Anda di halaman 1dari 14

Makalah

Tugas Kelompok
Mata Kuliah : Ushul Fiqh
Dosen : La Ode Muhammad Arafat S.Sos,I, M.pd

DALIL SYARA’ YANG DISEPAKATI


[AL QUR’AN, AS SUNAH, IJMA’ DAN QIYAS]

Oleh
Kelompok 4

❖ WA NURI
❖ INTAN AULIA

PROGRAM STUDI PENDIDIDKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM [STAI] SYARIF MUHAMMAD RAHA
TAHUN AJARAN 2023/2024

i
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Alhamdulillah puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah swt. Yang telah
memberikan banyak nikmat kepada kita semua sehingga kita masih bisa menjalankakn aktifitas
sebagai mana biasanya, khususnya kepada penyusun dalam menyelesaikan makalah ini tak
lepas dari rahmat dan kasih sayang Allah swt.. Makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas
ushul fiqhi shalawat dan salam semoga terkirim kepada rasulullah Muhammad saw. Yang telah
memperjuangkan agama hingga sampai pada kita sekarang ini.
Selanjutnya ucapan terima kasih kepada dosen pembimbing mata kuliah kami, bapak
La ode Muhammad Arafat, S.sos.I,M.Pd yang telah memberikan ilmunya sehingga
mempermudah kami dalam penyusunan makalah ini yang berjudul, ‘DALIL SYARA’ YANG
DISEPAKATI’. Dan dalam penyusunan makalah ini kami menyadari masih banyak
kekurangan baik dari segi materi maupun dalam penulisannya, oleh karena itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang mebangun untuk perbaikan makalah ini.
Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................... .................... .... ..... .......................................... i


DAFTAR ISI.......................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................ 1
A. Latar belakang....................................................................................................................... 1
B. Rumusan masalah.................................................................................................................. 1
C. Tujuan.................................................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................... 2
A. Al – quran menjadi dalil syara’ yang disepakati .............. ................................................ 2
B. Hadits menjadi dalil syara’ yang disepakati.......................................................................... 4
C. Ijma’ menjadi dalil syara’ yang disepakati.............................................................................7
D. Qiyas menjadi dalil syara’ yang disepakati............................................................................8
BAB III PENUTUP................................................................................................................. 11
A. Kesimpulan .........................................................................................................................11
B. Saran....................................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................. 12

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dalil-dalil hukum syara’ Islam merupakan sumber hukum syara’ Islam. Oleh karena itu,
dalil-dalil hukum syara’ merupakan hal mendasar (ushul) yang mana sumber tersebut harus
digali dari ketetapan yang qath'i (pasti), bukan sesuatu yang bersifat dugaan (dzanni). Dalil-
dalil hukum syara’ merupakan hal yang mendasar (ushul), sebab menjadi dasar dalam
penetapan hukum syara’ Islam. Apabila dasar suatu hukum salah, maka seluruh hukum-hukum
cabang yang dihasilkan menjadi salah pula. Oleh sebab itu dalil-dalil hukum syara Islam harus
pasti dan tidak boleh berupa persangkaan ataupun dugaan belaka. Allah berfirman dalam Surat
Yunus ayat 36 : "Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka.
Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran". Demikian
juga dalam surat Al Isra’ ayat 36, Allah SWT berfirman : “Dan kamu janganlah mengikuti apa
yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan, dan hati semuanya itu akan diminta pertanggung jawaban”.
Ushul fiqh adalah dasar yang dipakai oleh pemikiran manusia untuk membentuk hukum
yang mengatur kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat. Perkataan dasar yang
dipergunakan dalam perumusan ini bukanlah dasar dalam pengertian benda seperti dasar (kain
untuk baju) misalnya. Akan tetapi dasarilah bahan-bahan yang dipergunakan oleh pikiran
manusia untuk membuat hukum fiqh yang menjadi dasaranya, ialah : al – qur’an, sunah nabi
Muhammad SAW. (hadits), ra’yu atau akal. seperti qiyas dan ijmak adalah alat yang digunakan
oleh pikiran manusia untuk membentuk hukum tersebut, akan tetapi dalam perkembangan
kemudian, hasil dari pemikiran rasio (akal) berupa qiyas dan ijmak diakui sebagai dasar ke-3
dan ke-4, dalam membentuk hukum diatas tersebut.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Kenapa al-qur’an menjadi dalil syara’ yang disepakati ?


2. Kenapa hadits menjadi dalil syara’ yang disepakati ?
3. Kenapa ijma’ menjadi dalil syara’ yang disepakati ?
4. Kenapa qiyas menjadi dalil syara’ yang disepakati ?

C. TUJUAN

1. Untuk mengetahui penjelasan al-qur’an.


2. Untuk mengetahui penjelasan hadits.
3. Untuk mengetahui penjelasan ijma’.
4. Untuk mengetahui penjelasan qiyas.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Al-Quran Menjadi Dalil Syara’ Yang Disepakati

1. Pengertian Al-quran

Menurut sebagian besar ulama, kata Al-quran dalam perspektif etimologis merupakan
bentuk mashdar dari kata qara’a, yang bisa dimasukkan pada wazan fu’lan, yang berarti bacaan
atau apa yang tertulis padanya. Sebagai contoh firman Allah SWT QS. Al-Qiyamah berikut :
ۚ ٗ‫علَ ْينَا َج ْمعَهٗ َوقُ ْر ٰانَهٗ ۚ فَ ِا َذا قَ َرأْ ٰنهُ فَاتَّبِ ْع قُ ْر ٰانَه‬
َ ‫ا َِّن‬
Artinya: “Sesungguhnya kami yang akan mengumpulkan (di dadamu) dan membacakannya).
Apabila kami telah selesai membacakannya maka ikutilah” (QS. Al-Qiyamah : 17-18).
Dalam aspek bahasa, lafaz qur’an memiliki arti “mengumpulkan dan menghimpun huruf-huruf
dan kata-kata satu dengan yang lain dalam suatu ucapan yang tersusun rapih”. Sedangkan
menurut Ali bin Muhammad Al-Jurjani, pengertian Al-quran ialah: kitab yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad saw. yang ditulis dalam mushaf yang diriwayatkan sampai kepada
kita dengan jalan yang mutawatir, tanpa ada keraguan.
Al-quran merupakan kitab suci agama Islam dan umat Islam memercayai bahwa Al-
quran merupakan puncak dan penutup wahyu Allah swt. yang diperuntukkan bagi manusia,
yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. melalui perantaraan Malaikat Jibril. Dengan
demikian maka dapat disimpulkan bahwa Alquran ialah wahyu berupa kalamullah yang
diamanatkan kepada malaikat Jibril, disampaikan kepada Nabi Muhammad saw., isinya tak
dapat ditandingi oleh siapapun dan diturunkan secara bertahap, lalu disampaikan kepada
umatnya dengan jalan mutawatir dan dimushafkan serta membacanya dihukumkan sebagai
suatu ibadah.

2. Kedudukan Al-quran sebagai Sumber Hukum

Al-quran berfungsi sebagai hakim atau wasit yang mengatur jalannya kehidupan
manusia agar berjalan lurus. Itulah sebabnya ketika umat Islam berselisih dalam segala urusan
hendaknya ia berhakim kepada Al-quran. Al-quran lebih lanjut memerankan fungsi sebagai
pengontrol dan pengoreksi tehadap perjalanan hidup manusia di masa lalu. Misalnya kaum Bani
Israil yang telah dikoreksi oleh Allah swt. Di samping itu Al-quran juga mampu memecahkan
problem-problem kemanusiaan dari berbagai aspek kehidupan, baik rohani, jasmani, sosial,
ekonomi maupun politik dengan pemecahan yang bijaksana, karena ia diturunkan oleh Allah
swt.
Pada setiap problem itu Alquran meletakkan sentuhannya yang mujarab dengan dasar-
dasar yang umum yang dapat dijadikan landasan untuk langkah-langkah manusia dan yang
sesuai pula dengan zaman. Dengan demikian, Al-quran selalu memperoleh kelayakannya di
setiap waktu dan tempat, karena Islam adalah agama yang abadi. Alangkah menariknya apa
yang dikatakan oleh seorang pakar bahwa Islam adalah suatu sistem yang lengkap, ia dapat
mengatasi segala gejala kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air atau pemerintah dan bangsa.
2
Ia adalah moral dan potensi atau rahmat dan keadilan. Ia adalah undang-undang atau ilmu dan
keputusan. Ia adalah materi dan kekayaan atau pendapatan dan kesejahteraan. Ia adalah jihad
dan dakwah atau tentara dan ide. Begitu pula ia adalah akidah yang benar dan ibadah yang sah.

3. Hukum-Hukum Dalam Al-Qur’an

Hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-quran itu ada 3 macam, yaitu:


Pertama, hukum-hukum i’tiqadiyah, yakni, hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban
para mukallaf untuk beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-
rasulNya dan hari pembalasan.
Kedua, hukum-hukum akhlak; yakni, tingkah laku yang berhubungan dengan kewajiban
mukallaf untuk menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan dirinya dan
sifat-sifat yang tercela.
Ketiga, hukum-hukum amaliah; yakni, yang berkaitan dengan perkataan, perbuatan, akad dan
muamalah (interaksi) antar sesama manusia. Kategori yang ketiga inilah yang disebut fiqh Al-
quran dan itulah yang hendak dicapai oleh Ilmu ushul fiqh.
Hukum-hukum amaliah di dalam Alquran itu terdiri atas dua macam, yakni:
1) Hukum ibadat; seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lain sebagainya. Hukum-hukum ini
diciptakan dengan tujuan untuk mengatur hubungan hamba dengan Tuhan.
2) Hukum-hukum muamalat; seperti segala macam hukum perikatan, transaksi-transaksi
kebendaan, jinayat dan ‘uqubat (hukum pidana dan sanksi-sanksinya). Hukum-hukum
muamalah ini diciptakan dengan tujuan untuk mengatur hubungan antar sesame manusia, baik
sebagai perseorangan maupun sebagai anggota masyarakat. Hukum-hukum selain ibadat
menurut syarak disebut dengan hukum mu’amalat.
Hasil kajian para ulama tentang ayat-ayat Al-quran yang berhubungan dengan hukum-
hukum menunjukkan bahwa hukum-hukum Al-quran yang berkaitan dengan ibadat dan ahwal
alsyakhshiyah sudah terperinci. Kebanyakan dari hukum-hukum ini bersifat ta’abudi (ibadat)
sehingga tidak banyak memberikan kesempatan fuqaha untuk menginterpretasikannya dan
hukum ini bersifat permanen, tetap, tidak dapat berubah-ubah lantaran perubahan suasana dan
lingkungan. Adapun selain hukum-hukum ibadat dan ahwal alsyakhshiyah, seperti hukum
perdata, pidana, perundang-undangan internasional, ekonomi dan keuangan (iqtishadiyah wa
al-maliyah), maka dalil-dalil hukumnya merupakan ketentuan yang umum atau masih
merupakan dasar-dasar yang asasi. Sedikit sekali yang sudah terperinci. Hal itu disebabkan
karena hukum-hukum tersebut berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
kemaslahatan yang sangat dihajatkan.
Dalam hal ini Alquran hanya memberi ketentuan-ketentuan umum dan dasar-dasar yang
bersifat pokok saja agar penguasa setiap saat mempunyai kebebasan dalam menciptakan
perundangundangan dan melaksanakannya sesuai dengan kemaslahatan yang secara riil
memang dibutuhkan, asal tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dan ruh syari’at
Islam.

3
B. Hadist menjadi dalil syara’ yang disepakati

1. pengertian hadist

Hadist menurut bahasa ُ‫ ْال َجدِيد‬baru, ‫ ْال َخبَ ُر‬kabar/berita Hadist secara istilah:
ً‫صفة‬ ً ‫ْف إِلَى النَّبِي ِ صلى هللا عليه وسلم قَ ْوالً ْأو فِ ْعالً أو ت َ ْق ِر‬
ِ ‫يرا ْأو‬ ِ ُ ‫َما أ‬
َ ‫ضي‬
Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan,
persetujuan, ataupun sifat beliau. Hadist sebagai sumber hukum kedua setelah Al- Quran.
Keberadaan hadis, menjadi pelengkap dan menyempurnakan supaya umat tidak salah paham
dalam memaknai setiap ayat atau ajaran agama.
Seluruh umat Islam telah sepakat dan berpendapat serta mengakui bahwa sabda,
perbuatan dan persetujua Rasulullah Muhammad SAW tersebut adalah sumber hukum Islam
yang kedua sesudah Al Quran. Banyak ayat-ayat di dalam Al Quran yang memerintahkan untuk
mentaati Rasulullah SAW seperti firman Allah SWT dalam Q.S Ali Imran ayat 32:
َ‫ّٰللا ََل ي ُِحبُّ ْال ٰك ِف ِريْن‬
َ ‫س ْو َل ۚ فَا ِْن ت ََولَّ ْوا فَا َِّن ه‬
ُ ‫الر‬ َ ‫قُ ْل اَ ِط ْيعُوا ه‬
َّ ‫ّٰللا َو‬
Artinya: Katakanlah (Muhammad), "Taatilah Allah dan Rasul. Jika kamu berpaling,
ketahuilah bahwa Allah tidak menyukai orang-orang kafir."
Al Hadits sebagai sumber hukum yang kedua berfungsi sebagai penguat, sebagai pemberi
keterangan, sebagai pentakhshis keumuman, dan membuat hukum baru yang ketentuannya
tidak ada di dalam Al Quran. Hukum-hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah Muhammad
SAW ada kalanya atas petunjuk (ilham) dari Allah SWT, dan adakalanya berasal dari ijtihad.

2. Kedudukan Hadits

Al quran memerintahkan kaum muslimim untuk menaati Rasulullah seperti dalam ayat:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul (Nya) dan ulil amri diantara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(Alquran) dan Rasul (Sunnahnya). Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa: 59)
Selain ayat tersebut ada juga ayat yang menjelaskan bahwa pada diri Rasulullah terdapat
keteladanan yang baik (QS. Al-Ahzab: 21), bahkan dalam ayat lain Allah memuji Rasulullah
sebagai seorang yang Agung akhlaknya (QS. Al-Qalam: 4). Selain itu terdapat juga dalam QS.
An-Nisa: 65 dan 80, dan QS. An-Nahl: 44.
Ayat-ayat di atas secara tegas menunjukkan wajibnya mengikuti Rasulullah yang tidak
lain adalah mengikuti sunnah-sunnahnya. Berdasarkan beberapa ayat tersebut, para sahabat
semasa hidup Nabi dan setelah wafatnya telah sepakat atas keharusan menjadikan sunnah
Rasulullah sebagai sumber hukum.
Dalam kedudukannya sebagai penjelas, hadits kadang-kadang memperluas hukum
dalam Al-Qur’an atau menetapkan sendiri hukum di luar apa yang ditentukan Allah dalam Al-
Quran. Kedudukan Hadits sebagai bayani atau menjalankan fungsi yang menjelaskan hukum
Al-Quran, tidak diragukan lagi dan dapat di terima oleh semua pihak, karena memang untuk
itulah Nabi di tugaskan Allah SWT. Namun dalam kedudukan hadits sebagai dalil yang berdiri
sendiri dan sebagai sumber kedua setelah Al-Quran, menjadi bahan perbincangan dikalangan
ulama. Perbincangan ini muncul di sebabkan oleh keterangan Allah sendiri yang menjelaskan
4
bahwa Al-Quran atau ajaran Islam itu telah sempurna. Oleh karenanya tidak perlu lagi ditambah
oleh sumber lain.
Jumhur ulama berpendapat bahwa Hadits berkedudukan sebagai sumber atau dalil
kedua setelah Al-Quran dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk semua
umat Islam. Jumhur ulama mengemukakan alasannya dengan beberapa dalil, di antaranya:
Banyak ayat Al-Qur’an yang menyuruh umat mentaati Rasul. Ketaatan kepada rasull sering
dirangkaikan dengan keharusan mentaati Allah ; seperti yang tersebut dalam surat An-Nisa : 59
ِ‫ّٰللا‬ َ ‫س ْو َل َواُو ِلى ْاَلَ ْم ِر ِم ْن ُك ۚ ْم فَا ِْن تَنَازَ ْعت ُ ْم فِ ْي‬
‫ش ْيءٍ فَ ُرد ُّْوهُ اِلَى ه‬ ُ ‫الر‬ َّ ‫ّٰللا َواَ ِط ْيعُوا‬ َ ‫ْ ٰيٰٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْٰٓوا اَ ِط ْيعُوا ه‬
ࣖ‫سنُ تَأ ْ ِوي اًْل‬ َ ْ‫اَل ِخ ِۗ ِر ٰذلِكَ َخي ٌْر َّواَح‬
ٰ ْ ‫اّٰلل َو ْال َي ْو ِم‬
ِ ‫س ْو ِل ا ِْن ُك ْنت ُ ْم تُؤْ ِمنُ ْونَ ِب ه‬
ُ ‫الر‬
َّ ‫َو‬
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi
Muhammad) serta ululamri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu berbeda
pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya) jika
kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih
bagus akibatnya (di dunia dan di akhirat).
Dari beberapa uraian di atas dapat kita ambil beberapa kesimpulan bahawa: Hadits
menurut bahasa yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau waktu yang
singkat. Hadits juga berarti berita yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan
dipindahkan dari seorang kepada orang lain. Hadits menurut istilah syara’ ialah hal-hal yang
datang dari Rasulullah SAW, baik itu ucapan, perbuatan, atau pengakuan (taqrir).

3. Fungsi Hadits

Dalam uraian tentang Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat-ayat hukum
dalam Al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliyah belum dapat
dilaksanakan tanpa penjelasan dari hadits. Dengan demikian fungsi hadits yang utama adalah
untuk menjelaskan Al-Qur’an. Hal ini telah sesuai dengan penjelasan Allah dalam surat An-
Nahl ayat 44 :
َ‫اس َما نُ ِز َل اِلَ ْي ِه ْم َولَ َعلَّ ُه ْم َيتَفَ َّك ُر ْون‬ ِ َ‫الزب ِۗ ُِر َواَ ْنزَ ْلنَا ٰٓ اِلَيْك‬
ِ َّ‫الذ ْك َر ِلت ُ َب ِينَ ِللن‬ ِ ‫ِب ْال َب ِي ٰن‬
ُّ ‫ت َو‬
Artinya: “(Kami mengutus mereka) dengan (membawa) bukti-bukti yang jelas (mukjizat) dan
kitab-kitab. Kami turunkan aż-Żikr (Al-Qur’an) kepadamu agar engkau menerangkan kepada
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan”.
Dengan demikian bila Al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka
Hadits disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani dalam hubungannya
dengan Al-Qur’an, ia menjalankan fungsi sebagai berikut :
• Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an dalam hal :
• Menjelaskan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an
• Merinci apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secari garis besar.
• Membatasi apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara umum
• Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam Al-Qur’an
Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam Al-Qur’an atau
disebut fungsi ta’kid dan taqrir. Dalam bentuk ini Hadits hanya seperti mengulangi apa-apa
yang tersebut dalam Al-Qur’an. Umpanya Firman Allah dalam surat Al-Baqarah : 110

5
ِ َ‫ّٰللا بِ َما تَ ْع َملُ ْونَ ب‬
‫صي ٌْر‬ َ ‫ّٰللا ِۗ ا َِّن ه‬ َّ ‫ص ٰلوةَ َو ٰاتُوا‬
ِ ‫الز ٰكوةَ ِۗ َو َما تُقَ ِد ُم ْوا َِلَ ْنفُ ِس ُك ْم ِم ْن َخي ٍْر ت َِجد ُْوهُ ِع ْن َد ه‬ َّ ‫َواَقِ ْي ُموا ال‬
Artinya : “ Dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat Segala kebaikan yang kamu kerjakan
untuk dirimu akan kamu dapatkan (pahalanya) di sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat
apa yang kamu kerjakan. “ ayat itu dikuatkan oleh sabda Nabi yang artinya :“ Islam itu didirikan
dengan lima pondasi : kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan muhammad adalah
Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat.
Contoh menjelaskan arti kata dalam Al-Qur’an umpamanya kata shalat yang masih
samar artinya, karena dapat saja shalat itu berarti do’a sebagaimana yang biasa dipahami secara
umum waktu itu. Kemudian Nabi melakukan serangkaian perbuatan, yang terdiri dari ucapan
dan pebuatan secara jelas yang dimulai dari takbiratul ihram dan berakhir dengan salam.
Sesudah itu Nabi bersabda: inilah shalat itu, kerjakanlah shalat sebagimana kamu melihat saya.
Mengerjakan shalat suatu hukum dalam hadits yang secara jelas tidak terdapat dalam Al-
Qur’an. Dengan demikian kelihatan bahwa Hadits menetapkan sendiri hukumyang tidak
ditetapkan dalam Al-Qur’an. Fungsi hadits dalam bentuk ini disebut itsbat.
Sebenarnya bila diperhatikan dengan teliti akan jelas bahwa apa yang ditetapkan hadits
itu pada hakikatnya adalah penjelasan terhadap apa yang disinggung Al-Qur’an atau
memperluas apa yang disebutkan Al-Qur’an secara terbatas. Umpamanya Allah SWT
mengharamkan memakan bangkai, darah, dan daging babi. Larangan Nabi ini menurut lahirnya
dapat dikatakan sebagai hukum baru yang ditetapkan oleh Nabi, karena memang apa yang
diharamkan Nabi ini secara jelas tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Tetapi kalau dipahami lebih
lanjut larangan Nabi itu hanyalah sebagai penjelasan terhadap larangan Al-Qur’anlah memakan
sesuatu yang kotor.
Fungsi hadits yang utama adalah untuk menjelaskan Al-Qur’an. Bila kita lihat dari
fungsinya hubungan Hadits dengan Al-Qur’an sangatlah berkaitan. Karena pada dasarnya
Hadits berfungsi menjelaskan hukum-hukum dalam Al-Qur’an dalam segala bentuknya
sebagaimana disebutkan di atas. Allah SWT menetapkan hukum dalam Al-Qur’an adalah untuk
diamalkan, karena dalam pengalaman itulah terletak tujuan yang digariskan. Tetapi pengalaman
hukum Allah diberi penjelasan oleh Nabi. Dengan demikian bertujuan supaya hukum-hukum
yang ditetapkan Allah dalam Al- Qur’an secara sempurna dapat dilaksanakan oleh umat dalam
uraian tentang Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat hukum dalam Al-Qur’an
adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliyah belum dapat dilaksanakan tanpa
penjelasan dari hadits. Dengan demikian keterkaitan hadits dengan Al-Qur’an yang utama
adalah berfungsi untuk menjelaskan Al-Qur’an.

C. Ijma' Menjadi Dalil Syara’ Yang Disepakati

1. Pengertian Ijma'
Ijma` adalah kesepakatan para imam mujtahid dari umat Islam atas hukum syara`
(mengenai suatu masalah) pada suatu masa sesudah Nabi Muhammad Saw wafat. Pengertian
lain dari ijma` sebagaimana diungkapkan oleh Abdul Wahhab Khallaf, yaitu : “Kesepakatan
seluruh Imam mujtahid dari kalangan kaum muslimin dalam salah satu kurun dari kurun-kurun
yang banyak sesudah wafat Rasulullah suatu peristiwa hukum syara`” Adapun Ibnu Taimiyyah

