Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit kulit akibat kerja merupakan salah satu penyakit akibat kerja
(occupational disease) yang banyak terjadi pada masyarakat. Penyakit kulit
akibat kerja yang paling umum terjadi adalah dermatitis kontak, yaitu
sebanyak 70-90%.1 Dermatitis kontak akibat kerja (DKAK) adalah kondisi
kelainan kulit akibat terpapar oleh bahan yang digunakan pada saat bekerja.
Dermatitis kontak secara umum merupakan suatu keadaan inflamasi non-
infeksi pada kulit yang disebabkan oleh senyawa kontak dengan kulit
tersebut.2
Terdapat dua jenis dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak iritan
(DKI), merupakan reaksi peradangan non-imunologik pada kulit yang
disebabkan oleh kontak dengan faktor eksogen ataupun endogen. Sedangkan
dermatitis kontak alergik (DKA) terjadi berdasarkan reaksi imunologis
berupa reaksi hipersensitivitas tipe IV.3
Berdasarkan studi retrospektif yang dilakukan oleh Safe Work Australia
antara 1 Januari 1993 sampai 31 Desember 2010 terdapat 2177 (75,1%)
pasien dengan diagnosis penyakit kulit akibat kerja, yaitu sebanyak 958
(44%) diantaranya ialah DKI dan 712 (32,7%) ialah DKA. Di Indonesia,
menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia sekitar
90% penyakit kulit akibat kerja merupakan dermatitis kontak, baik DKI
maupun DKA.4
Dermatitis kontak akibat kerja dapat terjadi pada pekerja salon, pekerja
bahan logam, pekerja industri makanan, petugas kebersihan, dan petugas
kesehatan akibat sering terpapar bahan-bahan iritan dan alergen di tempat
kerja tanpa penggunaan alat pelindung diri (APD) yang memadai dan tingkat
kebersihan diri yang buruk.3

1
2

Bahan yang paling sering dicurigai sebagai penyebab timbulnya DKAK


adalah bahan kimia (11%) diikuti pembersih (18%). Keluhan yang timbul pada
DKAK dapat bervariasi, tergantung sifat bahan paparan. Pada DKI yang akut akan
lebih sering mengalami keluhan nyeri atau rasa panas seperti terbakar, sedangkan
pada DKA rasa gatal lebih dominan, dan pada lesi yang kronis dapat berupa kulit
yang kering.1
Pada dermatitis kontak, kelainan kulit ditentukan oleh berbagai faktor yaitu
lama kontak, frekuensi yang berulang, suhu, kelembaban dan lingkungan. Faktor
individu yang juga berpengaruh adalah kebersihan perorangan, lokasi kulit,
penggunaan alat pelindung diri, umur, ras, dan jenis kelamin. Pekerja dengan usia
yang lebih tua beresiko terkena dermatitis kontak karena fungsi perlindungan kulit
yang semakin menurun yang memudahkan penetrasi bahan kimia lebih mudah
masuk ke dalam kulit. Kemudian jika ditinjau dari faktor masa kerja, apabila
frekuensi terpapar bahan kimia jarang tetapi masa kerjanya lebih lama, maka
pekerja akan mengalami kontak dengan bahan kimia lebih lama pula sehingga
meningkatkan resiko terjadinya dermatitis kontak karena bahan kimia masuk dan
menempel pada kulit lebih lama.3
Individu dengan riwayat atopik memiliki risiko yang lebih tinggi untuk
menderita DKAK. Individu dengan riwayat atopik akan mengalami perubahan
pada sawar kulitnya, sehingga memudahkan bahan iritan atau alergen masuk ke
lapisan kulit yang lebih dalam. Selain menjadi lebih rentan terhadap bahan iritan,
tenaga kesehatan yang memiliki riwayat atopik juga akan mengalami gejala yang
lebih parah dan lebih sulit untuk sembuh. Lesi akut muncul sebagai plak eritem
dan gatal yang secara cepat berubah menjadi vesikel dan kadang bula tegang.
Terdapat eksudat serus jernih apabila vesikel tersebut pecah.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dermatitis Kontak Akibat Kerja ( DKAK )


Dermatitis kontak akibat kerja (DKAK) adalah kondisi kelainan kulit
akibat terpapar oleh bahan yang digunakan pada saat bekerja. 5 Dermatitis
kontak secara umum merupakan dermattitis yang disebabkan oleh
bahan/substansi yang menempel pada kulit. Terdapat dua jenis dermatitis
kontak yaitu dermatitis kontak iritan (DKI) dan dermatitis kontak alergik
(DKA).6
2.1.1 Dermatitis Kontak Iritan ( DKI )
2.1.1.1 Definisi
Dermatitis kontak iritan atau DKI merupakan
peradangan pada kulit non-imunologik, yaitu kerusakan kulit
terjadi langsung tanpa didahului proses pengenalan/
sensitisasi.6
2.1.1.2 Epidemiologi
Dermatitis kontak iritan dapat diderita oleh semua
orang dari berbagai golongan umur, ras, dan jenis kelamin.
Jumlah orang yang mengalami DKI diperkirakan cukup
banyak, terutama yang berhubungan dengan pekerjaan (DKI
akibat kerja), namun angka secara tepat sulit diketahui. Hal
ini disebabkan antara lain karena banyak pasien dengan
kelainan ringan tidak datang berobat, atau bahkan tidak
mengeluh.6
2.1.1.3 Etiologi
Penyebab dermatitis jenis ini ialah pajanan dengan
bahan yang bersifat iritan, misalnya bahan pelarut, deterjen,
minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu. Kelainan
kulit yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran molekul, daya
larut, konsentrasi bahan tersebut dan vehikulum.6

3
4

Terdapat juga faktor lain, yaitu : lama kontak, kekerapan (terus


menerus atau berselang), oklusi yang menyebabkan kulit lebih
permeabel, demikian pula gesekan dan trauma fisis. Suhu dan
kelembaban lingkungan juga turut berperan.6
2.1.1.4 Patogenesis
Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh
bahan iritan melalui kerja kimiawi atau fisis. Ada empat mekanisme yang
dihubungkan dengan dermatitis kontak iritan, yaitu7:
1. Hilangnya substansi daya ikat air dan lemak permukaan
2. Jejas pada membran sel
3. Denaturasi keratin epidermis
4. Efek sitotoksik langsung

Gambar 2.1 (a-d) mekanisme imunologis terjadinya dermatitis kontak iritan (DKI). (a)
bahan iritan fisik dan kimia memicu pelepasan sitokin dan mediator inflamasi lainnya
yang disebut sinyal bahaya. (b) sel epidermis dan dermis merespon sinyal bahaya
tersebut. (c) setelah itu, sitokin inflamasi dikeluarkan dari sel residen dan sel inflamasi
yang sudah terinfiltrasi. Sitokin utama pada proses ini adalah CXCL 8 (bentuk yang
dikelan adalah IL-8) (d) sebagai akibatnya, dari produksi sitokin inflamasi, banyak sel
inflamasi termasuk neutrofil diserang dan dibawa pengaruh picuan inflamasi
mengeluarkan mediator inflamasi. Hasilnya dapat dilihat secara klinis pada DKI.
5

