Anda di halaman 1dari 11

MAKNA “PERINTAH” SEBAGAI SALAH SATU UNSUR HUBUNGAN

KERJA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003


TENTANG KETENAGAKERJAAN

Abdul Rachmad Budiono

Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya


Email: Abdulrachmadbudiono@gmail.com

Abstract:

One of the elements of employment relation is “command or work order”. “Command or work order”
as one of the employment relation elements is very important, but law and regulation do not regulate
clearly. This paper based on normative legal research. Paper with statute approach and conceptual
approach. The Legal issue in this paper is the meaning of “command or work order” as one of the
employment relation element. “Command or work order” as one of the employment relation means
verbal or writing statement of entrep-reneur, direct or indirect, to the labour, to do a work, with elements
(1) the work order is an order to do a work, (2) the work order is in the area of employment relation, and
(3) the work order is done with authority or competence.
Key words: work order, employment relation

Abstrak

Salah satu unsur hubungan kerja adalah “perintah”. “Perintah” sebagai salah satu elemen hubungan
kerja amat penting, tetapi peraturan perundang-undangan tidak mengaturnya dengan jelas. Isu hukum
di dalam penelitian ini adalah apa makna “perintah” sebagai salah satu unsur hubungan kerja. Tulisan
ini berdasarkan penelitian hukum normatif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan undang-undang dan pendekatan konsep. Bahan hukum yang digali adalah bahan hukum
primier dan bahan hukum sekunder. “Perintah”sebagai salah satu unsur hubungan kerja bermakna
pernyataan lisan atau tulisan pengusaha, langsung atau tidak langsung, terhadap pekerja dengan unsur
(1) perintah itu perintah untuk melakukan pekerjaan, (2) perintah itu ada di lingkup hubungan kerja, dan
(3) perintah itu dilakukan dalam kekuasaan atau kewenangan.
Kata kunci: perintah, hubungan kerja

Latar Belakang undang-undang yang ada sebelumnya, misalnya


Tiga undang-undang di bidang perbu- (1) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957
ruhan lahir setelah reformasi.Tiga undang-undang tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, (2)
itu adalah (1) Undang-undang Nomor 21 Tahun Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang
2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, (2) Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Swasta, dan (3) Undang-undang Nomor 14 Tahun
Ketengakerjaan, dan (3) Undang-undang Nomor 1969 tentang Ketentuan-ketentuanPokokMenge-
2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan naiTenagaKerja.
Hubungan Industrial. Meskipun ada sejumlah Salah satu perbaikan yang dibawa oleh
kekurangan pada undang-undang-undang-undang Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
itu, dapat dikatakan bahwa tiga undang-undang Ketenagakerjaan (selanjutnya disingkat UK)
tersebut merupakan perbaikan atas sejumlah adalah pengaturan mengenai hubungan kerja.
Hubungan kerja merupakan hubungan hukuman-

137
138 ARENA HUKUM Volume 6, Nomor 2, Agustus 2012, Halaman 79-154

tara pengusaha dan pekerja/buruh.1 Pasal 1 angka kerja dikaitkan dengan hubungan hukum antara
15 UK menegaskan, “Hubungan kerja adalah pembantu rumah tangga dengan orang yang
hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh mempekerjakan21nya adalah munculnya desakan
berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai agar segera dibentuk undang-undang yang
unsur pekerjaan, upah, dan perintah”. Rumusan mengatur hubungan hukum antara pembantu
tentang hubungan kerja di dalam Bab I ini diikuti rumah tangga dengan orang yang mempeker-
dengan Bab IX tentang Hubungan Kerja. Bab IX jakannya.
UK ini terdiri atas 17 pasal.Dengan demikian di Di masa sebelum UK, sejumlah istilah digu-
dalam UK, khusus mengenai hubungan kerja, nakan untuk menunjuk makna “perintah”. Istilah-
diatur di dalam 17 pasal (terdidi atas pasal 50 istilah itu misalnya “petunjuk” dan “pimpinan”.2
sampai dengan pasal 66) ditambah satu pasal, Di masa ini hubungan kerja terjadi terjadi setelah
yaitu pasal 1 angka 15. adanya perjanjian kerja antara buruh dan majikan,
Unsur hubungan kerja adalah (1) pekerjaan, yaitu suatu perjanjian di mana pihak kesatu, buruh,
(2) upah, dan (3) perintah. Hubungan hukum yang mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima
secara kumulatif berunsur pekerjaan, upah, dan upah pada pihak lainnya, majikan, yang mengi-
perintah, merupakan hubungan kerja. Tiga hal katkan diri untuk mempekerjakan buruh dengan
ini merupakan unusr pembentuk agar hubungan membayar upah.3 dalam melakukan pekerjaannya
hukum merupakan hubungan kerja. Merupakan buruh berada di bawah pimpinan pihak majikan.4
hal yang amat penting untuk menentukan apakah Jika diamati sesungguhnya sebelum berlakunya
hubungan hukum tertentu merupakan hubungan UK pun, “perintah” atau istilah-istilah “petunjuk”
kerja atau bukan hubungan kerja. Dikatakan atau “pimpinan” tidak menunjukkan kejelasan
demikian sebab ada konsekuensi yang amat makna. Berdasarkan uraian tersebut penelitian
berbeda jika sesuatu diklasifikasikan hubungan hukum untuk mencari kejelasan makna “perintah”
kerja atau bukan hubungan kerja. Ada hubungan sebagai salah satu unsur hubungan kerja menurut
kerja berarti ada pekerja. Ada pekerja berarti ada Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
perlindungan hukum oleh sejumlah peraturan Ketenagakerjaan.
perundang-undangan untuk pekerja, misalnya di
bidang pengupahan, jaminan sosial tenaga kerja, Pembahasan
waktu kerja, cuti, dan lain-lain. a. Pengertian Perjanjian Kerja
Salah satu unsur pembentuk hubungan Perjanjian kerja adalah perjanjian antara
kerja adalah “perintah”. Tidak ada kejelasan buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang
makna “perintah” sebagai unsur pebentuk memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban
hubungan kerja di dalam 18 pasal di dalam UK, para pihak (pasal 1 angka 14). Karena ada dua
termasuk di dalam penjelasan pasal-pasal tersebut. kemungkinan komposisi subjek hukum yang
Akibat ketidakjelasan makna “perintah” sebagai bertindak sebagai pihak di dalam perjanjian kerja,
unsur pembentuk hubungan kerja tersebut ada yaitu: (a) buruh dan pengusaha, dan (b) buruh dan
kesulitan untuk menentukan apakah hubungan pemberi kerja, maka logika hukumnya, juga ada
hukum tertentu merupakan hubungan kerja atau perbedaan antara perjanjian kerja dengan pihak (a)
bukan. Contohnya adalah hubungan hukum buruh dan pengusaha, serta (b) buruh dan pemberi
antara pembantu rumah tangga dengan orang kerja. Analisis tentang perbedaan ini harus
yang mempekerjakannya. Sudah sejak lama para dikaitkan dengan pasal 50 yang menegaskan,
ahli memperdebatkan apakah hubungan hukum bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya
di antara mereka merupakan hubungan kerja atau perjanjian kerja antara pengusaha dan buruh.
bukan. Salah satu bukti ketidakjelasan makna Hal yang dapat disimpulkan dari pasal ini adalah
“perintah” sebagai unsur pembentuk hubungan bahwa hubungan kerja hanya terjadi karena perjan-
1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ke-
tenagakerjaan, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyesaian Perselisihan Hubungan Industrial, memadankan istilah
“pekerja” dan istilah “buruh”. Di dalam penelitian ini digunakan istilah pekerja, semata-mata dengan pertimbangan efisiensi.
2. Iman Soepomo, Hukum Perburuhan bidang Hubungan Kerja, Djambatan, Jakarta, 1983, hlm. 71.
3. Ibid., hlm. 1.
4. Ibid.
Budiono, Salah Satu Unsur Hubungan Kerja Menurut... 139

