kulit buaya yang tinggi merupakan peluang bagi pengembangan usaha
penangkaran buaya ke depan. Lokasi penangkaran Kera Ekor Panjang (Macaca
fascicularis) di wilayah Provinsi Banten terdapat di pulau Deli Kabupaten
Pandeglang yang dikelola oleh Perum Perhutani Unit III (SK Dirjen PHKA
Nomor SK.44/BBKSDA/IV/Set-3/2005 Tanggal 23 Juni 2005), di Pulau Tinjil
Kabupaten Pandeglang yang dikelola oleh Pusat Studi Satwa Primata Institut
Pertanian Bogor (IPB) (Dirjen PHKA No.124/Kpts/DJ-V/2001 Tanggal 21
Desember 2001), dan di Desa Durian Kecamatan Malingping Kabupaten
Pandeglang yang dikelola oleh CV. Labsindo (Dirjen PHKA No.29/Kpts/DJ-
V/2001 Tanggal 23 Febuari 2001). Hewan yang tersebut sering dipelihara sebagai
hewan timangan, hewan sirkus, atau digunakan untuk percobaan laboratorium dan
dapat pula dilatih sebagai hwan pemetik buah kelapa. Jumlah komoditas Kera
Ekor Panjang disajikan pada Tabel 4.19

Tabel 4.19 Potensi Komoditas Kera Ekor Panjang di Provinsi Banten

No Perusahaan Komoditas Jumlah (Ekor)


Tahun 2013 Tahun 2015
1. Perum Perhutani Unit III Kera Ekor Panjang 12.000 8.594
(Macaca Fascicularis)
2. Pusat Studi Satwa Kera Ekor Panjang 1.988 2.211

85
Primata (IPB) (Macaca fascicularis)
3 CV.Labsindo Kera Ekor Panjang 587 602
(Macaca fascicularis)
Sumber : Balai Konservasi Sumberdaya Alam Seksi Serang, 2015 (diolah)

Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis) di Provinsi Banten terdapat di


Jl. Serang Cilegon Km. 3 Desa Sukma Jaya Kecamatan Jombang Kota Cilegon
dengan pemegang izin atas nama Sari kuring Indah berdasarkan SK Dirjen PHKA
Nomor SK. 33/IV-K.11/Konjen/2005 Tanggal 23 Juni 2005. Jumlah Rusa Timor
yang dikelola oleh perusahaan tersebut sebanyak 13 ekor (Balai Konservasi
Sumberdaya Alam Seksi Serang, 2015). Penangkaran komoditas Rusa Timor di
lokasi tersebut selain sebagai bagian dari kegiatan konservasi sekaligus dijadikan
sarana untuk pendidikan, rekreasi dan sebagai sarana mempromosikan Sari
Kuring kepada masyarakat umum. Penangkaran kijang (Muntiacus muntjac) di
Provinsi Banten berada di Jl. Serang-Cilegon Km. 3 Desa Sukma Jaya Kecamatan
Jombang Kota Cilegon. Izin penangkaran komoditas tersebut dipegang atas nama
Ir. Fredy Indradi dengan SK. Dirjen KBBKSDA Nomor SK. 1468/BBKSDA
JABAR/2009 Tanggal 7 September 2009. Jumlah kijang yang ditangkarkan
sebanyak 8 ekor. Selain sebagai bagian dari kegiatan konservasi, upaya
penangkaran Kijang ini dijadikan sebagai sarana untuk pendidikan dan rekreasi
(Dishutbun Provinsi Banten, 2015).
3) Keberadaan Hutan Lindung

Hutan lindung di Provinsi Banten mencapai 72.292,58 ha atau 34,73% dari


luas kawasan hutan di Provinsi Banten. Adapun luas hutan konservasi di Provinsi
Banten mencapai 171.454,30 ha atau 60,72% dari luas kawasan hutan (daratan) di
Provinsi Banten. Sebaran kawasan konservasi di Provinsi Banten disajikan pada
Tabel 4.30. Persentase luas hutan lindung dan hutan konservasi yang mencapai
95,45% dari luas kawasan hutan (daratan) di Provinsi Banten memiliki arti
strategis dalam perlindungan keanekaragaman hayati di Provinsi Banten. Hutan
lindung selain fungsi utamanya dalam perlindungan hidroorologis, juga menjadi
habitat berbagai spesies flora dan fauna. Begitu juga dengan hutan konservasi
yang ditetapkan secara khusus untuk melindungi berbagai keanekaragaman hayati

86
flora dan fauna yang ada di suatu wilayah, serta menyediakan berbagai jasa
lingkungan lainnya.

Hutan lindung di Provinsi Banten mencapai 7.157,88 ha atau 75,57% dari


luas hutan lindung di Provinsi Banten seluas 9.471,39 ha. Luas hutan lindung
tersebut relativ kecil terhadap total luas kawasan hutan di Provinsi Banten, yaitu
hanya 3,44 %. Walaupun luasan hutan lindung relativ kecil terhadap luas kawasan
hutan di Provinsi Banten, tetapi peranannya dalam perlindungan tanah dan air
dibantu oleh keberadaan hutan konservasi dan hutan lindung yang termasuk hutan
negara serta hutan rakyat yang berada di lahan-lahan milik masyarakat. Hal ini
dikarenakan bahwa hampir semua ekosistem hutan yang didominasi oleh tegakan
pohon yang secara alami berperan dalam siklus hidrologis, sehingga memiliki
fungsi penting dalam konservasi tanah dan air. Manfaat konservasi air sebenarnya
tidak terbatas pada hutan lindung saja, tetapi berbagai fungsi kawasan hutan
termasuk hutan konservasi dan hutan produksi memiliki peranan penting juga
terhadap konservasi air dan tanah.

Tabel 4.20 Luas Hutan Konservasi (Daratan dan Perairan) di Provinsi Banten
No Fugsi/Nama Kawasan Kabupaten/Kota Luas (ha)
1 Cagar Alam
-CA Rawa Danau Serang 2.500,00
-CA Gunung Tukung Gede Serang 1.700,00
-CA Pulau Dua Serang 30,00

2 Taman Wisata Alam


-TWA Carita Pandeglang 95,00
-TWA Pulau Sangiang Pandeglang 1.248,15

3 Taman Nasional
-TN Ujung Kulon Pandeglang 122.956,00

Pasal 21 Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 41 Tahun 2002 tentang


Pengurusan Hutan telah mewajibkan setiap orang yang memiliki, mengelola dan

87
atau memanfaatakan lahan kritis atau tidak produktif, wajib melaksanakan
rehabilitas lahan. Upaya rehabilitas hutan dan lahan di Provinsi sampai tahun
2015 disajikan pada Tabel 21

Tabel 4.21 Lahan Kritis dan Pelaksanaan Rehabilitas di Provinsi Banten


Luas
Lahan Total
Sisa
Kritis Pelaksanaan
No Kabupaten/Kota DAS Lahan
Awal Penanaman
Kritis
Tahun (Ha)
2009 (Ha)
1 Tangerang Cisadane, 7.010,40
1.200,00 5.810,40
Cidurian
2 Serang Ciujung,
Cibanten, 12.738,60 6.983,65 5.754,95
Cidurian
3 Pandeglang Cidanau,
Cibaliung, 21.427,60 25.626,00 4.198,40
Ciujung
4 Lebak Ciujung
Cidurian
110.964,90 18.239,75 92.725,15
Cibareno,
Cimandur
5 Kota Tangerang Cisadane,
1.804,90 230,00 1.574,90
Cidurian
6 Kota Cilegon Ciujung,
Cibanten, 2.615,00 1.325,00 1.290,00
Cidurian
Luas Total (Ha) 156.561,40 53.604,40 111.353,80
Sumber : BPDAS Citarum-Ciliwung (2015)

Tabel 4.21 menunjukkan bahwa luas lahan kritis pada tahun 2009 di
Provinsi Banten mencapai 156.561,40 ha dan pada akhir 2008 luas lahan kritis

88
masih mencapai 111.353,80 ha. Dalam kurun waktu 6 tahun (2009-2015) telah
dilakasanakan kegiatan rehabilitas hutan dan lahan di Provinsi Banten seluas
53.604,40 ha atau mencapai 8934,07 ha/tahun. Masih luasnya lahan kritis di
Provinsi Banten masih menjadi ancaman serius terhadap kelestarian lingkungan
hidup di Provinsi Banten. Oleh karena itu ketetapan yang diatur dalam Perda
Provinsi Banten Nomor 41 Tahun 2002 tentang Pengurusan Hutan, khususnya
pasal 21 perlu ditindaklanjuti dengan beberapa kebijakan dan kegiatan rehabilitas
hutan dan lahan. Walaupun kewajiban untuk melakukan rehabilitasi hutan dan
lahan telah ditegaskan sebagai bentuk kewajiban pemilik/pengelola lahan kritis,
namun dengan masih luasnya lahan kritis yang ada menunjukkan bahwa aturan
dalam perda tersebut belum sepenuhnya dilaksanakan oleh para pihak terkait.
Kegiatan rehabilitas hutan dan lahan yang masih luas tidak akan berhasil apabila
tidak didukung oleh keterlibatan aktif para pihak untuk memulihkan lahan
kritisnya menjadi lahan produktif kembali.