Pada respon iritan, terdapat komponen menyerupai respon


imunologis yang dapat didemonstrasikan dengan jelas, dimana hal
tersebut ditandai oleh pelepasan mediator radang, khususnya sitokin dari
sel kulit yang non-imun (keratinosit) yang mendapat rangsangan kimia.
Proses ini tidaklah membutuhkan sensitasi sebelumnya. Kerusakan sawar
kulit menyebabkan pelepasan sitokin-sitokin seperti Interleukin-1α (IL-
1α), IL-1β, tumor necrosis factor- α (TNF- α). Pada dermatitis kontak
iritan, diamati peningkatan TNF-α hingga sepuluh kali lipat dan
granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF) dan IL-2
hingga tiga kali lipat. TNF- α adalah salah satu sitokin utama yang
berperan dalam dermatitis iritan, yang menyebabkan peningkatan
ekspresi Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II dan
intracelluler adhesin molecul-I pada keratinosit.7
Rentetan kejadian tersebut mengakibatkan gejala peradangan klasik
di tempat terjadinya kontak dikulit berupa eritema, edema, panas, dan
nyeri bila iritan kuat. Ada dua jenis bahan iritan yaitu iritan kuat dan
iritan lemah. Iritan kuat akan menyebabkan kelainan kulit pada pajanan
pertama pada hampir semua orang, sedangkan iritan lemah akan
menimbulkan kelainan kulit setelah berulang kali kontak, dimulai dengan
kerusakan stratum korneum oleh karena depilasi yang menyebabkan
desikasi dan kehilangan fungsi sawarnya, sehingga mempermudah
kerusakan sel di bawahnya oleh iritan.6
2.1.1.5 Gambaran Klinis
Kelainan kulit yang terjadi sangat beragam, bergantung pada sifat
iritan. Iritan kuat memberi gejala akut, sedang iritan lemah memberi
gejala kronis. Berdasarkan penyebab dan pengaruh berbagai faktor
tersebut, ada yang mengklasifikasikan DKI menjadi 10 jenis, yaitu : DKI
akut, lambat akut (acute delayed irritancy), reaksi iritan, kronik
kumulatif, reaksi traumatik, exsiccation eczematid, reaksi pustular dan
akneformis, iritasi non-eritematosa, dermatitis karena friksi dan iritasi
subyektif.6
6

 Dermatitis Kontak Iritan Akut


Dermatitis iritan kuat terjadi setelah satu atau beberapa kali olesan
bahan-bahan iritan kuat, sehingga terjadi kerusakan epidermis yang berakibat
peradangan. Biasanya dermatitis iritan kuat terjadi karena kecelakaan kerja.
Bahan-bahan iritan ini dapat merusak kulit karena terkurasnya lapisan tanduk,
denaturasi keratin, dan pembengkakan sel.8
Tipe reaksinya tergantung pada bahan apa yang berkontak, konsentrasi
bahan kontak, dan lamanya berkontak. Reaksinya dapat berupa kulit menjadi
merah atau coklat. Kadang-kadang menjadi edema dan rasa panas, rasa
terbakar, atau ada papula, vesikula, pustula, kadang-kadang terbentuk bula
yang purulen dengan kulit di sekitarnya normal. 8 Penyebab DKI akut adalah
iritan kuat, misalnya larutan asam sulfat dan asam hidroklorid atau basa kuat,
misalnya natrium dan kalium hidroksida.6

Gambar 2.2 DKI akut akibat penggunaan pelarut.9

industri
7

 Dermatitis Kontak Iritan Lambat Akut ( Acute Delayed Irritancy )


Gambaran klinis dan gejala sama dengan DKI akut, tetapi baru terjadi 8
sampai 24 jam setelah berkontak. Bahan iritan yang dapat menyebabkan DKI
akut lambat, misalnya podofilin, antralin, tretinoin, etilen oksida,
benzalkonium klorida, asam hidrofluorat. Sebagai contoh ialah dermatitis
yang disebabkan oleh bulu serangga (dermatitis venenata), keluhan dirasakan
pedih keesokan harinya, sebagai gejala awal terlihat eritema kemudian terjadi
vesikel atau bahkan nekrosis.6

Gambar 2.3 DKI Akut Lambat


 Dermatitis Kontak Iritan Kronis (DKI Kumulatif)
Dermatitis Kontak Iritan Kronis juga disebut dermatitis kontak iritan
kumulatif. Disebabkan oleh iritan lemah (misalnya deterjen, sabun, pelarut,
tanah, bahkan air) dengan pajanan yang berulang-ulang, biasanya lebih sering
terkena pada tangan. Kelainan kulit baru muncul setelah beberapa hari,
minggu, bulan, bahkan tahun. Sehingga waktu dan rentetan pajanan
merupakan faktor yang paling penting.10 Gejala klasik berupa kulit kering,
eritema, skuama, dan lambat laun kulit menjadi tebal (hiperkertosis) dan
dapat terbentuk fisura jika kontak terus berlangsung.6
8

DKI kumulatif sering berhubungan dengan pekerjaan, oleh karena itu


lebih banyak ditemukan pada tangan dibandingkan dengan bagian lain dari
tubuh (contohnya: tukang cuci, kuli bangunan, montir bengkel, juru masak,
tukang kebun, penata rambut).6

Gambar 2.4 DKI Kronis.11


 Reaksi Iritan
Secara klinis menunjukkan reaksi akut monomorfik yang dapat berupa
skuama, eritema, vesikel, pustul, serta erosi, dan biasanya terlokalisasi di
dorsum dari tangan dan jari. Biasanya hal ini terjadi pada orang yang terpajan
dengan pekerjaan basah, misalnya: penata rambut dan pekerja logam. Reaksi
iritasi dapat sembuh sendiri, atau berlanjut menimbulkan penebalan kulit
(skin hardening) dan menjadi DKI kumulatif.6

Gambar 2.5 Reaksi Iritan.9


 Reaksi Traumatik (DKI Traumatik)
Reaksi traumatik dapat terbentuk setelah tauma akut pada kulit seperti
panas atau laserasi. Biasanya terjadi pada tangan dan penyembuhan sekitar 6
minggu atau lebih lama. Lokasi tersering di tangan.6
9

Gambar 2.6 DKI Traumatik.9

 Dermatitis Kontak Iritan Non-eritematosa


DKI non-eritematosa juga disebut reaksi suberitematous. Pada tingkat
awal dari iritasi kulit, kerusakan kulit terjadi tanpa adanya inflamasi, namun
perubahan kulit terlihat secara histologi. Gejala umum yang dirasakan
penderita adalah rasa terbakar, gatal, atau rasa tersengat. Iritasi
suberitematous ini dihubungkan dengan penggunaan produk dengan jumlah
surfaktan yang tinggi.7 Penyakit ini ditandai dengan perubahan sawar (stratum
korneum) tanpa tanda klinis (DKI subklinis).6

 Dermatitis Kontak Iritan Subyektif


DKI subyektif juga disebut DKI sensori, karena kelainan kulit tidak
terlihat, namun pasien merasa seperti tersengat (pedih) atau terbakar (panas)
setelah berkontak dengan bahan kimia tertentu, misalnya asam laktat.6

2.1.1.6 Penegakkan Diagnosis


A. Anamnesis
Diagnosis dermatitis kontak iritan didasarkan atas anamnesis
yang cermat dan pengamatan gambaran klinis. Dermatitis kontak
iritan akut akan lebih mudah diketahui karena terjadi lebih cepat
sehingga pasien pada umumnya masih ingat apa yang menjadi
penyebabnya. Sebaliknya, dermatitis kontak iritan kronis terjadi
10

lebih lambat serta mempunyai variasi gambaran klinis yang luas,


sehingga adakalanya sulit dibedakan dengan dermatitis kontak
alergik. Untuk itu perlu dilakukan uji tempel dengan bahan yang
dicurigai.6
B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik penting dilakukan, karena dengan melihat
lokasi dan pola kelainan kulit sering kali dapat diketahui
kemungkinan penyebabnya.6
C. Pemeriksaan Penunjang
a. Uji Tempel
Standar utama pemeriksaan penunjang pada dermatitis
kontak adalah uji tempel (patch test).12 Dasar pelaksanaan uji
tempel – Patch Test adalah sebagai berikut :
- Bahan yang diujikan (dengan konsentrasi dan bahan
pelarut yang sudah ditentukan) ditempelkan pada kulit
normal, kemudian ditutup
- Biarkan selam 2 hari (minimal 24 jam)
- Kemudian bahan tes dilepas dan kulit pada tempat
tempelan tersebut dibaca tentang perubahan atau
kelainan yang terjadi pada kulit. Pada tempat tersebut bisa
kemungkinan terjadi dermatitis berupa : eritema, papul,
oedema atau fesikel, dan bahkan kadang-kadang bisa
terjadi bula atau nekrosis.
Persiapan menjelang uji tempel tidak begitu ketat, sebaiknya
dihindari pemakaian obat-obatan antihistamin dan kortikosteroid,
terutama pada penggunaan lokalnya.13 Kulit yang ditempel ini perlu
dievaluasi lagi pada hari ke 4 atau 5, karena reaksi positif mungkin tidak
muncul sebelumnya.14 Berbagai hal berikut ini perlu diperhatikan dalam
pelaksanaan uji tempel6 :
1. Dermatitis harus sudah tenang (sembuh). Bila masih dalam
keadaan akut atau berat dapat terjadi reaksi “angry back” atau
11

“excited skin” reaksi positif palsu, dapat juga menyebabkan


penyakit yang sedang dideritanya semakin memburuk.
2. Tes dilakukan sekurang-kurangnya satu minggu setelah pemakaian
kortikosteroid sistemik dihentikan, sebab dapat menghasilkan
reaksi negatif palsu. Pemberian kortikosteroid topikal di punggung
dihentikan sekurang-kurangnya satu minggu sebelum tes
dilaksanakan. Luka bakar sinar matahari (sun burn) yang terjadi 1-
2 minggu sebelum tes dilakukan juga dapat memberi hasil negatif
palsu. Sedangkan antihistamin sistemik tidak mempengaruhi hasil
tes, kecuali diduga karena urtikaria kontak.
3. Uji tempel dibuka setelah 48 jam (dua hari penempelan), kemudian
dibaca, pembacaan dilakukan pada hari ke-3 sampai ke-7.

Pasien dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji tempel


menjadi longgar/terlepas (tidak menempel dengan baik), karena dapat
memberikan hasil negatif palsu. Pasien juga dilarang mandi sekurang-
kurangnya dalam waktu 48 jam, dan menjaga agar punggung selalu kering
sampai pembacaan terakhir selesai.6
 Keadaan kulit
a. Bebas dari dermatitis
b. Pada bekas dermatitis sebaiknya dilakukan sebulan setelah sembuh
c. Tidak terlalu dekat dengan dermatitisyang ada, sebab daerah tersebut
lebih peka hingga dapat menimbulkan reaksi positif palsu
d. Bebas dari kelainan kulit yang lain terutama yang dapat
menyulitkan pembacaan atau akibat lain yang tidak kita harapkan.
Misalnya nevus atau tumor-tumor prakanker: kalau terjadi reaksi
berupa dermatitis dan gatal maka akan digaruk. Ini merupakan
rangsangan terhadap nevus atau prakanker tadi untuk mengalami
malignansi
e. Bebas dari rambut yang lebat
12

f. Bebas dari kosmetik, salep-salep. Kortikosteroid topikal harus


dibebaskan pula paling sedikit 2 minggu sebelumnya.13
 Daerah tempat tes
- Pilihan utama: punggung, karena13 :
a. Lapisan tanduk cukup tipis sehingga penyerapan bahan cukup
besar
b. Tempatnya luas sehingga banyak bahan yang bisa
diteskan secara serentak (bisa sampai 50 bahan atau lebih)
c. Tempatnya terlindung hingga tidak mudah lepas, baik
disengaja maupun tidak
d. B ahan yang menempel tidak banyak mengalami gerakan,
lepas atau kendor, sehingga kontaknya dengan kulit cukup
terjamin
e. Jika terjadi dermatitis atau sampai terjadi sikatriks tidak tampak
dari luar oleh karena terlindung.
- Pilihan lain:
a. Lengan atas bagian lateral
b. Lengan bawah bagian volar.
 Bahan tes
Mungkin bahan itu berupa benda padat atau cair. Jika bahan tersebut
dilakukan secara langsung mungkin akan memberikan reaksi yang tidak
kita diharapkan, misalnya reaksi iritasi. Bahan padat atau cair
dilarutkan atau dicampurkan dalam bahan tertentu dan dalam konsentrasi
tertentu pula, sehingga kemungkinan yang timbul benar-benar reaksi alergi,
bukan reaksi iritasi. Bahan pelarut atau vehikulum yang dipilih yaitu13 :
a. Air
b. Ethyl alkohol absolut
c. Acetone
d. Isobuthyl ketone
e. Methyl ethyl ketone
f. Buthyl atau ethyl ketone
13

g. Olium olivarium
h. Parafin cair
Konsentrasi yang digunakan pada umumnya sudah ditentukan
berdasarkan penelitian-penelitian. Menurut pengalaman para peneliti
dermatitis kontak. Ada beberapa zat yang sering menimbulkan dermatitis
kontak, sehingga Kelompok Riset Dermatitis Kontak Inter nasional
(ICDRG= International Contact Dermatitis Research Group)
menetapkan standar untuk tes dengan bahan-bahan tersebut, dengan pelarut
dan konsentrasi yang ditetapkan. Setiap melakukan uji tempel, bahan-bahan
tersebut hampir selalu disertakan.13 Berikut daftar allergen standar uji
tempel yang dianjurkan oleh ICDRG13 :
a. Kalium bichromat 0,5% dalam vaselin
b. Cobalt chloride 1% dalam vaselin
c. Nickel sulfat 5% dalam vaselin
d. Formaldehyde 2% dalam air
e. Para phenylene diamine 1% dalam vaselin
 Bahan Penutup
Untuk uji tempel tertutup digunakan bahan penutup yang merupakan
suatu kesatuan, disebut Unit Uji tempel, yang terdiri atas13 :
a. Kertas saring berbentuk bulat atau persegi, dengan diameter
kira-kira 1 cm.
b. Bahan impermeabel dengan diameter kira -kira 2,5 cm.
c. Plester dengan diameter kira -kira 4,5 cm.
 Cara Penempelan
Bahan ditempelkan pada kulit dengan jarak satu sama lain cukup jauh
sehingga jika terjadi reaksi tidak saling mengganggu. Menempelnya cukup
lekat, tidak mudah lepas, sehingga penyerapan bahan lebih sempurna.13
 Lamanya Tes
Penempelan dipertahankan selama 24 jam untuk memberi
kesempatan absorbsi dan reaksi alergi dari kulit yang memerlukan waktu
lama. Meskipun penyerapan untuk masing-masing bahan bervariasi, ada
14

yang kurang dan ada yang lebih dari 24 jam, tetapi menurut para
peneliti waktu 24 jam sudah memadai untuk kesemuanya, sehingga
ditetapkan sebagai standar.13

Gambar 2.7 Patch Test.13


 Penilaian atau Interpretasi atau Pembacaan
Setelah 48 jam bahan tadi dilepas. Pembacaan dilakukan 1525 menit
kemudian, supaya kalau ada tanda - tanda akibat tekanan, penutupan dan
pelepasan dari unit uji tempel yang menyerupai bentuk reaksi, sudah
hilang.

Tabel 2.1 Cara penilaian yang dianjurkan oleh ICDRG sebagai berikut13 :
15

Pembacaan kedua dilakukan pada 72 jam setelah aplikasi. Pembacaan kedua


ini penting untuk membantu membedakan antara respons alergik atau iritasi, dan
juga mengidentifikasi lebih banyak lagi respons positif alergen. Hasil positif
lambat dapat terjadi setelah 96 jam bahkan sampai satu minggu aplikasi. Untuk
menginterpretasi hasil uji tempel tidak mudah.6
Respon alergik biasanya menjadi lebih jelas antara pembacaan kesatu dan
kedua, (reaksi tipe crescendo) , sedangkan respon iritan cenderung menurun
(reaksi tipe decrescendo). Bila ditemukan respon positif terhadap suatu alergen,
perlu ditentukan relevansinya dengan keadaan klinik, riwayat penyakit, dan
sumber antigen di lingkungan pasien. Mungkin respons positif tersebut
berhubungan dengan penyakit yang sekarang atau penyakit masa lalu yang pernah
dialami. Reaksi positif palsu dapat terjadi antara lain bila konsentrasi terlalu
tinggi, atau bahan tersebut bersifat iritan bila dalam keadaan tertutup (oklusi). 6
Reaksi negatif palsu dapat terjadi misalnya apabila konsentrasi yang
digunakan terlalu rendah, vehikulum tidak tepat, bahkan uji tempel tidak melekat
dengan baik, atau menjadi longgar akibat pergerakan, kurang cukup waktu
penghentian pemakaian kortikosteroid sistemik atau pemakaian kortikosteroid
topikal berpotensi kuat dalam jangka waktu lama pada daerah yang
akan dilakukan uji tempel. 6
b. Histopatologik
Gambaran histopatologik dermatitis kontak iritan tidak khas.
Pada DKI akut (oleh iritan primer), dermis bagian atas terdapat
vasodilatasi disertai sebukan sel mononuklear di sekitar pembuluh
darah. Eksositosis di epidermis diikuti spongiosis dan edema
intrasel, serta nekrosis epidermal. Pada dermatitis berat kerusakan
epidermis dapat berbentuk vesikel atau bula. Di dalam vesikel atau
bula ditemukan limfosit dan neutrofil.6
2.1.1.7 Diagnosa Banding
Dermatitis kontak iritan mempunyai gejala yang hampir mirip
dengan dermatitis kontak alergi. Berikut ini adalah tabel perbedaan
antara dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergi9 :
16

Tabel 2.2 Perbedaan DKI dan DKA.9

 Dermatitis Kontak Alergi ( DKA )

Gambar 2.8 Dermatitis Kontak Alergi (DKA)


17

Dermatitis (peradangan kulit) yang timbul setelah kontak dengan


alregen melalui proses sensitisasi. Penyebabnya biasa berupa bahan logam
berat, kosmetik, bahan perhiasan, obat-obatan, karet dan lainnya. Dermatitis
ini dapat terjadi pada semua umur dengan frekuensi yang sama pada pria dan
wanita. Terdapat kemerahan pada daerah kontak, kemudian timbul eritema,
papul, vesikel, erosi dan penderita selalu mengeluhkan gatal.15
Penyakit ini disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe IV dan
merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat dan timbul akibat pajanan
suatu alergen, yang sebelumnya sudah terpajan oleh alergen yang sama.16

 Dermatitis Atopik
Dermatitis atopik adalah penyakit peradangan kulit yang kronis,
ditandai rasa gatal ringan sampai berat, bersifat kumat-kumatan, sebagian
muncul pada saat bayi dan anak. Berbagai faktor turut berperan dalam
patogenesis dermatitis atopik antara lain faktor genetik terkait dengan
kelainan sawar kulit, kelainan imunologik, dan faktor lingkungan.17

Kelainan kulit dimulai dengan eritema, papul-papul, vesikel sampai


erosi dan likenifikasi. Penderita tampak gelisah, gatal dan sakit berat.15

Gambar 2.9 Dermatitis Atopik.15

2.1.1.8 Penatalaksanaan
a. Nonmedikamentosa
1. Identifikasi dan penghindaran terhadap bahan iritan
tersangka.
2. Anjuran penggunaan alat pelindung diri (APD), misalnya
sarung tangan apron, sepatu bot. Pada beberapa kondisi
18

oklusif akibat penggunaan sarung tangan terlalu lama


dapat memperberat gangguan sawar kulit.
3. Edukasi mengenai prognosis, informasi mengenai
penyakit, serta perjalanan penyakit yang akan lama
walaupun dalam terapi dan sudah modifikasi lingkungan
pekerjaan, perawatan kulit.18
b. Medikamentosa
1. Sistemik: simtomatis, sesuai gejala dan sajian klinis.
Derajat sakit berat : dapat ditambah kortikosteroid oral
setara dengan prednison 20 mg/hari dalam jangka pendek
(3 hari).
2. Topikal : Pelembap setelah bekerja/after work cream.
Disarankan pelembap yang kaya kandungan lipid.
Sesuai dengan sajian klinis, yaitu18 :
 Basah (madidans) : beri kompres terbuka (2-3 lapis kain
kasa) dengan larutan NaCl 0,9%.
 Kering : beri krim kortikosteroid potensi sedang, misalnya
flusinolon asetoid.
 Bila dermatitis berjalan kronis dapat diberikan mometason
fuorate intermiten
3. Pada kasus yang berat dan kronis, atau tidak respons dengan steroid
bisa diberikan inhibitor kalsineurin atau fototerapi dengan BB/NB
UVB atau obat sistemik misalnya azatioprin atau siklosporin. Bila
ada superinfeksi oleh bakteri: antibiotika topikal/sistemik.18

2.1.1.9 Edukasi
1. Edukasi mengenai prognosis, informasi mengenai penyakit,
serta perjalanan penyakit yang akan lama walaupun dalam
terapi dan sudah modifikasi lingkungan pekerjaan,
perawatan kulit.
19

2. Edukasi mengenai penggunaan alat pelindung diri yang


sesuai dengan jenis pekerjaan, bila dermatitis berhubungan
dengan kerja.
3. Edukasi mengenai perawatan kulit sehari-hari dan
penghindaran terhadap iritan yang dicurigai.18

2.1.1.10 Prognosis
Prognosisnya kurang baik jika bahan iritan penyebab
dermatitis tersebut tidak dapat disingkirkan dengan sempurna.
Keadaan ini sering terjadi pada DKI kronis yang penyebabnya
multifaktor, juga pada penderita atopik.6

2.1.2 Dermatitis Kontak Alergi ( DKA )


2.1.2.1 Definisi
Dermatitis kontak alergi adalah dermatitis yang terjadi pada
seseorang yang telah mengalami sensitisasi terhadap suatu bahan
penyebab/alergen.6
2.1.2.2 Epidemiologi
Bila dibandingkan dengan DKI, jumlah pasien DKA lebih
sedikit, karena hanya mengenal orang yang kulitnya sangat peka
(hipersensitif). Diperkirakan jumlah DKA maupun DKI makin
bertambah sering dengan bertambahnya jumlah produk yang
mengandung bahan kimia yang dipakai oleh masyarakat. Namun,
informasi mengenai prevalensi dan insidens DKA di masyarakat
sangat sedikit.6
2.1.2.3 Etiologi
Penyebab DKA ialah bahan kimia sederhana dengan berat
molekul rendah ( <1000 dalton), disebut sebagai hapten, bersifat
lipofilik, sangat reaktif, dan dapat menembus stratum korneum
sehingga mencapai sel epidermis bagian dalam yang hidup.
20

Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya dermatitis kontak


alergi. Misalnya antara lain6 :
a. Faktor eksternal
- Potensi sensitisasi allergen
- Dosis per unit area
- Luas daerah yang terkena
- Lama pajanan
- Oklusi
- Suhu dan kelembaban lingkungan
- Vehikulum
- pH

b. Faktor Internal/ Faktor Individu


- Keadaan kulit pada lokasi kontak
Contohnya : ketebalan epidermis dan keadaan stratum korneum.
- Status imunologik
Misal : orang tersebut sedang menderita sakit, atau terpajan sinar
matahari.
2.1.2.4 Patogenesis
Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada dermatitis kontak alergi
adalah mengikuti respons imun yang diperantarai oleh sel (cell-mediated
immune respons) atau reaksi hipersensitivitas tipe IV. Reaksi
hipersensitivitas di kulit timbul secara lambat (delayed hypersensitivity),
umumnya dalam waktu 24 jam setelah terpajan dengan alergen.
Patogenesis hipersensitivitas tipe IV ini sendiri dibagi menjadi dua fase,
yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi.19
a. Fase Sensitisasi
Sebelum seorang pertama kali menderita dermatitis kontak
alergik, terlebih dahulu mendapatkan perubahan spesifik reaktivitas
pada kulitnya.Perubahan ini terjadi karena adanya kontak dengan
21

bahan kimia sederhana yang disebut hapten (alergen yang memilik


berat molekul kecil yang dapat menimbulkan reaksi antibodi tubuh
jika terikat dengan protein untuk membentuk antigen lengkap).
Antigen ini kemudian berpenetrasi ke epidermis dan ditangkap dan
diproses oleh antigen presenting cells (APC), yaitu makrofag,
dendrosit, dan sel langerhans. Selanjutnya antigen ini
dipresentasikan oleh APC ke sel T.6

Setelah kontak dengan antigen yang telah diproses ini, sel T menuju ke
kelenjar getah bening regional untuk berdeferensiasi dan berproliferasi
membentuk sel T efektor yang tersensitisasi secara spesifik dan sel memori.
Sel-sel ini kemudian tersebar melalui sirkulasi ke seluruh tubuh, juga sistem
limfoid, sehingga menyebabkan keadaan sensitivitas yang sama di seluruh
kulit tubuh. Fase saat kontak pertama alergen sampai kulit menjadi sensitif
disebut fase induksi atau fase sensitisasi. Fase ini rata-rata berlangsung
selama 2-3 minggu.6

Gambar 2.10 Patogenesis dermatitis kontak alergi


22

b. Fase Elisitasi
Fase elisitasi atau fase eferen terjadi apabila timbul pajanan kedua dari
antigen yang sama dan sel yang telah tersensitisasi telah tersedia di dalam
kompartemen dermis. Sel Langerhans akan mensekresi IL-1 yang akan
merangsang sel T untuk mensekresi IL-2. Selanjutnya IL-2 akan merangsang
INF (interferon) gamma. IL-1 dan INF gamma akan merangsang keratinosit
memproduksi ICAM-1 (intercellular adhesion molecule-1) yang langsung
beraksi dengan limfosit T dan lekosit, serta sekresi eikosanoid.19
Eikosanoid akan mengaktifkan sel mast dan makrofag untuk
melepaskan histamin sehingga terjadi vasodilatasi dan permeabilitas yang
meningkat. Akibatnya timbul berbagai macam kelainan kulit seperti eritema,
edema dan vesikula yang akan tampak sebagai dermatitis. 19 Proses peredaan
atau penyusutan peradangan terjadi melalui beberapa mekanisme yaitu proses
skuamasi, degradasi antigen oleh enzim dan sel, kerusakan sel langerhans dan
sel keratinosit serta pelepasan prostaglandin E-1dan 2 (PGE-1,2) oleh sel
makrofag akibat stimulasi INF gamma.19
PGE-1,2 berfungsi menekan produksi IL-2 dan sel T serta mencegah
kontak sel T dengan keratisonit. Selain itu sel mast dan basofil juga ikut
berperan dengan memperlambat puncak degranulasi setelah 48 jam paparan
antigen, diduga histamin berefek merangsang molekul CD8 (+) yang bersifat
sitotoksik. Dengan beberapa mekanisme lain, seperti sel B dan sel T terhadap
antigen spesifik, dan akhirnya menekan atau meredakan peradangan.19
23
24

2.1.2.5 Gejala Klinis


Penderita pada umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit
bergantung pada tingkat keparahan dan lokasi dermatitisnya. Pada
stadium akut dimulai dengan bercak eritema berbatas jelas dan tegas,
kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau
bula dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). DKA akut
ditempat tertentu, misalnya kelopak mata, penis, skrotum, lebih
didominasi oleh eritema dan edema. Pada yang kronis terlihat kulit
kering, berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga fisur, batasnya
tidak jelas.6
2.1.2.6 Penegakkan Diagnosis
A. Anamnesis
Diagnosis didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan
pemeriksaan klinis yang teliti. Pertanyaan mengenai kontaktan
yang dicurigai berdasarkan pada kulit yang ditemukan. Misalnya :
pada kelainan kulit berdasarkan numular di sekitar umbilikus
berupa hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan papul dan erosi,
perlu ditanyakan apakah pasien memakai kancing celana atau
kepala ikat pinggang yang terbuat dari logam (nikel). Data yang
berasal dari anamnesis juga meliputi : pekerjaan, hobi, obat
topikal yang pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika,
berbagai bahan yang diketahui menimbukkan alergi, penyakit
kulit yang pernah dialami, riwayat atopi, baik dari yang
bersangkutan maupun keluarganya.6
B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat
lokasi dan pola kelainan kulit sering kali dapat diketahui
kemungkinan penyebabnya. Misalnya : di ketiak oleh deodoran,
di pergelangan tangan oleh jam tangan, di kedua kaki oleh
sepatu/sandal.6
25

Lokasi Kemungkinan Penyebab

Pekerjaan yang basah (Wer Work) misalnya : memasak makanan


Tangan (getah sayuran, pestisida) dan mencuci pakaian menggunakan
deterjen.

Lengan Jam tangan (nikel), sarung tangan karet, debu semen, dan tanaman.

Ketiak Deodoran, anti-perspiran, formaldehid yang ada di pakaian.

Bahan kosmetik, spons (karet), obat topikal, alergen di udara (acro-


Wajah
alergen), nikel (tangkai kacamata)

Bibir Lipstik, pasta gigi, getah [buah-buahan.

Kelopak
Maskara, eye shadow, obat tetes mata, salep mata
mata

Anting yang terbuat dari nikel, tangkai kacamata, obat topikal, gagang
Telinga
telepon.

Leher Kalung dari nikel, parfum, alergen di udara, zat warna pakaian,

Tekstil, zat warna, kancing logam, karet (elastis,busa), plastik,


Badan
deterjen, bahan pelembut atau pewangi pakaian.

Antiseptik, obat topikal, nilon, kondom, pembalut wanita, alergen yag


Genitalia
berada di tangan, parfum, kontrasepsi.

Paha dan
tungkai Tekstil, kaus kaki nilon, obat topikal, sepatu / sandal.
bawah

Tabel 2.3 Berbagai Lokasi Terjadinya DKA.6


26

Pada pemeriksaan fisik dermatitis kontak alergi secara umum dapat


diamati beberapa ujud kelainan kulit antara lain edema, papulovesikel, vesikel
atau bula. Ujud kelainan kulit dapat dilihat pada beberapa gambar berikut6 :
 Lengan
Dermatitis kontak alergi pada di lengan tempat tali jam tangan karena
alergi terhadap nikel menyebabkan eritema. Lesi yang timbul pada lokasi
kontak langsung dengan nikel (lesi eksematosa dan terkadang popular). Lesi
eksematosa berupa papul-papul, vesikel-vesikel yang dijumpai pada lokasi
kontak langsung.

Gambar 2.11 DKA Pada Lengan

 Bibir
Dermatitis kontak alergi akut pada bibir yang terjadi karena lipstick.
Pasien hipersensitif terhadap eosin mengakibatkan eritema pada bibir.

Gambar 2.12 DKA Pada Bibir


27

 Telinga
Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab dermatitis kontak
pada telinga. Penyebab lain misalnya obat topikal, tangkai kaca mata, cat
rambut, alat bantu dengar, gagang telepon. Alat bantu dengar dapat
mengandung akrilak, bahan plastik, serta bahan kimia lainnya. Tindikan pada
telinga mungkin menjadi fase sensitisasi pada dermatitis karena nikel yang
bisa mengarah pada dermatitis kontak kronik.

Gambar 2.13 DKA Pada Telinga

 Badan
Dermatitis kontak di badan dapat disebabkan oleh tekstil, zat warna
kancing logam, karet (elastis, busa), plastik, deterjen, bahan pelembut atau
pewangi pakaian. Dermatitis kontak pada perut karena pasien alergi pada
karet dari celananya Terlihat adanya eritema yang berbatas tegas sesuai
dengan daerah yang terkena allergen.

Gambar 2.14 DKA Pada Badan


28

 Genitalia
Penyebabnya : antiseptik, obat topikal, nilon, kondom, pembalut wanita
alergen yang berada di tangan, parfum, kontrasepsi, deterjen. Dermatitis
kontak yang terjadi pada daerah vulva karena alergi pada cream yang
mengandung neomisin, dan terlihat eritema.

Gambar 2.15 DKA Pada Genitalia


 Paha dan tungkai bawah
Dermatitis di tempat ini dapat disebabkan oleh tekstil, dompet, kunci
(nikel), kaos kaki nilon, obat topikal, semen, sepatu/sandal. Pada gambar
dermatitis kontakalergi yang terjadi karena Quaternium-15, bahan pengawet
pada pelembab. Kaki mengalami skuama, krusta

Gambar 2.16 DKA Pada Paha dan Tungkai Bawah


29

C. Pemeriksaan Penunjang
a. Uji Tempel
Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung.
Bahan yang secara rutin dan dibiarkan menempel di kulit, misalnya
kosmetik, pelembab, bila dipakai untuk uji tempel, dapat langsung
digunakan apa adanya. Bila menggunakan bahan yang secara rutin
dipakai dengan air untuk membilasnya, misalnya sampo, pasta gigi,
harus diencerkan terlebih dahulu. Bahan yang tidak larut dalam air
diencerkan atau dilarutkan dalam vaselin atau minyak mineral. Produk
yang diketahui bersifat iritan, misalnya deterjen, hanya boleh diuji bila
diduga keras penyebab alergi.6
Apabila pakaian, sepatu, atau sarung tangan yang dicurigai
penyebab alergi, maka uji tempel dilakukan dengan potongan kecil
bahan tersebut yang direndam dalam air garam yang tidak dibubuhi
bahan pengawet, atau air, dan ditempelkan di kulit dengan memakai
Finn Chamber, dibiarkan sekurang-kurangnya 48 jam. Perlu diingat
bahwa hasil positif dengan alergen bukan standar perlu kontrol (5
sampai 10 orang) untuk menyingkirkan kemungkinan terkena iritasi.6
b. Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan Histopalogi dilakukan dengan cara6 :
1. Untuk pemeriksaan ini dibutuhkan potongan jaringan
yang didapat dengan cara biopsi dengan pisau atau
plong/punch.
2. Penyertaan kulit normal pada tumor kulit, penyakit
infeksi, kulit normal tidak perlu diikutsertakan.
3. Sedapat-dapatnya diusahakan agar lesi yang akan
dibiopsi adalah lesi primer yang belum mengalami
garukan atau infeksi sekunder.
4. Bila ada infeksi sekunder, sebaiknya diobati lebih
dahulu.
30

5. Pada penyakit yang mempunyai lesi yg beraneka macam/ banyak, lebih baik
biopsi lebih dari satu.
6. Potongan jaringan sebisanya berbentuk elips + diikutsertakan jaringan
subkutis.
7. Jaringan yang telah dipotong dimasukan ke dalam larutan fiksasi, misanya
formalin 10% atau formalin buffer, supaya menjadi keras dan sel-selnya mati.
8. Lalu dikirim ke laboratorium.
9. Pewarnaan rutin yang biasa digunakan dalah Hematoksilin - Eosin(HE). Ada
pula yang menggunakanperwarnaan oersein dan Giemsa.
10. Volume cairan fiksasi sebaiknya tidak kurang dari 20 X volume jaringan.
11. Agar cairan fiksasi dapat dengan baik masuk ke jaringan hendaknya tebal
jaringan kira-kira 1/2 cm, kalau terlalu tebal dibelah dahulu sebelum
dimasukkan ke dalam cairan fiksasi.

Pada dermatitis kontak, limfosit T yang telah tersensitisasi, menginvasi


dermis dan epidermis serta menyebabkan edema dermis atau spongiosis
epidermis. Perubahan-perubahan ini secara histologi tidak spesifik6 :
1. Epidermis
a. Hiperkeratosis, serum sering terjebak dalam stratum korneum
b. Hiperplastik, akantosis yang luas
c. Spongiosis, yang kadang vesikuler. Manifestasi dini ditandai
dengan penonjol dari jembatan antar sel di lapisan spinosus
d. Kemudian ada epidermotropism dari limfosit yang muncul normal
2. Dermis
a. Limfosit perivesikuler
b. Eosinofil : bervariasi, muncul awal dan karena sebab alergi
c. Edema
31

Gambar 2.17 Histopatologik Pada DKA


Terlihat hiperkeratosis, vesikel parakeratosis subkorneal,
spongiosis sedang dan elongasi akantosis dari pars papilare dermis yang
dinyatakan lewat infiltrasi sel-sel radang berupa limfosit dan beberapa
eosinofil, serta elongasi dari papila epidermis.6
2.1.2.7 Diagnosis Banding
Kelainan kulit pada dermatitis kontak alergik sering tidak
menunjukkan gambaran morfologik yang khas. Gambaran klinis dapat
menyerupai dermatitis atopik, dermatitis numularis, dermatitis seboroik,
atau psoriasis. Diagnosis banding yang terutama ialah dermatitis kontak
iritan (DKI). Pada keadaan ini pemeriksaan uji tempel perlu
dipertimbangkan untuk menentukan, apakah dermatitis tersebut
merupakan dermatitis kontak alergik.6
2.1.2.8 Penatalaksanaan
a. Nonmedikamentosa
1. Identifikasi dan penghindaran terhadap bahan alergen
tersangka.
2. Anjuran penggunaan alat pelindung diri (APD), misalnya
sarung tangan, apron, sepatu bot. Pada beberapa kondisi
oklusif akibat penggunaan sarung tangan terlalu lama
dapat memperberat gangguan sawar kulit.18
32

b. Medikamentosa
1. Sistemik : simtomatis, sesuai gejala dan sajian klinis.
Derajat sakit berat : dapat ditambah kortikosteroid oral
setara dengan prednison 20 mg/hari dalam jangka pendek
(3 hari).
2. Topikal : Pelembab setelah bekerja.
Disarankan pelembab yang kaya kandungan lipid,
misalnya : vaselin (petrolatum).
Sesuai dengan gambaran klinis, yaitu18 :
 Basah (madidans) : beri kompres terbuka (2-3 lapis
kain kasa) dengan larutan NaCl 0,9%.
 Kering : beri krim kortikosteroid potensi sedang
sampai tinggi, misalnya mometason furoat,
flutikason propionat, klobetasol butirat.
 Bila dermatitis berjalan kronis dapat diberikan
klobetasol propionate interiten.
3. Pada kasus yang berat dan kronis, atau tidak respons
dengan steroid bisa diberikan inhibitor kalsineurin atau
fototerapi BB/NB UVB2, atau obat imunosupresif
sistemik misalnya azatioprin atau siklosporin. Bila ada
superinfeksi oleh bakteri : antibiotika topikal/sistemik.18

2.1.2.9 Edukasi
1. Edukasi mengenai prognosis, informasi mengenai penyakit, serta
perjalanan penyakit yang akan lama walaupun dalam terapi dan
sudah modifikasi lingkungan pekerjaan, perawatan kulit.
2. Edukasi mengenai penggunaan alat pelindung diri yang sesuai
dengan jenis pekerjaan, bila dermatitis berhubungan dengan kerja.
3. Edukasi mengenai perawatan kulit sehari-hari dan penghindaran
terhadap alergen berdasarkan hasil uji tempel.18
33

2.1.2.10 Prognosis
Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan
kontaknya dapat disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi
kronis bila bersamaan dengan dermatitis yang disebabkan oleh faktor
endogen(dermatitis atopik, dermatitis numularisatau psoriasis). Faktor
lain yang membuat prognosis kurang baik adalah pajanan alergen yang
tidak mungkin dihindari misalnya berhubungan dengan pekerjaan
tertentu atau yang terdapat di lingkungan penderita.6
BAB III
KESIMPULAN

Penyakit kulit akibat kerja yang paling umum terjadi adalah dermatitis
kontak, yaitu sebanyak 70-90%. Dermatitis kontak akibat kerja (DKAK) adalah
kondisi kelainan kulit akibat terpapar oleh bahan yang digunakan pada saat
bekerja. Terdapat dua jenis dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak iritan (DKI)
dan dermatitis kontak alergi (DKA).
Dermatitis kontak iritan (DKI) merupakan peradangan pada kulit non-
imunologik, yaitu kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului proses
pengenalan/ sensitisasi dan dermatitis kontak alergi (DKA) adalah dermatitis yang
terjadi pada seseorang yang telah mengalami sensitisasi terhadap suatu bahan
penyebab/alergen.
Penyebab DKI ialah pajanan dengan bahan yang bersifat iritan, misalnya
bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu,
sedangkan penyebab DKA ialah bahan kimia sederhana dengan berat molekul
rendah ( <1000 dalton).
Berdasarkan penyebab dan pengaruh berbagai faktor tersebut, ada yang
mengklasifikasikan DKI menjadi 10 jenis, yaitu : DKI akut, lambat akut (acute
delayed irritancy), reaksi iritan, kronik kumulatif, reaksi traumatik, exsiccation
eczematid, reaksi pustular dan akneformis, iritasi non-eritematosa, dermatitis
karena friksi dan iritasi subyektif.
Keluhan yang timbul pada DKAK dapat bervariasi, tergantung sifat bahan
paparan. Pada DKI yang akut akan lebih sering mengalami keluhan nyeri atau rasa
panas seperti terbakar, sedangkan pada DKA rasa gatal lebih dominan, dan pada
lesi yang kronis dapat berupa kulit yang kering. Diagnosis dermatitis kontak
didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan pemeriksaan klinis yang teliti
dan standar utama pemeriksaan penunjang pada dermatitis kontak adalah uji
tempel (patch test).

35
36

Pada dasarnya penatalakasanaan pada dermatitis kontak bisa dilakukan


dengan cara nonmedikamentosa yaitu identifikasi dan penghindaran terhadap
bahan iritan dan bahan alergen tersangka. Kemudian penatalaksanaan
medikamentosa yaitu secara sistemik : simtomatis, sesuai gejala dan sajian klinis.
Derajat sakit berat : dapat ditambah kortikosteroid oral setara dengan prednison 20
mg/hari dalam jangka pendek (3 hari), penggunaan topikal : Pelembab setelah
bekerja, dan apabila basah (madidans) : beri kompres terbuka (2-3 lapis kain kasa)
dengan larutan NaCl 0,9%, kering : beri krim kortikosteroid potensi sedang
sampai tinggi, misalnya mometason furoat, flutikason propionat, klobetasol
butirat.
Prognosis DKI kurang baik jika bahan iritan penyebab dermatitis tersebut
tidak dapat disingkirkan dengan sempurna dan prognosis pada DKA umumnya
baik, sejauh bahan kontaknya dapat disingkirkan. Namun, prognosis DKA kurang
baik dan menjadi kronis bila bersamaan dengan dermatitis yang disebabkan oleh
faktor endogen(dermatitis atopik, dermatitis numularisatau psoriasis).
DAFTAR PUSTAKA

1. Sukanto H dan Witarasari D. Dermatitis Kontak Akibat Kerja:


Penelitian Retrospektif. Surabaya : Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga ; 2014 ; 26 (3).
2. Rosyiana, D. Hubungan Dermatitis Kontak Akibat Kerja (DKAK)
dengan Kualitas Hidup Pada Pekerja Batik Di Laweyan Surakarta.
Solo : Universitas Muhammadiyah Surakarta ; 2018.
3. Putri E, Budiastuti A, dan Widodo A. Faktor Penyebab Terjadinya
Dermatitis Kontak Akibat Kerja Pada Pekerja Bangunan. Semarang :
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro ; 2015 ; 4 (4).
4. Paendong R, Pandaleke H dan Mawu F. Gambaran Kejadian Dermatitis
Kontak Akibat Kerja pada Petugas Cleaning Service di RSUP Prof. Dr.
R. D. Kandou Manado. Manado : Fakultas Kedokteran Universitas Sam
Ratulangi ; 2017 ; 2 (5).
5. J.M.Harrington & F.S. Gill. Buku Saku Kesehatan Kerja Edisi 3.
Jakarta; EGC ; 2005.
6. Sularsito, S.A dan Suria Djuanda. Dermatitis. Ilmu Penyakit Kulit Dan
Kelamin. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ; 2015.
7. Wolff K, Lowel AG, Stephen IK, Barbara AG, Amy SP, David JL.
Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. 8 th ed. New York:
McGraw – Hill ; 2008; 499-506.
8. Harahap M. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta : Hipokrates ; 2015.
9. Wolff, Klaus & Richard Allen Jhonson. Fitzpatrick’s Color Atlas and
Synopsis of Clinical Dermatology Sixth Edition. New York: The
McGraw-Hill Companies ; 2009.
10. Wilkinson SM, and Beck MH. Rook’s Textbook Of Dermatology 8th ed.
Australia : Blackwell Publishing ; 2008 ; (25).
11. Johansen, Jeanne Duus, Peter J. Frosch, & Jean Pierre Lepoittevin.
Contact Dermatitis Fifth Edition. Heidelberg: Springer ; 2011.

37
38

12. Ida A. Dermatitis Kontak Pada Pekerja Bangunan. Bali : Fakultas


Kedokteran Universitas Udayana ; 2013.
13. M.Sulaksmono. Keuntungan dan Kerugian Patch Test (Uji Tempel)
Dalam Upaya Menegakkan Diagnosa Penyakit Kulit Akibat Kerja
(Occupational Dermatosis) ; 2015.
14. Yuliharti T. Dermatitis Kontak Alergi. Bali : Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana ; 2013.
15. Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi : 3, Jakarta :
EGC ; 2015.
16. Dian A. Karakteristik Dermatitis Kontak Alergi (DKA) Di RUP DR.
Kariadi. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro ;
2014.
17. Herwanto N. Studi Retrospektif : Penatalaksanaan Dermatitis Atopik.
Surabaya : Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga ; 2016 ; 28 (1).
18. Widaty S, dkk. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin di Indonesia. Jakarta : Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin Indonesia (PERDOSKI) ; 2017.
19. Trihapsoro, Iwan. Dermatitis Kontak Alergik pada Pasien Rawat Jalan
di RSUP Haji Adam Malik Medan. Medan : Universitas Sumatra
Utara ; 2003.

Anda mungkin juga menyukai