Anda di halaman 1dari 26

Exploration, Explanation, and Interpretation

on the Language Phenomenon


for the Development of Austronesian and Non austronesian
Linguistic and Literature

PROCEEDINGS
THE 7th INTERNATIONAL SEMINAR ON
AUSTRONESIAN - NON AUSTRONESIAN
LANGUAGES AND LITERATURE

Editors:
Dr. Made Sri Satyawati, S.S., M.Hum.
I Gusti Agung Sri Rwa Jayantini, S.S, M.Hum.
KetutWidyaPurnawati, S.S., M. Hum.
Ni Luh Putu Sri Adnyani, S.Pd, M.Hum.
Lanny Isabela D. Koroh, S.Pd, M.Hum.

Udayana University
Denpasar, 28-29 August 2015
Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon
for the Development of Austronesian and Non-Austronesian
Linguistic and Literature

“Eksplorasi, Eksplanasi, dan Interpretasi Fenomena Kebahasaan


Demi PerkembanganLinguistik dan Sastra Austronesia-Nonaustronesia”

(Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature)

Copyright © 2015
All rights reserved

Editors:
Dr. Made Sri Satyawati, S.S., M.Hum.
I Gusti Agung Sri Rwa Jayantini, S.S, M.Hum.
KetutWidyaPurnawati, S.S., M. Hum.
Ni Luh Putu Sri Adnyani, S.Pd, M.Hum.
Lanny Isabela D. Koroh, S.Pd, M.Hum.

Cover Design:
I Made Yogi Marantika, S.S

Publisher:
Pustaka Larasan
Denpasar, Bali, Indonesia
Email: pustaka_larasan@yahoo.co.id

The Study Program of Linguistics of Postgraduate Program UdayanaUniversity

in collaboration with
Local Languages Researcher Association
Research Institute for Languages and Cultures of Asia and Africa Tokyo University of Foreign Studies

ISBN: 978-602-1586-39-6

No part of this publication may be reproduced, stored in a retrieval system, or transmitted in any
form or by any means, electronic, mechanical, photocopying, recording, or otherwise, without written
permission of the copyright owner

~ iii ~
SAMBUTAN DIREKTUR PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA

Yang saya hormati, Bapak Dekan Fakultas Sastra dan Budaya beserta jajarannya, para pemaka-
lah, peserta seminar dan hadirin sekalian.

Om Swastiastu.
Mengawali sambutan ini saya ingin mengajak Ibu/Bapak untuk memanjatkan puji syukur
kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa karena tanpa perkenanNya
Seminar Internasional Bahasa dan Sastra Austronesia dan Nonaustronesia ke-7 tidak mungkin
terlaksana serta prosiding sebagai dokumentasi publikasi ilmiah dari para pemakalah tidak
mungkin selesai pada waktunya.

Ibu/Bapak sekalian,
Saya merasa sangat bangga bahwa kali ini Program Pascasarjana, khususnya Program
Studi Magister dan Doktor Linguistik tetap dapat melaksanakan salah satu program unggulannya
yaitu Seminar Internasional Bahasa dan Sastra Austronesia dan Nonaustronesia yang tahun ini
sudah terselenggara untuk ketujuh kalinya. Saya juga sangat berbahagia bahwa kegiatan ilmiah
ini dihadiri oleh pemakalah dan peserta dari berbagai daerah di Indonesia juga manca negara.
Ini menunjukkan bahwa seminar yang dilaksanakan oleh Program Studi S2 dan S3 Linguistik
ini memang layak disebut seminar internasional.
Selaku Direktur Pascasarjana Universitas Udayana, saya berharap makalah-makalah
yang disajikan dan dikompilasi dalam prosiding dapat menambah wawasan Ibu/Bapak sekalian
karena pertemuan ilmiah seperti seminar ini sangat bermanfaat sebagai ajang bertukar informasi
tentang hasil penelitian dan kajian yang selama ini telah dilakukan oleh para peneliti, khususnya
bahasa dan sastra Austronesia dan Nonaustronesia. Saya juga mengucapkan selamat datang di
Bali, khususnya di Universitas Udayana, terutama bagi para peserta seminar dari mancanegara
dan luar Bali yang hadir dalam seminar ini.
Selamat berseminar dan apabila ada kesempatan, selamat menikmati alam pulau Bali.
Mengakhiri sambutan ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada para pemakalah
kunci, pemakalah undangan, pemakalah pendamping, seluruh peserta serta panitia yang sudah
bekerja keras mempersiapkan seminar ini. Ucapan terima kasih dan apresiasi juga saya tujukan
kepada semua pihak yang sudah memberikan dukungan. Saya juga mohon maaf apabila terdapat
salah kata atau hal-hal lain yang kurang berkenan di hati.

Om Shanti, Shanti, Shanti, Om.

Direktur Pascasarjana
Universitas Udayana

~ iii ~
SAMBUTAN KETUA PANITIA

Yang terhormat Ibu Direktur Pascasarjana Universitas Udayana;


Yang saya hormati Bapak Dekan Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana; Ketua
Program Studi Linguistik S2/S3; para Ketua Program Studi di lingkungan Fakultas Sastra dan
Budaya; Ketua Asosiasi Peneliti Bahasa-bahasa Lokal; Para pemakalah dan hadirin sekalian
yang berbahagia.

Om Swastiastu.
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi, Wasa/Tuhan
Yang Maha Kuasa karena atas berkatNya, Seminar Internasional Bahasa dan Sastra Indonesia
Austronesia dan NonAustronesia VII dapat terlaksana seperti yang telah direncanakan.
Dalam sambutan ini, ada beberapa hal yang dapat saya sampaikan terkait dengan
perencanaan seminar dan pelaksanaannya. Sebagai langkah awal, seminar ini ditetapkan dengan
mengusung tema “Eksplorasi, Eksplanasi dan Interpretasi Fenomena Kebahasaan demi
Perkembangan Linguistik Austronesia dan Nonaustronesia.” Pelaksanaan seminar
ditentukan selama dua hari yaitu pada hari Jumat-Sabtu, 28 dan 29 Agustus 2015, diikuti hampir
200 peserta. Sambutan hangat kami rasakan dari berbagai pihak yang terlibat dalam
penyelenggaraan seminar ini. Agenda rutin berupa seminar internasional ini dapat menjadi
ajang pertemuan dan tukar informasi dari para peneliti dan pecinta bahasa, khususnya bahasa
Austronesia dan Nonaustronesia yang berguna menambah wawasan, ilmu serta cakrawala
informasi mengenai bahasa yang menjadi bagian penting dari budaya dan kehidupan kita. Di
samping itu, seminar ini juga diharapkan dapat menciptakan relasi dan komunikasi yang baik
antarpeneliti dan penggiat kegiatan kebahasaan untuk menciptakan sinergi kerjasama untuk
kebertahanan dan pengembangan bahasa-bahasa Austronesia dan Nonaustronesia.
Dalam seminar kali ini, para pemakalah dari berbagai negara hadir menyajikan
makalahnya, seperti Singapura, Jepang, Australia, Italia, Timor Leste, Polandia, juga Indonesia.
Dari Indonesia, pemakalah dari wilayah Aceh hingga Papua berpartisipasi dalam seminar ini
termasuk dari Denpasar, Flores, Kupang, Manggarai, Medan, Lampung, Bengkulu, Banten,
Makasar, Kendari, Surabaya, Mataram, Selong, Bandung, Surakarta, Semarang juga Malang.
Untuk itu, kami sampaikan apresiasi dan ucapan terima kasih pada para pemakalah kunci dan
undangan yang berkenan hadir berbagi ilmu dalam seminar ini. Tak lupa juga kami berterima
kasih kepada Bapak/Ibu pemakalah pendamping dan peserta seminar yang telah hadir dalam
seminar ini. Tentu saja tanpa partisipasi dan kontribusi dari Bapak/Ibu, acara ini tak mungkin
dapat terselenggara.
Akhir kata, saya ucapkan terima kasih kepada Ibu Direktur Pascasarjana Universitas
Udayana, Bapak Dekan Fakultas Sastra dan Budaya, Ketua Program S2/S3 Linguistik, Ketua
Asosiasi Peneliti Bahasa-bahasa Lokal, juga dari Research Institute for Languages and Cultures
of Asia and Africa, Tokyo University of Foreign Studies serta seluruh pemakalah dan panitia.
Mohon maaf yang sebesar-besarnya jika ada hal-hal yang kurang berkenan selama
penyelenggaraan acara atau kekurangsempurnaan dalam prosiding, buku panduan atau hal
lainnya. Semoga seminar ini mendatangkan manfaat dan berkat keilmuan bagi semuanya.
Om Shanti, Shanti, Shanti, Om.