4) Keanekaragaman Hayati

Besarnya luas hutan lindung dan hutan konservasi menunjukkan bahwa di


Provinsi Banten terdapat berbagai jenis flora dan fauna yang beragam menurut
tipe ekosistemnya, misalnya (a) tipe ekosistem perairan laut terdiri dari rumput
laut, karang, padang lamun ; (b) tipe ekosistem pesisir pantai terdiri dari api-api,
bakau, nipah, bogem, nyamplung, ketapang, dan sebagainya; (c) tipe ekosistem
daratan/terrestrial terdiri dari palma, walingi, lampeni dan sebagainya.
Keberadaan flora ini juga menuntukan habitat dari beberapa satwa yang memiliki
ketergantungan terhadapnya. Beberapa jenis flora langka yang terdapat di Provinsi
Banten adalah kenari, kimenyan, palahlar, kibeusi gunung, bidur, bangkong,
kipuak, dan kibonteng.

Tabel 4.22 Flora yang Dominan di Kawasan Konservasi Provinsi Banten

No Nama Lokal Nama Ilmiah


1 Lampeni Ardisia humilis
2 Walingi Cyperus pilosus

89
3 Nipah Nypa fruticans
4 Ketapang Terminalia catappa
5 Nyamplung Calophyllum inophyllum linn
6 Api-api Avicenia sp.
7 Bakau Rhizophora sp
8 Kihiang Laut Albizia retusa
9 Bangka Pedis Scyphiphora hydrophyllacea
10 Areuy jajamian Asidopteris tomentose
11 Areuy kijahe Loeseneriella pauciflora
12 Areuy jajaatan Desmodium laxum
13 Kenari Canarium asperum
14 Kimenyan Garcinia rostrate
15 Harashas Scirpodendron ghaeri
16 Palahlar Vatica bantamensis
17 Kitulang papancaran Drypetes ovalis
18 Kibeusi gunung Ptycopyxis javanica
19 Hareuyheuy Memecylon excelsum
20 Bidur Pandanus Bidur
21 Bangkong Heliciopsis lanceolate
22 Kirengas Lasiaanthus reticulatus
23 Kipuang Saprosma arboretum
24 Kibonteng Nephelium juglandifolium
25 Pining Hornstedtia minor
Sumber : BBKSDA Jawa Barat, BTN Ujung Kulon dan BTN Gn. Halimun Salak

Selain flora, potensi fauna yang terdapat di kawasan konservasi Provinsi


Banten adalah Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus). Mengingat jumlah populasi
badak jawa yang terus menurun, maka usaha penyelamatan terhadap species ini
mutlak diperlukan untuk menghindari kepunahan. Beberapa fauna yang dominan
dalam kawasan konservasi di Provinsi Banten disajikan pada Tabel 4.23

Tabel 4.23 Fauna yang Dominan di Kawasan Konservasi Provinsi Banten

90
No Nama Lokal Nama Ilmiah
1 Badak Jawa Rhinocerossondaicus
2 Banteng Bosjavanicus
3 Rusa Cervustimorensis
4 Kijang Muntiacusmuncak
5 Landak Hystrixjavanica
6 Trenggiling Manisjavanicus
7 Surili Presbytiscomata
8 Anjing hutan Cuonalpinus
9 Rangkong Buccerosrhinoceros
10 Buaya muara Crocodilusporosus
11 Owajawa Hylobatesmoloch
12 Elang ular Spilornischeela
13 Kucing Hutan Felisbengalensis
14 Jelarang Ratufabicolor
15 Sancabodo Pythonmlurus
16 Elang jawa Spizaetusbartelsi
17 Alap-alap Burung Accipitervirgatus
18 Macan Tutul Pantherapardus
19 Raja udang sungai Alcedoatthus
20 Kancil Tragulusjavanicus
21 Merak Pavomuticus
22 Pecuk Ular Anhingamelanogeter
23 Elang Bondol Haliasturindus
24 Penyu belimbing Dermochelsycoriaceae
25 Penyusisik Eretmochelysimbricate
Sumber : BBKSDA Jawa Barat, BTN Ujung Kulon dan BTN Gn.Halimun Salak

Potensi keanekaragaman hayati di Provinsi Banten relative tinggi, karena


sebagian besar kawasan hutannya merupakan hutan konservasi. Nilai ragam
hayati ini harus dilindungi dan dikonservasi dari berbagai kegiatan yang dapat
menggganggu dan merusak keutuhan ekosistem kawasan hutan tersebut sebagai

91
habitat flora dan fauna. Oleh karena itu tindakan pengamanan hutan penting
dilakukan untuk melindungi kawasan hutan tersebut sehingga aman dari gangguan
keamanan hutan. Perlindungan potensi ragam hayati tidak hanya terkait dengan
gangguan keamanan hutan, tetapi juga dari kemungkinan pencurian flora dan
fauna sebagai sumber plasma mutfah yang dimanfaatkan untuk berbagai
kebutuhan, seperti kebutuhan pengembangan farmasi dan sumber domestifikasi
tanaman dan ternak di berbagai negara.

4.2 Implementasi Rencana

Kesatuan Pengelolaan Hutan mempunyai tugas dan fungsi


menyelenggarakan pengelolaan hutan. Salah satu tugas dan fungsi tersebut adalah
tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan (Peraturan Pemerintah
Nomor 6, 2007). Petunjuk teknis penyusunan tata hutan dan penyusunan rencana
pengelolaan yang diatur dalam PerDirJen Planologi No. P.5/ VII-WP3H/ 2012.
Tata ruang adalah 'wujud struktur ruang dan pola ruang'. Ruang adalah
'wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di
dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain
hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya'. Struktur
ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan
sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat
yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. Pola ruang adalah 'distribusi
peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk
fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya'. Penataan ruang
adalah 'suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang' (UU 26/2007, 2007).
Malamassam (2009) menjelaskan ada empat komponen dalam proses
perencanaan dalam pengelolaan hutan. Keempat proses tersebut antara lain:
pertama, analisis potensi dan permasalahan, kedua, Pengambilan keputusan,
ketiga, Pelaksanaan keputusan, serta. keempat, monitoring dan evaluasi (monev).
Menurut Baja (2014) bahwa penskalaan perencanaan zonasi ruang dalam
perencanaan tata guna lahan dibagi atas tiga kategori: 1. Skala menurut wilayah

92
administrasi, 2. Skala menurut hirarki, dan 3. Cakupan wilayah (generik), tanpa
melihat wilayah administrasi.
4.2.1 Tata Hutan (Pola ruang hutan)
Pola perencanaan hutan sebagian besar masih menerapkan pola lama
tersebut yang lebih dikenal sebagai annual coupe atau pola papan catur di
Indonesia (Basari dan Dulsalam, 2012). Pola lama perencanaan kehutanan
menghubungkan antara umur tanaman dan volume per hektar dengan luas areal
seperti yang disajikan pada Gambar 4.1 dan 4.2. Pada praktiknya di lapangan luas
petak kerja per tahun adalah luas dibagi rotasi umur, yaitu seluas 100 ha/ tahun
atau 25 ha/ tahun (Davis, 1987).

