Anda di halaman 1dari 16

Kekuasaan dinasti-dinasti Islam berdasarkan lokasinya

Pemerintahan dalam masa kepemimpinan Islam

1. Dinasti Khulafaur Rasyidin (Rabiul Awal 11-41 H | 632-661)

Khulafaur Rasyidin adalah khalifah (pemimpin umat Islam) yang melanjutkan


kepemimpinan Rasulullah SAW sebagai kepala negara (pemerintah) dan mengatur semua
kenegaraan setelah Rasulullah SAW wafat. Tugas para khalifah yaitu untuk melindungi dan
mempertahankan wilayah Islam. Masa Khulafaur Rasyidin pernah dipimpin oleh empat khalifah,
dimulai sejak tahun 632-661. Para Khalifah yang menggantikan Rasulullah yakni :

 Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq (11-13 H / 632-634 M)


 Khalifah Umar Ibnu al-Khathab (13-23 H / 634-644 M)
 Khalifah Ustman ibn Affan (23-35 H / 644-656 M)
 Khalifah Ali ibn Abi Thalib (35-40 H / 656-661 M)

Perkembangan peradaban Islam pada masa khulafaur Rasyidin mengalami kemajuan yang
pesat, hal tersebut ditandai dengan pembanguan di berbagai bidang. Misalnya: perluasan wilayah
kekuasaan, pertahanan militer, pembangunan armada angkatan laut, pembentukan lembaga baitul
mal, pembangunan sarana ibadah, pembukuan al qur’an, pengembangan ilmu pengetahuan, dan
lain-lain. Ummat islam betul-betul masih berpegang kepada tali agama Allah yang lurus. Dalam
artian ajaran Islam dijadikan sebagai dasar negara. Apa yang diperintahkan oleh agama diyakini
sebagai kebenaran mutlak dan mereka tidak ragu terhadap ajaran islam itu sendiri. Amirul
mukminin sebagai pelopor secara langsung daripada penegakkan syariat islam itu.

2. Dinasti Umayyah (Rabiul Awal 41- Dhulhijjah 132 H | 661-750)

Dinasti Umayyah berasal dari nama Umayyah bin Syams salah satu pemimpin
kabilah Quraisy yang dikenali sebagai Bani Umayyah. Umayyah merupakan anak
saudara sepupu Hasyim bin Abdi Manaf yaitu nenek moyang Rasulullah SAW. Bani Hasyim
dan Umayyah sering bersaing merebut kekuasaan di kota Makkah di zaman jahiliyah
akan tetapi Bani Hasyim lebih berpengaruh karena mendapat kekuasaan yang
diturunkan Qusay, kemudian kepada Abd Manaf dan seterusnya kepada Hasyim. Kedudukan
Bani Umayyah sangat mantap di Syam. Hal ini di karenakan, Umayyah pernah kalah
dalam pertarungan dengan Bani Hasyim telah melarikan diri dan menetap disana
selama 10 tahun. Pada zaman khalifah Usman bin Affan, Yazid bin Abi Sufyan menjadi
Gubernur di Syam kemudian diikuti oleh adiknya, Muawiyyah bin Abi Sufyan menjadi
Gubernur selama 20 tahun.

Bani Umayyah merupakan penguasa Islam yang telah merubah sistem


pemerintahan yang demokra-tis menjadi monarki (sistem pemerintahan yang
berbentuk kera-jaan). Kerajaan Bani Umayyah di-peroleh melalui kekerasan, diplomasi dan
tipu daya, tidak dengan pemili-han atau suara terbanyak sebagaima-na dilakukan oleh
pemimpin sebe-lumnya, yaitu khulafaur rasyidin. Meskipun mereka tetap
menggunakan istilah Khalifah, na-mun mereka memberikan interpretasi baru untuk
mengagungkan jabatann-ya. Mereka menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian
“penguasa” yang diangkat oleh Allah.Kekuasaan Bani Umayyah berlangsung selama 90
tahun (680-750 M). Dinasti ini dipimpin oleh 14 Khalifah, dengan urutan raja sebagai berikut
yaitu: Muawiyah, Yazid bin Muawiyah, Muawiyah bin Yazid, Marwan bin Hakam,
Abdul Malik bin Marwan, Walid bin Abdul Malik, Sulaiman bin Abdul Malik, Umar bin Abdul
Aziz, Yazid bin Abdul Malik, Hisyam bin Abdul Malik, Walid bin Yazid, Yazid bin Walid
(Yazid III), Ibrahim bin Malik dan Marwan bin Muhammad. Pada masa Daulah Bani
Umayyah banyak kemajuan yang telah dicapai. Ekspansi yang terhenti pada masa
Khalifah Usman dan Ali dilanjutkan oleh Dinasti ini. Sehing-ga kekuasaan Islam betul-
betul sa-ngat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, AfrikaUtara, Syria, Palesti-

Pemerintahan Islam Masa Daulat Bani Umaayyah Muhammad Nur126 na, jazirah
Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, dae-rah yang sekarang disebut
Pakistan, Purkmenia, Uzbek dan Kirgis di Asia Tengah. Di samping melakukan per-luasan
wilayah kekuasaan Islam, Ba-ni Umayyah juga berjasa dalam bi-dang pembangunan dan
kemajuan ilmu pengetahuan, misalnya mendi-rikan dinas pos, menertibkan
angkatan bersenjata, mencetak mata uang. Ilmu naqli, yaitu filsafat dan ilmu eksakta
mulai dirintis. Ilmu tafsir al-Qur’an berkembang dengan pesat, karena orang Muslim membu-
tuhkan hukum dan undang-undang, yang bersumber pada al-Qur’an. Apabila menemui
kesulitan dalam melakukan penafsiran, mereka men-carinya dalam al-Hadits. Karena
banyaknya hadits palsu, maka tim-bullah usaha untuk mencari riwayat dan sanad al-Hadits,
yang akhirnya menjadi ilmu hadits dengan segala cabang-cabangnya.

3. Dinasti Abbasiyah (132-656 H | 750-1258 M)

- Revolusi Abbasiyah

Kekhalifahan Abbasiyah berusaha menggulingkan Kekhalifahan Umayyah karena mengklaim


sebagai penerus sejati Nabi Muhammad, berdasarkan garis keturunan mereka yang lebih dekat.
Pemberontakan yang dilakukan Bani Abbasiyah didukung oleh sebagian besar orang Arab yang
dirugikan dengan tambahan faksi Yaman dan Mawali mereka. Muhammad bin Ali, cicit dari
Abbas, kemudian mulai menjalankan kampanye untuk mengembalikan kekuasaan pemerintahan
kepada keluarga Bani Hasyim di Parsi pada masa pemerintahan Khalifah Umar II. Pada masa
pemerintahan Khalifah Marwan II, pertentangan mereka semakin memuncak. Akhirnya pada 750
masehi, Abu al-Abbas al-Saffah berhasil meruntuhkan Dinasti Umayyah dan kemudian dilantik
sebagai khalifah. Masuknya Islam ke Nusantara Masa pemerintahan dan pucak keemasan Selama
masa pemerintahannya, Kekhalifahan Abbasiyah menerapkan pola pemerintahan yang berbeda-
beda, sesuai perubahan politik, sosial, dan budaya. Kekuasaan dinasti ini berlangsung selama
lima abad, yakni dari tahun 132 H (750 M) sampai 656 H (1258 M).

Para ahli biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi lima periode,
sebagai berikut. Periode Pertama (750 M - 847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama.
Periode Kedua (847 M - 945 M), disebut periode pengaruh Turki pertama. Periode Ketiga (945
M - 1055 M), masa kekuasaan dinasti Bani Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah,
disebut juga masa pengaruh Persia kedua. Periode Keempat (1055 M - l194 M), masa kekuasaan
daulah Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah, disebut juga dengan masa pengaruh
Turki kedua. Periode Kelima (1194 M - 1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain,
tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar Baghdad dan diakhiri oleh invasi dari bangsa
Mongol. Sementara pemimpin yang berhasil membawa Kekhalifahan Abbasiyah pada masa
keemasannya adalah sebagai berikut. Al-Mahdi (775-785 M) Al-Hadi (775- 786 M) Harun Ar-
Rasyid (786-809 M) Al-Ma'mun (813-833 M) Al-Mu'tashim (833-842 M) Al-Watsiq (842-847
M) Al-Mutawakkil (847-861 M).

Karya Sastra Peninggalan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia Pada masa


kepemimpinan Al-Mahdi, perekonomian mulai meningkat. Utamanya peningkatan di sektor
pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan
besi. Selain itu, para pedagang yang transit dari Timur dan Barat juga banyak membawa
kekayaan. Pada masa khalifah Harun Ar-Rasyid dan putranya, Al-Ma'mun, kekayaan negara
banyak dimanfaatkan untuk keperluan sosial, seperti mendirikan rumah sakit, lembaga
pendidikan dokter, dan farmasi. Selama pemerintahannya, Bani Abbasiyah berhasil
mengkonsolidasikan kembali kepemimpinan gaya Islam dan menyuburkan ilmu pengetahuan.
Faktor yang paling utama penyebab tumbuhnya peradaban ilmu pengetahuan pada masa Dinasti
Abbasiyah adalah didirikannya tempat-tempat pendidikan, seperti akademi dan perpustakaan.
Pada masa itu, perpustakaan berperan layaknya universitas pada zaman sekarang. Kesejahteraan
sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan berada pada zaman
keemasannya. Hal tersebut menjelaskan perkembangan pada bidang ekonomi, pendidikan dan
hukum pada masa Dinasti Abbasiyah. Pada masa inilah negara Islam menempatkan diri sebagai
negara terkuat dan tak tertandingi.

Faktor Kemunduran Peradaban Islam Jatuhnya Kekhalifahan Abbasiyah Runtuhnya


Kekhalifahan Abbasiyah dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut. Persaingan
antarbangsa Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang
Persia. Namun dalam prosesnya, orang-orang Persia tidak merasa puasdan menginginkan sebuah
dinasti dengan staf dari negaranya. Sementara bangsa Arab beranggapan bahwa mereka istimewa
dan menganggap rendah bangsa non-Arab. Oleh karena itu, muncullah dinasti-dinasti yang ingin
melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad. Kemerosotan ekonomi Meski sempat bergelimang
kekayaan, Kekhalifahan Abbasiyah mulai mengalami kemunduran di bidang ekonomi karena
pendapatan terus menurun sementara pengeluaran mereka terus meningkat. Perang Salib Perang
Salib yang berlangsung selama beberapa periode tidak hanya menelan banyak korban, tetapi juga
menimbulkan kerugian yang besar. Serangan Bangsa Mongol dan jatuhnya Baghdad Pada 1258
masehi, tentara Mongol yang berkekuatan sekitar 200.000 orang menyerang Baghdad. Penguasa
terakhir Kekhalifahan Abbasiyah benar-benar tidak berdaya membendung tentara mongol
sebanyak itu. Jatuhnya Baghdad ke tangan bangsa Mongol secara otomatis mengakhiri
kekuasaan Bani Abbasiyah.

4. Dinasti adarisah

Ketika kekuasaan Dinasti Umayyah digulingkan Dinasti Abbasiyah, Maroko pun menjadi
wilayah kekuasaan Abbasiyah. Perubahan kekuasaan itu memunculkan dinasti kecil di Maroko
namun tetap berpusat pada Dinasti Abbasiyah di Baghdad.

Pada 172 H/789 M, berdirilah Kerajaan Idrisid dinasti Syiah pertama--yang didirikan
Idris I bin Abdullah seorang keturunan Ali bin Abi Thalib. Padahal, Abbasiyah merupakan
dinasti yang ber aliran Suni. Lima tahun memimpin, Idris I pun terbunuh.

kemudian digantikan Idris II. Pada masa kekuasaan Idris II inilah Dinasti Idrisid
melepaskan diri dari Dinasti Abbasiyah. Idris II sukses menjadikan Maroko sebagai salah satu
pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam. Dan sejak pada masa inilah pusat pemerintahan
dipindahkan dari Walila, ke Fez. Dinasti ini berakhir pada 364 H/974 M.

Pasca wafatnya Idris II, para penerusnya kebanyakan lemah, kecuali Yahya bin
Muhammad dan Yahya IV. Bahkan di bawah kekuasaan Yahya IV ini Dinasti Idrisid mencapai
puncak kejayaannya. Lalu setelah Dinasti Idrisid tumbang, bangsa Arab mulai kehilangan
pengaruh politiknya di Maroko. Dinasti Fatimiah yang beraliran Syiah memanfaatkan kondisi
tersebut di atas. Dinasti yang berbasis di Kairo, Mesir, itu berhasil mengambil alih kekuasaan
hingga 1171 M.

Ketika Dinasti Fatimiah kehilangan kendali atas Maroko, muncul Dinasti Al-Murabitun
yang berpusat di Marrakech sebagai penggantinya. Kekuasaannya mencakup Gunung Sahara,
Afrika barat laut, dan Spanyol. Dinasti Fatimiah mengalami masa keemasan saat dipimpin Ibnu
Tasyfin.

Ia mengirimkan 100 kapal, 7.000 tentara berkuda serta 20 ribu tentara saat diminta
Mu'tad bin Ibad, raja Sevilla untuk melawan tentara Kristen yang ingin melenyapkan Islam di
Eropa. Da lam pertempuran itu, pasukan Islam menang gemilang dan berjaya di Spanyol hingga
empat abad lamanya. Setelah kekuasaan Murabitun jatuh, Maroko dikendalikan Dinasti Al-
Muwahhidun (1121-1269 M)

Pada masa kepemimpinan Abu Ya'kub Yusuf bin Abdul Mu'min (1163-1184 M), kota
Marrakech menjadi salah satu pusat peradaban Islam di bidang sains dan sastra, serta menjadi
pelindung kaum Muslimin untuk mempertahankan Islam dari serangan dan ambisi Kristen
Spanyol. Dinasti ini juga ikut membantu Salahudin Al-Ayubi melawan tentara Kristen dalam
Perang Salib.
Pascaruntuhnya Dinasti Al-Mu wahhidun, Maroko dikuasai beberapa inasti seperti;
Dinasti Marrin, Dinasti Wattasi (1420-1554 M), Syarifiyah Alawiyah (1666 M), Abdul Qadir Al-
Jazairy (1844 M), dan Sultan Hasan I (1873 M1894 M). Pada abad 20, Maroko berada di bawah
kekuasaan Prancis, se belum akhirnya merdeka pada 18 November 1956. Hingga kini, selain
anggota Organisasi Konferensi Islam, Maroko yang penduduknya mahir berbahasa Arab dan
Prancis itu pun terdaftar sebagai anggota Franco phonie (negara-negara penutur bahasa
Perancis).

5. Dinasti Aghalibah (184-296 H | 800-909 M)

Dinasti Aghlabiyah terkanal dengan prestasinya di bidang arsitektur, terutama dalam


pembangunan arsitektur masjid. Pada masa Ziyadatullah, yang disempurnakan oleh Ibrahim II,
berdiri sebuah masjid yang sangat megah, yaitu Masjid Qairawan. Menara masjid yang
merupakan warisan dari bentuk bangunan masa Umayyah menjadi salah satu bangunan tertua di
Afrika. Wilayah Qairawan pun disebut sebagai kota suci keempat setelah Mekah, Madinah, dan
Yerussalem.

Pada akhir abad ke-9, Dinasti Aghlabiyah di Ifrikiyah mengalami kemunduran setelah
masuknya propaganda Syi’ah oleh Abdullah Al-Syi’ah atas perintah Ubaidilah Al-Mahdi. Ia
telah menanamkan pengaruh yang kuat di kalangan orang-orang suku Ketama. Ditambah adanya
kesenjangan sosial antara keluarga Aghlab dengan orang-orang Ketama. Sehingga muncul
sebuah kekuatan militer baru menentang pemerintah Aghlabiyah.

Pada 909 M, kekuatan militer baru itu berhasil menggulingkan pemerintahan terakhir
Dinasti Aghlabiyah, pimpinan Ziyadatullah III. Dinasti Aghlabiyah pun gagal mendapatkan
bantuan dari pemerintah pusat di Baghdad, sehingga Ziyadatullah diusir ke Mesir. Sejak saat itu
wilayah Ifrikiyah dikuasai oleh orang-orang Syi’ah, yang masa selanjutnya membentuk Dinasti
Fatimiah.

6. Dinasti Al- murabthin

Dinasti Al-Murabitun atau Almoravids adalah salah satu dinasti Islam besar yang muncul
pada pertengahan abad ke-5 H atau awal abad ke-11 M. Pada masa keemasannya, wilayah
kekuasaan dinasti itu mencakup Sudan di selatan hingga Pegunungan Pirenia di utara, dan
Samudera Atlantik di barat hingga perbatasan Tunisia di timur. Dinasti Al-Murabitun didirikan
oleh propagandis pemurnian ajaran keagamaan yang dipimpin oleh Yahya bin Ibrahim al-Jaddal,
Abdullah bin Yasin, dan Yahya bin Ibrahim. Dinasti iitu berkuasa selama hampir 93 tahun, yakni
dari 448 H hingga 541 H (1056-1147 M).
- Sistem kesultanan

Di bawah seorang pemimpin spiritual (Abdullah bin Yasin) dan seorang komandan militer
(Yahya bin Umar), mereka berhasil memperluas wilayah kekuasaannya sampai ke Wadi Dara.
Kemudian mereka juga berhasil menaklukkan Kerajaan Sijilmasat yang dikuasai oleh Mas'ud bin
Wanuddin al-Magrawi pada tahun 447 H atau sekitar tahun 1055-1056 M. Ketika Yahya bin
Umar meninggal dunia, jabatannya digantikan oleh saudaranya, Abu Bakar bin Umar. Sejak saat
itu Abu Bakar memegang tampuk kekuasaan secara penuh dan lambat laun ia berhasil
mengembangkan sistem kesultanan.

7. Dinasti Al-muwahidun (541-668 H | 1147-1262 M)

Muwahhidun adalah bangsa Berber atau Barbar (1133-1269) yang mematahkan kekuasaan
Almoravid, sehingga mereka menguasai hampir seluruh Afrika Utara. Dinasti ini menganut
ajaran tauhid yang keras seperti yang diajarkan oleh Ibnu Tumart. Kepercayaan pada Mahdi
(yang mendapat petunjuk dari Tuhan). Pengikut Ibnu Tumart yang menggantikannya adalah
Abdul Mukmin, dari suku Zanata, yang mengembangkan ajaran gurunya ke seluruh Atlas dan
Rif (Afrika Utara). Pada tahun 1147, dia berhasil menguasai daerah Almoravid, Aljazair (1152),
Tunisia (1160).

Awal pendirian

Pendiri dari Dinasti Muwahhidun adalah Muhammad Ibnu Tumart. Pendapat yang terkuat
menyatakan bahwa ia dilahirkan pada tahun 485 H atau 1092 M. Ia berasal dari suku Haragha.
Awalnya, ia mendirikan Muwahhidun sebagai sebuah gerakan keagamaan dengan pusat di
permukiman suku Haragha. Ia berdakwah di sekeliling Maghrib mengenai tauhid dan
pengembalian ajaran Islam yang murni

Kemudian pada tahun 515 H atau 1121 M, Ibnu Tumart dan pengikutnya bersembunyi di
sebuah desa bernama Tianmal. Saat itu, Ibnu Tumart berusia 30 tahun. Desa Tianmal terletak
di Pegunungan Atlas bagian selatan. Desa ini dipilihnya karena sulit untuk dijangkau. Desa
Tianmal kemudian menjadi pusat dakwah Ibnu Tumart. Di desa tersebut, ia memperoleh
dukungan dan perlindungan dari suku-suku Mashmudah. Selama berada di desa ini, Ibnu Tumart
membentuk pasukan militer

Perluasan wilayah kekuasaan

Muhammad Ibnu Tumart wafat pada tahun 1128 M. Ia dikuburkan di Tianmal. Setelah
wafatnya Muhammad Ibnu Tumart, Dinasti Muwahhidun dipimpin oleh Abdul Mukmin.Ia
kemudian memperluas wilayahnya ke Spanyol. Dinasti Murabhitin saat itu masih memiliki
kekuasaan di Spanyol dan Afrika Utara.[Pada tahun 514 H, Abdul Mukmin berhasil menguasai
wilayah Dinasti Murabithun di Marrakesh. Ia kemudian menjadikan kota tersebut sebagai pusat
pemerintahannya yang kedua. Dinasti Murabithun akhirnya runtuh pada tahun 1143 M. Wilayah
tersebut kemudian berganti pemegang kekuasaannya ke Dinasti Muwahhidun.

Masa keemasan

Dinasti Muwahhidun menjadi dinasti yang memiliki kekuasaan yang besar selama
periode 1146–1235 M. Wilayah Kordoba, Almeria dan Granada dikuasai oleh Dinasti
Muwahhidun pada tahun 1154. Kota-kota tersebut merupakan kota berpenduduk muslim.
Kekuatan pasukan umat Kristen di Spanyol dihadang hingga beberapa dekade berikutnya.
Kondisi demikian menyebabkan wilayah Dinasti Muwahhidun mengalami kemajuan.

8. Dinasti Thahriyah ( 207-261 H | 820-874 M)

Dinasti Thahiriyah merupakan dinasti kecil yang didirikan oleh Thahir Ibn Husain (150-207 H),
seorang yang berasal dari Persia, terlahir di desa Musanj dekat Marw, Ia diangklat sebagai
panglima tentara pada masa pemerintahan Khalifah Al-Ma’mun. Ia telah banyak berjasa
membantu al-Ma’mun dalam menumbangkan Khalifah al-Amin dan memadamkan
pemberontakan kaumAlwiyin di Khurasan. Pada mulanya, Al-Ma’mun memberikan kesempatan
kepada Thahir untuk memegang jabatan gubernur di Mesir pada tahun 205 H. Kemudian
dipercaya pula untuk mengendalikan wilayah timur. Thahir Ibn Husain yang memerintah pada
tahun 205-207 H, menjadikan kota Marw sebagai tempat kedudukan gubernur. Setelah ia wafat,
jabatan gubernur dilimpahkan oleh khalifah kepada anaknya, yaitu Thalhah Ibn Thahir yang
memerintah selama 6 tahun, yaitu sejak 207-213 H. Para ahli sejarah mengakui bahwa pada
zaman Thahiri, dinasti ini telah memberikan sumbangan dalam memajukan ekonomi,
kebudayaan, dan ilmu pengetahuan dunia Islam. Kota Naisabur berhasil bangkit menjadi salah
satu pusat perkembangan ilmu dan kebudayaan di timur. Pada masa itu, negeri Khurasan dalam
keadaan makmur dengan pertumbuhan ekonomi yang baik sehingga dapat mendukung kegiatan
ilmu dan kebudayaan pada umumnya. Keadaan ini merupakan suasana yang menguntungkan
bagi perkembangan seterusnya

Dinasti ini didirikan oleh Thahir Ibn Husain (150-207 H), seorang yang berasal dari Persia,
terlahir di desa Musanj dekat Marw, Ia diangklat sebagai panglima tentara pada masa
pemerintahan Khalifah Al-Ma’mun. Ia telah banyak berjasa membantu al-Ma’mun dalam
menumbangkan Khalifah al-Amin dan memadamkan pemberontakan kaumAlwiyin di Khurasan.
Pada mulanya, Al-Ma’mun memberikan kesempatan kepada Thahir untuk memegang jabatan
gubernur di Mesir pada tahun 205 H. Kemudian dipercaya pula untuk mengendalikan wilayah
timur. Thahir Ibn Husain yang memerintah pada tahun 205-207 H, menjadikan kota Marw
sebagai tempat kedudukan gubernur. Setelah ia wafat, jabatan gubernur dilimpahkan oleh
khalifah kepada anaknya, yaitu Thalhah Ibn Thahir yang memerintah selama 6 tahun, yaitu sejak
207-213 H. Dalam redaksi lain, Philip K.

9. Dinasti SHAFARIYAH ( 254-296 H |867-908 M)

Dinasti Saffariyah adalah salah satu dinasti yang berada dalam kekuasaan Kekhalifahan
Abbasiyah. Pendiri Dinasti Saffariyah adalah Yaqub bin Al-Laits Ash-Shaffar. Wilayah
kekuasaan terluasnya meliputi Khurasan, Sijistan, Persia, Isfahan, Sindh dan Karman. Dinasti
Saffariyah hanya bertahan selama 41 tahun. Wilayah kekuasaan Dinasti Saffariyah beralih
ke Dinasti Samaniyah.

- Awal kekuasaan

Dinasti Saffariyah didirikan oleh Yaqub bin Al-Laits Ash-Shaffar. Dinasti Saffariyah
menggantikan kekuasaan Dinasti Tahiriyyah di wilayah Persia bagian timur hingga
ke Afghanistan bagian barat daya. Masa kekuasaan Dinasti Saffariyah dimulai sejak tahun 885
M.

- Yaqub bin Al-Laits Ash-Shaffar

Yaqub bin Al-Laits Ash-Shaffar merupakan pendiri dari Dinasti Saffariyah. Ia adalah
seorang keturunan Bangsa Persia yang tinggal di kota Al-Qarnain. Awalnya, ia bekerja sebagai
pengrajin tembaga. Ia kemudian menjadi relawan dalam pasukan yang memerangi Khawarij
di Sijistan yang dipimpin oleh Shaleh bin An-Nadhir Al-Kannani. Yaqub bin Al-Laits Ash-
Shaffar diangkat menjadi wakil komandan setelah memperoleh kepercayaan dari Shaleh bin An-
Nadhir Al-Kannani.

Yaqub bin Al-Laits Ash-Shaffar mendirikan Dinasti Saffariyah di Sijistan pada tahun 867 M.
Pada tahun 255 H atau 868 M, Yaqub bin Al-Laits Ash-Shaffar menguasai wilayah Karman di
Persia. Penguasaan ini dilakukan setelah ia memasuki kota Shiraz. Saat itu, kedua wilayah
tersebut diberikan kepada seorang wali kota yang dipilih oleh khalifah Kekhalifahan Abbasiyah.
Yaqub bin Al-Laits Ash-Shaffar kemudian mengirimkan bukti kesetiaan kepada khalifah di
Bagdad. Bukti ini berupa hadiah yang mewah. Al-Mu'tamid yang berkuasa sebagai khalifah
kemudian menetapkan wilayah Balakh, Thakharistan dan Sindh menjadi wilayah kekuasaan
Yaqub bin Al-Laits Ash-Shaffar. Penetapan ini dilakukan pada tahun 257 H atau 870 M.

- Amr bin Al-Laits Ash-Shaffar


Amr bin Al-Laits Ash-Shaffar menjabat sebagai khalifah menggantikan Yaqub bin Al-Laits
Ash-Shaffar. Ia adalah saudara dari Yaqub bin Al-Laits Ash-Shaffar. Amr bin Al-Laits Ash-
Shaffar juga menyatakan kesetiaan kepada khalifah Kekhalifahan Abbasiyah. Khalifah kemudian
menetapkannya sebagai wali kota untuk wilayah Khurasan, Sijistan, Persia, Isfahan, Sindh dan
Karman. Selain itu, Amr bin Al-Laits Ash-Shaffar memperoleh kekuasaan atas keamanan
wilayah Bagdad dan Samara.

10. Dinasti Samaniyah (262-389 H / 874-999 M)

Dinasti Samaniyah merupakan pemerintahan Islam di Iran. Negara Samaniyah didirikan


oleh empat saudara, Nuh, Ahmad, Yahya, dan Ilyas. Masing-masing dari mereka memerintah
wilayah di bawah kekuasaan raja Abbasiyah. Pada 892 Ismail bin Ahmad (892-907) menyatukan
negara Samaniyah di bawah satu penguasa.

Kehidupan di sana mengarah pada pembentukan budaya Turki-Persia. Samaniyah


terkenal dengan kemajuan sains dan sastra. Tiga Peninggalan Dinasti Samaniyah adalah sebagai
berikut.

Makam Samaniyah

Makam Samaniyah terletak di luar pusat kota bersejarah Bukhara, Uzbekistan. Tempat
ini merupakan karya arsitektur Asia Tengah yang paling dihargai yang dibangun antara 892 dan
943 M sebagai tempat peristirahatan Ismail Samani.

Literatur Puisi

Pada abad kesembilan dan ke-10 M, sastra Persia berkembang pesat di sana. Terutama, di
Transoxania. Kemajuan sastra Persia bernuansa Islam kemudian menyebar ke Khorasan dan
berbagai daerah lainnya. Penyair paling terkenal dari periode Samaniyah adalah Rudaki (wafat
941), Daqiqi (wafat 977), dan Firdausi (wafat 1020).

Tembikar

Kontribusi paling penting dari zaman Samaniyah bagi seni Islam adalah tembikar yang
diproduksi di Nishapur dan Samarkand. Orang Samaniyah mengembangkan suatu teknik yang
dikenal sebagai lukisan selip, mencampurkan tanah semicair dengan warna-warnanya. Mangkuk
dan piring sederhana adalah bentuk pa ling umum yang dibuat.

Masa Kejayaan dan Kehancuran

Dinasti Samaniyah berhasil menjalin hubungan yang baik, sehingga berbagai kemajuan
pada dinasti ini cukup membanggakan, baik dibidang ilmu pengetahuan, filsafat, dan politik.
Pelopor yang sangat berpengaruh dalam filsafat dan ilmu pengetahuan pada zaman Dinasti
Samaniyah adalah Ibn Sina, yang pada waktu itu pernah menjadi menteri.

Dinasti ini juga mampu meningkatkan taraf hidup dan perekonomian masyarakat. Hal ini
diakibatkan adanya hubungan yang baik antara kepala-kepala daerah dan pemerintah pusat,
yaitu Bani Abbas.

Setelah mencapai puncak kegemilangannya bagi bangsa Parsi (Iran), semangat fanatik
kesukuan pun cukup tinggi pada dinasti ini. Oleh karenanya ketika banyak imigran Turki yang
menduduki posisi di pemerintahan, dengan serta merta para imigran Turki tersebut dicopot
karena faktor kesukuan.

Akibat ulahnya ini, Dinasti Samaniyah mengalami kehancuran, karena mendapat


penyerangan dari bangsa Turki. Dengan keruntuhannya, tumbuh dinasti kecil baru yaitu Dinasti
Al-Ghaznawi yang terletak di India dan di Turki.

Dinasti Samaniyah juga telah berhasil menciptakan kota Bukhara sebagai kota budaya dan kota
ilmu pengetahuan yang terkenal di seluruh dunia. Selain Ibn Sina muncul juga para pujangga dan
ilmuwan yang terkenal, antara lain : Al-Firdausi, Ummar Kayam, Al-Biruni, dan Zakariya Ar-
Razi.

11. Dinasti Al-Ghaznawiyah (351-582 H / 962-1186 M)

Ghaznawiyah adalah dinasti Muslim Persia yang berasal dari budak-budak Turki. Dinasti
ini berkuasa dari 975 hingga 1187 di Persia, Transoksania, serta bagian utara India. Pusat
pemerintahannya berada di Ghazni, sebuah kota di Afghanistan. Secara politik dan budaya,
dinasti ini terpengaruh oleh pendahulunya, yaitu Dinasti Persia Samaniyah.

Dinasti ini dibangun oleh Sebuktigin setelah berhasil merebut kepemimpinan teritorial
yang berpusat di Ghazni dari ayah mertuanya, Alp Tigin. Anak Sebuktigin yang bernama
Mahmud meluaskan wilayah kekuasaannya dari Sungai Amu ke Lembah Indus dan Lautan
Hindia. Bagian barat dinasti ini mencapai Rey dan Hamadan.

Pada 997 M, Mahmud melanjutkan penaklukan Samaniyah yang telah dilakukan


ayahnya, Tanah Shahi, Kerajaan Ismaili, Sindh, dan Buwayhid. Bisa dikatakan, pada masa
pemerintahan Mahmud, dinasti ini mencapai puncak kejayaannya. Mahmud mengadakan
ekspedisi ke utara India selama 17 tahun dan mendirikan kotanya di sana.

Dari perbatasan Kurdistan ke Samarkand, dari Laut Kaspia ke Yamuna, ia menciptakan


wilayah kekuasaan baru. Kekayaan yang ia bawa dari ekspedisi India ini sangatlah berlimpah.
Namun, setelah dirinya wafat, tidak ada satu sultan pun yang dapat menjadikan dinasti ini
mencapai kejayaannya seperti yang dilakukan Mahmud.

Di bawah kepemimpinan anak Mahmud, Mas’ud I, dinasti ini kehilangan kepercayaan


dirinya. Pada masa Mas’ud, sebagian teritorial di bagian barat direbut. Wilayah ini direbut oleh
Dinasti Seljuk pada Pertempuran Dandanagan yang menyebabkan pembatasan kekuasaan di
Punjab dan Balochistan.

Tanda-tanda kelemahan dinasti ini semakin terlihat ketik Mas’ud III wafat pada 1115 M.
Konflik internal menyebabkan naiknya Sultan Bahram Syah sebagai penguasa Seljuk. Sultan
Bahram adalah penguasa Ghaznavid terakhir yang menguasai Ghazni. Alauddin Husein yang
berasal dari Dinasti Ghurid menaklukkan kota tersebut pada 1151 untuk membalaskan kematian
kakaknya.

Ia meratakan seluruh kota dan membakarnya dalam tujuh hari. Ia mendapat gelar
‘Jahansoz’ yang berarti pembakar dunia. Akibatnya, ibu kota dipindahkan ke Lahore dan
kekuatan Ghaznawiyah dipindahkan ke utara India sampai akhirnya ditaklukkan oleh Ghurid
pada 1186.

12. Dinasti Saljuk (447-656 H / 1125-1258 M)

Sejarah selalu terjadi silih berganti. Pemerintahan Islam pun demikian. Saat Dinasti
Umayyah berkuasa sekian abad, kemudian berdiri Dinasti Fatimiyah untuk menggantikannya.
Selanjutnya, berdiri Dinasti Abbasiyah, Seljuk, Mamluk, Ayyubiyah, hingga Ottoman
(Utsmaniyah) di Turki.
Khusus di kawasan Asia Tengah dan Timur Tengah, pada abad ke-11 hingga 14 M,
berdiri sebuah dinasti Islam bernama Seljuk. Dinasti ini berdiri setelah kekuasaan Dinasti
Abbasiyah mulai melemah.

Pemerintahan Islam ini dikenal Kekaisaran Agung Seljuk. Perintisnya adalah Seljuk Beg.
Namun, baru terwujud pada masa Tugril Beg tahun 1063 M. Kekaisaran ini terbentang dari
Anatolia hingga ke Punjab di belahan selatan Asia.

Dinasti ini berasal dari sebuah suku yang mendiami wilayah Asia Tengah. Dalam
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam tentang Khilafah disebutkan bahwa sekelompok orang dari
suku ini mengembara ke arah barat, kemudian menetap di wilayah Asia Tengah.

Karena kepiawaian para pemimpin suku, sebagian anggotanya berhasil mendapatkan


sejumlah kedudukan, baik di pemerintahan maupun militer. Sebagian lainnya memilih
mengembara ke kawasan Timur Tengah. Kelompok inilah yang dikenal dengan nama Ghuz atau
Oghuz. Mereka terbagi ke dalam sembilan suku.

Permulaan awal abad ke-11 Masehi, orang-orang suku Oghuz ini bermigrasi ke wilayah
selatan Syr Darya. Yaitu, sebuah daerah yang berada di bagian tenggara Laut Aral, saat salah
satu dari keluarga Bani Seljuk, yakni Seljuk Beg, menjadi Muslim.

Pada saat itu, wilayah Transoksania menjadi kawasan yang diperebutkan antara penguasa
Dinasti Samaniah terakhir dan Dinasti Gaznawi. Dalam posisi ini, orang-orang suku Oghuz
terlibat sebagai sekutu ataupun tentara bayaran kedua penguasa Islam tersebut.

Salah seorang anak Seljuk Beg yang bernama Arslan Israil, masuk ke Transoksania
dengan pengikutnya. Tetapi, pada 1027 M, ia ditahan oleh penguasa Dinasti Gaznawi, Mahmud
bin Sebuktegin dan pengikutnya.

Di bawah pimpinan anaknya, Qutlumsy, mereka dipukul keluar dari wilayah Mahmud,
bukan ke timur, tempat mereka datang, tetapi ke barat. Di wilayah barat, tepatnya di tepi
Pegunungan Tabaristan dan Dailam, sebuah kawasan padang rumput di Azerbaijan, Qutlumsy
dan pengikutnya berupaya untuk mendirikan kekuasaan.

Dua keponakan Arslan yang bernama Tugril Beg dan Chagri Beg, yang memutuskan
untuk tetap tinggal di wilayah Syr Darya, akhirnya diusir oleh suku setempat. Peristiwa itu
terjadi sekitar tahun 1030 M.

Untuk mencari permukiman baru, keduanya terpaksa menyerang ibu kota pemerintahan
Gaznawi di Transoksania. Sultan Mas’ud, penguasa Gaznawi saat itu--yang berupaya untuk
mempertahankan daerah kekuasaannya--mengalami kekalahan saat bertemu tentara Bani Seljuk
di Dandaqan pada 1040 M.

Pasukan Tugril mengikuti jejak pendahulunya yang bermigrasi ke arah barat. Sementara
itu, Chagri memilih untuk menetap di Khurasan. Tugril kemudian membuat perjanjian damai
dengan Abu Kalijar, penguasa Dinasti Buwaihi di Fars, dan berunding dengan Khalifah al-Qa'im
di Baghdad.

Dengan perjanjian damai itu, posisi Tugril semakin kokoh. Dan, ketika Abu Kalijar
meninggal dunia, Fars menjadi lahan terbuka bagi serangan orang-orang Turki. Setelah berhasil
menguasai Fars, ia kemudian merebut Syiraz dan Ahwaz pada 1052 M.

13. Dinasti Mamalik (Mamluk) (648-932 H / 1250-1517 M)

Dinasti Mamluk merupakan salah satu dinasti yang berpengaruh terhadap peradaban
Islam. Sejak paruh kedua abad ke-13 sampai awal zaman modern, para peneliti melihat saat itu
sejarah sangat dipengaruhi oleh pergerakan bangsa Mamluk. Bersamaan para Mamluk berhasil
meraih kekuasaan di Mesir dan Negeri Syam.

Dijelaskan dalam buku Bangkit dan Runtuhnya Dinasti Mamluk oleh Dr. Muhammad
Suhail Thaqqus, para Mamluk, datang ke kawasan tersebut melalui jalur tawanan perang atau
pembelian budak. Masuknya mereka ke Mesir berlangsung tanpa berhenti sejak akhir periode
dinasti Abbasiyah. Seiring berjalannya waktu, mereka sangat dominan dalam bidang militer dan
politik.

Kata “Mamluk” dalam bahasa Arab adalah bentuk tunggal. Sedangkan bentuk jamaknya
“Mamalik”. Yang berarti seorang budak yang ditawan, namun orang tuanya tidak. Kalau budak
yang orang tuanya juga merupakan budak disebut “al-qin”. Dapat diartikan, Mamluk adalah
budak yang diperjualbelikan.

Dalam perjalanan selanjutnya, nama ini memiliki makna istilah khusus dalam sejarah
Islam. Sebab, sejak era Khalifah Abbasiyah Al-Makmun (198-218 Hijriyah atau 813-833
Masehi), lalu era Al-Mu’tashim (218-227 Hijriyah atau 833-842 Masehi), kata ini menjadi istilah
yang digunakan untuk menyebut kelompok budak kulit putih.

Para khalifah, panglima besar, dan gubernur Khilafah Abbasiyah membeli mereka dari
pasar-pasar budak ulit putih. Tujuannya, untuk digunakan membentuk kelompok pasukan militer
khusus. Pasukan ini menjadikan mereka sebagai penopang untuk memperkuat pengaruh mereka.

Seiring berjalannya waktu, para Mamluk menjadi satu-satunya perangkat militer di


beberapa negara Islam, seperti Dinasti Mamluk yang berdiri di Mesir dan Syam. Kala itu, para
budak atau Mamluk tersebut dipasok dari kawasan Transoxiana. Transoxiana adalah sebutan
pada masa lalu untuk sebuah wilayah di bagian Asia Tengah, yang saat ini berdekatan dengan
Uzbekistan, Tajikistan, Kyrgystan, dan Kazakhstan. Transoxania dalam bahasa Arab disebut
“Maa wara’a nahr” atau dalam bahasa Inggirs “across the oxus river” atau sering disebut juga
dengan “mawarannahar”.

Kota seperti Samarkand, Fergana, Osyrusana, Syasy, dan Khawarizmi dikenal sebagai
sumber utama pengekspor budak kulit putih asal Turki. Para Mamluk, didapat dengan tiga cara,
yakni pembelian, tawanan dalam perang, dan hadiah yang diberikan oleh gubernur kawasan
Transoxiana kepada khalifah. Dengan demikian, kawasan Transoxiana menjadi sumber penting
pemasuk budak Turki.

14. Dinasti Utsmaniyah (Ottoman) (687-1342 H / 1288-1924 M)

Dinasti Turki Usmani merupakan kerajaan Islam terbesar yang berkuasa pada abad ke-13
sampai dengan awal abad ke-20.
Kekhalifahan yang biasa disebut juga dengan Ottoman ini didirikan oleh Osman I atau Usman I
pada 1299 dan beribu kota di Anatolia.
Dinasti Turki Usmani ini menggunakan sistem monarki absolut yang mana seorang raja
berkuasa penuh dalam menjalankan pemerintahan. Hal ini sama seperti dinasti-dinasti Islam
sebelumnya yakni Dinasti Umayyah dan Abbasiyah.
Dinasti Turki Usmani ini mencapai puncak kejayaannya di masa kepemimpinan Sultan
Muhammad Al Fatih atau yang dikenal dengan Mehmed II
Di masa kepemimpinan Sultan Mehmed II, Dinasti Turki Usmani berhasil menaklukan
Bizantium yang berada di Konstantinopel.
Sejarah berdirinya Dinasti Turki Usmani dimulai dari abad ke-12. Pada saat itu tentara
Mongol yang dipimpin oleh Genghis Khan melakukan serangan. Salah satu suku yang diserang
ialah Suku Kayi. Kemudian Suku Kayi yang berasal dari keturunan Oghus melarikan diri ke Iran.
Tidak lama kemudian meraka pindah ke Anatolia. Anatolia ini adalah negara yang
nantinya menjadi negara Turki. Anatolia berada di bawah kekuasaan Rum.
Akan tetapi Anatolia pecah menjadi beberapa negara setelah Kesultanan Rum dibubarkan oleh
Dinasti Seljuk.
Salah satu anggota dari Suku Kayi cucu dari Erthogul yang bernama Osman atau Usman
kemudian membantu dan ikut berperang melawan tentara Mongol. Saat itu Usman berhasil
memimpin pasukan Islam untuk melawan tentara Mongol yang menyerang Anatolia dan Dinasti
Seljuk. Sebagai tanda terima kasih dari Pemimpin Dinasti Seljuk, Sultan Alauddin menjadikan
Usman sebagai pemimpin di wilayah Iskisyahr. Meski begitu peperangan antara Dinasti Seljuk
dengan Mongol masih terus terjadi. Akibatnya, Dinasti Seljuk menjadi lemah dan akhirnya
runtuh.
Sementara Usman bersama pasukannya semakin kuat. Sehingga, setelah runtuhnya Dinasti
Seljuk, Usman pun mendirikan kerajaan yang diberi nama Dinasti Turki Usmani atau Ottoman.
Dinasti Turki Usmani berdiri pada abad ke-13. Setelah resmi mendeklarasikan sebagai
kerajaan sendiri, Usman menjabat sebagai khalifah atau sultan pertama Dinasti Turki Usmani.
Kahlifah-khalifah dinasti Usmani
Osman I (1299-1324)
Orhan I (1324-1362)
Murad I (1362-1389)
Bayezid I (1389-1402)
Mehmed I (1413-1421)
Murad II (1421-1444)
Mehmed II (1444-1446)
Bayezid II (1481-1512)
Selim I (1512-1520)
Suleiman I (1520-1566)
Selim II (1566-1574)
Murad III (1574-1595)
Mehmed III (1595-1603)
Ahmed I (1603-1617)
Mustafa I (1617-1618)
Osman II (1618-1622)
Murad IV (1622-1623)
Ibrahim I (1640-1648)
Mehmed IV (1648-1687)
Suleiman II (1687-1691)
Ahmed II (1691-1695)
Mustafa II (1695-1703)
Ahmed III (1703-1730)
Mahmud I (1730-1754)
Osman III (1754-1757)
Mustafa III (1757-1774)
Abdul Hamid I (1774-1789)
Selim III (1789-1807)
Mustafa IV (1807-1808)
Mahmud II (1808-1839)
Abdul Mejid I (1839-1861)
Abdul Aziz I (1861-1876)
Murad V (1876-1876)
Abdul Hamid II (1876-1909)
Mehmed V (1909-1918)
Mehmed VI (1918-1922)

Anda mungkin juga menyukai