Ketua Panitia

~ iii ~
PENGANTAR

Prosiding ini adalah kumpulan makalah yang disajikan pada Seminar Internasional Ba-
hasa dan Sastra Austronesia dan Nonaustronesia ke-7 yang diselenggarakan pada tanggal 28-29
Agustus 2015 di Auditorium Pascasarjana Universitas Udayana, Jl. Sudirman, Denpasar-Bali.
Dukungan yang luar biasa kami dapatkan dari seluruh pihak yang terlibat dalam seminar ini
sehingga acara dapat terselenggara dengan baik sesuai harapan. Seminar kali ini terselenggara
berkat kerja sama antara Program Studi Magister dan Doktor Linguistik Program Pascasa-
rjana Universitas Udayana dengan Asosiasi Peneliti Bahasa-Bahasa Lokal dan Research
Institute for Languages and Cultures of Asia and Africa, Tokyo University of Foreign
Studies. Kontribusi dari para pemakalah kunci, undangan dan pendamping memberikan arti
yang sangat besar bagi penyelenggaraan seminar ini. Pemakalah yang menjadi penyaji dalam
seminar ini berasal dari sejumlah negara seperti Singapura, Jepang, Australia, Italia, Timor
Leste, Polandia dan Indonesia. Dari Indonesia, tercatat sejumlah pemakalah dari berbagai insti-
tusi di berbagai wilayah nusantara. Tercatat abstrak dan makalah datang dari daerah Aceh, Bali,
Flores, Kupang, Manggarai, Medan, Lampung, Bengkulu, Banten, Makasar, Kendari, Sura-
baya, Mataram, Selong, Bandung, Surakarta, Semarang, Malang, hingga Papua.
Prosiding ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai dokumentasi karya akademik para
pemakalah yang sekaligus juga berguna untuk menambah wawasan keilmuan bidang linguistik
dan sastra, khususnya bahasa dan sastra austronesia dan nonaustronesia. Prosiding ini memuat
berbagai pemikiran dan hasil penelitian pada pemakalah seputar perkembangan bahasa dan
sastra austronesia dan nonaustronesia dari berbagai fokus análisis baik dari bidang linguistik
mikro, makro dan terapan.
Mohon maaf jika ada masih banyak kekurangan dan kesalahan yang ditemukan, karena
kami yakin tidak ada sesuatu yang bersifat sempurna. Namun, kerja keras telah diupayakan
untuk mencoba mengurangi terjadinya kekeliruan. Mudah-mudahan seminar dan prosiding ini
memberikan manfaatnya bagi kita semua.

Panitia

~5~
FOREWORD
PENGANTAR

These proceedings cover a collection of papers presented at the 7th International Seminar
on Austronesian and Non Austronesia languages and literature held on 28-29 August 2015 in the
auditorium of the postgraduate program University Udayana, on Jl. Sudirman, Denpasar-Bali.
We would like to express our tremendous appreciation for the varieties of supports that have
been given to the committee so that the seminar can be conducted as it is planned. The seminar
is held by the Study Program of Linguistics of Postgraduate Program Udayana University in
collaboration with Local Languages Researcher Association and Research Institute for
Languages and Cultures of Asia and Africa, Tokyo University of Foreign Studies. All of the
speakers and paper presenters in this seminar have given a great contribution to the sharing of
knowledge and insights on Austronesian and non-Austronesian languages and literature. The
speakers in the seminar are the linguists from several countries like Singapore, Japan, Australia,
Italy, Timor Leste, Poland and Indonesia. From Indonesia, it is noted that a number of speakers
come from many institutions in different regions of the archipelago. The abstracts and papers
were sent by many lecturers and researchers from Aceh, Bali, Flores, Kupang, Manggarai,
Medan, Lampung, Banten, Makasar, Kendari, Surabaya, Mataram, Selong, Bandung, Surakarta,
Semarang, Malang, to Papua.
We expect that the proceedings will prove to be of use to the documentation of academic
works of the seminar speakers as well as to broaden the horizon on the existence of language
and its use, especially the Austronesian and non-Austronesia languages and literature. The
proceedings contain a variety of ideas and research results on the exploration of language
phenomena for the development of Austronesian and non-Austronesian language and literature
covering the specific discussion on the field of linguistics from microlinguistics, macrolinguistics
and applied linguistics.
Finally, we sincerely apologize for any inconvenience caused. We hope that the
proceedings can be beneficial for all of us in enriching our knowledge on various aspects of
language and literature that are worth investigating.

~6~
DAFTAR ISI

Sambutan Direktur Pascasarjana ~ iii


Sambutan Ketua Panitia ~ iv
Pengantar ~ v
Foreword ~ vi

Pemakalah Undangan

ThE DEFINITE MARKER IN BALINESE


Asako Shiohara dan Ketut Artawa ~ 1

KLASIFIKASI BAhASA, GEoMETRI, DAN SIMILARITAS: UPAyA REKoNS-


TRUKSI KEKERABATAN BAhASA DENGAN KoMPUTASI RUANG VEKToR
Totok Suhardijanto ~ 7

Pemakalah Pendamping

PENAMAAN DAN oPoSISI BERPASANGAN DALAM ORENG


PADA MASyARAKAT IMULoLoNG KABUPATEN LEMBATA
Alexander Bala ~ 13

PENTINGNyA PENGELoMPoKAN GENETIS LANJUTAN


PADA JENJANG MESSOLANGUAGE
Aron Meko Mbete ~ 19

KESALAhAN PENULISAN AKSARA LAMPUNG oLEh MAhASISwA


STKIP MUhAMMADIyAh PRINGSEwU LAMPUNG
Amy Sabila ~ 25

ThE SECRET CoDE/ARGoT USED By ThE wARRIoRS oF FRETELIN


DURING ThE INVASIoN oF INDoNESIAN ARMED FoRCES
IN DECEMBER 1975
Antonio C. Soares ~ 31

LINGUISTIC PhENoMENoN oF NEBHA AS ThE SPEECh PLAy


oN NGADhA LANGUAGE IN NGADA REGENChy, FLoRES, NTT
Bertholomeus Jawa Bhaga ~ 37

STILISTIKA TEKS wASIAT RENUNGAN MASA PENGALAMAN BARU KARyA


TGKh MUhAMMAD ZAINUDDIN ABDUL MAJID
Bohri Rahman ~ 43

INTERFERENSI BAhASA BAJo KE DALAM BAhASA INDoNESIA DALAM


KoMUNIKASI LISAN ETNIK BAJo DI PULAU BUNGIN KECAMATAN ALAS
KABUPATEN SUMBAwA NUSA TENGGARA BARAT
Burhanudin ~ 49

~7~
BENTUK -KI SEBAGAI PEMARKAh DAFTAR
hoNoRIFIKISI
DALAM BAhASA BUGIS
Dafirah ~ 55

EMPowERING EDUCATIoN DIMENSIoN oF SPEECh ACT


IN FAMILy CoMMUNICATIoN
Daroe Iswatiningsih ~ 59

PELANGGARAN MAKSIM PERCAKAPAN PADA IKLAN FRESTEA


Desak Putu Eka Pratiwi & I Wayan Sidha Karya ~ 65

AKoMoDASI VARIASI BAhASA DALAM KoNVERGENSI LINGUISTIK


PADA PENUTUR BAhASA MADURA DAN JAwA DI PASAR TURI
SURABAyA: KAJIAN SoSIoLINGUISTIK
Dewanto ~ 69

SITUASI KEBAhASAAN PADA GENERASI MUDA ETNIK wEwEwA,


DALAM PERSPEKTIF EKoLINGUISTIK
Diaspora Markus Tualaka ~ 75

TINGKAT TUTUR DALAM BAhASA JAwADI DESA BANyUMAS KECAMATAN


BANyUMAS KABUPATEN PRINGSEwU PRoVINSI LAMPUNG: KAJIAN
SoSIoPRAGMATIK
Dwi Fitriyani ~ 79

