Anda di halaman 1dari 11

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 HASIL
Karakteristik Fisik
NO Sampel Karakteristik fisik
Sebelum dimasak Sesudah dimasak
Warna Tekstur Aroma Warna Tekstur Aroma
1 Daging Merah ++ Empuk Khas + Coklat Alot --- Khas +
top side + ++ + pucat + ++
(1) ++
2 Daging Merah Alot - Khas + Coklat Alot Khas +
sengkel kecoklatan + pucat + ---- ++
(1) -
3 Daging Merah + Empuk Busuk Coklat Alot - Khas +
sirloin + - pucat +
(1)
4 Daging Merah ++ Empuk Khas + Coklat Alot - Khas +
top side ++ +++ +++ pucat + ++
(2) ++
5 Daging Merah + Alot - Khas + Pucat - Alot - Khas +
sengkel +++ ++
(2)
6 Daging Merah ++ Empuk Busuk Pucat - Alot - Khas +
sirloin + ++++ -
(2)
7 Daging Merah - Empuk Khas + Putih + Empuk Khas +
ayam + ++ +++ ++++ +
paha
8 Daging Merah - Alot - Khas + Putih + Empuk Khas +
ayam +++ +++ ++++ ++
dada

WHC (Water Holding Capacity)


Volume air yang terserap ( mL )
WHC ( % )= ×100 %
Berat daging ( g )

NO Sampel Water Holding Capacity


Berat Volume Volume Volume WHC
daging air awal air akhir air yang (%)
atau (mL) (mL) terserap
unggas (mL)
(g)
1 Daging 5 5 4 1 20
top side
(1)
2 Daging 5 5 5 0 0
sengkel(1)
3 Daging 5 5 4,2 0,8 16
sirloin (1)
4 Daging 5 5 4,2 0,8 16
top side
(2)
5 Daging 5 5 3,4 1,6 32
sengkel
(2)
6 Daging 5 5 3,3 1,7 34
sirloin (2)
7 Daging 5 5 4,2 0,8 16
ayam
paha
8 Daging 5 5 4,6 0,4 8
dada
ayam
fillet

Uji Kesegaran
NO Sampel Uji Kesegaran
Uji Eber Uji Postma Uji H 2 S Uji Ph
1 Daging top 33 menit Terjadi 34 menit, 5,45
side (1) perubahan tidak ada
kertas perubahan
lakmus
merah
menjadi
biru
2 Daging 22 menit Terjadi 30 menit, 5,84
sengkel (1) perubahan tidak ada
kertas perubahan
lakmus
merah
menjadi
biru
3 Daging 15 menit Terjadi 34 menit, 5,75
sirloin (1) perubahan tidak ada
kertas perubahan
lakmus
merah
menjadi
biru
4 Daging top 15 menit 3 Terjadi 34 menit, 5,45
side (2) detik perubahan tidak ada
kertas perubahan
lakmus
merah
menjadi
biru
5 Daging 37 menit Terjadi 34 menit, 5,67
sengkel (2) perubahan tidak ada
kertas perubahan
lakmus
merah
menjadi
biru
6 Daging 24 menit 9 Terjadi 34 menit, 5,83
sirloin (2) detik perubahan tidak ada
kertas perubahan
lakmus
merah
menjadi
biru
7 Daging 27 menit Terjadi 34 menit, 6,22
ayam paha perubahan tidak ada
kertas perubahan
lakmus
merah
menjadi
biru
8 Daging 18 menit Terjadi 34 menit, 5,86
dada ayam perubahan tidak ada
fillet kertas perubahan
lakmus
merah
menjadi
biru

4.2 PEMBAHASAN
Pengamatan Karakteristik Fisik Daging dan Unggas
Pada kali ini dilakukan pengamatan karakterisktik fisik pada sampel
daging dan unggas, pengamatan ini dilakukan secara subjektif terhadap warna,
tekstur dan aroma sampel daging dan unggas sebelum dimasak serta warna,
tekstur dan aroma sampel daging dan unggas setelah dimasak. Terdapat enam
sampel daging yaitu daging top side 1, daging sengkel 1, daging sirloin 1, daging
top side 2, daging sengkel 2, dan daging sirloin 2, sedangkan pada sampel unggas
yaitu daging ayam paha dan daging ayam dada fillet.
Untuk pengamatan warna sebelum dimasak keenam sampel daging
memperoleh hasil yang berbeda-beda yaitu daging top side 1 merah +++, daging
sengkel 1 merah kecoklatan, daging sirloin 1 merah +, daging top side 2 merah ++
++, daging sengkel 2 merah +, dan daging sirloin 2 merah +++. Warna merah
pada daging ini terjadi karenakan adanya kandungan mioglobin pada daging yang
merupakan pigmen utama warna pada daging itu sendiri, perbedaan kadar
mioglobin inilah yang akan menyebabkan perbedaan intensitas warna daging.
Diantara keenam sampel daging, sampel daging top side 2 memiliki warna paling
merah diantara enam sampel yang lainnya.
Untuk pengamatan tekstur sebelum dimasak keenam sampel daging
memperoleh hasil yang berbeda-beda yaitu daging top side 1 empuk ++, daging
sengkel 1 alot -, daging sirloin 1 empuk +, daging top side 2 empuk +++, daging
sengkel 2 alot ---, dan pada daging sirloin 2 empuk ++++. Di antara keenam
sampel daging, daging sirloin 2 mempunyai tekstur paling empuk sedangkan
daging sengkel 2 mempunyai tekstur paling alot. Faktor yang mempengaruhi
keempukan daging ada hubungannya dengan komposisi daging itu sendiri, yaitu
berupa tenunan pengikat, serabut daging, sel-sel lemak yang ada diantara serabut
daging serta rigor mortis daging yang terjadi setelah ternak dipotong. Faktor yang
mempengaruhi keempukan daging digolongkan menjadi faktor antemortem
(sebelum pemotongan) seperti genetik (termasuk bangsa, spesies, dan status
fisiologi), umur, manajemen, jenis kelamin, serta stres, dan faktor postmortem
(setelah pemotongan) yang meliputi metode chilling, refrigerasi,
pelayuan/pemasakan (aging), pembekuan (termasuk lama dan temperatur
penyimpanan), dan metode pengolahan (termasuk metode pemasakan dan
penambahan bahan pengempuk).
Pada sampel unggas, daging ayam paha memiliki warna merah muda
sebelum dimasak. Warna merah muda ini juga memengaruhi tekstur daging ayam
paha karena daging ayam paha berwarna merah muda memiliki serabut otot yang
halus dan banyak mengandung myoglobin, lemak, Fe, Na, Cu, Zn, mitokondria
dan enzim respirasi yang berhubungan dengan aktivitas otot yang tinggi dan
kandungan glikogen yang rendah. Sedangkan pada daging ayam dada fillet
memiliki serabut otot yang kasar dan mengandung sedikit myoglobin,
mitokondria dan enzim respirasi yang berhubungan dengan aktivitas otot yang
singkat dan cepat dengan frekuensi istirahat yang lebih kerap serta mengandung
glikogen, protein terlarut dan jaringan ikat yang tinggi, ini menyebabkan daging
ayam dada fillet memiliki tekstur lebih alot dibandingkan daging ayam paha
sebelum dimasak.
Selanjutnya masing-masing sampel daging dan unggas dipotong menjadi
10 gram dan dimasak dengan perebusan selama 15 menit untuk di amati kembali
warna, tekstur dan aromanya.
Pada masing-masing sampel daging dan unggas mengalami perubahan
warna setelah mengalami pemasakan. Karena ketika daging segar dimasak,
myoglobin akan teroksidasi membentuk metmyoglobin dan setelah denaturasi
protein terjadi akan terbentuk warna daging selanjutnya yang disebut
metmiokromogen. Senyawa ini bertanggungjawab dalam pembentukan warna
coklat ketika daging di awetkan atau dimasak (Tarladgis, 1962).
Pada daging, keenam sampel mengalami perubahan warna setalah
mengalami perebusan. Daging top side 1 mengalami perubahan warna menjadi
coklat pucat ++, daging sengkel 1 berubah menjadi coklat pucat +, daging sirloin
1 berubah menjadi coklat pucat +, daging top side 2 berubah menjadi coklat pucat
+++, daging sengkel 2 berubah menjadi pucat -, daging sirloin 2 berubah menjadi
pucat -. Sama halnya dengan daging sampel unggas mengalami perubahan warna,
sampel daging ayam paha mengalami perubahan warna menjadi putih ++++ dan
pada sampel daging dada ayam fillet mengalami perubahan warna menjadi putih +
+++.
Proses perebusan pada masing-masing sampel daging dan unggas juga
memengaruhi tekstur dari sampel daging dan unggas. Daging dan unggas yang
telah mengalami perebusan atau pemanasan akan mengalami perubahan struktur
protein karena terdenaturasi pada suhu tinggi dan hal ini akan berpengaruh pada
tingkat keempukan daging.
Pada daging, keenam sampel mengalami perubahan tekstur setelah melalui
proses perebusan. Daging top side 1 mengalami perubahan tekstur menjadi alot -,
daging sengkel 1 empuk ++++, daging sirloin 1 alot -, daging top side 2 alot -,
daging sengkel 2 alot -, daging sirloin 2 alot -. Sama halnya dengan daging,
sampel unggas juga mengalami perubahan tekstur, sampel daging ayam paha
mengalami perubahan tekstur menjadi empuk ++++ dan pada daging dada ayam
fillet mengalami perubahan tekstur menjadi empuk ++++.

Aroma khas pada masing-masing sampel daging dan unggas menunjukkan


bahwa masing-masing sampel memiliki tingkat kesegaran yang baik. Terkecuali
pada sampel daging sirloin 1 dan daging sirloin 2 yang mempunyai aroma busuk –
ketika daging belum mengalami proses pemasakan. Daging yang mengalami
pembusukan akan berbau busuk, bau busuk yang terdapat pada daging merupakan
pengaruh dari aktivitas enzim lipositik triasilgliserol, asam lemak tak jenuh
teroksidasi dan menghasilkan bau tengik serta produk degradasi protein yang
terdapat dalam jaringan lemak (Julitha et al., 2015).

Pengamatan WHC (Water Holding Capacity) Daging dan Unggas


WHC (Water Holding Capacity) atau daya menahan air menunjukan
kemampuan masing-masing sampel daging dan unggas untuk mengikat oksigen
bebas. Pada dasarnya pengukuran WHC dapat dilakukan melalui dua cara yaitu
dengan metode kertas saring dan metode sentrifus. Pada percobaan kali ini
dilakukan dengan percobaan sentrifus untuk mengukur % WHC. Langkah
pertama dilakukan pemotongan sampel daging unggas seberat 10 gram dan di
cacah halus, kemudian dimasukkan kedalam tabung sentrifus 50 mL, setelah itu
masukkan akuades 10 mL, lalu tabung ditutup kemudian dikocok dan di inkubasi
selama semalam pada suhu 0℃ , setelah itu tabung disentrifus dengan kecepatan
3000 rpm selama 20 menit, setelah itu cairan dipisahkan dari campuran dan
diukur volumenya.
Dari hasil percobaan diperoleh hasil bahwa sampel daging top side 1
memiliki 20% WHC, daging sengkel 1 memiliki 0% WHC, daging sirloin 1
memiliki 16% WHC, daging top side 2 memiliki 16% WHC, daging sengkel 2
memiliki 32% WHC, dan daging sirloin 2 memiliki 34% WHC. Sedangkan pada
sampel unggas, ayam paha memiliki 16% WHC dan sampel daging dada ayam
fillet memiliki 8% WHC.
Perhitungan
Volume air yang terserap (mL)
WHC ( % )= ×100 %
Berat unggas(g)
1mL
Daging top side 1 = × 100 %
5 gram
= 20%
0 mL
Daging sengkel 1 = × 100 %
5 gram
= 0%
0 , 8 mL
Daging sirloin 1 = × 100 %
5 gram
= 16%
0 , 8 mL
Daging top side 2 = × 100 %
5 gram
= 16%
1, 6 mL
Daging sengkel 2 = ×100 %
5 gram
= 32%
1, 7 mL
Daging sirloin 2 = ×100 %
5 gram
= 34%
0 , 8 mL
Daging ayam paha = × 100 %
5 gram
= 16%
0 , 4 mL
Daging dada ayam fillet = ×100 %
5 gram
= 8%
Pada daging, daging sirloin 2 mempunyai %WHC lebih tinggi
dibandingkan sampel daging lainnya yaitu sebesar 20%. Sedangkan pada unggas,
daging ayam paha memiliki % WHC lebih besar dibandingkan daging dada ayam
fillet yaitu sebesar 16%.

Pengamatan Uji Kesegaran Daging dan Unggas


Uji kesegaran unggas dilakukan dengan tiga cara yaitu dengan Uji eber,
Uji postma, Uji H 2S dan Uji pH secara obyektif kualitatif.
1. Uji eber
Uji eber dilakukan dengan tujuan pemeriksaan awal pembusukan. Jika
terjadi pembusukan, maka pada uji ini ditandai dengan pengeluaran asap di
dinding tabung, dimana rantai asam amino akan terputus oleh asam kuat (HCl)
sehingga akan terbentuk NH4Cl (gas). Semakin cepat sampel mengeluarkan gas
maka semakin dekat pula sampel mendekati pembusukan.
Pada daging, daging top side 1 mengeluarkan gas setelah 35 menit, daging
sengkel 1 mengeluarkan gas setelah 22 menit, daging sirloin 1 mengeluarkan gas
setelah 15 menit, daging top side 2 mengeluarkan gas setelah 15 menit 3 detik,
daging sengkel 2 mengeluarkan gas setelah 37 menit, dan daging sirloin 2
mengeluarkan gas setelah 24 menit 9 detik. Pada keenam sampel daging, daging
sengkel 2 mengeluarkan gas lebih lambat dibandingkan sampel yang lainnya, ini
menunjukkan bahwa tingkat kesegaran daging sengkel 2 lebih baik dibandingkan
tingkat kesegaran sampel daging yang lainnya.
Pada unggas, daging dada ayam fillet lebih cepat mengeluarkan gas
dibanding daging ayam paha. Daging ayam paha mengeluarkan gas setelah 27
menit. Sedangkan daging dada ayam fillet mengeluarkan gas setelah 18 menit. Ini
menunjukkan bahwa tingkat kesegaran daging ayam paha lebih baik dibandingkan
tingkat kesegaran daging dada ayam fillet.
2. Uji Postma
Pada pengujian postma semua sampel dari daging dan unggas
menghasilkan hasil akhir yang sama yaitu terjadinya perubahan warna kertas
lakmus merah menjadi biru. Perubahan kertas lakmus merah menjadi biru
menunjukkan bahwa kedua sampel memiliki sifat basa. Perubahan yang terjadi
pada kertas lakmus tersebut terjadi karena gas N H 3 semakin terakumulasi dalam
cawan petri dan mereaksikan perubahan warna pada kertas lakmus (Lawrie,
2003). Adanya gas N H 3 juga menunjukkan sampel mulai membusuk.
3. Uji H 2S

Uji H 2S dilakukan dengan cara pengirisan sampel sebesar kacang tanah


dan letakkan sampel ke dalam cawan petri, kemudian cawan petri ditutupi dengan
kertas saring, lalu teteskan larutan Pb-asetat ke permukaan atas kertas saring tepat
diatas potongan sampel, langkah terakhir amati perubahan warna pada kertas
saring, jika terjadi perubahan warna coklat pada bekas tetesan Pb-asetat, maka
menunjukkan adanya gas H 2S yang berarti bahan mulai membusuk.

Namun hasil akhir pada uji H 2S menunjukkan hasil 34 menit dan tidak ada
perubahan. Kemungkinan, ada dua faktor yang membuat uji H 2S gagal yaitu
kualitas Pb-asetat yang tidak bagus atau terdapat kekurangan bahan pada sampel.
4. Uji pH
Uji pH dilakukan dengan memakai sampel sebanyak 100 gram dan di
hancurkan dengan menggunakan mortal porselin, lalu sampel di pindahkan ke
dalam bearker glass dan ditambahkan akuades sebanyak 100 mL, lalu sampel
dibagi ke dalam tiga bagian, uji masing-masing ujian sampel menggunakan pH
meter kemudian rata-ratakan nilainya.
pH yang rendah (5,1 - 6,1) dapat menyebabkan daging mempunyai
struktur terbuka untuk pengasinan dengan warna muda cerah dan memiliki
stabilitas yang lebih baik terhadap kerusakan mikroorganisme, sedangkan pH
tinggi (6,2 – 7,2) menyebabkan daging mempunyai struktur tertutup atau padat
dengan warna merah ungu tua, rasa kurang enak dan memungkinkan untuk
perkembangan mikroorganisme.
Pada daging, daging top side 1 memiliki nilai pH rata-rata sebesar 5,44,
daging sengkel 1 memiliki nilai pH rata-rata 5,84, daging sirloin memiliki nilai
pH rata-rata 5,75, daging top side 2 memiliki nilai pH rata-rata 5,45, daging
sengkel 2 memiliki nilai pH rata-rata 5,67, dan pada daging sirloin 2 memiliki
nilai pH rata-rata 5,83. Sedangkan pada unggas, daging ayam paha memiliki nilai
pH rata-rata 6,22 dan pada daging dada ayam fillet nilai pH rata-ratanya adalah
5,86.
Pada sampel daging, daging sengkel 1 memiliki nilai pH rata-rata paling
besar diantara keenam sampel lainnya yaitu sebesar 5,84 namun pH ini masih
termasuk kedalam pH yang rendah. Sedangkan pada sampel unggas, nilai pH rata-
rata daging ayam paha memiliki nilai paling besar yaitu 6,22 dan termasuk
kedalam golongan pH yang tinggi.
BAB V
PENUTUP
5.1 SIMPULAN
Pengamatan karakteristik fisik daging dan unggas bisa dilakukan dengan
cara mengamati warna, tekstur, dan aroma sebelum dan sesudah dimasak secara
subjektif. Pada pengamatan warna daging sirloin 2 mempunyai warna lebih cerah
dibandingkan sampel daging lainnya, sedangkan pada unggas warna kedua sampel
yaitu daging ayam paha dan daging dada ayam fillet sama cerahnya. Pada
pengamatan tekstur daging sirloin 2 mempunyai tekstur paling empuk diantara
sampel daging lainnya, sedangkan pada unggas daging paha ayam mempunyai
tekstur lebih empuk dibandingkan dengan daging dada ayam fillet. Pada
pengamatan aroma hanya sampel daging sirloin 1 dan daging sirloin 2 yang
mengeluarkan aroma busuk sampel yang lain mengeluarkan aroma khas. Setelah
mengalami proses perebusan semua sampel mengalami perubahan pada warna dan
teksturnya, pada aroma kecuali sampel daging sirloin 1 dan daging sirloin 2
aromanya tetap yaitu aroma khas.
Uji kesegaran unggas dilakukan dengan tiga cara yaitu dengan Uji eber,
Uji postma, Uji H 2S dan Uji pH secara obyektif kualitatif. Pada uji eber keenam
sampel daging, daging sengkel 2 mengeluarkan gas lebih lambat dibandingkan
sampel yang lainnya, ini menunjukkan bahwa tingkat kesegaran daging sengkel 2
lebih baik dibandingkan tingkat kesegaran sampel daging yang lainnya. Pada
unggas, daging dada ayam fillet lebih cepat mengeluarkan gas dibanding daging
ayam paha. Pada uji postma semua sampel dari daging dan unggas menghasilkan
hasil akhir yang sama yaitu terjadinya perubahan warna kertas lakmus merah
menjadi biru. Pada uji H 2S semua sampel menunjukkan hasil 34 menit dan tidak
ada perubahan. Kemungkinan, ada dua faktor yang membuat uji H 2S gagal yaitu
kualitas Pb-asetat yang tidak bagus atau terdapat kekurangan bahan pada sampel.
Pada uji pH sampel daging, daging sengkel 1 memiliki nilai pH rata-rata paling
besar diantara keenam sampel lainnya yaitu sebesar 5,84 namun pH ini masih
termasuk kedalam pH yang rendah. Sedangkan pada sampel unggas, nilai pH rata-
rata daging ayam paha memiliki nilai paling besar yaitu 6,22 dan termasuk
kedalam golongan pH yang tinggi

5.2 SARAN
Sebaiknya laboran harus teliti dalam pengerjaan praktikum yang dilakukan agar
hasil yang di dapatkan maksimal.
DAFTAR PUSTAKA

Anita Wilatika Pratama, I. S. (2019). PERBEDAAN PENURUNAN NILAI a*, b* dan L* PADA
DAGING AYAM BROILER (Gallus domesticus) AKIBAT OZONASI DAN PEREBUSAN.
Program Studi Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Industri Pertanian,
Universitas Padjajaran.

Freshinta Jellia Wibisono, D. M. (2014). PENGUJIAN KUALITAS DAGING SAPI DAN


DAGING AYAM DI PASAR DUKUH KUPANG BARAT KOTA SURABAYA.
Departemen Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.ss

Hapsari, A. T. (2013). PENGARUH PERENDAMAN EKSTRAK DAUN JATI MUDA (Tectona


grandis Linn. f.) METODE MICROWAVE ASSISSTED EXTRACTION TERHADAP
KADAR MINERAL ZAT BESI (fe2+) DAGING SAPI HAS DALAM. Program Studi Ilmu
Gizi, Universitas Brawijaya.

Joko Hermanto, M. N. (2014). Pengetahuan Bahan Daging dan Unggas.

Novialda Nitiyacassari, B. K. (2021). Label Pintar untuk Pemonitoran Kesegaran Daging


Ayam pada Kemasan. Fakultas Farmasi Universitas Jember.

Soeparno. (1992). Teknologi Pengawasan Daging. Fakultas Teknologi Pertanian Bogor,


Bogor.
Reisha Anggieta (2202309)

Anda mungkin juga menyukai