jian kerja antara buruh dan pengusaha. Secara a kepastian hukum.


contrario dapat disimpulkan bahwa perjanjian Perjanjian kerja melahirkan hubungan kerja.
kerja yang dibuat oleh bukan buruh dan bukan Sebagaimana telah diuraikan di dalam bagian
pengusaha (dalam hal ini adalah pemberi kerja) terdahulu, hubungan kerja adalah hubungan antara
tidak melahirkan hubungan kerja. Perjanjian kerja pengusaha dengan buruh berdasarkan perjanjian
antara buruh dengan pemberi kerja melahirkan kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah,
hubungan hukum, tetapi bukan hubungan kerja. dan perintah. Tiga unsur inilah yang membedakan
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 antara hubungan kerja di satu sisi dengan hubungan
membawa paradigma baru, di mana ada perjan- hukum di sisi lainnya. Hubungan hukum yang
jian kerja yang tidak melahirkan hubungan kerja. dilekati tiga unsur ini merupakan hubungan kerja.
Arah yang hendak dibangun adalah perluasan a.1. Pekerjaan
perlindungan hukum kepada pihak-pihak tertentu Jenis, ruang lingkup, dan keluasan pekerjaan
yang melakukan pekerjaan untuk orang lain. Hal amat beragam. Oleh karena itu bisa dimengerti
ini dapat dilihat dari ketentuan Bab VII tentang kalau Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tidak
Perluasan Kesempatan Kerja, yang meliputi pasal merinci makna pekerjaan. Politik hukum seperti ini
39 sampai dengan pasal 41, dan Bab VIII tentang dimaksudkan agar undang-undang tersebut dapat
Penggunaan Tenaga Kerja Asing, yang meliputi mengikuti perkembangan zaman. Pekerjaan meru-
pasal 42 sampai dengan pasal 49. Kalau sebelum pakan sesuatu yang amat sentral jika membahas
undang-undang ini, perlindungan oleh hukum tentang hukum perburuhan. Undang-undang hanya
perburuhan hanya terbatas pada buruh, tetapi menentukan jika perjanjian kerja disebut secara
setelah undang-undang ini lahir, perlindungan oleh tertulis, maka harus dimuat (a) nama, alamat peru-
hukum perburuhan diperluas. Subjek hukum yang sahaan, dan jenis usaha, (b) nama, jenis kelamin,
hendak dilindungi tidak saja buruh, melainkan umur, dan alamat pekerja/buruh, (c) jabatan atau
setiap orang yang dipekerjakan oleh orang lain. jenis pekerjaan, (d) tempat pekerjaan, (e) besarnya
Hal ini pula yang menjadi alasan bidang hukum upah dan cara pembayarannya, (f) syarat-syarat
ini disebut hukum ketenagakerjaan. Saya tetap kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha
memilih menggunakan istilah hukum perburuhan, dan pekerja/buruh, (g) mulai dan jangka waktu
sebagaimana saya uraikan pada kata pengantar. berlakunya perjanjian kerja, (h) tempat dan tanggal
Pengertian perjanjian kerja juga terdapat di perjanjian kerja dibuat, dan (i) tanda tangan para
dalam pasal 1601 a BW, yaitu: “De arbeidsove- pihak dalam perjanjian kerja. Adanya syarat dalam
reenkomst is de overeenkomst waarbij de eene huruf (f), yaitu tentang syarat-syarat kerja yang
partij, de arbeider, zich verbindt, in dienst van de memuat hak dan kewajiban pengusaha dan buruh
andere partij, den werkgever, tegen loon gedu- memperjelas sesuatu yang harus dilakukan atau
rende zekeren tijd arbeid te verrichten” (Persetu- dikerjakan oleh buruh. Sesuatu yang harus diker-
juan perburuhan adalah persetujuan dengan mana jakan oleh buruh, berarti kewajiban buruh untuk
pihak yang satu, buruh, mengikatkan dirinya kepentingan pengusaha, dalam arti sempit, sesuai
untuk di bawah perintahnya pihak yang lain, si dengan perjanjian kerja adalah pekerjaan. Tidak
majikan, untuk sesuatu waktu tertentu, mela- dirincinya atau dibatasinya pengertian pekerjaan
kukan pekerjaan dengan menerima upah)5. Kini di dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003,
kita jumpai dua pengertian perjanjian kerja, yaitu atau di dalam peraturan perundang-undangan
di dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 lainnya, adalah sesuatu yang logis menurut legal
dan di dalam BW. Meskipun tidak secara tegas reasoning atau penalaran hukum. Dikatakan
dinytakan tidak berlaku, berdasarkan asas lex demikian karena apabila diberikan pengertian atau
posteriori derogat lex priori, pasal 1601 a BW batasan tertentu, justru akan mempersulit pelak-
harus dipandang tidak berlaku lagi. Pandangan sanaan dan pengembangan hukum perburuhan,
ini amat konstruktif untuk pembangunan hukum, khususnya yang berkaitan dengan perlindungan
yang salah satu tujuannya adalah menciptakan hukum untuk buruh.

5. Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1970, hlm. 339.
140 ARENA HUKUM Volume 6, Nomor 2, Agustus 2012, Halaman 79-154

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata telah atau akan dilakukan. Penerima upah adalah
pekerjaan dipadankan dengan tugas kewajiban.6 buruh. Pembayar upah ada dua kemungkinan,
Sementara itu kata ini diartikan sebagai barang yaitu pengusaha atau pemberi kerja. Aturan hukum
apa yang dilakukan (diperbuat, dikerjakan, dan dibayarkannya upah adalah perjanjian kerja atau
sebagainya).7 Jika makna ini yang diikuti, maka kesepakatan atau peraturan perundang-undangan.
pekerjaan merupakan sesuatu yang dikerjakan Mengenai perjanjian kerja dan peraturan perun-
yang merupakan tugas atau kewajiban. Makna dang-undangan memang sudah semestinya. Upah
ini tidak jauh berbeda dengan makna yang dibe- dapat didasarkan pada perjanjian kerja, sepanjang
rikan oleh Oxford Advanced Learner,s. Kamus ini ketentuan upah di dalam perjanjian kerja tersebut
memaknai job sebagai a particular piece of work; tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
a task; a responsibility, duty or function.8 Makna undangan. Jika ternyata ketentuan upah di dalam
atau batasan menurut kamus-kamus tersebut dapat perjanjian kerja bertentangan dengan peraturan
digunakan sebagai pedoman, walaupun tidak perundang-undangan, maka yang berlaku adalah
mengikat secara hukum. Di dalam berbagai kasus, ketentuan upah di dalam peraturan perundang-
dengan menggunakan berbagai macam metode undangan. Berikut ini adalah ilustrasinya. A,
menemukan hukum, hakim atau penegak hukum seorang penusaha, mempekerjakan B sebagai
lainnya akan dapat memberikan makna pada kata buruhnya. Di dalam perjanjian kerja ditentukan
pekerjaan. bahwa upah B adalah Rp. 450.000,- per bulan. A
Sementara itu, ada beberapa pasal di dalam maupun B telah sepakat mengenai besarnya upah
WvK yang menegaskan tentang pekerjaan. Pasal ini. Akan tetapi, peraturan perundang-undangan
341 ayat (1) WvK menegaskan :”De kapitein untuk daerah tempat A dan B berada upah mini-
voert het schip” (Nahkoda atau kapten memimpin mumnya adalah Rp. 650.000,- per bulan. Jika ini
kapal). Pasal 346 menegaskan :”De kapitein is yang terjadi, maka yang berlaku adalah besarnya
verplicht voor de dan boord zijnde goederen van upah menurut peraturan perundang-undangan,
een gedurende de reis overleden opvarende te yaitu Rp. 650.000,-.
zorgen en ten overstaan van twee der opvarenden Berbeda dengan perjanjian kerja dan pera-
daarvan een behoorlijke beschrijring te maken of turan perundang-undangan sebagai dasar pembay-
te doen maken, welke door hem en door deze opva- aran upah adalah kesepakatan. Menurut peraturan
renden wordt ondertekend” (Nahkoda diwajibkan perundang-undangan, termasuk Undang-undang
merawat barang-barang seorang penumpang Nomor 13 Tahun 2003, kesepakatan merupakan
yang meninggal selama perjalanan, yang berada salah satu syarat sahnya perjanjian, termasuk
di kapal dan dari barang-barang itu harus dibuat perjanjian kerja (lihat pasal 52 ayat (1) huruf a).
atau disuruh membuatnya suatu daftar perincian Oleh karena itu, jika yang dituju adalah perjan-
di hadapan dua orang penumpang, daftar mana jian, maka penggunaan kata kesepakatan dalam
harus ditandatangani oleh nahkoda dan dua orang pasal 1 angka 30 adalah tidak tepat. Jika dika-
penumpang itu). itkan dengan pasal 89 ayat (3) juncto pasal 91,
a.2. Upah maka dapat disimpulkan bahwa kata kesepakatan
Menurut pasal 1 angka 30 Undang-undang dalam pasal 1 angka 30 harus ditafsirkan sebagai
Nomor 13 Tahun 2003 upah adalah hak pekerja/ perjanjian. Pasal 89 ayat (3) menegaskan bahwa
buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk upah minimum sebagaimana dimaksud ayat (1)
uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan
kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi
dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kese- dan/atau Bupati/Walikota. Pasal 91 ayat (1) mene-
pakatan, atau peraturan perundang-undangan, gaskan bahwa pengaturan pengupahan yang dite-
termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan kelu- tapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan
arganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh

6. Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan dan Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hlm. 428.
7. Ibid.
8. A S Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, Oxford University Press, London, 1995, hlm, 639.
Budiono, Salah Satu Unsur Hubungan Kerja Menurut... 141

tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengu- perjanjian kerja antara pengusaha dengan tenaga
pahan yang ditetapkan peraturan perundang- kerja, termasuk tunjangan, baik untuk tenaga
undangan yang berlaku. Sementara itu ayat (2) kerja sendiri maupun keluarganya. Ada dua perbe-
menegaskan bahwa dalam hal kesepakatan seba- daan jika pengertian upah dibandingkan antara
gaimana dimaksud pada ayat (1) lebih rendah Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 dengan
atau bertentangan dengan peraturan perundang- Undang-undang Nomor 3 tahun 1992. Pertama,
undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, mengenai subjek pembayarnya atau pihak yang
dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/ berkewajiban membayar upah. Undang-undang
buruh menurut peraturan perundang-undangan Nomor 13 Tahun 2003 menentukan ada dua
yang berlaku. Berdasarkan pasal 89 ayat (3) yang kemungkinan, yaitu pengusaha atau pemberi
menentukan upah minimum kabupaten atau kota kerja. Sementara itu, mengenai istilah subjek
adalah gubernur. Setelah gubernur menetapkan penerima upah Undang-undang Nomor 13 Tahun
upah minimum kabupaten atau kota ada kemun- 2003 menggunakan istilah buruh atau pekerja.
gkinan pengusaha dan/atau buruh (mungkin juga Sedangkan Undang-undang Nomor 3 tahun 1992
serikat buruh) tidak puas atas ketetapan tersebut. menggunakan istilah tenaga kerja. Sesuai dengan
Menindaklanjuti ketidakpuasan tersebut, pengu- sistem hukum perburuhan yang hendak dibangun,
saha dan buruh atau serikat buruh mengadakan terutama dengan lahirnya Undang-undang Nomor
perundingan. Arahnya sudah jelas, pengusaha 13 Tahun 2003, pengertian upah menurut Undang-
akan berusaha mengurangi atau menurunkan undang Nomor 3 Tahun 1992 harus dipandang
besarnya upah, sedangkan buruh atau serikat tidak berlaku lagi, sebab di dalam dua undang-
buruh akan berusaha menambah atau menaikkan undang tersebut ada dua perbedaan pengertian
besarnya upah. Ada kemungkinan perundingan upah yang membawa konsekuensi yang berbeda.
tersebut menghasilkan perjanjian. Menghasilkan Hal-hal lebih lanjut mengenai upah akan
perjanjian inilah yang di dalam masyarakat sering dibahas di dalam sub tentang kewajiban pengu-
disebut sebagai menghasilkan kesepakatan. saha.
Sayangnya, pembentuk undang-undang secara
a.3. Perintah
lugas menggunakan kata kesepakatan tersebut di
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
dalam pasal 1 angka 30 dan juga pasal 91 ayat (1)
“perintah” adalah perkataan yang bermaksud
dan ayat (2). Perjanjian yang dihasilkan ini dapat
menyuruh melakukan sesuatu.9
merupakan perjanjian tersendiri antara pengu-
Baik Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
saha dengan buruh khusus mengenai upah, atau
maupun peraturan perundang-undangan sebe-
ditambahkan sebagai klausula tertentu di dalam
lumnya tidak memberikan batasan atau definisi
perjanjian kerja. Apa pun alasannya, perjanjian
mengenai perintah. Kejelasan makna ”perintah”
mengenai upah tersebut, besarnya upah tidak
sebagai salah satu unsur hubungan kerja menurut
boleh lebih rendah atau bertentangan dengan
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
peraturan perundang-undangan. Jika ketentuan ini
Ketenagakerjaan akan dicari dan ditemukan lewat
dilanggar, sanksinya adalah kebatalan (batal demi
penelitian ini.
hukum).
Sekedar untuk perbandingan pasal 1 angka b. Syarat Sah Perjanjian Kerja
5 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang
Perjanjian kerja sah apabila memenuhi
Jaminan Sosial Tenaga Kerja menegaskan bahwa
persyaratan sebagai berikut. Hal ini diatur di
upah adalah penerimaan sebagai imbalan dari
dalam pasal 52 ayat (1).
pengusaha kepada tenaga kerja untuk suatu
a. kesepakatan kedua belah pihak;
pekerjaan yang telah atau akan dilakukan, dinya-
b. kemampuan atau kecakapan melakukan
takan atau dinilai dalam bentuk uang ditetapkan
perbuatan hukum;
menurut suatu perjanjian atau peraturan perun-
c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
dang-undangan dan dibayarkan atas dasar suatu

9. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op. Cit., hlm. 672.