KESANTUNAN KRITIK DALAM MASyARAKAT ETNIK MADURA: KAJIAN


PEMBERDAyAAN FUNGSI BAhASA SEBAGAI SARANAKoNTRoL SoSIAL
Edy Jauhari ~ 85

REDUPLIKASI BAhASAS RoTE DIALEK DENGKA


Efron Erwin Yohanis Loe ~ 93

METAFoRA DALAM TEKS DAN KoNTEKS BAhASA INDoNESIA


SEBAGAI PANUTAN FILoSoFI BANGSA
Esther Hesline Palandi ~ 97

PERGESERAN LEKSIKoN BUDAyA PADI CERMINAN PERUBAhAN


LINGKUNGAN FISIK EKoLoGI DAN LINGKUNGAN SoSIAL DI LINGKUNGAN
KoMUNITAS GUyUB TUTUR PENEBEL, TABANAN
Gek Wulan Novi Utami dan Gede Doddi Raditya Diputra ~ 103

GANGGUAN PRoDUKSI KoNSoNAN BAhASA INDoNESIA PENDERITA


AUTISTIC SPECTRUM DISORDER DEwASA
Gustianingsih ~ 111

wUJUD PENGGUNAAN DAN TINGKAT TUTUR BAhASA KEDhAToN


DI KARAToN SURAKARTA
Hary Murcahyanto ~ 117

PEMBEDA FoNoLoGIS DAN LEKSIKAL ANTARA BAhASA SAwU DI NTT DAN


BAhASA BIMA DI NTB
I Gede Budasi ~ 123

~8~
PENyESUAIAN-PENyESUAIAN DALAM PENERJEMAhAN BERANoTASI SE-
BUAh ARTIKEL LINGKUNGAN BERBAhASA INDoNESIA KE DALAM BAhASA
INGGRIS
I Gede Putu Sudana ~ 129

KoMPoNEN MAKNA PAIN DAN NyERI SEBAGAI KoNSEP MEDIS:


PENDEKATAN METABAhASA SEMANTIK ALAMI (MSA)
I Gusti Agung Sri Rwa Jayantini & Ni Ketut Pola Rustini ~ 137

CARA PANDANG ToKoh-ToKoh BELANDA:


KAJIAN STILISTIKA ATAS CERPEN SEMUA UNTUK HINDIA
I Gusti Ayu Agung Mas Triadnyani ~ 143

PRESTISE BAhASA : KASUS PADA BASA NUSA


I Ketut Darma Laksana ~ 151

KETERwARISAN PRoTo-KATA AUSToNESIA *asu ‘ANJING’


DALAM BAhASA BALI
I Ketut Paramarta ~ 159

BAhASA MELAyU BRUNEI DARUSSALAM DALAM hIKAyAT DANG SUASA


I Ketut Riana ~ 165

“MENoLEh KE BELAKANG” KARyA PUTU wIJAyA: SEBUAh TAFSIR


I Ketut Sudewa ~ 171

oCEANIC GRoUP oF AUSTRoNESIAN LANGUAGES: VIEwED


FRoM ARChAEo – LINGUISTICS
I Ketut Warta ~ 177

ExPLAINING NoN-CANoNICAL REPRESENTATIoNS oF INDoNESIAN


UNIVERSAL QUANTIFIER SEMUA “ALL”
I Nyoman Aryawibawa ~ 183

PERILAKU SINTAKSIS DAN STRUKTUR LoGIS VERBA BERAwALAN BER-


BAhASA INDoNESIA
I Nyoman Sedeng ~ 191

SISTEM FoNEMIS BAhASA LAMPUNG


I Nyoman Suparsa ~ 197

LExICAL REFLExIVITy AND MIDDLE CoNSTRUCTIoNS IN INDoNESIAN


I Nyoman Udayana ~ 201

FRASA PREPoSISIoNAL BAhASA NGADA


I Wayan Budiarta ~ 207

REPRESENTASI PERANGKAT LINGUISTIK


wACANA PoLITIK DI MEDIA TELEVISI INDoNESIA
I Wayan Pastika dan Ni Made Sri Satyawati ~ 215

~ ix ~
PENGELoMPoKAN BAhASA KABoLA, BAhASA hAMAP, DAN BAhASA KLoN
DI PULAU ALoR NUSA TENGGARA TIMUR: KAJIAN LINGUISTIK hISToRIS
KoMPARATIF
Ida Ayu Iran Adhiti ~ 221

FUNGSI DAN MAKNA TRADISI LISAN GENjEK KARANGASEM


Ida Bagus Nyoman Mantra ~ 229

REPRESENTATIoN IN RITUAL PAKI KABA RESPECT ThE oVERTIME Komba


CITy DISTRICT DISTRICT EAST MANGGARAI
Imelda Oliva Wisang ~ 233

VARIASI LEKSIKoN BAhASA SASAK DALAM KoNTEKS KEBERAGAMAN


BAhASA LoKAL SEBAGAI AKAR BAhASA NASIoNAL
Irma Setiawan ~ 239

VARIASI LEKSIKAL AJUNG wAKTU BAhASA BALI


DALAM KUMPULAN CERITA PENDEK “BELoG”
Ketut Widya Purnawati ~ 245

BARANUSA DAN ALoR: DUA BAhASA ATAU SATU BAhASA


La Ino ~ 251

ThE GENETIC RELATIoNShIP BETwEEN ToNGKUNo AND GU-


MAwASANGKA DIALECTS oF MUNA LANGUAGE IN SoUThEAST SULAwESI
(SyNChRoNIC AND ThE DIAChRoNIC STUDIES)
La Ode Nggawu ~ 257

UNGKAPAN FALIA DALAM KoNTEKS PENDIDIKAN KARAKTER ANAK PADA


ETNIK MUNA DI KABUPATEN MUNA SULAwESI TENGGARA
La Ode Sidu Marafad ~ 263

MAKNA VERBA MEMASAK BAhASA CIACIA:


PENDEKATAN METABAhASA SEMANTIK ALAMI
La Yani Konisi ~ 273

MAKNA EKSPRESI VERBAL TENTANG LoNTAR PADA MASyARAKAT SABU DI


KABUPATEN SABU RAIJUA PRoVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
Lanny Isabela Dwisyahri Koroh & Simon Sabon Ola ~ 281

GENDER DAN ALIh KoDE DALAM TALKSHOw “jUST ALvIN”


(STUDI KASUS GENDER DAN PERUBAhAN BAhASA)
Luh Putu Laksminy ~ 289

BAhASA INDoNESIA SEBAGAI BAhASA DALAM KEBUDAyAAN MoDEREN


Luh Sukanadi, Maria Gorethy Nei Nie, Ida Ayu Agung Eka Sriadi ~ 297

KAJIAN SEMIoTIKA MALAK SEBAGAI SIMBoL KEPEMILIKAN hEwAN PADA


ETNIK DAwAN KABUPATEN TIMoR TENGAh SELATAN
Magnecia Manek ~ 305

~ ix ~
Do SPEECh LEVELS ExIST IN INDoNESIAN?
Majid Wajdi ~ 313

TRANSFoRMASI CERITA RAKyAT FLoRES MENJADI NASKAh DRAMA


Maria B Larasati ~ 319

PENDIDIKAN KARAKTER DALAM LAGU KOGO KELA RESA


KARyA FERDy LEVI
Maria Yulita C. Age ~ 325

REPRESENTASI NILAI BUDAyA MELALUI PELANGGARAN MAKSIM


KUALITAS yANG TERKANDUNG DALAM SERUAN PERANG (NGAyAU) SUKU
DAyAK KAyAN SEGAI/GA’AI
Martvertnad ~ 331

woLIo LANGUAGE IN BUToN REGENCy, SoUThEAST SULAwESI:


DIAChRoNIC STUDy
Maulid Taembo ~ 337

VARIASI PEMBERIAN NAMA KEDAI DI RoyAL MALL SURABAyA


SEBAGAI FENoMENA KEBAhASAAN
Miftah Widiyan Pangastuti ~ 343

INoVASI FoNoLoGIS DALAM BAhASA MELAyU LoLoAN:


KAJIAN DIALEKToLoGI DIAKRoNIS
Muh. Ardian Kurniawan ~ 351

STRUKTUR KoNSTITUEN DALAM TUTURAN ANAK DISLEKSIA


Mulyono ~ 357

ISTILAh-ISTILAh DALAM TEKNIK TARI PUTRA ALUS GAyA SURAKARTA


SERTA TERJEMAhANNyA DALAM BAhASA INGGRIS
Ni Ketut Dewi Yulianti & Rinto Widyarto ~ 361

VARIASI FoNoLoGIS BENTUK INGKAR DALAM BAhASA JAwA KUNA


Ni Ketut Ratna Erawati ~ 371

BENTUK BAhASA TELEKS DI BAGIAN KARGo PT GARUDA INDoNESIA


KANToR CABANG DENPASAR
Ni Ketut Sri Rahayuni & I Gusti Agung Istri Ariani ~ 379

REKoNSTRUKSI BUDAyA AUSTRoNESIA


Ni Luh Sutjiati Beratha & I Wayan Ardika ~ 385

ThE INDoNESIAN MoRPhoLoGICAL BASE VERB FoRMS AND ITS


TRANSLATIoNAL EQUIVALENCE IN ENGLISh IN NARRATIVE TExT EDENSOR
Ni Made Verayanti Utami ~ 401

EUFEMISME KATA KEMATIAN DALAM BAhASA BALI


Ni Putu Luhur Wedayanti ~ 407

~ 11 ~
PRoFIL BAhASA NIAS SEBAGAI BAhASA MINoR DI SUMATERA
Ni Putu N. Widarsini dan I Made Suida ~ 413

PEMBERDAyAAN PERIBAhASA DALAM REVoLUSI MENTAL


Ni Putu Parmini ~ 417

ThE DyNAMICS oF ThE LANGUAGE USE IN ADVERTISEMENT


Ni Wayan Kasni ~ 425

ThE LANGUAGE oF ChILDREN IN INTERMARRIAGE CoUPLES AT SENGGIGI,


wEST LoMBoK
Ni Wayan Prami Wahyudiantari ~ 429

PRoBLEMATIKA BAhASA INDoNESIA DALAM KoNTEKS KEKINIAN


ThE PRoBLEMS oF INDoNESIAN IN RECENCy CoNTExT
Ni Wayan Sartini ~ 437

SUBSTITUTIoN BETwEEN SENTENCES IN BALINESE FoLKLoRES


Ni Wayan Suastini ~ 443

KELAS KATA DALAM STRUKTUR MIKRo


wACANA LISAN MBASA wINI ETNIK RoNGGA
Ni Wayan Sumitri ~ 447

GENDER MARKING IN MEE


Niko Kobepa ~ 455

REKoNSTRUKSI MEMoRI KoLEKTIF: STUDI PERISTILAhAN PERTANIAN


PADI oRGANIK DI yoGyAKARTA
Paulus Kurnianta ~ 467

ANALISIS SKEMA CITRA TERhADAP MAZMUR 23


Paulus Subiyanto ~ 473

KARToGRAFI FIKSI:
NARASI, MoTIF, DAN PERSEBARAN CERITA RAKyAT BALI
Puji Retno Hardiningtyas ~ 479

NAMING TRENDS oF STAR hoTELS IN


ThE MULTILINGUAL DESTINATIoN oF BALI
Putu Chris Susanto ~ 495

MAKNA KIAS DALAM EKo-LEKSIKoN


PERUMPAMAAN TENTANG PUKAT
Putu Chrisma Dewi ~ 501

NGUSABA DoDoL DI DESA SELAT, KARANGASEM: UPACARA PEMUJAAN


DEwI SRI, KAJIAN SEMIoTIK SoSIAL
Putu Evi Wahyu Citrawati, dan Gede Eka Wahyu ~ 505

~ 12 ~
PRoSES PEMBENTUKAN VERBA DARI DASAR NoMINA
DALAM BAhASA BALI
Putu Wedha Savitri ~ 511

MASALAh PENERJEMAhAN DIGLoSIA


Rahmat Wisudawanto & Dyah Retno Pratiwi ~ 519

KATEGoRI DAN VARIASI BAhASA GAUL REMAJA


DALAM PERSPEKTIF SoSIoLINGUISTIK PUNCA-USIA
Rani Siti Fitriani ~ 525

ANALISIS SATUAN NARATIF DALAM MIToS KURI DAN PASAI


DALAM ETNIK wAMESA RINEThA STELLA SUABEy
Rinetha Stella Suabey ~ 531

PhoNEMIC ASSIMILATIoN oF DAyAK NGAJU LANGUAGE


Ristati ~ 537

BENTUK DAN MAKNA TUTURAN DALAM RITUAL MEBAKTI


DI DESA BATU BULAN
Sang Ayu Isnu Maharani & I G A Nila Wijayanti ~ 443

hARAPAN PERLINDUNGAN DALAM SENI BELUK


DI KABUPATEN SUMEDANG: KAJIAN ANTRoPoLINGUISTIK
Santika, Arista Mega Utami, dan Nengsih ~ 447

TRANSLASI DAN TRANSLITERASI BUDAyA PADA NASKAh LoNTAR MEGANTAKA


Sarwadi ~ 553

INTERCRACy oF STRUCTURAL ExChANGE IN KARoNESE INTERACTIoN


Siti Aisyah Ginting ~ 557

wUJUD IMPERATIF DALAM SASTRA LISAN LAMPUNG MUAyAK


(KAJIAN PRAGMATIK)
Siti Fitriati ~ 565

SPELLING RECoNSTRUCTIoN oF MADURESE LANGUAGE FRoM


PhoNoLoGICAL PERSPECTIVE
Sri Ratnawati & Dwi Handayani ~ 571

UTILITAS BAhASA DALAM MENGKoNSTRUKSI PSIKoLoGI ToKoh PADA


NoVEL DADAISME KARyA DEwI SARTIKA
Sugiarti ~ 577

SESANTI PENGEJAwANTAhAN KEPRIBADIAN DAN PENyANGGA MoRAL


MASyARAKAT JAwA
Sunoto ~ 583

MAKNA KoNTEKSTUAL BAhASA LAMPUNG DALAM KoLoM wAT wAT


GAwOH PADA SURAT KABAR hARIAN LAMPUNG PoST
Veria Septianingtias ~ 589

~ 13 ~
TUAK JATI DIRI GUyUB KULTUR LEMBATA: KAJIAN EKoLINGUISTIK
Veronika Genua ~ 595

REDUPLIKASI MoRFEMIS BAhASA MANGGARAI-NTT


Vinsensius Gande ~ 601

PRODUKTIVITAS PREFIKS /ŋ/ dalam BAHASA INDONESIA


DIALEK MELAyU JAKARTA
Wuri Sayekti ~ 611

AFFIxES IN BAHASA LAMPUNG (A AND o DIALECTS): MoRPhoLoGy STUDy


Wuri Syaputri ~ 617

KATA TANAM DALAM BAhASA MIyAh


Yafed Syufi ~ 623

VALENCy ChANGING IN JAVANESE


Yana Qomariana ~ 627

PENGGUNAAN LEKSIKoN TENTANG DAUN PISANG DALAM MASyARAKAT


SUNDA DI KAMPUNG BABAKAN CIMAhI (KAJIAN ANTRoPoLINGUISTIK)
Yeni Mia Liani, Desi Sri Cahyani, Santy Rahmawati, & Agung Setiawan ~ 631

LINGUISTIC LANDSCAPE: PENGGUNAAN SIMBoL-SIMBoL LINGUACULTURE


DAN IDENTITAS LoKAL DI KAwASAN PARIwISATA KUTA
Yohanes Kristianto, Made Budiarsa, Wayan Simpen, Ni Made Dhanawaty ~ 635

PRoPERTy ARGUMEN LAMAhoLoT LANGUAGE LAMALERA DIALECT


Yosef Demon ~ 641

DEIKSIS BAhASA MIyAh: STUDI AwAL


Yosefina Baru ~ 649

~ 14 ~
THE DEFINITE MARKER IN BALINESE

Asako Shiohara & Ketut Artawa


Research Institute for Language and Cultures of Asia and Africa & Udayana University

1 Introduction
The presence of the definite suffix –é is a distinctive feature that Balinese exhibits among
the Western Malayo-Polynesian languages spoken in Indonesia. Most of these languages do not
have a special marker indicating definiteness, while some languages, such as colloquial
Indonesian and Javanese, employ the third person genitive suffix (–nya in colloquial Indonesian,
–(n)é in Javanese) as a definite marker, as a result of semantic extension. Sentence (1) is an
example of colloquial Indonesian. The third person genitive form –nya in the NP garam-nya
‘salt-3gen’ may be interpreted as some third person that can be identified by the speaker and
the hearer or the definite marker, indicating the salt is identifiable from the linguistic or non-
linguistic context, for example, being present at the place of utterance.

• Ambilkan garam-nya.
take salt-3gen
‘Take his salt.’ or ‘Take the salt (e.g., on the table).’

Sentences (2) and (3) are Balinese examples corresponding to example (1) above. In sentence
(2), the NP with –é refers to the entity that is linguistically or non-linguistically identifiable.
Unlike in Indonesian, the form is distinguished from the third person genitive suffix –né, which
occurs in example (3).

(2) Jemakang uyah-é!


take salt-é ‘Take the salt (e.g., on the table).’

(3) Jemakang uyah-né!


take salt-3gen ‘Take his/her/its/their salt.’

This study focuses to describe the semantic conditions in which –é occurs. Before looking into
this topic in Section 3, the morpho-phonological and morpho-syntactic properties of –é will be
briefly explained in Section 2.

2 Morphophonological and morpho-syntactic properties of –é


When the suffix –é attaches to the vowel-final stem, the sound n is inserted between the stem
and the suffix, as in the examples below.

jelema ‘person’ + –é → jelema-n-é ‘the book’


buku ‘book’ + –é → buku-n-é ‘the book’ caya
‘light’ + -é → caya-n-é ‘the light’
balé ‘building’ + -é → balé-n-é ‘the building’
radio ‘radio’ + -é →radio-n-é ‘the radio’

The similar rule is observed when the third person agentive clitic a is attached to the vowel-final
stem as in the examples below.

~1~
Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian
Linguistic and Literature

beli ‘buy’ →beli-n-a ‘he/she/they buy(s)’ or


aba ‘bring’ →aba-n-a ‘he/she/they bring(s)’ or

The suffix –é may occur when the head noun is modified by other constituent that shows the
referent is definite, such as a demonstrative, the first or second person pronoun, or a relative
clause, shown in (4) to (6), respectively.

(4) anak-é ento ‘that person’ (a demonstrative modifier)


(5) pianak tiang-é (a pronominal modifier)
(6) jelema-n-é ané maling dompet
person-ins-é rel steal wallet
‘the man who stole a wallet’ (relative clause)

The only exception is when the head noun carries the third person pronominal suffix –né of the
low register, with which –é cannot co-occur. This is demonstrated by (7).

(7) *pianak-né-n-é

Balinese has several other third person pronouns that are used according to the social status of
the hearer or the referent (see Arka 2005: 174). The other three third person forms are realized
as independent pronouns that occur with –é, as in (8) and (9).

(8) pianak ipun-é


(9) oka-n-ida-n-é

The suffix –é is normally attached to the head noun, as illustrated in (10)–(13).

(10) anak-é luh ‘the woman’ (an adjective modifier)


(11) anak-é ento ‘that woman’ (a demonstrative modifier)
(12) marga-n-é di Bali
road-ins-é in Bali
‘The roads in Bali’ (a PP modifier)

(13) jelema-n-é ané maling dompet


person-ins-é rel steal wallet
‘the man who stole a wallet’ (relative clause)

The only exception is an NP in which the head noun is modified by a noun; in this structure, –é
is attached to the modified noun, as in montor jepang-é ‘the Japanese car’ and sebun kedis-é ‘the
bird’s nest’; a personal pronoun exhibits features similar to a noun in this environment, as seen
in pianak tiang-é ‘my child (child 1sg-é),’ while a demonstrative pronoun does not, as seen in
anak-é ento ‘that woman.’

3 Semantic range of –é
As with all the other grammatical categories, the semantic range of “definite markers” varies
cross-linguistically. To see the semantic features that definite markers in many languages share,
we will start by introducing the use of the English definite article the, based on the discussions
of Lyons (1999: 1–15) and Quirk et al. (1985: 265–268). Roughly speaking, the definite article
indicates that the referent of the NP is identifiable to the addressee linguistically or non-
linguistically. Its three main three categories of use are shown in I to III below.

~2~
Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian
Linguistic and Literature

I. Situational use
The reference of the NP is identified by the extralinguistic situation that the speaker and the
hearer share, as in example (14).

(14) ‘Take the salt (e.g., on the table).’

In example (14), the referent of the salt is identifiable from the physical situation in which the
speaker and hearer are located.

II. Anaphoric use


The referent of the NP with the definite article is identifiable from linguistic information given
earlier in the discourse. This is demonstrated in (15).

(15) An elegant, dark-haired woman, a well-dressed man with dark glasses, and two children entered the
compartment. I immediately recognized the woman. The children also looked vaguely familiar.

III. Associative use


This use can be thought of as a combination of the anaphoric and general knowledge types. The
referent of the driver in (16) is identifiable because it is associable from the referent of a car,
which is mentioned in the previous sentence.
(16) I had to get a taxi from the station. On the way, the driver told me there was an accident.

I carried out elicitation research to identify how the situations expressed in (14)–(16) are
expressed in Balinese. The Balinese speakers judged that –é covers all the semantic types in the
list above. Balinese sentences corresponding to (14)–(16) above will be shown (17)-(19) below.

(17) Jemakang uyah-é!


take salt-é ‘Take the salt (e.g., on the table).’

(18) Anak luh jegeng lan anak cenik person


woman elegant and person small ajak
dadua macelep ke kamar-é.
with two enter to room-know
Prajani icang nawang anak-é luh ento.
immediately 1sg know person-é woman that
‘An elegant woman and two children entered the room. I immediately recognized the woman’.

(19) Icang musti numpang taksi uli penambangan.


1sg need ride taxi from station
di jalan sopir-é nyambat
at way driver-é tell
ada kecelakaan tunian suba.
exist accident a.while.ago already
‘I had to get a taxi from the station. On the way, the driver told me there had been an accident a few
hours ago.’

It is the associative use that makes the Balinese definite marker distinct from the apparently
similar markers observed in other neighboring languages. The demonstratives in these languages
only refer to an entity that is directly available from the situation or previous utterance; they can

~3~
Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian
Linguistic and Literature

be used in the situational use and the anaphoric use, but not in the associative use.
The semantic range of Balinese definite NP overlaps with that of the English definite NP
to wider extent. But in some cases, the equivalent of English definite NP appears in the form of
an unmarked (non-definite) NP in Balinese. The use of the definite article in English may be
accounted by the concept of uniqueness as well as identifiability (Lyons 1999). The English
definite NP may indicate an entity that is not known to the addressee at the time of utterance, if
it is ‘unique’ in the situation, while the Balinese definite NP may not. Example (20) is one
example as such.

(20) The president of Ghana is visiting tomorrow.


(20) ’ Presiden Ghana-(*é) lakar teka mani.
President Ghana will come tomorrow

Sentence (21) is another example. It is a passage from a folktale appeared in a Balinese


elementary textbook.

(21) I Raksasa ngelah manik sakti telung besik luire:


Mr.Giant have magic stone power three item that.is
manik api, manik yeh, manik angin.
magic.stone fire magic.stone water magic.stone wind
‘The Giant had three magic stones (maniks), that is, the fire magic stone, the water magic stone,
and the wind magic stone.’

The name of the three magic stone, which is totally new to the addressee at this point of the
story, occurs as a definite NP in English translation, presumably because each referent is
logically unique in this situation. In contrast to that, the NP referring to each stone does not
undergo the marking of the definite marker in Balinese.
The English definite NP maybe used when the speaker do not assume that the addressee was
previously aware of the referent. Sentence (22) is an example introduced in Quirk et al (1985)
to show this point.

(22) Beware of the dog! [Quirk et al (1985)]


(22)’ *Awas teken cicing-é
careful with dog-e
(22)’’ Awas! ada cicing.
careful exist dog ‘Be careful! There is a dog.’

Here, the definite NPs are used to announce the existence of the referent in the situation,
rather than to refer to the entity that is identifiable from the situation. Balinese suffix -é does not
occur in the corresponding sentences, as shown in (22)’. An existential sentence (22)’’ is used
in order to introduce the new entity, instead.
When we refer to someone that is not considered to be known to the listener, but is
unique in the situation, the definite NP is used in English. In contrast to that, Balinese does not
employ the definite marker to encode a referent as such.
Another type of difference between definite markers in Balinese and English is caused
by the presence of the third person genitive suffix –né in Balinese, which is a counterpart of
–nya in Malay. This pronominal suffix occurs instead of –é when the referent can be related to
an already mentioned entity and is therefore definite. For instance, the pronominal suffix –né
cannot be replaced by the definite suffix –é in example (23).
~4~
(23) Umah icang-é resem. Kakus-né (*-é) uwug, raab-né (*-é)
bolong
house 1sg-é shabby toilet-3gen broken roof-3gen have.a.hole
‘My house is shabby. The (lit. its) toilet is broken and the (lit. its) roof has a hole.’

4. Summary
In this presentation, we have seen the semantic conditions in which the Balinese
suffix –é occurs. From the elicited examples, we saw that –é exhibits similar semantic range
to the English definite article, in that it indicates that the referent of the NP identifiable. The
semantic range that –é marked NP is limited to the referent that is known to the addressee. It
does not mark the NP when the addressee does not know or is not aware of the presence of the
referent at the starting point of the utterance.

REFERENCES

Arka, I Wayan 2005. Speech Levels, Social Predicates and Pragmatic Structure in Balinese: A Lexical Approach.
Pragmatics 15:2/3. pp. 169-203.

Lyons, Christoper: 2000. Definiteness. Cambridge: Cambridge

Quirk, Randolph, Sidney Greenbaum, Geoffrey Leech, Jan Svartvik, 1985. Comprehensive Grammar of the
English Language. London: Longman.

~ 215 ~
REPRESENTASI PERANGKAT LINGUISTIK
WACANA POLITIK DI MEDIA TELEVISI INDONESIA

I Wayan Pastika & Made Sri Satyawati


Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana
wayanpastika@unud.ac.id

ABSTRACT
The Indonesian mass media has enjoyed their press freedom since the Reformation Era established as
the consequences of the fall down of Suharto’s regime. The political narration of the public is no longer
vertically engineered in top-down way where a single television station employed to deliver the
discourse. Nowadays the media or ordinary people can criticize the people in power without any fear.
However, political discourse is always about power, democracy, hegemony and commodification and
all of them are determined by the power of using language. In this game, the television media plays a
very important role because they are equipped by a sophisticated technology, language engineering
and desperate men power.

Kata-kata kunci: wacana, politik, media.

PENDAhULUAN
Dalam wacana media ada tiga tindakan yang menngendalikan teks: (1) inisiasi
(inisiator) yang merangsang munculnya berbagai gagasan dinamis, (2) tanggapan yang berperan
menanggapi atau merespon topik yang dikemukakan oleh mitra tutur, dan (3) umpan balik
(feedback) sebagai bentuk interaksi pengembanngan tema.
Praktek wacana, sebagai unsur pertama wacana media, meliputi tiga proses: (1)
produksi teks, (2) distribusi, dan (3) konsumsi. Wacana itu didistribusikan oleh media televisi
kepada masyarakat dalam berbagai bentuk: (a) berita, (b) talk show, (c) siaran pidato tokoh
politik, dan (d) parodi politik. Sementara itu, wacana sebagai ‘Praktek Sosial’ (Failclough,
1992: 86—96) ditekankan pada hubungan dengan ideologi dan kekuasaan. Ideologi dalam hal
ini dijelaskan sebagai konstruksi dari realitas (dunia fisik, relasi sosial dan identitas sosial) yang
melahirkan berbagai dimensi bentuk yang bertransformasi dari hububungan dominasi.

ANALISIS TEKS
Pola Teks Inisiasi: teks pra-pendahuluan dan teks pendahuluan
Ada tiga bentuk teks pra-pendahuluan yang terjadi pada teks media massa: (i)
penyampaian salam pembukaan atau tanpa salam pembukaan, (ii) langsung pada sapaan dan
pengenalan diri atau langsung pada pengenalan topik tanpa didahului salam pembuka, dan (iii)
tanpa sapaan dan tanpa pengenalan diri.

(1) Inisiasi diawali salam pembuka


Selamat malam selamat datang di Mata Najwa Shihab tuan rumah Mata Najwa
(Mata Najwa di Metro TV: “Apa Kata Mega.” www.youtube.com 22/01/2014)
(2) Insisasi tanpa salam pembuka, tetapi sapaan dan pengenalan diri
Saudara, saat ini saya Dwi Tunjung Sari mendapatkan kesempatan yang langka
untuk bisa berbincang-bincang bersama dengan bapak Prabowo Subianto. (TVRI:
“Wawancara dengan Prabowo” www.youtube.com 26/01/2014)

~ 216 ~
Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian
Linguistic and Literature

(3) Memberi gambaran pengantar latar belakang topik: inisiasi tanpa salam pembuka,
tanpa sapaan dan tanpa pengenalan diri.
Pewawancara: Mas Sujiwo Tedjo.. kalau bisa disarikan--
Sujiwo Tedjo: Hmm
Pewawancara: --ketika… berusaha sudah sangat keras begitu walaupun
ada yang bisa ke-GR-an, bisa tempatnya tidak tepat, salah
caranya dan lain-lain…. (TVRI www.youtube.com 24/11/2014)

Berbeda halnya dengan teks pendahuluan yang berisi pengenalan topik dan ruang lingkup
pembahasan sehingga seluruh partisipan dapat mempersiapkan diri berkontribusi dalam
pembahasan. Rangsangan didapatkan dari mereka yang menyatakan persetujuan terhadap sudut
pandang maupun mereka yang tidak setuju karena gagasan pendukung yang dimilikinya tidak
sama.

(4) Pembawa Acara: “Awalnya.. seratus enam anggota.. menandatangani..putusan


untuk.. membentuk panitia angket dan juga menjatuhkan…terhadap.. Gubernur DKI
tapi belakangan ...anginpun berubah…malam ini juga kita mengundang... pak Wakil
Ketua DPRD DKI Pak Haji Abraham Lunggana..” (ILC di TVONE 03/03/2015)
Topik yang diperkenalkan oleh pembawa acara talk show politik adalah rencana
DPRD Provinsi DKI Jakarta untuk mengajukan hak angket terhadap Gubernur DKI.
Setelah pengenalan topik dan dukungan latar belakang dianggap gayut, maka pembawa
acara mengundang tanggapan dari partisipan.

(5) “Pak Haji bagaimana awal mulanya de DPRD sampai ke inginan atau. menjadikan
persoalan ini menjadi hak angket DPRD…”(ILC di TVONE 03/03/2015)
Talk show politik juga dapat dilangsungkan antara pembawa acara dengan
partispan tunggal. Tahapan-tahapan inisiasi, pra-pendahuluan dan pendahuluan secara
umum tidak berbeda dengan partisipan jamak. Berikut adalah pendahuluan talk show
politik dengan partisipan tunggal.

(6) Pembawa Acara: Ya, tadi kita baru saja menyaksikan e Partai Gerindra
mendeklarasikan enam program aksi transformasi bangsa ya pak. … apa sih
maksud enam program aksi transformasi bangsa ini?(TVRI: “Wawancara dengan
Prabowo” www.youtube.com 26/01/2014)

Pola Teks Tanggapan


Pola teks tanggapan secara verbal direpresentasikan dengan kalimat-kalimat pernyataan
yang intinya memberikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan yang diajukan oleh
pihak lain. Namun, seorang penanggap dapat saja menggunakan kalimat tanya atau kalimat
imperatif jika dia ingin mendapatkan tanggapan balik dari partisipan lain.
A. Kalimat pernyataan untuk mengendalikan wacana
(7) Sebenarnya masalahnya ini adalah kesadaran kita sebenarnya untuk membahas
anggaran ini sesuai dengan undang-undang. …(ILC di TVONE 03/03/2015)
B. Kalima Tanya untuk mendapatan tanggapan balik
Kalimat Tanya dapat dibedakan atas empat jenis: kalimat tanya formatif (di
~ 217 ~
Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian
Linguistic and Literature

man, siapa, kapan, bagaimana, mengapa/kenapa, dan apa), kalimat tanya konfirmatif
(apakah…?), kalimat tanya retorik, (…, bukan? atau …, kan?), dan pertanyaan alternatif
(“…atau…?”).
(8) … sektor keunggulan kita. Kenapa keunggulan? (Prabowo di TVRI)
(9) …(apakah) menurut ketentuan, begitu, Pak Julian? (ILC di TVONE 03/03/2015)
(10) … rakyat sudah menghasilken, tidak ada yang beli, ya, kan? (Prabowo di
TVRI)
(11) Selalu Bapak bawa atau karena memang spesial malam ini? (Mata Najwa di
Metro TV www.youtube.com 22/01/2014)
C. Kalimat imperatif untuk menekan
(12) Harus dilaporkan kepada kementrian dalam negeri. (ILC di TVONE
03/03/2015)

PRAKTEK wACANA
Produksi
Wacana merupakan satu unit informasi lengkap yang dikemas dalam teks verbal yang
mengandung tema, topik dan fokus utama sebagai transformasi dari fenomena sosial yang terjadi.
Wacana yang mengandung topik mutakhir dan/atau kontroversial diproduksi oleh media massa
dalam berbagai bentuk wacana: (1) percakapan, (2) deskripsi, (3) argumentasi, (4) drama
komedi, dan (5) prosodural atau hortatori (dalam bentuk Iklan Layanan Masyarakat).

Distribusi
Distribusi wacana dapat berlangsung dari atas ke bawah (top-down) atau dari bawah ke
atas (bottom-up) bergantung pada kebutuhan dan tantangan yang dihadapi oleh masing-masing
pihak tersebut. Media massa dewasa ini, karena kebebasan memberikan penapsiran wacana,
memiliki pandangan atau ideologi sendiri untuk memaknai pesan dari wacana tersebut. Atas
dasar gagasan itu, pihak media melakukan reinterpretasi, reproduksi, dan redistribusi wacana
dengan pemaknaan baru.

PENGUASA PENGUASA
Sumber wacana Sasaran Wacana

MEDIA MASSA:
sasaran perantara wacana (reinterpretatif, reproduktif, redistributif)

MASYARAKAT MASYARAKAT
Sasaran Akhir Wacana Sumber Wacana

Gambar: Mekanisme distribusi wacana

(Catatan: = arah distribusi)

~ 218 ~
Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian
Linguistic and Literature

Konsumsi
Produk dan distribusi wacana, baik yang bersumber dari elit bangsa maupun
masyarakat biasa, kemudian dinikmati atau dikonsumsi oleh masyarakat dari berbagai
lapisan: gender, usia, pendidikan, ekonomi, dan sosial. Distribusi wacana dengan
rekayasa teks dapat menempatkan sumber penentu wacana sebagai pihak yang membela
kepentingan masyarakat umum, sementara terhadap pesaingnya direkayasa teks yang
tidak membela masyarakat umum.

Representassi tuturan dari pendukung Gubernur Ahok :

(13) Pengikut Ahok: … saya itu pengagum Ahok … menurut saya Ahok ini punya banyak kekuatan …
Ahok itu sebagai bapak pembuktian terbalik. … tunjukkan dulu uang lu asalnya darimana, berapa
pajak lu orang tunjukkan dulu, uang lu asalnya darimana? Berapa pajak lu dan bagaimana cara
memperolehnya? Baru lu lawan gue” ... (ILC di TVONE 03/03/2015)
Representasi tuturan dari penentang Gubernur Ahok:

(14) Lawan Politik Ahok: … apa yang terjadi dengan 12, 1 triliyun itu,… Ahok mati jalan di situ. … dia
bermain pencitraan dalam ranah hukum … kita duga Ahok melanggar hukum ... (ILC di TVONE
03/03/2015)

PRAKTEK SoSIAL
Praktek sosial dimaknai sebagai proses interaksi manusia satu dengan manusia lain, baik
interaksi antarindividu, antarkelompok, maupun antara individu dan kelompok atau sebaliknya,
demi terciptanya satu hubungan sosial yang didasarkan atas kepentingan. Di dalam kepentingan
itu, tersirat hegemoni, demokratisasi dan komoditifikasi.

hegemoni
Hegemoni dalam pandangan Gramsci (dalam Fairclough, 1992: 92—93) merupakan
kepemimpinan untuk mendominasi kehidupan ekonomi, politik, budaya dan ideologimasyarakat.
Di Indonesia, narasi politik masyarakat dewasa ini ditentukan oleh kemampuan media bersaing
untuk mendapatkan sumber wacana dengan kemasan kontroversial sehingga menjadi menarik,
informatif dan persuasif.
A. Hegemoni wacana politik ditentukan oleh ketokohan narasumber

(15) Najwa Shihab (NS):…Inilah Mata Najwa “Apa Kata Mega”….


NS : … Ibu saya ingin melihat bagaimana naga merah berpidato, di konggres PDI-Perjuangan…
kenapa sampai sedemikian terharu?
Megawati (M) : Bukanya bagaimana ya, kita kan sekarang liat, coba saya, statistik ndak tau betul
atau tidak, tapi kan kemiskinan itu masih ada, kita kan berharap di ibu kota, tapi kan kalo kita, liat
seperti itu Gubernur kurus itu, … saya kan suka membesarkan hatinya …
NS: Jadi ibu sering membesarkan hati Pak Jokowi?
M: ya, kasian. (Mata Najwa di Metro TV www.youtube.com 22/01/2014)
Megawati, sebagai narasumber dalam wacana politik itu, tidak memaparkan ide-ide pengendali,
kecuali dia menanggapi dengan bahasa sederhana tanpa menggunakan terminologi politik bermakna
kompleks, misalnya, “ … statistik ndak tau betul atau tidak…kemiskinan itu masih ada … liat seperti
itu Gubernur kurus itu… jokowi…saya kan suka membesarkan hatinya… … ya, kasian.”

B. Hegemoni wacana politik ditentukan oleh kekontroversialan topik wacana


Selainketokohannarasumber,wacanapolitikdapatpuladitentukanolehkekontroversialan
topik: “KPK vs Polri: ujungnya sampai dimana?” “Ahok Dipecat atau DPRD Bubar,” “Presiden

~ 219 ~
Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian
Linguistic and Literature

Milik Rakyat atau Milik Partai,” dan sebagainya. Berikut adalah topik tentang perselisihan
“KPK vs. PLORI.”.

(16) Karni Ilyas/Pembawa Acara: Pemirsa, … bapak-bapak yang pernah di KPK .. jiwanya sudah KPK-
lah...
Kenapa Ruhut ...sebelum BG ..diputuskan DPR ..Luhut salah satu pendukung BG.. di seminar dia
bicara untuk BD..di media juga. Ketika Partai Demokrat abstain memilih BG..Ruhut hilang.
Ruhut Sitompul: ... Saya sebagai Komisi Tiga .. jujur saja.. permasalahan antara KPK dan
Kepolisian ini... antara KPK dengan polisi…(ILC di TVONE 03/03/2015)

Pada teks (16) di atas, isu mutakhir saat acara itu ditayangkan adalah berkaitan dengan
perselisihan hukum antara KPK dan Polri. Persoalan hukum bermula dari KPK terlebih dahulu
menetapkan calon Kapolri Budi Gunawan sebagai tersangka korupsi. Tidak lama kemudian dua
pimpin KPK (Bambang Wijayanto dan Abraham Samad) dan satu penyidik KPK, Novel
Basweden, ditetapkan pula sebagai tersangka oleh Polri.

Demokrastisasi: politik dan linguistik


Pada bagian ini dapat ditampilkan beberapa pola penalaran yang bersumber dari
partisipan talk show ILC yang berupaya melakukan usaha demokratisasi terhadap persoalan
politik dalam topik “Presiden Milik Rakyat atau Milik Partai.” Fokus ulasan partisipan tersebut
terletak pada sisi positif dan negatif dari masing-masing pihak yang berbeda pendapat.

(17)
Karni Ilyas: …Bagaimana Anda melihat pidato tersebut? …
Effendi Gozali: … pidato pembukaan itu ada dua ribu enam ratus lima puluh tiga kata... itu
memang acara internal partai ...dan kita bukan bagian dari acara itu… ada istilah petugas partai…
disebutkan bahwa petugas partai menurut Bu Megawati .. adalah pelayan partai.. .. undangan itu
datang ke Pak joko widodo di situ ditulis sebagai apa? …
………………… ah?, boleh..boleh.
Partisipan lain: boleh menyela? …(ILC di TVOne www.youtube.comm 14/04/2015)

Bagian teks yang berada di dalam kurung siku paling atas merupakan rangsangan dari pembawa
acara, kurung siku kedua merupakan penyajian data kuantitatif (fakta dan data) berupa frekuensi
pemakaian kata/istilah yang digunakan oleh Megawati Sukarno Putri, dan pada kurung siku
ketiga merupakan analisis politik dari narasumber berkatan dengan data.
Salah satu bentuk demokratiisasi linguistik dalam bahasa Indonesia dapat dilihat pada
penggunaan bentuk pronominal: dia, kamu (personal), Anda (formal). Pada data (18) berikut,
narasumber B.J. Habibie tanpa ragu memilih menggunakan kata ganti dia (bukan beliau) untuk
mengacu Pak Harto. Kata dia digunakan secara sadar oleh B.J Habibie untuk menunjukkan
kesetaraan antara dua tokoh. Sementara itu, penggunaan kata kamu dalam teks tersebut
menunjukkan bahwa Pak Harto sebagai pembicara mempunyai hubungan dekat dengan B.J.
Habibie, tetapi Pak Harto memposisikan diri sebagai orang yang lebih senior.

(18)
Najwa Shihab: Apa ruginya dua pemimpin saling bertemu?
B.J.Habibie: … Dia kan orang yang sangat bijaksana … dia mengatakan, beginilah kamu selesaikan
masalah-masalah yang kamu hadapi. … Trus dia bilang. Habibie saya tahu kamu … Kamu sholat lima
kali sehari. … kamu harus tahu. … Saya doa untuk kamu supaya kamu selamat … Laksanakan tugasmu.
Trus dia diem. (Mata Najwa di Metro TV www.youtube.comm 05/02/2014)

Namun demikian, demokratisasi linguistik “dapat diselewengkan” oleh partisipan wacana politik

~ 220 ~
Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian
Linguistic and Literature

untuk menghegemoni narasi politik masyarakat. Dewasa ini ada kecenderungan masyarakat
Indonesia dipengaruhi oleh para politisi dalam bertutur, misalnya, penggunaan kita.

(19) Pembawa Acara/Mitra Bicara: … Asal mula Ahok center?


Gubernur Ahok/Pembicara: … Ahok Center itu gak pernah ada, …, kita minta beberapa orang
sumbang … kan kita butuh pengawas, … relawan kita yang pernah menang kampanye …( “Wawancara
Aiman Wicaksono dan Basuki Tjahaja Purnama di Kompas TV” www.youtube.com 17/03/2015)

Dalam teks (19) tersebut, makna kata kita diselewengkan oleh si pembicara dengan
mengikutsertakan orang kedua di dalam masalahnya, padahal orang kedua itu sama sekali tidak
menjadi bagian dari representasi pembicara.

Komoditifikasi
Wacama politik yang dijadikan komodi oleh pihak media massa bertumpu pada dua hal:
ketokohan narasumber dan kekontroversialan isu. Kemasan isu kontroversial dan mutakhir
ditentukan paling sedikit oleh tiga faktor: (i) pilihan judul, (ii) penekanan ulasan, dan (iii)
perdebatan. Judul-judul ditekankan pada penggunaan kosa-kata singkat/kata dasar, terdiri dari
beberapa kata saja, mudah dipahami, dan bersifat lugas, contohnya: “Presiden Milik Rakyat
atau Milik Partai”, “KPK vs POLRI”, “Ahok Dipecat atau DPRD Bubar” (TV One: “ILC”.
Penekanan ulasaan berkaitann dengan persepsi dan argumentasi dari sumber wacana. Sementara
iitu, perdebatan dalam acara talk show politik berpartisipan jamak merupakan “amunisi” untuk
mempertahankan dan menambah jumlah penonton.

DAFTAR PUSTAKA
Anderson, B.R.O’G. 1990. Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia. New York: Cornell
University Press.
Fairclough, N. 1992. Discourse and Social Change. Oxford: Blackwell Publisher.
Johnson, T. 1996. ‘The decline of television’s family hour’ dalam USA Today. Academic Research Library
Pastika, I.W. dkk. 2014. ‘The Indonesian Language in the Indonesian Media during the Reformation Era.’ Makalah
disajikan pada International Seminar on Translinguistics di Universitas Indonesia, Jakarta, 02 Desember 2014.
Searle, J. 1969. Speech Acts. Cambridge: Cambridge University Press.
Sita Supit, R. 2005. “Fenomena Bahasa Film dan Bahasa Siaran di Indonesia.” Disampaikan dalam Seminar
Penggunaan Bahasa dalam Film, Sinteron, Televisi, dan Media Luar Ruang. Dilaksanakan oleh Pusat
Bahasa dan Lembaga Sensor Film di Jakarta: 10 Agustus 2005.
Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Thompson, J.B. 1984. Studies in the Theory of the Ideology. California: University of California Press.
(diterjemahkan oleh Haqqul Yaqin menjadi: Analisis Ideologi, Kritik Wacana Ideologi-ideologi Dunia.
Penyunting: Fathurrahman. Penerbit IRCiSod, Yogyakarta.
Van Dijk, Teun A (ed.), 1985. “Structures of News in the Press” Discourse and Communication New Approachs to
the Analysis of Mass Media Discourse and Communication. New York: Walter de Gruyter.

~ 221 ~
Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian
Linguistic and Literature

Anda mungkin juga menyukai