Anda di halaman 1dari 13

PENGEMBANGAN IDENTITAS BUDAYA

A. Identitas Ras/Etnik

Istilah Identitas (Identity) adalah sebuah konsep generik yang dapat


dihubungkan dengan disiplin-disiplin lain seperti filsafat, sosiologi,
antropologi, psikologi dll. Dikaitkan dengan konsep majemuk identitas etnik
(ethnic identity), istilah ini dapat diperiksa melalui asal-usul etimologisnya.
Istilah ethnic berasal dari kata Yunani dan Latin y.i. ethnikas dan ethnicus
yang kedua-duanya berarti bangsa (nation). Menurut sejarahnya pernah
digunakan untuk merujuk kepada orang-orang yang kepercayaannya masih
pagan (heathens). Ethos, dalam bahasa Yunani artinya adat-kebiasaan
(custom), watak (disposition) atau sifat (trait). Jadi jika digabung kata-kata
ethnikas dan ethos dapat berarti sekumpulan orang (nation) yang hidup
bersama yang mempunyai dan mengakui adat-istiadat yang sama.

Bagian kedua dari konsep itu, identitas (identity), berasal dari bahasa
Latin yang diambil dari kata identitas yang terbentuk dari kata idem yang
artinya sama (same). Simpson & Weiner sebagaimana dikutip oleh Trimble &
Dickson menjelaskan bahwa istilah itu digunakan untuk menyatakan gagasan
kesamaan, keserupaan, dan kesatuan. Lebih tepat lagi, identitas berarti,
kesamaan dari seseorang atau hal-hal sepanjang waktu dalam semua keadaan;
kondisi atau fakta bahwa seseorang atau hal adalah dirinya dan bukan yang
lain. (Simpson & Weiner, 1989: 620).

Dengan menggabungkan kedua definisi dan penafsiran-penafsiran dari


kata identitas dan etnisitas itu, dapat disimpulkan bahwa mereka mempunyai
arti, atau paling tidak mengimplikasikan, kesamaan dari sekelompok atau
bangsa yang mempunyai adat-istiadat, tradisi-tradisi, pengalaman-pengalaman
sejarah, dan dalam beberapa hal kediaman secara geografis sama. Pada level
pertama penafsiran gabungan definisi itu cukup untuk menangkap cara
identitas itu umumnya dikonsepsualisasikan dan digunakan untuk memahami
pengaruh-pengaruh etnokultural pada pembentukan dan perkembangannnya.
Pada level lain identitas hampir sinonim dengan etnisitas (ethnicity) (Trimble
& Dickson).

Di Indonesia, identitas etnik seseorang jelas jika ia berasal dari ibu dan
bapak etnik yang sama, berdiam di sebuah wilayah tertentu yang memang
turun-temuruan berdiam di situ, menggunakan bahasa daerah tertentu, berserta
segala atribut-atribut budaya yang memang diakui menjadi miliknya dan
diakui pula secara implisit atau eksplisit oleh etnik lain. Katakan, sebagai
contoh, etnik Madura, mereka berdiam di Madura, menggunakan bahasa
Madura. Ketika mereka pindah ke Jawa, misalnya ke Jember, mereka oleh
etnik Jawa diakui tetap diakui sebagai orang Madura, walaupun lambat-laun
setelah berbaur lama ia juga dapat berbahasa Jawa. Lain halnya kalau
kemudian keturunan-keturunannya menikah dengan etnik Jawa, kategori bagi
keturunannya menjadi lain.

Pendapat lain, menurut Yuet Cheung, yang merupakan kekhasan


identitas etnik adalah sebagai sebuah gagasan afiliatif (affiliative construct) di
manaseorang individu dipandang oleh mereka sendiri dan oleh orang lain
termasuk pada satu etnik atau kelompok kultural tertentu. Satu individu dapat
memilih untuk mengasosiasikan dirinya dengan satu kelompok terutama jika
ada pilihan lain (misalnya seseorang adalah dari etnik campuran atau
keturunan ras campuran). Afiliasi itu dapat dipengaruhi oleh faftor-faktor ras,
kelahiran, dan lambang (Cheung, 1993).