Gambar 4.1. Hubungan luas dan rotasi umur tegakan (Davis, 1987)

93
Gambar 4.2 Pola kotak yang jumlahnya disesuaikan dengan rotasi umur
tegakan (Davis, 1987)

Penataan hutan merupakan kegiatan pembagian kawasan hutan dalam


blok-blok berdasarkan ekosistem, tipe, fungsi dan rencana pemanfaatan hutan.
Blok-blok yang terbentuk dibagi kedalam petak-petak berdasarkan intensitas dan
efisiensi pengelolaan. Batas minimal luas setiap petak disesuaikan dengan
intensitas dan efisiensi pengelolaan (pasal 22, Undang-Undang No. 41 1999).
Luas petak optimal, pada awalnya dalam penataan hutan memiliki konsep luas
antara 35 - 50 Ha, tetapi sejak tahun 1922 untuk memperbaiki prestasi
Houtvesterij (pengelolaan hutan lestari) maka ditentukan batas luas petak kerja
penataan hutan dinaikkan menjadi antara 40 -100 Ha, hal ini dilakukan untuk
menghemat biaya pembuatan batas petak dan penataan hutan (Santoso dan
Sarbini, 2008).
Secara garis besar, ada dua organisasi pokok dalam konsep Houtvesterij,
yaitu: planning unit, bertugas mengendalikan/ mengontrol kelestarian hasil
(bersupa standing stock), dan management unit sebagai organisasi pengelolaan
hutan berfungsi untuk mengendalikan keuntungan finansial perusahaan dalam
suatu bagian hutan (Bosch-afdeling). Konsep planning unit dan manajemen unit
merupakan hal yang terpisah dan mandiri, dan bukan menjadi sub-ordinasi dari
sub yang lain, namun demikian, keduanya bersinergi dalam mencapai kelestraian
hutan dan kelas perusahaan (Santoso dan Sarbini, 2008).

94
Petak ialah unit terkecil dengan luas tertentu dari bagian atau blok hutan
yang memiliki fungsi sebagai kesatuan pengelolaan (penanaman, pemeliharaan
dan pemanenan hasil), dan merupakan kesatuan administrasi (merupakan suatu
unit pencatatan tindakan pengelolaan dalam petak). Kesatuan tindakan
(pengelolaan) mempunyai volume pekerjaan yang bisa diukur dengan kesatuan
luas, kesatuan waktu (umumnya satu tahun) dan kondisi hasil pekerjaan. Sebagai
syarat sebuah petak yang merupakan kesatuan manajemen dan administrasi, maka
petak harus memiliki syarat antara lain: (a) mempunyai luas tertentu, (b)
pemberian nomor mengikuti pola tertentu. Pemberian nomor petak menggunakan
angka dari nomor 1 yang dimulai dari arah Barat Laut mengikuti arah jarum jam.
Satuan penomoran petak pada setiap kawasan bagian hutan (Bosch-afdeling) selau
dimulai nomor baru, dan (c) posisi petak harus jelas dan tetap, dengan batas yang
tetap (Santoso dan Sarbini, 2008).
Dalam konsep organisasi dan penataan, pada pengelolaan tingkat petak,
luas unit dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain: a) Tingkat Teqakan (stand
level), pada setiap aktivitas teknik kehutanan, seperti penanaman, penjarangan,
pemanenan yang dilakukan dalam 1 tahun tidak ada mengalami kerugian. b)
Tingkat keuntungan finansial organisasi pengelola menggunakan kriteria Span of
control (jenjang pengawasan) dengan standar kemampuan pengawasan, satu
atasan diasumsikan dapat mengawasi 4 - 6 bawahan, produktivitas dan keamanan,
Overhead Cost. Dua daerah yang produktif dan berdekatan tetapi keamanannya
rawan harus digabung menjadi satu, untuk mengurangi overhead cost (Santoso
dan Sarbini, 2008).
Penataan ruang sehubungan dengan pemanfaatan lahan adalah untuk
memaksimalkan hasil total penggunaan lahan di ruang-ruang lahan yang
kemampuannya sesuai dengan macam penggunaan lahan yang bersangkutan
dengan asas kecocokan antar macam penggunaan lahan. Penataan ruang tidak
hanya membagi hamparan lahan untuk dipolakan untuk berbagai macam kegiatan.
Hal ini dikarenakan ruang adalah bagian dari matra lahan, maka istilah ruang
dipakai dalam mengaktualisasikan nilai lahan (Notohadiprawiro, 1990).
Tujuan kelestarian produksi hasil hutan diwujudkan melalui kegiatan
manajemen hutan. Tujuan kelestarian produksi hasil hutan dapat tercapai melalui

95
beberapa aktivitas seperti inventarisasi hutan, tata hutan dengan membangun blok
dan petak, serta pelaksanaan kegiatan silvikultur (Departemen-Kehutanan, 2011).
Perencanaan pembangunan wilayah memerlukan perencanaan tapak yang
lebih dikenal sebagai Rencana Tata Ruang. Pada tingkat mikro, didalamnya telah
termuat lokasi bangunan, jembatan dan jalan yang harus ditempatkan pada lokasi
yang terbaik sesuai dengan daya dukung lahan yang ditempatinya dan
mempertimbangkan aspek efisiensi dan efektifitas berdasarkan analisis sosial-
ekonomi wilayah (Rustiadi et al., 2012).
Fitur geografis alam harus dipilih untuk menentukan batas-batas unit
pengelolaan hutan. Batas tersebut seperti, sungai, garis pantai, pegunungan dan
taji. Jalan permanen dan jelas, kereta api dan trek juga dapat digunakan. Pada area
data tidak memiliki batas alami yang jelas dapat dikenali dapat didefinisikan
dengar menggunakan garis-garis lurus yang memiliki orientasi NS, EW yang
memungkinkan mereka untuk ditampilkan sebagai koordinat benar atau magnetik
pada peta. Jumlal sudut di batas garis lurus harus diusahakan jumlahnya minimum
(Armitage, 1998).
Perencanaan hutan spasial adalah pendekatan pemodelan hutan sehat yang
mengakomodasi kebutuhan ruang serta tujuan pengelolaan beberapa, serine
bertentangan. Persyaratan spasial sering berhubungan dengan ukuran, bentuk
penjajaran, dan distribusi unit manajemen (yaitu, tegakan berdiri, blok panen,
habita satwa liar, dan kelas umur), batas ukuran panen blok minimum dan
maksimum, jarak konektivitas dan kedekatan, dan wilayah inti. Tujuan
pengelolaan, seperti penyediaan Kayu, habitat satwa liar, kualitas air, dan
keanekaragaman hayati adalah multi-facet dan spasial di alam (Baskent dan Keles,
2005).
Perencanaan hutan spasial meneliti pola dan tren dalam pengembangan
spasial dari lanskap hutan dan berfokus pada kegiatan pengelolaan hutan dan alat
khusus yang digunakan untuk mengembangkan, melaksanakan, dan mengevaluasi
rencana hutan dan kebijakan altematif (Bettinger dan Sessions, 2003).
Ada beberapa alasan mengapa perencanaan hutan lebih ditekankan pada
perencanaan berbasis spasial, antara lain:
1. Berurusan dengan lanskap secara holistik,

96
2. Penggunakan GIS berbasis teknologi untuk menghemat waktu
dan meningkatkan perencanaan, dan
3. Pemodelan rinci rumit dan terlalu sulit bagi perencana manusia.
Menggunakan kekuatan komputer dan algoritma canggih untuk membantu
perencana dalam hal, antara lain: maksimum efisiensi sumber daya hutan,
mempermudah melakukan pemilihan masa depan, solusi berkualitas tinggi
dengan biaya lebih rendah.
Hirarki yang terintegrasi dari perencanaan strategis menjadi perencanaan
yang operasional dengan dukungan penuh model spatial berbasis GIS tanpa
terputus (Moore, 2007).
Batas-batas biologis, satwa liar, daerah aliran sungai, masyarakat hutan
atau cadangan lainnya harus dengan jelas didefinisikan sebagai batas-batas
eksternal. Jalan, garis potong, pilar, dicat pada pohon harus digunakan untuk
menentukan batas-batas internal. Batas kompartemen internal haruss disurvei dan
dipetakan.
Dalam ilmu wilayah, interaksi antar wilayah dihipotesakan sebagai fungsi
jarak/ aksesibilitas, posisi relatif (dalam arti arah) dan bentuk hubungan
fungsional wilayah yang bersangkutan (Rustiadi et al., 2012). Dalam kajian
pemanfaatan potensi ruang yang berkelanjutan, ruang adalah sebagai pembatas
agar kajian objek SDA dalam ruang dapat lebih spesifik/ homogen, efisien dan
ekonomis serta memenuhi kesatuan ekologi. Baja (2014) mengatakan satuan
wilayah ekologis dibagi lagi berdasarkan homogenitas ekologi (misalnya satuan
tanah, lereng, geologi dan Iain-lain); pengaruh pantai-sungai; tingkat kerawanan
banjir (misalnya dataran alluvial, cekungan rawa, dan Iain-Iain) dan pengaruh
hidrologis (misalnya daerah aliran sungai). Land Based Classification System
(LBCS) dikembangkan oleh Asosiasi Perencanaan Amerika (APA) pada dasarnya
untuk memberikan perencana dengan model yang konsisten untuk
mengelompokkan penggunaan lahan berdasarkan karakteristik mereka. Tujuan
dari standar ini adalah untuk memberikan klasifikasi umum dan untuk
meminimalkan pengumpulan data dan produksi yang berlebihan oleh berbagai
agen lokal, regional, negara, dan badan-badan federal (Montenegro et al., 2012).