6
memberi batasan pengertian ijma` sebagaimana berikut: “Makna Ijma` adalah kesepakatan
ulama kaum muslimin mengenai suatu hukum dari beberapa hukum”.
Ijma` merupakan sumber yang kuat dan merupakan salah satu metode pengembangan
ijtihad untuk meneruskan dan menerapkan hukum-hukum Islam. Jika sudah terjadi
kemufakatan atas suatu hukum, maka sudah barang tentu ada dalil (alasan) yang menjadi
sandarannya, sebab tidak masuk akal kalau para ulama bersepakat atas sesuatu hukum tanpa
mempunyai dalil syara`. Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah Saw. : “Ummatku tidak akan
bersepakat untuk melakukan kesalahan”. (H.R. Abu Daud dan al-Turmudji).
Alasan menempatkan ijma` sebagai dasar hukum setelah Alquran dan Sunnah juga
dikuatkan oleh beberapa Asar sahabat Nabi Muhammad Saw. diantaranya sebagaimana
disampaikan Umar ibn al-Khattab kepada Syuraih : “ Putuskanlah (perkara menurut hukum
yang ada dalam kitab Allah, kalau tidak ada (dalam Alquran), maka putuskanlah sesuai dengan
hukum yang ada dalam Sunnah Rasulullah Saw. kalau tidak ada (dalam sunnah Rasulullah
Saw.) putuskanlah berdasarkan hukum yang telah disepakati oleh (ummat) manusia”. Dalam
riwayat lain : “Putuskanlah menurut hukum yang telah ditetapkan oleh orang- semua peristiwa
atau kejadian yang tidak ditemukdalam Alquran dan Sunnah atau peristiwa yang berhubungan
dengan ibadah ghairu mahdah (ibadah yang tidak langsung ditujukan kepada Allah Swt.) bidang
muamalah, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan
duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam Alquran dan Hadis.
Ijma` ditinjau dari cara terjadinya, menurut ahli Ushul Fiqh dibagi menjadi dua, yaitu
Ijma` Bayani (disebut juga Ijma` Qauli, Ijma` Sharih atau Ijma` Haqiqi) yaitu kemufakatan
yang dinyatakan atau diucapkan oleh mujtahidin, termasuk dalam katagori ini tulisan
mujtahidin yang diakui oleh para mujtahidin lainnya. Yang kedua Ijma' Sukuti disebut juga
dengan Ijma` I`tibari, yaitu kebulatan yang dianggap ada apabila seseorang mujtahid
mengeluarkan pendapatnya dan diketahui oleh mujtahid lainnya, akan tetapi mereka tidak
menyatakan persetujuan atau bantahannya. Sedangkan Abdu al-Rahman dalam bukunya
Shari`ah The Islamic menambahkan pembagian tersebut dengan Ijma` Fi`li, yaitu kesepakatan
para mujtahid dengan melakukan tindakan yang tidak dinyatakan bantahan atau persetujuan
terhadap tindakan tersebut.
Adapun kriteria Ijma' menurut sebagian ulama ushul adalah :
1) Kesepakatan sekelompok fuqaha /ulama
2) Pada kurun waktu tertentu
3) Di ruang lingkup suatu wilayah atau kawasan tertentu pula.
Dengan penjelasan di atas, maka sebenarnya Ijma' sangat efektif untuk :
1) Menjadi asas Ijtihad Jama'i (Ijtihad kolektif)
2) Melandasi penemuan serta pengembangan hukum kontekstual menurut kondisi ruang dan
waktu. Dari sini lebih jelas tampak bahwa hukum Islam memiliki sifat kelenturan (elastisitas
dan Fleksibelitas).
syarat-syarat sebuah ijma’ itu bisa disahkan dan berlaku:
1. Terjadinya kesepakatan
2. Kesepakatan seluruh ulama islam
3. Waktu kesepakatan setelah zaman Rasulullah, meskipun hanya sebentar saja kesepakatan
terjadi

7
4. Yang disepakati adalah perkara agama.

Dalil Al-qur'an tentang keabs ah an ijma'


ْ ‫س ۤا َء‬
‫ت‬ ْ ُ‫سبِ ْي ِل ْال ُمؤْ ِمنِيْنَ نُ َو ِل ٖه َما ت ََولهى َون‬
َ ‫ص ِل ٖه َج َهنَّ ِۗ َم َو‬ َ ‫س ْو َل ِم ْۢ ْن بَ ْع ِد َما تَبَيَّنَ لَهُ ْال ُه ٰدى َويَتَّبِ ْع‬
َ ‫غي َْر‬ ُ ‫الر‬
َّ ‫ق‬ِ ِ‫َو َم ْن يُّشَاق‬
ࣖ‫صي اْرا‬ ِ ‫َم‬
Artinya : “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa pada
kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan
Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa: 115)
Ayat di atas menjelaskan bahwa kesesatan ada di luar ajaran Rasul dan jalan orang-
orang beriman. Maka jika ajaran Rasul (wahyu) atau kesepakatan kaum mukmin diikuti
mestilah akan terhindar dari kesesatan. Dalam ijma' tidak ada perkara yang disepakati
hukumnya dalam islam melainkan perkara tersebut mesti terdapat dalil wahyu yang
menyebutkannya secara tersirat maupun tersurat. Ini adalah pendapat jumhur ulama dan kuat
dari segi argumen. Sebab, hak menentukan hukum adalah hak prerogatif (khusus) bagi Allah
dan rasul-Nya. Hanya saja, Allah memberi sebuah jaminan bahwa apa yang disepakati oleh
umat Rasulullah tidak akan melenceng dari jalur wahyu-Nya. Itulah mengapa terkadang ketika
seorang ulama sedang berijtihad, ia mempertanyakan keabsahan sebuah ijma’ yang dinukilkan
kepadanya dengan dalih bahwa ini berbenturan dengan Alquran ataupun Sunnah.
Oleh karena itu perlu untuk dimaklumi bahwa tidak ada ijma’ yang bertentangan dengan
dalil Alquran ataupun Sunnah. Jika sekiranya didapatkan, maka kemungkinannya adalah dalil
tersebut tidak sahih, atau dalil tersebut salah difahami, atau dalil tersebut telah dihapus
hukumnya, atau justru ijma’ tersebut sebenarnya cacat karena ada perselisihan yang tak kita
ketahui atau nukilannya tidak sahih.

D. Qiyas Menjadi Dalil Syara’ Yang Disepakati

1. Pengertian Qiyas

Qiyas menurut bahasa ialah pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan
sesuatu dengan sejenisnya. Imam Syafi’i mendefinisikan qiyas sebagai upaya pencarian
(ketetapan hukum) dengan berdasarkan dalil-dalil terhadap sesuatu yang pernah diinformasikan
dalam al-Qur’an dan hadist. Pengertian qiyas secara terminologi terdapat beberapa definisi yang
dikemukakan para pakar ushul fikih, sekalipun redaksinya berbeda, tetapi mengandung
pengertian yang sama.
Mayoritas ulama Syafi'iyyah mendefinisikan qiyas dengan : Membawa (hukum) yang
(belum) diketahui kepada (hukum) yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi
keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, disebabkan sesuatu yang menyatukan
keduanya, baik hukum maupun sifat. Sekalipun terdapat perbedaan redaksi dalam beberapa
definisi yang dikemukakan para pakar ushul fikih klasik dan kontemporer di atas tentang qiyas,
tetapi mereka sepakat menyatakan bahwa proses penetapan hukum melalui metode qiyas
bukanlah menetapkan hukum dari awal (itsbat al-hukm wa Insya’uhu), melainkan hanya
menyingkapkan dan menjelaskan hukum (al-kasyfwa al-izhhar li al-hukm) yang ada pada suatu
kasus yang belum jelas hukumnya.
8
Penyingkapan dan penjelasan ini dilakukan melalui pembahasan mendalam dan teliti
terhadap ‘illah dari suatu kasus yang sedang dihadapi. Apabila ‘illah-nya sama dengan ‘illah
hukum yang disebutkan dalam nas, maka hukum terhadap kasus yang dihadapi itu adalah
hukum yang telah ditentukan nas tersebut. Misalnya, seorang pakar ushul fikih [mujtahid] ingin
mengetahui hukum minuman bir atau wisky. Dari hasil pembahasan dan penelitiannya secara
cermat, kedua minuman itu mengandung zat yang memabukkan, seperti zat yang ada pada
khamar. Zat yang memabukkan inilah yang menjadi ‘illah diharamkannya khamar. Hal ini
sesuai dengan firman Allah dalam surat [5: 90-91]. Dengan demikian, pakar tersebut telah
menemukan hukum untuk bir dan wisky, yaitu sama dengan hukum khamar, karena ‘illah
keduanya adalah sama, yakni memabukkan. Kesamaan illah antara kasus yang tidak ada
nasnya. dengan hukum yang ada nasnya dalam Alquran atau Hadis, menyebabkan adanya
kesatuan hukum. Inilah yang dimaksudkan para pakar ushul fikih bahwa penentuan hukum
melalui metode qiyas bukan berarti menentukan hukum sejak semula, tetapi menyingkapkan
dan menjelaskan hukum untuk kasus yang sedang dihadapi dan mempersamakannya dengan
hukum yang ada pada nas, disebabkan kesamaan '‘illah antara keduanya.
Adapun landasan Qiyas merujuk hadis Nabi Muhammad SAW adalah hadis yang
diriwayatkan Sahabat Nabi Mu’adz bin Jabal. Hadis yang berisi dialog antara Rasulullah dan
Mu’azbin Jabal ketika yang disebut terakhir ini dikirim menjadi hakim di Yaman. Menjawab
pertanyaan Rasulullah dengan apa ia (Mu’az bin Jabal) memutuskan hukum di Yaman, Mu’az
Ibnu Jabal menceritakan bahwa ia akan memutuskan hukum berdasarkan kitab Allah (Al-
Qur’an) dan jika tidak didapatkan dalam kitab Allah ia putuskan berdasarkan Sunnah
Rasulullah, dan seterusnya dengan hasil ijtihadnya sendiri jika hukum suatu masalah tidak
ditemukan dalam dua sumber tersebut. Mendengar jawaban itu Rasulullah berkomentar dengan
mengatakan : “Segala pujian bagi Allah yang telah memberi taufik atas diri utusan dari
Rasulullah”.
Dalam kitab Ar-Risalah dijelaskan juga bahwa ijtihad (metode Qiyas) hanya digunakan
untuk memecahkan masalah-masalah yang tidak ditemukan sumber hukumnya, sehingga dalam
ijtihad ini memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat. Masih dalam kitab yang sama
dijelaskan bahwa ijtihad hanya dilakukan untuk memecahkan suatu persoalan, dan biasanya
persoalan itu belum ditemukan dalil yang pasti dari sumber hukum utama, sehingga perlu
diadakan upaya persamaan (analogi).
Qiyas Menurut para ulama ushul, qiyas berarti menyamakan suatu kejadian yang tidak
ada nash, pada hukum yang sudah ada nash, disebabkan kesamaan dua kejadian itu dalam illat
(sebab) hukum. Yang menunjukan bahwa Qiyas merupakan dalil hukum syara’ adalah :
1. Perintah untuk selalu kembali kepada Allah dan Rasul-Nya ketika ada perbedaan pendapat
(karena tidak ada nash), seperti pada QS An-Nisaa' :59.
2. Perintah untuk mengambil ibarat dari berbagai kejadian, seperti pada QS AI-Hasyr :2.
Qiyas memiliki empat elemen, yaitu:
1. Al Ashlu, yaitu hal pokok, yaitu sesuatu yang sudah ada hukumnya dalam nash.
2. Al Far'u yaitu hal cabang, yaitu sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nash, dan akan
dicari hukumnya.
3. Hukmu al Ashl, yaitu hukum syara' tentang al ashlu.

9
4. Illat adalah suatu sifat yang terdapat pada al ashl yang menjadi dasar untuk menetapkan
hukum pada al ashl, dan untuk mengetahui hukum pada cabang yang hendak dicari.
apabila illat terkandung dalam Al-Qur'an maka dalil qiyas adalah Al-Qur'an, apabila illat
terkandung dalam As Sunnah maka dalil qiyas adalah As Sunnah dan apabila illat tekandung
dalam ijma' shahabat, maka yang menjadi dalil qiyas adalah ijma’ shahabat.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Al quran ialah wahyu berupa kalamullah yang diamanatkan kepada malaikat Jibril,
disampaikan kepada Nabi Muhammad saw., isinya tak dapat ditandingi oleh siapapun dan
diturunkan secara bertahap, lalu disampaikan kepada umatnya dengan jalan mutawatir dan
dimushafkan serta membacanya dihukumkan sebagai suatu ibadah. Alquran berfungsi sebagai
hakim atau wasit yang mengatur jalannya kehidupan manusia agar berjalan lurus. Itulah

10
sebabnya ketika umat Islam berselisih dalam segala urusan hendaknya ia berhakim kepada
Alquran.
Hadis adalah segala yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang menjadi
tumpuan umat Islam hingga saat ini. Ajaran agama Islam memiliki kitab suci Al Quran sebagai
petunjuk hidup. Hadis sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Quran. Keberadaan hadis,
menjadi pelengkap dan menyempurnakan supaya umat tidak salah paham dalam memaknai
setiap ayat atau ajaran agama.
Ijma` adalah kesepakatan para imam mujtahid dari umat Islam atas hukum syara`
(mengenai suatu masalah) pada suatu masa sesudah Nabi Muhammad Saw wafat. Ijma`
merupakan sumber yang kuat dan merupakan salah satu metode pengembangan ijtihad untuk
meneruskan dan menerapkan hukum-hukum Islam. Jika sudah terjadi kemufakatan atas suatu
hukum, maka sudah barang tentu ada dalil (alasan) yang menjadi sandarannya, sebab tidak
masuk akal kalau para ulama bersepakat atas sesuatu hukum tanpa mempunyai dalil syara.
Qiyas sebagai upaya pencarian (ketetapan hukum) dengan berdasarkan dalil-dalil
terhadap sesuatu yang pernah diinformasikan dalam al-Qur’an dan hadist.

B. Saran

Demikianlah makalah yang dapat kami buat, kami menyadari bahwa makalah yang
kami susun jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca demi lebih baiknya penulisan makalah yang selamjutmya. Semoga makalah ini bisa
bermanfaat bagi kita semua.

DAFTAR PUSTAKA

Rachmad Syafe’i Ilmu Ushul Fiqh : Ilmu Ushul Fiqh Untuk UIN, STAIN, PTAIS, (Bandung:
CV Pustaka Setia, 2010).
Al-Jurjani, Kitab at-Ta‘rifat. rahmat syafi’I, ilmu ushul fiqh untuk UIN, STAIN, PTAIS,
Bandung: pustaka setia, 2010.

11

Anda mungkin juga menyukai