Dalam kawin campur antara dua etnik yang berbeda, anak-anak dari
keduanya akan memilih berafiliasi kepada etnik yang mana. Misalnya lelaki
etnik Bugis, menikah dengan perempuan etnik Sunda, bermukim di
Tasikmalaya, anak-anak mereka menjadi separuh Bugis-separuh Sunda.
Anak-anaknya bebas memilih berafiliasi ke mana, mungkin ke Sunda jika ia
masih tetap tinggal di Tasikmalaya atau di wilayah-wilayah geografis dikenal
sebagai tanah Pasundan. Tetapi umumnya anak-anak yang sudah menjadi
Indonesia ini jarang mempermasalahkan identitas etniknya lagi, kecuali untuk
mengurus KTP (Kartu Tanda Penduduk). Itu pun mereka bebas memilih, etnik
ayahnya, atau etnik ibunya.

Faktor-faktor rasial termasuk penggunaan ciri-ciri fisiognomik dan fisik,


faktor kelahiran merujuk tempat kelahiran atau asal dari individu-individu,
orang tua dan kerabatnya, dan faktor-faktor simbolik termasuk faftor-faktor
yang menjadi perlambang atau contoh dari satu kelompok etnik (misalnya,
hari-hari libur, makanan, pakaian, perkakas, dll). Cheung mendefinisikan
identifikasi diri sebagai keterikatan psikologis pada satu kelompok etnik atau
warisan dan oleh sebab itu konsepsinya berpusat pada persepsi-diri (Cheung,
1993: 1216).

Sosiolog Sawiti Suharso memasukkan dalam definisinya proses-proses


sosial termasuk seseorang dalam memilih teman-teman, memilih teman hidup
untuk masa akan datang, persepsi tentang kesempatan-hidup, dan reaksi-
reaksi yang lain dalam lingkungan sosial seseorang. Definisi Suharso ini
sejalan dengan definisi Fredrik Bart (1969) yang berpendapat bahwa identitas
etnik adalah salah satu cara untuk menciptakan batas-batas yang
memungkinkan satu kelompok membuat jarak mereka sendiri satu dengan
yang lain. (Sollars, 1996).

Psikolog Jean Phinney mengakui ketidaksamaan definisi-definisi


tentang identitas etnik membuat generalisasi dan perbandingan lintas kajian
sulit dan mendua. Oleh sebab itu menurutnya definisi itu merupakan konsep
psikologis, bahwa “identitas etnik adalah suatu konstruk dinamis,
multidimensional yang merujuk kepada identitas diri, atau ia merasa diri
sebagai anggota dari satu kelompok etnik tertentu. (Phinney, 2003: 63).
Menurut pandangannya seseorang mengklaim suatu identitas dalam konteks
satu sub-kelompok mempunyai kesamaan keturunan dan memiliki bersama
satu kebudayaan yang sama, ras, agama, bahasa, kekerabatan, atau tempat
asal-usul. Selanjutnya ia menambahkan bahwa identitas etnik bukanlah satu
yang sudah pasti (fixed) melainkan cair (fluid) dan pemahaman dinamis
tentang diri dan latar belakang etnik. Identitas diri itu dikonstruksi dan
dimodifikasi ketika individu-individumeyadari etnisitas mereka, dengan
setting sosiokultural yang luas. (Phinney, 2003: 63).

Pendapat Phinney ini sejalan dengan pendapat psikolog lintas-budaya


Peter Weinreich (1986) yang berpendapat bahwa identitas diri etnik bukan
suatu proses yang statis melainkan sesuatu yang dapat berubah dan beragam
menurut konteks-konteks sosial tertentu. Misalnya, individu-individu dapat
menghindari situasi-situasi di mana identitas mereka tertantang, terancam,
terhina, dan dihukum. (Weinreich & Saunderson, 2003). Misalnya seseorang
dari etnik A, ia berada di tengah-tengah etnik B yang tidak begitu simpati
pada etnik A, maka untuk menyelamatkan diri ia merahasiakan asal-usul
etniknya. Perlindungan ini tidak ada artinya jika ia menggunakan nama label
keluarga atau ketahuan dialek khas etnik A, misalnya. Etnik Cina, sulit
menyembunyikan diri jika matanya masih sipit. Atau sejumlah etnik-etnik di
Indonesia yang sulit menyembunyikan diri dari label-label namanya, atau dari
dialek bahasa daerah yang masih kental meskipun ia lancar sekali berbahasa
Indonesia.

