Terapi Emdr (Eye Movement Desensitization and Reprocessing) Pada Narapidana Wanita Di Lapas Kelas Iia
Terapi Emdr (Eye Movement Desensitization and Reprocessing) Pada Narapidana Wanita Di Lapas Kelas Iia
Abstrak: Penelitian ini dilatarbelakangi dengan kondisi para narapidana wanita yang
mengalami kejadian penuh stres selama perjalanan kehidupan mereka. Tujuan dari
penelitan ini adalah untuk untuk mendapat gambaran tentang perubahan gejala-gejala
traumatik dengan menggunakan terapi EMDR pada narapidana wanita,di Lapas Wanita
Kelas IIA, Bandung. Target yang diharapkan adalah terjadinya penurunan gejala-gejala
traumatik pada narapidana wanita. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode eksperimental dengan desain a simple pretest-posttest design yaitu rancangan
penelitian yang mengukur perilaku sebelum dan sesudah treatment. Assessment dilakukan
dengan mengukur kondisi traumatik responden menggunakan kuesionair IES (Impact
Event Scale) dan SRQ (Self Reporting Questionaire), yang bertujuan untuk menentukan
kategori gejala traumatik responden. Terapi EMDR diberikan kepada 7 narapidana wanita
yang menunjukkan tingkat traumatik kategori tinggi. Terapi diberikan sebanyak 4 kali sesi/
pertemuan, dimana masing-masing sesi terdiri dari 8 tahapan (Shapiro, 1995). Setelah terapi
dilakukan assessment kembali menggunakan IES dan SRQ untuk mengetahui penurunan
gejala traumatik yang dialami narapidanan wanita. Hasil menunjukkan terjadi penurunan
gejala traumatik pada ke-6 responden, dan hanya ada 1 orang responden yang mengalami
peningkatan skor gejala traumatik. Uji statistik Wilcoxon dilakukan untuk mengetahui
signifikansi perbedaan skor gejala traumatik sebelum dan sesudah terapi. Berdasarkan
hasil uji statistik Wilcoxon dengan menggunakan tingkat kesalahan 0,05 di peroleh nilai
asymp. Sig (0,028) < 0,05, maka tolak H0 . Dari hasil tersebut dapat dinyatakan terdapat
perbedaan yang signifikan antara skor gejala traumatik sebelum dan sesudah terapi EMDR.
Artinya terapi EMDR dapat menurunkan gejala traumatik pada responden narapidana
wanita Lapas kelas IIA, Bandung.
Kata kunci: narapidana wanita, EMDR (eye movement disensitization and reprocessing),
gejala traumatik, stres.
1
2 INQUIRY Jurnal Ilmiah Psikologi, Vol. 8 No. 1, Juli 2017, hlm 1-15
Abstract: The background of this reseach is the condition of female prisoners who experienced
stressful events in their life. The objective of this reseach is to obtain a description of the changes
in traumatic symptoms through the application of EMDR theraphy to the female prisoners in
Female Prison Class IIA in Bandung. The target expected is to achieve the decline in traumatic
symptoms of the female prisoners. The method used in this reseach is experimental method
with simple pretest-postest design which is a research design that measures behaviour before
and after teratment. Assessment was conducted by IES (Impact Event Scale) and SRQ (Self
Reporting Questionair) to determine level of traumatic respondents. EMDR therapy was given
to seven female prisoners who were indicated to be in the high category of traumatic level. The
theraphy was given in 14 session/meetings. Each session consists of 8 phases (Shapiro,1995).
A measurement of PTSD symptoms was done using IES (Impact Event Scale) questionnaires
before and after EMDR Therapy. A decline in PTSD symptoms of the female prisoners could
be seen. Wilcoxon Statistic test was done to find out the significance of the score difference
of traumatic symptoms before and after the therapy. The results show a decline of traumatic
symptoms in six respondents and one respondent had an increase in traumatic symptom score.
Based on the result of Wilcox statistical test with an error rate of (0. 05). The asymp. sig
value is (0. 028)<0. 05, H0 is rejected. The result shows the significant difference of traumatic
symptoms before and after EMDR Therapy. This means that EMDR Theraphy can reduce
traumatic symptoms of the female prisoners in Community Prison Class II A in Bandung.
Keywords: female prisoner, eye movement desensitization and reprocessing, traumatic
symptoms, stress.
K
ejadian penuh stres akan dari peningkatan jumlah penghuni Warga
berbagai sumber stres akan berbeda- Wanita Kelas IIA Bandung. Berdasarkan
beda pada setiap orang. Hal ini juga data bulan Januari 2014 dari SDP (Sistem
yang berhadapan dengan kasus hukum. dari petugas Lapas Wanita Sukamiskin
kehidupan yang penuh stres, yakni ketika lapas kelas IIA Bandung berjumlah 426
proses penangkapan, selama proses yang terdiri dari 69 tahanan dan 357
hukum di pengadilan, dan diikuti dengan napi. Dengan meningkatnya jumlah
kehidupan baru yang mereka jalani warga binaan pemasyarakatan tersebut,
selama di lembaga pemasyarakatan. peran lembaga pemasyarakatan dalam
Peningkatan jumlah kejahatan melaksanakan pembinaan menjadi sangat
atau perilaku kriminal yang dilakukan oleh penting.
wanita tidak lepas dari perkembangan Peningkatan jumlah penghuni
kehidupan yang semakin kompleks. WBP wanita saat ini terkait peran
Meningkatnya pelanggaran hukum yang wanita dalam berbagai aspek kehidupan.
Susanty, E, Sari, D.I, Penanganan Gejala Traumatik Dengan Terapi Emdr (Eye Movement Desensitization
And Reprocessing) Pada Narapidana Wanita Di Lapas Kelas IIA Bandung, Jawa Barat 3
Kondisi ini membuka peluang terjadinya memiliki salah satu fungsi memberikan
penyimpangan atau pelanggaran hukum bimbingan sosial kerohanian narapidana.
yang dilakukan wanita. Namun demikian Hal ini diwujudkan pada sasaran dari
berdasarkan studi tindak kejahatan Lembaga Pemasyarakatan Wanita yaitu
yang dilakukan oleh wanita berbeda meningkatkan kualitas kesehatan jasmani
dibandingkan dengan pria dalam hal dan rohani narapidana dan tahanan.
latar belakang personal dan jalan yang Merujuk hal tersebut, para narapidana
ditempuh (Belknap, 2001). Mereka pada wanita memiliki hak untuk mendapat
umumnya berpendidikan rendah, secara pembinaan dan perlindungan hak asasi
ekonomi lemah dan kurangnya keahlian selama masa tahanan.
untuk mendapat pekerjaan yang layak. Berbagai persoalan psikologis
Jadi tindak kejahatan yang dilakukan dialami para napi wanita dalam menjalani
karena faktor desakan ekonomi, masatahanannya. Penelititelahmelakukan
keterbatasan pengetahunan atau upaya studi awal terhadap 30 orang napi wanita
perlawanan atas tindakan kekerasan kelas IIA, Bandung. Studi ini dilakukan
seksual. Beberapa kasus seperti untuk mengetahui latar belakang napi
kekerasan seksual, perlakuan yang tidak wanita yang berkaitan dengan kondisi
layak dan kekerasan di rumah tangga stres yang dialami. Kepada napi wanita
terkait langsung dengan gender (Bloom, diberikan kuesionair yang dilengkapi
Owen, & Covington, 2004). Keadaan ini dengan berbagi sumber kejadian stres
membutuhkan perhatian khusus dalam yang mungkin dialami seseorang. Mereka
proses pembinaan sehingga ketika keluar diminta untuk memberikan tanda cek (√)
dari lembaga pemasyarakatan mereka pada peristiwa atau kejadian yang pernah
dapat menjadi manusia yang layak dialami dan menimbullkan stres dalam
diterima dan tetap berkontribusi dalam kehidupan. Kejadian yang dianggap penuh
masyarakat. stres oleh sebagian besar napi adalah
Fungsi pembinaan adalah proses penangkapan atau penahanan
merupakan satu upaya untuk mewujudkan (27 napi). Kejadian berikutnya yang
integritas sosial. Dalam Undang- dianggap penuh stres adalah kejadian
undang Nomor 12 tahun 1995 tentang mendadak, seperti kematian orang
Pemasyarakatan menyatakan bahwa terdekat (19 napi), pengalaman penuh
“Sistem pemasyarakatan diselenggarakan stres (17 napi), luka serius (12 napi)
dalam rangka membentuk warga binaan serta penderitaan kehidupan (11 napi).
pemasyarakatan menjadi manusia Hasil ini menunjukkan bahwa napi wanita
seutuhnya baik sebagai pribadi, anggota mengalami kejadian-kejadian penuh
masyarakatan maupun sebagai makhluk stres yang berpotensi bagi kemunculan
Tuhan”. Lembaga Pemasyarakatan gangguan psikologis seperti: kecemasan,
4 INQUIRY Jurnal Ilmiah Psikologi, Vol. 8 No. 1, Juli 2017, hlm 1-15
Pretest Treatment
Kelompok Pertemuan ke - Posttest (Y2)
(Y1) (X)
Subyek 1 Pretest
2 Sesi 1
3 Sesi 2
4 Sesi 3
5 Sesi 4
6 Posttest
Sumber: Peneliti (2017)
kelompok yang mendapat teknik relaksasi Sesi ini penting untuk membangun
saja (6 orang). kepercayaan dengan responden.
Hal ini dilakukan berdasarkan Terapis juga menjelaskan EMDR
hasil deep interview dengan pertimbangan secara lebih detail baik teori maupun
tidak semua responden memiliki prosedur yang akan dijalani.
kesediaan waktu dalam mengikuti terapi 3. Assessment Pada tahap ini terapis
EMDR dan pertimbangan teknis lainya mengidentifikasi komponen target
seperti masa hukuman yang segera dengan menanyakan tiga hal:
berakhir. Bayangan visual yang
Berikut tahapan prosedur terapi merepresentasikan kejadian target.
EMDR: Jadi mengklarifikasi bayangan visual
1. Latar belakang klien dan perencanaan dari trauma yang dialami.
intervensi (Client history) a. Keyakinan negatif atau pikiran negatif
Pada tahap ini terapis yang mengekspresikan kondisi
mendapatkan informasi yang maladaptif responden. Pikiran negatif
dibutuhkan untuk merancang sebenarnya verbalisasi dari sesuatu
perencanaan intervensi. Informasi yang mengganggu dan termasuk
tentang gambaran klinis klien, pernyatan-pernyatan seperti saya
termasuk didalamnya tentang sensasi tidak berguna, saya jelek, saya bodoh.
emosi dan fisik yang dirasakan Responden kemudian menetapkan
mengganggu. Terapis kemudian pikiran positif yang akan digunakan
menetapkan target spesifik yang untuk mengganti pikiran negatif
dibutuhkan. Target termasuk juga selama fase installation (fase kelima),
kejadian yang mengakibatkan trauma, misalnya “saya orang yang berguna,
situasi sekarang yang memicu gejala, saya orang baik, saya dicintai.
dan jenis perilaku dan sikap positif Responden kemudian diminta
yang diperlukan untuk ke depannya. untuk menetapkan validitas pikiran
2. Persiapan (Preparation) positifnya dengan menggunakan
Fase persiapan meliputi upaya skala 1 sampai dengan 7 berdasarkan
membangun ikatan terapetik dengan Validity of Cognition (VoC)
responden, penjelasan proses EMDR b. Responden juga diminta untuk
dan efek-efeknya, membuat responden mendeskripsikan tingkat gangguan
perhatian dan mengajarkan teknik- emosi yang dirasakan ketika
teknik self-care sehingga responden responden memfokuskan bayangan
dapat mengatasi emosi-emosi negatif visualnya dengan menetapkan
yang muncul selama atau di antara intensitas pada poin 0 sampai dengan
sesi terapi, misalnya teknik relaksasi. 11 berdasarkan Subjective Units of
Susanty, E, Sari, D.I, Penanganan Gejala Traumatik Dengan Terapi Emdr (Eye Movement Desensitization
And Reprocessing) Pada Narapidana Wanita Di Lapas Kelas IIA Bandung, Jawa Barat 7
setiap sesi, apakah ada atau tidak ini terapis akan memutuskan apakah
reprocessing terselesaikan. Sebagai meneruskan pada target baru atau
tambahan, penting bagi responden kembali pada target lama untuk
diberikan instruksi yang tepat diakhir dilakukan tambahan reprocessing dan
setiap sesi. Selanjutnya terapis harus integration.
mengingatkan responden bahwa
gangguan bayangan, pikiran atau Teknik Pengambilan Data
emosi dapat saja muncul diantara
Dalam penelitian ini peneliti
sesi. Responden diminta untuk tetap
menggunakan instrumen kuesionair
membuat catatan harian dari pikiran-
untuk mengukur gejala PTSD yaitu
pikiran negatif, situasi, mimpi-mimpi
Impact of Event Scale-Revised (IES-R)
dan ingatan yang mungkin terjadi.
yang diadaptasikan dari Horowitz,
Instruksi ini membuat responden
Wilner dan Alvarez (Christianson,
menjaga jarak secara kognitif dari
2013). Untuk mengukur stabilitas emosi
gangguan emosi melalui tindakan
responden digunakan emotional stability
menulis dan hal ini akan membuat
test yang dikembangkan berdasarkan
responden menentukan target pada
alat ukur personality the Big Five. Pada
sesi berikutnya. Terapis juga akan
penelitian ini juga digunakan kuesioner
mereview teknik visualisasi dan
Self Reporting Quesionnaire (SRQ) untuk
latihan relaksasi yang dapat digunakan
mengukur penghayatan stres responden
untuk menjaga keseimbangan emosi
dalam menghadapi kehidupan.
diantara sesi-sesi berikutnya.
8. Reevaluation
Analisis Data
Setiap sesi baru dimulai dengan
melakukan reevaluasi terhadap Analisis data yang digunakan
target yang telah dijalani. Terapis terapi EMDR yang diberikan sebelum
ordinal. Hipotesis penelitian ini adalah : sebanyak 2-3 kali. Hal ini mengingat
skor gejala PTSD sebelum dan kondisi psikologis yang relatif lebih baik
H1: Terdapat perbedaan jumlah skor Sisanya 1 orang responden telah bebas
gejala PTSD sebelum dan sesudah menjalani masa hukuman dan 1 orang
terapi EMDR. Jadi terapi EMDR menjadi tenaga korve (narapidana yang
Gambar 1. Grafik skor gejala PTSD sebelum dan sesudah terapi EMDR
10 INQUIRY Jurnal Ilmiah Psikologi, Vol. 8 No. 1, Juli 2017, hlm 1-15
Berdasarkan grafik 1 dapat dilihat bahwa gejala traumatik dari skor 66 menjadi 70
sebagian besar responden mengalami setelah terapi. Berarti terjadi peningkatan
penurunan skor gejala traumatik sebelum skor sebesar 4 poin untuk responden LY.
dan sesudah terapi EMDR kecuali untuk Selanjutnya grafik 2 ditunjukkan skor
responden LY. Penurunan skor gejala respon stres sebelum dan sesudah terapi
PTSD terbesar terjadi pada responden LS
EMDR dengan menggunakan kuesionair
yaitu sebesar 34 poin. Sedangkan pada
SRQ (Self Reporting Questionnair).
responden LY ternyata terjadi peningkatan
Gambar 2. Grafik selisih skor respon stres sebelum dan sesudah terapi EMDR
sulit untuk berkunjung seorang diri ke maka dari penelitian ini dapat disimpulkan
lapas. sebagai berikut:
Faktor eksternal lain adalah 1. Terjadi penurunan gejala
kenyamanan selama proses terapi. Kondisi traumatik pada responden
ruangan untuk dilakukannya proses terapi narapidana wanita setelah
sebenarnya cukup memadai. Hanya saja diberikan terapi EMDR.
ruangan tidak khusus digunakan untuk Penurunan skor terjadi pada ke-6
konsultasi atau terapi psikologis. Setiap responden. Hanya satu responden
bagian dari ruangan terdapat sekat yang menunjukkan peningkatan
namun tidak ada pintu dan tidak kedap skor gejala traumatik.