Anda di halaman 1dari 3

Nama : Mugi Lestari

No : 23

Kelas : Xl Pemasaran 3

Cerpen

Saat itu

Saat itu, sebelum bapak mempunyai motor, kami sering disuruh meminjam becak milik Pakde.
Sekitar seperempat jam sebelum azan Magrib, kami sekeluarga bersiap-siap untuk jalan-jalan melihat
suasana kota. Kami bertujuh salat Magrib di Masjid Agung. Bapak mengayuh becak dengan santai. Ibu,
sambil memangku adik, sesekali bercerita kepada kami tentang masa lalu bersama teman-temannya di
sekolah dasar.

Setelah salat Magrib, kami duduk santai di serambi masjid sambil melihat lalu lalang para
pendatang. Mereka yang datang dari luar kota singgah untuk salat. Ibu membawakan makanan buat
adik. Saya berdua menyuapi si kembar. Sedangkan Kak Jani dan Kak Jane, mereka membantu bapak para
wisatawan yang merasa kelelahan setelah berjalan. Sambil jalan-jalan kami mengais rezeki yang sangat
halal. Sekitar pukul delapan kami pulang. Bapak mengantongi 50.000 dari keterampilan memijatnya. Kak
jani dan Kak Jane biasanya juga sudah memperoleh upah sendiri. Keterampilan mereka diperoleh saat
melihat bapak memijit para pasiennya. Bapak juga punya banyak buku akupuntur yang dibelinya dari
shoping di batas kota. Dengan biaya 5.000 untuk membeli buku-buku bekas terbitan Cina itu bapak
dapat membeli sepetak tanah. Setelah sampai rumah sekitar pukul delapan lebih, bapak mengantar
becak milik Pakde Syam. Uang 50.000 itu tidak hanya untuk ibu namun juga untuk Pakde Syam yang
punya becak. Bapak juga tidak lupa membelikan Simbah yang tinggal serumah dengan Pakde Syam
wedhang ronde dan nasi goreng.

Saat itu kami sangat bahagia. Walaupun bapak tidak mempunyai pekerjaan tetap sebagai
pegawai, kami tak pernah kekurangan. Rezeki yang diberikan Sang Maha Kuasa serasa sudah sangat
cukup. Ibu juga tidak pernah merasa kurang dengan nafkah yang bapak berikan. Bahkan ibu sangat
pandai mengatur keuangan keluarga. Walaupun semua pekerjaan rumah dikerjakan dengan tangan,
tanpa ada bantuan mesin, ibu tetap semangat. Ibu mengerjakan semua pekerjaan rumah dengan
sempurna.

Secara fisik, ibu dan ayah sama sekali tidak memiliki kemiripan. Walaupun kata orang, suami istri
itu biasanya punya sedikit banyak kemiripan. Namun tidak pada kedua orang tua saya. Wajah ibu seperti
orang Cina. Rambutnya lurus dan wajahnya, oriental. Ibu tinggi semampai. Perawakannya juga tidak
seperti ibu-ibu pada umumnya. Ibu, masih sangat slim. Namun dari sekian banyak anak-anaknya tak
seorang pun yang mirip ibu. Kak Jani sampai dengan Sadewa, semua mirip bapak. Termasuk saya. Kata
orang- orang saya adalah fotokopian bapak. Wajah dan kulit saya persis bapak. Kulit yang hitam dan
rambut yang hampir keriting. Namun saya dan keempat saudara saya tak pernah bermasalah dengan
perbedaan fisik itu. Kami berlima sangat bersyukur memiliki ibu yang mirip orang Cina dan bapak yang
mirip dengan orang Afrika. Ibu sangat menyayangi bapak. Begitupun Bapak. Mereka berdua saling
mencintai. Kami sangat bahagia dengan kasih sayang mereka.

Di sela-sela kesibukan mengerjakan pekerjaan rumah tangga, ibu membantu Dokter Dianne
mengurus rumah besarnya. Ibu diberi tugas untuk menyapu, mengepel, mencuci dan menyetrika. Jika
semua pekerjaan itu sudah selesai, biasanya Dokter Dianne memberi tugas ekstra untuk membersihkan
dan menata ruang perpustakaan pribadi keluarganya. Menata buku dan merapikan buku-buku itu pada
tempatnya.

Saat saya masuk sekolah menengah pertama, ibu sudah mulai bekerja di rumah sakit. Tidak
sebagai perawat atau tenaga medis lainnya namun ibu bertugas sebagai ahli akuntan. Ibu bekerja
dengan baik. Belum genap satu tahun, ibu sudah menjadi pegawai tetap rumah sakit swasta terbesar di
kota Surabaya milik keluarga dokter Dianne.

Ibu masih tetap seperti dulu. Walaupun sibuk dengan pekerjaan di kantor, ibu masih
menyempatkan membagi cerita-ceritanya kepada kami. Kami juga masih sering salat Mahrib dan Isya di
Masjid Agung. Namun, bapak sudah tidak lagi mencari pasien pijit. Kak Jani dan Kak Jane juga sudah
tidak lagi membantu ayah memijit. Kami sudah duduk dibangku SMP. Kak Jane dan kak Jani satu kelas
dan Sadewa dan Nakula satu kelas. Mereka berempat adalah saudara kembar. Sedangkan saya anak
ketiga, dilahirkan sendiri tanpa kembaran.

Semua orang mungkin tidak akan pernah percaya jika ibu mempunyai kelebihan dalam hitung-
menghitung. Di samping ibu hanya lulusan SMP, ibu juga tak pernah kelihatan berinteraksi dengan tulis
menulis. Apalagi yang berhubungan dengan angka-angka. Selama ini para tetangga hanya melihat
bahwa ibu adalah ibu rumah tangga biasa dan tidak mempunyai keahlian lain.

Saat itu, ibu pernah bercerita bahwa keahlian hitung- menghitung, ia peroleh dari buku-buku
dokter Dianne. Sambil menata dan merapikan buku-buku itu ibu juga membaca. Setidaknya satu jam ibu
membaca berbagai aliran ilmu-ilmu akuntansi. Perpustakaan pribadi keluarga dokter Dianne itu, kata ibu
penuh dengan ilmu. Itu bukan hanya gudang buku namun juga gudang uang jika kita bisa
memanfaatkannya."Uang? Maksudnya, Ibu sering menemukan uang saat menyapu perpustakaan itu?"
tanya Nakula saat itu. "Ya bukan, kalau nemu uang ya harus ibu kembalikan ke dokter Dianne," jawab
ibu sambil mengelus-elus rambut keritingnya. "Maksudnya, buku-buku itu banyak ilmu dan nilainya
seperti uang kan Bu?" jawab Kak Jane. "Cerdas kamu Jane. Ibu bangga dengan caramu menalar.""Aku
juga tadi berpikirnya seperti itu Bu.." kata Sadewa. "Kan juara kelas Bu, jadi ya pantas kalau pintar
menalar."

Ibu melanjutkan cerita-ceritanya. Walaupun kami sudah besar kami masih senang menunggu
cerita-cerita inspiratif yang dibawakan ibu menjelang tidur. Sambil mendengarkan ceritanya, kami
biasanya sesekali melihat bintang-bintang yang bertaburan di langit. Langit semakin kelihatan luas dan
indah saat bintang-bintang itu berkelap-kelip. Kami selalu menghabiskan waktu dengan tidur-tiduran di
beranda rumah.
Saat ibu bekerja sebagai ahli akuntan, bapak sama sekali tidak bekerja. Keahlian bapak hanya
memijit. Namun, setelah tangan kanan bapak sakit, lumpuh layu dan otal tak dapat berfungsi, Ibu
menjadi tulang punggung keluarga kami. Rumah kami saat itu masih mengontrak. Walaupun bapak
sudah membeli sepetak tanah di belakang pekarangan dokter Dianne namun bapak belum mampu
membangunnya.

Setelah ibu bekerja, perekonomian mulai membaik. Ibu juga sudah mulai membeli material
untuk membangun. Namun karena bapak masih sering berobat ke rumah sakit, tabungan ibu masih
belum cukup untuk mewujudkan rumah impian. Prestasi kerja ibu bagus. Keluarga dokter Dianne
memberi tawaran karier yang menggiurkan. Ibu diberi kesempatan untuk mengajar. Awalnya ibu
menolak namun karena yayasan pendidikan tersebut membutuhkan staf pengajar, ibu tak dapat
mengelak. Bapak juga memberikan dukungan moral yang memuaskan. Bapak mendukung ibu berkarier
di dunia pendidikan. Ibu tidak hanya penyelamat ekonomi keluarga namun juga penyemangat dan
sumber inspirasi hidup kami berlima.

Anda mungkin juga menyukai