Identitas etnik biasanya kontekstual dan situasional karena ia berasal


dari negosiasi-negosiasi sosial di mana sesorang menyatakan suatu identitas
etnikdan kemudian mendemonstrasikan diterima dan diakui oleh penilai-
penilai kelompok etnik kepada yang lain. Deklarasi atau pengakuan etnik
seseorang acapkali terbuka untuk diteliti cermat oleh yang lain-lain yang
dapat mendukung atau menolak pernyataannya itu.

Ini ada hubungannya dengan perkawinan antar-etnik di beberapa daerah


tertentu di Indonesia. Katakan, seorang pemuda dari etnik Jawa, misalnya mau
menikah dengan gadis dari salah satu etnik Batak. Si pemuda harus
menyatakan kesediaanya untuk menjadi salah satu anggota dari marga Batak
tertentu yang bukan marga si gadis setelah melalui seleksi dari penilai adat.
Seremoninya tentu saja dengan segala upacara adat yang dilazimkan,
sambutan dan pidato-pidato bahasa daerah. Setelah identitas etniknya jelas
dengan menggunakan nama marga, baru sermoni perkawinan dilaksanakan.
Upacara khusus ini adalah contoh utama etnik situasional atau identitas etnik
situasional. Biasanya perkawinan adat antar-etnik itu berlangsung jika jika
kedua belah pihak berasal dari orang-orang terpandang karena untuk
melaksanakan segala macam upacara biayanya juga cukup besar.

Pada tingkat individual atau level sosial orang dapat bersandar pada
nama-nama (labels) untuk menunjukkan afiliasi etnik mereka dan selanjutnya
identitas mereka. Nama-nama membantu mengklasifikasi dan penanda orang.
Jadi nama etnik mempunyai nilai dan fungsi sosial politik. (Trimble, 2000).

Di Indonesia nama-nama orang dapat ditentukan dari mana ia (mereka)


berasal dan acapkali memudahkan secara sosial ia (mereka) berintra-aksi,
terutama jika menyangkut lapangan kerja. Begitu juga dalam bidang politik
pada level nasional pun nama-nama dan identitas etnik seseorang juga
mempunyai pengaruh. Dalam pemilihan umum untuk mendapatkan suara,
misalnya, bagi calon kepala daerah dari tingkat pusat sampai tingkat lokal,
identitas etnik calon akan menjadi daya tarik bagi pemilih yang etniknya
sama, terutama dari pemilih akar rumput (grass roots).
B. Dimensi Pengembangan Identitas kelompok minoritas

Pengembangan identitas etnis atau pengembangan identitas ras-etnis


mencakup pembentukan identitas dalam kategorisasi diri individu dalam, dan
keterikatan psikologis dengan kelompok etnis. Identitas etnis dicirikan
sebagai bagian dari konsep diri dan identifikasi diri seseorang. Ini berbeda
dari pengembangan identitas kelompok etnis.

Dengan beberapa pengecualian, pengembangan identitas etnis dan ras


dikaitkan secara positif dengan hasil psikologis yang baik, hasil psikososial
(misalnya, kepercayaan diri yang lebih baik, gejala kurang depresi), hasil
akademik (misalnya, keterlibatan yang lebih baik di sekolah), dan hasil
kesehatan (misalnya, resiko perilaku seksual atau penggunaan narkoba yang
lebih beresiko).

Pengembangan identitas etnis dimulai selama masa remaja tetapi


digambarkan sebagai proses konstruksi identitas dari waktu ke waktu karena
kombinasi pengalaman dan tindakan individu dan termasuk memperoleh
pengetahuan dan pemahaman dalam kelompok, serta ras memiliki kelompok
etnis. Penting untuk dicatat bahwa mengingat sejarah yang sangat berbeda
dari berbagai keolmpok ras, khususnya di Amerika Serikat, bahwa
perkembangan identitas etnis dan ras terlihat sangat berbeda antara kelompok
yang berbeda, terutama ketika melihat minoritas (misalnya, orang Amerika
hitam) dibandingkan dengan mayoritas (misalnya, perbandingan kelompok
putih).