142 ARENA HUKUM Volume 6, Nomor 2, Agustus 2012, Halaman 79-154

d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak berten- saha, dengan B, buruh, tersebut bertentangan
tangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dengan undang-undang. Menurut pasal 52 ayat (3)
dan peraturan perundang-undangan. perjanjian tersebut batal demi hukum.
Di dalam kepustakaan, dua syarat pertama Sesuai dengan teori hukum, jika suatu
disebut syarat subjektif, sedangkan dua syarat perjanjian batal demi hukum, maka perjanjian
terakhir disebut syarat objektif. Tidak terpenuhinya tersebut tidak pernah ada.11 Hal ini juga sesuai
syarat subjektif berakibat dapat dibatalkannya dengan pasal 1335 BW. Pasal ini menegaskan:
perjanjian, sedangkan tidak terpenuhinya syarat “eene overeenkomst zonder oorzaak, of uit eene
objektif berakibat batal demi hukumnya perjan- valsche of ongeoorloofde oorzaak, aangegaan,
jian itu. Pasal 52 ayat (2) dan ayat (3) menegaskan is krachteloos” (suatu perjanjian tanpa sebab
hal ini. Di dalam kepustakaan hukum dikenal dua atau dibuat karena suatu sebab palsu atau terla-
istilah, yaitu (1) nietigheid, dan (2) vernietigbaar- rang, tidak mempunyai kekuatan). Jika tidak ada
heid. Kebatalan suatu nietigheid atau batal demi perjanjian, maka tidak ada akibat hukum apa pun.
hukum tidak perlu perbuatan hukum tertentu, Dengan demikian, jika suatu perjanjian kerja batal
sedangkan kebatalan suatu nietigbaarheid atau demi hukum, maka juga tidak ada akibat hukum
dapat dibatalkan perlu perbuatan hukum tertentu. apa pun, termasuk tidak ada status pengusaha
N.E. Algra menyebut nietigheid atau batal demi maupun buruh. Di samping itu, perjanjian kerja
hukum ini dengan kebatalan mutlak.10 yang batal demi hukum itu tidak melahirkan hak
Ada hal yang perlu dibahas berkaitan dengan apa pun, baik bagi pengusaha maupun buruh.
pasal 52 ayat (3). Pasal ini menegaskan bahwa Jika dikaitkan dengan asas hukum perburuhan,
perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yaitu memberikan perlindungan kepada buruh,
yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana maka kebatalan yang demikian itu tidak tepat.
dimaksud pada ayat (1) huruf c dan d batal demi Menurut saya jika ada klausula perjanjian kerja
hukum (cetak miring dari penulis). Pertanyaan yang bertentangan dengan undang-undang (berarti
yang diajukan adalah tentang sesuatu yang batal kausa tidak halal), maka tidak secara otomatis
demi hukum, yaitu apakah perjanjian kerja atau perjanjian kerja tersebut batal. Jika kebatalan
klausulanya (bagian dari perjanjian) saja. Pertan- tersebut merugikan buruh, misalnya mengurangi
yaan ini diajukan berdasarkan ilustrasi sebagai hak-hak buruh, atau bahkan meniadakan hak-hak
berikut. A, seorang pengusaha, membuat perjan- buruh, atau menambah beban kewajiban buruh,
jian kerja dengan B, seorang buruh. Salah satu sedangkan pengurangan atau peniadaan hak-hak
klausula dalam perjanjian kerja tersebut adalah buruh atau penambahan beban buruh itu berten-
bahwa waktu kerja untuk buruh 12 jam sehari. tangan dengan undang-undang, maka cukup klau-
Klausula ini bertentangan dengan pasal 77 ayat (2) sula yang bertentangan dengan undang-undang itu
juncto pasal 78 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 saja yang batal. Hal ini lebih konstruktif menurut
Tahun 2003. Pasal 77 ayat (2) menegaskan bahwa hukum daripada kebatalan perjanjian kerja.
waktu kerja meliputi: (a) 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari
dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk c. Sejarah Peraturan Hubungan Kerja
6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu, atau Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda
(b) 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat penduduk Indonesia (saat itu disebut Hindia
puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari Belanda) dibagi menjadi tiga golongan, yaitu
kerja dalam 1 (satu) minggu. Sedangkan pasal 78 (1) golongan Eropa, (2) golongan Timur Asing,
ayat (1) huruf b menegaskan bahwa waktu kerja dan (3) golongan Pribumi (Bumi Putra). Untuk
lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 masing-masing golongan penduduk tersebut
(tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) berlaku hukum perdata yang berlainan. Hukum
jam dalam 1 (satu) minggu. Berdasarkan dua pasal yang berlaku untuk masing-masing golongan
ini salah satu klausula perjanjian antara A, pengu- penduduk tersebut adalah sebagai berikut:

10. N.E. Algra, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia, Binacipta, Jakarta, 1983, hlm. 320.
11. Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hlm. 96.
Budiono, Salah Satu Unsur Hubungan Kerja Menurut... 143

1. Untuk golongan Eropa berlaku seluruh hukum (tentang penyewaan pembantu-pembantu rumah
perdata Barat; tangga dan pekerja-pekerja kasar). Selengkapnya
2. Untuk golongan Timur Asing Tionghoa pasal 1601 lama hingga pasal 1603 lama KUH
berlaku seluruh hukum perdata Barat; sedan- Perdata menegaskan sebagai berikut:
gkan untuk golongan Timur Asing bukan Pasal 1601 lama:
Tionghoa berlaku sebagian hukum perdata “Orang hanya dapat mengikatkan tenaganya
Barat; untuk suatu waktu atau untuk usaha tertentu”.
3. Untuk golongan Pribumi berlaku hukum Adat. Pasal 1602 lama:
Hal-hal yang diuraikan di atas didasarkan “Si tuan, jika diminta di bawah sumpah,
pada pasal 131 juncto pasal 163 Indische Staats- dipercaya keterangannya:
regeling.12 • mengenai besarnya upah yang diperjan-
Hukum yang mengatur hubungan kerja tidak jikan;
terlepas dari keadaan yang diuraikan di atas. Pada • mengenai pembayaran upah tahun yang
mulanya hubungan kerja untuk golongan Pribumi silam;
berlaku hukum adat atau kebiasaan, termasuk jika • mengenai jumlah uang muka salama tahun
golongan Pribumi bekerja pada golongan Eropa yang berjalan;
(hubungan kerja antar golongan). Keadaan ini • mengenai lamanya waktu perjanjian
tidak menguntungkan para pengusaha yang pada persewaan”.
umumnya golongan Eropa, sebab sewaktu-waktu Pasal 1603 lama:
buruh Pribumi tersebut dapat meninggalkan 1. “Pelayan dan tukang, jika mereka
pekerjaannya. Karena keadaan ini pada tahun disewa untuk waktu tertentu, tidak
1872 Pemerintah Hindia Belanda menerbitkan boleh meninggalkan pekerjaan mereka
aturan yang menambahi Algemene Politie Stra- tanpa alasan yang sah dan tidak boleh
freglement, sehingga buruh Pribumi yang mening- diusir dari pekerjaan mereka sebelum
galkan pekerjaannya diancam dengan pidana, waktu lamanya perjanjian itu berakhir;
yaitu dengan pidana denda antara Rp 16,- hingga 2. Namun si tuan berwenang mengusir
Rp 25,- atau hukuman kerja paksa selama 7 hingga mereka sewaktu-waktu tanpa menga-
12 hari. jukan alasan, tetapi dalam hal demikian
Ancaman pidana (poenale sanctie) pada ia wajib disamping upah yang telah
hubungan kerja tersebut dirasakan sangat tidak menjadi hak buruh, membayar sebagai
adil. Peraturan tersebut hanya menguntungkan ganti rugi upah selama enam minggu
salah satu pihak saja, yaitu pihak pengusaha, terhitung mulai mereka diusir dari
yang pada umumnya golongan Eropa. Karena pekerjaan mereka;
mendapat kritikan dan desakan, akhirnya ancaman 3. Jika persewaan itu diadakan untuk
pidana tersebut dicabut dengan Staatsblad tahun waktu kurang dari enam minggu atau
1879 nomor 203. Kemudian dengan Staatsblad akan berlangsung untuk waktu kurang
tahun 1879 nomor 256 pasal 1601 lama hingga dari enam minggu, mereka berhak atas
pasal 1603 lama KUH Perdata diberlakukan upah penuh”.
untuk golongan Pribumi. Dengan demikian, kalau Ada beberapa hal yang perlu dicatat dari
semula ada ancaman pidana bagi buruh Pribumi pasal-pasal tersebut, yaitu (1) buruh (dalam arti
yang meninggalkan pekerjaannya, maka setelah buruh kasar, yakni tukang dan pelayan) dianggap
berlakunya KUH Perdata tersebut untuk perbuatan sebagai sesuatu yang dapat disewakan, yang
yang sama hanya dapat dikenakan sanksi perdata, berarti disamakan dengan benda, (2) ada perlakuan
yaitu berupa ganti kerugian dengan cara menga- yang sangat diskriminatif, yakni keterangan
jukan gugatan perdata (civile actie). si tuan (pengusaha) dalam suatu perselisihan
Judul bagian V Bab VII lama KUH Perdata hubungan industrial dianggap benar begitu saja,
adalah: van Huur van dienstboden en werklieden tanpa mendengarkan keterangan dari pihak buruh.

