Proceedings
Proceedings
PROCEEDINGS
THE 7th INTERNATIONAL SEMINAR ON
AUSTRONESIAN - NON AUSTRONESIAN
LANGUAGES AND LITERATURE
Editors:
Dr. Made Sri Satyawati, S.S., M.Hum.
I Gusti Agung Sri Rwa Jayantini, S.S, M.Hum.
KetutWidyaPurnawati, S.S., M. Hum.
Ni Luh Putu Sri Adnyani, S.Pd, M.Hum.
Lanny Isabela D. Koroh, S.Pd, M.Hum.
Udayana University
Denpasar, 28-29 August 2015
Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon
for the Development of Austronesian and Non-Austronesian
Linguistic and Literature
(Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature)
Copyright © 2015
All rights reserved
Editors:
Dr. Made Sri Satyawati, S.S., M.Hum.
I Gusti Agung Sri Rwa Jayantini, S.S, M.Hum.
KetutWidyaPurnawati, S.S., M. Hum.
Ni Luh Putu Sri Adnyani, S.Pd, M.Hum.
Lanny Isabela D. Koroh, S.Pd, M.Hum.
Cover Design:
I Made Yogi Marantika, S.S
Publisher:
Pustaka Larasan
Denpasar, Bali, Indonesia
Email: pustaka_larasan@yahoo.co.id
in collaboration with
Local Languages Researcher Association
Research Institute for Languages and Cultures of Asia and Africa Tokyo University of Foreign Studies
ISBN: 978-602-1586-39-6
No part of this publication may be reproduced, stored in a retrieval system, or transmitted in any
form or by any means, electronic, mechanical, photocopying, recording, or otherwise, without written
permission of the copyright owner
~ iii ~
SAMBUTAN DIREKTUR PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
Yang saya hormati, Bapak Dekan Fakultas Sastra dan Budaya beserta jajarannya, para pemaka-
lah, peserta seminar dan hadirin sekalian.
Om Swastiastu.
Mengawali sambutan ini saya ingin mengajak Ibu/Bapak untuk memanjatkan puji syukur
kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa karena tanpa perkenanNya
Seminar Internasional Bahasa dan Sastra Austronesia dan Nonaustronesia ke-7 tidak mungkin
terlaksana serta prosiding sebagai dokumentasi publikasi ilmiah dari para pemakalah tidak
mungkin selesai pada waktunya.
Ibu/Bapak sekalian,
Saya merasa sangat bangga bahwa kali ini Program Pascasarjana, khususnya Program
Studi Magister dan Doktor Linguistik tetap dapat melaksanakan salah satu program unggulannya
yaitu Seminar Internasional Bahasa dan Sastra Austronesia dan Nonaustronesia yang tahun ini
sudah terselenggara untuk ketujuh kalinya. Saya juga sangat berbahagia bahwa kegiatan ilmiah
ini dihadiri oleh pemakalah dan peserta dari berbagai daerah di Indonesia juga manca negara.
Ini menunjukkan bahwa seminar yang dilaksanakan oleh Program Studi S2 dan S3 Linguistik
ini memang layak disebut seminar internasional.
Selaku Direktur Pascasarjana Universitas Udayana, saya berharap makalah-makalah
yang disajikan dan dikompilasi dalam prosiding dapat menambah wawasan Ibu/Bapak sekalian
karena pertemuan ilmiah seperti seminar ini sangat bermanfaat sebagai ajang bertukar informasi
tentang hasil penelitian dan kajian yang selama ini telah dilakukan oleh para peneliti, khususnya
bahasa dan sastra Austronesia dan Nonaustronesia. Saya juga mengucapkan selamat datang di
Bali, khususnya di Universitas Udayana, terutama bagi para peserta seminar dari mancanegara
dan luar Bali yang hadir dalam seminar ini.
Selamat berseminar dan apabila ada kesempatan, selamat menikmati alam pulau Bali.
Mengakhiri sambutan ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada para pemakalah
kunci, pemakalah undangan, pemakalah pendamping, seluruh peserta serta panitia yang sudah
bekerja keras mempersiapkan seminar ini. Ucapan terima kasih dan apresiasi juga saya tujukan
kepada semua pihak yang sudah memberikan dukungan. Saya juga mohon maaf apabila terdapat
salah kata atau hal-hal lain yang kurang berkenan di hati.
Direktur Pascasarjana
Universitas Udayana
~ iii ~
SAMBUTAN KETUA PANITIA
Om Swastiastu.
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi, Wasa/Tuhan
Yang Maha Kuasa karena atas berkatNya, Seminar Internasional Bahasa dan Sastra Indonesia
Austronesia dan NonAustronesia VII dapat terlaksana seperti yang telah direncanakan.
Dalam sambutan ini, ada beberapa hal yang dapat saya sampaikan terkait dengan
perencanaan seminar dan pelaksanaannya. Sebagai langkah awal, seminar ini ditetapkan dengan
mengusung tema “Eksplorasi, Eksplanasi dan Interpretasi Fenomena Kebahasaan demi
Perkembangan Linguistik Austronesia dan Nonaustronesia.” Pelaksanaan seminar
ditentukan selama dua hari yaitu pada hari Jumat-Sabtu, 28 dan 29 Agustus 2015, diikuti hampir
200 peserta. Sambutan hangat kami rasakan dari berbagai pihak yang terlibat dalam
penyelenggaraan seminar ini. Agenda rutin berupa seminar internasional ini dapat menjadi
ajang pertemuan dan tukar informasi dari para peneliti dan pecinta bahasa, khususnya bahasa
Austronesia dan Nonaustronesia yang berguna menambah wawasan, ilmu serta cakrawala
informasi mengenai bahasa yang menjadi bagian penting dari budaya dan kehidupan kita. Di
samping itu, seminar ini juga diharapkan dapat menciptakan relasi dan komunikasi yang baik
antarpeneliti dan penggiat kegiatan kebahasaan untuk menciptakan sinergi kerjasama untuk
kebertahanan dan pengembangan bahasa-bahasa Austronesia dan Nonaustronesia.
Dalam seminar kali ini, para pemakalah dari berbagai negara hadir menyajikan
makalahnya, seperti Singapura, Jepang, Australia, Italia, Timor Leste, Polandia, juga Indonesia.
Dari Indonesia, pemakalah dari wilayah Aceh hingga Papua berpartisipasi dalam seminar ini
termasuk dari Denpasar, Flores, Kupang, Manggarai, Medan, Lampung, Bengkulu, Banten,
Makasar, Kendari, Surabaya, Mataram, Selong, Bandung, Surakarta, Semarang juga Malang.
Untuk itu, kami sampaikan apresiasi dan ucapan terima kasih pada para pemakalah kunci dan
undangan yang berkenan hadir berbagi ilmu dalam seminar ini. Tak lupa juga kami berterima
kasih kepada Bapak/Ibu pemakalah pendamping dan peserta seminar yang telah hadir dalam
seminar ini. Tentu saja tanpa partisipasi dan kontribusi dari Bapak/Ibu, acara ini tak mungkin
dapat terselenggara.
Akhir kata, saya ucapkan terima kasih kepada Ibu Direktur Pascasarjana Universitas
Udayana, Bapak Dekan Fakultas Sastra dan Budaya, Ketua Program S2/S3 Linguistik, Ketua
Asosiasi Peneliti Bahasa-bahasa Lokal, juga dari Research Institute for Languages and Cultures
of Asia and Africa, Tokyo University of Foreign Studies serta seluruh pemakalah dan panitia.
Mohon maaf yang sebesar-besarnya jika ada hal-hal yang kurang berkenan selama
penyelenggaraan acara atau kekurangsempurnaan dalam prosiding, buku panduan atau hal
lainnya. Semoga seminar ini mendatangkan manfaat dan berkat keilmuan bagi semuanya.
Om Shanti, Shanti, Shanti, Om.
Ketua Panitia
~ iii ~
PENGANTAR
Prosiding ini adalah kumpulan makalah yang disajikan pada Seminar Internasional Ba-
hasa dan Sastra Austronesia dan Nonaustronesia ke-7 yang diselenggarakan pada tanggal 28-29
Agustus 2015 di Auditorium Pascasarjana Universitas Udayana, Jl. Sudirman, Denpasar-Bali.
Dukungan yang luar biasa kami dapatkan dari seluruh pihak yang terlibat dalam seminar ini
sehingga acara dapat terselenggara dengan baik sesuai harapan. Seminar kali ini terselenggara
berkat kerja sama antara Program Studi Magister dan Doktor Linguistik Program Pascasa-
rjana Universitas Udayana dengan Asosiasi Peneliti Bahasa-Bahasa Lokal dan Research
Institute for Languages and Cultures of Asia and Africa, Tokyo University of Foreign
Studies. Kontribusi dari para pemakalah kunci, undangan dan pendamping memberikan arti
yang sangat besar bagi penyelenggaraan seminar ini. Pemakalah yang menjadi penyaji dalam
seminar ini berasal dari sejumlah negara seperti Singapura, Jepang, Australia, Italia, Timor
Leste, Polandia dan Indonesia. Dari Indonesia, tercatat sejumlah pemakalah dari berbagai insti-
tusi di berbagai wilayah nusantara. Tercatat abstrak dan makalah datang dari daerah Aceh, Bali,
Flores, Kupang, Manggarai, Medan, Lampung, Bengkulu, Banten, Makasar, Kendari, Sura-
baya, Mataram, Selong, Bandung, Surakarta, Semarang, Malang, hingga Papua.
Prosiding ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai dokumentasi karya akademik para
pemakalah yang sekaligus juga berguna untuk menambah wawasan keilmuan bidang linguistik
dan sastra, khususnya bahasa dan sastra austronesia dan nonaustronesia. Prosiding ini memuat
berbagai pemikiran dan hasil penelitian pada pemakalah seputar perkembangan bahasa dan
sastra austronesia dan nonaustronesia dari berbagai fokus análisis baik dari bidang linguistik
mikro, makro dan terapan.
Mohon maaf jika ada masih banyak kekurangan dan kesalahan yang ditemukan, karena
kami yakin tidak ada sesuatu yang bersifat sempurna. Namun, kerja keras telah diupayakan
untuk mencoba mengurangi terjadinya kekeliruan. Mudah-mudahan seminar dan prosiding ini
memberikan manfaatnya bagi kita semua.
Panitia
~5~
FOREWORD
PENGANTAR
These proceedings cover a collection of papers presented at the 7th International Seminar
on Austronesian and Non Austronesia languages and literature held on 28-29 August 2015 in the
auditorium of the postgraduate program University Udayana, on Jl. Sudirman, Denpasar-Bali.
We would like to express our tremendous appreciation for the varieties of supports that have
been given to the committee so that the seminar can be conducted as it is planned. The seminar
is held by the Study Program of Linguistics of Postgraduate Program Udayana University in
collaboration with Local Languages Researcher Association and Research Institute for
Languages and Cultures of Asia and Africa, Tokyo University of Foreign Studies. All of the
speakers and paper presenters in this seminar have given a great contribution to the sharing of
knowledge and insights on Austronesian and non-Austronesian languages and literature. The
speakers in the seminar are the linguists from several countries like Singapore, Japan, Australia,
Italy, Timor Leste, Poland and Indonesia. From Indonesia, it is noted that a number of speakers
come from many institutions in different regions of the archipelago. The abstracts and papers
were sent by many lecturers and researchers from Aceh, Bali, Flores, Kupang, Manggarai,
Medan, Lampung, Banten, Makasar, Kendari, Surabaya, Mataram, Selong, Bandung, Surakarta,
Semarang, Malang, to Papua.
We expect that the proceedings will prove to be of use to the documentation of academic
works of the seminar speakers as well as to broaden the horizon on the existence of language
and its use, especially the Austronesian and non-Austronesia languages and literature. The
proceedings contain a variety of ideas and research results on the exploration of language
phenomena for the development of Austronesian and non-Austronesian language and literature
covering the specific discussion on the field of linguistics from microlinguistics, macrolinguistics
and applied linguistics.
Finally, we sincerely apologize for any inconvenience caused. We hope that the
proceedings can be beneficial for all of us in enriching our knowledge on various aspects of
language and literature that are worth investigating.
~6~
DAFTAR ISI
Pemakalah Undangan
Pemakalah Pendamping
~7~
BENTUK -KI SEBAGAI PEMARKAh DAFTAR
hoNoRIFIKISI
DALAM BAhASA BUGIS
Dafirah ~ 55
~8~
PENyESUAIAN-PENyESUAIAN DALAM PENERJEMAhAN BERANoTASI SE-
BUAh ARTIKEL LINGKUNGAN BERBAhASA INDoNESIA KE DALAM BAhASA
INGGRIS
I Gede Putu Sudana ~ 129
~ ix ~
PENGELoMPoKAN BAhASA KABoLA, BAhASA hAMAP, DAN BAhASA KLoN
DI PULAU ALoR NUSA TENGGARA TIMUR: KAJIAN LINGUISTIK hISToRIS
KoMPARATIF
Ida Ayu Iran Adhiti ~ 221
~ ix ~
Do SPEECh LEVELS ExIST IN INDoNESIAN?
Majid Wajdi ~ 313
~ 11 ~
PRoFIL BAhASA NIAS SEBAGAI BAhASA MINoR DI SUMATERA
Ni Putu N. Widarsini dan I Made Suida ~ 413
KARToGRAFI FIKSI:
NARASI, MoTIF, DAN PERSEBARAN CERITA RAKyAT BALI
Puji Retno Hardiningtyas ~ 479
~ 12 ~
PRoSES PEMBENTUKAN VERBA DARI DASAR NoMINA
DALAM BAhASA BALI
Putu Wedha Savitri ~ 511
~ 13 ~
TUAK JATI DIRI GUyUB KULTUR LEMBATA: KAJIAN EKoLINGUISTIK
Veronika Genua ~ 595
~ 14 ~
THE DEFINITE MARKER IN BALINESE
1 Introduction
The presence of the definite suffix –é is a distinctive feature that Balinese exhibits among
the Western Malayo-Polynesian languages spoken in Indonesia. Most of these languages do not
have a special marker indicating definiteness, while some languages, such as colloquial
Indonesian and Javanese, employ the third person genitive suffix (–nya in colloquial Indonesian,
–(n)é in Javanese) as a definite marker, as a result of semantic extension. Sentence (1) is an
example of colloquial Indonesian. The third person genitive form –nya in the NP garam-nya
‘salt-3gen’ may be interpreted as some third person that can be identified by the speaker and
the hearer or the definite marker, indicating the salt is identifiable from the linguistic or non-
linguistic context, for example, being present at the place of utterance.
• Ambilkan garam-nya.
take salt-3gen
‘Take his salt.’ or ‘Take the salt (e.g., on the table).’
Sentences (2) and (3) are Balinese examples corresponding to example (1) above. In sentence
(2), the NP with –é refers to the entity that is linguistically or non-linguistically identifiable.
Unlike in Indonesian, the form is distinguished from the third person genitive suffix –né, which
occurs in example (3).
This study focuses to describe the semantic conditions in which –é occurs. Before looking into
this topic in Section 3, the morpho-phonological and morpho-syntactic properties of –é will be
briefly explained in Section 2.
The similar rule is observed when the third person agentive clitic a is attached to the vowel-final
stem as in the examples below.
~1~
Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian
Linguistic and Literature
The suffix –é may occur when the head noun is modified by other constituent that shows the
referent is definite, such as a demonstrative, the first or second person pronoun, or a relative
clause, shown in (4) to (6), respectively.
The only exception is when the head noun carries the third person pronominal suffix –né of the
low register, with which –é cannot co-occur. This is demonstrated by (7).
(7) *pianak-né-n-é
Balinese has several other third person pronouns that are used according to the social status of
the hearer or the referent (see Arka 2005: 174). The other three third person forms are realized
as independent pronouns that occur with –é, as in (8) and (9).
The only exception is an NP in which the head noun is modified by a noun; in this structure, –é
is attached to the modified noun, as in montor jepang-é ‘the Japanese car’ and sebun kedis-é ‘the
bird’s nest’; a personal pronoun exhibits features similar to a noun in this environment, as seen
in pianak tiang-é ‘my child (child 1sg-é),’ while a demonstrative pronoun does not, as seen in
anak-é ento ‘that woman.’
3 Semantic range of –é
As with all the other grammatical categories, the semantic range of “definite markers” varies
cross-linguistically. To see the semantic features that definite markers in many languages share,
we will start by introducing the use of the English definite article the, based on the discussions
of Lyons (1999: 1–15) and Quirk et al. (1985: 265–268). Roughly speaking, the definite article
indicates that the referent of the NP is identifiable to the addressee linguistically or non-
linguistically. Its three main three categories of use are shown in I to III below.
~2~
Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian
Linguistic and Literature
I. Situational use
The reference of the NP is identified by the extralinguistic situation that the speaker and the
hearer share, as in example (14).
In example (14), the referent of the salt is identifiable from the physical situation in which the
speaker and hearer are located.
(15) An elegant, dark-haired woman, a well-dressed man with dark glasses, and two children entered the
compartment. I immediately recognized the woman. The children also looked vaguely familiar.
I carried out elicitation research to identify how the situations expressed in (14)–(16) are
expressed in Balinese. The Balinese speakers judged that –é covers all the semantic types in the
list above. Balinese sentences corresponding to (14)–(16) above will be shown (17)-(19) below.
It is the associative use that makes the Balinese definite marker distinct from the apparently
similar markers observed in other neighboring languages. The demonstratives in these languages
only refer to an entity that is directly available from the situation or previous utterance; they can
~3~
Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian
Linguistic and Literature
be used in the situational use and the anaphoric use, but not in the associative use.
The semantic range of Balinese definite NP overlaps with that of the English definite NP
to wider extent. But in some cases, the equivalent of English definite NP appears in the form of
an unmarked (non-definite) NP in Balinese. The use of the definite article in English may be
accounted by the concept of uniqueness as well as identifiability (Lyons 1999). The English
definite NP may indicate an entity that is not known to the addressee at the time of utterance, if
it is ‘unique’ in the situation, while the Balinese definite NP may not. Example (20) is one
example as such.
The name of the three magic stone, which is totally new to the addressee at this point of the
story, occurs as a definite NP in English translation, presumably because each referent is
logically unique in this situation. In contrast to that, the NP referring to each stone does not
undergo the marking of the definite marker in Balinese.
The English definite NP maybe used when the speaker do not assume that the addressee was
previously aware of the referent. Sentence (22) is an example introduced in Quirk et al (1985)
to show this point.
Here, the definite NPs are used to announce the existence of the referent in the situation,
rather than to refer to the entity that is identifiable from the situation. Balinese suffix -é does not
occur in the corresponding sentences, as shown in (22)’. An existential sentence (22)’’ is used
in order to introduce the new entity, instead.
When we refer to someone that is not considered to be known to the listener, but is
unique in the situation, the definite NP is used in English. In contrast to that, Balinese does not
employ the definite marker to encode a referent as such.
Another type of difference between definite markers in Balinese and English is caused
by the presence of the third person genitive suffix –né in Balinese, which is a counterpart of
–nya in Malay. This pronominal suffix occurs instead of –é when the referent can be related to
an already mentioned entity and is therefore definite. For instance, the pronominal suffix –né
cannot be replaced by the definite suffix –é in example (23).
~4~
(23) Umah icang-é resem. Kakus-né (*-é) uwug, raab-né (*-é)
bolong
house 1sg-é shabby toilet-3gen broken roof-3gen have.a.hole
‘My house is shabby. The (lit. its) toilet is broken and the (lit. its) roof has a hole.’
4. Summary
In this presentation, we have seen the semantic conditions in which the Balinese
suffix –é occurs. From the elicited examples, we saw that –é exhibits similar semantic range
to the English definite article, in that it indicates that the referent of the NP identifiable. The
semantic range that –é marked NP is limited to the referent that is known to the addressee. It
does not mark the NP when the addressee does not know or is not aware of the presence of the
referent at the starting point of the utterance.
REFERENCES
Arka, I Wayan 2005. Speech Levels, Social Predicates and Pragmatic Structure in Balinese: A Lexical Approach.
Pragmatics 15:2/3. pp. 169-203.
Quirk, Randolph, Sidney Greenbaum, Geoffrey Leech, Jan Svartvik, 1985. Comprehensive Grammar of the
English Language. London: Longman.
~ 215 ~
REPRESENTASI PERANGKAT LINGUISTIK
WACANA POLITIK DI MEDIA TELEVISI INDONESIA
ABSTRACT
The Indonesian mass media has enjoyed their press freedom since the Reformation Era established as
the consequences of the fall down of Suharto’s regime. The political narration of the public is no longer
vertically engineered in top-down way where a single television station employed to deliver the
discourse. Nowadays the media or ordinary people can criticize the people in power without any fear.
However, political discourse is always about power, democracy, hegemony and commodification and
all of them are determined by the power of using language. In this game, the television media plays a
very important role because they are equipped by a sophisticated technology, language engineering
and desperate men power.
PENDAhULUAN
Dalam wacana media ada tiga tindakan yang menngendalikan teks: (1) inisiasi
(inisiator) yang merangsang munculnya berbagai gagasan dinamis, (2) tanggapan yang berperan
menanggapi atau merespon topik yang dikemukakan oleh mitra tutur, dan (3) umpan balik
(feedback) sebagai bentuk interaksi pengembanngan tema.
Praktek wacana, sebagai unsur pertama wacana media, meliputi tiga proses: (1)
produksi teks, (2) distribusi, dan (3) konsumsi. Wacana itu didistribusikan oleh media televisi
kepada masyarakat dalam berbagai bentuk: (a) berita, (b) talk show, (c) siaran pidato tokoh
politik, dan (d) parodi politik. Sementara itu, wacana sebagai ‘Praktek Sosial’ (Failclough,
1992: 86—96) ditekankan pada hubungan dengan ideologi dan kekuasaan. Ideologi dalam hal
ini dijelaskan sebagai konstruksi dari realitas (dunia fisik, relasi sosial dan identitas sosial) yang
melahirkan berbagai dimensi bentuk yang bertransformasi dari hububungan dominasi.
ANALISIS TEKS
Pola Teks Inisiasi: teks pra-pendahuluan dan teks pendahuluan
Ada tiga bentuk teks pra-pendahuluan yang terjadi pada teks media massa: (i)
penyampaian salam pembukaan atau tanpa salam pembukaan, (ii) langsung pada sapaan dan
pengenalan diri atau langsung pada pengenalan topik tanpa didahului salam pembuka, dan (iii)
tanpa sapaan dan tanpa pengenalan diri.
~ 216 ~
Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian
Linguistic and Literature
(3) Memberi gambaran pengantar latar belakang topik: inisiasi tanpa salam pembuka,
tanpa sapaan dan tanpa pengenalan diri.
Pewawancara: Mas Sujiwo Tedjo.. kalau bisa disarikan--
Sujiwo Tedjo: Hmm
Pewawancara: --ketika… berusaha sudah sangat keras begitu walaupun
ada yang bisa ke-GR-an, bisa tempatnya tidak tepat, salah
caranya dan lain-lain…. (TVRI www.youtube.com 24/11/2014)
Berbeda halnya dengan teks pendahuluan yang berisi pengenalan topik dan ruang lingkup
pembahasan sehingga seluruh partisipan dapat mempersiapkan diri berkontribusi dalam
pembahasan. Rangsangan didapatkan dari mereka yang menyatakan persetujuan terhadap sudut
pandang maupun mereka yang tidak setuju karena gagasan pendukung yang dimilikinya tidak
sama.
(5) “Pak Haji bagaimana awal mulanya de DPRD sampai ke inginan atau. menjadikan
persoalan ini menjadi hak angket DPRD…”(ILC di TVONE 03/03/2015)
Talk show politik juga dapat dilangsungkan antara pembawa acara dengan
partispan tunggal. Tahapan-tahapan inisiasi, pra-pendahuluan dan pendahuluan secara
umum tidak berbeda dengan partisipan jamak. Berikut adalah pendahuluan talk show
politik dengan partisipan tunggal.
(6) Pembawa Acara: Ya, tadi kita baru saja menyaksikan e Partai Gerindra
mendeklarasikan enam program aksi transformasi bangsa ya pak. … apa sih
maksud enam program aksi transformasi bangsa ini?(TVRI: “Wawancara dengan
Prabowo” www.youtube.com 26/01/2014)
man, siapa, kapan, bagaimana, mengapa/kenapa, dan apa), kalimat tanya konfirmatif
(apakah…?), kalimat tanya retorik, (…, bukan? atau …, kan?), dan pertanyaan alternatif
(“…atau…?”).
(8) … sektor keunggulan kita. Kenapa keunggulan? (Prabowo di TVRI)
(9) …(apakah) menurut ketentuan, begitu, Pak Julian? (ILC di TVONE 03/03/2015)
(10) … rakyat sudah menghasilken, tidak ada yang beli, ya, kan? (Prabowo di
TVRI)
(11) Selalu Bapak bawa atau karena memang spesial malam ini? (Mata Najwa di
Metro TV www.youtube.com 22/01/2014)
C. Kalimat imperatif untuk menekan
(12) Harus dilaporkan kepada kementrian dalam negeri. (ILC di TVONE
03/03/2015)
PRAKTEK wACANA
Produksi
Wacana merupakan satu unit informasi lengkap yang dikemas dalam teks verbal yang
mengandung tema, topik dan fokus utama sebagai transformasi dari fenomena sosial yang terjadi.
Wacana yang mengandung topik mutakhir dan/atau kontroversial diproduksi oleh media massa
dalam berbagai bentuk wacana: (1) percakapan, (2) deskripsi, (3) argumentasi, (4) drama
komedi, dan (5) prosodural atau hortatori (dalam bentuk Iklan Layanan Masyarakat).
Distribusi
Distribusi wacana dapat berlangsung dari atas ke bawah (top-down) atau dari bawah ke
atas (bottom-up) bergantung pada kebutuhan dan tantangan yang dihadapi oleh masing-masing
pihak tersebut. Media massa dewasa ini, karena kebebasan memberikan penapsiran wacana,
memiliki pandangan atau ideologi sendiri untuk memaknai pesan dari wacana tersebut. Atas
dasar gagasan itu, pihak media melakukan reinterpretasi, reproduksi, dan redistribusi wacana
dengan pemaknaan baru.
PENGUASA PENGUASA
Sumber wacana Sasaran Wacana
MEDIA MASSA:
sasaran perantara wacana (reinterpretatif, reproduktif, redistributif)
MASYARAKAT MASYARAKAT
Sasaran Akhir Wacana Sumber Wacana
~ 218 ~
Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian
Linguistic and Literature
Konsumsi
Produk dan distribusi wacana, baik yang bersumber dari elit bangsa maupun
masyarakat biasa, kemudian dinikmati atau dikonsumsi oleh masyarakat dari berbagai
lapisan: gender, usia, pendidikan, ekonomi, dan sosial. Distribusi wacana dengan
rekayasa teks dapat menempatkan sumber penentu wacana sebagai pihak yang membela
kepentingan masyarakat umum, sementara terhadap pesaingnya direkayasa teks yang
tidak membela masyarakat umum.
(13) Pengikut Ahok: … saya itu pengagum Ahok … menurut saya Ahok ini punya banyak kekuatan …
Ahok itu sebagai bapak pembuktian terbalik. … tunjukkan dulu uang lu asalnya darimana, berapa
pajak lu orang tunjukkan dulu, uang lu asalnya darimana? Berapa pajak lu dan bagaimana cara
memperolehnya? Baru lu lawan gue” ... (ILC di TVONE 03/03/2015)
Representasi tuturan dari penentang Gubernur Ahok:
(14) Lawan Politik Ahok: … apa yang terjadi dengan 12, 1 triliyun itu,… Ahok mati jalan di situ. … dia
bermain pencitraan dalam ranah hukum … kita duga Ahok melanggar hukum ... (ILC di TVONE
03/03/2015)
PRAKTEK SoSIAL
Praktek sosial dimaknai sebagai proses interaksi manusia satu dengan manusia lain, baik
interaksi antarindividu, antarkelompok, maupun antara individu dan kelompok atau sebaliknya,
demi terciptanya satu hubungan sosial yang didasarkan atas kepentingan. Di dalam kepentingan
itu, tersirat hegemoni, demokratisasi dan komoditifikasi.
hegemoni
Hegemoni dalam pandangan Gramsci (dalam Fairclough, 1992: 92—93) merupakan
kepemimpinan untuk mendominasi kehidupan ekonomi, politik, budaya dan ideologimasyarakat.
Di Indonesia, narasi politik masyarakat dewasa ini ditentukan oleh kemampuan media bersaing
untuk mendapatkan sumber wacana dengan kemasan kontroversial sehingga menjadi menarik,
informatif dan persuasif.
A. Hegemoni wacana politik ditentukan oleh ketokohan narasumber
~ 219 ~
Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian
Linguistic and Literature
Milik Rakyat atau Milik Partai,” dan sebagainya. Berikut adalah topik tentang perselisihan
“KPK vs. PLORI.”.
(16) Karni Ilyas/Pembawa Acara: Pemirsa, … bapak-bapak yang pernah di KPK .. jiwanya sudah KPK-
lah...
Kenapa Ruhut ...sebelum BG ..diputuskan DPR ..Luhut salah satu pendukung BG.. di seminar dia
bicara untuk BD..di media juga. Ketika Partai Demokrat abstain memilih BG..Ruhut hilang.
Ruhut Sitompul: ... Saya sebagai Komisi Tiga .. jujur saja.. permasalahan antara KPK dan
Kepolisian ini... antara KPK dengan polisi…(ILC di TVONE 03/03/2015)
Pada teks (16) di atas, isu mutakhir saat acara itu ditayangkan adalah berkaitan dengan
perselisihan hukum antara KPK dan Polri. Persoalan hukum bermula dari KPK terlebih dahulu
menetapkan calon Kapolri Budi Gunawan sebagai tersangka korupsi. Tidak lama kemudian dua
pimpin KPK (Bambang Wijayanto dan Abraham Samad) dan satu penyidik KPK, Novel
Basweden, ditetapkan pula sebagai tersangka oleh Polri.
(17)
Karni Ilyas: …Bagaimana Anda melihat pidato tersebut? …
Effendi Gozali: … pidato pembukaan itu ada dua ribu enam ratus lima puluh tiga kata... itu
memang acara internal partai ...dan kita bukan bagian dari acara itu… ada istilah petugas partai…
disebutkan bahwa petugas partai menurut Bu Megawati .. adalah pelayan partai.. .. undangan itu
datang ke Pak joko widodo di situ ditulis sebagai apa? …
………………… ah?, boleh..boleh.
Partisipan lain: boleh menyela? …(ILC di TVOne www.youtube.comm 14/04/2015)
Bagian teks yang berada di dalam kurung siku paling atas merupakan rangsangan dari pembawa
acara, kurung siku kedua merupakan penyajian data kuantitatif (fakta dan data) berupa frekuensi
pemakaian kata/istilah yang digunakan oleh Megawati Sukarno Putri, dan pada kurung siku
ketiga merupakan analisis politik dari narasumber berkatan dengan data.
Salah satu bentuk demokratiisasi linguistik dalam bahasa Indonesia dapat dilihat pada
penggunaan bentuk pronominal: dia, kamu (personal), Anda (formal). Pada data (18) berikut,
narasumber B.J. Habibie tanpa ragu memilih menggunakan kata ganti dia (bukan beliau) untuk
mengacu Pak Harto. Kata dia digunakan secara sadar oleh B.J Habibie untuk menunjukkan
kesetaraan antara dua tokoh. Sementara itu, penggunaan kata kamu dalam teks tersebut
menunjukkan bahwa Pak Harto sebagai pembicara mempunyai hubungan dekat dengan B.J.
Habibie, tetapi Pak Harto memposisikan diri sebagai orang yang lebih senior.
(18)
Najwa Shihab: Apa ruginya dua pemimpin saling bertemu?
B.J.Habibie: … Dia kan orang yang sangat bijaksana … dia mengatakan, beginilah kamu selesaikan
masalah-masalah yang kamu hadapi. … Trus dia bilang. Habibie saya tahu kamu … Kamu sholat lima
kali sehari. … kamu harus tahu. … Saya doa untuk kamu supaya kamu selamat … Laksanakan tugasmu.
Trus dia diem. (Mata Najwa di Metro TV www.youtube.comm 05/02/2014)
Namun demikian, demokratisasi linguistik “dapat diselewengkan” oleh partisipan wacana politik
~ 220 ~
Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian
Linguistic and Literature
untuk menghegemoni narasi politik masyarakat. Dewasa ini ada kecenderungan masyarakat
Indonesia dipengaruhi oleh para politisi dalam bertutur, misalnya, penggunaan kita.
Dalam teks (19) tersebut, makna kata kita diselewengkan oleh si pembicara dengan
mengikutsertakan orang kedua di dalam masalahnya, padahal orang kedua itu sama sekali tidak
menjadi bagian dari representasi pembicara.
Komoditifikasi
Wacama politik yang dijadikan komodi oleh pihak media massa bertumpu pada dua hal:
ketokohan narasumber dan kekontroversialan isu. Kemasan isu kontroversial dan mutakhir
ditentukan paling sedikit oleh tiga faktor: (i) pilihan judul, (ii) penekanan ulasan, dan (iii)
perdebatan. Judul-judul ditekankan pada penggunaan kosa-kata singkat/kata dasar, terdiri dari
beberapa kata saja, mudah dipahami, dan bersifat lugas, contohnya: “Presiden Milik Rakyat
atau Milik Partai”, “KPK vs POLRI”, “Ahok Dipecat atau DPRD Bubar” (TV One: “ILC”.
Penekanan ulasaan berkaitann dengan persepsi dan argumentasi dari sumber wacana. Sementara
iitu, perdebatan dalam acara talk show politik berpartisipan jamak merupakan “amunisi” untuk
mempertahankan dan menambah jumlah penonton.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, B.R.O’G. 1990. Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia. New York: Cornell
University Press.
Fairclough, N. 1992. Discourse and Social Change. Oxford: Blackwell Publisher.
Johnson, T. 1996. ‘The decline of television’s family hour’ dalam USA Today. Academic Research Library
Pastika, I.W. dkk. 2014. ‘The Indonesian Language in the Indonesian Media during the Reformation Era.’ Makalah
disajikan pada International Seminar on Translinguistics di Universitas Indonesia, Jakarta, 02 Desember 2014.
Searle, J. 1969. Speech Acts. Cambridge: Cambridge University Press.
Sita Supit, R. 2005. “Fenomena Bahasa Film dan Bahasa Siaran di Indonesia.” Disampaikan dalam Seminar
Penggunaan Bahasa dalam Film, Sinteron, Televisi, dan Media Luar Ruang. Dilaksanakan oleh Pusat
Bahasa dan Lembaga Sensor Film di Jakarta: 10 Agustus 2005.
Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Thompson, J.B. 1984. Studies in the Theory of the Ideology. California: University of California Press.
(diterjemahkan oleh Haqqul Yaqin menjadi: Analisis Ideologi, Kritik Wacana Ideologi-ideologi Dunia.
Penyunting: Fathurrahman. Penerbit IRCiSod, Yogyakarta.
Van Dijk, Teun A (ed.), 1985. “Structures of News in the Press” Discourse and Communication New Approachs to
the Analysis of Mass Media Discourse and Communication. New York: Walter de Gruyter.
~ 221 ~
Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian
Linguistic and Literature