Identitas etnis kadang-kadang dipertukarkan dengan, dimiliki berbeda


dari, arau dianggap tumpeng tindih dengan identitas ras, budaya, dan bahkan
nasional. Ketidaksepakatan dalam perbedaan (atau ketiadaanya) antara
konsep-konsep ini dapat berasal dari ketidaksesuaian definisi ras dan etnis,
serta konseptualisasi historis model dan penelitian seputar identitas etnis dan
ras. Penelitian tentang pengembangan identitas rasial muncul dari pengalaman
Afrika Amerika selama gerakan hak-hak sipil, namun berkembang dari waktu
ke waktu untuk memasukan pengalaman kelompok ras lain. Konsep identitas
rasial sering disalahpahami dan dapat memiliki beberapa makna yang berasal
dari dimensi biologis dan dimensi social. Ras dipahami secara social berasal
dari fitur fisik individu, seperti warna kulit. Kontruksi social identitas rasial
dapat disebut sebagai rasa kelompok atau identitas kolektif berdasarkan
persepsi seseorang bahwa ia memiliki warisan yang sama dengan kelompok
ras tertentu. Identitas rasial adalah manifestasi tingkat permukaan yang
didasarkan pada apa yang tampak seperti orang namun memiliki implikasi
yang mendalam tentang bagaimana orang diperlakukan.

1. Konsep Minoritas

Kelompok minoritas menjadi entitas sosial yang tak dapat dinaikan


keberadaannya. Hampir di tiap negara, kehadiran minoritas jadi semacam
keniscayaan yang tak terbantahkan di tengah hegemoni kelompok
mayoritas. Keminoritasan jamak dimaknai karena keberbedaan dari yang
mayoritas atas dasar identitas, baik agama, bahasa, etnis, budaya atau
pilihan orientasi seksual. Jumlahnya pun biasanya tak banyak bila
dibandingkan dengan penduduk di suatu negara. Oleh karenanya, ia
berada pada posisi yang tidak dominan. Posisi yang subordinat ini
membuat hubungan solidaritas antar anggota amat kuat guna
mempertahankan identitas mereka. Lebih-lebih, entitas minoritas ini
acapkali mengalami segregasi. Pelabelan kelompok minoritas merupakan
imbas dari menguatnya politik identitas.

Graham C. Lincoln mendefinisi kelompok minoritas sebagai


kelompok yang dianggap oleh elit-elit sebagai berbeda dan/atau inferior
atas dasar karakteristik tertentu dan sebagai konsekuensi diperlakukan
secara negatif.12 Yap Thiam Hien mengatakan, minoritas tidak ditentukan
jumlah, tapi perlakuan yang menentukan status minoritas.13 Menurutnya
suatu jumlah besar bisa mempunyai status minoritas seperti halnya rakyat
Indonesia di zaman kolonial, dimana sejumlah kecil orang Belanda
mempunyai kedudukan ‘dominan’ grup.

2. Realitas Diskriminasi Terhadap Kelompok Minoritas

Perlakuan agresif terhadap kelompok minoritas ini diimbangi pula


dengan aksi diskriminasi kebijakan oleh negara. Aksi diskriminasi
terhadap agama atau keyakinan kelompok minoritas ini berimbas pada
tersumbatnya akses hak-hak sipil politik mereka. Human Rights Watch
mewawancarai Dewi Kanti, perempuan Sunda, penganut kepercayaan
lokal Sunda Wiwitan, yang menikahi pria Jawa beragama Katholik.
Petugas kantor catatan sipil menolak menerima pernikahannya karena
mereka tak mengakui agama si perempuan. Jika mereka punya anak, akta
lahir bayi takkan mencantumkan nama si ayah.21 Di samping itu orang-
orang dari ratusan keyakinan lokal lebih kecil seperti Kejawen (Jawa),
Wiwitan (Sunda), Kaharingan (Dayak), Parmalin (Batak), dan penganut
agama seperti Yahudi, Sikh dan Konghucu, dipaksa memilih salah satu
dari enam agama saat mereka mengajukan KTP.22 Individu yang enggan
mencantumkan keyakinan berisiko dicap “tak ber-Tuhan” oleh ulama atau
pejabat, bahkan ada kemungkinan dijadikan subyek pidana penodaan
agama.23 Sebagian data angka yang dibarengi dengan fakta tindak
diskriminasi terhadap kelompok minoritas terutama di Indonesia tersebut
di atas, menunjukkan bahwa minoritas, di wilayah tinggalnya, berada pada
kedudukan yang subordinat dan tertindas. Tertindas karena tak dapat
menjalankan ibadah menurut agama atau keyakinannya, tak punya tempat
ibadah karena gereja dan masjid disegel, jadi warga negara kelas dua yang
terombang-ambing tidak punya tempat tinggal karena diusir dari tanah
lahirnya, tak punya rasa aman karena dihantui ancaman-ancaman serta
aneka ragam bentuk penindasan lain yang meresahkan.

3. Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Kelompok Minoritas Di


Indonesia

Mengingat posisinya yang sensitif, ICCPR secara khusus mengatur


perlindungan bagi orang yang termasuk kelompok minoritas. Kekhususan
ini tercantum dalam Pasal 27, yang menyebutkan: Di negara-negara
dimana terdapat golongan minoritas berdasarkan etnis, agama atau bahasa,
orang-orang yang tergabung dalam kelompok-kelompok minoritas
tersebut tidak dapat diingkari haknya, dalam komunitas bersama anggota
lain dalam kelompoknya, untuk menikmati budaya sendiri, untuk
menjalankan dan mengamalkan agama mereka sendiri, atau untuk
menggunakan bahasa mereka sendiri.

Dalam General Comment Nomor 23, sebagaimana dinukil Patra M.


Zen, setidaknya dapat diketahui lingkup minoritas yang eksis dalam
sebuah negara (atau yurisdiksi teritorial dapat berbasiskan atas: 1) etnis; 2)
agama atau kepercayaan, dan; 3) minoritas dalam lingkup bahasa.38
Berlandaskan cakupan tersebut, negara memiliki kewajiban untuk
menjamin bahwa keberadaan dan pelaksanaan hak ini dilindungi dari
penyangkalan atau pelanggaran. Oleh karena itu dibutuhkan adanya
langkah-langkah perlindungan yang positif tidak hanya dari tindakan
negara itu sendiri, baik melalui kewenangan legislatif, yudisial maupun
administratif, tetapi juga dari tindakan orang-orang lain di dalam wilayah
negara yang bersangkutan.39 Penjabaran lebih khusus dan spesiϐik lagi
mengenai penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM serta
larangan diskriminasi terhadap kelompok minoritas dibeberkan dalam
sebuah dokumen tersendiri yakni, Deklarasi Mengenai Hak-Hak
Penduduk yang Termasuk Kelompok Minoritas berdasarkan
Kewarganegaraan, Etnis, Agama dan Bahasa yang disahkan dalam
Resolusi PBB nomor 47/135 pada 18 Desember 1992. Majelis Umum
PBB dalam pertimbangannya mengungkapkan, deklarasi ini dicetuskan
karena pemajuan dan perlindungan hak orang-orang yang termasuk dalam
bangsa atau suku bangsa, agama dan bahasa minoritas akan memberi
sumbangan pada stabilitas politik dan sosial dimana mereka tinggal.

Sementara terhadap perlindungan terhadap hak asasi kelompok


minoritas, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM memang
tidak terang menyinggungnya. Hanya disebutkan pada Pasal 5 ayat (3):
Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak
memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan
kekhususannya. Pada penjelasan pasal tersebut, yang dimaksud dengan
kelompok masyarakat rentan antara lain adalah orang lanjut usia, anak-
anak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang cacat. Kendati kelompok
minoritas tidak tercatat, namun dalam perkembangan wacana hukum hak
asasi manusia kelompok minoritas diakui sebagai kelompok utama subyek
hukum hak asasi manusia, bersama indigienous people dan refugees.
Berbagai perjanjian internasional hak asasi manusia, serta keputusan-
keputusan penting pengadilan, juga adanya mekanisme khusus dalam PBB
baik yang berupa komite, special rapporteur, working groups maupun
independent experts menguatkan keberadaan40 kelompok minoritas
sebagai subyek dalam hukum HAM.

C. Implikasi dalam Konseling

Keefektifan suatu konseling bergantung pada banyak faktor salah


satunya adalah hubungan satu sama lain, saling mengerti antara konselor dan
konseli. Hubungan keduanya akan sangat mudah dipahami jika berasal dari
latar belakang yang sama. Berbeda dengan konseli dan konselor dengan latar
belakang yang berbeda sehingga sangat penting bahwa konselor memahami
budaya mereka sendiri dalam rangka untuk bekerja dengan konseli tanpa
memaksakan nilai-nilai mereka, tidak menyinggung konseli, atauperilaku
nonverbal konseli yang salah diinterpretasikan. Untuk menghindari terjadinya
kesalahpahaman atau ketidakmengertian maka konselor harus memiliki
kesadaranakan perbedaan yang terjadi tersebut agar konseli dapat merasa
nyaman. Kesadaranakan perbedaan budaya yang dimiliki konselor dapat
membantu dan mendidik tidak hanya konselor namun juga konseli terkait
dengan budaya masing-masing. Sehingga hal tersebut dapat membantu
keduanya untuk bekerjasama dalam mengatasi masalah konseli atau dalam
lingkungan yang lebih kondusif bagi pertumbuhan konseli. Sehingga penting
bagi konselor memiliki karakteristik konseling dalam lintas budaya yang
membrikan arah dengan keberagaman budaya konseli sehingga proses
konseling dapat berjalan dengan efektif. (Nuzliah, 2016)

Terselenggaranya layanan konseling yang melibatkan seorang konselor


dan seorang/ sejumlah konseli bukan hanya untuk menunjukkan adanya
perbedaan dan keragaman, tapi lebih jauh dapat berdamai dengan kenyataan
tersebut sehingga layanan konseling berjalan sesuai rencana; konselor tidak
mengintervensi konseli berdasarkan nilai dan keyakinannya, dan konseli terus
dapat mengembangkan nilai dan keyakinannya ke arah yang positif. Latipun
(2008: 242) berpendapat bahwa aspek nilai dalam konseling merupakan hal
yang fundamental dan sehubungan dengan layanan konseling, maka konselor
perlu memiliki kematangan dan kemantapan pada nilai-nilainya sendiri untuk
diselaraskan dengan nilai-nilai para konselinya. (Mufrihah, 2014)

Beberapa karakteristik konselor yang dapat menjadikan konseling


multikultural menjadi efektif:
a. Mengenali nilai-nilai dan asumsi yang mereka pegang sebagai dasar
menilai perilaku manusia yang diinginkan atau tidak diinginkan

b. Menyadari karakteristik umum dari konseling

c. Dapat berbagi pandangan dengan konseli tanpa meniadakan hakhaknya

d. Dapat menerapkan metode konseling yang eklektik

e. Memiliki kesadaran dan kepekaan terhadap budaya yang dimiliki

f. Menyadari nilai-nilai dan bias yang dapat memengaruhi konseli yang


berbeda budaya dengan diri konselor

g. Merasa tidak terganggu dengan perbedaan dirinya dengan konseli yang


berkaitan dengan ras dan kepercayaan

h. Menguasai informasi dan pengetahuan spesifik tentang kelompok tertentu


yang bekerja sama dengan diri konselor

i. Mampu menghasilkan tanggapan verbal dan non-verbal yang luas

j. Mampu mengeirimkan dan menerima pesan baik secara verbal maupun


non-verbal secara wajar dan teliti.
DAFTAR PUSTAKA

Mufrihah, A. (2014). Implikasi prinsip bimbingan dan konseling terhadap kompetensi


multikultural konselor. 7, 73–86.
Nuzliah. (2016). Counseling Multikultural. 2(July), 201–214.

http://www.uky.edu/Classes/FAM/357/fam544/ethnic_identity.htm

http://en.wikipedia.org/wiki/Ethnic_group
http://www.ac.wwu.edu/~trimble/ethnicity_identity.htm

Hikmat Budiman, 2005, “Minoritas, Multikulturalisme, Modernitas”, dalam Hikmat


Budiman, ed., Hak Minoritas Dilema Multikulturalisme Di Indonesia, Jakarta
Selatan: The Interseksi Foundation/Yayasan Interseksi.

Rhona K.M. Smith, et.al., 2008, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: Pusham
UII.

Adnan Buyung Nasution dan A. Patra M. Zen, 2006, “Instrumen Internasional Pokok
Hak Asasi Manusia”, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai