4.makalah Filsafat Hukum Doc PDF
4.makalah Filsafat Hukum Doc PDF
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya, penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 tentang sistem
pemerintahan Indonesia dijelaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas
hukum (rechtsstaat) bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat),
dalam hal ini terlihat bahwa kata “hukum” dijadikan lawan kata “kekuasaan”.
Tetapi apabila kekuasaan adalah serba penekanan, intimidasi, tirani, kekerasan
dan pemaksaan maka secara filosofis dapat saja hukum dimanfaatkan oleh pihak
tertentu yang menguntungkan dirinya tetapi merugikan orang lain.
Hubungannya dengan hal tersbut di atas, maka sesungguhnya perlu
dipahami akan makna dari filsafat hukum. Filsafat hukum mempersoalkan
pertanyaan-pertanyaan yang bersifat dasar dari hukum. Pertanyaan-pertanyaan
tentang “hakikat hukum”, tentang “dasar-dasar bagi kekuatan mengikat dari
hukum”, merupakan contoh-contoh pertanyaan yang bersifat mendasar itu. Atas
dasar yang demikian itu, filsafat hukum bisa dihadapkan kepada ilmu hukum
positif. Sekalipun sama-sama menggarap bahan hukum, tetapi masing-masing
mengambil sudut pemahaman yang berbeda sama sekali. Ilmu hukum positif
hanya berurusan dengan suatu tata hukum tertentu dan mempertanyakan
konsistensi logis asas-asas, peraturan-peraturan, bidang-bidang serta sistem
hukumnya sendiri.
Berbeda dengan pemahaman yang demikian itu, filsafat hukum
mengambil sebagai fenomena universal sebagai sasaran perhatiannya, untuk
kemudian dikupas dengan menggunakan standar analisa seperti tersebut di atas.
Suatu hal yang menarik adalah, bahwa “ilmu hukum” atau“jurisprudence” juga
mempermasalahkan hukum dalam kerangka yang tidak berbeda dengan filsafat
hukum. Ilmu hukum dan filsafat hukum adalah nama-nama untuk satu bidang
ilmu yang mempelajari hukum secara sama.
Pemikiran tentang Filsafat hukum dewasa ini diperlukan untuk menelusuri
seberapa jauh penerapan arti hukum dipraktekkan dalam hidup sehari-hari, juga
untuk menunjukkan ketidaksesuaian antara teori dan praktek hukum. Manusia
memanipulasi kenyataan hukum yang baik menjadi tidak bermakna karena
ditafsirkan dengan keliru, sengaja dikelirukan, dan disalahtafsirkan untuk
mencapai kepentingan tertentu. Banyaknya kasus hukum yang tidak terselesaikan
karena ditarik ke masalah politik. Kebenaran hukum dan keadilan dimanipulasi
dengan cara yang sistematik sehingga peradilan tidak menemukan keadaan yang
sebenarnya. Kebijaksanaan pemerintah tidak mampu membawa hukum menjadi
“panglima” dalam menentukan keadilan, sebab hukum dikebiri oleh sekelompok
orang yang mampu membelinya atau orang yang memiliki kekuasaan yang lebih
tinggi. Dalam beberapa dekade terakhir, fenomena pelecehan terhadap hukum
semakin marak. Tindakan pengadilan seringkali tidak bijak karena tidak memberi
kepuasan pada masyarakat. Hakim tidak lagi memberikan putusan adil pada setiap
pengadilan yang berjalan karena tidak melalui prosedur yang benar. Perkara
diputuskan dengan undang-undang yang telah dipesan dengan kerjasama antara
pembuat Undang-undang dengan pelaku kejahatan yang kecerdasannya mampu
membelokkan makna peraturan hukum dan pendapat hakim sehingga
berkembanglah “mafia peradilan”. Produk hukum telah dikelabui oleh
pelanggarnya sehingga kewibawaan hukum jatuh. Manusia lepas dari jeratan
hukum karena hukum yang dipakai telah dikemas secara sistematik sehingga
perkara tidak dapat diadili secara tuntas bahkan justru berkepanjangan dan
akhirnya lenyap tertimbun masalah baru yang lebih aktual. Keadaan dan
kenyataan hukum dewasa ini sangat memprihatinkan karena peraturan perundang-
undangan hanya menjadi lalu lintas peraturan, tidak menyentuh persoalan
pokoknya, tetapi berkembang, menjabar dengan aspirasi dan interpretasi yang
tidak sampai pada kebenaran, keadilan dan kejujuran. Fungsi hukum tidak
bermakna lagi, karena adanya kebebasan tafsiran tanpa batas yang dimotori oleh
kekuatan politik yang dikemas dengan tujuan tertentu. Hukum hanya menjadi
sandaran politik untuk mencapai tujuan, padahal politik sulit ditemukan arahnya.
Politik berdimensi multi tujuan, bergeser sesuai dengan garis partai yang mampu
menerobos hukum dari sudut manapun asal sampai pada tujuan dan target yang
dikehendaki.
Perlunya kita mengetahui filsafat hukum karena relevan untuk
membangun kondisi hukum yang sebenarnya, sebab tugas filsafat hukum adalah
menjelaskan nilai dasar hukum secara filosofis yang mampu memformulasikan
cita-cita keadilan, ketertiban di dalam kehidupan yang relevan dengan pernyataan-
kenyataan hukum yang berlaku, bahkan merubah secara radikal dengan tekanan
hasrat manusia melalui paradigma hukum baru guna memenuhi perkembangan
hukum pada suatu masa dan tempat tertentu. Olehnya itu, dari ilustrasi latar
belakang di atas penulis tertarik megambil judul makalah mengenai hakekat,
pengertian hukum sebagai obyek telaah filsafat hukum.
B. Rumusan Masalah
Adapaun yang menjadi rumusan masalah dalam tulisan ini adalah
bagaimana hakekat, pengertian hukum sebagai obyek telaah filsafat hukum ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kesimpulan
Pada dasarnya hakekat hukum yang ideal sebagai obyek filsafat hukum
tentunyamempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat dasar dari hukum.
Pertanyaan-pertanyaan tentang “hakikat hukum”, tentang “dasar-dasar bagi
kekuatan mengikat dari hukum”, merupakan contoh-contoh pertanyaan yang
bersifat mendasar itu. Atas dasar yang demikian itu, filsafat hukum bisa
dihadapkan kepada ilmu hukum positif. Sekalipun sama-sama menggarap bahan
hukum, tetapi masing-masing mengambil sudut pemahaman yang berbeda sama
sekali. Ilmu hukum positif hanya berurusan dengan suatu tata hukum tertentu dan
mempertanyakan konsistensi logis asas-asas, peraturan-peraturan, bidang-bidang
serta sistem hukumnya sendiri.
Oleh sebab itu, hukum harus melindungi kepentingan-kepentingan
sebagimana yang dikemukakan oleh Pound yaitu sebagai berikut :
1. Kepentingan Umum (Public Interest), terdiri dari
a. kepentingan negara sebagai badan hukum;
b. kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat.
2. Kepentingan Masyarakat (Social Interest):
a. kepentingan akan kedamaian dan ketertiban;
b. perlindungan lembaga-lembaga sosial;
c. pencegahan kemerosotan akhlak;
d. pencegahan pelanggaran hak;
e. kesejahteraan sosial.
3. Kepentingan Pribadi (Private Recht):
a. kepentingan individu;
b. kepentingan keluarga;
c. kepentingan hak milik.
B. Saran
Sebagai bentuk saran dari penulis hubungannya dengan hakekat,
pengertian hukum sebagai obyek telaah filsafat hukum yakni sebagai insan yang
berpikir tentunya dapat membedakan yang mana yang haq dan mana yang bathil,
mana yang salah dan mana yang benar. Utamanya kepada para penegak hukum,
haruslah mengetahui akan makna hukum itu sendiri agar tidak terjebak dalam
dinamika perdebatan akan makna hukum itu, sehingga dengan demikian mereka
mampu menegakkan hukum secara ideal yang mengedepankan keselarasan antara
keadilan, kemanfaatan, serta kepastian hukum
DAFTAR PUSTAKA
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,
1993.
Muchsin, Ikhtisar Filsafat Hukum, cetakan kedua , Badan Penerbit Iblam Jakarta,
2006
Pound, Roscoe, Pengantar Filsafat Hukum, (Terj.) Muhammad radjab, Penerbit Bhratara,
Jakarta, 1996.
Rasjidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
1990.
Soeyono Koesoemo Sisworo, Pidato Ilmiah Dies Natalis Ke-25 UNISSULA, “Dengan
semangat Sultan Agung Kita Tegakkan Hukum dan Keadilan berdasarkan
kebenaran, suatu perjuangan yang tidak pernah tuntas”.