Anda di halaman 1dari 5

Nama : Gita Ayu Sarassanti

NIM : 1211620037
PENDEKATAN ESTETIKA

Estetika, sastra, seni dan budaya merupakan studi yang saling berkaitan dengan keindahan
dan pemaknaan, sehingga untuk mengkajinya diperlukan teori dan metode. Berikut ini, ada
beberapa konsep yang berkaitan dengan teori dan metode pengkajian tersebut.
A. Struktural-Semiotik
Struktur adalah bangunan abstrak yang terdiri atas sejumlah unsur yang berkaitan satu sama
lain untuk membentuk struktur tersebut. Gabungan unsur-unsur tersebut membentuk satu
kesatuan dari tiga ide dasar, yaitu :
1. Satu totalitas (kesatuan)
Dalam hal ini, strukturalisme hanya mementingkan objek yang menolak peranan-peranan
lain yang ada diluarnya. Sehingga dianggap anti-humanis.
2. Dapat bertransformasi (susunannya berubah-ubah)
Strukturalisme memiliki rumusan yang bervariasi, karena terdiri atas unsur-unsur yang
berjalin erat.
3. Dapat mengatur dirinya sendiri jika terjadi perubahan pada susunan antarkomponen
Dalam hal ini, pada strukturalisme terjadi konflik dan pertentangan. Yang mana setiap
unsur-unsur dan hubungan tersebut menyebabkan terjadinya pergeseran struktur yang
menghasilkan makna-makna baru.
Strukturalisme merupakan ilmu bahasa yang dirintis oleh Ferdinand de Saussure yang
memiliki konsep penanda atau pertanda. Di Slavia dengan kelompok Praha, analisis
struktural tersebut terus mengalami perkembangan yang akhirnya berubah nama menjadi
semiotik. Adanya kelemahan-kelemahan dalam analisis struktural seperti lunturnya kerangka
sosial budaya dan situasi sejarah, membuat kerangka semiotik hadir untuk melengkapi
kelemahan tersebut. Teori struktural semiotik merupakan penggabungan dua teori, teori
struktural dan teori semiotik. Struktural dan Semiotik tidak dapat dipisahkan, karena semiotik
merupakan perkembangan dari strukturalisme. Sama halnya dengan strukturalisme, semiotik
juga memiliki pengertian ilmu tentang tanda-tanda.
Pengertian tentang ilmu tanda-tanda tersebut dijelaskan oleh orang yang mengembangkan
strukturalisme atas dasar konsep semiotik, Jan Mukarovsky dan Felix Vodicka yaitu untuk
dapat memenuhi sepenuhnya seni(sastra) sebagai struktur perlu diberi tanda. Tanda tersebut
tidak akan memiliki makna tanpa peran serta pembaca dalam memberikan maknanya.
Semiotika bertujan untuk mengkaji bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana tanda-
tanda dalam menginterpretasikan makna sebuah karya sastra. Sehubungan dengan bentuk
komunikasi, karya sastra menggunakan ragam signifikasi. Dalam proses signifikasi sastra,
struktur bermakna terbentuk berdasarkan susunan bahasa. Sehingga bahasa sastra disebut
juga dengan makna (significance). Makna karya sastra cenderung ditentukan oleh kehadiran
atau peranan pembaca sebagai pemberi makna. Kegiatan pembacaan tersebut merupakan
bentuk interpretasi partisipasi pembaca dalam menciptakan makna. Menurut Riffaterre, tahap
pembacaan tersebut dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Heuritstik. Dalam pembacaan ini, pembaca diharapkan melakukan interpretasi dalam
menemukan meaning arti secara linguistik.
2. Hermeneutik. Dalam pembacaan ini, pembaca diharapkan membaca ulang disertai dengan
penafsiran.

B. Resepsi Sastra
Resepsi sastra berasal dari kata reciper(latin), reception(inggris) yang berarti penerimaan
pembaca atau estetika yang didasarkan pada tanggapan-tanggapan atau persepsi-persepsi
pembaca terhadap karya sastra. Sejak tahun 1970-an, resepsi sastra muncul sebagai teori
dominan yang hadir dengan bertujuan untuk :
a) Sebagai jalan keluar untuk mengatasi strukturalisme yang dianggap hanya berorientasi
pada unsur-unsur
b) Timbulnya kesadaran humanisme universal
c) Kesadaran bahwa nilai-nilai karya sastra dapat dikembangkan hanya melalui kompetensi
pembaca
d) Kesadaran bahwa keabadian nilai karya seni disebabkan oleh pembaca
e) Kesadaran bahwa makna terkandung dalam hubungan ambuguitas antara karya sastra
dengan pembaca (ratna, 2004:166)
Seorang pemikir romawi, Horatius dalam tulisannya berjudul Art Poetica mengemukakan
istilah dulce utile, yang artinya sastra mempunyai fungsi ganda, yakni menghibur sekaligus
bermanfaat bagi pembaca. Menghibur dengan cara menyajikan keindahan, memberikan
makna terhadap kehidupan atau memberikan pelepasan ke dunia imajinasi. Karya sastra juga
dapat dipakai sebagai sarana untuk menyampaikan pesan tentang kebenaran, tentang apa
yang baik dan buruk. Ada pesan yang tersirat dan adapula pesan yang tersurat
Estetika resepsi sastra adalah estetika (ilmu keindahan) yang didasarkan pada bagaimana
pembaca memberikan tanggapan terhadap karya sastra yang dibacanya, sehingga dapat
memberikan makna terhadap karya sastra. Untuk mengetahui tanggapan-tanggapan pembaca
dapat dilakukan dengan cara :
1. merekonstruksi bermacam-macam konkretisasi sebuah karya sastra dalam masa sejarahnya
2. meneliti hubungan diantara konkretisasi-konkretisasi itu disatu pihak dan di pihak lain
meneliti hubungan diantara karya sastra dengan konteks historis yang memiliki konkretisasi-
konkretisasi itu.
Dalam penelitian resepsi dibedakan menjadi dua bentuk yaitu :
a. resepsi secara sinkronik, ialah cara penelitian resepsi terhadap sebuah karya sastra dalam
satu masa atau periode. Yang diteliti adalah tanggapan-tanggapan satu periode.
b. Resepsi secara diakronik, ialah cara penelitian yang melibatkan sejarah dan menunjukkan
nilai seni sebuah karya sepanjang waktu yang telah dilaluinya.
Culler, mengembangkan kompetensi pembaca untuk menentukan keberhasilan pembacaan
yang didasarkan pada pemahaman terhadap konvensi yang berlaku di masyarakat yaitu :
1. Komponen bahasa
Bahasa sangat erat kaitannya dengan sebuah karya sastra, oleh karena itu pengarang
diharapkan untuk bisa mengubah bahasa sehari-hari menjadi bahasa yang memiliki makna.
Secara umum, bahasa sudah menjadi tanda yang memiliki arti sesuai dengan kesepakatan
pemakainya. Dengan demikian bahasa sastra juga memilki arti yang telah disepakati oleh
anggota masyarakatnya.
2. Konvensi Sastra
Konvensi sastra ini bersifat mengikat. Yang artinya pengarang membuat karya sastranya
dengan menyelaraskan dengan karya-karya yang sudah ada agar tidak keluar dari sistem
kesastraan yang berlaku pada zaman.
3. Konvensi Budaya
Yang artinya pengarang dalam membuat karyanya tanpa melepaskan pengaruh sistem
budaya masyarakatnya.

C. Feminisme
1. Sejarah
Feminisme muncul sebagai respon terhadap budaya patriaki yang menempatkan kaum
perempuan dibawah kaum laki-laki. Budaya patriaki ini menempatkan kaum laki-laki sebagai
sentral dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, sosial, politik dan budaya.
Sedangkan kaum perempuan dikaitkan dengan pola pikir yang melibatkan emosi dan
perasaan. Hal tersebut menyebabkan terciptanya sebuah hierarki bahwa kaum perempuan
adalah second class citizen, warga kelas dua.
Seperti yang dikutip Djajanegara, sejak awal abad ke-19, tahun 1848, ide tentang
kesetaraan gender mulai di suarakan. Pada tahun yang sama pula, diadakan konferensi
pertama perempuan di dunia Seneca Falls, New York yang membahas tentang isu-isu yang
menyangkut perempuan, seperti hak kepemilikan properti, hak perlindungan untuk wanita
pekerja, hak untuk memperoleh pendidikan dan bayaran yang sama dengan laki-laki.
Mendekati tahun 1940-an dan tahun 1950-an di Amerika, kaum wanita sudah mulai
mendapat kesempatan untuk mengambil bagaian dibidang pekerjaan seperti kaum laki-laki.
Hal tersebut menimbulkan peperangan antara kaum laki-laki dan perempuan. Dalam
perkembangan selanjutnya munculan gerakan feminis yang dapat dinikmati kaum wanita
Amerika menjelang akhir abad ke-19. Sesudah perang saudara, bermunculan universitas-
universitas khusus bagi kaum wanita.
2. Pembacaan Secara Perempuan
Dalam studi ini, perspektif berpusat pada perempuan. Konsep penting yang harus dipahami
dalam menkaji perempuan adalah Konsep seks dan konsep jender. Konsep seks merupakan
penyifatan secara biologis. Sedangkan konsep jender merupakan suatu sifat yang melekat
pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural. Feminis
dikaitkan dengan cara-cara memahami sebuah karya dengan menekankan wanita sebagai
pembacanya. Dengan demikian, perempuan diharuskan untuk mengerti mengenai peran
jender dan tidak mengacu pada aspek biologis saja. Konsep seks hanya berdasarkan sifat
secara biologis. Oleh karea itu, bisa saja laki-laki membaca sebagai perempuan dikarenakan
tidak adanya konstruksi sosial mengenai peran jender. Dasar pemikiran dalam studi ini,
adalah upaya pemahaman kedudukan dan peran perempuan dalam karya sastra. Berikut
merupakan fokus topik kajian mengenai pembacaan secara perempuan :
a.) Dalam kajian budaya, pengamatan terhadap bagaimana tokoh perempuan ditampilkan
penulis perempuan dan penulis laki-laki dalam teks merupakan kajian yang menimbulkan
pemikiran tentang relasi jender.
b.) Kedudukan dan peran tokoh perempuan yang tercermin dalam karya satra dan
hubungannya dengan relasi kuasa yang ada
c.) Memperhatikan faktor pembaca sastra, khususnya bagaimana tanggapan pembaca
terhadap kesadaran bahwa hak-hak kaum perempuan sama dengan kaum laki-laki.
3. Perkembangan Gerakan Feminis
Seiring dengan lahirnya gerakan feminis secara menyeluruh di Amerika dan Inggris, kaum
wanita kulit hitam pun terinspirasi untuk menunjukkan eksistensinya melawan rasisme
terhadap kaum kulit hitam. Dikarenakan kritik atas rasisme kulit hitam itu terus bermunculan,
akhirnya hal tersebut dimasukkan dalam agenda tulisan dan pemikiran para tokoh feminis.
Dalam rentang masa itu, bermunculan tokoh-tokoh feminis kulit hitam seperti, Eleanor
Holmes Nornton, Florynce Kennedy, Faith Ringgold, dan Alice Walker. Perkembangan
gerakan feminis selanjutnya mengalami hambatan, karena konsep patriaki sudah
mendominasi di setiap bidang bermasyarakat. Cara pandang masyarakat terhadap perempuan
cenderung ke arah yang subordinate seperti kurang inisiatif, tidak mampu bertindak dan
memiliki peran yang tidak begitu penting dalam masyarakat. Sedangkan kaum laki-laki yang
lebih dominan dan berkuasa dalam segala aspek dianggap sebagai panutan oleh masyarakat.
Pada saat gerakan feminis memasuki tahap kedua, sejak tahun 1960-an, pergerakan ini mulai
diterima secara normal dan menyeluruh. Hasilnya, pada tahun 1970-an dan 1980-an, kaum
wanita sudah banyak yang memiliki akses ke klub-klub olahraga, pendidikan di sekolah-
sekolah, sudah menentukan rencana dalam karir sendiri, walaupun belum sepenuhnya
diterima oleh masyarakat. Untuk masa sekarang, kita bisa melihat perjuangan kaum feminis
yang semakin meningkat di segala bidang, contohnya bidang teknik dan politik.
Dalam perkembangannya, ada gelombang-gelombang yang menitikberatkan pada
permasalahan tertentu, yaitu :
1. Feminis gelombang pertama. Menitikberatkan perjuangannya pada peningkatkan
pendidikan.
2. Feminis gelombang kedua. Menitikberatkan pada perempuan harus berani dalam
menyuarakan persoalan dan mengedepankan pengalamannya.
3. Feminis gelombang ketiga. Menitikberatkan pada pemikiran inklusif, menerima perbedaan
dan mencari solusi. Pemikiran ini dipengaruhi oleh masa postmodernisme.
4. Fase posfeminisme. Menekankan untuk melihat cara pandang laki-laki dan perempuan
memiliki hak yang sama. Dalam fase ini muncul feminisme kultural.
Fenimisme muktikultural berhubungan dengan pemahaman ideologi multikultural yaitu
suatu ideologi yang mendukung keberagaman. Fenimisme multikultural ini didasarkan pada
pandangan bahwa wanita tidak diciptakan secara setara, melainkan tergantung pada ras,
kelas, seks, usia, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan dan kondisi kesehatan.

D. HERMENEUTIK
Hermeneutik adalah teori interpretasi tentang makna. Secara etimologi, hermeneutik
berasal dari kata “hermeneuin” yang berarti menafsirkan atau seni memberikan makna.
Hermeneutik sudah ada sebelum semiotik, yakni sebagai seni penafsiran yang diterapkan
dalam filologi, teologi, dan yurisprudensi. Kemudian dikembangkan menjadi pendekatan
ilmiah yang dikenal dengan nama “hermeneutic modern”. Hermeneutik dapat memahami teks
secara diakronik yang artinya perspektif dalam sejarahnya. Hermeneutik dibedakan menjadi 3
bidang, yaitu :
a.) Teori hermeneutik, merupakan metode yang digunakan untuk interpetasi pada ilmu-ilmu
kemanusiaan
b.) Filsafat hermeneutik, memfokuskan pada status ontologis memahami diri sendiri.
c.) Hermeneutik kritis, merupakan teori interpretasi yang lebih menitikberatkan pada
pemahaman dan komunikasi yang berlangsung dalam interaksi kehidupan sehari-hari.
Menurut penggolongan hermeneutik dari Bleicher ini, Ricoeur ditempatkan sebagai tokoh
hermeneutik kritis.
Hermeneutik ricoeur berdasarkan interpretasi yang dikaitkan pada hubungan antara
kehidupan sebagai pembawa makna dengan akal budi sebagai kemampuan untuk mengaitkan
makna-makna tersebut menjadi sesuatu yang utuh dan terpadu. Selanjutnya Ricoeur juga
menggaris bawahi tentang konsep indirectly dan dialectically dalam proses pencarian
pemahaman. Artinya bahwa dengan seperangkat ekspresi simbolik yang berupa simbol dan
mitos, manusia dapat memahami dirinya.
Dalam proses panjangnya, simbol memegang peranan penting. Simbol diartikan sebagai
struktur yang signifikan yang mengacu pada sesuatu secara langsung dan mendasar dengan
makna literal dan ditambahkan lagi dengan makna yang lain, yakni makna yang mendalam
dan figuratif.

Anda mungkin juga menyukai