12. Menurut Utrecht, pembagian hukum sipil di Indonesia dalam beberapa golongan hukum itu tidak diadakan karena paal 163 IS, tetapi
diadakan karena beberapa peraturan lain. Pasal tersebut hanya menyatakan siapakah yang tergolong dalam masing-masing golongan itu.
Lihat Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Penerbitan dan Balai Buku Indonesia, Jakarta, 1953, hlm. 79.
144 ARENA HUKUM Volume 6, Nomor 2, Agustus 2012, Halaman 79-154

Meskipun ada hal-hal yang demikian itu, menurut perdata Barat, (b) tunduk dengan sukarela kepada
Profesor Iman Soepomo, pasal-pasal tersebut sebagian hukum perdata Barat, (c) tunduk kepada
dapat dilihat kemanfaatannya, yaitu bahwa sejak hukum perdata Barat mengenai suatu perbuatan
tahun 1879 terdapat kesatuan hukum di bidang hukum tertentu, dan (d) dianggap tunduk kepada
hubungan kerja.13 hukum perdata Barat karena melakukan perbuatan
Pada tahun 1926 dengan Staatsblad tahun hukum tertentu.
1926 nomor 335, 377, 458 dan 570, pasal 1601 Sekarang, dengan berlakunya Undang-
lama hingga pasal 1603 lama diganti dengan pasal undang Nomor 13 Tahun 2003, pengaturan
1601 hingga pasal 1601 x, pasal 1602 hingga mengenai hubungan kerja ada di dalam undang-
pasal 1602 z, pasal 1603 hingga pasal 1603 z undang ini. Karena BW dan WvK tidak termasuk
(Bab VII A). Staatsblad tersebut mulai berlaku peraturan yang dinyatakan tidak berlaku, maka
pada tanggal 1 Januari 1927, tetapi, pasal 1601 dua peraturan tersebut masih berlaku sepanjang
baru hingga pasal 1603 baru tersebut tidak diber- sesuatu belum diatur dan tidak bertentangan
lakukan untuk golongan bukan Eropa. Tegasnya, dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003.
pasal-pasal tersebut hanya berlaku untuk golongan Dalam hal-hal yang terbatas, Undang-undang
Eropa. Bab VII A tersebut berlaku untuk buruh Nomor 13 Tahun 2003 merupakan lex specialis
golongan Pribumi hanya apabila buruh golongan derogat lex generalis terhadap BW dan WvK.
Pribumi tersebut bekerja pada majikan golongan
Eropa, dan melakukan pekerjaan yang biasanya d. Bentuk Perjanjian Kerja
dilakukan oleh buruh Eropa. Berlaku juga Bab
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
VII A tersebut bagi golongan Pribumi apabila ia
menegaskan bahwa perjanjian kerja dibuat secara
sebagai pengusaha dari buruh Eropa.14
tertulis atau lisan. Undang-undang memberikan
Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa
kebebasan kepada para pihak untuk menentukan
Bab VII A KUH Perdata berlaku untuk: bentuk perjanjian yang dikehendakinya, tetapi
1. Semua buruh Eropa, baik buruh rendahan sesungguhnya prinsip yang dianut adalah prinsip
maupun buruh atasan, baik yang bekerja pada tertulis. Perjanjian kerja kerja dalam bentuk lisan
pengusaha Eropa maupun yang bekerja pada dapat ditoleransi karena kondisi masyarakat yang
pengusaha Indonesia; beragam (lihat penjelasan pasal 51). Undang-
2. Buruh Indonesia atasan yang bekerja pada undang hanya menentukan bahwa (a) segala hal,
pengusaha Eropa dan NV (Naamloze dan/atau (b) segala biaya, yang diperlukan bagi
Vennotschap) atau PT (perseroan Terbatas); pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja dilaks-
3. Semua pengusaha Eropa dan pengusaha Indo- anakan oleh dan menjadi tanggung jawab pengu-
nesia yang mempekerjakan buruh Eropa; saha.
4. Semua pengusaha Eropa dan NV atau PT yang Aturan tentang kebebasan bentuk perjan-
mempekerjakan buruh Indonesia atasan; jian itu merupakan aturan umum. Pasal 51 ayat
5. Buruh Indonesia atasan dan pengusaha Indo- (2) menentukan bahwa perjanjian kerja yang
nesia Perusahaan Perkebunan yang terikat dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan
oleh Peraturan Perburuhan di Perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
Perkebunan (Anvullende Plantersregeling).15 yang berlaku. Pasal ini memberikan kemung-
Hal-hal yang diuraikan di atas erat kaitannya kinan bahwa untuk perjanjian kerja tertentu dapat
dengan perluasan berlakunya hukum perdata Barat, disyaratkan bentuk tertulis. Perjanjian kerja yang
yakni (1) menyatakan berlakunya hukum perdata dipersyaratkan dalam bentuk tertulis di antaranya
Barat kepada golongan Pribumi dan Timur Asing, adalah:
dan (2) membuka kesempatan kepada golongan 1. perjanjian kerja waktu tertentu (pasal 57 ayat
Pribumi dan Asia Timur Asing untuk dengan 1);
sukarela tunduk kepada hukum perdata Barat. 2. antarkerja antardaerah;
Hal yang disebutkan terakhir ini dapat berupa (a) 3. antarkerja antarnegara;
tunduk dengan sukarela kepada seluruh hukum 4. perjanjian kerja laut.