97
Sistem informasi geografis (GIS) memberikan pengelola hutan dengan alat
untuk digunakan dalam perencanaan operasi hutan dengan memungkinkan mereka
untuk memvisualisasikan dan mengintegrasikan data ke dalam keputusan
perencanaan. Sebagai proses perencanaan hutan menjadi semakin rumit, ada
kebutuhan untuk membantu perencana hutan dengan alat operasi. Penggunaan
kombinasi dari GIS dan multi-kriteria metode keputusan (MCDM)
memungkinkan pengelola hutan untuk memvisualisasikan solusi yang diusulkan
oleh MCDM dan memiliki pemahaman yang lebih baik tentang masalah yang
mereka hadapi (Temiz dan Tecim, 2009).
Puntodewo et al., (2003) mengatakan perencanaan dan pengelolaan
sumber daya hutan yang baik mutlak diperlukan untuk menjaga kelestariannya.
Untuk itu, diperlukan informasi yang memadai yang bisa dipakai oleh pengambil
keputusan, termasuk diantaranya informasi spasial. Sistem Informasi Geografis
(SIG), Penginderaan Jauh (PJ) dan Global Positioning System (GPS) merupakan
tiga teknologi spasial yang sangat berguna. Sebagian besar aplikasi SIG untuk
kehutanan belum mencakup hutan tropis, meskipun dalam sepuluh tahun ini
aplikasi SIG untuk hutan tropis sudah mulai berkembang.
Adapun manfaat SIG antara lain adalah SIG dapat membantu pengambilan
keputusan dalam pengelola sumberdaya alam, SIG mampu menghasilkan peta
secara singkat, dan berulang dengan cepat, SIG dapat menyelesaikan pekerjaan
yang memerlukan kemampuan analisis yang konsisten dan keakuratan tinggi. SIG
juga dapat mengerjakan analisis secara efisien, konsisten. SIG dapat bekerja
dengan berbagai format data, baik data tabular, kontekstual maupun spasial,
sehingga dapat mempermudah untuk pemetaan dan pemodelan. SIG digunakan
untuk mempermudah dan mempercepat mengevaluasi kebijakan-kebijakan. SIG
mampu melakukan eksplorasi secara efisien terhadap berbagai data. SIG juga
dapat menyediakan operasi-operasi dasar dalam pengelolaan sumberdaya alam
lainnya seperti penampilan data, penghitungan pengukuran-pengukuran dan
pembuatan peta dari obyek-obyek yang diinginkan (Masykur, 2014); (Nugraha et
al., 2014).
Parameter utama biofisik yang dapat dipresentasikan dalam bentuk
keruangan untuk pengambilan keputusan berbasis ruang, meliputi ketersediaan

98
ruang, kesesuaian ruang, kemudahan dikerjakan, kemudahan dilalui,
keterjangkauan dan ketersediaan teknologi untuk pengambilan keputusan secara
spasial yaitu SIG yang saat ini telah dikenal sebagai SDSS (Spatial Decision
Support System) sistem penunjang keputusan spasial (Baja, 2014).
4.2.2 Perencanaan pengelolaan potensi isi ruang
Pengaturan hasil merupakan upaya mewujudkan kelestarian yang
diterjemahkan dalam bentuk perencanaan, monitoring dan kontrol. Secara
operasional, pengaturan hasil adalah penentuan luas areal dan volume kayu yang
boleh dipungut setiap tahunnya menurut ruang dan waktu atau lebih dikenal
sebagai etat (jatah) luas dan volume. Secara umum perhitungan ini ada 2, yaitu
teknik perhitungan menggunakan rumus dan simulasi atau dengan pengembangan
model simulasi. Terdapat beragam rumus perhitungan penentuan jatah luas dan
volume. Teknik klasik perhitungan ini sangat mengharuskan keadaan hutan masih
normal (Anonim, 2002).
Metode penentuan etat yang berkembang saat itu (notabene berasal dari
Eropa), misalnya Hundeshugen, Von Mantel, dan Austrian dianggap kurang
sesuai jika diterapkan pada hutan-hutan di Pacific Northwest yang kondisinya
tidak teratur, dimana sebaran kelas umurnya tidak normal (luasannya tidak sama)
karena didominasi oleh tegakan muda. Pada kondisi hutan yang tidak normal
seperti itu, metode Hundeshugen dan Von Mantel akan memberikan taksiran etat
yang kurang tepat. Barangkali, kemiripan kondisi hutan seperti inilah yang
dijadikan salah satu dasar Perhutani untuk mengadopsi metode Burns guna
pengaturan hutan (khususnya jati) di Pulau Jawa (Tiryana,2011).
Lebih jauh, Tiryana (2011) mengemukakan bahwa metode Burns atau
Umur Tebang Rata-rata (UTR), yang selama ini dipakai Perhutani, kurang
relevan lagi digunakan untuk pengaturan hutan guna mendukung tercapainya
Pengelolaan Hutan Lestari (PHL). Persoalan pengaturan hutan di wilayah
Perhutani saat ini menjadi semakln komplek, antara lain karena kondisi hutan
yang umumnya didominasi tegakan muda, kerusakan hutan yang selalu terjadi,
dan adanya tuntutan pengelolaan hutan dengan tujuan yang beragam (selain
kelestarian hasil kayu).

99
Pengelolaan Hutan Lestari meliputi aspek ekologi, ekonomi dan sosial
eksplisit dan dengan demikian melampaui makna efek multi-fungsi produksi
kayu. Hal ini diakui bahwa ada potensi konflik antara pengguna lahan, bentuk
penggunaan lahan dan kepentingan sosial lainnya (Wolfslehner, 2007). Tekanan
penduduk, ekonomi dan politik telah memberikan kontribusi terhadap eksploitasi
sumber daya alam dan degradasi lahan termasuk kehutanan (Khususiyah, 2013).
Kemetrian kehutanan melalui PP no 6/ 2007 Jo. P3/ 2008 mengerjakan
program Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang harus
dilaksanakan di seluruh Indonesia. Program KPH ini digaungkan memiliki visi
pembangunan hutan berkelanjutan, dimana aspek sosial, ekonomi dan lingkungan
dijadikan pilar utama dengan dukungan aspek kelembagaan (Karsudi et al., 2010).
Dalam P8/ VI-BPPHH/ 2011 tentang Standar Penilaian Kinerja
Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) penilaiannya didasarkan empat
komponen utama, yaitu Prasyarat Hukum, Produksi, Lingkungan dan Sosial.
Komponen prasyarat hukum, meliputi kepastian kawasan dan hak pengelolaan,
komitmen pemegang ijin, jumlah dan kecukupan tenaga professional, kepastian
dan mekanisme fungsi manajemen, persetujuan atas dasar informasi awal.
Komponen produksi meliputi penataan areal kerja jangka panjang, tingkat
pemanenan lestari untuk setiap jenis, penerapan system silvikultur untuk
regenerasi, ketersediaan dan penerapan teknologi ramah lingkungan, realisasi
penebangan harus sesuai dengan Rencana Kerja Penebangan, tingkat investasi dan
reinvestasi yang memadai untuk pengelolaan jangka panjang. Komponen ekologi
meliputi kemantapan, keberadaan kondisi kawasan yang dilindungi, perlindungan
dan pengaman hutan, pengelolaan dan pemantauan dampak, identifikasi jenis
flora dan fauna yang dilindungi, pengelolaan flora dan fauna yang dilindungi.
Komponen sosial meliputi kejelasan deliniasi kawasan operasional perusahaan
dengan masyarakat, implementasi tanggung jawab sosial perusahaan sesuai
peraturan, ketersediaan mekanisme dan implementasi distribusi manfaat yang adil
antar para pihak, keberadaan mekanisme resolusi konflik yang handal,
perlindungan dan pengembangan kesejahteraan tenaga kerja.
Ada tiga aspek utama yang dapat berupa hal/ objek nyata atau abstrak
dalam tata guna lahan, yaitu: pertama, kelompok biofisik yang abiotik seperti

100
tanah, air, batuan, mineral, iklim, dan Iain-Iain dan biotik seperti manusia, hewan
dan tumbuhan, kedua, kelompok ekonomi ruang yang meliputi berbagai aktivitas
untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, pertimbangan ekonomi untuk
mencapai efisiensi dan kelayakan, ketiga, sosial budaya dan norma seperti adat,
tradisi, budaya, kearifan lokal, preferensi, dan Iain-Iain (Baja, 2014).
(Damsar, 2009) mendiskripsikan bahwa sosiologi ekonomi dapat
difinisikan dengan 2 cara: pertama, sosiologi didifinisikan sebagai sebuah kajian
yang mempelajari hubungan antara masyarakat, yang di dalamnya terjadi interaksi
social dengan ekonomi. Dalam hubungan tersebut, dapat dilihat bagaimana
masyarakat mempengaruhi ekonomi. Juga sebaliknya, bagaimana ekonomi
mempengaruhi masyarakat. Kedua, sosiologi didifinisikan sebagai pendekatan
sosiologis yang diterapkan pada fenomena ekonomi. Dari definisi ini terdapat 2
hal yang dijelaskan, yaitu pendekatan sosiologis dan fenomena ekonomi. Adapun
yang dimaksud dengan pendekatan sosiologis adalah konsep-konsep, variable-
variabel, teori-teori dan metode yang digunakan dalam sosiologi untuk memahami
kenyataan social, termasuk didalamnya kompleksitas aktifitas yang berkaitan
dengan ekonomi seperti produksi, konsumsi, distribusi, capital, kepercayaan dan
jaringan, dan Iain-Iain.
Secara gratis hubungan antara sistem ekonomi, sosial dan lingkungan
dalam pembangunan berkelanjutan disajikan seperti Gambar 4.26. Gambar
tersebut di atas bermakna, bahwa pembangunan harus layak (viable) untuk
lingkungan dan ekonomi, melainkan juga harus adil (equitable) bagi rakyat dan
ekonomi, dan itu harus menunjang (bearable) bagi masyarakat dan lingkungan.
Sinergitas bagi ketiga aspek itu sangat mendukung bagi terciptanya pembangunan
berkelanjutan (Adger, 2000).

101
Sumber: Johann Dreo, 9 Maret 2006, Creative Commons Attributtion
ShareAlike 2.0 License

Gambar 4.3 Interaksi antar aspek dalam pembangunan berkelanjutan

Daerah pedesaan merupakan daerah yang mencakup sebagian besar


wilayah dengan tutupan vegetasi hutan alami yang berfungsi penting sebagai
penyedia jasa lingkungan, dan bentang lahan multifungsional yang mencakup
agroforestri, hutan tanaman, perkebunan, pertanian semusim, area semak belukar
dan Iain-Iain. Sumber daya lahan merupakan sumber daya utama yang dalam
perencanaannya mencakup penggunaan sebagai pelindung, budidaya hutan
maupun budi daya non-hutan. Karena sumber daya lahan yang terbatas dan
kebutuhan yang pada umumnya lebih tinggi dari sumber daya, oleh karena
interaksi dari berbagai faktor dari berbagai level, maka proses perencanaan
merupakan tahapan utama dalam pengelolaan sumber daya lahan yang
memerlukan kolaborasi multipihak sehingga aspirasi dan kebutuhan multipihak
bisa terpenuhi. Selain itu karena pengunaan lahan berkaitan sangat erat dengan
pemeliharaan lingkungan, perencanaan penggunaan lahan diperlukan untuk
mencapai kesinambungan, khusunya menghindari/ mengurangi dampak negatif
kerusakan lingkungan. Dalam konteks penggunaan lahan inilah, perencanaan
maupun implementasi pembangunan dan perencanaan keruangan bertemu dan
berintegrasi (Dewi et al., 2009)

102
Baja (2014) mengemukakan parameter penilaian ekonomi lahan (dalam
perspektif ruang) dalam perencanaan tata guna lahan (yang dalam hal ini untuk
keperluan proses zonasi) dapat dibagi dalam empat faktor, yaitu Kualitas sumber
daya setempat, aksesibilitas, topologi ruang dan ketersediaan lahan.
4.3 Rehabilitas Hutan Produksi Berkelanjutan
Pengertian Rehabilitasi lahan adalah suatu usaha memulihkan kembali,
memperbaiki dan meningkatkan kondisi lahan yang rusak supaya dapat berfungsi
secara optimal, baik sebagai lahan produksi, media pengatur tata air, ataupun
sebagai unsur perlindungan alam dan lingkungannya. Rehabilitasi hutan dan lahan
atau RHL merupakan bagian dari sistem pengelolaan hutan dan lahan, yang
dilokasikan pada kerangka daerah aliran sungai. Kegiatan Rehabilitasi ini
menempati posisi untuk mengisi kekosongan ketika sistem perlindungan tidak
dapat mengimbangi hasil sitem budidaya lahan dan hutan, sehingga terjadi
deforestasi serta degredasi fungsi hutan dan lahan.
Definisi Rehabilitasi Hutan dan Lahan menurut Undang–Undang Republik
Indonesia Nomor 41 tahun 1999, Rehabilitasi Hutan dan Lahan dimaksudkan
untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatan fungsi hutan dan lahan
sehingga daya dukung, produktifitas dan peranannya dalam mendukung sistem
keidupan tetap terjaga.
Rehabilitasi hutan dan lahan yang disosialisasikan sebagai program pemulihan
lingkungan hidup yang telah rusak dan sudah menjadi lahan kritis. Kegiatan
rehabilitasi hutan, di dalam kawasan hutan ini dikenal dengan sebutan reboisasi.
Sedangkan pembangunan kebun kayu di lahan non hutan disebut penghijauan atau
pembangunan hutan rakyat. Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan dilaksanakan
melalui kegiatan Penghijauan, Reboisasi, Pemeliharaan , Pengayaan tanaman, atau
Penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis pada lahan
kritis da tidak produktif.
Kegiatan reboisasi dan penghijauan pada umunya dilakukan pada tanah kritis
dan areal bekas penebangan liar atau pembalakan. Untuk melaksanakan kegiatan
tersebut membutuhkan bibit dalam jumlah besar dan berkualitas baik. Lahan kritis
adalah lahan yang sudah tidak berfungsi lagi sebagai pengatur media pengatur tata
air, unsur produksi pertanian, maupun unsur perlindungan alam dan

103
lingkungannya. Lahan kritis juga merupakan suatu lahan yang kondisi tanahnya
telah mengalami proses kerusakan fisik, biologi atau kimia yang pada akhirnya
bisa membahayakan fungsi hidrologi, produksi, orologi, pemukiman dan
kehidupan sosial ekonomi di sekelilingnya.
Sistem RHL merupakan sistem yang terbuka, yang melibatkan para pihak
yang berkepentingan dengan penggunaan hutan dan lahan. Dengan demikian pada
prinsipnya Rehabilitasi Hutan dan Lahan, diselenggarakan atas inisiatif bersama
semua pihak terkait. Ini berbeda dengan penyelenggaraan RHL, selalu melalui
inisiatif pemerintah dan menjadi beban tanggungan pemerintah. Dengan kata lain,
ke depannya RHL dilaksanakan oleh masyarakat dengan kekuatan utama dari
masyarakat sendiri. Prinsip-prinsip penyelenggaraan RHL secara lebih deskriptif
disajikan pada Pola Umum RHL.
Kerusakan hutan tersebut diperkirakan seluas 900 ribu hektar setiap tahunnya
yang disebabkan oleh kegiatan perluasan perkebunan (500 ribu ha/tahun),
kegiatan proyek-proyek pembangunan (250 ribu ha/tahun), kegiatan logging (80
ribu ha/tahun), dan kebakaran (70 ribu ha/tahun) (Haeruman, 1989). Menurut data
selama 12 tahun (1985-1997) angka degradasi dan deforestasi untuk Provinai
Banten, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi adalah 1,6 juta ha/tahun sebagai
akibat penebangan liar, pencurian kayu, perambahan hutan, kebakaran hutan,
lahan dan kebun serta sistem pengelolaan hutan yang kurang tepat. Deforestasi
dan degradasi hutan diperparah pada tahun 1997 di Provinsi Banten, dari hasil
perhitungan untuk pulau Banten, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi,
diperkirakan laju deforestasi menjelang tahun 2000 telah melebihi angka 2,5 juta
ha/tahun.
Sumber daya hutan yang telah mengalami kerusakan perlu direhabilitasi.
Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan dimaksudkan untuk memulihkan,
mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya
dukung, produktifitas, dan peranan hutan sebagai sistem penyangga kehidupan
tetap terjaga.
Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dilaksanakan berdasarkan kondisi
spesifik setempat, yang meliputi aspek biofisik, sosial dan ekonomi. Sebagai
langkah awal upaya rehabilitasi, dilakukan penilaian aspek biofisik berupa kondisi

104
penutupan lahan menurut kriteria kekritisannya. Identifikasi awal ini
menghasilkan indikasi lokasi dan luas kawasan hutan dan lahan yang perlu
direhabilitasi dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh dan sistem
informasi geografis.
Identifikasi yang dilakukan pada tahun 2001 merupakan penyempurnaan dari
kegiatan yang sama pada tahun 2000. Identifikasi tahun 2000 hanya dilakukan
pada kawasan hutan dengan menggunakan data hasil penafsiran citra Landsat
liputan tahun 1996-1998 berdasarkan 2 (dua) kelompok kelas penutupan lahan
yaitu hutan, dan non hutan.
Identifikasi tahun 2001 dilakukan baik di dalam maupun di luar kawasan
hutan dengan menggunakan data hasil penafsiran citra Landsat liputan tahun
1999/2000 , yang dirinci menjadi 24 kelas penutupan lahan diantaranya, hutan
produksi, hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan rawa
primer, hutan rawa sekunder, hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder,
semak/belukar, pertanian lahan kering, sawah, tanah terbuka dan pemukiman.
Kawasan hutan dan lahan yang perlu direhabilitasi dibedakan dalam 3 (tiga)
kelompok disesuaikan dengan perlakuan (treatment) yang akan dilakukan dalam
kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Kegiatan RHL dapat berupa reboisasi,
penghijauan, pemeliharaan, pengayaan tanaman, atau penerapan teknik konservasi
tanah secara vegetatif dan sipil teknik tergantung pada kelompok penutupan lahan
tersebut.
Sebagai kelengkapan dan penyempurnaannya, maka pada tahun 2002
dilakukan perhitungan luas areal yang akan direhabilitasi secara indikatif untuk
Provinsi Banten. Hasil identifikasi adalah informasi luas kawasan hutan dan
lahan yang perlu dilakukan rehabilitasi, serta informasi lokasi dan sebarannya
yang disajikan dalam bentuk peta indikasi RHL. Hasil ini telah digunakan sebagai
dasar penyusunan Master Plan Rehabilitasi Hutan dan Lahan serta diharapkan
dapat menjadi acuan perencanaan kegiatan operasional rehabilitasi di daerah.
Identifikasi RHL berdasarkan fungsi hutannya menghasilkan data luas
kawasan hutan yang memerlukan perlakuan rehabilitasi adalah seluas 59,2 juta ha
yang terdiri dari Hutan Lindung seluas 10,4 juta ha, Suaka Alam dan Pelestarian
Alam seluas 4,6 juta ha, Hutan Produksi Tetap seluas 19,2 juta ha, Hutan Produksi

105
Terbatas seluas 12,9 juta ha, dan Hutan Produksi yang dapat dikonversi seluas
12,1 juta ha.
Kawasan hutan di Provinsi Banten memiliki areal terluas untuk direhabilitasi
dengan total luas 24,6 juta ha, terutama di kawasan hutan Produksi yaitu seluas
10,6 juta ha dan Hutan Produksi Terbatas seluas 6,1 juta ha. Pada kawasan hutan
di Provinsi Banten diindikasikan 5,6 juta ha perlu direhabilitasi meliputi 2,3 juta
ha di Hutan Lindung, 1,8 juta ha di Hutan Produksi Terbatas, 0,9 juta ha di Hutan
Produksi dan 0,5 juta ha. Untuk areal di luar kawasan hutan yang memerlukan
perlakuan rehabilitasi adalah seluas 41,5 juta ha.
4.4 Model Perencanaan Hutan Berkelanjutan
Berdasarkan hasil penyusunan elemen dan sub-elemen berdsarkan strategi
alternatif prioritas dan program prioritas dalam membangun model perencanaan
pengolahan hutan produksi berkelanjutan di provinsi banten, diketahui bahwa
elemen lembaga yang memiliki pengaruh paling kuat adalah Gubernur
pemerintahan Provinsi Banten, Dinas Kehutanan Provinsi Banten dan Kabupaten,
BAPPEDA Provinsi Banten dan BAPPEDA Kabupaten, Dinas Kelautan , Dinas
Perikanan Kabupaten sebagai faktor independen.
Pada perencanaan pengolahan kawasan hutan produksi, keenam lembaga
yang tergolong sebagai faktor independen mempunyai tugas pokok sebagai
penyusun serta pelaksanaan suatu perencanaan pengolahan hutan produksi dengan
membangun kemitraan serta garis komando dalam tercapainya tujuan yang telah
direncankan. Adapun lembaga yang Badan Lingkungan Hidup, perguruan tinggi,
dan masyarakat pada model kelembagaan perencanaan pengelolaan hutan
berkelanjutan termasuk dalam factor linkage. Perubahan ini memiliki kekuatan
penggerak yang tinggi dan sangat tergantung pada lembaga seperti Gubernur
Provinsi Banten dan Dinas Kehutanan Provinsi Banten, Dinas Kehutanan
Kabupaten, dan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten di Provinsi Banten.
Sub elemen Dinas Pertanian, BAPPEDA Provinsi, BAPPEDA Kabupaten dan
LSM termasuk dalam kuadran dependen, hal ini menunjukan bahwa lembaga-
lembaga ini memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap perubahan
lainnya.

106
Sub elemen tujuan: Mempertahankan keberadaan dan fungsi hutan produksi
di Provinsi Banten

Gubernur

BAPPEDA
Prov.

BAPPEDA

Stakeholder

Dinas Pertanian Dinas Pengairan

Perencanaan pengelolaan hutan produksi berkelanjutan


di Provinsi Banten sebagai prioritas penataan dan fungsi
hutan produksi sebagai prioritas yaitu:
1.melakukan penyusunan kriteria hutan produksi
2. Penetapan dan pemasangan pal batas
3. Pemanfaatan hutan produksi berkelanjutan
4. Inventarisasi hutan produksi

Gambar 4.4 Model perencanaan pengelolaan hutan produksi di Provinsi


Banten

Model perencanaan pengelolaan hutan berkelanjutan di Provinsi Banten


berbasis program penataan hutan produksi di Provinsi Banten adalah model
kelembagaan dalam pelaksanan perencanaan pengelolaan hutan produksi
berkelanjutan. Sebagai lembaga kunci adalah Pemerintah Provinsi Banten, yang
merupakan komando dalam penyusunan dan pelaksanaan perencanan pengolahan
hutan produksi yaitu sebagai lembaga teknis Dinas Kehutanan Provinsi Banten
dalam penetapan suatu kawasan dengan kajian teknis lainnya. Perubahan yang
utama perlu dilakukan adalah meningkatkan peran, kordinasi, serta kerjasama
dalam pelasanaan perencanaan pengelolaan hutan produksi. Model kelembagaan
tersebut memerlukan faktor-faktor yang dapat menjamin dalam pelaksanaan
perencanaan pengelolaan hutan produksi meliputi :

107
1. Kebijakan
Peraturan untuk mendukung perlindungan dan pengelolaan hutan seperti
adanya peraturan yang memberikan status hukum terhadap hutan produksi dan
mengatur bagaimana pengelolaan dan perlindungan terhadap hutan, sumber
pendanaan, hak dan kewajiban dari masyarakat sekitar, sanksi bagi
pelanggaran, dan lainnya, peraturan ditingkat masyarakat, seperti peraturan
desa untuk mendukung perlindungan dan pengelolaahan hutan. Peraturan ini
akan menetapkan peraturan mengenai kegiatan apa yang dilakukan, hasil hutan
mana yang dapat dipanen oleh masyarakat dari hutan, dan lainnya dalam
kerangka peraturan nasional yang berlaku, dan penegakan hukum.
2. Perlindungan dan pengelolaan hutan produksi.
Penetapan batas- batas hutan ; pembangunan infrastruktur, seperti stasiun
penelitian, Menara pengawas, jalur wisata dan lainnya; penilaian dan
pemantauan keanekaragaman hayati; survey berkala yang menghasilkan data,
baik tempat dan waktu; strategi dan kegiatan untuk menghadapi ancaman,
misalnya: pemantauan – patroli hutan oleh atau dengan masyarakat; strategis
dan kegiatan untuk menjaga dan- atau meningkatkan ekosistem hutan dan
habitat satwa liar; rehabilitasi hutan, perlindungan sumber daya air, analisis
spesial terhadap tutupan hutan, dan lainnya
3. Pendanaan yang berkelanjutan
Perhitungan kasar dari biaya awal (estabilishment cost) dan biaya berulang
(recurring cost) atas pengelolaan hutan produksi; perkiraan pendapatan
dibutuhkan saat ini, potensi sumber pendanaan (konteribusi CSR perusahaan,
biaya masuk, pemasukan dari jasa penggunaan air dan lainnya) dan
perhitungan atas kekurangan pendanan, strategi untuk mengatasi kurangnya
pendanaan untuk menjamin keberlanjutan pengelolaan hutan produksi.
4. Pengaturan kelembagaan-kemitraan lembaga
Lembaga yang bertugas mengawasi atau mengkordinasi pengelolaan hutan
produksi, seperti badan pengelolaan, Pemerintah Daerah Provinsi Banten yang
dilengkapi dengan pendanaan dan personil yang memadai; memperkuat
lembaga yang bertugas untuk mengawasi atau mengkordinasikan pengelolaan
hutan produksi, pemangku kepentingan lain perlu dilibatkan dalam pendanaan

108
dalam pengelolaan hutan produksi yang efektif dan berkelanjutan masyarakat
yang tinggal disekitar hutan (patroli, rehabilitasi hutan, dan lainnya),
universitas (survey, penelitian, dan lainnya), lembaga swadaya masyarakat
(pendidikan lingkungan, pembangunan kapasitas untuk masyarakat local dan
lainnya): individu atau lembaga perlu dilibatkan untuk pengembangan untuk
pendanaan yang berkelanjutan; perusahaan negara, perusahaan swasta,
koperasi dan lainnya; membangun perjanjian dengan mitra tersebut
5. keterbatasan masyarakat
Pembangunan kesadaran dan pendidikan lingkungan melalui kampanye
kepada masyarakat terutama mereka yang hidup disekitar hutan produksi,
pengembangan dan penyampaian bahan pendidikan bagi anak-anak sekolah,
dan lainnya; penetapan batas desa-kampung da rencana tata guna lahan desa-
kampung; rencana pengelolaan sumber daya alam desa dan rencana
pembangunan desa-kampung yang dikembangkan bersarkan proses
pembangunan visi masyarakat; membangun kapasitas dan pengembangan
kelembagaan; nasihat teknis dan dukungan keuangan untuk masyarakat agar
mengambil bagian dalam kegiatan pengelolaan hutan (patroli, rehabilitasi
kawasan yang rusak didalam hutan produksi, dan lainnya); pengembangan
mata pencarian; dan hak-hak pengelolaan formal masyarakat atas hutan, seperti
hutas desan dan hutan kemasyarakatan, Model kelembagaan tersebut
memerlukan faktor-faktor yang dapat menjamin dalam pelaksanaan
perencanaan pengelolaan hutan produksi.

109
110

BAB V
KESIMPULAN dan SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan analisis dan pembahasan terhadap perencanan hutan


berkelanjutan Provinsi Banten dapat disimpulkkan sebagai berikut:

1. Implementasi Rencana Pengurusan Hutan Produksi di dalam dan di luar


Kawasan HPH di Provinsi Banten.
Pola perencanaan hutan yang sebagian besar masih menerapkan pola lama
yang lebih dikenal sebagai boxgrid atau annual coupe atau pola papan catur di
Indonesia menghubungkan umur tanaman dan volume per hektar dengan luas
areal. Pada praktiknya di lapangan luas petak kerja per tahun adalah luas
dibagi rotasi umur, yaitu seluas 100 ha/ tahun atau 25 ha/ tahun.
Penataan hutan yang disarankan oleh disertasi ini adalah kegiatan pembagian
kawasan hutan dalam blok-blok berdasarkan ekosistem, tipe, fungsi dan
rencana pemanfaatan hutan. Blok-blok yang terbentuk dibagi kedalam petak-
petak berdasarkan intensitas dan efisiensi pengelolaan. Batas minimal luas
setiap petak disesuaikan dengan intensitas dan efisiensi pengelolaan (pasal 22,
Undang-Undang No. 41 1999). Luas petak optimal, pada awalnya dalam
penataan hutan memiliki konsep luas antara 35 - 50 Ha, dan untuk
memperbaiki prestasi Houtvesterij (pengelolaan hutan lestari) maka
ditentukan batas luas petak kerja penataan hutan dinaikkan menjadi antara 40 -
100 Ha, hal ini dilakukan untuk menghemat biaya pembuatan batas petak dan
penataan hutan.
2. Rehabilitasi Lahan di dalam dan di luar hutan HPH di Provinsi Banten.
Rehabilitasi hutan dan lahan yang disosialisasikan sebagai program pemulihan
lingkungan hidup yang telah rusak dan sudah menjadi lahan kritis. Kegiatan
rehabilitasi hutan, di dalam kawasan hutan ini dikenal dengan sebutan
reboisasi. Sedangkan pembangunan kebun kayu di lahan non hutan disebut
penghijauan atau pembangunan hutan rakyat. Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan
Lahan dilaksanakan melalui kegiatan Penghijauan, Reboisasi, Pemeliharaan ,
Pengayaan tanaman, atau Penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif
dan sipil teknis pada lahan kritis da tidak produktif.
Rehabilitasi hutan dan lahan yang disosialisasikan sebagai program pemilihan
lingkungan hidup yang telah rusak dan sudah menjadi lahan kritis. Kegiatan
rehabilitasi hutan didalam kawasan hutan ini dikenal dengan sebutan reboisasi.
Sedangkan pembangunan kebon kayu dilahan nonhutan disebut penghijauan
atau pembangunan hutan rakyat.

3. Model Implementasi Rencana Pengurusan Hutan Berkelanjutan di Provinsi


Banten
Model perencanaan hutan berkelanjutan di Provinsi banten berbasis program
penataan hutan produksi adalah model kelembagaan dalam pelaksanan
perencanaan pengelolaan hutan produksi berkelanjutan. Model perencaan
hutan terdiri dari : Kebijakan, Perlindungan dan pengelolaan hutan produksi,
pendanaan yang berkelanjutan, Pengaturan kelembagaan-kemitraan lembaga
dan keterbatasan masyarakat. Model perencanaan pengelolaan hutan produksi
di Provinsi Banten dibangun berdasarkan elemen lembaga yang meliputi:
Gubernur pemerintahan Provinsi Banten, Dinas Kehutanan Provinsi Banten
dan Kabupaten, BAPPEDA Provinsi Banten dan BAPPEDA Kabupaten,
Dinas Kelautan Kabupaten, Dinas Perikanan Kabupaten, Badan Lingkungan
Hidup Provinsi Banten dan Kabupaten, LSM, Dinas Pertanian, Dinas
Pengairan. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga-lembaga ini memiliki tingkat
ketergantungan yang tinggi terhadap perubahan lainnya. Struktur hirarki
elemen lembaga yang terlibat dalam perencanaan pengelolaan hutan
berkelanjutan terdiri dari 7 tingkat. Sub elemen yang menjadi perubahan kunci
adalah Gubernur Provinsi Banten dan Dinas Kehutanan Provinsi Banten.

5.2 Saran

Berdasarkan analisis dan pembahasan terhadap perencanaan hutan produksi


terhadap pembangunan Provinsi Banten maka saran-saran terhadap
pembangunnan hutan berkelanjutan sebagai berikut:

111
Terhadap pembangunan perencanaan hutan berkelanjutan, sebagaimana
tertuang dalam perda 41 tahun 2002 harus diperhatikan didalam perencanaan
pembangunan hutan produksi baik dalam strategi aktif unit manajemen,
manajemen kelola kawasan, manajemen kelembagaan, manajemen hutan produksi
berkelanjutan dan mempertimbangkan intervensi, identifikasi dan deliesi dan
prinsip kesetiaan pengelolaan hutan produksi yang berkelanjutan dan kaidah
pengelolaan, input pengelolaan.

112
DAFTAR PUSTAKA

Agus Siswanto,.2007, Penyelesaian Konflik Berbasis Budaya LokaL, P3M STAIN


Ibda Vol.2 (2) Purwokerto.
Arya Hadi Dharmawan.2007, Mewujudkan Good Ecological Governance Dalam
Pengelolaan Sumber Daya Alam, JLPM IPB.
Awang, San Afri, 2003, Politik Kehutanan Masyarakat, Kreasi Wacana,
Yogyakarta.
Baiquni M., dan Susilawardani, 2002. Pembangunan yang Tidak Berkelanjutan;
Refleksi Kritis Pembangunan Indonesia; TransMedia Global Wacana-
Yogjakarta.
Baiquni, M.2003, Membangun Pusat-Pusat di Pinggiran; Otonomi dalam
Prespektif Geogrqfi.Yogjakarta.
M Baquni dan R Rijanto. Konflik Pengelolaan Lingkungan dan Sumber Daya Era
Otonomio dan Transprasi Masyarakat (Pemahaman Teoritis dan Pemaknaan
empiris).
Billon,, P.J.,2001. The Political Ecology of War; Natural Resurces and Armed
Conflicts. Political Geography.no.2,pp.561-584 Elsevier Sciences. Inc
Budiardjo, M. 1993. Dasar-Dasar Umu Politik. PT Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Budiardjo, M. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik (edisi revisi). PT Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
Bungaran Saragih, Suara Dari Bogor, Membangun Sistem Agribisnis.
Dauvergne,P. 1997, Weak State and the environment in Indonesia and Salomon
Islands, paper presented at a workshop on week and strong states in
southeast Asia and Melanesia. Australia National University.
Dubois 0.1998. Capacities to Manage Role Changes in Forestry: Introduction the
4Rs Framework. Forestry and Landuse Program. International Institute for
Environment and Development. London.
Dunn, W. 1999. Pengantar Analisis Kebijakan Publik (Edisi kedua). Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta,
Fatah, K.2007. Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan
Lingkungan Hidup Dalam Tata Ruang Wilayah Provinsi Banten. Bapeda
Banten.
FAO. 1996. Forest Resources Assessment 1990: Survey of Tropical Forest Cover
and Study of Change Processes. FAO

113
Fay, C, and G. Michon. 2005. Redressing forestry hegemony: When a forestry
regulatory framework is best replaced by an agrarian one. Forest, Trees and
Livelihoods. Vol 15
Fisher, Simon, Jawed Ludin, Steve Williams, Dekha Ibrahim Abdi, Richard Smith
dan Sue Williams, 2000, Mengelola Konflik, Ketrampilan dan Strategi untuk
Bertindak, The British Council Indonesia, Jakarta.
Glasbergen, pater (ed) 1995., Managing Environmental Disputes; Network
Managements on Alternative, Kluwer Academic Publishers. Dordrecht,
Netherlands.
Higman S.,dkk 2006. The Sustainable Forestry Handbook Second edition,
Earthscan, London.
Iskandar U, 1999, Dialog Kehutanan dalam Wacana Globed, cet. 1, Bigraf
Publishing: Yogyakarta.
Jay A.Sigler and Benjamin R.Beede, 1977, The Legal Sources of Public Policy.
D.C Heath and Company, Lexington, Massachusetts, Toronto.
Korten D.C, dan Carner.1993, Kerangka Kerja Perencanaan Untuk
Pembangunan Yang Berpusat Pada Rakyat.Dalam Korten dan Syarif (ed)
Pemabangunan yang Memihak Rakyat, Jakarta ; Yayasan Obor Indonesia.
Keraf, S. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas. Jakarta.
Ludwing von Bertalanffy, 1972., General System Theory Foundations,
Development, Applications,, New York; George Braziller
Mulyana W. Kusumah, 1986, Prespektif Teori dan Kebijaksanaan Hukum, CV
Rajawali, Jakarta.
Muhadjir, N. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif Penerbit Rake Sarasin.
Yogyakarta.
Mochon, G and de Foresta H., Rusworo A. And Levang,2000. The Damar Agro
forests of of Krul, Indonesia People, Plants and Justice dalam Agroforest
Khas Indonesia, de Foresta eds.
Nasendi, B.D. 1988. Ekonomi Kehutanan Indonesia dalam Perspektif
Kebijaksanaan Pembangunan Nasional dari Masa ke Masa. Fakultas Pasca
Sarjana IPB. Bogor. Tidak diterbitkan.
Nasendi, B.D. 1996. Pengelolaan Hutan dalam Perspektif Sejarah Pembangunan
Bangsa Indonesia. Info Hasil Hutan Vo. 2 No.2 pp. 12-22.
Nyoman Sutawan. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Air Unti Pertanian
Berkelanjutan dan Masalah dan Saran Kebijakan. Bahan seminar
Opitmalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Tanah dan Air Yang terseid auntuk
keberlanjutan Pembangunan, Khususnya Sektor PertanianUniversitas
Udayana (28.IV)

114
Miall, Hugh, Oliver Ramsbothan, dan Tom Woodhouse, 2002, Resolusi Damai
Konflik Kontemporer, Menyelesaikan, Mencegah, Mengelola dan Mengubah
Konflik Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras, Raja Graflndo Persada,
Jakarta.
Nugroho A, Yudo E., 2007, Hutan, Industri dan Kelestarian, Wana Aksara,
Jakarta.
Osmet,1996. Sistem Pengelolaan Air Menunjang Pembangunan Pertanian Yang
Berkelanjutan, dalam Harmanto, Pasaribu, Sahat M, Djuhari A dan
Sumaryono.Persaingan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan
Air;Dampaknya terhadap keberlanjutan swasembada Pangan. Jakarta; Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertaniann badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian Departemen Pertanian.
Ohlsson, L.20002, Water Conflict and Social Resource Scarcity, Phisycal
Chemistry East.Vol 25.No.3 pp.213-220 Elsevier ScenceXtd
Parto J.G., 1979 Contemporary Conlict Analysis in Prespective (Chapter One)) in
Lind J. et al 2002, Scarcity and surfeit;the Ecology ofn Affrica s
Conflict.Kenya
Provinsi Banten. 2007. Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2007-2012.
Pemerintah Provinsi Banten.
Ramdan, H. 2003. Manusia dan Krisis Ekologi Saat Ini. Orasi Ilmiah dalam
Rangka Hari Lingkungan Hidup di Kabupaten Garut. 10 Mei 2003.
Ramdan, H., Yusran, dan D. Darusman. 2003. Pengelolaan Sumberdqya Alam
dan Otonomi Daerah: Perspektif Kebijakan dan Valuasi Ekonomi. Penerbit
Alqa Print. Jatinangor Sumedang.
Routledge 2008. Environmental Politics. Journal of Environmental
Politics.http://www.tandf.co.iik/journals/titles/09644016.asp.
R. Oszaer 2007. Pembangunan Hutan Berbasis Ekosistem dan Masyarakat.
Fakultas Pertanian Universitas Patimura.Maluku.
R. Oszaer.2007, Pembangunan Huntan Berbasis Ekosistem dan Masyarkat.
Dalam Pelatihan Penanaman Huntan di Malku dan Maluku Utara. Fakultas
Pertanian Universitas Patimura.
Runge, C.F.I992. Common Property and Collective Action in Economic
Development in Bromley, International for Contemporary Studies, San
Francisco.
Saaty, T.L. 1993. Decision Making for Leaders: The Analytical Hierarchy
Process for Decion in Complex World University of Pittsburgh. Pittsburgh.
Sardfono, Mustofa Agung, 2004, Mosaik Sosiologis Kehutanan: Masyarakat
Lokal, Politik, dan Kelestarian Sumberdaya, Debut Press, Yogyakarta.

115
Simon, Hasanu, 1993, Hutan Jati dan Kemakmuran; Problematika dan Strategi
Pemecahannnya, Aditya Media, Yogyakarta.
Setyawati,T. dan M Bismark. 2002. Prioritas Konservasi Keanekaragaman
Tumbuhan di Indonesia.Bultetin Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 3
(2); 131-144
Sejati Worah.2002. The Challenge of Community Based Protected area
Management PARKS .Vol. 12(2) Local Communities and Protected Areas
Tajjudin, D, 2000, Manajemen Kolaborasi, Pustaka LATIN. Bogor.
Tietenberg, T.H. 1994. Environmental Economic and Policy. Harper Collins
College. New York.
Vayda dan Walters. 1999. Against Political Ecology. Journal of Human Ecology:
27(1): 167-179.
Walker, 2005. Political Ecology: Where is the ecology ? Progress in Human
Geography 29,1(2005): 73-88.
World Bank. 2001. Indonesia: Environment and Natural Resource Management
in a Time of Transition. The World Bank. Washington, DC.
Yehezkel Dror, 1977. Ventures in Policy Sciences Concepts and Applications,,
Amsterdam; Elsevier. Oxford, New York
Wiyono T Putro, 2008, Pentingnya Partisipasi dan Penguatan Kelembagaan
Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Jawa, Makalah Kursus Pengelolaan
Hutan, DERAS Training Centre, Yogyakarta.

116
LAMPIRAN

DAFTAR LAMPIRAN

No. JUDUL

1. Tabel Revisi SHP


2. Artikel Ilmiah
3. LOA Jurnal
4. Sertifikat Deteksi Plagiasi

117

Anda mungkin juga menyukai