13. Iman Soepomo (II), Hukum Perburuhan bidang Hubungan Kerja, Jambatan, Jakarta, 1983, hlm. 28-29.
14. Ibid., hlm. 29.
15. Ibid., hlm. 30.
Budiono, Salah Satu Unsur Hubungan Kerja Menurut... 145

Diwajibkannya bentuk tertulis untuk yang dibebankan kepada majikan untuk mencatat
perjanjian kerja tertentu tersebut bertujuan tersebut tidak termasuk bentuk perjanjian kerja,
utama memberikan perlindungan kepada buruh. akan tetapi jika majikan tidak melaksanakannya,
Misalnya adalah yang ditegasakan di dalam pasal maka ia diancam pidana sebanyak-banyaknya Rp
399 ayat (1) WvK, yaitu “De arbeidsovereen- 100,00 (pasal 5).
komst tusschen den reeder en een arbeider, die Pembebanan kewajiban melakukan pencat-
als kapitein of scheepsofficier zal optreden moet atan mengenai beberapa hal tersebut dimaksudkan
op straffe van nietigheid, schriftelijk worden untuk kepentingan buruh, sebab dengan pencatatan
aangegaan” (Perjanjian kerja antara pengusaha tersebut segera dapat diketahui oleh pihak-pihak
dan seorang buruh, atas ancaman batal, harus tertentu, termasuk pemerintah, apakah majikan
dibuat secara tertulis). Keharusan bentuk tertulis melanggar peraturan perundang-undangan atau
dengan anacaman kebatalan ini merupakan aturan tidak.
khusus. Menurut pandangan saya aturan ini, berda- Jika perjanjian kerja dibuat sacara tertulis,
sarkan asas lex specialis derogat lex generalis, Pasal 54 ayat (1) mensyaratkan hal-hal minimal
masih tetap berlaku. Aturan khusus lainnya yang yang harus dicantumkan, yaitu:
juga masih berlaku adalah Aanvullende Planter- a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
sregeling (Peraturan di Perusahaan Perburuhan). b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat
Di dalam peraturan yang mulai berlaku 17 Januari pekerja/buruh;
1938 ini ditegaskan bahwa perjanjian kerja dengan c. jabatan atau jenis pekerjaan;
buruh harus diadakan dalam bentuk tertulis (pasal d. tempat pekerjaan;
3 ayat 1). Sementara itu di dalam pasal 15 ayat (1) e. besarnya upah dan cara pembayarannya;
ditegasakan bahwa pelanggaran (berarti membuat f. syarat-syarat kerja yang menurut hak dan
perjanjian kerja tidak tertulis) atasa pasal 3 ayat kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh.
(1) dipidana dengan pidana kurungan selama- g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian
lamanya dua bulan atau denda sebanyak-banya- kerja;
knya lima ratus rupiah. h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat;
Berdasarkan pasal 3 ayat (1) juncto pasal 15 dan
ayat (1) tersebut, meskipun ada keharusan untuk i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian
membuat perjanjian kerja dalam bentuk tertulis, kerja.
tetapi akte bukan merupakan unsur pembentuk. Hal-hal yang ditegaskan di dalam huruf e
Meskipun sama-sama ada keharusan bentuk dan f tersebut tidak boleh bertentangan dengan
tertentu untuk perjanjian kerja di laut dan perjan- peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama,
jian kerja di perusahaan perkebunan, yaitu bentuk dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
tertulis, ada perbedaan konsekuensi di antara Sekedar untuk perbandingan, BW pun tidak
keduanya. Jika tidak dibuat dalam bentuk tertulis, mensyaratkan bentuk tertulis untuk perjanjian
perjanjian kerja di laut dianggap batal (berarti kerja. Hal ini ditegaskan di dalam pasal 1601
dianggap tidak ada), sementara itu, perjanjian d, yaitu: “Wanneer eene arbeidsovereenkomst
kerja di perusahaan perkebunan tetap dianggap schriftelijk wordt aangegaan, zijn de kosten der
ada (dengan demikian berarti ada majikan dan akte en andere bijkomende onkosten ten laste van
buruh), hanya saja majikan diancam pidana. der werkgever” (Apabila perjanjian kerja dibuat
Berbeda dengan inti yang hendak ditunjuk tertulis, maka biaya akte dan lain-lain biaya,
oleh dua peraturan tersebut di atas adalah hal yang ditanggung oleh pengusaha). Secara a contrario,
diatur dalam Vrije Arbeidsregeling (Peraturan karena ada frase “apabila perjanjian kerja dibuat
tentang Mempekerjakan Buruh), Staatsblad tertulis, .....”, maka undang-undang memperbo-
nomor 540 tahun 1911 yang mulai berlaku 30 lehkan perjanjian kerja dibuat tidak tertulis atau
Oktober 1911. Pasal 1 ayat (1) peraturan tersebut lisan.
menegaskan bahwa majikan wajib mencatat
e. Makna “Perintah” sebagai Salah Satu
dalam daftar menurut contoh yang ditetapkan
Unsur Hubungan Kerja
oleh atau atas nama pemerintah, nama buruh yang
Perintah adalah salah satu elemen atau unsur
bekerja padanya dengan menyebutkan permu-
hubungan kerja. Hal ini ditegaskan di dalam
laan dan berakhirnya perjanjian kerja upah yang
pasal 1 angka 15 UK. Sebagai salah satu elemen
telah disetujui dan pinjaman buruh. Kewajiban
146 ARENA HUKUM Volume 6, Nomor 2, Agustus 2012, Halaman 79-154

pembentuk hubungan kerja, makna “perintah” Di dalam Harrap’s Essential English


amat penting. Untuk menemukan makna Dictionary ditegaskan bahwa command adalah
“perintah”dilakukan penelusuran yang diuraikan “Someone in authority commands you to do some-
berikut ini. thing when they order you to do it”.16 Menurut
Di dalam Burgerlijk Wetboek (selan- kamus Harrap’s ini elemen yang harus ada di dalam
jutnya disingkat BW) juga ditemukan istilah “command” atau “perintah” adalah “in authority”
“perintah”(terjemahan), yaitu di dalam pasal atau dalam kekuasaan atau kewenangan. Elemen
1601 a. Pasal 1601 a BW menegaskan, “persetu- “dalam kekuasaan” ini amat penting berkaitan
juan perburuhan adalah persetujuan dengan mana dengan melekatnya kewengan pada subjek hukum
pihak yang satu, si buruh, mengikatkan dirinya tertentu dan saat kekuasaan atau kewenangan itu
untuk di bawah perintahnhya pihak lain, si dijalankan. Pemegang kekuasaan memerintah
majikan, untuk sesuatu waktu tertentu, melakukan (pengusaha) memang dilekati kekuasaan, tetapi
pekerjaan dengan menerima upah”. Menurut BW pemegang kekuasaan tidak dapat setiap saat
“perintah” merupakan elemen persetujuan perbu- memerintah. Seorang pekerja yang sedang beristi-
ruhan atau perjanjian kerja. Di dalam BW pun rahat tidak bisa diperintah oleh pemegang kekua-
tidak dijelaskan tentang makna “perintah”. Namun saan memerintah. Beradanya kekuasaan dan saat
demikian kata “perintah” di dalam BW lebih jelas kekuasaan memrintah dilaksanakan merupakan
daripada makna “perintah” di dalam pasal 1 angka elemen penting perintah.
15 UK. Di dalam BW kata “perintah”merupakan Ada asas bahwa setiap perbuatan pasti
bagian frase “di bawah perintah untuk melakukan bermotif dan bertujuan. Perintah pengusaha terh-
pekerjaan”. Dengan demikian menurut BW kata adap pekerja harus bermotif. Artinya perintah itu
“perintah” harus ditautkan dengan dilakukannya harus mempunyai motif logis dan sesuai dengan
pekerjaan. Dengan pendekatan komparasi makna tujuan dilakukannya pekerjaan itu. Contoh berikut
“perintah”yang terkandung di dalam BW dapat ini benar-benar terjadi. Seorang direktur bank
ditarik semakna dengan makna “perintah” di memerintahkan seluruh pekerjanya untuk menolak
dalam pasal 1 angka 15. Dengan demikian salah permohonan kredit yang diajukan etnis tertentu.
satu elemen makna kata “perintah” di dalam pasal Perintah ini tidak bermotif dan tidak sesuai dengan
1 angka 15 adalah bahwa perintah harus ditautkan tujuan dilakukannya pekerjaan. Eelemen terakhir
dengan dilakukannya pekerjaan. “perintah” adalah pernyataan lisan atau tulisan,
Uraian di atas bisa dibenarkan dengan diper- langsung atau tidak langsung, subjek hukum
kuat ilustrasi berikut ini. Ada pekerja wanita. tertentu (pengusaha) terhadap pekerja.
Pekerja wanita ini diterima sebagai analis kredit Kesimpulan
di salah satu dealer sepeda motor. Setiap jam 10
pagi pekerja wanita tersebut diperintah (disuruh) “Perintah” sebagai salah satu unsur hubungan
menjemput anak pengusaha (menjemput dari kerja menurut Undang-undang Nomor 13
sekolah). Satu dua kali, perintah tersebut dilakukan Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bermakna
oleh pekerja wanita tersebut. Merasa tidak pernyataan lisan atau tulisan, langsung atau tidak
nyaman, perintah tersebut diabaikan oleh pekerja langsung, pengusaha terhadap pekerja dengan
wanita tersebut. Dalam perkara ini menjemput unsur (1) perintah itu perintah untuk melakukan
anak pengusaha tidak bertautan dengan melakukan pekerjaan, (2) perintah itu dalam lingkup hubungan
pekerjaan dalam suatu hubungan kerja. kerja, dan (3) perintah itu dilakukan dalam kekua-
saan atau kewenangan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku
A S Hornby, 1995, Oxford Advanced Learner’s Abdul Kadir Muhammad, 1992, Hukum Peri-
Dictionary, Oxford University Press, katan, Citra Aditya Bakti, Bandung.
London.

16. Harrap’s Essential English Dictionary, Chambers Harraps Published Ltd, Edinburgh, 1995, hlm. 184.
Budiono, Salah Satu Unsur Hubungan Kerja Menurut... 147

Anomim, 1995, Harrap’s Essential English Subekti dan Tjitrosudibio, 1970, Kitab Undang-
Dictionary, Chambers Harraps Published undang Hukum Perdata, Pradnya
Ltd, Edinburgh. Paramita, Jakarta.
Iman Soepomo (II), 1983, Hukum Perburuhan Utrecht, 1953, Pengantar dalam Hukum Indo-
bidang Hubungan Kerja, Jambatan, nesia, Penerbitan dan Balai Buku Indo-
Jakarta. nesia, Jakarta.
Iman Soepomo, 1983, Hukum Perburuhan
bidang Hubungan Kerja, Djambatan, Peraturan Perundang-undangan
Jakarta.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
N.E. Algra, 1983, Kamus Istilah Hukum
Ketenagakerjaan.
Fockema Andreae Belanda-Indonesia,
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Binacipta, Jakarta.
Penyesaian Perselisihan Hubungan Indus-
Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebu-
trial.
dayaan Republik Indonesia, 1990, Kamus
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang
Besar Bahasa Indonesia, Departemen
Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Pendidikan dan Kebudayaan dan Balai
Pustaka, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai