com/indonesiapustaka
http://facebook.com/indonesiapustaka
http://facebook.com/indonesiapustaka
http://facebook.com/indonesiapustaka
1. Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud
dalam pasal 9 ayat (1) huruf i untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
2. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf f, dan atau huruf h, untuk penggunaan secara komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp
http://facebook.com/indonesiapustaka
Chapter 1
“
H idup tidak pernah mudah. Alex tahu kalau banyak
yang bilang seperti itu.
“Hidup adalah cobaan” atau “hidup adalah sesuatu
yang harus kita jalani”.
Dan banyak juga orang yang bilang “ada hikmah di
balik semua cobaan”, atau “setelah hujan maka datanglah
pelangi”.
Jika sekarang ada orang yang berani mengucapkan ka-
limat itu di depan Alex, maka wanita itu akan tersenyum
manis dan di detik berikutnya melayangkan tamparan di
http://facebook.com/indonesiapustaka
~6~
ka mulutnya, meraup sedotan yang sejak tadi bertengger
di pinggir gelas. Alex meneguk frappucino-nya, menjilat
bibirnya yang terlapis lipgloss itu dengan wajah datar. Ma-
tanya tidak pernah lepas dari si barista.
Mulut si barista pirang ternganga lebar, gelas di ta-
ngannya terjatuh dengan suara pecahan nyaring. Di detik
kemudian wajahnya langsung terbakar. Lelaki itu cepat-
cepat menunduk membersihkan pecahan gelas itu, ber-
usaha menghindar dari tatapan tajam para pengunjung
yang mengantre dengan tidak sabar.
“Bocah.” Alex mendengus, meneguk frap-nya lagi. “Ke-
napa kau girang seperti itu?” Alex menaikkan sebelah alis,
menatap mata kecoklatan Timmy yang bersinar-sinar.
“Tim Shannon Frank. Apa yang ada di kepalamu seka-
rang?”
“Well, jangan salahkan dia. Kau memang cantik, kok.
Sexy and beautiful.”
Alex tidak langsung menjawab, melainkan menatap
bayangannya yang terpantul dari kaca jendela. Jujur saja,
sosoknya berbeda dengan artis-artis terkenal yang bi-
asanya pirang dan bermata biru. Dia brunet, rambutnya
http://facebook.com/indonesiapustaka
~7~
Dia akui kalau wajahnya lebih menawan dari rata-rata.
Ditambah dengan statistik obesiti di Amerika yang tidak
bisa dibilang kecil, Alex memang seorang wanita yang sa-
ngat ‘menarik perhatian’ dengan tubuhnya yang ramping.
“Dan, kecantikan ini yang membuatku dipecat. Terima
kasih sudah mengingatkan, Tim.” Alex tersenyum manis,
mengaduk minumannya. “Dan sekarang, si cantik ini ter-
paksa bertahan hidup dengan uang tabungannya. Seben-
tar lagi dia tidak akan bisa membayar sewa apartemen
kontrakannya dan akhirnya si cantik akan ditendang oleh
si Tante pemilik yang kejam.”
“Cerita yang bagus sekali.” Timmy langsung bertepuk
tangan, mengusap ujung matanya sambil pura-pura ter-
isak. “Kalau kau jual cerita ini di studio TV, aku yakin me-
reka akan langsung membayarmu dengan mahal.”
Alex tersedak, tidak bisa menahan tawanya. Dia tidak
pernah merasa kalau dia pernah sesial ini. Tapi, sahabat-
nya ini selalu bisa membuatnya tertawa di kondisi sepa-
rah apa pun. Mau bagaimana pun mereka berdua sudah
bersahabat sejak high school. Wanita itu menghela napas
pelan. Jari-jarinya mengusap tengkuknya yang tidak gatal.
http://facebook.com/indonesiapustaka
~8~
setidaknya boss bitchy-mu itu sadar bahwa kau ini terlalu
seksi, jadi kau harus dieliminasi.”
Alex terdiam sesaat, teringat akan kejadian dua ming-
gu lalu. Dakota, bossnya yang berusia 50 tahun itu me-
nendangnya dari perusahaan ketika sadar bahwa suami-
nya berkali-kali datang ke kantor hanya untuk bertemu
dengan Alex. Awalnya, Alex tidak pernah memusingkan
hal itu. Dia sudah terbiasa didekati lelaki. Alex punya hu-
kum tak tertulis berhubungan dengan para lelaki yang
mendekatinya. Selama mereka tidak menyentuhnya dan
berdiri dalam jarak setidaknya satu meter darinya, maka
Alex tidak peduli. Tapi, sepertinya Dakota adalah wanita
setengah baya yang sangat cemburu.
“Aku sudah bekerja di sana selama tiga tahun.” Alex
mendesis sesaat. Tepat ketika dia lulus kuliah dengan sar-
jana bisnis di umur 22 tahun, dia bekerja di Hillbert Ltd.
Perusahaan printing yang dimiliki oleh Dakota Hillbert.
Perusahaan itu sudah punya tiga cabang di California dan
punya masa depan yang cemerlang. “Tiga tahun, Timmy.
Dua tahun menjadi asisten manager dan setahun sebagai
PA2 nenek lampir itu. Kau tidak tahu seperti apa stresnya
http://facebook.com/indonesiapustaka
~9~
tersenyum, namun Alex hanya menatapnya dengan tatap-
an tajam. “Ayolah, Alex,” Timmy menghela napas, meng-
garuk rambutnya yang panjang. “Aku tahu kau membenci
pekerjaan ini. Jujur saja, aku saja frustrasi melihatmu yang
harus melakukan pekerjaan yang kau benci setengah mati.
Sudah keajaiban wajah cantikmu itu tidak keriput.”
“Thanks.” Alex mencibir. “Aku benci pekerjaan ini,
tapi aku tidak benci dengan gaji yang kudapat. Asal kau
tahu saja, wajahku menjadi semakin mulus ketika melihat
angka di tabunganku setiap akhir bulan.”
“Anggap saja ini sebagai kesempatan baru.” Timmy
tetap menekan, mengabaikan sindiran sarkastik Alex.
“Bukankah dulu kau bercita-cita untuk menjadi pelukis?”
Timmy menyeringai lebar, memamerkan sederet gigi yang
cemerlang. “Menjadi animator?”
“Tidak lagi,” Alex meneguk habis minumannya. “Masa
depan pelukis di California lebih suram dari awan-awan
gelap di atas kita.” Dia terdiam sesaat. “Well… kecuali kau
bisa dapat posisi di Disney.”
“Alex–”
“Selain itu, aku tidak ada diploma seni. Kalau mau
http://facebook.com/indonesiapustaka
~10~
Alex langsung ternganga, menatap Timmy yang men-
dengus bangga.
“Kau kira aku tidak tahu? Kau bahkan meminta Na-
than bantuan untuk merekomendasikanmu, kan, supaya
kau diterima?”
Alex mengatupkan bibirnya. Sosok lelaki berambut pi-
rang dan bermata hijau jernih muncul di benaknya. Diam-
diam Alex berencana untuk melempar pisau lipatnya ke
lelaki kepo itu. “Dia bilang padamu?”
“Sebenarnya aku sudah punya perasaan sebelum dia
cerita,” Timmy menatapnya lekat-lekat. Mata sahabatnya
berseri-seri. “Alexandra Daryl Walker, kau kira aku baru
kenal denganmu kemarin? Aku berani taruhan di detik
ketika kau dipecat, kau langsung memikirkan untuk lang-
sung menempuh jalan yang kau inginkan.”
Alex menaikkan bahunya. “Begitulah.”
“Lalu apa lagi yang membuatmu ragu?”
Alex langsung teringat akan alasan kenapa dia meng-
anggap hidupnya ‘musim-dingin-usai-besoknya-muncul-
tornado’. “Aku punya tabungan yang cukup untuk me-
nyelesaikan program kelas seni selama tiga tahun.” Alex
http://facebook.com/indonesiapustaka
~11~
“Alex,” Timmy menghela napas. “Kau bisa saja tinggal
bersamaku, bukan?”
“Kau tinggal bersama tunanganmu, Timmy. Aku tidak
mau mengganggu kalian.”
“Max tidak akan keberatan. Dia suka denganmu—”
“Meski pun Max suka dengan denganku.” Alex memo-
tong. “Dan kalian akan menikah dalam waktu dekat. Sung-
guh, Timmy. Tidak perlu mencemaskanku, oke?” Wanita
itu memasang senyum manisnya, senyum yang bisa mem-
buat cowok-cowok tersandung jatuh, namun Timmy ha-
nya mendengus kesal. “Aku akan cari kerja lagi dan setelah
aku dapat pekerjaan, mungkin aku akan mengambil kelas
malam.”
Timmy kembali membuka mulut, hendak membantah.
Tapi, Alex dengan gesit berdiri, menarik resleting jaket ku-
litnya, menutupi seluruh lehernya. “Sudah, ya, Timmy. Aku
ada janji dengan Nathan di rumah barunya.”
Sahabatnya itu langsung menggerutu. Namun, Timmy
ikut berdiri, mengibas rambutnya dan meraih syalnya di
pinggir kursi. “Kenapa dia tiba-tiba pindah ke Los Ange-
les ini? Sudah bosan dengan New York sana? Dia langsung
http://facebook.com/indonesiapustaka
~12~
Timmy terbelalak sesaat. Dia bersiul pelan. “Wow!
Aku tidak tahu kalau gaji sebagai designer bisa setinggi itu
sampai dia sanggup beli rumah di sana.”
“Bukan. Itu rumah kakak tirinya. Aku tidak tahu ke-
napa dia tiba-tiba pindah di sana.” Alex meraih tasnya,
menyanggul tas sambil menggenggam kunci mobil dan
ponselnya. “Kau tidak mau ikut?” Mereka berdua keluar
dari Starbucks dan di detik itu juga angin dingin menerpa
wajah mereka. Alex sedikit menyesal karena tidak bawa
syal seperti Timmy.
“Dia tidak mengundangku. Lagipula aku ada kencan
makan malam bersama Max.” Timmy mengedipkan ma-
tanya, membuat Alex tersenyum lebar. Timmy tanpa ragu
selalu memujinya cantik atau seksi, namun Timmy sendiri
adalah salah satu wanita tercantik yang pernah dia temui,
dengan rambut merah dan mata coklat mudanya. “Aku
pergi dulu. Bye, babe.” Timmy mengecup pelan pipi Alex,
dan Alex meremas bahu Timmy. “See you next week.”
Alex menatap Timmy yang berjalan menjauh. Wanita
itu menghela napas sesaat, menengadah menatap awan
mendung dan langit kelabu. Cuaca sekarang seakan-akan
http://facebook.com/indonesiapustaka
~13~
fe
Sungguh. Ketika Nathan bilang padanya kalau dia pindah
ke Los Angeles, Alex tidak bisa berkata-kata. Dia menge-
nal Nathan lebih lama daripada dia mengenal Timmy. Le-
bih tepatnya, mereka sudah bersama sejak mereka masih
bocah ingusan di Newton Kindergarten. Alex bukan wa-
nita gombal, tapi dia sempat mengira kalau Nathan adalah
soulmate-nya. Hanya saja, seiring waktu berlalu, dia tidak
percaya dengan yang namanya soulmates.
Alex keluar dari mobilnya, terpaku menatap rumah
megah bertingkat dua di depannya. Dia tahu kalau di
Santa Monica, ini adalah salah satu kompleks perumahan
yang terkenal. Tapi tetap saja. Dia tidak menyangka kalau
kakak tiri Nathan bisa sekaya ini. Dia tahu kalau harga
rumah yang menghadap ke laut ini tidak murah, apalagi
perumahan di Los Angeles. Alex melangkah, menekan bel
rumah. Wanita itu menunggu sesaat, dan di detik kemu-
dian, pintu terbuka.
“Hei! Lexie!” Cengiran lebar Nathan membuat senyu-
man Alex muncul tanpa dia sadari. Sebelum Alex sempat
http://facebook.com/indonesiapustaka
~14~
bau sabun yang familiar. Dia menepuk punggung Nathan
sekali lagi sebelum dia memutuskan kalau dia perlu ber-
napas. “Hei. Kau mau buat aku mati kehabisan napas seka-
rang?”
“Jesus,” Nathan berseru tertahan, masih tertawa. Dia
melepaskan pelukannya dan melangkah mundur. Mata
hijaunya menatap Alex dengan berseri-seri. “Kita belum
bertemu sejak thanksgiving tahun lalu, Lexie. Kau tidak
tahu kalau aku sangat merindukanmu.”
“Hei. Kita bisa makan bersama di thanksgiving tahun
ini. Kau masih gombal,” Alex menyunggingkan senyuman
miringnya, membuat Nathan tersipu sesaat. “Masih kurus
juga, tapi kekuatan memelukmu tidak berkurang.” Lelaki
di depannya, Nathan Sebastian Sanders, bertubuh kurus
dan jangkung. Jika ada orang asing yang melihatnya, me-
reka pasti mengira kalau Nathan selalu disiksa dan tidak
makan setahun. Namun, wajahnya yang oval cekung itu
membuat mata hijaunya yang bundar terlihat sangat men-
colok. Alex tidak keberatan menatap mata itu seharian.
“Dan, kau tetap menawan. Kali ini siapa yang kau buat
tersandung jatuh?” Nathan tertawa, mengusap rambut
http://facebook.com/indonesiapustaka
~15~
“Well... kau terlihat seperti Emma Watson sekarang.
Emma yang baru saja memotong rambutnya dengan style
pixie.” Nathan menaikkan sebelah alis, menatap mata Alex
yang tajam dan senyuman sarkastiknya. “Well… tidak juga.
Lebih tepatnya Emma versi sadis.”
“Aww, Babe, kau terlalu memujaku.” Alex berujar den-
gan nada datar, membuat Nathan tertawa. “Rahangku
lebih menonjol darinya dan wajahku tidak sekecil itu. Kau
mau membiarkan aku berdiri di sini terus, membiarkan
punggungku kedinginan atau kau akan mengundangku
masuk?”
“Ah, iya.” Nathan cepat-cepat melangkah ke samping,
membuka jalan. “Di ruang tamu masih ada beberapa kar-
dus. Jangan keberatan, ya.”
Alex tidak sempat menjawab, terpaku sesaat melihat
perabotan rumah itu. Dia seakan-akan menginjakkan
kaki di showroom IKEA. Ruang tamu yang sangat luas, de-
ngan sensasi black-and-white. Piano di pojok ruangan. TV
flatscreen yang menempel di dinding. Di tengah ruangan,
terdapat sofa L-shapped hitam yang terlihat lebih empuk
dari kasurnya di apartmen. Mata Alex tidak lagi terpaku
http://facebook.com/indonesiapustaka
~16~
“Aku kangen, sudah kubilang.” Nathan berujar santai.
“Ah, pakai saja sepatumu, tidak apa,” ujar lelaki itu ketika
melihat Alex yang sudah menunduk untuk melepaskan
bootnya.
“Dan mengotori karpet di lantai ini? Tidak.” Alex men-
dengus, meletakkan boots hitamnya di pinggir pintu.
“Ngomong-ngomong, semua lantai di rumah ini dilapisi
karpet?” Alex menaikkan sebelah alis.
“Ah… iya. Soalnya di rumah ini ada anak kecil. Jadi ru-
mah ini dilapisi karpet supaya aman.”
“Anak kecil?” alis Alex terangkat. Dia membentangkan
lengannya, membiarkan Nathan melepaskan jaketnya. Dia
merapikan kaus lengan panjangnya. “Kau tinggal di sini
bersama siapa saja?” Alex mengusap jeansnya sesaat, mu-
lai merasa kurang nyaman. Dia tidak bawa apa pun kecuali
sepotong kue untuk Nathan.
“Ada enam kamar di rumah ini.” Nathan menghela na-
pas. “Aku, Arthur, Elizabeth, dan Ms. Conney.”
Alex berkedip. Dia tidak mengenal nama-nama yang
disebutkan Nathan. Arthur terdengar familiar…. “Arthur
itu kakak tirimu, bukan? Sebenarnya kau tinggal bersama
http://facebook.com/indonesiapustaka
~17~
mau kopi lagi. Kau mau teh? Earl Grey? Tanpa gula dan
susu?”
Alex mengangguk, diam-diam tersenyum karena Na-
than masih mengingat minuman kesukaannya. “Ah, iya.
Ini, cake untukmu. Cheese cake.”
Nathan langsung terlihat girang, meraih bingkisan kue
dari tangan Alex dan berjalan cepat menuju dapur. “Kau
mau makan malam di sini sekalian, Lexie? Kita bisa pesan
chinese.” Nathan berseru dari dapur.
Sebelum Alex sempat menjawab, dia mendengar lang-
kah kaki yang berlari dengan tergesa-gesa. Wanita itu me-
nengadah, menoleh ke arah tangga di mana dia melihat
wanita setengah baya yang berlari dengan wajah pucat.
Wanita itu menoleh ke sana kemari dan matanya bertemu
dengan mata Alex. “Maaf, Mr. Sanders di mana?” Dia ber-
tanya panik, sama sekali tidak terlihat kaget atau tertegun
melihat tamu asing.
Mr. Sanders? Formal sekali. “Dapur.” Alex melontarkan
senyuman. Wanita itu membalas tersenyum meski senyu-
mannya hanyalah berupa senyuman lemah. Wanita itu
cepat-cepat berlari ke arah dapur.
http://facebook.com/indonesiapustaka
~18~
“Ada apa?” Alex beranjak, mendekati Nathan.
“Elizabeth,” Nathan bergumam pelan. “Dia bertingkah
lagi.”
“Anak kecil yang kau bicarakan itu?” Alex menebak.
Dia melirik, menatap wanita setengah baya yang berdiri
di sebelahnya. Dari sosok wanita ini, Alex kembali men-
ebak kalau dia adalah pengasuh anak itu. Nanny. Menyewa
nanny di rumah hanya untuk mengurus satu anak kecil?
Dompet si kakak tiri tidak bisa dianggap remeh.
“Iya.” Nathan berjalan naik ke atas, diikuti oleh si nan-
ny, Ms. Conney. “Kau tunggu di sini saja, Alex.”
“Mr. Sanders, maafkan saya, tapi saya benar-benar
tidak sanggup lagi.” Ms Conney berujar cepat. “Saya sudah
kehabisan akal.” Alex bisa melihat lingkaran hitam di seki-
tar matanya yang sudah keriput.
“Please, Ms. Conney. Untuk kesekian kalinya, panggil
aku Nathan.” Nathan tersenyum. “Relax, tarik napas. Isti-
rahatlah. Ada teh di dapur. Biar aku yang menangani Eliza-
beth.”
“Tapi–”
Sebelum Ms. Conney sempat membantah, Nathan su-
http://facebook.com/indonesiapustaka
~19~
“Nope.” Alex tersenyum manis, membuat Nathan me-
mutar bola matanya.
“Ya sudah. Salahmu sendiri. Tutup telingamu.”
Alex menyilangkan lengannya, menatap Nathan den-
gan bingung. Kenapa dia harus menutup telinganya? Keti-
ka mereka sampai di lantai dua, Alex langsung bergumam
kagum melihat ruangan menonton yang besar itu. Di de-
pan TV raksasa yang menempel di dinding, ada treadmill.
Di depan ruangan menonton itu terdapat lorong panjang
dan beberapa pintu. Nathan membuka pintu terakhir dan
di detik itu juga, suara jeritan bergema di seluruh rumah
ini. Nathan langsung mundur tiga langkah, membekap tel-
inganya sedangkan Ms. Conney mengerang dengan suara
kencang. Alex berkedip, terpaku. Dia sempat yakin kalau
suara itu bisa memecahkan semua jendela di rumah ini.
“Elizabeth!” Nathan membuka pintu lebar-lebar,
masuk ke dalam. “Ayolah! Jangan membuat ulah seperti
itu! Kasian dengan Ms. Conney!”
Jeritan itu semakin kencang dan sekarang, Alex bisa
mendengar suara kesakitan Nathan. Alex tidak bisa me-
nahan rasa penasarannya lagi. Wanita itu menjengukkan
http://facebook.com/indonesiapustaka
~20~
yang menampakkan pemandangan lautan. Mainan berte-
baran di mana-mana. Alex belum pernah melihat boneka
sebanyak ini di hidupnya. Dari boneka Barbie di sekitar
lantai sampai boneka Bambi di atas kasur. Dan di sudut
kamar, ada seorang bocah mungil yang mengenakan gaun
tidur. Bocah itu sedang berjongkok, menjerit nyaring sam-
bil melemparkan semua mainan ke arah Nathan.
Mau tak mau, Alex mendengus geli melihat Nathan
yang mengaduh-aduh sambil mundur ke belakang.
“Ini dia? Si anak manis yang bertingkah?” Alex bergu-
mam pelan, cekikikan.
“Anak liar tepatnya,” Nathan mendesis kesal. “Nama-
nya Elizabeth. Dia keponakan tiriku. Kerjanya setiap hari
hanya menjerit dan dia menolak untuk makan. Dia tidak
mau bergerak dari pojok dinding itu. Yang bisa membuat-
nya menurut hanya Arthur.”
Alex bergumam, menatap anak kecil mungil itu. Di-
lihat dari tubuhnya yang kurus, anak itu masih di bawah
lima tahun. Tiga tahun? Rambutnya anak itu panjang dan
ikal, berwarna hitam kelam. Rambutnya mencuat ke se-
gala arah, mengingatkan Alex akan rambut Hermione dari
http://facebook.com/indonesiapustaka
~21~
“Hei,” Alex menyapa. Elizabeth menjerit semakin men-
jadi-jadi, kali ini melempar krayon ke arah Alex. Namun,
Alex dengan gesit menangkap krayon itu. Sebelum Eliza-
beth sempat menjerit lagi, Alex membuka mulutnya, men-
jerit sekuat tenaga.
“Lexie!” Nathan berseru protes, membekap telinganya.
“Apa yang kau…” ucapannya terhenti ketika dia melihat
Elizabeth yang terdiam. “Hei… dia tidak teriak lagi.” Na-
than melongo.
Alex tersenyum lebar, menatap Elizabeth yang mena-
tapnya dengan terbelalak. “Krayon yang bagus. Sayang ka-
lau dilempar ke arah Nathan bukan?” Dia langsung duduk
bersila di tengah ruangan. Matanya melirik, menemukan
buku gambar di sampingnya. Alex membuka buku itu.
“Hmmm, ada gambar bebek.” Alex memainkan krayon
biru di tangannya. “Bebek warnanya kuning. Bukan biru.
Ada warna kuning?”
Elizabeth menunduk, langsung menatap krayon ku-
ning di dekat kakinya.
“Lempar.” Alex menyeringai, menyodorkan telapak
tangannya.
http://facebook.com/indonesiapustaka
~22~
beth sepenuhnya. Selama beberapa detik itu, Alex mewar-
nai kepala sang bebek dengan serius, sesekali menjilat
bibirnya. Dan di tak lama kemudian, Alex bisa merasakan
seseorang yang duduk di sisinya. Dia menoleh, menatap
Elizabeth yang memperhatikannya. Alex bisa mendengar
desahan tertahan Ms. Conney dari depan pintu.
“Bagus?” Alex bertanya santai.
Elizabeth mengangguk.
“Mau mewarnai bersama?”
Elizabeth terdiam sesaat, namun dia mengangguk
lagi.
“Namaku Alexandra,” dia berujar sambil menyodorkan
buku itu pada Elizabeth. “Tapi, kau boleh memanggilku
Alex. Salam kenal, bambina.”
“Bambina?” Nathan berbisik dari dekat pintu.
“Little girl.” Ms. Conney ikut berbisik, meneterjemah.
“Dari bahasa Itali.”
“Ah iya. Alex bisa bahasa Itali.” Nathan menjelaskan.
“Tapi kenapa dia memanggil Elizabeth bambina?”
“Aku suka Bambi.” Elizabeth tiba-tiba berujar. Suara-
nya nyaring dan lantang, sama sekali tidak terdengar se-
http://facebook.com/indonesiapustaka
~23~
tinya bocah di depannya menonton kartun zaman dulu.
“Aku juga suka dengan Bambi.”
Elizabeth menatapnya dengan tatapan berseri-seri.
“Aku punya boneka Bambi.” Dia beranjak, dengan gesit
berlari ke arah kasurnya.
Melihat itu, Nathan melangkah cepat, mendekati Alex
yang masih duduk bersila. “Kau pakai sihir apa?” dia ber-
bisik cepat.
“Kata kuncinya, bambina.” Alex memberitahu Nathan.
“Aku sengaja memanggilnya begitu ketika sadar bahwa dia
suka dengan Bambi. Kartun kancil itu.”
“Dan, kau tahu dari mana dia suka dengan kartun
itu?”
“Gampang,” Alex menunjuk ke arah semua boneka
yang bertebaran di lantai. “Hanya ada satu mainan yang
tidak ada di lantai dan yang dia tidak lempar ke arah ka-
lian. Tuh.” Alex menunjuk ke arah Elizabeth yang meman-
jati kasurnya dan meraih boneka kancil mungil di tengah
bantalnya. Elizabeth dengan girang melompat turun dari
kasur. Dia terpaku ketika melihat Nathan yang duduk di
sebelah Alex. Bocah itu memeluk erat bonekanya, ragu
http://facebook.com/indonesiapustaka
~24~
“Mereka ja’at.” Elizabeth menggerutu, menyilangkan
kakinya yang mungil di sekeliling pinggang ramping Alex.
Jarinya menunjuk ke arah Nathan yang melongo dan Ms.
Conney yang ternganga.
“Mereka jahat?” Alex cekikikan melihat wajah Nathan
yang seakan-akan baru saja diberi hukuman mati. “Hmm…
yakin? Nathan sekarang mau memberiku makanan enak.”
Mata sang bocah langsung melebar. “Makanan?”
“Iya. Enak sekali. Mau?”
Elizabeth tidak menjawab, hanya menyumpalkan jari
jempol ke mulutnya, mengulum jempolnya sambil mena-
tap Alex.
“Oke. Ayo turun ke bawah.” Dia membopong Elizabeth.
Nathan mengikutinya dari belakang, berbisik ke arah Ms.
Conney.
“Dia menolak makan sejak tadi siang bukan?”
“Iya, Mr. Sanders. Saya benar-benar tidak tahu apa
yang terjadi.”
“Dan dia juga tidak mau keluar dari kamar.” Nathan
masih bergumam kagum.
“Nate.” Alex memutar kepalanya, menghela napas ke-
http://facebook.com/indonesiapustaka
sal. “Kalau aku bisa mendengarmu, anak ini juga bisa. Iya
kan, Bambina?”
Sang bocah tidak menjawab, masih mengulum jempol.
Matanya terus terpaku pada Alex seakan-akan Alex ini
~25~
adalah bidadari dari surga yang datang untuk meneman-
inya.
“Lexie, kau ajaib.” Nathan berbisik dengan penuh rasa
syukur. “Aku tahu kalau kau ini beda dari yang lain, tapi
aku akui kalau kau memang benar-benar beda dari yang
lain.”
“Mm-hm.” Alex bergumam. “Flattery gets you nowhere,
babe.3 Kau masih mau memesan chinese? Kalau iya, cepat
telepon. Bambina pasti lapar.”
“Kenapa kau masih memanggilnya Bambina?”
“Sudah kubilang, kata kunci.” Alex mendengus. “Selain
itu, nama seperti apa Elizabeth. Kalian terinspirasi dari
ratu Inggris atau apa?”
Nathan mengerang. “Terkadang aku lupa kalau mulut-
mu juga lebih tajam dari yang lain.”
Alex kembali bergumam, tersenyum sambil turun dari
tangga, masih menggendong sang Bambina.
http://facebook.com/indonesiapustaka
3
Memuji tidak ada gunanya, Say.
~26~
http://facebook.com/indonesiapustaka
http://facebook.com/indonesiapustaka
Chapter 2
“
S epanjang malam di rumah Nathan, Alex tidak bisa
bergerak banyak karena Elizabeth tidak mau beran-
jak dari pangkuannya. Bahkan, ketika semuanya sedang
berkumpul di meja makan, bocah itu tidak mau duduk di
bangku tinggi, ngotot untuk duduk di pangkuan Alex sam-
bil mengunyah makanannya.
Akhirnya setelah selesai makan malam, Elizabeth ter-
tidur pulas di sofa. Kepalanya tergeletak di pangkuan Alex.
Wanita itu tersenyum simpul, mengusap rambut liar hi-
tam itu.
http://facebook.com/indonesiapustaka
~30~
Dan ketika Nathan pindah ke New York bersama ibu-
nya, Alex tidak tahu harus bagaimana selain memaksa
Nathan untuk berjanji supaya dia selalu mengirim surat,
menelpon, atau apa pun yang bisa meyakinkan Alex ka-
lau Nathan masih hidup. Setiap kali Nathan menelpon,
dia hanya bercerita tentang sekolah barunya, sekolah
yang penuh dengan anak-anak kaya. Private school, Lexie,
bisa tidak kau bayangkan? Aku harus pakai seragam dan
semacamnya. Aku tinggal di asrama. Rasanya aku ada di
dunia lain. Tidak ada yang menggangguku. Tenang saja,
Lexie. Banyak yang suka menggambar juga di sini.
Dan Alex hanya bisa tersenyum pahit. Karena di sana
Nathan bahagia dengan hidup barunya dan di sini, Alex
harus naik bus ke sekolah sendiri, memikirkan apakah
bibinya mau memberinya uang untuk beli baju baru ka-
rena kausnya sudah tidak muat lagi. Dan di high school
itulah Alex bertemu dengan Timmy. Timmy yang berisik
dan cerewet tapi selalu ada di sisinya, tidak pernah me-
ninggalkannya sampai sekarang.
“Kau tahu kalau aku tinggal di asrama selama tiga ta-
hun di high school.” Ucapan Nathan memecahkan lamun-
http://facebook.com/indonesiapustaka
~31~
high class, kaya… apa lagi katamu waktu itu? Sombong bu-
kan main?”
“Ibuku menikah dengan seorang konglomerat. Kong-
lomerat yang sudah menikah entah berapa kali banyaknya.
Dan keluarga itu tidak menyukaiku karena aku tidak ber-
bagi darah dengan ayah tiriku itu.”
“Aku sudah tahu ceritamu sampai sini. Lalu?” Alex ber-
tanya, mengusap pelan rambut Elizabeth. “Kenapa kau
kembali ke Los Angeles?”
“Richard, ayah tiriku, ada tiga anak. Tiga anak yang
berbagi darah dengannya, tapi masing-masing punya ibu
yang berbeda.” Nathan mengangkat tangannya. “William,
Charlotte, dan Arthur.”
Alex menaikkan sebelah alis mendengar nama-nama
itu. Si Richard ini fans berat keluarga kerajaan atau apa?
“Arthur adalah anak terakhir. Dan hanya dia yang
berkualitas untuk meneruskan perusahaan Richard. Wil-
liam dan Isabella tidak keberatan. Mereka punya peker-
jaan masing-masing dan lagipula beberapa persen dari
uang Richard ada di tangan mereka. Tapi…”
“Tapi?”
http://facebook.com/indonesiapustaka
~32~
Nathan tertawa pelan, menggelengkan kepalanya.
“Tidak. Aku tidak sedih, jadi kau tidak perlu bilang seperti
itu.”
“Tapi, kau stress sekarang karena masalah warisan
bukan?” Alex menunduk sesaat, menatap Elizabeth yang
menggeliat di pangkuannya. Dia mengusap rambut anak
itu lagi dan anak itu terdiam sekarang.
“Aku tidak dapat warisan karena aku tidak mewarisi
darahnya. Yang dapat ibuku. Mau bagaimana pun, ibuku
adalah istri terakhirnya.” Nathan berujar. “Aku tidak ke-
beratan. Toh, aku sudah punya pekerjaan stabil sekarang.
Tapi masalahnya, anak di pangkuanmu itu.” Nathan me-
noleh sesaat ke arah Elizabeth. “Di surat wasiat Richard,
Elizabeth Eleanor Sanders mewarisi 50 persen dari se-
mua kekayaannya.”
“Dan 50 persen dari semua kekayaannya itu berupa?”
“Tiga puluh persen saham di Facebook, dua puluh lima
persen saham di Apple, dan entahlah, satu-dua mansion di
New York?”
“Ohh?” Alex bergumam, berusaha untuk mengontrol
ekspresi kagetnya. Tapi, sepertinya dia gagal karena jari-
http://facebook.com/indonesiapustaka
~33~
Veronica, menikah diam-diam dan menghasilkan buah,”
Nathan menunjuk ke arah Elizabeth. “Veronica meninggal
ketika melahirkan Elizabeth. Dan bocah ini dibesarkan di
panti asuhan.”
Alex terpaku. Sekarang dia tahu kenapa si kecil Eliza-
beth sangat kurus. Sekarang dia tahu kenapa Elizabeth
tahu akan kartun Bambi, tapi tidak tahu akan kartun Fro-
zen. Anak-anak di panti asuhan hanya bisa bergantung
pada uang donasi. Tanpa uang donasi, tidak ada makanan
dan mainan.
“Tapi sepertinya, Richard tahu bahwa dia punya cucu
kandung di panti asuhan. Jadi sebelum dia meninggal dia
mewariskan 50 persen hartanya pada Elizabeth. Sekarang
banyak kasus di keluarga ini. Semuanya mempertanyakan
kenapa Elizabeth si cucu rahasia mendapat 50 persen se-
dangkan yang lain hanya 5-10 persen?”
“Berapa umur Richard ketika dia meninggal?” Alex
menaikkan sebelah alis.
“66 tahun. Kanker.”
“Ah.” Alex menganggukkan kepala. “Dan, dia tidak per-
nah bertemu Elizabeth sebelumnya?”
http://facebook.com/indonesiapustaka
~34~
Elizabeth baru tiga tahun. Dia belum bisa memegang se-
mua uang itu sampai usianya 21 tahun.”
“Hmmm, aku tiba-tiba merasa kalau aku berada di
sinetron. Jadi… kutebak saja. Intinya William, Charlotte,
dan Arthur berusaha untuk merebut Elizabeth supaya
mereka juga bisa mendapatkan sedikit uang itu?”
“Well… selama sebulan ini, Elizabeth pindah rumah ke
rumah. Pertama-tama, Charlotte. Dia tersenyum lebar, da-
tang ke panti asuhan dan bilang kalau dia mau mengurus
Elizabeth sebagai tante yang baik. Dan setelah seminggu
setelah itu, William yang datang untuk merebut Eliza-
beth.”
Alex mulai menanam nama-nama itu di dalam otaknya,
bersumpah untuk setidaknya menampar dua orang itu
satu per satu. “Lalu sekarang? Si Arthur?”
Nathan mengangguk. “Tapi tujuannya beda. Dari me-
reka bertiga, Arthur yang paling kaya. Arthur yang paling
berkuasa karena dia sekarang penerus utama perusahaan
Richard. Dia tidak butuh warisan Elizabeth. Dia tidak suka
melihat anak kecil itu diperebutkan. Karena itu dia mem-
beli rumah ini, di Santa Monica. Mengundangku untuk
http://facebook.com/indonesiapustaka
~35~
“Percaya atau tidak, Lexie, Arthur punya muka ter-
sadis yang pernah kulihat. Dia yang paling mirip dengan
Richard. Tapi, aku yang paling dekat dengannya di ke-
luarga ini. Hanya dia yang tidak mengejekku yang suka
menggambar ini.” Nathan terdiam sesaat. “Selain itu, dari
mereka bertiga, hanya dia yang belum dicakar Elizabeth
sampai berdarah.” Dia menahan tawa. “Tapi, dia lumayan
keras. Kau tidak tahu sudah berapa nanny yang disewa
Arthur. Ms. Conney adalah nanny yang kelima. Dia tidak
ragu memecat semua pengasuh yang tidak bisa mengurus
Elizabeth.”
“Hmm… terdengar seperti dewa sadis.”
“Apa pun itu, aku tidak bisa membiarkan anak kecil
sendirian. Dia masih tiga tahun, for God’s sakes. Karena
itu aku setuju untuk ikut mengurus Elizabeth. Toh, sesuai
hukum, aku salah satu pamannya. Tapi, aku tidak pernah
menyangka kalau aku akan berurusan dengan anak seperti
ini.” Nathan mengerang, menunjuk ke arah bocah yang
masih tidur dengan nyenyak. “Aku baru pindah hari ini,
tapi aku sudah pernah bertemu dengannya tiga kali. Sam-
pai sekarang aku masih bertanya apa yang merasukiku.”
http://facebook.com/indonesiapustaka
~36~
“Dan kau langsung merebut krayonku begitu saja sam-
bil menamparku. Aku tidak tahu kenapa kita bisa berte-
man, Lexie.”
Alex tertawa kencang, membuat bocah di pangkuan-
nya tersentak bangun. “Maaf, maaf.” Alex cepat-cepat me-
nahan tawanya, mengusap rambut Elizabeth dengan ce-
pat. “Maaf, Lizzie.”
“Lizzie?” Nathan menaikkan sebelah alis.
“Karena Elizabeth terdengar sangat formal dan kepan-
jangan. Ketika kau menyebut Elizabeth aku langsung teri-
ingat akan ratu Inggris.” Alex berujar santai, masih terse-
nyum lebar. “Lizzie is a good name.”
“Kau ini seenaknya memberi nama.”
“Dari semua teman-temanku hanya kau yang memang-
gilku Lexie.” Alex mengerlingkan matanya dengan tatapan
menuduh, membuat Nathan menyeringai. Sesaat, mata
coklat wanita itu terpaku jam dinding. “Hei. Sudah jam 9.”
Dia berkedip, sama sekali tidak sadar kalau waktu berlalu
secepat itu. “Aku pulang dulu, oke?”
“Secepat itu?” Nathan mengerutkan kening. “Setidaknya
sampai kau habiskan kopimu.”
http://facebook.com/indonesiapustaka
~37~
namkan wajahnya yang mungil di lekukan leher Alex. “Ini.
Kau bisa tidurkan dia di kasurnya.”
Nathan meraih Lizzie dengan takut-takut. Lelaki itu
menghela napas lega ketika Lizzie tetap tertidur pulas.
“Jangan lupa taruh Bambi di sisinya.” Alex meraih
boneka kancil di sofa. “Dan jangan lupa selimuti dia sam-
pai di dagunya. Cuaca di luar dingin. Dan aku tidak yakin
Lizzie punya antibodi yang kuat.”
“Yes, ma’am.” Nathan memutar bola matanya. “Dan
sekarang bisa aku minta goodbye kiss dari sahabatku ini?”
“Oh? Entahlah,” Alex menyunggingkan cengiran. Na-
mun wanita itu berjinjit, mengecup pelan pipi pucat Na-
than. “Good night, Nate.” Dia berbisik pelan.
“Hmm,” Nathan bergumam puas, balas mengecup Alex.
“Night, Lexie.”
Dan di detik itu juga, ketika Alex memutar tubuh un-
tuk mengambil jaket kulitnya, matanya bertemu dengan
sepasang warna biru yang tajam.
Holy sheep.
Alex menahan diri untuk tidak ternganga di tempat itu
juga.
http://facebook.com/indonesiapustaka
~38~
yang menonjol. Rahang lelaki itu mengeras, mata birunya
tetap bergeming meski Alex sejak tadi melotot ke arah-
nya.
“Nathan,” si kakak tiri seksi bersuara. Suaranya yang
dalam dan tegas itu membuat Alex kembali nyaris ter-
nganga. “Siapa dia?”
“Ah, iya,” Nathan berujar cepat. “Arthur, ini Alexandra,
sahabatku sejak kecil. Lexie, ini kakak tiriku, Arthur.”
Alex langsung memaksakan diri untuk menyungging-
kan senyuman. “Hei.” Dia melambai, diam-diam memuji
dirinya sendiri yang bisa mengontrol ekspresi wajahnya
dengan cepat.
Arthur mengangguk, berjalan cepat ke arah Nathan
sambil menyodorkan lengannya. Nathan memberikan
Lizzie pada Arthur. Tanpa bicara apa-apa, Arthur mem-
bopong Lizzie dan berjalan pergi. Ketika lelaki itu sudah
menghilang dari pandangannya, Alex langsung membuka
mulut, mendesis cepat. “Kau tidak bilang kalau kakak
tirimu itu lelaki paling seksi sedunia.”
Nathan langsung melongo namun dia cepat-cepat
mengatupkan mulutnya ketika menerima tatapan mem-
http://facebook.com/indonesiapustaka
~39~
“Setidaknya beri aku sedikit peringatan.” Alex men-
dengus. Dia dengan sengaja mengusap bibirnya, jaga-jaga
kalau liurnya menetes. “Ketika kau bilang dia mirip de-
ngan Richard, aku langsung mengira dia berkepala botak
atau apalah.”
“Hei. Kau belum pernah lihat foto Richard ketika dia
masih muda? Kau kira kenapa banyak wanita yang suka
padanya? Kau kira cuma karena uang?” Nathan menaik-
kan sebelah alis sambil menyeringai geli. “Selain itu, su-
dah kubilang kalau Arthur anaknya yang terakhir, kan?”
“Memangnya umur Arthur berapa?”
“Hmm, tiga puluh? Kurang lebih.”
Arthur hanya lima tahun lebih tua daripada Alex dan
dia sudah menjadi salah satu calon konglomerat di Ameri-
ka. Alex menghela napas, mulai merasa kalau nasibnya sial
sekali. Dipecat dan harus mencari pekerjaan untuk mem-
biayai kuliahnya. Tapi, kalau dipikir-pikir, hidupnya me-
mang seperti ini. Selalu kekurangan uang dan semacam-
nya. Ketika dia pikir dia akhirnya punya uang yang cukup,
dia dipecat.
Yep. Kau memang hebat sekali, Alex.
http://facebook.com/indonesiapustaka
~40~
“Tunggu, Lexie,” Nathan menahannya. “Tentang ku-
liahmu itu…”
“Ya?” Alex mulai curiga kalau Nathan bisa telepati den-
gannya. “Kenapa?”
“Aku sudah merekomendasikanmu.” Dia meringis.
“Dan, kelihatannya besar harapan kau bisa diterima
masuk.”
Alex terdiam. “Entahlah, Nate,” dia meraih jaketnya.
“Aku mau memikirkan dulu.”
“Memikirkan apa?” Nathan mengerutkan kening. “Ini
kesempatan bagus, bukan? Kau bisa ambil kelas full time.
Jadi kau bisa lulus cepat. Kau bahkan bisa lulus dalam
waktu setahun setengah.”
“Tentang itu.” Alex menggoyangkan tangannya, hen-
dak menjelaskan. “Aku tidak punya tabungan yang cukup.
Kalau aku kuliah sekarang, aku harus merelakan aparte-
menku.” Dan mobilnya. Dan dojo tempat dia berlatih bela
diri. Dan masih banyak lagi.
“Kalau begitu, relakan saja.”
Alex tidak tahu mau melongo atau menampar Nathan.
“Maksudku, keluar saja dari apartemenmu,” Nathan
http://facebook.com/indonesiapustaka
~41~
“Lexie–”
“Nope. Tidak mau. No!”
“Setidaknya pikirkan–”
“Tidak, Nate.” Alex memotong lagi. “Terima kasih, tapi
sungguh. Tidak apa.” Dia tersenyum. “Lagipula aku sedang
mencari pekerjaan. Kalau aku sudah dapat kerja yang sta-
bil, aku akan ambil kelas tambahan.”
Nathan kembali membuka mulut, hendak memban-
tah. Tapi, Alex dengan gesit menyabet dompet dan kunci
mobilnya, mengecup pipi Nathan dan melesat keluar dari
rumah, mengenakan sepatunya di luar. Dia bergidik sesaat
ketika merasakan angin dingin yang menerpanya.
Tinggal bersama Nathan?
Bersama lelaki ceria dan penuh tawa itu?
Alex menggelengkan kepala, mengusap lengannya,
berusaha untuk mengusir hawa dingin. Lebih baik dia
pindah dan tinggal di apartemen yang lebih bobrok dari
sekarang daripada harus tinggal bersama Nathan.
ef
Ketika alarmnya berbunyi, Alex mengerang pelan. Dia
http://facebook.com/indonesiapustaka
~42~
Setelah puas merenggangkan tubuhnya, dia meraih
ponselnya, menelpon Timmy.
“Bangun,” dia berujar langsung dan Timmy mengerang
dengan suara keras bercampur dengan sumpah serapah,
membuat Alex memutar bola matanya. “Kita harus ke do-
jo4 sebentar lagi.”
“Tidak mau.” Timmy kembali mengerang. “Ini hari Sab-
tu… Biarkan aku tidur.”
“MAX!” Alex menjerit, membuat Timmy kembali me-
nyumpah. Dari balik panggilan, Alex bisa mendengar tawa
Max. “Bangunkan calon istrimu itu. Sudah ya.” Dia mema-
tikan panggilan, mengenakan sandal rumahnya dan ber-
jalan menuju toilet. Alex bergidik sesaat, dengan cepat
mengenakan jubah mandinya, mengusap telapak tangan-
nya. Dia tidak menyalakan pemanas rumahnya karena in-
gin menghemat listrik. Lagipula apartemennya ini tidak
besar, hanya berupa apartemen studio; satu kamar tidur
yang tersambung dengan kamar shower dan ruang tamu
yang tersambung dengan dapur.
Alex membasuh wajahnya dengan cepat, menyikat
giginya dan berganti pakaian. Salah satu keuntungan be-
http://facebook.com/indonesiapustaka
~43~
Alex berkaca, mengusap rambutnya sesaat dan mengang-
guk puas. Dia mengenakan eyeliner hitam dan lipgloss
pink, menampar pelan pipinya, membuat wajahnya yang
putih pucat itu memerah.
Dalam waktu setengah jam, dia sudah siap keluar.
Wanita itu bergumam pelan, meraih dompet, iPhone dan
kunci mobilnya. Sesaat dia menaikkan sebelah alis ketika
dia menerima whatsapp dari Nathan.
~44~
Nathan: Knife throwing ya? Seraaam. O_O
Me: Dan kau akan menjadi sasaran berikutnya kalau
kau masih berisik ;)
~45~
“Oh. Oke.” Alex tidak tahu harus menjawab apa. “Jadi…
kau meminta alamatku dari Nathan untuk menjemputku?”
pertanyaan Alex dijawab dengan geraman pelan dari si
kakak tiri seksi. Haruskah Alex merasa tersanjung? Mata
safir itu menatapnya dengan tatapan menuduh, seakan-
akan dia menculik Elizabeth semalaman. “Tapi, sayang
sekali. Bukannya aku tidak mau bertemu Lizzie. Aku harus
pergi sekarang. Jadi…”
“Dan dia tidak mau lagi dipanggil Elizabeth.” Arthur
memotong. “Dia hanya mau dipanggil Bambina atau
Lizzie.” Lelaki itu melotot.
“Oh.” Alex berdehem. “Yep. Itu salahku. Tapi, sayangnya
aku tidak menyesal. Anak itu tidak suka dipanggil dengan
nama Elizabeth.”
Arthur menyipitkan matanya. “Kau harus tanggung
jawab.”
“Dengan cara? Menikahi Lizzie sekarang?” Alex melon-
tarkan senyuman manisnya. Sungguh. Dia butuh kopi di
detik ini juga.
Arthur terlihat tertegun. Matanya yang menyipit itu
sekarang membundar.
http://facebook.com/indonesiapustaka
~46~
ada janji dengan teman. Kami ada latihan bersama, me-
lempar pisau.”
Mata Arthur semakin melebar.
“Dan pisaunya ada di dalam tas ini, sudah tidak sabar
untuk kulempar, you see. Jadi kalau kau berkenan, bisakah
kau menyingkir sedikit supaya aku bisa keluar dan men-
gunci pintuku?” wanita itu mengibaskan tangannya ses-
aat. Ketika Arthur masih bergeming, Alex dengan keras
kepala mendorong lelaki itu, tidak memedulikan tubuh
lelaki yang tinggi dan kekar itu. Alex mengunci pintu ru-
mahnya dengan cepat dan berjalan menuju lift apartemen-
nya. “Good bye, Mr. Sanders!” dia berseru sambil menutup
pintu lift.
Di detik ketika pintu lift tertutup, senyuman Alex
menghilang sepenuhnya. Diam-diam dia berencana untuk
membunuh Nathan yang memberi alamat rumahnya pada
si kakak tiri.
ef
“Kau bertemu dengan siapa?” Timmy mengambil ancang-
ancang. Kaki kanannya melangkah dan dia mengayunkan
http://facebook.com/indonesiapustaka
~47~
noleh, membenarkan kunciran kudanya sambil menatap
Alex. “Alex? Kau dengar aku?”
Alex hanya bergumam pelan, mengambil ancang-
ancang dan mengayun dengan cepat. Ketika pisaunya
mendarat tepat di tengah target, dia menghela napas. “5
points.”
Timmy menepuk bahunya, menunjuk ke arah bangku
di pojok ruangan. Dari kaca yang memisahkan dinding,
mereka bisa melihat beberapa orang yang sedang berlatih
judo. “Sayang sekali kita harus latihan di ruangan kecil ini
ya. Tapi mau bagaimana lagi. Lapangan latihannya sudah
ditutup karena di luar terlalu dingin.” Timmy menggerutu
sesaat. “Ayo selesaikan ceritamu. Tadi kau bilang siapa
yang tiba-tiba datang ke rumahmu?”
“Si kakak tiri.” Alex meraih handuk dan mengusap leh-
ernya. “Aku lapar.”
“Yep. Sudah waktunya makan siang. Nanti Max akan
mampir ke sini setelah dia selesai latihan menembak.”
Timmy menyeringai lebar. “Kenapa si kakak tiri datang ke
tempatmu?”
Alex mengerang. “Ceritanya panjang. Dan, cukup sen-
http://facebook.com/indonesiapustaka
sitif. Aku tidak yakin kalau aku mau cerita padamu tanpa
izin Nathan.”
Timmy mengangguk lagi, mengerti. “Ya sudah. Ayo
ganti pakaian.” Dia meringis, menunjuk ke arah kaus hi-
tam Alex yang sudah basah kuyup. “Kau ini. Lempar pisau
~48~
saja sudah pegal, tapi kau sengaja latihan judo juga ber-
sama sensei.”
“Banyak yang ada di pikiranku yang harus kuusir.” Alex
mengangkat bahunya.
“Mau makan siang di mana? Max yang traktir kali ini.”
Mereka berjalan keluar, menuju ruang ganti wanita. Tim-
my membuka lokernya dan meraih iPhone-nya. “Hei. Na-
than whatsapp aku. Dia bilang padaku supaya aku bilang
padamu supaya kau membalas whatsapp-nya.”
“Nope.” Alex menjulurkan lidah, mengabaikan Timmy.
Dia melepaskan pakaiannya dan menyabet handuk. “Aku
shower dulu.”
Timmy mengancungkan jempol, ikut melepaskan
pakaiannya dan berjalan masuk ke dalam bilik shower di
sebelah Alex. “Kau tahu,” Timmy berseru dari bilik sebe-
lah. “Nathan tanya di mana dojo kita.”
Alex terpaku. Jari-jarinya yang sekarang sedang mem-
utar keran itu berhenti. “Kalau kau bilang alamat tempat
ini, aku tidak akan menjaga kucingmu lagi.”
“Ooopps. Aku sudah bilang di mana tempatnya.”
Alex mengerang, menyesali nasib. Sesaat, perutnya
http://facebook.com/indonesiapustaka
~49~
“Hei. Dia mau menjemputmu makan siang. Aku tahu
kalau kau tidak akan menolak makanan gratis, Alex.”
Timmy berseru girang. “Itu salah satu sisi imutmu.”
“Dan, aku punya sisi tidak imut yang yakin kalau Na-
than punya maksud tersembunyi mengajakku makan
bersama.” Alex menggeram, mengusap kepalanya dengan
kasar, membuat busa-busa di kapalanya berterbangan.
“Dan maksud tersembunyinya adalah?”
Alex terdiam sesaat. Tidak ada seorang pun di ruangan
shower ini sekarang kecuali mereka berdua. “Dia meng-
ajakku tinggal bersamanya. Jadi aku tidak perlu pusing
dengan biaya rental dan bisa fokus pada kuliah.”
Wanita itu langsung mendengar Timmy yang me-
nyumpah kaget. “Serius? Demi apa. Baguslah, Alex!”
“Dan di rumahnya itu, ada kakak tirinya, ada anak kecil
dan ada satu nanny.”
“Wow. Rumah yang ramai.” Timmy terdiam sesaat.
“Jadi… kau tidak mau karena di sana ada Nathan?”
“Tidak ada hubungannya.” Alex membasuh kepalanya.
“Alex,” Timmy terdengar serius. “Kau suka padanya.”
“Ini bukan percakapan yang harus kita bicarakan di
http://facebook.com/indonesiapustaka
~50~
“Lalala,” Alex bersenandung pelan, pura-pura tidak
mendengar Timmy.
“Kau sudah suka dengannya sejak kapan, Alex,” Timmy
keluar shower, mengerang. “Ayolah. Jangan begini terus.
Aku frustrasi melihatmu yang selalu berada di ambang-
ambang, mencintainya tapi tidak mau mengaku. Aku kesal
melihatmu yang selalu putus nyambung dengan cowok
lain karena kau hanya mau pacaran untuk melupakannya.”
Timmy berlari cepat, berdiri di depan loker Alex supaya
Alex tidak bisa mengambil pakaiannya.
“Pertama-tama,” Alex menarik napas dalam-dalam,
mengangkat satu jarinya. “Dia tidak menyukaiku seperti
‘itu’. Dan kedua.” Dia menatap Timmy dari atas sampai
bawah. “Bukannya aku tidak pernah melihat cewek telan-
jang, tapi ayolah Timmy. Setidaknya pakai handukmu. Aku
merasa sangat tidak nyaman sekarang. Jarak tubuhmu dan
tubuhku sekarang tidak bisa dibilang jauh, kau tahu.”
“Kau tahu dari mana dia tidak suka padamu?” Timmy
mendengus, mengabaikan ucapan sarkastik Alex.
“Karena aku sudah pernah mengaku cinta padanya
dua kali dan dia menolak dan sekarang dia masih pacaran
http://facebook.com/indonesiapustaka
~51~
sakah kau menyingkir dari lokerku? Silahkan saja kalau
kau mau telanjang, tapi sekarang aku mulai kedinginan.
Penghangat di sini tidak sehangat di Starbucks.”
Timmy menggigit bibir, melangkah ke samping. “Sorry.”
Dia berbisik pelan.
Alex mengangkat bahu dengan wajah datar. “Tidak
apa. Aku hanya tidak mau membicarakan hal ini.” Dia me-
ngenakan pakaiannya tanpa bicara apa pun. Dan dalam
hati dia bersyukur ketika Timmy mengubah percaka-
pan, menceritakan tentang kucing tetangga yang sedang
hamil.
http://facebook.com/indonesiapustaka
~52~
http://facebook.com/indonesiapustaka
http://facebook.com/indonesiapustaka
Chapter 3
“
A lex tidak ingat kapan pertama kali dia menyukai Na-
than. Ketika Nathan meminjamkan penghapusnya?
Atau ketika mereka mendebatkan Power Ranger mana
yang paling kuat?
Bahkan, sebelum dia bisa menghafal nama lengkap-
nya, Nathan sudah ada di ingatannya.
“Lexie, Lexie! Tidak apa kalau kau tidak ada Daddy atau
Mommy. Aku juga tidak ada Daddy, kita bisa berbagi Mommy!”
“Lexie, Lexie! Nanti besar aku mau memelihara dog-
gie. Aku akan namakan dia dengan namamu ya!”
http://facebook.com/indonesiapustaka
~56~
yang mancung, wajah oval, rahang yang menonjol dan
dagu yang lancip. Tubuhnya ramping, kakinya panjang.
Untuk pertama kalinya, dia sadar kenapa banyak co-
wok yang mendekatinya. Dan yang tidak dimengerti Alex
adalah; kenapa Nathan memilih Samantha? Kenapa Na-
than memilih cewek yang gembul. Kenapa memilih cewek
yang tidak menarik, cewek yang bisa membuat kursi ber-
bunyi dengan keras ketika dia beranjak?
Itulah saat pertama di mana Alex merasa ingin men-
dorong orang lain. Dia ingin mendorong pergi Samantha.
Dan, Samantha tidak ada salah apa-apa. Itulah saat di
mana Alex sadar bahwa dia tidak berbeda dengan bully-
bully lain.
Dan pada waktu itu, Alex sangat membenci bayangan
yang dipantulkan kaca itu. Dia benci dengan gadis beram-
but panjang yang ada di kaca itu. Dan itulah pertama kali-
nya Alex memotong pendek rambutnya dan tidak pernah
memanjangkan rambutnya lagi.
ef
“Kau tadi bengong.” Timmy menyentuh bahunya. “Kena-
http://facebook.com/indonesiapustaka
pa?”
Alex berkedip, menatap Timmy yang sedang duduk
di sebelahnya. Mereka berdua sedang duduk di luar dojo,
masing-masing menggenggam kaleng kopi hangat dari
mesin penjual otomatis. Alex memutar otaknya dengan
~57~
cepat, mengingat apa tadi yang mereka bicarakan. “Aku
sedang berpikir siapa yang menghamili kucing tetangga-
mu.” Alex melirik, menyeringai lebar ketika melihat wajah
pucat Timmy.
“Tidak mungkin. Johnny kucing yang baik! Dia tidak
mungkin menghamili kucing lain tanpa izin dariku!”
Alex langsung memutar bola matanya. “Untuk kesekian
kalinya, Timmy. Nama seperti apa Johnny? Itu bukan nama
untuk kucing. Namamu lebih cocok untuk nama kucing.”
Wanita itu menyelipkan jari-jarinya di balik turtle neck-
nya, mengusap tengkuknya sesaat. Alex menggoyangkan
kakinya, menatap boots hitamnya. “Ngomong-ngomong,
kita menunggu siapa di luar ini? Nathan atau Max?” Alex
meminum habis kopinya, mengayunkan lengannya dan
melempar masuk kaleng itu di tong sampah.
“Dua-duanya.” Timmy menjawab, ikut melempar ka-
lengnya di tong sampah dengan jitu. Dia terlihat bimbang
sesaat, menoleh dan menatap Alex. “Emm..., maaf karena
sudah bilang padanya alamat dojo ini…”
“Tidak apa.” Alex mengusap tengkuknya lagi. “Kalau
kau tidak bilang, aku yakin dia akan buka facebook-ku dan
http://facebook.com/indonesiapustaka
~58~
“Kau belum kenal dia.” Alex tersenyum simpul. “Hei.
Itu Max.” Alex menengadah, menunduk ke arah mobil se-
dan merah yang masuk ke parkiran dojo. Di detik itu juga,
Timmy beranjak, berlari-lari kecil ke arah mobil itu. Mau
tak mau, Alex tertawa pelan melihat sahabatnya. Timmy
memeluk erat Max, dan Max tertawa, mengecup bibir
Timmy.
Senyuman Alex menghilang ketika melihat pemandan-
gan itu. Dia merasakan gejolak aneh itu lagi di perutnya.
Dia selalu merasa seperti ini kalau dia merasa pahit. Mera-
sa cemburu. Alex menunduk, memilin jari-jarinya.
Sudah. Dia memberitahu dirinya sendiri. Kembalilah
menjadi Alex.
Wanita itu mengusap tengkuknya sekali lagi, menga-
cak rambutnya. Angin yang kencang membuat rambutnya
terlihat liar, tapi rambut seperti ini yang membuat orang-
orang ber-wow ke arahnya. Alex beranjak, berjalan ke
arah dua temannya itu. “Hei.” Alex menyenderkan seten-
gah tubuhnya di mobil sedan Max, menatap Timmy dan
Max. “Apakah aku mengganggu sesuatu?” alis Alex terang-
kat setengah, bibirnya membentuk senyuman miring.
http://facebook.com/indonesiapustaka
~59~
“Jangan lupa, nomorku ada di ponselmu. Kalau kau bosan
dengan Timmy...,” Alex dengan jahil meremas otot lengan
Max. “… call me.”
Timmy langsung ternganga sedangkan Max tertawa
kencang, menepuk pelan pinggul Alex. “Tentu Alex.”
“Hei!” Timmy menjerit protes, tapi wanita itu ikut ter-
tawa, menggelengkan kepala melihat dua orang di depan-
nya yang pura-pura menggoda satu sama lain.
Ponsel Alex yang tiba-tiba bergetar membuat Alex
mundur, melepaskan pelukannya. Ketika dia melihat nama
Nathan yang terpantul di layar ponselnya, dia sangat ter-
goda untuk melempar iPhone-nya di detik itu juga. “Hei,”
Alex menerima panggilan, memaksakan senyuman.
“Hei, Lexie! Kau di sana? Kami sudah mau sampai.”
Urat kesabaran Alex terasa semakin tipis. “Kami?” se-
nyumnya mengembang. “Apakah aku tahu siapa yang da-
tang bersamamu?” Sekilas matanya bertemu dengan mata
coklat Timmy yang terlihat cemas. Timmy sudah tahu
betul apa arti dari senyuman lebar Alex.
“Hanya aku, Arthur dan Lizzie. Kenapa?”
Arthur lagi? Yang benar saja. Bukankah si kakak tiri itu
http://facebook.com/indonesiapustaka
~60~
“Ada apa?” Timmy cepat-cepat bertanya. “Siapa yang
datang? Pencuri? Perampok?” dia bertanya panik.
Alex mendengus. “Timmy. Kita berdua sudah menjadi
pelempar pisau professional, sudah menang beberapa
kontes. Dan tunanganmu itu adalah tentara yang sedang
memanggul senapannya. Kau pikir aku takut sama pen-
curi dan perampok?” dia mendesis.
“Ah. Selain itu Alex bisa judo bukan?” Max menimpali
dan Alex langsung tos-tosan dengan lelaki itu.
“Kalau begitu kenapa kau terlihat seperti kau mau
bunuh orang begitu?” Timmy menaikkan sebelah alis, bin-
gung. “Siapa yang datang?”
“Si kakak tiri.” Alex mendengus. “Dari semua orang,
aku paling tidak tahu bagaimana cara menangani dia.”
Timmy langsung melongo. “Senyumanmu tidak mem-
pan?”
“Nope.”
“Sama sekali?” Timmy menjerit kaget. “Bagaimana
dengan senyuman miringmu itu?”
“Tidak mempan juga.”
Timmy terpaku di tempat, masih menganga. “Astaga.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Manusia macam apa dia. Kalau saja aku tidak ada Max, aku
pasti sudah jadi lesbi karena kau, Alex.”
“Oi.” Kali ini Max yang mencubit pipi Timmy.
“Memangnya si kakak tiri seperti apa?” Timmy mene-
pis tangan Max.
~61~
“Calon konglomerat.” Alex menjawab singkat. “Tebak
sendiri seperti apa.”
“Hmm… calon konglomerat ya?” Timmy bergumam.
“Kutebak ya. Yang pasti dia kaya. Gendut, tua, mata duitan,
botak. Dan karena dia tidak tertarik padamu, dia gay.”
Alex tiba-tiba tertawa kencang, membuat Timmy
melompat kaget. “Ah… Timmy. Aku benar-benar cinta pa-
damu. Kalau kau bertemu dengannya, kau akan pingsan di
tempat.”
“Kenapa?”
Sebelum Alex sempat menjawab, sebuah mobil SUV
hitam masuk ke parkiran. “Oh?” dia bergumam. Itu bukan
mobil Nathan, mobil si kakak tiri berarti. Dia sempat men-
gira kalau mobil Porsche atau Lamborghini yang muncul,
tapi sepertinya mobil si kakak tiri cukup normal. Tapi ka-
lau dipikir-pikir lagi, memang sudah sepantasnya pakai
mobil normal kalau sedang membawa anak kecil.
“Hei. Si Nathan keluar dari mobil tuh. Sudah nyaris
dua tahun tidak bertemu dengannya dan dia masih ku-
rus seperti itu…” Timmy menatap lelaki jangkung kurus
yang keluar dari kursi pengemudi, mengusap rambutnya
http://facebook.com/indonesiapustaka
~62~
“Aku positif dia masih pacaran dengan Samantha.” Alex
menjawab dari celah bibirnya yang tersenyum lebar. “Su-
dah nyaris sepuluh tahun pacaran.”
“Stop smiling. Kau bikin aku merinding.” Timmy men-
desis lagi. “Senyuman paksamu itu kelihatan sangat palsu
tahu.”
“Cuma kau yang bisa tahu kalau senyum ini palsu.”
Alex melambai ke arah Nathan. “Sush. Diam. Dia sedang
jalan ke sini.”
“Hei, Lexie!” Nathan berseru kencang, merangkul bahu
Alex. “Hei, Timmy. Lama tidak bertemu.” Lelaki itu meri-
ngis, terlihat malu karena merangkul Alex begitu saja.
Namun, tangannya tetap menempel di bahu Alex. Mata
hijaunya melirik ke arah Max yang berdiri di belakang
Timmy, masih mengenakan kaus tentara dan menyanggul
tas senapan. “Emm… dan ini…?”
“Nate, Maximum. Max, Nathan.” Alex mengayunkan
tangannya, memperkenalkan seadanya. Lengan Nathan
yang melingkar di bahunya sangat menganggu konsen-
trasi.
“Hai.” Max menyeringai lebar, memamerkan deretan
http://facebook.com/indonesiapustaka
gigi putih.
“Wow, Lexie. Semua temanmu tampan dan cantik.” Na-
than tertawa. “Timmy, Max. Kalian tidak keberatan kalau
aku merebut Alex sekarang kan?”
~63~
Alex memutar bola matanya, membuat Timmy terta-
wa. “Silahkan. Tapi kembalikan dia besok padaku. Dia janji
untuk mengurus Johnny besok.”
Nathan terlihat kaget, memeras bahu Alex sesaat. “Kau
mengurus anak siapa kali ini?”
“Johnny itu kucing.” Alex menjawab singkat.
“Kau mengurus kucing?” Nathan terbelalak.
“Kau mengurus anak?” Timmy ikut bertanya.
Alex hanya bisa menghela napas. Di detik itu juga,
mereka mendengar jeritan memilukan dari mobil SUV di
parkiran. Timmy melongo sedangkan Nathan menepuk
keningnya.
“Kalian menculik anak atau apa?” Timmy mendesis.
Mendengar itu, Max langsung menyipitkan mata ke arah
Nathan, mencengkram tas senapannya.
“Tidak. Tidak. Tidak.” Nathan cepat-cepat berjalan
mundur. “Arthur!” Dia berseru ke arah mobil. “Jangan
keras kepala! Keluarkan Lizzie!”
Memangnya Lizzie anjing? Alex hanya bisa bergum-
am takjub. Tapi tak lama kemudian, pintu mobil terbuka.
Bocah mungil kurus berambut hitam panjang langsung
http://facebook.com/indonesiapustaka
~64~
Alex tertawa, mengusap rambut hitam yang liar itu.
“Ciao, Bambina5.”
“Oh. My. God.” Timmy ternganga di sebelahnya.
“Yep.” Mata Alex berseri-seri melihat anak mengge-
maskan yang memeluknya ini. Dia membenarkan syal
Lizzie yang nyaris terjatuh, mengikat syal itu di sekeliling
leher kurusnya. “Namanya Lizzie. Dia bocah terimut yang
pernah kulihat.”
“Bukan itu.” Timmy mendesis. “Cowok di mobil itu!
Siapa dia?”
“Siapa?” Alex mengerutkan kening, mengangkat kepal-
anya. “Oh. Dia.” Dia menghela napas kesal ketika melihat
rambut coklat ikal itu. “Si kakak tiri. Seperti yang kau duga.
Dia calon konglomerat yang gendut, tua, mata duitan,
botak dan apa lagi? Oh ya. Gay.”
Timmy langsung menginjak kaki Alex, membuat wa-
nita itu menjerit kesakitan. “Kau tidak bilang kalau dia
setampan Ian Somerhalder! Pantas saja dia tidak tertarik
padamu! Kalau aku punya wajah seperti itu aku akan jatuh
cinta pada diriku sendiri!”
“Siapa Ian Somerhalder?” Alex melirik, menatap Arthur
http://facebook.com/indonesiapustaka
~65~
“Maaf saja, aku cuma tahu satu vampir yang nama-
nya Edward Cullen.” Alex dengan sengaja tersenyum lebar
sambil melambai ke arah Arthur hanya untuk membuat
lelaki itu semakin kesal.
“Aleks!” Setelah puas menggesekkan wajah mungilnya
di perut Alex, Lizzie berseru nyaring, menyeringai lebar
sambil mengulurkan tangannya. “Gendong!”
Alex tersenyum lebar, meraup Lizzie sambil mengecup
keningnya. “Kau tidur nyenyak semalam?” Wanita tu me-
ngusap poni Lizzie.
Lizzie mengangguk. “Tapi Aleks tidak ada…” alisnya
yang mungil berkerut.
“Awww,” Alex tersenyum, dadanya terasa hangat. Mata
bundar Lizzie menatapnya seakan-akan dia adalah orang
yang paling berharga di hidupnya. Alex mengusap pipi pu-
cat Lizzie. “Aku di sini sekarang, Bambina. Bersamamu.”
Dan ketika mendengar itu, Lizzie langsung menyerin-
gai lebar, menggesekkan wajahnya di bahu Alex.
“Alex, si ganteng-nan-seksi sekarang terlihat seperti
dia mau membunuhmu saja.” Timmy berkomentar. “Kalau
dia benar-benar membunuhmu, boleh aku nonton? Pasti
http://facebook.com/indonesiapustaka
~66~
“Max, kau yakin kau mau menikah dengannya?” Alex
bertanya dengan nada datar, membuat Max tertawa pelan,
menggelengkan kepala dengan ekspresi jahil.
“Kau tidak mau menikah denganku sih, Alex.”
Alex meringis melihat Timmy yang melotot. Sebelum
dia sempat membalas ucapan Max, Lizzie menyentuh wa-
jahnya, membawa perhatian Alex kembali tertuju pada
bocah itu.
“Aku lapar.” Dia memberitahu Alex, jari mungilnya
menunjuk ke arah Arthur. “Makan siang! Dengan A’ter.”
Alex bersumpah kalau dia melihat Arthur yang langsung
terlihat terpukau ketika Lizzie menyerukan namanya.
Tapi… Alex menahan senyuman geli. A’ter? Anak ini
masih belum terlalu bisa menyebutkan nama dengan be-
nar. Tapi setidaknya dia bisa lihat kalau Lizzie lebih me-
nyukai Arthur daripada Nathan. Sedangkan Arthur? Di
balik wajah dinginnya itu, dia tergila-gila pada Lizzie. “Aku
makan siang dengan kalian semua?” dia bertanya pada
Nathan yang masih berdiri di sampingnya.
“Ya. Tidak apa kan?” Nathan tersenyum sipu. “Maaf ka-
lau aku merusak acaramu dan Timmy.”
http://facebook.com/indonesiapustaka
~67~
kan jempol mereka, membuat Alex tersenyum. Dia ber-
jalan pergi bersama Nathan ke arah mobil Arthur.
“Mereka mau ke mana besok?” Nathan bertanya, ber-
jalan di sisi Alex.
“Setiap hari Minggu mereka bertemu dengan orang
tua Max. Memancing bersama.”
“Wow.” Nathan tertawa. “Dan kau selalu menjaga ku-
cing mereka?”
“Johnny jadi ‘nakal’ kalau sendirian. Max harus meng-
ganti sofanya berkali-kali. Kalau ada orang yang me-
nemani, Johnny biasanya akan tidur di paha orang itu
dan jadi kucing manis.” Alex mencoba untuk menurunkan
Lizzie tapi bocah itu mencengkram sweater Alex dengan
erat, membuat Alex berkedip. Meski kurus, bocah ini kuat
juga. “Emmm, Nate? Dia tidak mau turun. Aku harus kem-
bali ke mobilku.”
“Elizabeth,” Arthur menyodorkan lengannya. “Sini.”
“Gak!” Lizzie mempererat pelukannya.
Dan Arthur langsung terlihat patah hati. Tubuhnya
mematung, tangannya masih terulur. Matanya melebar, ra-
hangnya mengeras, dan Alex bersumpah kalau bibir seksi
http://facebook.com/indonesiapustaka
~68~
“Lizzie,” Alex mengecup pipi bocah itu. Pipinya yang
pucat itu terasa dingin di bibirnya. “Aku harus kembali ke
mobilku, jadi aku bisa ikut kalian.”
“Pakai mobil ini.” Lizzie berujar dengan keras kepala.
“Lizzie, kalau Alex ikut kita, bagaimana dengan mobil-
nya?” Nathan bertanya, namun Lizzie hanya menatap Na-
than dengan bingung, tidak mengerti.
“Mobilku kesepian kalau aku tidak bertemu dengan-
nya sekarang.” Alex menjelaskan. “Sebelum dia kesepian,
aku harus bertemu dengannya dan menghiburnya.”
Lizzie terlihat berpikir, memperhitungkan ucapan
Alex. “Tapi nanti Aleks akan bertemu denganku?”
“Iya.”
“Pinky promise?6” Lizzie menggoyangkan jari keling-
king mungil yang diselimuti oleh sarung tangan pink.
Alex tertawa. Terakhir kali dia janji kelingking, dia me-
maksa Nathan berjanji untuk selalu berbagi permen karet
dengannya. “Pinky promise.” Wanita itu mengaitkan ke-
lingking mereka berdua. Setelah Lizzie terlihat puas, Alex
berjalan maju, menyodorkan Lizzie pada Arthur. Lelaki itu
terbelalak sesaat, namun Alex hanya menyeringai. “Kau
http://facebook.com/indonesiapustaka
6
Janji kelingking
~69~
tika Lizzie melingkarkan lengan mungilnya di sekitar le-
hernya.
“Kalau begitu sampai jumpa.” Alex berjalan menu-
ju mobilnya di pojok parkiran. Mobil Nissan sedannya
yang berwarna biru tua ini terlihat seperti lelucon kalau
dibandingkan dengan mobil SUV hitam mengkilat Arthur.
Dia menyalakan mobilnya dan mulai melaju, mengekor
mobil hitam di depannya, dalam hati berdoa semoga tem-
pat yang mereka tujui tidak terlalu jauh karena bensin di
mobilnya sudah sekarat.
ef
Ternyata memang tidak terlau jauh, karena Arthur me-
mutuskan untuk makan siang di restoran dekat rumahn-
ya. Tapi tetap saja, restoran di sekitar Hollister Ave bisa
dibilang restoran bintang empat. Lizzie duduk di kursi
tinggi, menyeringai puas. Bocah itu duduk di sebelah Alex.
Nathan dan Arthur duduk di seberang mereka. Ketika
makanan mereka telah tiba, Lizzie dengan lahap mengu-
nyah spagetinya, membuat Alex tersenyum geli. Dia mem-
bersihkan saus dari wajah Lizzie sekali dan membiarkan
http://facebook.com/indonesiapustaka
~70~
sekali tidak menoleh. “Kau sudah biasa ya, diperhatikan
cowok.”
“Sayangnya aku tidak terbiasa dipelototi cowok.” Dia
dengan sengaja tersenyum ke arah Arthur. “Kenapa kalian
mengajakku makan bersama?” Kalau Nathan yang menga-
jaknya makan siang, dia tidak akan heran. Tapi Arthur?
Nathan meneguk sup jamurnya, membersihkan mu-
lutnya dengan kain serbet. “Kami mau bicara denganmu.
Mengenai Li…” sebelum Nathan sempat menyelesaikan
kalimatnya, Alex melotot. Nathan berdehem. “Oh iya. Dia
bisa dengar. Kami mau bicara mengenai satu ‘malaikat’
ini.”
“Memangnya ada apa dengan malaikat?” senyum Alex
kembali, namun mata coklatnya mendelik tajam.
“Dia hanya mau menurut pada dua orang. Pertama,
kau Lexie.” Nathan mengangkat satu jarinya. “Dan Arthur.”
Lelaki berambut pirang itu cepat-cepat menambahkan
ketika Arthur melotot ke arahnya. “Tanpa kalian berdua,
mau berapa kali pun Arthur mengganti pengasuh, tidak
akan cukup.”
“Dan…?”
http://facebook.com/indonesiapustaka
~71~
Oh. Alex menurunkan pisaunya. Siasat Nathan untuk
menariknya tinggal bersamanya mulai muncul. Sebelum
Alex sempat bilang tidak, Arthur sudah membuka mulut-
nya dulu.
“Tidak.” Arthur memotong steaknya dengan agresif,
membuat suara-suara goresan keras dengan pisaunya.
Alex menatap steak itu dengan tatapan iba. Dia punya
perasaan kalau Arthur menganggap steak itu wajahnya,
karena itu Arthur memotong dengan kekuatan penuh.
“Wanita ini,” Dia menunjuk Alex dengan garpunya. “Punya
hobi melempar pisau.”
“Bukan sekedar hobi. Tepatnya aku hidup untuk me-
lempar pisau.” Alex menambahi, menatap Nathan yang
melongo. “Karena itu, sayang sekali Nate. Aku tidak bisa
mengurus malaikat.” Dia memotong daging ayamnya se-
cara perlahan. “Aku berbahaya.” Alex menatap Nathan
melalui bulu matanya yang lentik, secara perlahan me-
ngunyah ayam itu.
“Omong kosong. Kalau pun kau pernah bunuh orang,
malaikat ini akan tetap mengekor jejakmu.” Nathan men-
dengus. “Ayolah Lexie. Cukup tinggal dengan kami saja.
http://facebook.com/indonesiapustaka
~72~
ke tempatmu, untuk menjemputmu. Dia cuma mau ber-
henti menangis dan dimandikan Ms. Conney setelah kami
berjanji kami akan membawanya kepadamu.” Nathan
kembali menekan. “Kasihan kan anak ini?”
Alex tidak menjawab, begitu juga Arthur. Alex ingin me-
nyuruh mereka menaruh Lizzie ke tempat penitipan anak.
Tapi kalau professional nanny saja tidak bisa membuat
Alex menurut, bagaimana dengan kumpulan pengasuh-
pengasuh sambilan itu? Alex tidak percaya pada tempat
penitipan anak. Di koran baru-baru ini ada kasus anak ke-
cil yang tertinggal sendirian di lemari dan tidak ditemu-
kan sampai malam hari. Alex menoleh ketika merasakan
tarikan di sweaternya. Dia melihat Lizzie yang menyerin-
gai lebar, menyodorkan spagetinya. “Aleekss aaaaamm!”
Alex tersenyum simpul, mengusap rambut Lexie sam-
bil melahap spageti yang disondorkan anak itu. Dia tidak
mengerti kenapa bocah ini bisa begitu menyayanginya,
padahal mereka hanya bertemu kemarin.
Dia bukan orang yang pantas untuk disayangi anak se-
polos Lizzie.
“Aku akan membayarmu.”
http://facebook.com/indonesiapustaka
~73~
nya dalam dan tenang. “Aku akan membayarmu. Kita bisa
diskusi tentang berapa nilainya setelah makan siang ini.”
Mendengar namanya disebut, Lizzie langsung me-
noleh lagi. “Aleks akan tinggal bersamaku?” mata kelabu-
nya membundar, menatap Alex dengan berseri-seri. “Ber-
samaku dan A’ter?”
Tidak adil. Sungguh.
Alex berusaha untuk memasang ekspresi tenang. Dia
sudah terlalu ahli untuk mengenakan topeng senyuman-
nya itu. Tapi tangannya terasa dingin ketika dia mem-
bayangkan dirinya yang harus menipu Lizzie. Wanita itu
beranjak. “Mr. Sanders,” dia tersenyum sesaat. “Bisa aku
bicara denganmu secara pribadi?”
Arthur mengusap mulutnya dengan kain dan beranjak.
Melihat dua orang kesukaannya pergi, Lizzie mulai meng-
geliat di kursinya, mau pergi juga. Tapi Alex mengecup
anak itu sambil mengusap rambutnya.
“Aku akan kembali,” dia tersenyum. “Aku mau ke toi-
let.”
“Aleks mau peepee?” Lizzie bertanya polos. “Bersama
A’tur?”
http://facebook.com/indonesiapustaka
~74~
“A’tur juga akan kembali?” Lizzie menyeringai, kali ini
menatap Arthur.
Arthur mengangguk, mengusap rambut Lizzie. Dia
menghampiri seorang waiter dan berbicara singkat, mem-
inta ruangan pribadi untuk dua orang.
http://facebook.com/indonesiapustaka
~75~
http://facebook.com/indonesiapustaka
Chapter 4
“
“
A ku tidak mau uangmu.” Di detik ketika pelayan itu
menutup pintu, Alex langsung menyuarakan pikiran-
nya. Mereka sekarang duduk di ruangan pribadi. Ruangan
kecil di mana kekasih biasanya menikmati makan malam
romantis tanpa diganggu orang lain. Di depan mereka ada
sebotol wine putih dan dua gelas. Senyuman Alex telah
hilang sepenuhnya. No more games. Dia menatap Arthur
dengan serius. “Aku tidak tahu apa yang Nathan ceritakan
padamu. Tapi aku yakin kalau dia sudah menceritakan la-
tar belakangku padamu.”
http://facebook.com/indonesiapustaka
~78~
“Sejak… umurku lima-enam tahun? Tidak masalah se-
jak kapan. Intinya aku mencintainya.”
Arthur masih mematung, seakan-akan dia tidak tahu
harus menjawab apa. Tentu saja. Seorang wanita tiba-tiba
curhat tentang masalah cinta padanya.
“Nathan tidak mencintaiku seperti aku mencintainya.
Dan aku menghabiskan bertahun-tahun untuk melupa-
kannya. Kau tidak tahu aku sudah pacaran berapa kali,
hanya supaya aku bisa...” Alex tersedak, membuat ucapan-
nya terhenti. “Banyak. Oke? Aku sampai tidak ingat bera-
pa. Aku dicap sebagai cewek on-and-off karena aku selalu
ganti pacar.” Alex menuangkan wine untuknya lagi. Wine
ini benar-benar enak dan dia harus minum lagi. “Jadi, aku
tidak mau usahaku ini hancur begitu saja kalau aku harus
tinggal bersamanya. Ketemu untuk makan siang seming-
gu sekali? Fine. Tapi ketemu dengannya setiap pagi, ber-
bagi kopi dengannya, mengucapkan selamat tidur setiap
malam… Itu… ” surga. Alex menggigit bibir. “… neraka.”
Sesaat, suasana hening. Arthur yang tidak tahu harus
menjawab apa dan Alex yang merasa terlalu bodoh ka-
rena mencurahkan perasaannya pada lelaki yang mung-
http://facebook.com/indonesiapustaka
~79~
“Jadi sekarang kau mengerti kenapa aku tidak bisa
tinggal bersamamu? Jujur saja, aku benar-benar menyu-
kai Lizzie dan aku tidak masalah mengurusnya. Kalau kau
mau, kau bisa menitipkan dia di tempatku…”
“Jadi masalahnya akan beres kalau Nathan tidak ting-
gal di rumahku?” Arthur memotong.
Alex tersedak. “Kau mau mengusir Nathan? Dia sengaja
pindah jauh-jauh dari New York hanya untuk…”
“Untuk tinggal dengan kekasihnya.”
Alex mematung. Napasnya terputus sesaat. “Tunggu.
Apa?”
“Nathan kembali ke Los Angeles karena dalam waktu
tiga bulan lagi kekasihnya akan ditugaskan ke Los Angeles
secara permanen.” Arthur menjelaskan. “Setelah itu dia
akan pindah bersama kekasihnya. Dan melamarnya. Tiga
bulan dari sekarang.”
Alex tidak menjawab. Tiga bulan dari sekarang. Tanpa
sadar jari-jarinya sudah mencengkram gelas wine-nya. Fe-
buari. Valentine. Melihat Alex yang tidak menjawab, Arthur
hanya bisa berkedip bingung. Dia terlihat berpikir sesaat.
“Kau tidak tahu?” dia bertanya.
http://facebook.com/indonesiapustaka
~80~
Ada yang aneh. Dia sudah tahu ada yang aneh, hanya
saja dia tidak mau terlalu memikirkannya. Nathan tidak
bilang apa alasannya pindah ke Los Angeles. Dia hanya bi-
lang kalau Arthur memintanya untuk ikut mengurus Lizzie
dan dia tidak bisa meninggalkan anak kecil yang diincar
keluarga tirinya sendiri.
Dan Samantha? Kapan terakhir kali dia mendengar
Nathan bercerita tentang Samantha? Alex memejamkan
mata, teringat kalau kemarin malam Nathan menahannya,
masih ingin bercakap-cakap dengannya.
Nathan ingin memberitahunya kemarin malam. Tentu
saja. Nathan tipe lelaki yang akan menceritakan tentang
hal penting melalui mulutnya sendiri, bukan SMS atau
telepon. Tentu saja alasan utama Nathan kembali supaya
dia bisa bersama Samantha. Samantha sendiri menyusul
Nathan ke New York untuk terus bersamanya. Tentu saja
Nathan akan pindah ke Los Angeles kalau Samantha ditu-
gaskan ke Los Angeles.
Memangnya kau kira Nathan kembali ke Los Angeles
untuk apa? Bertemu denganmu?
Alex tertawa pelan. Tenggorokannya terasa tercekat.
http://facebook.com/indonesiapustaka
~81~
peduli siapa. Cowok mana pun. Terserah. Asal cowok itu
mau menemaninya sampai dia bisa melupakan Nathan
lagi.
“Apa yang kau pikirkan?”
Suara Arthur membangunkannya dari lamunan.
“Aku tidak tahu kalau kau begitu menyukai wine.”
Arthur menuangkan wine di gelasnya dan dia beranjak,
menuangkan segelas lagi untuknya. “Minum sepuasmu.
Tapi jangan mabuk. Kau berjanji pada Elizabeth untuk
bertemu dengannya lagi.”
Alex tersenyum simpul. Matanya sudah terasa pedih.
“Kita sudah terlalu lama di sini. Aku bisa membayangkan
Nathan yang kelimpungan mengurus Lizzie yang mulai
berisik.”
“Elizabeth akan mengerti kalau peepee butuh waktu
yang lama. Dia gadis cerdas.” Arthur mengangguk singkat.
“Saat ini kau memerlukan wine.”
Alex tertawa, mengusap matanya dan merasakan ujung
jarinya yang basah. “Oke. Aku akan tinggal bersamamu.”
Mendengar itu, Arthur langsung mengangkat kepal-
anya, menatap Alex. “Bagus. Sekarang kita diskusikan
http://facebook.com/indonesiapustaka
uang…”
“Tidak, tidak.” Alex meneguk wine-nya. “Aku tidak mau
uangmu. Tinggal di tempatmu yang cuma berjarak 17 me-
nit dari Cali Art sudah cukup sekali. Aku hemat bensin, dan
aku tidak perlu bayar rental, listrik dan semacamnya.”
~82~
Arthur diam sesaat, memperhitungkan ucapan Alex.
“Aku akan menggunakan uang tabunganku untuk ku-
liah. Kuliah malam. Jadi aku bisa mengurus Lizzie. Dan ke-
tika aku kuliah sore, kau bisa menemani Lizzie. Oke?” Alex
terdiam sesaat. “Malam hari, mungkin aku tidak akan pu-
lang ke rumah.” Karena aku akan sibuk mencari cowok lain.
“Tapi aku janji di pagi hari aku akan kembali pada Lizzie.”
Arthur mengerutkan kening, terlihat tidak senang
mendengar ‘aku tidak akan pulang ke rumah’. “Kalau kau
butuh uang untuk kuliah…”
“Aku akan pinjam darimu.” Alex memotong, entah ba-
gaimana tahu apa yang akan diucapkan Arthur. Sepertinya
Arthur mengira kalau dia akan berkeliaran keluar malam
untuk mencari uang. “Aku suka Lizzie juga. Jadi aku tidak
mau kau membayarku untuk menemani anak manis se-
perti dia.”
Arthur terlihat tertegun, tapi dia mengangguk. “Eliza-
beth anak manis.” Dia menyetujui.
Alex tertawa sesaat. “Selain itu, aku akan mendaftar
sistem beasiswa. Kalau diterima, aku hanya perlu memba-
yar 30 persen. Jadi tidak masalah. Nathan akan membantu
http://facebook.com/indonesiapustaka
~83~
Arthur mengangguk lagi. “Aku akan menyuruh PA-ku
untuk membuat surat perjanjian tentang percakapan kita
hari ini.”
Alex langsung melongo. “Surat perjanjian? Untuk dis-
kusi seperti ini?”
“Ini menyangkut kepentingan Elizabeth.” Arthur melo-
tot. “Perjanjian diperlukan.”
Alex menggeram tidak percaya. Dia merongoh kan-
tong jeansnya, mengeluarkan dompetnya. “Pena. Calon
konglomerat sepertimu pasti bawa pena.” Alex mengulur-
kan telapak tangannya. Arthur mengerutkan kening, na-
mun dia merongoh kantong jeansnya, mengeluarkan pena
hitam yang mengkilat. “Hooo… Mont Blanc.” Satu pena ini
berapa? Kurang lebih 1000 dolar? Sampai sekarang Alex
tidak mengerti kenapa ada manusia waras yang beli pena
ini. Tapi bagi businessman seperti Arthur, barang berme-
rek itu penting untung jaga image. Wanita itu mengeluar-
kan selembar kertas yang dia simpan di dalam dompet.
Dia membuka lipatan kertas itu dan menulis cepat.
‘Perjanjian yang harus Alexandra Walker tulis karena
Arthur Sanders bersikeras untuk menulis perjanjian demi
http://facebook.com/indonesiapustaka
kepentingan bambina.
1. (Alex) berjanji untuk tinggal di rumah mewah itu dan
menemani Lizzie pada pagi-siang hari. Sore-malam dia
akan pergi melakukan kegiatannya sendiri dan tidak bisa
diganggu gugat.’
~84~
Dia menulis di atas kertas itu dan langsung menye-
rahkan kertas itu pada Arthur. “Nah, sekarang tulis pera-
turanmu di bawah point yang kutulis.” Dia menunjuk ke
arah kertas itu. Arthur masih mengerutkan kening, tapi
dia menerima pena dari tangan Alex dan mulai menulis.
Setelah menulis sesaat, dia mengembalikan kertas itu
pada Alex.
“Hmm, ayo sini lihat. Peraturan seperti apa yang kau
tu…” Alex terpaku, melongo. “Apa ini?!”
Arthur tersentak ketika mendengar jeritan kaget Alex.
Dia langsung beranjak, berdiri di sisi Alex dan menatap
tulisannya.
“Dua. Arthur berjanji untuk menjaga Elizabeth di malam
hari dan tidak akan mempertanyakan aktifitas malam Al-
exandra.” Dia membaca pointnya. “Ada masalah? Ini yang
kita bicarakan tadi.”
Alex masih ternganga. “Lihat tulisanmu!” Jari Alex ber-
getar, menunjuk tulisan di depannya. “Tulisan macam apa
ini?!”
“Oh.” Arthur berujar. “Ada beberapa yang bilang bahwa
tulisanku seperti cakar ayam.” Dia menjawab santai.
http://facebook.com/indonesiapustaka
~85~
“Aku punya tiga PA.” Arthur kembali berujar dengan
nada tenang. “Tugasku hanya tanda tangan.”
Oh. Tentu saja Arthur punya tiga sekretaris, memang-
nya siapa yang dia bicarakan.
Alex terlalu syok sampai dia tidak tahu apa yang mau
dia lakukan sekarang. Lelaki dengan tampang dewa seks
ini punya tulisan yang lebih hancur dari cakar ayam.
Ternyata pernyataan ‘dunia tidak adil’ itu salah. Dunia
ini memang adil. Alex tersenyum puas.
“Baiklah. Aku akan tanda tangan di sebelah pointmu
dan tanda tangan pada pointku.” Alex tanda tangan di
sebelah tulisan ajaib yang dia tidak bisa baca sama sekali.
Dia memberikan kertas dan pena itu pada Arthur dan Ar-
thur melakukan hal yang sama. “Kau simpan saja kertas-
nya. Jadi kalau kita mau menambahkan sesuatu, aku akan
datang padamu.”
Arthur mengangguk, melipat kertas itu dan memasuk-
kan kertas itu di dompetnya. Lelaki itu terlihat puas, mem-
busungkan dadanya sambil menepuk dompetnya.
Mau tak mau Alex tertawa melihat Arthur. Lelaki ini…
sangat unik. Meski tampangnya seperti manusia cemer-
http://facebook.com/indonesiapustaka
~86~
tapi oh gosh, ekspresi lelaki itu terlihat dengan jelas. Dari
wajahnya yang bersinar ketika Lizzie minta digendong,
sampai pada matanya yang melotot ketika Lizzie ingin
duduk di sebelah Alex.
Dan bayangkan. Tulisan macam apa itu?
Alex tertawa lagi, membuat Arthur menaikkan alisnya.
“Tidak…” Dia cekikikan. “Ayo, kembali pada Lizzie. Dia
pasti sudah menunggu.”
Arthur langsung menengadah, beranjak seperti ten-
tara yang baru saja dipanggil namanya untuk menerima
penghargaan, membuat Alex tertawa lagi. Namun lelaki
itu terhenti, melihat gelas wine Alex yang masih setengah
penuh. “Kau tidak mau minum lagi?”
“Tidak.” Wanita itu masih terkekeh. “Aku sudah tidak
butuh wine.” Dia terpaku sesaat, kaget mendengar uca-
pannya sendiri. Beberapa menit yang lalu dia tenggelam
dalam wine itu, berusaha untuk menghilangkan gejolak
di perutnya. “Bagaimana denganmu?” Alex bertanya. “Kau
menuangkan wine di gelasku tadi dan menawarku minum.
Sudah tidak benci padaku lagi?” senyumnya mengem-
bang.
http://facebook.com/indonesiapustaka
~87~
Lizzie, tapi karena…” alisnya terangkat. “Senyuman sek-
siku?”
Arthur mendengus. “Senyuman palsu.” Dia membe-
narkan. “Aku muak melihat senyuman seperti itu dari pagi
sampai malam setiap hari.”
Alex bergumam pelan. “Tentu saja. Kau pasti melihat
senyuman seperti ini setiap hari di pekerjaanmu. Orang-
orang yang hanya tersenyum kalau ada maunya.” Dan
Alex selalu tersenyum kalau dia ingin menyembunyikan
sesuatu. “Tapi orang lain senang kalau aku tersenyum sep-
erti itu di depan mereka.” Tersenyum berarti kau baik-baik
saja. Tersenyum berarti kau senang. Kalau kau tersenyum,
tidak akan ada yang bertanya macam-macam. Nathan se-
lalu ikut tersenyum kalau kau tersenyum.
“Aku tidak.” Lelaki itu menatapnya dalam-dalam. “Aku
tidak suka.”
Alex terdiam sesaat. Dia masih duduk di kursinya dan
Arthur berdiri di depan pintu. “Hei. Bisa minta kertas itu
lagi? Ada point yang ingin kutambah.” Dia mengulurkan
tangannya. Arthur tidak berkata apa-apa, hanya mengelu-
arkan kertas itu dari dompetnya dan pena. Alex berpikir
http://facebook.com/indonesiapustaka
~88~
thur. “Tapi bukan berarti selama ini aku senyum palsu
di depan Lizzie,” dia menjelaskan cepat. “Sejak kemarin.
Hanya dia saja… aku jujur terhadapnya.”
Arthur mengangguk. “Aku tahu.” Dia menandatangani
point baru Alex. “Kalau kau membohongi perasaannya,
kau pikir aku akan membiarkan dia dekat padamu?”
Alex tertawa lega. “Lizzie terlalu pintar. Kalau aku
‘palsu’, dia akan langsung tahu dan melemparku dengan
semua mainannya. Aku tidak mau. Dilempar dengan balok
lego itu sakit, tahu.”
Arthur tersenyum simpul, membuat Alex ternganga
sesaat. Arthur tersenyum. “Aku tahu.” Dia menyeringai, me-
mamerkan deretan gigi cemerlang. “Memang sakit.” Lelaki
itu tertawa pelan, wajahnya merona karena tawa.
Alex masih ternganga. Oh God. Kalau sekali lagi Arthur
tertawa di depannya, dia akan tewas berdiri di detik itu
juga.
ef
Nathan terlihat sangat bersyukur ketika Alex dan Arthur
kembali dari ruangan pribadi itu. Lizzie masih duduk di
http://facebook.com/indonesiapustaka
~89~
Arthur menundukkan kepala, mengecup pipi Lizzie.
“Good girl.” Dia memuji. Dan Alex bersumpah dia bisa me-
lihat waitress yang langsung mendesah iri.
“Aleks dan A’tur peepee dan poopoo?” sang bambina
bertanya polos. “Karena itu kalian lama?”
Alex langsung tertawa, mencium pipi Lizzie dengan
gemas, membuat bocah itu menjerit girang.
“Kami berdiskusi,” Arthur menjelaskan. “Dan Alexan-
dra setuju untuk tinggal bersama kita.”
Mendengar itu, mata Lizzie langsung melebar. “Be-
nar?” dia bertanya pada Alex, matanya berbinar-binar.
“Tidak bohong?”
“Tidak.” Alex tersenyum.
“Aleks mau main denganku? Nonton Bambi sama-sa-
ma?”
“Iya.” Wanita itu mengusap rambut hitam Lizzie, den-
gan gesit menarik pasta yang menempel di rambutnya.
“Dan tidak akan pergi lagi? Aku akan jadi anak baik.”
Ucapan Lizzie membuat jari Alex terhenti. Dia tidak tahu
seperti apa kehidupan anak ini di panti asuhan. Kurang
lebih dia bisa membayangkan seperti apa. Kalau kau jadi
http://facebook.com/indonesiapustaka
~90~
Lizzie terlihat bersinar. Dia memeluk erat Alex dan
langsung minta digendong.
“Sungguh, kalau saja orang luar yang melihat, mereka
akan mengira kau dan Arthur suami istri dan Lizzie adalah
anak kalian berdua.” Nathan bergumam kagum. “Tapi be-
nar, Lexie? Kau mau tinggal bersama kami?” dia menoleh
sesaat, menatap Arthur dengan tatapan takjub. “Kau mem-
buatnya setuju dengan cara apa?”
Alex mematung sesaat. Apakah Arthur akan bilang ra-
hasianya? Dia menoleh, menatap wajah Arthur yang tidak
bisa dibacanya itu. “Dua gelas wine.” Arthur menjawab.
“Alexandra sangat suka wine.”
Alex tertawa lega, menggelengkan kepala.
“Kalian seenaknya minum wine sedangkan aku sendi-
rian membacakan cerita Bambi sambil bernyanyi pada
bocah ini?” Nathan mendesis kesal. “Yang benar saja. Ka-
lian tidak tahu seberapa banyak aku menyebutkan kata
peepee dan poopoo karena dia berkali-kali tanya kalian di
mana.”
“Awww, jangan kesal begitu, Nate,” Alex tanpa sadar
melontarkan senyuman paksanya. “Ini latihan yang ba-
http://facebook.com/indonesiapustaka
gus untuk masa depan. Tiga bulan dari sekarang kau akan
melamar Samantha bukan?”
Nathan langsung merona, wajahnya terbakar. “Arthur
bilang padamu? Padahal aku ingin bilang padamu dari
mulutku sendiri…”
~91~
“Tidak apa. Intinya tetap sama.” Senyuman paksa itu
berubah menjadi cengiran. “Aku yakin dia akan langsung
menerimamu. Kalian sudah pacaran sejak kalian 16 tahun.”
Alex berusaha fokus pada tangan mungil Lizzie di sekitar
lehernya, bukan rona merah di wajah pucat Nathan. “Ayo
pulang. Aku harus membereskan barang-barangku kalau
aku ingin pindah nanti Senin.”
Nathan tertawa. “Ah iya. Nanti aku akan cerita padamu.
Tentang Samantha. Jesus, Lexie, kau tidak tahu seperti apa
dia sekarang. Oh! Dan aku mau tanya pendapat tentang
cincin perkawinan…”
Alex tidak bisa mendengar ucapan Nathan lagi. Te-
linganya seakan-akan berhenti berfungsi secara ajaib.
Dia tidak tahu kalau dia bisa melakukan itu. Kalau begini
seharusnya dari dulu dia seperti itu, jadi dia tidak perlu
mendengar semua celoteh Nathan tentang Samantha. Dari
belakang, Alex bisa merasakan tangan hangat dan kekar
yang menyentuh punggungnya. Alex tidak perlu menoleh
untuk tahu bahwa itu tangan Arthur. Dia tersenyum sing-
kat, tangannya memeluk Lizzie semakin erat.
ef
http://facebook.com/indonesiapustaka
“Jadi, kau akan pindah besok lusa? Hari Senin?” suara Tim-
my terdengar dari balik telepon.
“Yeah.” Alex menghela napas, melempar tumpukan
baju ke dalam koper. “Aku harus mengurus safety depos-
~92~
it dulu dengan pemilik tempat ini. Dia sudah tahu kalau
cepat atau lambat aku pasti akan pindah. Jadi setidaknya
tidak apa. Harusnya aku bisa mendapatkan depositku
kembali dalam waktu seminggu ini.”
“Kau yakin kau tetap mau menjaga Johnny? Kau tidak
mau beres-beres?”
“Tidak apa. Aku butuh kucing itu.” Alex meringis, ter-
ingat akan rencananya untuk meringkuk dan memeluk
Johnny semalaman.
“Awww, aku tidak tahu kau mencintai Johnny sampai
seperti itu.” Timmy tertawa. “Kau dengar, baby? Alex men-
cintaimu.” Suara Timmy naik beberapa oktaf dan dari ba-
lik telepon Alex bisa mendengar suara mengeong Johnny.
“Kami akan antar Johnny besok pagi ke rumahmu, dan jem-
put dia di malam hari ya.”
“Tentu.” Alex melempar kumpulan kausnya ke koper.
“See you.” Alex bisa merasakan keraguan Timmy dari ba-
lik telepon. Dia tahu kalau Timmy ingin bertanya kenapa
Alex tiba-tiba berubah pikiran dan setuju untuk tinggal
disana.
“See you.” Timmy membalas, membuat Alex menghela
http://facebook.com/indonesiapustaka
~93~
tahu sudah berapa lama dia menyibukkan diri dengan me-
nyusun semua barang-barangnya ini. Ketika dia menatap
jam dinding, jarum sudah menunjuk ke angka 12.
Wanita itu masuk ke dalam kamar mandi, membersih-
kan diri seadanya, menyikat gigi dan membasuh wajah-
nya. Setelah mengganti pakaiannya dengan kaus lengan
panjang yang menyentuh pahanya, dia menghempaskan
diri di kasur, menyelimuti tubuhnya dengan selimut.
Dia teringat akan masa-masa itu. Masa-masa di mana
dia meringkuk sendirian di kasurnya, menangis sampai
matanya bengkak dan tidak bisa dibuka lagi. Dan Alex
tidak akan memaafkan dirinya sendiri kalau dia menetes-
kan air mata lagi untuk Nathan. Dia menatap jam dinding,
sangat tergoda untuk mengenakan bootsnya, pakai jeans
yang super ketat, blus hitam yang menunjukkan lekuk tu-
buhnya dan masuk ke klub malam.
Alex tertawa miris, menggelengkan kepala. Dia harus
mengurus Johnny besok. Dia tidak mau diserang oleh
pertanyaan beruntun Timmy. Wanita itu memejamkan
matanya, memikirkan sesuatu yang bisa membuatnya
tersenyum. Dia memikirkan senyuman girang Lizzie ke-
http://facebook.com/indonesiapustaka
~94~
kepala, menyesal karena tidak memotret tulisan Arthur
dulu. Dia tidak bisa membayangkan seperti apa wajah
Timmy kalau dia melihat tulisan itu.
Alex masih tersenyum, wajahnya terasa hangat. Dia
beranjak, keluar dari kamar dan membuka kulkasnya. Dia
membuka sekaleng bir dan meraih laptopnya dan duduk
di atas sofa, mengisi aplikasi beasiswa di website Cali Art.
http://facebook.com/indonesiapustaka
~95~
http://facebook.com/indonesiapustaka
Chapter 5
“
J ujur saja, Alex tidak rela melepaskan Johnny dari pe-
lukannya ketika Timmy menjemput kucing itu pada
Minggu malam. Dan Alex merasa sedikit senang ketika
Johnny juga terlihat tidak rela meninggalkan pangkuan
Alex.
“Kenapa dia jadi lengket denganmu?” Timmy tertawa
bingung.
“Entah?” Alex menaikkan bahunya. Dia tidak mau bil-
ang kalau dia memeluk Johnny selama lima jam, menyem-
pil di sofa mungilnya, nonton film horor di Netflix sambil
http://facebook.com/indonesiapustaka
~98~
saanku ketika melihatnya tersenyum. Seakan-akan aku
menang hadiah.”
“Kau memenangkan kepercayaannya.” Timmy men-
jawab Alex. “Entah kenapa aku tiba-tiba ingin kau me-
nikah dengannya. Aku tidak bisa membayangkan seindah
apa anak kalian berdua.”
“Tidak mau. Kalau anakku terlalu indah, kau akan me-
manjakannya sampai dia terkena diabetes.”
“Benar juga.” Timmy menganggukkan kepala. Mereka
berdua saling tertawa, membuat Max menaikkan sebelah
alis, bingung.
ef
Timmy menyuruh Max pulang duluan, membawa Johnny
dan perlengkapan kucing lainnya. Dia tidak peduli meski
Alex memaksanya pulang, dia tidak peduli kalau dia ha-
rus naik taksi untuk kembali pulang dan dia tidak peduli
kalau dia harus bangun pagi-pagi besok untuk kembali ke
kantornya. Dia duduk bersama Alex, menyempil di sofa
mungilnya. Timmy meletakkan kakinya di paha Alex se-
dangkan Alex memijit pelan kaki temannya yang pegal
http://facebook.com/indonesiapustaka
~99~
Alex pun bercerita, tentang dia yang mencintai Na-
than sejak dulu, tentang Nathan yang hanya menyayang-
inya sebagai keluarga. “Samantha… dia tidak cantik.” Dia
memberitahu Timmy. “Kau belum pernah melihatnya. Dia
gembul. Wajahnya selalu bundar kalau dia tersenyum,”
Alex tertawa pelan. Suaranya terdengar pahit. “Aku dulu…
pernah berpikir. Kenapa Nathan pacaran dengan cewek
jelek seperti itu? Wajahnya penuh bintik-bintik. Wajahnya
terlalu pucat, gampang terbakar kalau musim panas. Aku
lebih cantik.”
Timmy terdiam.
“Tapi, kau tahu… dia punya tawa tergirang… dia pu-
nya senyum terlebar… Rambutnya pirang, ikal. Matanya
coklat, selalu berseri-seri. Dia membawa tawa pada orang
lain. Samantha tidak cantik. Tidak,” dia menggelengkan
kepala. “Tapi dia punya hati yang paling indah.”
Timmy mengusap bahu Alex, membuat bibirnya ber-
getar.
“Dia matahari. Dia membuat Nathan tersenyum. Dia
membuat Nathan berseri-seri, membuatnya tersipu.” Alex
meneguk birnya dengan cepat. “Dan aku tidak bisa mem-
http://facebook.com/indonesiapustaka
~100~
embakku dan aku menolaknya. Dia dengan kesal menun-
juk ke arah Nathan sambil berseru ‘tapi kau mau bersama
monyet itu?’. Aku langsung menghantam cowok itu, mem-
buatnya kehilangan gigi depan.” Alex cekikikan ketika ter-
ingat kejadian itu. Tangannya terkilir, membuat Nathan
kesal padanya sampai seminggu, kau tidak perlu membe-
laku sampai seperti itu, Lexie.
“Lalu?”
“Tapi aku mencintai Nathan. Karena meski dia tidak
tampan, dia membuatku merasa hangat. Dia membuatku
merasa nyaman, membuatku merasa…” Alex mengayunk-
an tangannya. “… home. Karena itu, aku mengerti kenapa
Nathan mencintai Samantha, bukan aku. Karena Samantha
itu matahari Nathan.” Dia meletakkan kaleng birnya yang
sudah kosong, mengambil bir baru. “Aku bukan matahari.
Heck. Aku terlalu gelap untuk menerangi orang lain.”
“Dan kau bilang kalau kau sudah mengaku cinta pa-
danya dua kali?”
Alex mengangguk. “Dan dia hanya memberiku ekspresi
bersalah. Dia tidak tahu harus bagaimana. Dia menjauhiku
sampai aku bilang padanya kalau aku sudah menyukai le-
http://facebook.com/indonesiapustaka
~101~
“Dan kau yakin kau mau tinggal di sana?” mata coklat
Timmy terpaku pada tumpukan kotak. “Kau akan melihat-
nya setiap hari.”
Alex menggeleng, meraih rambut merah Timmy yang
menyentuh lengannya. “Kalau aku tidak menghadapinya,
kapan lagi? Aku harus move on, harus menghadapinya.
Tidak boleh sembunyi lagi. Lagipula ada Lizzie. Dia mem-
bantu.”
“Dan ada Arthur. Arthur tahu bukan? Kalau kau men-
cintai Nathan?” Timmy bertanya. Alex mengangguk. “Hei,
bagaimana kalau kau coba menyukai… entahlah. Arthur?
Dia tidak mengataimu kan? Dan dia tahu kalau kau selama
ini memasang senyuman palsumu itu?”
Alex mengangguk lagi. “Arthur lelaki tertampan yang
pernah kulihat. Tapi aku tidak punya perasaan padanya,
Timmy. Kalau aku bisa tinggal suka dengan cowok tam-
pan, sekarang aku sudah menikah dengan mantanku. Me-
reka semua tampan dan seksi.”
Timmy tertawa malu. “Iya juga. Hati tidak bekerja se-
perti itu.”
“Aku capek.” Dia memberitahu sahabatnya. “Capek
http://facebook.com/indonesiapustaka
~102~
Ucapan mendadak Alex itu membuat Timmy ter-
tawa kencang. Mereka berdua tertawa terbahak-bahak,
tersedak bir dan terjatuh dari sofa.
ef
Malam itu malam sebelum dia pindah ke rumah barunya,
dia bermimpi. Dia berdiri, menatap kaca, di mana wanita
berambut coklat pendek yang mengenakan lipstik merah
gelap balas menatapnya. Wanita itu mengenakan gaun
hitam yang menunjukkan lekukan tubuhnya. Bayangan-
nya melirik ke kiri, membuat Alex ikut melirik. Dan dia
menatap wanita bertubuh gembul yang tertawa riang,
mengenakan gaun pengantin. Dan lelaki berambut pirang
menghampiri wanita itu, mengecupnya dengan rindu.
Alex membuka matanya, langsung terduduk. Dia mera-
sakan sarung bantalnya yang sudah basah karena kerin-
gat. Dia menarik napas, tangannya bergetar. Alex meme-
luk selimutnya, mengusap matanya berkali-kali.
Dia menyalakan ponselnya, ingin menelpon Timmy.
Namun dia sadar bahwa sekarang Timmy seharusnya
masih tidur. Masih jam tiga pagi. Dia tidak bisa menggang-
http://facebook.com/indonesiapustaka
~103~
menempel papan target itu di dinding dan mulai mengelu-
arkan pisau-pisaunya.
Dalam kegelapan, Alex mengayunkan lengannya. Ma-
tanya mendelik tajam, napasnya mulai teratur dengan bu-
nyi ujung pisau yang menancap di papan target itu.
Bukan kekuatan. Tapi ketepatan. Suara sensei tern-
giang-ngiang di kepalanya. Kecepatan. Fast and quick. Kon-
sentrasi.
Setiap kali telapak kakinya menginjak lantai, tangan-
nya bergerak dan pisau baru sudah menancap tengah tar-
get. Alex tidak tahu berapa kali dia melakukan itu; melem-
par pisau sampai ke papan target, mencabut pisaunya dan
mengasah pisaunya. Dia tidak tahu kalau dia sudah me-
lempar pisau sampai jam enam pagi. Ponselnya yang ber-
bunyi membuat perhatiannya teralih. Dia berjalan menuju
konter dapur, meraih ponselnya dan menatap SMS dari
Timmy.
Timmy: hei, aku tahu pada akhirnya kita berpisah den-
gan senyuman. Tapi aku yakin kau yang keras kepala ini
masih galau. Sekarang baru jam enam. Aku yakin kau be-
lum bangun. Haha. Apa pun itu, aku tiba-tiba ingat kau ada
http://facebook.com/indonesiapustaka
~104~
Timmy: karena kau gelap, makanya kau membuat orang
lain terlihat terang. Kau melindungi mereka dalam kegela-
pan. Dan kau tahu, sepertinya kau tidak segelap yang kau
kira. Karena, si Johnny ini suka dengan sesuatu yang terang
mengkilat. Dan kau tahu, bocah itu, siapalah namanya yang
kau panggil bambina? Dia anak kecil polos yang benci de-
ngan orang lain kan? Tapi hanya mau menempel padamu?
Semua anak-anak menempel pada cahaya. Kau adalah ca-
hayanya. Jangan meragukan dirimu sendiri, Alex.
Alex tertawa serak. Matanya terasa pedih.
Timmy: dan menurutku, kau tidak perlu bercahaya se-
perti matahari. Matahari terlalu silau. Kau cukup menjadi
seperti sekarang saja. Aku suka Alex yang sekarang. Seperti
kataku kemarin, kalau Max tidak hadir di dalam hidupku,
aku akan jadi lesbi demimu, Alex. Bukan karena Alex yang
bisa senyum seksi, tapi karena Alex yang akan menghajar
siapa pun yang berani menggangguku.
Bibirnya bergetar ketika dia membentuk senyuman.
Wanita itu mengetik, mengirim balasan.
Me: Mau bencana apa pun yang menimpaku, kalau ada
kau, Timmy, aku yakin aku bisa selamat apa pun. Bencana
http://facebook.com/indonesiapustaka
~105~
Dan pagi itu, meski matanya seperti mata panda kar-
ena kurang tidur, dia tersenyum lebar, meraih peralatan
melukisnya dari kotak dan mulai menggambar mata kela-
bu bundar dan cengiran lebar Lizzie.
ef
Ketika dia sampai ke depan rumah Arthur dengan mobil-
nya, tidak ada seorang pun di rumah kecuali Ms. Conney
dan Lizzie. Arthur dan Nathan bekerja. Jujur saja, Alex
merasa lega. Dia disambut oleh jeritan girang dan pelukan
hangat.
“Bambina,” Alex mengecup puncuk kepala Lizzie,
mencium bau shampoo J&J yang familiar. “Sudah makan
siang?”
Bocah itu menggeleng, menatapnya dengan berseri-
seri. “Aku menunggu Aleks!”
Alex tersenyum lebar, membenarkan lengan sweater
Lizzie. Keningnya berkerut sesaat ketika Lizzie terbatuk,
mengusap hidungnya. “Dia terkena flu?” dia menoleh, ber-
tanya pada Ms. Conney yang berdiri di sebelahnya.
Ms. Conney menggeleng. “Dia memang rentan ter-
http://facebook.com/indonesiapustaka
~106~
“Ms. Conney, panggil aku Alex saja.” Alex tersenyum,
menerima kertas itu. Matanya membaca cepat semua pen-
jelasan dokter di kertas itu.
Alergi terhadap selai kacang. Rentan akan cuaca dingin.
Flu setidaknya setahun tiga kali.
Alex berkedip, menatap bocah kurus yang masih me-
nempel di pinggangnya. “Kau mirip Nathan ya? Dia juga
sering sakit dulu.” Alex tertawa. “Selalu batuk, membuat
anak-anak sekelas mengejeknya ‘virus’.”
“Aku sehat.” Lizzie memanyunkan bibirnya, mengusap
hidungnya. “Ayo main!”
“Tidak. Makan dulu.” Alex tersenyum, meraup Lizzie
dan menggendongnya.
“Setelah itu main?”
“Setelah itu main.” Alex mengangguk. Dia harus ber-
tanya pada Ms. Conney kapan saja jam tidur siang anak
ini. Jangan sampai karenanya, jadwal tidur Lizzie menjadi
kacau. Semua barang-barang Alex masih ada di dalam mo-
bilnya. Dia akan memindahkan barang-barangnya nanti
saja. Lagipula dia tidak tahu di mana kamarnya yang baru.
Alex mendudukkan Lizzie di kursi tingginya. Bocah itu ter-
http://facebook.com/indonesiapustaka
~107~
“Tidak apa, Alex.” Wanita setengah baya itu tersenyum.
“Aku akan sangat bersyukur kalau kau mau menemani
Lizzie. Dia menanyakanmu dari semalam.”
Alex perlahan-lahan mengangguk, duduk di kursi.
Dia duduk di seberang Lizzie dan bocah itu langsung
bernyanyi-nyanyi girang. “Mary ‘ad a little lam’! Lil lam’!”
“Mary had a little lamb,” Alex tersenyum, ikut bernyanyi.
“Little lamb.”
Lizzie terus menerus mengulang kalimat ‘little lamb’
dengan suaranya yang melengking itu. Alex menoleh, me-
natap Ms. Conney yang mengaduk sup ayam. Dia benar-
benar merasa tidak nyaman dilayani seperti ini. Suara
deringan yang terdengar dari ruang tamu membuat Ms.
Conney tersentak. Wanita yang berambut abu-abu itu
mengusap tangannya di celemek.
“Ms. Conney, biar aku yang angkat teleponnya.” Alex
sudah beranjak tanpa menunggu jawaban dari wanita itu.
Dia berjalan menuju sumber deringan itu dan Alex hanya
bisa menaikkan sebelah alis ketika melihat bahwa yang
berbunyi itu iPad. Ada yang facetime iPad ini. Dia me-
nekan layar dan wajah Arthur langsung muncul di layar.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Mata biru lelaki itu terbelalak sesaat dan begitu juga den-
gan mata Alex. “Oh, hei there.” Alex tertawa pelan melihat
ekspresi kaget Arthur. “Ada apa?”
“Kau sudah sampai.” Arthur berujar. Rambut coklat-
nya tersisir rapi ke belakang. Dia mengenakan dasi hitam
~108~
dan jas kelabu. Alex bisa melihat jam tangan rollex yang
bertengger di pergelangan tangan Arthur.
“Yep.” Alex mengangguk, tidak tahu mau menjawab
apa. “Lizzie sebentar lagi makan siang.” Dia berjalan kem-
bali ke ruang makan, meletakkan iPad itu di tengah meja.
“Bambina, Arthur menelpon.”
“A’ter!” Lizzie cekikikan, menyentuh pelan layar iPad
yang menunjukkan wajah Arthur.
“Tanya Arthur dia sudah makan belum,” Alex berbisik
keras di telinga Lizzie, membuat Lizzie tertawa geli. Alex
melirik Arthur sambil meringis. Lelaki itu menaikkan
sebelah alis, menyunggingkan senyuman miring.
“A’ter sudah makan?” Lizzie bertanya dengan nyaring.
Arthur langsung menyodorkan tangannya, menun-
jukkan sandwich di depan kamera. “Sedang makan.” Dia
membuka mulutnya, melahap sandwich itu. Jari jempolnya
mengusap ujung bibirnya, menjilat mayones. Alex berke-
dip. Dia tidak tahu orang yang mengunyah sandwich bisa
terlihat seseksi itu. Dia mulai mengasihani PA Arthur yang
mungkin sudah tersandung berkali-kali. “Bagaimana den-
gan kalian?” Arthur bertanya. “Apa makan siang kalian?”
http://facebook.com/indonesiapustaka
~109~
Alex menahan tawa, kembali berbisik di telinga Lizzie.
“Oh! Sup jamur ayam!” Lizzie berseru dengan penuh ke-
menangan, sama sekali tidak sadar kalau Alex dan Arthur
sudah tersenyum geli melihatnya.
“Ms. Conney yang memasak.” Alex memberitahu Ar-
thur. “Aku merasa tidak nyaman. Kau yakin aku tidak perlu
melakukan apa pun di sini, Arthur?”
“Positif.” Arthur menganggukkan kepala dengan serius.
“Cukup menemani Elizabeth.” Dia terdiam sesaat. “Tentang
kamarmu. Ada dua kamar kosong di sini. Kau bisa pilih mau
yang mana. Ms. Conney bisa tunjukkan padamu.”
“Kau tinggal di rumah sebesar ini sendirian sebelum
Elizabeth datang?” Alex menaikkan sebelah alis.
Arthur menggelengkan kepala. “Sebelum ini aku ting-
gal di tempat lain.”
Jadi Arthur sengaja membeli tempat ini ketika Eliza-
beth akan datang? Wow.
“Berapa nomor ponselmu?”
“Hm?” Alex menaikkan sebelah alis. “Kau yakin Nathan
belum memberikan nomorku padamu? Dia kan mulut em-
ber.”
http://facebook.com/indonesiapustaka
~110~
jempol. Alex mengangguk, mengeluarkan ponselnya dan
mencatat nomor yang disebutkan Arthur.
“Mr. Sanders. Laporan pengeluaran…” terdengar suara
wanita dari balik panggilan.
“Aku akan menelpon lagi.” Arthur berujar, menatap Alex
sambil menggigit sandwich-nya. Sebelum Alex sempat
berujar ‘see you’, lelaki itu sudah memutuskan panggilan.
Alex berkedip, menoleh ke arah Lizzie yang menyumpal
sendok ke dalam mulutnya.
“Arthur aneh ya?” dia tersenyum, memberitahu anak
itu.
“A’ter temanku.” Lizzie membenarkan, membuat Alex
tertawa.
“Oh ya?” Padahal dia mengira kalau Lizzie mengang-
gap Arthur sebagai ayah atau sebagai paman. Arthur selalu
terlihat berkharisma di depan orang lain, membuat orang
lain dengan senang hati menundukkan kepala di depan-
nya. Tapi sepertinya di depan Lizzie, semua kharisma itu
lenyap. “Arthur main bersamamu?”
Lizzie mengangguk. “A’ter gambar sama-sama.” Hi-
dungnya yang mungil itu mengerut sesaat. “Tapi jelek.”
http://facebook.com/indonesiapustaka
~111~
Lizzie langsung berceloteh dengan girang, meng-
ayunkan lengannya. “Petak umpet! Tapi A’ter tidak bisa
sembunyi. Dia besaaar!”
Alex terkekeh, mencoba membayangkan Arthur yang
bertubuh kekar itu berjongkok di bawah kasur. Lizzie ter-
us berceloteh tentang Arthur yang bernyanyi bersamanya,
Arthur yang menyusun lego bersamanya, Arthur yang ti-
dur siang bersamanya.
Dan di detik itu, Alex tersenyum lebar. Tidak salah
Lizzie menganggap Arthur sebagai temannya, bukan
orang dewasa. Senyumannya Alex menghilang ketika dia
teringat fakta bahwa anak ini tidak punya ayah dan ibu.
Sama sepertinya. Dan dia tidak ingin Lizzie menjadi seper-
tinya. Dia tidak ingin Lizzie berpikir kalau dia sendirian di
dunia ini. “Hei, Lizzie,” Alex mengusap rambut hitam yang
acak-acakkan itu. “Apakah kau mau punya…” dia meneguk
ludah. “Kau mau punya Mommy?” kalau Lizzie meng-
inginkan ibu, mungkin dia bisa meminta ibu Nathan untuk
mengurus Lizzie. Tania adalah wanita yang baik. Dia tidak
akan menolak Lizzie.
“Tidak mau.” Jawaban cepat Lizzie membuat Alex ter-
http://facebook.com/indonesiapustaka
~112~
lebih besar. “Dan kau punya Arthur.” Alex menambahkan.
“Dan Nathan. Dan Ms. Conney.”
Cengiran lebar yang Lizzie lontarkan padanya mem-
buat Alex tertawa.
ef
Arthur sudah menumpuk kumpulan film anak di ruang
menonton. Tapi anak itu sama sekali tidak tertarik. Dia
ingin memutar film Bambi lagi. Ms. Conney bilang padanya
kalau dalam sehari Lizzie bisa menonton Bambi sampai
tiga kali. Alex tidak tahu bagaimana caranya Arthur bisa
bertahan menonton kancil yang melompat-lompat sampai
tiga kali sehari. Alex merasa kalau dia harus melakukan
sesuatu sebelum semua pengetahuan Lizzie hanya terba-
tas akan kancil. Lizzie tidak tertarik dengan film princess-
es, langsung menepis film Frozen di tangannya. Namun
ketika Alex menyodorkan Brave, Lizzie langsung terlihat
tertarik. Matanya terpaku pada gambar gadis berambut
orange-merah acak-acakan, mencuat ke segala arah.
“Rambutnya sama seperti Lizzie kan?” Alex meringis.
“Mau nonton?”
http://facebook.com/indonesiapustaka
Lizzie mengangguk.
Dan memperkenalkan Lizzie pada Merida7 adalah
kesalahan fatal. Lizzie ngotot mau punya panah seperti
Merida dan dia ingin punya warna orange-merah se-
7
Pemeran utama film Brave
~113~
perti Merida. Alex tidak tahu harus bicara apa. Tentu saja
dia tidak bisa mengecat rambut Lizzie, bisa-bisa Arthur
membunuhnya. Tapi sepertinya Lizzie mati-matian meng-
inginkan rambut merah itu karena dia mengira untuk bisa
menembak dengan jitu, seseorang harus punya rambut
‘berkobar’ seperti Merida.
“Aku bisa melempar tapi aku tidak punya rambut
merah.” Alex berujar. Dia membuka youtube video, mem-
perlihatkan video lomba melempar pisau. Dan mata bun-
dar Lizzie semakin terbelalak melihat Alex yang melem-
par pisau dengan jitu. “Lihat? Aku menang juara satu.”
Dia memberitahu Lizzie, tertawa pelan sambil menonton
video itu. “Ini kapan ya? Tiga bulan yang lalu. Ah. Lihat. Itu
Timmy.” Dia cekikikan. “Rambutnya dikuncir kuda.”
Dan disitulah kesalahan kedua Alex. Lizzie ngotot un-
tuk punya panah dan pisau.
Arthur akan membunuhnya.
“Tidak boleh. Kalau bambina sudah besar, baru boleh.”
Alex berujar untuk kesekian kalinya. “Kalau kau menung-
gu sampai besar, aku akan mengajarmu.”
Lizzie terdiam, memperhitungkan ucapan Alex. “Tung-
http://facebook.com/indonesiapustaka
gu aku besar?”
“Iya.” Alex menganggukkan kepala. “Dan mau tahu ba-
gaimana caranya untuk cepat besar?”
Lizzie langsung mengangguk dengan antusias.
~114~
“Makan dan tidur.” Alex menjawab santai. “Lizzie su-
dah makan, dan sisanya tinggal…?”
Di detik itu juga Lizzie langsung berlari masuk ke da-
lam kamarnya. Bocah itu memanjat kasurnya, memejam-
kan matanya erat-erat sambil memeluk boneka Bambi.
Alex hanya bisa terhening, berpikir keras harus memberi
alasan apa lagi kalau Lizzie ngotot ingin panah dan pisau.
Siapa pun yang bilang kalau anak cewek suka gaun dan
tiara itu salah besar.
ef
Alex mengenakan kaus hitam v-shapped yang berlengan
panjang dan celana jogging. Dia duduk di sofa panjang
di ruang tamu, memangku laptopnya sambil menyeru-
put kopi hangat. Wanita itu mengisi formulir kedua yang
dikirim oleh Cali Art mengenai program beasiswa itu.
Dia harus mengirimkan beberapa lukisannya pada kam-
pus tersebut. Dia juga harus mengerjakan beberapa tes
psikologi dan Alex hanya bisa berharap kalau tes itu tidak
menunjukkan kalau dia gila. Ms. Conney ingin menunjuk-
kan dua kamar kosong itu pada Alex dan membantu Alex
http://facebook.com/indonesiapustaka
~115~
Arthur dan Nathan tidak mungkin pulang secepat itu. Dan
selain itu, bukankah mereka berdua punya kunci rumah?
Memangnya siapa yang datang?
Arthur dan Nathan tidak bilang padanya daftar tamu
yang mungkin datang berkunjung ke rumah ini. Dia me-
noleh, menatap ruang tamu yang kosong ini. Bel itu kem-
bali berbunyi. Alex mengerutkan kening. Ms. Conney ada
di lantai dua. Alex beranjak, mengintip dari peephole8 di
pintu. Dia tertegun ketika melihat wanita yang mengena-
kan mantel bulu menunggu di luar. Wanita itu berambut
coklat keemasan, ikal dan bermata biru. Wajahnya dilapisi
make up tebal dan bibirnya semerah darah. Dilihat dari
tampang wanita itu, dia adalah wanita dengan dompet
yang tebal.
Wanita itu kembali menekan bel, kali ini dengan ek-
spresi tidak sabar.
Alex merongoh kantung celananya, mengeluarkan iP-
hone-nya. Dia mengetik cepat ke Arthur.
Me: wanita yang mengenakan mantel bulu putih dengan
corak macan tutul, lipstik merah cerah, mata biru, rambut
pendek ikal berwarna pirang coklat. Dia sudah menekan
http://facebook.com/indonesiapustaka
~116~
Alex menaikkan sebelah alis. Arthur si calon konglom-
erat langsung pulang? Berarti wanita di depan pintu ini
bukan wanita biasa. Alex kembali mengintip, menatap
wanita itu yang menghentakkan heelsnya dan memutar
tubuh, pergi masuk ke dalam mobil Ferrari kuning.
Siapa dia memangnya?
http://facebook.com/indonesiapustaka
~117~
http://facebook.com/indonesiapustaka
Chapter 6
“
“
D ia Charlotte.” Nathan menghela napas panjang, mem-
buat Alex menyingkirkan iPhone-nya dari telinga
sesaat. “Mantel macan tutul. Lipstik merah darah. Iya. Dia
Charlotte. Aku tidak tahu bagaimana caranya dia bisa tahu
lokasi rumah ini.”
“Dia terlihat muda.” Alex mengerutkan kening. “Bu-
kankah Charlotte ini anak kedua? Seharusnya dia punya
sedikit keriput.” Awalnya dia mengira kalau wanita itu
kekasih Arthur atau apalah.
“Umurnya sudah nyaris tiga puluh lima tahun. Make up-
http://facebook.com/indonesiapustaka
~120~
“Hmm…” Alex bergumam, kembali mengetik. Dia harus
berkali-kali menghapus kalimatnya karena tiba-tiba saja
dia mengetik dengan penuh typo. Samantha menginap?
Dari semua skenario yang ada di kepala Alex, ini adalah
kasus terburuk. Alex kembali melirik jam yang menunjuk-
kan angka lima. Jam sembilan. Dia akan keluar ke Toxic-
dan mencari cowok. Kalau dia beruntung, cowok itu akan
membiarkan dia menginap di rumahnya sampai pagi.
Tapi itu berarti seks.
Alex memijit keningnya sesaat. Dia tidak suka one-
night stand. Dia dulu sering, ketika dia masih kuliah. Seks
hanya untuk melupakan sesuatu yang tidak menyenang-
kan. Tapi Timmy mendampratnya habis-habisan ketika
dia tahu. Dan sejak itu dia berhenti. Beralih ke judo, knife
throwing dan melukis untuk melepas stresnya.
“Aku baru sadar sesuatu. Kau sudah putus dengan siapa
namanya? Daniel? Kau tidak pernah membicarakan dia
lagi.”
Alex sudah gatal untuk bertanya, ‘Kau tidak ada ker-
jaan ya? Kenapa kau ngobrol denganku sesantai ini?’ tapi
Alex menelan kalimat yang sudah di ujung lidah itu. Dia
http://facebook.com/indonesiapustaka
~121~
Alex tidak berani bilang kalau dia bahkan tidak ingat
wajah Daniel. “Hm-hm. Aku tidak mau membicarakan ten-
tang dia.”
“Oh, maaf. Kau masih patah hati ya?” Nathan terdengar
bersalah. Lelaki itu tidak tahu kalau dia sendiri yang me-
nyebabkan hati Alex tersayat-sayat. Kalau ada cara untuk
membuang hati, Alex dengan senang hati membuang ha-
tinya sepuluh tahun yang lalu. “Masih belum menemukan
the one ya, Lexie?”
Alex terus mencari lelaki lain untuk melupakan Na-
than. Tapi sampai sekarang, usahanya sia-sia dan dia me-
nyerah. Dia sudah single setahun. Sekali dua kali kencan
dengan lelaki yang mengajaknya. Tapi dia tidak pacaran.
Dia terkadang berbohong pada Nathan lewat telepon. Dia
bilang pada Nathan bahwa dia ada pacar.
Daniel… ah. Iya. Dialah pacar ‘bohongan’ yang Alex ce-
ritakan pada Nathan lewat telepon. Pacar yang sangat dia
‘cintai’ supaya Nathan tidak cemas. Daniel, yang dia ambil
dari nama ikan mas Timmy. Sekarang dia tidak bisa bo-
hong lagi karena Nathan sudah tinggal di Los Angeles.
“Lexie? Kau dengar?”
http://facebook.com/indonesiapustaka
~122~
The one-ku sudah diambil Samantha sejak sepuluh ta-
hun lalu. “Yeap. Hanya perlu menunggu.” Menunggu sampai
aku mati dan mengubur semua perasaanku bersamaku.
“Hei. Hei. Kau terdengar lesu. Ada apa? Sejak tadi kau
tidak fokus.” Nathan mulai terdengar cemas. “Kau tidak
sakit kan? Kau orang tersehat yang pernah kukenal.”
“Aku harus mengisi formulir beasiswa. Pertanyaan
mereka banyak sekali.” Alex menjawab seadanya. “Kau
tidak siap-siap? Samantha akan datang bukan?”
“Hmmm. Iya. Mau ikut kami makan malam? Burger
King. Dia kangen denganmu.”
“Entahlah, Nate. Aku sedang sibuk.” Alex dengan sen-
gaja mendekatkan iPhone-nya pada keyboard laptop,
mengetik dengan sekuat tenaga, berharap kalau Nathan
mendengar semua suara ‘sibuk’ ini. “Lagipula katamu Sa-
mantha akan menginap kan? Aku bisa bertemu dengan-
nya nanti malam.”
Pintu rumah terbuka dan Alex tidak pernah selega itu
melihat Arthur.
“Hei. Arthur sudah kembali. Sudah ya, Nate.” Tanpa
menunggu balasan dari Nathan, Alex langsung mema-
http://facebook.com/indonesiapustaka
~123~
“Masih tidur.”
Arthur terdiam, tangannya masih mengepal.
“Hei,” Alex menyingkirkan laptopnya. “Kau tahu kan
aku tidak akan membiarkan siapa pun melukainya?”
Arthur tidak menjawab, namun dia tetap berdiri me-
matung di depan pintu. Alex beranjak, berjalan ke bela-
kang Arthur dan menyentuh jasnya, menarik jas lelaki itu.
Arthur perlahan-lahan melonggarkan bahunya dan mer-
entangkan tangannya, membiarkan Alex melepas jasnya.
“Aku tidak tahu dari mana dia tahu alamat rumah ini.” Su-
ara Arthur terdengar dingin. “Aku pindah rumah supaya
mereka tidak tahu di mana Elizabeth sekarang.”
Alex tidak menjawab, melipat jas Arthur. Matanya ter-
paku pada Ms. Conney yang terburu-buru turun dari tang-
ga ketika melihat Arthur. Sang pengasuh itu mengulur-
kan tangannya dan Alex memberikan jas Arthur padanya
sambil tersenyum. “Mereka?” dia bertanya pelan. “Hari ini
Charlotte, dan besok William?”
Bahu Arthur kembali menegang.
“Beri aku foto mereka.” Alex memberitahu Arthur. “Jadi
aku bisa waspada.”
http://facebook.com/indonesiapustaka
~124~
sidangan mereka berdua adalah keluarga. Mereka punya
hak untuk mengurus Elizabeth. Aku egois kalau aku tidak
mau melibatkan mereka dalam mengurus Elizabeth.”
Nathan bilang padanya kalau Lizzie tinggal di tempat
Charlotte selama seminggu dan dioper pada William sebe-
lum akhirnya sampai pada tangan Arthur. Alex tidak tahu
apa yang mereka berdua lakukan pada Elizabeth dalam
waktu tersebut. Tapi dinilai dari perilaku Lizzie yang takut
didekati orang lain… Alex menggertakkan gigi.
“Kau tidak keluar?” Arthur bertanya tiba-tiba.
Alex mengerutkan kening, menatap Arthur dengan
bingung.
“Perjanjian kita.” Lelaki itu memutar kepala dan
menunduk untuk menatap Alex. “Kau cuma menemani
Elizabeth dari pagi sampai siang. Sekarang sudah sore.”
“Ah…” Alex bergumam, teringat akan rencananya ke
klub malam. “Masih terlalu cepat untuk keluar. Jadi mung-
kin aku akan membereskan barang-barangku dulu.”
“Kau belum membereskan barangmu?” Arthur
mengerutkan kening. “Kenapa? Kau tidak suka dengan ka-
marnya?”
http://facebook.com/indonesiapustaka
~125~
las untuk Arthur. “Ngomong-ngomong, tidak apa kau pergi
begitu saja dari kantor?”
Kerutan di kening Arthur semakin dalam. “Besok
akan kutangani.” Dia langsung meneguk habis air putih-
nya. Alex hanya bisa terdiam. Dia merasa kalau dia ada-
lah orang paling sial. Tapi sepertinya bebannya tidak
seberapa dibandingkan beban Arthur sekarang. Dia me-
neguk airnya, merasa iba melihat kerutan kening Arthur
yang masih belum hilang itu. “Hei. Tunjukkan padaku ka-
marku?” dia tersenyum.
Arthur mengangguk. “Ada dua kamar. Satu di lantai
pertama di seberang kamar Nathan.” Arthur mengerling-
kan matanya, melirik ke arah pintu yang ada di samping
ruang tamu. “Dan satu lagi di lantai dua, di seberang ka-
marku.”
“Di seberang kamarmu.” Alex menjawab cepat. Ar-
thur tidak menjawab atau mempertanyakan Alex. Dia
hanya mengangguk dan naik ke lantai dua. Alex mengekor
punggung yang lebar dan kekar itu. “Ms. Conney tidur di
mana?”
“Kamar di samping kamar Elizabeth.”
http://facebook.com/indonesiapustaka
~126~
dan menoleh, menatap Alex, menyuruh Alex untuk masuk.
Alex menjengukkan kepalanya, menatap kamar yang di-
lengkapi dengan balkon dan ruangan kloset. Rak pakaian
yang berwarna kecoklatan di dalam kloset itu serasi den-
gan meja yang terletak di pojok kamar. Kasur queen size di
pojok kiri kamar dan ada lampu tidur di nightstand yang
terletak di sebelah kasur.
Kamar yang sederhana dan jauh lebih besar dari ka-
marnya yang sebelumnya.
“Kamar mandi ada di luar. Tidak apa?”
Alex menganggukkan kepala. “Tentu saja tidak apa.”
“Bagus.” Arthur tiba-tiba menggulung lengan bajunya.
“Di mana barang-barangmu?”
ef
Pindahan menjadi lebih cepat berkat bantuan dua otot
lengan yang kekar itu. Enam kotaknya sudah berjejer rapi
di ujung kamar. Tiga tahun hidupnya bisa dimasukkan
dalam enam kardus saja. Alex tidak tahu apakah itu bisa
disebut sebagai hal yang menyedihkan. “Terima kasih,” dia
memberitahu Arthur, melontarkan cengiran ketika meli-
http://facebook.com/indonesiapustaka
~127~
dia duduk di sebelah Alex, masih menatap wanita itu den-
gan tatapan bingung.
“Samantha, kekasih Nathan mungkin akan menginap
di sini beberapa malam. Tidak apa?” dia bertanya pada
Arthur. “Nathan belum meminta izinmu, tapi mungkin dia
akan menelponmu.”
Arthur tidak menjawab. Dia memiringkan kepalanya
dan menatap Alex. “Aku tidak keberatan. Kau?”
“Aku?” Kali ini Alex yang memiringkan kepalanya. “Ke-
napa tanya pendapatku?”
“Karena kau salah satu anggota rumah ini sekarang.”
Arthur menjawab dengan nada datar, seakan-akan dia se-
dang mambaca fakta dari laporan keuangan.
“Tapi, kau pemilik rumah ini.” Alex mengerutkan ke-
ning.
“Dan, kau sudah menjadi salah satu penghuni rumah
ini.” Arthur balas mengerutkan kening.
Sesaat, mereka saling melotot.
“Hahh, aku menyerah.” Alex meraih bantal dan meme-
luk bantal itu. “Oke. Aku juga setuju.” Lagi pula cepat atau
lambat dia harus menghadapi Samantha.
http://facebook.com/indonesiapustaka
~128~
ngomong kenapa kau pindah ke rumah yang banyak ka-
mar ini?” Alex bertanya.
“Untuk sepupuku.” Arthur menjawab singkat.
Alex menaikkan sebelah alis. “Siapa?”
Arthur tidak langsung menjawab. Dia menatap ke arah
balkon, menatap langit hitam di depannya. “Aku punya
sepupu. Sepuluh tahun lebih muda dariku.” Dia mulai ber-
cerita. “Kami berkumpul bersama keluarga yang lain setiap
thanksgiving.” Arthur berujar, sekilas mulutnya memben-
tuk senyuman pahit. “Keluargaku penuh akan konglom-
erat. Thanksgiving hanya berupa samaran untuk mata
umum. Yang sebenarnya terjadi di acara makan siang itu,
semua anggota keluarga saling menggosipkan kekurangan
masing-masing anak. Atau menggosipkan anak mana yang
paling cerdas dan bisa meneruskan usaha keluarga.”
Alex hanya bisa terdiam. Itu pertama kalinya dia men-
dengar Arthur bicara lebih dari lima kalimat.
“Tapi, sepupuku… dia tidak menjelek-jelekkan yang
lain. Tidak membicarakan uang. Dia berceloteh tentang
anjingnya. Selalu tertawa nyaring. Suka menonton drama
Korea. Punya cita-cita untuk menjadi Miss America.” Ar-
http://facebook.com/indonesiapustaka
~129~
ba menjadi pendiam.” Kerutan di kening Arthur kembali
muncul. “Tidak naik kelas. Masalah keluarga. Masalah te-
man.”
Alex mengangguk. Sepertinya keluarga Arthur selalu
banyak drama.
Arthur melanjutkan. “Sekarang dia sembilan belas ta-
hun. Masih suka memamerkan foto anjingnya kalau dia
bertemu denganku. Berisik.”
“Jadi… kau sengaja beli rumah dengan kamar banyak
ini supaya…?” Alex tersenyum lebar. “Kau ingin dia pindah
di sini?”
“Aku bilang padanya kalau dia mau pindah, ada kamar
untuknya.” Arthur mengangkat bahunya. “Tapi, dia seka-
rang di Singapura dan kuliah di sana. Dia bilang kalau dia
bahagia di sana. Dan, aku tidak perlu…” mulutnya terkat-
up, tangannya mengepal.
“Kalau kau tidak perlu khawatir?” Alex menambah-
kan.
“Terakhir kali dia mengirim email untukku seminggu
yang lalu,” Arthur tidak menjawab pertanyaan Alex. “Dia
bercerita tentang teman sekamar yang akhirnya bisa dia
http://facebook.com/indonesiapustaka
panggil sahabat.”
“Ah…” senyuman Alex mengembang, teringat akan
Timmy. “Baguslah.”
~130~
“Dia datang akan ke sini untuk liburan natal. Kau bisa
bertemu dengannya bulan depan.” Arthur mengakhiri cer-
itanya.
Alex hanya bisa tersenyum, mengangguk. “Kau orang
baik, kau tahu.” Dia berujar tanpa dia sadari. “Meski wa-
jahmu tidak terlihat begitu.” Alex tertawa. “Kau orang
baik.”
Arthur kembali memiringkan kepalanya, menatap
Alex dengan tatapan bingung dan Alex balas memiringkan
kepalanya, menyeringai jahil.
ef
Alex tidak tahu bagaimana caranya, tapi yang pasti seka-
rang dia dan Arthur duduk berhadapan di kasur barun-
ya, saling memeluk bantal. Ms. Conney sedang memasak
makan malam dan Lizzie masih tertidur lelap.
“Rugby,” Arthur menjawab singkat. “Ketika high school
dan kuliah.”
Alex ber-aaah. “Pantas saja tubuhmu kekar seperti itu.
Tapi, tubuhmu lebih ramping dan ‘kurus’ kalau dibanding-
kan dengan pemain rugby profesional.” Dia menyeringai
http://facebook.com/indonesiapustaka
~131~
“Hanya jogging. Terkadang gym di kantor.” Dia mem-
beritahu Alex.
Alex mengangguk. Pantas saja tubuh Arthur lebih
ramping dan kecil kalau dibandingkan pemain rugby. Dia
berolahraga kardio sekarang. Dia berani taruhan dulu di
kuliah atau di high school, tubuh Arthur lebih besar dari
ini. “Ada pacar?” Alex bertanya lagi, matanya bersinar ja-
hil.
Arthur kembali menggeleng. “Mereka selalu melompat
ke arahku.” Dia terdiam sesaat. “Menakutkan.”
Alex langsung tertawa terbahak-bahak, hilang keseim-
bangan dan terjatuh dari kasur. Arthur ternganga, cepat-
cepat menarik Alex, namun wanita itu tidak bisa berhenti
tertawa. Di detik itu, Alex mengambil kesimpulan baru
akan Arthur. Sosok seperti dewa seks, tapi hati seperti
Bambino9. “Aku tidak tahu nama tengahmu. Nama leng-
kapmu apa?” dia melanjutkan percakapan.
“Wolf.” Arthur menjawab langsung. “Arthur Wolf Sand-
ers.”
ef
http://facebook.com/indonesiapustaka
~132~
lantai di ruangan menonton ini luas, tapi Lizzie memutus-
kan untuk duduk di antara paha Alex dan Arthur. Alex ber-
sumpah kalau dia melihat Arthur yang mengusap ujung
matanya di bagian Merida yang memeluk ibunya.
Setelah menyuruh Lizzie untuk menyikat giginya su-
paya giginya menjadi seputih gigi Merida, bocah itu terti-
dur di pelukan Arthur. Arthur membaringkan anak itu di
kasurnya, tidak lupa meletakkan boneka Bambi di samp-
ingnya dan menyelimuti Lizzie sampai pada dagunya.
“Sebentar lagi kau harus membelikan boneka Merida
untuknya,” Alex tertawa pelan, keluar dari kamar bocah
itu. “Oh, mainan panah dan pisau juga.”
Arthur langsung mendelik ke arahnya, membuat Alex
meringis. Mereka berdua keluar kamar dan berjalan sam-
pai di lorong tengah. Alex menatap jam dinding dan dia
terpaku sesaat. Sudah jam sembilan malam. Dan, dia ber-
encana untuk pergi ke klub malam.
Tapi, entah kenapa… dia merasa kalau dia tidak perlu
pergi ke sana.
“Kau tidak jadi pergi?” Arthur seakan-akan membaca
pikirannya. “Tidak jadi keluar?”
http://facebook.com/indonesiapustaka
~133~
Arthur mengangguk. “Memangnya kau mau ke mana?
Untuk melepas stres?”
“Biasa…” Alex menaikkan bahunya. Mereka berdua
masih berdiri di depan kamar Lizzie. “Dojo… atau klub
malam.” Dia menengadah sesaat, menatap Arthur. Dia
menunggu Arthur untuk mengatainya. Namun lelaki itu
hanya terdiam, wajahnya tidak menunjukkan apa-apa.
“Klub malam untuk minum wine?” Arthur memasang
senyuman miring. “Kau suka wine.”
Alex tertawa, diam-diam merasa lega. “Tidak. Mereka
tidak jual wine. Bir…, gin, slider, atau campuran alkohol
lainnya. Wine biasanya hanya di restoran, Bambino.” Alex
menyeringai lebar.
“Bambino?” Arthur tertegun. “Kenapa kau memang-
gilku begitu?”
“Karena kau bambino.” Alex menjawab seadanya, mem-
buat Arthur semakin bingung. “Intinya, aku belum pernah
minum wine di klub malam. Wine tidak bisa membuatmu
mabuk dengan cepat, kau tahu. Aku hanya minum wine di
restoran.”
“Aku ada wine.” Arthur menyenderkan tubuhnya di
http://facebook.com/indonesiapustaka
~134~
“Tentu. Ada yang aneh?” Arthur mengerutkan kening.
“Ada wine di sana.”
Alex ternganga. Arthur sama sekali tidak sadar ka-
lau itu kalimat menggoda nomor satu. Tapi kalau dipikir
lagi, tentu saja dia tidak sadar. Arthur tidak perlu ‘meng-
goda’. Cukup menatap mata seseorang dan orang itu akan
melompat di dada Arthur. Tunggu. Alex menyeringai lebar.
Dia ingin tahu sampai mana batas ‘pengetahuan’ Arthur.
“Ada wine di kamarmu?” Alex bertanya santai. Dia ikut
menyenderkan tubuhnya di dinding, berhadapan dengan
Arthur. “Selain wine… ada apa lagi?” dia tersenyum mir-
ing, menatap Arthur melalui bulu matanya yang lentik.
Arthur langsung terlihat bingung, tidak tahu untuk
menjawab apa. Dia terlihat berpikir sejenak, masih mena-
tap mata Alex. “Ada teh. Ada kopi.”
Dan Alex harus berkonsentrasi untuk menahan tawa-
nya. Tidak. Tidak. Lizzie sedang tidur dan dia tidak bisa
membangunkan Lizzie. “Oh ya?” cengirannya melebar.
“Selain itu?”
Arthur mengira kalau jawabannya yang sebelumnya
sudah tepat, jadi dia melanjutkan jawabannya dengan me-
http://facebook.com/indonesiapustaka
~135~
luar biasa. “Bagaimana dengan… makanan?” Alex dengan
sengaja menggigit bibirnya. Setiap cowok yang dia temui
akan langsung merona melihatnya yang seperti ini. “Ada
sesuatu yang bisa kumakan?”
“Ada.” Arthur langsung mengangguk. “Coklat. Kau suka
coklat kacang?”
Dan Alex langsung membekap wajahnya, mengabaikan
tatapan bingung Arthur. “Kau tahu, ketika kau menginjak
usia remaja tidak ada yang mengajarimu tentang semua
ini?” Alex hanya bisa menggelengkan kepala. “Lupakan.
Sepertinya mereka berusaha menanam ekonomi dan
keuangan di kepalamu, bukan seks.”
“Aku tahu seks.”
“Ohhh?” Alex langsung menengadah lagi, terlihat ka-
get. “Yakin? Kau pernah seks?”
Arthur mengangguk.
“Ohhhh?” Alex berusaha untuk menahan nada kagum-
nya. “Kau yakin kau tahu apa itu seks?”
“Tentu.” Arthur mengangguk lagi.
“Dan?”
“Aku tidak suka.”
http://facebook.com/indonesiapustaka
~136~
Tentu saja. Arthur berada di klub rugby yang dipenuhi
oleh cowok-cowok yang ‘membara’ dan dilengkapi oleh
cheerleader seksi dan menawan. Pasti banyak yang meng-
incarnya dan mengajarinya macam-macam. “Apa kata
yang lain?”
“Kata mereka… seks itu enak.” Hidung Arthur berkerut
sesaat, seakan-akan mencium bau susu basi. “Tapi bagiku,
biasa saja. Bahkan… tidak enak. Dan aku tahu kenapa.”
“Kenapa?”
“Seks dilakukan antara dua orang yang saling mencin-
tai.”
Alex terpaku. Dia seakan-akan disambar petir. Kalau
ada orang lain yang mengatakan hal itu di depannya, Alex
akan tertawa sinis. Seks? Hanya antara dua orang yang sa-
ling mencintai? Memangnya dunia ini apa? Dunia dongeng?
Dunia Disney? Dia akan mengatai orang itu berkhayal.
Tapi, orang yang mengatakan hal ini adalah Arthur.
Orang paling baik yang pernah ditemuinya. Orang yang
paling…
Alex mengigit bibir, teringat akan pengalamannya. An-
dai saja. Andai saja yang memelukku adalah…
http://facebook.com/indonesiapustaka
~137~
“Kau benar.” Dia berbisik. “Harus bersama orang yang
saling mencintai.” Dia tersenyum, menatap Arthur yang
mengangguk.
“Nathan yang bilang.” Arthur memberitahunya. Alex
tertawa, mengusap tengkuknya.
“Ya. Dia memang… dia memang percaya dengan hal
seperti ini. The one. Soulmates… Dia… matahari, kau tahu.
Selalu bersinar terang.”
Arthur hanya mengangguk dan Alex kembali terdiam.
“Sialan. Sekarang aku stres lagi gara-gara kau!” Dia
menatap Arthur dengan tatapan menuduh sedangkan Ar-
thur menatapnya dengan tatapan ‘apa-salahku’. “Karena
aku tidak jadi ke klub malam, aku akan lempar pisau seka-
rang.” Dia berdecak. “Harus melepaskan stres sialan ini.”
“Kau melempar pisau untuk melepas stres?”
Alex mengangguk. “Tentu saja. Kau sendiri? Pasti ban-
yak stres. Bagaimana caramu menghilangkan stres? Lari?
Mengangkat barbel?”
Arthur menggelengkan kepala. “Nonton.”
“Oh?” Alex menaikkan sebelah alis. “Nonton apa?”
“Ayo ke kamarku.” Dia kembali menawarkan Alex un-
http://facebook.com/indonesiapustaka
ef
~138~
Dan untuk kesekian kalinya, Alex memutuskan kalau dia
akan memasukkan Arthur di daftar ‘misteri dunia’ yang
ada di kepalanya. Dia sedang duduk di sisi Arthur, duduk
di kasur king size-nya itu, lampu kamar dimatikan. Mereka
berdua memangku bantal, menyeruput susu coklat panas
dan duduk menghadap laptop, menonton video kucing.
Video. Kucing.
“Namanya Sims.” Arthur menunjuk ke kucing belang.
“Dia baru lahir bulan lalu.” Senyumnya mengembang ke-
tika melihat Sims melompat ke kursi, mendesis ketika ses-
eorang hendak mendekatinya. “Dan yang ini Jacky. Dia ibu
Sims.”
Alex tidak bisa berkata-kata, melihat kumpulan kucing
di satu ruangan itu. “Ini…” dia mengerutkan kening. “Tem-
pat penampungan kucing liar?”
Arthur mengangguk. “Setiap bulan aku menyumbang
dan mereka memberiku hadiah video setiap hari.” Alex
ber-oohhh. Jumlah yang disumbang Arthur pasti tidak ke-
cil kalau setiap hari mereka mengirim video untuk Arthur.
Mata biru lelaki itu bersinar-sinar, menatap seekor kucing
hitam yang mencakar kamera. “Nama dia Peanut Butter.
http://facebook.com/indonesiapustaka
~139~
langsung mengeluarkan ponselnya dan membuka satu
folder foto yang khusus dia dedikasikan untuk Johnny. “Li-
hat. Kucing siam jantan.”
Mata biru itu tidak bisa lebih bersinar-sinar lagi. Alex
tidak tahu mana yang lebih silau. Sinar dari layar laptop
ini atau mata Arthur. “Boleh aku bertemu Johnny?”
“Tentu. Tapi jangan sakit hati kalau dia lebih memilih
untuk berbaring di pahaku. Kami sudah menjadi teman-
menyempil-di-sofa sejak dulu.” Alex meringis. Dia mem-
biarkan Arthur memegang ponselnya dan melihat semua
foto Johnny. Sesekali Arthur menekan tombol ‘send’, men-
girim foto-foto itu di ponselnya sendiri. Sementara itu,
perhatian Alex teralih pada foto Lizzie yang ada di depan-
nya, dipajang di nightstand Arthur. Lizzie yang menyerin-
gai lebar, dengan rambut hitam yang berkibar ke segala
arah. “Hei, Arthur.”
“Hm?” Arthur menoleh, menatapnya.
“Aku tidak akan tanya padamu tentang apa yang terja-
di..., Aku tidak akan tanya seperti apa kasus drama di kelu-
argamu. Tapi, aku berjanji padamu, Arthur,” Alex menatap
mata biru itu dalam-dalam. “Aku berjanji untuk melindun-
http://facebook.com/indonesiapustaka
~140~
perbedaan tangan mereka berdua. “Promise sealed10.” Ar-
thur menggoyangkan jempolnya dan Alex harus memir-
ingkan tangannya supaya jempolnya yang pendek itu bisa
menyentuh jempol Arthur. “Jarimu kasar.” Dia memberi-
tahu Alex ketika ujung jempol mereka bertemu.
“Hm, melempar pisau. Sudah tiga tahun.” Alex men-
jawab santai. “Jadi ujung jariku kapal.”
Arthur bergumam pelan, terus menerus mengusap
ujung jarinya dengan Alex, membuat Alex menaikkan
sebelah alis. Mereka kembali menonton video kucing. Tan-
gan mereka tetap bertaut dan sesekali, Arthur mengusap
kapalan di ujung jari Alex.
http://facebook.com/indonesiapustaka
10
Perjanjian sah/disegel
~141~
http://facebook.com/indonesiapustaka
Chapter 7
“
O ke. Dia pernah dengar kalau dengan minum susu
hangat di malam hari, orang akan mudah tidur. Tapi,
Alex tidak tahu kalau dia akan langsung tertidur begitu
saja setelah menonton semua video kucing itu. “Dokter
harus membuang semua obat tidur dan menulis resep
‘video kucing dan susu coklat panas’ sebagai pengganti
obat tidur.” Dia bergumam tanpa dia sadari, wajahnya
masih terbenam di bantal. Wanita itu menggesekkan wa-
jahnya di bantal, menarik napas dalam-dalam dan bergu-
mam ketika dia mencium bau sampo Arthur dari bantal
http://facebook.com/indonesiapustaka
ef
Jujur, Nathan mencemaskan Alex. Dia sudah mengenal
wanita itu seumur hidupnya, tapi terkadang Alex… san-
gat misterius. Senyumnya manis, tawanya riang, tapi ada
http://facebook.com/indonesiapustaka
~144~
berdua sudah lama tidak bertemu dan Samantha ingin
bertemu dengan sahabat masa kecilnya itu. Dan Nathan
langsung panik ketika dia melihat kamar baru Alex ko-
song, hanya ada tumpukan kardus. Nathan tidak ingin
mengganggu Ms. Conney yang sudah tertidur dan pasti-
nya sekarang Arthur sedang membekam diri di kamar,
mengerjakan pekerjaannya.
“Dia pasti di klub malam lagi.” Nathan mendesah,
memberitahu Samantha. “Dia selalu begitu. Selalu… ber-
petualang.”
Samantha tersenyum, lesung pipitnya terlihat jelas ke-
tika dia tersenyum. “Besok pagi dia pasti pulang, Nathan.
Dia sudah bukan anak kecil yang harus kauawasi.”
Nathan masih mengerutkan kening, menganggukkan
kepala. Dia mengirim SMS ke Alex, menyuruhnya untuk
pulang dan menjaga dirinya karena mau bagaimanapun,
dia itu seorang wanita. Berbahaya di luar sendirian.
Tapi, bahkan ketika Nathan bangun tidur, pesannya
tidak dibalas Alex. Nathan menjadi semakin cemas. Dia
mengecup Samantha yang tidur di sisinya dan beranjak,
meraih jubah tidurnya dan keluar kamar. Dia naik ke lan-
http://facebook.com/indonesiapustaka
~145~
Dia harus berbuat sesuatu. “Arthur?” Nathan mengetuk
pintu kamar di seberang kamar Alex. “Apakah Alex ada bil-
ang dia pergi ke mana? Sepertinya dia pergi ke klub malam
lagi. Aku buka pintunya, ya.” Dan karena itu, Nathan sama
sekali tidak mengira kalau Alex sebenarnya ada di rumah.
Dan tidur di kamar Arthur. Mulutnya ternganga lebar, me-
natap Alex yang masih duduk di kasur, menggenggam se-
cangkir kopi hangat. Mata coklat wanita itu terbuka sep-
enuhnya sekarang, sepertinya berkat kopi di tangannya.
Arthur berdiri di depan Alex sambil memegang beberapa
dasi.
“Hei, Nate,” Alex melambai sesaat. Perhatian wanita
itu langsung kembali pada dasi di tangan Arthur. “Warna
biru tua. Jas hitam.” Dia memberitahu lelaki itu.
“Bukan orange ini?” Arthur menyodorkan dasi ber-
warna oranye terang. Alex langsung memejamkan matan-
ya, mengeryitkan hidung dengan ekspresi jijik.
“Tidak. Tidak.”
“Tapi. Elizabeth yang memilihkan ini untukku sema-
lam ketika kita sedang makan malam.” Arthur mencoba
untuk bernegosiasi. “Anak itu punya selera yang bagus.”
http://facebook.com/indonesiapustaka
~146~
“Nanti malam, ketika kau pulang, akan kupakaikan dasi
itu untukmu diam-diam. Dan, kau bisa bertemu Lizzie.”
Alex balas bernegosiasi. “Bagaimana?”
Arthur terdiam, terlihat memperhitungkan ucapan
Alex. “Oke.” Akhirnya lelaki itu mengangguk dan Alex
tersenyum lebar, kembali menyeruput kopinya.
Nathan masih berdiri di depan kamar, menatap pe-
mandangan itu dengan mulut ternganga lebar.
ef
Alex bertemu Samantha pada pagi itu, setelah meminum
habis kopinya. Ketika dia turun dari tangga, dia melihat
Samantha yang mengenakan celemek, menggoreng ba-
con di sisi Ms. Conney yang membuat waffles. “Hei! Alex!”
Wanita itu tertawa girang ketika melihatnya, terburu-
buru meninggalkan pancinya untuk memeluk Alex. Mau
tak mau Alex tersenyum ketika melihat wajahnya yang
sempat panik itu, karena teringat kalau api kompor masih
menyala.
“Relax, Samantha.” Alex mendekati calon tunangan
Nathan itu, memeluk bahunya. Samantha lebih pendek
http://facebook.com/indonesiapustaka
~147~
Wajahnya merona. “Padahal aku baru berpisah dengannya
beberapa hari sejak dia pindah.”
Alex masih tersenyum, namun senyumannya dia pak-
sakan untuk tetap menempel di wajahnya. Dia berjalan
menuju tempat dishwasher, memasukkan cangkirnya dan
Arthur. Setelah menyalakan tombol mesin itu, Alex ber-
jalan menuju kabinet dan mengeluarkan piring Bambi
berserta sendok dan garpunya. Ketika dia sedang sibuk
menata meja, Samantha sudah berdiri di sampingnya, me-
letakkan tumpukan bacon di atas piring.
“Kemarin malam aku dan Nathan mampir ke kama-
rmu.”
“Oh, ya?” Alex bergumam santai. “Lalu?”
“Kau tidak ada di kamar.” Dia memberitahu Alex.
“Alex… aku tahu bahwa kita bukan teman akrab, tapi aku
juga mencemaskanmu kalau kau sering berkeliaran di ten-
gah malam. Nathan sangat mencemaskanmu, kau tahu.”
Di detik itu juga, Alex merasa kalau urat kesabarannya
langsung putus. “Oh?” dia tersenyum lebar, memutar tu-
buh untuk menatap mata coklat Samantha. Alex, batinnya
memperingatkan dia. Jangan. “I don’t think so. Aku tidak
http://facebook.com/indonesiapustaka
~148~
menatap Samantha dengan tajam, rahangnya mengeras.
Setelah dia turun dari tangga, dia berjalan mendekati
mereka berdua. Alex melirik, menatap Samantha yang
terbelalak, mulutnya terbuka lebar dan dia megap-megap
menatap Arthur.
“Dia ada bersamaku semalam, karena itu dia tidak ada
di kamar.” Arthur menjelaskan lebih panjang, tapi seper-
tinya Samantha tidak mendengarnya lagi. Alex terdiam,
menarik napas dalam-dalam. Arthur ada di belakangnya,
bau cologne lelaki itu membuat napasnya menjadi lebih
tenang. “Jangan menuduh tanpa bukti.” Arthur mendelik
dan wajah Samantha langsung terbakar.
“A…, maaf, Alex,” Samantha berbisik pelan. “Aku tidak
tahu.” Wajah Samantha sekarang lebih merah daripada
bacon di atas meja.
Alex melontarkan senyuman manisnya, membuat Sa-
mantha menghela napas lega. “Tidak apa. Aku memang
sering keluyuran.” Ketika kau dan Nathan sedang bersa-
ma.
Alex hanya keluar malam kalau ada Nathan, untuk
menghindari Nathan. Wanita itu tidak tahu bagaimana
http://facebook.com/indonesiapustaka
~149~
dah benar. Dia menengadah, menatap Arthur melalui bulu
matanya. Senyuman Alex lenyap dan bibirnya bergetar.
Dia menunduk, memaksakan diri untuk berkonsenterasi
pada dasi Arthur. Sesekali berdehem untuk menghilangan
perasaan tercekat di tenggorokannya. Lelaki itu tidak bi-
cara apa-apa, meraih jari Alex dan mengusap ujung jari
kapalan wanita itu.
“Wah, baunya enak!” Seruan Nathan dari tangga
membuat mereka semua menengadah. Dia menggeng-
gam gelas-gelas dan cangkir. “Maaf aku telat. Arthur yang
‘aku-mau-ketemu-Alex-dan-menunjukkan-padanya-ka-
lau-aku-bisa-pakai-dasi-dengan-benar’ ini langsung turun
ke bawah, melupakan semua gelas-gelas bekas susunya.”
Alex menaikkan sebelah alis ke arah Arthur dan lelaki
itu tersenyum simpul. Alex sangat tergoda untuk menge-
cup ujung bibir yang terangkat itu. “Aku bisa pakai dasi
dengan benar.” Dia memberitahu Alex dengan nada se-
rius.
“Aku tahu.” Alex tertawa nyaring, membuat Nathan
terpaku di atas tangga.
“Wow, Alex. Sudah lama aku tidak mendengarmu ter-
http://facebook.com/indonesiapustaka
~150~
“Aku malah baru pertama kali ini mendengarnya.” Sa-
mantha menimpali, tertawa pelan. “Kalau tertawa, Alex
selalu tertawa dengan suara yang manis. Tidak seperti ini.”
“Aku mendengarnya sepanjang malam.” Arthur berujar
dengan nada dinginnya. Alex tidak tahu mau meringkuk di
pojok karena rahasianya sudah terungkap atau melempar
piring ke arah Nathan.
“Ngomong-ngomong, Samantha dan Arthur belum
berkenalan, bukan?” Nathan merangkul bahu Samantha
yang lebar. “Baby, ini Arthur, kakak tiriku. Arthur, ini Sa-
mantha, pacarku.”
Arthur mengangguk, wajahnya kembali serius. Ra-
hangnya mengeras. Dan wajah Samantha kembali merona.
Dia melambai dengan kaku. Alex berani taruhan kalau kaki
Samantha sekarang sudah bergetar melihat wajah Arthur.
“Jangan seram-seram.” Dia mengusap rahang lelaki itu
dan rahang itu tidak lagi menegang. Alex duduk di salah
satu kursi, meraih beberapa potong bacon dan scrambled
egg. Arthur duduk di sebelah Alex, mengabaikan Nathan
yang menatapnya dengan mata yang penuh tanda tanya.
Nathan dan Samantha duduk di depan mereka berdua.
http://facebook.com/indonesiapustaka
~151~
Arthur tertegun, namun lelaki itu tertawa pelan, me-
nelengkan kepalanya. “Tentu.”
Nathan terbatuk dan wajah Samantha merona.
“Ada tempat penitipan anak kecil juga.” Arthur melan-
jutkan. “Bawa Elizabeth bersamamu kalau kau memutus-
kan untuk datang.”
Alex bergumam pelan, menggigit rotinya. “Aku me-
mang berpikir untuk membawanya keluar. Tidak baik
kalau di kamar terus…. Dan, aku masih harus menunggu
jawaban dari Cali Art…,” dia melirik, tertawa ketika meli-
hat wajah Arthur yang langsung terlihat penuh akan hara-
pan. “Tentu. Aku akan membawanya ke kantormu hari ini.
Setelah dia bangun dan sarapan.”
Sepanjang sarapan, Arthur terus melihatnya dengan
tatapan berseri-seri. Dia bahkan sengaja beranjak untuk
menuangkan teh di cangkir Alex, mengusap remah roti
dari ujung bibirnya. Dan ketika Alex dengan sengaja men-
colek wajah Arthur dengan saus tomat, lelaki itu hanya
bisa berkedip kaget, membuat Alex tertawa sampai perut-
nya sakit. Arthur tersenyum simpul melihat tawa Alex se-
dangkan Nathan dan Samantha melongo melihat mereka
http://facebook.com/indonesiapustaka
berdua.
ef
Lizzie menyeringai lebar, mengenakan syal merah den-
gan jaket mantel yang tidak kalah merahnya. Cuaca di
~152~
luar tidak terlalu sedingin kemarin, tapi Alex menyelimuti
Lizzie dengan semua pakaian hangat yang ada di lemari.
Dia tidak mau Lizzie sakit karena keluar dari rumah. Alex
menatap bayangannya di kaca. Wanita itu mengenakan
sweater dress kelabu yang hanya sampai di atas lututnya.
Dia menganggukkan kepala, puas dengan pakaiannya
yang terlihat cukup formal untuk mengunjungi kantor
Arthur. Alex melilitkan syal hitam di sekitar lehernya dan
dengan gesit mengenakan boots hitamnya. Sebelum pergi,
Alex mengenakan eyeliner hitam dan mengoles wajahnya
dengan bedak, memberi rona di wajahnya yang pucat.
Lizzie dan Ms. Conney sudah menunggu di bawah dan
Alex tersenyum, meraih tas tangannya dan masuk ke da-
lam mobilnya bersama mereka.
Kantor Arthur tidak terlalu jauh. Setengah jam per-
jalanan dengan mobil. Alex menaikkan sebelah alis ketika
melihat gedung tinggi yang dilapisi kaca itu. “Bangunan
ini punya Arthur?” dia bertanya pada Ms. Conney. Wanta
setengah baya itu mengangguk.
“Kantor Mr. Sanders ada di lantai paling atas. Lantai
pertama sampai tengah adalah shopping mall. Tempat
http://facebook.com/indonesiapustaka
~153~
Alex hanya bisa ber-ohhh, mengirim SMS cepat pada
Arthur, menyatakan kalau mereka sudah sampai. “Ms.
Conney sudah sering di sini?”
Ms. Conney tersenyum. “Iya, membawa Lizzie, karena
dia tidak mau menurut kalau tidak ada Arthur. Sekarang
sudah lebih mudah karena ada kau, Alex.”
Alex tertawa, menggelengkan kepala melihat bocah
berambut hitam yang menatapnya dengan tatapan polos.
“Ah. Arthur menyuruh kita pergi ke lantai lima belas. Ma-
kan siang dulu di restoran katanya.” Alex menatap pon-
selnya, menaikkan sebelah alis ketika membaca nama
restoran Prancis itu. “Shall we?” dia tersenyum, mem-
buka pintu dan Lizzie langsung menjerit girang, senang
akhirnya bisa keluar rumah. Alex langsung berlari cepat,
menggenggam tangan anak itu sebelum ada mobil atau
apalah menubruknya.
Jantung Alex berdebar ketika dia masuk ke dalam ge-
dung itu, entah karena tadi berlari mengejar Lizzie atau
karena dia akan bertemu Arthur sebentar lagi. Dia baru
saja berpisah dengan lelaki itu enam jam yang lalu dan dia
sudah merindukan senyuman simpul sang brunet. Alex
http://facebook.com/indonesiapustaka
~154~
Arthur: jangan datang.
~155~
bocah yang sekarang menatapnya dengan tatapan heran
itu. “Pergi duluan dengan Ms. Conney ya. Aku harus bicara
dengan Arthur.”
Lizzie menelengkan kepalanya. “Peepee dan poopoo?”
Alex menahan tawa. “Ya. Peepee dan poopoo.”
Gadis itu terlihat tidak senang, namun akhirnya dia
mengangguk setelah Alex berjanji dengannya untuk me-
nyusul bersama Arthur. Dia melambai ke arah Ms. Conney
dan Lizzie yang kembali masuk ke dalam lift. “Nah.” Alex
memutar tubuhnya, meraih kacamata hitam dari tasnya
dan mengenakan kacamata itu. Dia tersenyum ke arah
waiter yang datang untuk melayaninya. “Sendirian.” Dia
mengangkat satu jarinya. “Dan bisa aku duduk di meja
itu?” Alex menunjuk meja mungil yang berjarak dua meja
dari tempat Arthur duduk sekarang. Waiter itu langsung
mengangguk, membawanya ke meja tersebut dan mem-
berinya buku menu.
“… kau lihatlah kau yang sekarang. Memangnya kapan
kau ada waktu untuk mengurus anak kecil?” William ber-
seru.
Alex dengan santai kembali merongoh isi tasnya,
http://facebook.com/indonesiapustaka
~156~
“Kami berdua tahu kalau kau ingin fokus pada peker-
jaan, Arthur, karena itu kami ingin mengurus Elizabeth.”
William kembali berujar.
“Aku bisa mengurusnya.” Arthur menjawab dengan
nada dingin. “Kau bisa kembali pada istri dan kekasih ge-
lapmu. Dan Charlotte bisa kembali menghabiskan waktu-
nya berburu binatang bersama suaminya.”
Alex menahan tawa melihat wajah keriput William
yang memerah karena amarah.
“Setidaknya aku punya istri,” dia mendesis. “Istri yang
sudah menjadi seorang ibu dan punya pengalaman dalam
mengurus anak.”
“Istrimu mengirim anakmu ke asrama di London. Dan
umur Jonathan baru enam tahun.” Arthur kembali men-
delik. Rahangnya semakin mengeras dan tangan lelaki itu
mengepal. “Aku. Bisa. Mengurus. Elizabeth.” Dia kembali
menekankan ucapannya.
“Arthur,” William mendesah. “Little brother. Bayangkan
saja seperti apa masa depan anak itu. Tidak ada orang tua.
Tanpa kasih seorang ibu. Istriku bisa merawatnya.”
“Aku sudah menyewa pegasuh tetap.”
http://facebook.com/indonesiapustaka
~157~
pun tentang wanita! Kau bahkan tidak punya kekasih! Ba-
gaimana kau bisa mengurus Elizabeth yang nantinya akan
menjadi seorang gadis? Mau sampai kapan menyewa pen-
gasuh? Kau tidak kasihan dengan dia?”
Arthur tidak menjawab dan perut Alex bergejolak pa-
hit ketika melihat wajah yang mematung itu. Aku tidak bisa
berbuat banyak, Alex teringat akan ucapan Arthur. Mereka
berdua adalah keluarga. Mereka punya hak untuk mengu-
rus Elizabeth. Aku egois kalau aku tidak mau melibatkan
mereka dalam mengurus Elizabeth.
“Lihat. Kau sendiri sadar bahwa kau salah.” William
berdecak. “Kau tidak berkeluarga, dan kau tidak tahu apa-
apa tentang mengurus anak. Kau hanya tahu cara mencari
uang. Beda kasusnya kalau kau punya istri atau kekasih
dan Elizabeth bisa bergantung pada…,”
Di detik itu juga Alex beranjak. Dia menyelipkan kaca-
mata hitamnya di balik kerah sweater dress-nya. Wanita
itu berdiri di belakang Arthur, meremas bahu yang men-
egang itu. “Hei, honey,” Alex berujar manis, menundukkan
wajahnya. Arthur menoleh, terbelalak. Dan di detik itu
juga, bibir merah Alex menempel di sudut bibir Arthur.
http://facebook.com/indonesiapustaka
~158~
Arthur tidak menjawab dan William masih ternganga.
Alex meremas bahu Arthur lagi dan lelaki itu seakan-akan
sadar dari mimpinya, menggelengkan kepala dengan ce-
pat.
“Alexandra,” dia menunjuk ke arah kakak tirinya. “Ini
William, kakakku. William, ini Alexandra…” Mata birunya
melirik ke arah bibir merah yang hanya berjarak beberapa
senti dari bibirnya itu. “… kekasihku.”
Senyuman Alex melebar dan dia mengulurkan tangan-
nya. William yang sepertinya ikut sadar dari alam mimpi
itu langsung tersentak, menyalami Alex. “Alexandra.” Mata
William berkilat. “Defender of man.11Nama yang bagus.”
Alex tersenyum lebar, dengan pelan-pelan melepas
tangannya dari cengkraman tangan William.
“Sejak kapan kalian pacaran?” Dia bertanya cepat pada
Arthur. Arthur tidak menjawab, hanya beranjak untuk me-
narik kursi supaya Alex bisa duduk di sisinya. “Kau tidak
pernah membawanya di thanksgiving. Tidak adil sekali,
menyembunyikan Alexandra dari kami.”
“Aku ada shooting.” Alex menjawab seenaknya. “Per-
saingan antara model sangat ketat. Kalau aku tidak hadir,
http://facebook.com/indonesiapustaka
~159~
William bergumam, meneguk cepat wine yang ada di
depannya. “Pantas saja kau terlihat familiar. Aku pernah
melihatmu di salah satu majalah.”
“Begitulah,” Alex kembali menyunggingkan senyuman
miringnya, membuat William tersedak. “Oh ya, honey,”
Alex menoleh, menatap Arthur yang masih menatapnya
dengan mata biru berkilat. “Bukannya aku tidak mau
mengganggumu dengan kakakmu tapi kita akan menjem-
put Elizabeth dan mengajaknya makan bersama bukan?”
“Ya. Tentu saja.” Arthur langsung beranjak, diikuti oleh
Alex. “Kami pergi dulu.” Dia menganggukkan kepala pada
William.
William tidak mempedulikan Arthur lagi. Dia menye-
ringai lebar, mengecup tangan Alex dan wanita itu terse-
nyum lebar. “See you soon, my lady.”
“Likewise.” Alex menyelipkan lengannya di balik len-
gan Arthur dan mereka keluar dari restoran. Di detik keti-
ka mereka sudah masuk ke dalam lift, Alex mengeluarkan
suara muntah, mengeluarkan tissue basah dan mengusap
tangannya. Arthur hanya bisa menatapnya dengan tatapan
takjub. “Majalah, pantatku. Aku tidak mau membayangkan
http://facebook.com/indonesiapustaka
~160~
melihat mata biru Arthur yang berseri-seri. “Bukankah
aku menyuruh kalian ke tempat penitipan saja?”
“Aku melihatmu duduk dengan William. Kau terlihat
sudah siap menerkamnya, aku tidak bisa membiarkan
nama baikmu hilang begitu saja bukan?” Alex melirik, me-
natap Arthur yang masih terlihat takjub. “Kenapa dia bisa
datang tadi?”
“Dia mencariku dan salah satu pegawaiku memberita-
hunya kalau aku ada di restoran itu.” Mata Arthur kembali
mengeras. “Dan dia datang untuk menyuruhku mengem-
balikan Elizabeth padanya.” Alex tidak menjawab, meng-
gertakkan gigi. William mengacaukan rencana makan
siang mereka. Dia berharap semoga Lizzie belum lapar.
Seingatnya Ms. Conney ada membawa beberapa biskut.
“Defender of man.” Arthur tiba-tiba berujar, membuat
Alex menaikkan sebelah alis. “Kau tahu kalau itu arti na-
mamu?”
“Nope,” Alex menjawab. “Seumur hidup aku sudah di-
panggil Alex.” Atau Lexie. Alex terpaku sesaat ketika dia
sadar akan sesuatu. Arthur tidak pernah memanggilnya
Alex. Dia selalu memanggilnya Alexandra. Dan Arthur su-
http://facebook.com/indonesiapustaka
~161~
http://facebook.com/indonesiapustaka
Chapter 8
“
“Alexandra…” Alex meringis. “… khusus milikmu?”
Wanita itu bergumam pelan, diam-diam tersenyum, me-
nyukai arti dari namanya.
http://facebook.com/indonesiapustaka
W aktu berlalu dengan cepat dan tanpa sadar, Alex
sudah tinggal di rumah Arthur selama seminggu.
Arthur harus menghabiskan waktu berhari-hari untuk
mengurus kerjaan yang tertinggal karena dia pulang lebih
cepat hari Senin lalu. Dan selama beberapa hari, dia pu-
lang rumah dengan rahangnya masih mengeras dan mata
yang masih mendelik tajam. Kaki Samantha sampai berge-
tar melihat Arthur yang seperti itu. Tapi, Alex selalu tahu
bagaimana cara untuk membuat Arthur kembali menjadi
Bambino. Setiap kali Arthur menginjakkan kaki ke rumah,
Alex akan berdiri di belakangnya, meremas pelan bahu-
nya, melepas jasnya dan menepuk pipinya.
Arthur langsung menatapnya sambil tersenyum sim-
pul.
Dan Alex harus berkali-kali mengingatkan dirinya
sendiri untuk bernapas karena setiap kali Arthur terse-
nyum ke arahnya, napasnya secara ajaib langsung meng-
hilang. Padahal dia tidak lagi peduli dengan wajah tampan
Arthur. Tapi, kenapa sekarang setiap kali lelaki itu terse-
nyum ke arahnya, dia merasa kalau jantungnya tiba-tiba
dilempari bom?
http://facebook.com/indonesiapustaka
~164~
jakan pekerjaannya yang menumpuk dan mengetuk ka-
mar Alex pada tengah malam, menyeretnya untuk menon-
ton video kucing bersama. Terkadang mereka menonton
video bayi panda dan Alex harus menahan jeritan karena
makhluk bundar hitam putih itu benar-benar menggemas-
kan. Dia memeluk erat bantal Arthur, membekap mulut-
nya dan matanya yang masih melotot di layar laptop. Ar-
thur tertawa pelan di sebelahnya.
Kasur Arthur sangat besar dan Alex selalu memasti-
kan kalau dia tidur di pojok, menjauh dari Arthur. Tapi,
wanita itu selalu bingung kenapa dia selalu terbangun di
tengah kasur, terkadang di balik lengan kekar Arthur. Dan,
akhirnya dia tidak bisa menahan rasa penasarannya. “Kau
memelukku ketika kau tidur?” dia bertanya pada Arthur.
“Atau aku yang tanpa sadar menyelip masuk ke balik pe-
lukanmu?”
Arthur terlihat berpikir sesaat, seakan-akan dia sendi-
ri tidak tahu apa yang terjadi. “Dua-duanya.” Dia akhirnya
menjawab. “Kau keberatan?” wajah lelaki itu terlihat su-
ram sesaat. Bibirnya menurun ke bawah.
Oke. Ini berbahaya. Jantung Alex tidak sekuat itu. “Ten-
http://facebook.com/indonesiapustaka
~165~
menatap lelaki yang sedang duduk di sampingnya itu.
Sekarang dia, Arthur dan Lizzie sedang duduk di depan
ruang menonton, memutar Brave untuk kesekian kalinya.
“Kau tahu,” dia berujar pelan. “Tadi siang aku dapat
telepon dari Cali Art.”
“Lalu?” mata Arthur melirik ke arahnya. Lengan lela-
ki itu melingkar di atas sofa, di samping bahu Alex. “Apa
hasilnya?” Dia menatap Alex.
“Aku diterima,” Alex tidak bisa menahan cengirannya.
“Bersama beasiswa juga.”
Lengan kiri Arthur langsung merangkulnya dan Alex
secara refleks merebahkan kepalanya di bahu bidang Ar-
thur. Tangan kanan lelaki itu menyentuh ujung jari Alex,
mengusap kapalan di ujung jarinya.
“Aku mengirim mereka lukisan Lizzie.” Alex melanjut-
kan ceritanya, matanya terpaku pada Lizzie yang menjerit
girang, memainkan boneka beruang di tangannya. “Dan
beberapa lukisan lain yang kusimpan.” Alex masih menye-
ringai, dia menengadah, terpaku ketika melihat Arthur
yang masih menatapnya dengan dalam. Lelaki itu tidak
berkata apa-apa. Tapi dia tersenyum lebar, mata birunya
http://facebook.com/indonesiapustaka
~166~
“Sekarang?” Alex hanya bisa menundukkan kepala, en-
tah kenapa wajahnya terasa panas. Dia tidak ingat kapan
terakhir kali tersipu malu.
“Kenapa tidak? Late-night dining. Setelah Lizzie tidur.”
Arthur menjawab, mengusap bahu Alex. Mata mereka ber-
temu dan Alex langsung meneguk ludah. Demi apa. Arthur
menatapnya dengan dalam. Menatapnya seakan-akan dia
ini…, berharga. Sebelum dia sempat sadar dengan apa
yang terjadi, wajahnya dan Arthur hanya berjarak bebera-
pa senti. Napas Arthur menerpa wajahnya. Alex berkedip,
matanya perlahan-lahan menutup.
Dan di detik itu juga, dia mendengar langkah kaki. Tu-
buh Alex menegang, dia melihat Nathan yang sudah berdi-
ri di depan tangga. Nathan mengerutkan kening, menatap
Alex dengan tatapan pahit. “Nate? Ada apa?” Alex lang-
sung beranjak, melepaskan tangan Arthur dari bahunya.
Alex berusaha mengabaikan wajahnya yang terbakar.
“Lexie. Bisa minta bantuanmu? Aku stuck di proyek
baru ini.” Dia mendesah. “Cukup minta pendapatmu saja.
Tapi, mungkin kita akan bergadang.”
“Tentu.” Alex langsung menjawab tanpa berpikir. Dia
http://facebook.com/indonesiapustaka
~167~
“Bantu Nathan.” Arthur menjawab cepat. “Kau sudah
bilang kalau kau akan membantunya.”
Dan Alex merasa kalau perutnya ditikam. Sebelum dia
sempat berbuat sesuatu, Arthur sudah beranjak, mengang-
kat tangannya ke arah Lizzie. “Gosok gigi?” Lizzie bertanya
pada Arthur. “Rasa stroberi?”
Arthur tersenyum singkat, mengangguk dan membo-
pong Lizzie masuk ke kamar mandi.
“Lexie?” Nathan mendekatinya. “Kau tidak apa?”
Alex menggigit bibirnya, mengangguk. “Kau butuh
bantuan proyek?” dia bertanya pada Nathan. “Tumben,”
wanita itu melontarkan senyuman mengejek, membuat
Nathan mengerang.
“Aku menghabiskan waktu terlalu banyak bersama Sa-
mantha.” Nathan menggerutu. Samantha sudah kembali
ke New York tadi pagi dan anehnya, Alex tidak merasa apa
pun. Dia bahkan tersenyum dengan tulus ketika Saman-
tha memeluknya dengan erat dan berujar kalau dia akan
merindukan Alex. “Sekarang aku harus mengejar semua
tugasku.”
“Mm-hm. Salah sendiri.” Alex masih memasang senyu-
http://facebook.com/indonesiapustaka
~168~
berceceran di lantai kamar itu. “Ayo mulai. Kau mau minta
pendapat apa?” Alex bertanya santai, menahan diri untuk
tidak berlari ke atas dan berlutut minta maaf di depan Ar-
thur.
“Ah. Sebelum itu…” Nathan berujar. Wajahnya menjadi
serius. “Aku mau bicara tentang Arthur. Tentang… kalian
berdua.”
Alex terdiam. Dia menyilangkan kakinya dan mendelik
ke arah Nathan. “Kau sengaja berbohong padaku tentang
butuh bantuanku?”
“Tidak. Tidak.” Nathan cepat-cepat mengangkat tan-
gannya. “Aku jujur. Aku juga butuh pendapatmu. Tapi. Bi-
cara dulu.”
Alex menyipitkan matanya, namun dia akhirnya men-
gangguk. Dia masih duduk tegak di kasur Nathan, kakinya
masih tersilang. “Oke. Apa yang mau kau bicarakan?”
“Jangan main-main dengan Arthur,” Nathan langsung
berujar. Ketika Alex mengerutkan kening, Nathan kembali
membuka mulut, menjelaskan maksudnya. “Dia… dia dari
luar terlihat keras. Terlihat dingin. Tapi dia orang terbaik
yang pernah kukenal, Alex. Dan dia… entahlah. Dia cukup
http://facebook.com/indonesiapustaka
~169~
han-lahan dia teringat akan percakapannya seminggu
yang lalu dengan Nathan di telepon. Sahabatnya Itu me-
mang bertanya tentang Daniel. Daniel pacar khayalannya.
Daniel si ikan mas. “Aku tahu kalau kau butuh seseorang,”
Nathan berujar pelan. “Tapi, khusus untuk Arthur… Jangan
bermain dengannya. Kau baru kenal dengannya seminggu
lebih dan kau baru pindah… tapi, kau sudah tidur bersa-
manya. Lexie… ayolah. Jauhi Arthur. Aku tahu kau tidak…”
“Tidak apa? Tidak serendah ini?” Alex tersenyum lebar,
membuat Nathan tertegun. “Apa maumu, Nathan?” Wanita
itu mendelik. “Aku tahu kalau kau selalu kepo. Tapi, kau
tidak pernah se-kepo ini. Terserah aku kalau aku mau me-
nyukai siapa.”
“Kau suka Arthur?” Nathan langsung bertanya cepat.
“Lexie. Bukannya aku tidak mau kau dan Arthur berhubu-
ngan. Aku menyayangi kalian berdua.” Lelaki itu men-
desah. “Tapi, apakah kau yakin kau tidak main-main saja?
Kau selalu ganti pacar dan kau paling lama hanya pacaran
tiga minggu.”
Alex sudah bisa merasakan wajahnya yang memanas,
tapi kali ini karena amarah. “Memangnya kau pikir kenapa
http://facebook.com/indonesiapustaka
~170~
Nathan tidak menjawab, hanya menatap Alex dengan
tatapan pasrah. “Kalau kau memang serius, aku tidak bisa
membantahmu. Tapi, kau harus ingat, Lexie,” mata hijau
itu mendelik sesaat. “Arthur punya tanggung jawab yang
besar. Kau tidak boleh bermain dengannya.”
“Dan, itu tetap bukan urusanmu.” Alex menggertakkan
gigi.
Nathan yang biasanya punya kesabaran tinggi itu mu-
lai melotot. Wajahnya ikut memerah karena amarah. “Ten-
tu saja ini urusanku. Dia kakakku.”
“Kau cukup bilang sejujurnya kalau kau tidak suka
orang sepertiku mendekati kakakmu yang polos itu.” Alex
mengecamkan kalimatnya. “Dan kau tahu? Kau benar.” Ti-
ba-tiba Alex beranjak. “Cewek playgirl sepertiku memang
tidak pantas mendekati Arthur bukan?”
“Lexie. Duduk.” Nathan menggeram, menunjuk ka-
surnya. “Percakapan kita belum selesai.”
“Kita sudah selesai.” Alex berjalan menuju pintu. “Bu-
kan urusanmu. Kalau aku ingin menggodanya dan seks
dengannya sekarang juga, itu urusan kami berdua. Dan,
kalau akhirnya aku hanya bermain dengannya dan dia
http://facebook.com/indonesiapustaka
~171~
mengeluarkan jurus membanting tubuh dan melempar
Nathan sampai tulang kurusnya itu patah. Alex menghen-
takkan kakinya, setengah berlari ke lantai dua, masuk ke
kamarnya. Dadanya berdetak kencang, dia mengepalkan
tangannya yang bergetar. Dia melepaskan kausnya yang
kebesaran itu dan mengenakan tank top hitam dan jaket
kulitnya. Dengan gesit dia menggantikan celana jogging-
nya dengan jeans ketat. Wanita itu langsung meraih tas-
nya dan berjalan keluar, menyabet kunci mobilnya.
Matanya mendelik, menatap ponselnya. Tuesday, 18
Nov, 09:06 PM. Timmy biasanya keluar bersama Max, ma-
kan malam. Dia tidak peduli kalau Timmy belum pulang
rumah. Dia akan menyelinap masuk ke dalam apartemen
sahabatnya dan menculik Johnny. Tidak. Tidak. Alex meng-
gelengkan kepala. Sebelum dia bahkan sempat menyeli-
nap masuk, dia cukup yakin kalau Max meletakkan suatu
jebakan di apartemen itu yang bisa membunuhnya.
Dia masuk ke dalam mobilnya dan langsung melaju,
menelpon Timmy. Namun teleponnya tidak tersambung,
membuat Alex semakin menggeram. Jauhi Arthur. Suara
Nathan terngiang-ngiang di kepalanya. Matanya mendelik
http://facebook.com/indonesiapustaka
ef
~172~
Ada alasan kenapa panggilan Alex tidak sampai pada Tim-
my. Karena Nathan sudah menelpon wanita itu duluan.
“Hello?” Timmy mengangkat di deringan kedua. “Ada apa,
Nathan?”
“Timmy,” Nathan menggeram. “Aku benar-benar tidak
tahu apa yang harus kulakukan pada sahabatmu itu.”
“Alex?” Timmy terdengar bingung. “Dia sahabatmu
juga.”
“Oh? Aku baru tahu.” Nathan berseru dengan sarkas-
tik. Dari balik telepon, dia bisa mendengar desahan napas
Timmy. “Sejak kapan kami bersahabat? Aku tidak ingat.”
“Alex pernah cerita kalau kalian berdua bertengkar, ka-
lian akan bertengkar seperti monyet yang berebut pisang.
Ada apa memangnya?”
Dan Nathan pun langsung berceloteh, menceritakan
semua yang terjadi selama seminggu ini. Dia bercerita ten-
tang Arthur yang sepertinya menyukai Alex, dan dia ber-
cerita tentang Alex yang kemungkinanbesar hanya ingin
bermain saja. “Kau tahu kalau dia sering main-main!”
Nathan mendesah kesal. “Dia tidak pernah serius dengan
lelaki! Aku sempat mengira dia lesbi! Bukannya aku ke-
http://facebook.com/indonesiapustaka
~173~
“Tunggu,” Timmy memotongnya. “Jujur saja Nathan,
tidak ada yang benar-benar mengenalnya kecuali aku.”
Nathan tertegun, bingung sesaat ketika mendengar
nada pahit Timmy itu. “Tidak.” Dia memberitahu Timmy.
“Aku mengenalnya. Dan aku tahu kalau dia sering ganti
pacar. Dan aku tahu kalau itu sisi buruk Lexie tapi aku
menerimanya karena dia temanku dan…”
“Tunggu.” Timmy memotong lagi. “Dia sudah tidak
pernah ‘main-main’ lagi. Sudah setahun ini dia single.”
“Bicara apa kau, Timmy?” Nathan mengerang. “Lexie
baru saja putus dengan Daniel bukan?”
“Tunggu.” Nada Timmy terdengar sangat tajam sam-
pai-sampai Nathan tersedak. “Siapa Daniel?”
Kali ini Nathan kembali mengerutkan kening, namun
karena bingung. “Daniel. Pacar Lexie. Aku tidak tahu nama
belakangnya, tapi setahuku Lexie pacaran dengannya
tidak lama ini.”
“Aku tidak mengenal Daniel.” Timmy kembali berujar
dingin. “Dan aku pasti tahu kalau Alex menyembunyikan
pacar rahasia dariku.”
Nathan melongo. “Daniel.” Dia menekankan. “Aku tidak
http://facebook.com/indonesiapustaka
~174~
but kuning emas, Daniel yang… apa lagi? Oh. Daniel yang
suka makan spageti buatanmu!”
Timmy terdiam. Dan terdiam lagi. “Daniel.” Dia meng-
geram. “Aku tahu Daniel yang mana.” Dia menjerit kesal,
membuat Nathan menghela napas lega. “Max! Hentikan
dulu mobilnya! Kita putar balik supaya bisa membunuh
Nathan!”
Nathan langsung melongo lagi. “Apa salah…”
“Daniel.” Timmy menggeram. “Daniel ikan emasku.
Daniel yang suka berenang. Tentu saja dia suka berenang.
Dia IKAN.”
Nathan menganga, mulutnya megap-megap. “Rambut
kuning… spageti…? Bagaimana dengan dua itu?”
“Rambut emas karena memang dia ikan mas dan
spageti itu pasti ulat. Ya. Aku mengorek ulat di lapangan
dojo dan memberikan ulat buruanku sendiri pada ikanku.
Masalah?” Timmy berteriak di telepon. “Oh tidak… dia
membandingkan ulat dengan spageti… aku tidak akan
bisa makan spageti lagi sekarang.”
Nathan tidak bisa berkata-kata. Alex berbohong pa-
danya? “Dia tidak mungkin bohong padaku.” Dan ucapan-
http://facebook.com/indonesiapustaka
nya dibalas oleh tawa sinis Timmy. “Oh iya. Selain Daniel
ada cowok lain! Dia bilang dia pacaran dengan Daniel un-
tuk setelah putus dengan satu cowok ini!”
“Oh iya? Dan siapakah nama cowok itu?” Timmy masih
tertawa sinis.
~175~
“Namanya John Lee. Sepertinya dia cowok Asia.”
“Oh. Dan apakah si John Lee ini suka memeluk Alex
dan menyempil dengannya di sofa? Memeluknya dengan
erat sambil mereka menonton film horor?” Timmy ber-
tanya dengan nada girang.
“Ah! Iya! Itu yang Lexie ceritakan!” Nathan berseru
dengan penuh rasa syukur. “Ternyata kau kenal dengan-
nya?”
“Tentu saja. Karena dia KUCINGKU! Namanya JohnNY!”
Timmy menjerit. “Oh Tuhan. Aku bisa menangis sekarang
juga,” Timmy mengerang. “Aku tidak tahu apa yang kau ka-
takan pada Alex. Tapi kau salah besar. Dia cerita padaku
tentang Arthur seminggu ini dan dia terdengar...,” Timmy
menarik napas dalam-dalam. “Asal kau tahu saja. Alex
tidak pacaran selama setahun ini. Dia tidak pernah lagi ke-
luyuran. Dia menang juara lempar pisau, dia naik pangkat
meski akhirnya dia dipecat. Tapi dia bahagia setahun ini.
Dan aku berani bersumpah itu karena kau tidak pernah
mengunjunginya.”
“Ap… apa?”
“Oh! Satu lagi sebelum aku lupa!” Timmy menjerit.
http://facebook.com/indonesiapustaka
~176~
cowok dan mereka tidak berbuat apa pun, itu artinya Alex
sudah cinta mati sama cowok itu tanpa dia sadari!”
Nathan tidak sempat bertanya apa maksud Timmy
karena wanita itu menjerit lagi.
“Mana Alex?! Aku mau bicara dengannya! Kau sebaik-
nya minta maaf padanya sekarang juga! Karena aku berani
bersumpah demi apa pun kalau dia menyayangi Arthur
dan kau menghancurkannya!”
Nathan hanya bisa gelagapan, tidak tahu lagi apa yang
terjadi. Namun Timmy tidak mau berhenti teriak di tele-
pon sampai dia bicara dengan Alex dan Nathan langsung
berlari cepat ke lantai dua, mengabaikan Arthur yang me-
nyipitkan mata ke arahnya. “Diam.” Dia menghardik. “Eliz-
abeth baru saja tertidur.”
Nathan tidak mempedulikan Arthur dan langsung
mengetuk kamar Alex. “Lexie?” Tidak ada jawaban. Na-
than langsung membuka pintu, ternganga ketika melihat
kamar yang kosong itu. Pakaian tidur Alex bercecer di
atas kasur dan Nathan mengerang ketika sadar bahwa tas
sandang Alex tidak ada di kamar. “Lexie tidak ada.” Dia
berujar cepat di telepon. “Sepertinya dia langsung keluar.
http://facebook.com/indonesiapustaka
~177~
“Senapanku di bagasi. Ambil saja, Babe.” Suara Max
dari balik telepon membuat Nathan meneguk ludah.
“Alexandra ke mana?” Arthur bertanya dengan nada
tajam. “Apa yang terjadi?” mata biru itu mendelik. Dan
dari balik telepon, Timmy mengeluarkan segala sumpah
serapah yang membuat Nathan nyaris tuli di tempat.
“Max bilang ponsel Alex tidak bisa dihubungi!” wanita
itu menggeram. “Dia pasti mematikan iPhone-nya!”
“Oke! Oke! Ini salahku oke!” Nathan nyaris saja men-
jerit kalau bukan karena Arthur yang semakin melotot.
“Timmy, aku tahu aku bersalah. Mulut besarku ini selalu
membawa masalah, aku tahu. Tapi aku ingin minta maaf
dan kau tahu tidak kira-kira Lexie di ma…” sebelum Na-
than sempat menyelesaikan kalimatnya, Arthur sudah
merebut ponsel Nathan.
“Mana Alexandra?” Arthur menggeram di telepon itu
dan Nathan bersumpah di detik itu juga jeritan Timmy
langsung menghilang. “Apa yang terjadi?” dia bertanya
pada Timmy dan Timmy langsung berceloteh dan semakin
lama mata Arthur semakin menyipit dan mata itu lang-
sung tertuju padanya, membuat Nathan meneguk ludah
http://facebook.com/indonesiapustaka
lagi. Dia hanya bisa berdoa dalam hati supaya Arthur tidak
membunuhnya. “Aku tahu kalau dia tidak main-main. Kau
tidak perlu meyakinkanku.” Arthur berujar pada Timmy.
“Dia tidak pernah bohong di depanku.”
~178~
Nathan langsung terpaku. Alex tidak pernah berbo-
hong pada Arthur? Alex juga tidak pernah berbohong
padanya. Dia mengira kalau Alex tidak pernah berbohong
padanya. Nathan tidak bisa menahan perasaan iri dan pa-
hit yang datang padanya ketika sadar bahwa selama ini
Alex menyembunyikan sesuatu darinya. Alex hanya men-
genal Arthur sepuluh hari tapi dia bisa terbuka seperti itu
dengan Arthur? Alex benar-benar menyukainya, Nathan
mengepalkan tangannya.
“Apa katamu? Toxic?” Suara Arthur membangunkan
lamunan Nathan. Lelaki brunet itu mengerutkan kening.
“Toxic, klub malam? Menurutmu Alexandra di sana?”
Nathan langsung mengerang. Ini semua salahnya. Ka-
lau Alex sampai benar-benar stress dan mencari cowok
lain…
“Selain di sana, apa lagi?” Arthur langsung bertanya
cepat. “Aku yakin Alexandra tidak ke sana.” Ucapan Arthur
membuat Nathan mengerutkan kening. Timmy berceloteh
lagi dan Arthur mengangguk. “Aku akan coba ke sana. Ka-
lian tidak perlu mengejarnya. Aku akan menjemputnya
pulang.” Dia mematikan panggilan dan langsung mem-
http://facebook.com/indonesiapustaka
~179~
joggingnya. Hanya Arthur yang bisa terlihat tampan hanya
dengan mengenakan celana jogging dan jaket kulit.
“Aku ikut.” Nathan berujar cepat dan Arthur langsung
menggeleng.
“Kau selesaikan proyekmu.” Nada tajam Arthur mem-
buat Nathan tidak bisa membantah. “Kau bisa minta maaf
sepuasnya nanti kalau aku sudah membawanya pulang
rumah.”
Pulang rumah.
“Hei, Arthur.” Nathan mengekor lelaki itu dari tangga,
berlari cepat karena Arthur sekarang melangkah dengan
kecepatan tinggi. “Kau tahu dari mana Lexie tidak ke klub
malam?”
Arthur memutar kepala, menaikkan sebelah alis dan
menatapnya dengan tatapan ‘masa-kau-tidak-tahu’. “Dia
mencintaiku. Dia tidak akan mencari cowok lain.”
Nathan hanya bisa ternganga mendengar nada yang
super yakin itu. Arthur langsung pergi, keluar rumah tan-
pa menutup pintu. Sekarang dia tahu kenapa Arthur yang
dipilih untuk menjadi the boss. Lelaki berambut pirang itu
menggerutu pelan sambil menutup pintu. Dalam hati dia
http://facebook.com/indonesiapustaka
ef
“Bad day?”
~180~
Alex menengadah, menatap waiter yang melayaninya.
“Yah… begitulah. Karena itu aku datang di sini karena kue
di sini paling enak.” Ucapan Alex membuat lelaki itu ter-
tawa pelan. Alex balas tersenyum, meski senyumannya
hanya senyuman paksa. Dia sudah mengenal waiter ini.
Josh, pelajar yang kerja sambilan di kafe 24 jam ini. Wa-
jahnya yang pucat itu penuh bintik-bintik. Mata hitamnya
bersinar setiap kali melihat Alex masuk ke dalam kafe.
Bocah imut, batin Alex setiap kali Josh datang untuk me-
layaninya.
Dia suka dengan kafe ini. Dan sering mampir kalau dia
sedang ingin mencari ketenangan. Kafe 24 jam. Ada wi-fi,
ada rak buku, dan tentu saja, sofa yang empuk. Selain itu,
ada dua bocah waiter menggemaskan yang terkadang ber-
cakap-cakap dengannya, membuat mood-nya membaik.
Alex menyeruput susu coklatnya, dalam hati menyumpahi
Arthur yang membuatnya ketagihan dengan minuman
manis ini.
“Apa kabarmu, Josh? Kudengar dari Allen kalau kau su-
dah punya pacar?” Alex meringis, tertawa ketika melihat
wajah Josh yang memerah.
http://facebook.com/indonesiapustaka
~181~
berdua juga kerja sambilan bersama di kafe dan sering
bercanda di balik konter.
Alex merebahkan tubuhnya di sofa, menghirup pelan
susunya sambil menatap ke jendela. Ada musim gugur,
Santa Monica selalu gelap. Selalu berawan. Alex tidak bisa
melihat apa pun dari balik jendela itu kecuali lampu-lam-
pu mobil yang melintasi kafe ini. Tidak ada banyak orang
di sini. Bisa dia maklumkan karena hari ini baru Selasa
malam. Bagus. Sepi. Dia meletakkan susunya dan menyan-
darkan kepala, memejamkan mata sesaat, teringat akan
semua ucapan Nathan tadi.
Dia mempermainkan Arthur?
Alex menggigit bibirnya yang bergetar. Bahkan dalam
mimpi pun dia tidak berani membayangkan dia memper-
mainkan Arthur. Nathan tidak mengerti. Arthur Wolf Sand-
ers bukan milik wanita mana pun. Dia milik kucing-kucing
dan milik semua anak kecil. Arthur bukan miliknya.
Arthur terlalu berharga.
Dan tentu saja dia tidak bisa mendekati Arthur. Lelaki
itu terlalu..., Alex menghela napas. Alex selalu yakin kalau
Arthur cukup memegang tangannya saja jantungnya akan
http://facebook.com/indonesiapustaka
~182~
tri untuk mendapatkan Alex dan di sini dia, duduk sendi-
rian minum susu coklat dan tidak percaya diri. Rasanya
semua kepercayaan dirinya sudah lenyap menghilang ke-
tika dia bertengkar dengan Nathan tadi.
Dan Nathan. Sejak kapan Alex tidak merasakan apa
pun dengannya?
Selama ini dia berusaha melupakan lelaki itu. Berta-
hun-tahun. Ganti pacar. Seks. Minum-minum. Dan ternyata
selama ini yang dia perlukan hanyalah susu coklat panas
dan kumpulan video kucing? Dan mata biru hangat, batin-
nya berbisik. Dan rambut coklat ikal yang berantakan di
pagi hari.
Wajah Arthur kembali muncul di kepalanya, membuat
dada Alex terasa sesak. Harusnya dia dan Arthur sedang
makan malam di restoran yang romantis sekarang. Atau
seharusnya mereka berdua sedang menepuk pelan Lizzie
dan menidurkannya. Alex meneguk susunya lagi, sekilas
teringat akan Lizzie. Bocah itu seharusnya sudah tidur jam
segini. Alex mendesah, tiba-tiba merasa kangen dengan
bocah itu. Dia hanya bisa berdoa dalam hati supaya anak
itu tidak mencarinya. Alex menggigit pai apel di depannya
http://facebook.com/indonesiapustaka
~183~
http://facebook.com/indonesiapustaka
Chapter 9
“
F rost Apple. Arthur menatap kafe kecil di depannya. Dia
masuk ke dalam parkiran, matanya mendelik tajam
ketika dia melihat mobil Nissan Alex. Dia memarkirkan
SUV-nya di sebelah mobil itu dan langsung keluar, men-
gabaikan angin dingin yang menerpa kakinya. Lelaki itu
masuk ke dalam kafe, mengabaikan waiter yang berdiri di
depannya. Matanya mencari-cari, langsung terpaku pada
sosok wanita yang mengenakan jaket kulit hitam yang
duduk menyender di sofa, majalah menutupi wajahnya.
“Sir?” pelayan di depannya bertanya pelan. Arthur ber-
http://facebook.com/indonesiapustaka
~186~
yang masih tertidur. Wanita itu bergumam pelan, kening-
nya masih berkerut. Lelaki itu menghela napas, beranjak
dan duduk di sisi Alex. Dia mengusap pelan rambut Alex
dan kerutan itu menghilang. Arthur mengangguk puas,
meraih majalah kucing di balik rak dan mulai membaca,
mengabaikan dua pasang mata dari konter yang mengin-
tai mereka dengan tatapan takjub.
ef
Sinar lampu menusuk matanya, membuat Alex mengerang
pelan, mengusap matanya yang terasa silau. Hidungnya
mengerut sesaat ketika dia mencium aroma kopi dari
sampingnya. Di mana dia. Oh ya. Kafe. Alex membuka
mata dan di detik itu juga dia nyaris pingsan ketika ber-
temu mata dengan warna biru tertajam yang sudah sangat
dikenalnya. “Kenapa kau di sini?” dia langsung mendesis.
Arthur menyeruput kopinya, masih menatap Alex dengan
tatapan tajam.
“Karena kau mematikan ponselmu dan Timmy sedang
mencarimu.”
“Dan, kenapa Timmy bisa mencariku?” Alex mengerut-
http://facebook.com/indonesiapustaka
kan keningnya.
“Karena Nathan menceritakan pertengkaran kalian
pada Timmy.”
Alex langsung mengumpat. “Mulut besar.” Sekarang
dia tahu apa alasan kenapa dia tidak bisa menelpon Tim-
~187~
my. Ternyata Nathan sudah menelponnya duluan. “Timmy
masih mencariku?”
Arthur menggeleng, menggoyangkan ponselnya. “Aku
sudah memberitahu dia kalau kau tertidur di kafe kesu-
kaanmu.”
Alex kembali mengumpat. “Aku tertidur berapa
lama?”
“Setengah jam.”
Alex mengumpat lagi. Hari ini dia tidak tahu sudah
berapa kali dia menyumpah. “Sudah jam sepuluh lewat.
Kau harus kerja besok.”
“Lalu?” mata biru itu menyipit. “Apa hubungannya?”
“Kau harus istirahat. Tidur di rumah. Nonton video
kucingmu. Apa pun itu.”
“Tidak tanpamu.”
Dan Alex langsung terbungkam, hanya bisa menatap
Arthur dengan mulut setengah terbuka. Dia terdiam ses-
aat, menatap pai yang masih setengah dan dua cangkir
yang sudah kosong. “Kalau kau mencariku di sini…” dia
menggigit bibir. “Kau sudah tahu kalau aku dan Nathan
berkelahi.”
http://facebook.com/indonesiapustaka
~188~
kabur begitu saja. Aku hanya tidak ingin melihat wajah
Nathan.”
Arthur tidak menjawab dan Alex tidak tahu harus bi-
cara apa. Mau bagaimana pun, mereka berdebat karena
Arthur. Memangnya apa yang harus dia katakan pada
Arthur? Hei, kami berdebat karena Nathan protektif ter-
hadapmu. Dia mengira kalau aku yang playgirl ini akan
menghancurkan perasaanmu, tapi jangan khawatir. Un-
tuk pertama kalinya aku serius terhadap seseorang selain
Nathan. Dan aku cukup yakin aku mencintaimu meski aku
baru mengenalmu selama sepuluh hari. Bagaimana den-
ganmu? Kau suka denganku?
Yang benar saja.
Mereka terdiam beberapa menit. Alex yang tidak tahu
harus bicara apa dan Arthur dengan perlahan mengha-
biskan kopinya. Dia tahu kalau Arthur marah padanya
karena lelaki itu sudah kembali ke mode poker face. Pe-
rutnya bergejolak ketika membayangkan Arthur yang
mendiaminya di rumah, tidak mempedulikannya dan ter-
us mengabainya. Dia tidak peduli kalau Arthur tidak balas
menyukainya. Dia sudah terbiasa menderita bertahun-ta-
http://facebook.com/indonesiapustaka
~189~
yang sampai sekarang menganggapnya sebagai keluarga.
Rasanya hidupnya sial sekali. Semua lelaki yang dia sukai
langsung menaruhnya di posisi friendzone.
Akhirnya Alex tidak tahan lagi dengan semua kehenin-
gan ini. Dia meraih ponselnya dari kantong jeans. Dengan
wajah yang masih menghadap ke arah jendela, dia menya-
lakan ponselnya, diam-diam mengerang ketika membaca
pesan beruntun dari Timmy, Max dan Nathan. Dia mem-
balas pesan mereka, bilang bahwa dia baik-baik saja. Ma-
tanya terpaku pada salah satu SMS Timmy.
~190~
Timmy: Aku juga tahu kalau kau suka pada Arthur
meski kau belum mau mengakuinya. Aku tidak peduli
meski kau hanya mengenalnya selama seminggu lebih.
Jangan meragukan dirimu sendiri. Cinta itu cinta.
Tidak ada alasan yang masuk akal kalau urusannya
tentang cinta.
Dulu… dia kira dulu Nathan suka padanya. Nathan yang se-
lalu menempel, Nathan yang selalu ada di sisinya. Namun
ternyata Nathan hanya menganggapnya sebagai sahabat.
Alex tidak mau merasakan perasaan seperti itu lagi.
~191~
Arthur masih terdiam dan Alex mengusap jeansnya.
Mereka terdiam selama beberapa saat dan akhirnya Ar-
thur beranjak. “Ayo pulang.” Nadanya dingin, matanya me-
natap Alex dengan tajam.
Jantung Alex serasa berhenti berdetak. Itu tatapan Ar-
thur yang dulu. Tatapan ketika Arthur masih membencin-
ya. “Aku telpon Timmy dulu.” Alex menjawab, suaranya
terdengar tenang, membuat Alex nyaris memuji dirinya
sendiri. Sebelum Arthur sempat mengatakan sesuatu,
Alex langsung beranjak dari sofa, berjalan keluar dari
kafe. Angin dingin langsung menerpanya di detik ketika
dia membuka pintu. Wanita itu menyenderkan dirinya di
depan dinding kafe, menatap ke arah langit yang gelap.
Dia menghubungi Timmy. “Hey, Timmy? Aku sudah dapat
SMS-mu. Dan kau bilang kalau aku harus mengaku…” Alex
tersenyum pahit di ponselnya. “Aku tidak bisa. Aku butuh
waktu.”
“Oke.” Timmy terdengar mengerti. “Kau tidak apa-apa?
Kau terdengar kalau kau… nyaris menangis.”
“Aku…” Alex berbisik. Suaranya tercekat. “Oh Timmy…
Arthur… dia marah.” Dia mengusap ujung hidungnya,
http://facebook.com/indonesiapustaka
~192~
Timmy mengerang. “Entahlah, Alex. Hatimu sudah
memilihnya dan kau tidak bisa berbuat apa-apa.”
“Aku sudah tidak tahu harus bagaimana. Aku cukup
yakin kalau sekarang dia membenciku dan aku tidak bisa
membayangkan apa yang terjadi padaku kalau aku men-
embaknya dan dia menolakku.” Alex tetawa serak. “Kalau
bisa kubuang hatiku akan kubuang hati ini sekarang.”
“Jangan mengambil kesimpulan dulu. Dia tidak suka
denganmu?” Timmy bertanya bingung. “Tidak mungkin,
Alex. Kau kabur, dia mengejarmu dan mencarimu.”
“Kau akan mengejarku,” Alex menjawab. “Max akan
mengejarku. Nathan sendiri ingin mengejarku dan minta
maaf. Heck, kalau Johnny bisa naik mobil dan menyupir,
dia pasti sudah mencariku.” Dia menarik napas dalam-da-
lam. “Aku yakin Arthur menyukaiku, tapi mungkin hanya
sebatas sahabat.”
Timmy tidak menjawab. Mereka berdua terdiam ses-
aat. “Kau tahu,” sahabatnya itu akhirnya berujar kencang.
“Aku tidak mengerti kenapa kau sedih seperti ini. Hei! Kau
dapat beasiswa! Kau bisa kuliah! Kapan? Mulainya nanti
Januari bukan? Ini kabar bagus!”
http://facebook.com/indonesiapustaka
~193~
“Lupakan Max?” Alex tersenyum simpul, matanya
terasa pedih.
“Lupakan Max.” Timmy langsung berseru dan dari ba-
lik telepon Alex bisa mendengar seruan protes Max. “Oh,
well. Aku akan tetap menyimpannya dalam hati, tapi tidak
ada salahnya sekali-kali cuci mata, bukan?”
Alex tertawa dan Timmy balas tertawa. Dia merin-
dukan sesi minum-minum dengan Timmy. “Boleh. Besok
malam? Kau tidak masalah? Kau harus kerja loh.”
“Asal aku tidak mabuk dan kita pulang jam sembilan,
aku tidak masalah.”
Setelah memastikan tempat dan jam untuk besok, Alex
mematikan ponselnya. Dia kembali menatap langit, mera-
sa sedikit tenang meski perutnya masih bergejolak pahit
dan tenggorokannya terasa serak. Arthur keluar dari kafe,
masih menatapnya dengan tajam. Lelaki itu mengepalkan
tangan dan memalingkan wajahnya dari Alex. Alex ingin
sekali menggali lubang dan lompat ke lubang itu. Lelaki
itu terlihat seperti ingin membunuhnya.
“Kau pulang saja dulu,” Alex akhirnya menemukan
suaranya. “Toh, kita punya mobil masing-masing. Aku
http://facebook.com/indonesiapustaka
~194~
Malam itu ketika sampai di rumah, Alex terbaring di
kamarnya, menatap langit-langit kamarnya. Kamar ini
terasa asing, meski ini kamarnya. Dia hanya tidur di sini
berapa kali? Sisanya dia selalu tidur di kamar Arthur. Dia
teringat tadi di kafe. Mata biru Arthur yang mendelik
tajam. Rahangnya yang mengeras.
Pertama kali ketika mereka bertemu, Arthur menatap-
nya seperti itu karena Arthur membencinya. Apakah ini
artinya Arthur membencinya sekarang? Alex tidak tahu
harus bagaimana.
Jangankan mengaku cinta, persahabatan mereka se-
pertinya sudah hancur. Dia tidak bisa lagi menonton video
kucing bersama Arthur, tidak bisa lagi berbagi susu coklat
bersama. Arthur tidak akan lagi mengusap ujung jarinya
yang kapalan. Dia bahkan tidak bisa lagi memilihkan dasi
untuk Arthur di pagi hari.
Alex memutar tubuhnya, meringkuk pelan dan meme-
luk erat selimutnya.
Dia tidak bisa tidur. Perutnya tidak enak.
Dulu, ketika Arthur menatapnya dengan tatapan tajam
seperti itu, Alex akan menyeringai lebar, sengaja terse-
http://facebook.com/indonesiapustaka
~195~
dikeluarkannya. Dia menatap lubang-lubang di papan itu
dan tersenyum pedih. “Sudah saatnya beli baru.” Dia ber-
bisik pelan.
Andaikan dia bisa membeli hati yang baru juga.
ef
Besok paginya, ketika Alex membuka pintu kamar, Nathan
sudah berlutut di depan kamarnya, menggenggam segelas
kopi Starbucks dan sepiring pai apel, mengangkat sajian
itu tinggi-tinggi. Alex nyaris tertawa. Padahal dia baru saja
keluar dari kamar dengan mata bengkak dan tangan pe-
gal. “Damai?” Nathan berbisik pelan, takut-takut. “Ada do-
nat juga. Khusus untukmu. Di dapur.”
“Damai.” Alex menjawab mantap, meraih kopi dan
piring kue itu dengan senyuman lebar. Nathan langsung
menghela napas lega, beranjak. “Aku juga salah. Sudah bo-
hong padamu.” Sebelum Nathan sempat bertanya ‘kenapa’,
Alex sudah membuka mulutnya lagi. “Akan kuceritakan.
Kalau aku sudah siap.”
Lelaki itu terdiam sesaat, namun dia mengangguk. “Hei!
Ngomong-ngomong, kau diterima di Cali Art bukan?” Na-
http://facebook.com/indonesiapustaka
~196~
terpaku pada pintu kamar di seberangnya yang terbuka.
Arthur keluar dari kamar, sudah mengenakan kemeja dan
dasi. Rambut ikalnya tersisir rapi. “Jadi kapan-kapan saja,
Nate.” Alex cepat-cepat melanjutkan. “Timmy bahkan su-
dah booking meja.”
“Kalian mau keluar ke mana?” Nathan mengerang,
tidak sadar kalau Arthur sekarang sudah melewatinya,
dengan langkah panjang berjalan menuju tangga. Lelaki
itu meninggalkan lantai dua tanpa menatap ke arahnya.
Dada Alex terasa seperti ditikam. “Hmm…,” dia minum
kopinya, menutupi bibirnya yang bergetar. “Bar… Nama-
nya Smith. Minuman enak. Suasana enak. Musik enak.
Pasti enak.”
Nathan menaikkan sebelah alis, bingung. Tapi, akhir-
nya dia mengangguk. “Oh, ya. Ngomong-ngomong, soal
Arthur.” Dia meringis, tidak sadar kalau Alex sudah meng-
gigit ujung gelas Starbucks itu. “Good luck dengan dia. Dia
terlihat suka padamu.”
Alex balas meringis. Terlihat suka bukan berarti suka,
dia ingin memberitahu Nathan. Tapi, dia sudah cukup ca-
pek dan tidak mau peduli dengan masalah cinta. Nathan
http://facebook.com/indonesiapustaka
ef
~197~
Arthur tidak menelponnya atau mengirim SMS untuknya.
Biasanya lelaki itu akan tanya padanya apa makan siang
mereka. Alex tidak peduli. Dia benar-benar capek. Wani-
ta itu tergeletak di kasur Lizzie, memeluk erat bocah itu.
Lizzie menjerit girang, namun tawanya lenyap ketika me-
lihat Alex yang tidak ikut tertawa bersamanya. “Aleks ke-
napa?” Jari-jari mungil anak itu mengusap rambut pendek
Alex. “Sakit perut?”
Alex tersenyum simpul, menganggukkan kepala. “Kiss
it better for me?”
Dan Lizzie kembali berseru girang. Dengan antusias
bocah itu mengecup pipi Alex berkali-kali.
Setiap kali Alex merasa patah hati, dia akan memeluk
Johnny seharian. Tapi, di sini tidak ada Johnny dan Lizzie
cukup empuk untuk dipeluk. Bocah itu tidak keberatan ke-
tika Alex memeluknya seharian ketika mereka menonton
dan menggambar. Dan Alex tersenyum setiap kali Lizzie
mengecup pipinya sambil berseru “kiss you better!”.
Lizzie memang bocah malaikat.
ef
http://facebook.com/indonesiapustaka
Timmy telat.
Alex minum whiskey yang baru dipesannya. Dia belum
memesan martini, sengaja menunggu Timmy supaya mer-
eka bisa toast seperti biasa. Jari telunjuknya yang lentik
itu menyentuh es batu di cangkir whiskey tersebut. Mata
~198~
coklatnya melirik sekilas di bar itu. Cukup ramai meski hari
ini baru Rabu malam. Rupanya benar kata Timmy, bar ini
cukup terkenal. Dia duduk di depan konter, bartender di
depannya melirik sesekali ke arahnya. Dia cukup tampan.
Alex kembali memutar gelasnya, menundukkan kepala.
Kalau saja otaknya tidak dipenuhi dengan Arthur, dia akan
membalas tatapan si bartender sambil tersenyum miring.
Dia memutar tubuhnya, duduk membelakangi kon-
ter dan menatap suasana di depannya. Meja-meja sudah
penuh diisi oleh kumpulan orang-orang yang baru pulang
dari kantor. Pakaian mereka masih formal. Alex terse-
nyum simpul, menatap pakaiannya yang hanya berupa
tank top hitam dan jeans ketat, jaket kulitnya dia ikat di
sekitar pinggangnya. Meski pakaiannya sederhana, tubuh-
nya yang jangkung dan ramping ini membuatnya terlihat
‘cool’. Alex meneguk whiskey-nya lagi. Terkadang dia me-
rindukan suasana kantor, di mana rekannya akan meren-
canakan acara minum-minum untuk melepas stres.
“Hei, there. Sendirian?”
Alex menoleh, menatap bartender yang menatap-
nya sambil tersenyum ramah. Mata hijau bartender itu
http://facebook.com/indonesiapustaka
~199~
“Kau tidak terlihat seperti cewek yang suka basa-basi.”
Dia menjawab, masih mengenakan senyuman lebar.
“Hmmm, kau benar.” Alex meringis, mulai suka dengan
style menggoda lelaki itu, mengingatkan Alex akan dirinya
sendiri.
“Aku James.” Dia berujar. “Kau?”
“Walker.” Alex memberikan nama belakangnya, mem-
buat lelaki itu tertegun sesaat, pura-pura mengenakan
ekspresi terluka. “Nama depanku tidak murah.” Alex men-
gangkat bahunya santai. “Kau tidak bisa mendapatkannya
dengan gratis.”
“Kau tahu. Kau terlihat muda. Apa kau yakin kau sudah
cukup umur untuk minum whiskey itu?” James berdehem,
memasang wajah serius. “Bisa tunjukkan kartu identit-
asmu?”
Alex langsung tertawa. Cowok ini lumayan juga. Alex
merongoh dompetnya, mengeluarkan kartu identitas.
“Not bad. Sekarang kau tahu namaku dengan gratis.”
James menyeringai lebar, membaca nama di kartu itu.
“Well, Alexandra. Versi cewek dari Alexander. Ada satu
menu minuman di sini dengan namamu. Alexander Cock-
http://facebook.com/indonesiapustaka
~200~
waran yang menarik, tapi…, tidak.” Dia tersenyum simpul.
“Thanks.”
James mengangkat bahunya, wajahnya terlihat kece-
wa tapi dia langsung tersenyum. “Tawaranku masih tetap
berlaku sampai malam ini. Panggil aku kalau kau berubah
pikiran.” Dia mengedipkan matanya dan Alex kembali
tertawa. “Hei, sulit untuk menyerah di depan wanita se-
cantikmu.” James berjalan pergi, menghampiri konter di
pojok dan mulai melayani tamu yang baru masuk. Alex
kembali duduk diam, memainkan gelasnya yang sudah ko-
song, hanya berisi es batu. Dia tidak tahu kenapa Timmy
bisa selama ini. Dia mengirim SMS cepat pada sahabatnya,
sama sekali tidak sadar akan seseorang yang berdiri di
sampingnya.
“Dua gelas. Alexander Cocktail.”
Alex nyaris saja menjatuhkan gelas whiskey-nya. “Ar-
thur?” dia mendesis, melotot ke arah lelaki berambut
coklat itu. Arthur menatapnya dengan tatapan dingin dan
Alex langsung membekap mulutnya. Timmy. Aku akan
membunuhnya.
Arthur duduk di kursi kosong di sebelahnya, memesan
http://facebook.com/indonesiapustaka
~201~
raanku dan James?” Alex menggeram pelan, mulai merasa
emosi.
“Alexander Cocktail terbuat dari apa?” Arthur langsung
bertanya, mengabaikan Alex yang sekarang mendelik ke
arahnya. Bartender di depan Arthur tersenyum sopan.
“Sir. Alexander Cocktail terbuat dari gin, crème de ca-
cao, dan campuran antara susu dan krim.” Dia mengaduk
sesaat di gelas martini dan menyodorkan dua gelas mar-
tini di depan mereka. Alex berkedip, menatap minuman
dengan warna seputih susu dengan sedikit cairan coklat
di atasnya. Alex masih melihat Arthur dengan bingung, na-
mun ketika Arthur meneguk minuman di depannya, Alex
ikut meraih gelas itu dan minum dengan pelan.
Enak. Manis. Dia bisa merasakan coklat dalam minu-
man ini.
“Dan bagaimana dengan Alexandra Daryl Walker?”
Arthur bertanya, kali ini kepada Alex. Mata birunya tetap
terpaku pada minuman di tangannya. “Dia terbuat dari
apa?”
Alex terpaku, tidak tahu harus menjawab apa. “Aku
terbuat dari apa?” entah kenapa dia tiba-tiba merasa ger-
http://facebook.com/indonesiapustaka
~202~
bertanya apa maksud Arthur, lelaki itu sudah berceloteh.
“Keras kepala. Merasa kalau dia tidak punya apa-apa.
Merasa kalau dia tidak pantas untuk dicintai. Kabur kalau
dia merasa tertekan.”
Pernyataan terakhir membuat Alex menggigit bi-
birnya.
“Aku marah,” Arthur berujar lagi. “Bukan karena kau
yang menyukaiku. Tapi, karena kau yang kabur.”
Alex menahan diri untuk tidak melongo. “Kau tahu
dari mana aku suka padamu? Timmy yang bilang?”
Arthur langsung mendengus. “Kau sendiri yang bilang.
Dengan semua tindakanmu. Aku tidak butuh pernyataan
cinta.”
Alex langsung melongo. Oke. Arthur sekarang terde-
ngar sangat sombong dan dia ingin menghantam cowok
ini. Dia setengah mati memikirkan perasaannya terhadap
Arthur dan cowok ini malah… “Mungkin bagimu pera-
saanku ini hanyalah hal remeh. Mungkin bagimu yang
sudah sering ditembak cewek, pernyataan cinta itu hal
sepele.” Alex mendesis. “Tapi, aku serius. Aku tahu akan
sifatku. Aku selalu memasang tampang palsu. Aku menyu-
http://facebook.com/indonesiapustaka
~203~
“Malah apa?” Arthur menaikkan alisnya, menatap Alex
dengan tatapan menantang. “Sudah mengenalmu terlalu
dalam sampai aku tidak butuh mendengar pernyataan
cintamu?”
Alex menggeram kesal. “Tidak adil!”
Arthur bergumam setuju, meneguk minumannya lagi.
“Kau tidak tahu setakut apa aku… dalam mengaku cin-
ta.” Alex masih melotot. “Aku mengaku cinta dua kali. Dan
aku ditolak untuk kedua-duanya. Nathan bilang kalau dia
hanya menganggapku sebagai keluarga. Sahabat seumur
hidup. Dan dia tidak bisa melepaskanku.” Alex tertawa pa-
hit. “Dia membuatku sangat depresi.”
“Aku tidak peduli pada Nathan.” Arthur menjawab
dengan nada datar. “Dia masa lalumu. Dan kau sudah me-
lupakannya. Itu yang penting.”
Alex tertegun. Dia terdiam sesaat, memutar gelas mar-
tininya. “Kau benar.” Dia berbisik pelan. “Entah sejak ka-
pan… aku sudah tidak mencintainya lagi.”
“Dan, kau mencintaiku sekarang.”
Alex mengerang. “Kau besar kepala, kau tahu?” wajah-
nya memanas ketika dia melihat senyuman miring Arthur.
http://facebook.com/indonesiapustaka
~204~
padamu kalau aku tidak akan kabur meski kau tidak balas
menyukaiku.”
“Bagus.” Arthur menganggukkan kepala. “Akan kusu-
ruh PA-ku menulis perjanjian ini.”
Alex langsung melongo sedangkan Arthur menatap-
nya dengan tatapan jahil. “Arthur! Kau seharusnya bil-
ang kalau kau menyukaiku!” Alex mendorong bahu lelaki
itu dan Arthur tertawa kencang, membuat Alex terpaku
sesaat. Dia tidak pernah melihat Arthur yang seperti ini.
Tertawa lepas, seakan-akan tidak ada yang membuatnya
gusar. Tertawa lepas, seperti bambino. Di detik itu juga,
Alex mendorong gelasnya, menarik dasi Arthur dan me-
renggut kerah lelaki itu, menariknya lekat.
Sebelum Alex sempat sadar apa yang baru saja dia
lakukan, tangan kekar Arthur merengkuh tubuhnya,
membawanya ke pelukan yang dalam. “Jangan peduli-
kan Nathan lagi.” Arthur berbisik di kupingnya. “Jangan
pedulikan lelaki mana pun. Kau milikku sekarang.” Arthur
mengecup keningnya penuh kasih.
Milikmu? Hanya dengan peluk dan kecup? Kau pikir kau
Romeo? Alex ingin mencibir. Namun, dia hanya bisa ter-
http://facebook.com/indonesiapustaka
~205~
suka padaku juga, bukan?” Alex berbisik ketika Arthur
membelai wajahnya.
“Menurutmu?” Arthur menunduk, membuat jarak di
antara mereka nyaris tidak ada.
“Menurutku kau sudah tidak bisa hidup tanpaku lagi.”
Arthur mendengus geli, dan mencium bibir Alex seba-
gai jawaban.
http://facebook.com/indonesiapustaka
~206~
http://facebook.com/indonesiapustaka
http://facebook.com/indonesiapustaka
Chapter 10
“
S udah sembilan hari berlalu sejak ‘pernyataan cinta’ di
bar Smith itu. Kemarin hari Kamis, hari thanksgiving,
dan untuk tahun ini keluarga besar Sanders tidak men-
gadakan acara keluarga karena Richard yang baru men-
inggal. Keluarga Sanders menyatakan kalau mereka masih
dalam proses ‘berkabung’. Tapi, Arthur tidak terlihat ber-
duka, begitu pula dengan Nathan. Mereka berdua malah
terlihat bahagia karena tidak perlu menghadapi keluarga
besar Sanders. Jadi Alex dengan gesit memanggang turkey
yang sudah dibelinya dari lima hari yang lalu. Ketika Ar-
http://facebook.com/indonesiapustaka
~210~
hari ini saja. Hari sudah sore. Alex menatap ke arah balkon
kamarnya, menatap langit kelabu. Tanggal 27 November.
Musim dingin akan tiba sebentar lagi. “Aku mau bicara pa-
damu.” Alex berujar pelan. Dia meraih botol minum dari
nightstand-nya, meneguk habis air tersebut. “Aku mau bi-
lang alasan kenapa aku bohong padamu.”
Raut wajah Nathan langsung menjadi serius. Dia men-
gangguk, menyilangkan kakinya.
Dan, di detik itu juga, Alex membuka rahasianya. Dia
bercerita tentang dia yang masih menyukai Nathan. Ten-
tang dia yang tidak bisa menyukai lelaki lain. Dia ber-
cerita tentang dia yang sulit untuk move on, tentang dia
yang merasa depresi setiap kali Nathan datang membawa
Samantha dan mengunjunginya. “Aku jujur, aku merasa
sengat lega ketika kau tidak mengunjungiku selama seta-
hun,” Alex tersenyum. “Sebelum itu, kau selalu berkunjung
setidaknya sebulan sekali, membawa Samantha. Dan, aku
tidak mau terlihat kalau aku… merana. Jadi karena itu aku
selalu berusaha mencari pacar, supaya aku tidak terlihat
kesepian.”
Nathan tidak menjawab. Dia mengerutkan kening. Wa-
http://facebook.com/indonesiapustaka
~211~
“Aku…” Nathan menggigit bibirnya, menghela napas.
“Apa yang bagus dariku, Lexie? Lihatlah kau. Kau cantik…
kau cerdas… dan kau…”
“Stop!” Alex menggeram. “Aku sudah cukup puas me-
lindungimu dari bocah-bocah berandalan ketika kita
masih kecil. Aku tidak mau melindungimu dari dirimu
sendiri. Kau berharga, kau matahari bagiku.” Dia menghe-
la napas. “Kau dan Samantha. Kalian berdua matahari.”
Nathan masih menggigit bibirnya. “Dan kau adalah
pelindung, Lexie. Dari dulu sampai sekarang. Aku benar-
benar…” dia menghela napas. “Maaf. Aku tidak tahu mau
bilang apa.”
“Tidak perlu bilang apa-apa.” Alex tertawa. “Aku hanya
mau jujur padamu. Sekarang aku merasa lega karena aku
sudah menceritakan semuanya padamu.”
Nathan balas tersenyum. “Tapi kau bahagia, bukan?
Bersama Arthur sekarang?” senyumnya lenyap sesaat.
“Aku masih tidak percaya kau pacaran dengan kakak tiri-
ku. Ugh.”
“Dia cowok yang unik.” Alex meringis. “Kau tahu, aku
sudah mengenakan topengku ini di depanmu selama
http://facebook.com/indonesiapustaka
~212~
“Lexie,” kali ini Nathan yang menggeram. “Kau serius
kau menanyakan ini padaku? Kau tidak lihat before dan
after Arthur? Sebelum kau ada dan setelah kau ada. Dia
berubah pesat, Lexie!” Nathan berseru. “Sebelum kau da-
tang, setiap hari ada kerutan di keningnya, dan setelah
kau datang, aku bersumpah dia menguasai jurus puppy
eyes, menatapmu dengan tatapan memelas setiap kali kau
bilang kalau kau mau keluar untuk bertemu Johnny.”
Alex langsung mengerang. “Jangan ingatkan aku. Aku
tidak bisa melawan mata itu dan membawanya pergi ber-
samaku. Max nyaris membunuh Arthur karena dia ingin
membawa pulang Johnny.”
“Makanya! Aku sendiri tidak tahu cupid mana yang
menyatukan kalian berdua, tapi sungguh Lexie,” Nathan
tersenyum lebar. “Aku bisa lihat kalau kalian berdua saling
mencintai.”
“Entahlah, Nate. Kau cukup buta di mataku.” Alex men-
jawab santai dan Nathan langsung melempar semua ban-
tal ke arah Alex yang dengan gesit menepis semua bantal-
bantal itu.
“Damai?” Nathan tiba-tiba bertanya, mengulurkan
http://facebook.com/indonesiapustaka
~213~
ef
Ketika mereka berdua keluar dari kamarnya, mereka
masih tertawa, saling mendorong bahu satu sama lain.
Dan di detik itu juga, mata Alex bertemu dengan Arthur
yang duduk di sofa di ruang menonton, memangku Lizzie.
“Opps,” Nathan meringis. “Kau cemburu, Arthur?” saha-
batnya itu dengan sengaja memeluk erat Alex dan me-
rangkul kepalanya, membuat Alex mengerang kesal, kem-
bali mendorong Nathan. “Kau tahu, Lexie? Aku baru ingat.
Ketika kau kabur, dia percaya diri sekali ketika dia mau
menjemputmu. Dia bilang kalau dia sudah tahu dari dulu
kalau kau mencintainya.”
“The boss.” Alex berujar.
“The boss.” Nathan menyetujui.
Arthur langsung menyipitkan matanya dan Nathan
tertawa kencang, cepat-cepat turun ke bawah. Alex ber-
jalan ke arah Arthur dan meringis ketika melihat Arthur
yang mengerutkan kening, menjauh dari Alex. “Hei, kau
cemburu?” Alex menghempaskan dirinya di sofa, duduk di
sisi Arthur.
http://facebook.com/indonesiapustaka
~214~
bicara dengannya. Seharian ini kami main ke museum
dan setelah itu aku mengaku padanya tentang perasaanku
yang kupendam selama ini.”
Arthur langsung menoleh, menatapnya dengan tata-
pan tertarik. “Lalu?”
“Tidak apa-apa.” Alex menjawab. “Dia terlihat kesal,
terlihat sedih… terlihat bersalah. Tapi, dia mengerti. Dan
dia senang aku pacaran denganmu, meski kita pasangan
aneh.”
Arthur memiringkan kepalanya.
“Dia bilang sejak ada aku, kau terlihat lebih bahagia.”
Alex berbisik pelan. “Benar?”
Arthur tidak menjawab, hanya memejamkan matanya
dan menyondongkan wajahnya. Alex tertawa pelan, me-
nengadah dan mengecup bibir Arthur. Lizzie melihat me-
reka berdua dan mengerutkan hidungnya, menjerit jijik.
Alex tertawa, mengecup pipi Lizzie dengan suara berisik,
membuat gadis mungil itu tertawa geli.
Arthur tidak ahli dalam mengutarakan perasaannya,
tapi dia sangat ahli menyatakan perasaannya dalam ben-
tuk tindakan. Man of actions, not words.
http://facebook.com/indonesiapustaka
ef
Malam itu mereka menonton video kucing seperti biasa.
Sims sudah semakin lincah dan tubuhnya sudah nyaris
~215~
sebesar ibunya. Peanut Butter masih liar seperti biasa,
mencakar segala macam benda yang bercahaya dan Ar-
thur tidak bisa terlihat lebih bangga lagi terhadap kucing
itu. Alex sudah mempersiapkan diri kalau Arthur datang
padanya dan minta supaya mereka mengadopsi Peanut
Butter. Tapi, dia tahu bahwa Arthur tidak akan seceroboh
itu. Karena ternyata Lizzie punya alergi terhadap bulu
kucing.
Pernah sekali Alex memeluk bocah itu setelah dia men-
jaga Johnny seharian. Lizzie bersin nonstop sampai banjir
air mata, membuat Alex merasa sangat bersalah. Dia me-
nyikat tubuhnya dari ujung kepala sampai ujung kaki dan
bahkan setelah itu, dia masih ragu untuk memeluk Lizzie.
Namun Lizzie tidak mau menjauh dari Alex, sengaja me-
nyuruh wanita itu ‘kiss me better’ berkali-kali. Alex hanya
bisa tersenyum simpul, mengecup Lizzie sampai bocah itu
puas.
“Aku akan mengadopsi Peanut Butter ketika Elizabeth
sudah punya antibodi yang lebih kuat.” Arthur berujar
dengan nada bisnisnya.
“Hmm…” Alex menyeruput tetesan terakhir susunya.
http://facebook.com/indonesiapustaka
~216~
“Kau seperti Peanut Butter.” Arthur memberitahunya.
“Apakah itu pujian?” Alex bertanya pelan. Matanya
terasa berat. Dia membiarkan Arthur mengusap rambut-
nya yang sudah menyentuh tengkuknya itu. Dia belum po-
tong rambut. Biasanya setiap tiga minggu sekali dia akan
langsung memotong rambutnya yang mulai panjang. Alex
selalu memotong rambutnya dengan potongan pixie. Tapi,
sekarang rasanya dia tidak tega memotong rambutnya
karena selain suka mengusap ujung jarinya, Arthur suka
mengusap rambutnya setiap malam. Dia bisa lihat kalau
Arthur menyukai rambutnya. “Aku bukan kucing.” Alex
mengerang ketika merasakan tangan Arthur yang seka-
rang mengusap tengkuknya.
Arthur tertawa pelan, namun tetap mengusap Alex.
Mata Alex sudah terpejam sepenuhnya. Diam-diam dia
tersenyum. Alex merasa dicintai.
“Jangan tidur dulu. Aku ada hadiah untukmu.” Hadiah?
Oh. Alex merasa sangat dicintai. Dia berusaha membuka
mataya. Arthur menyalakan lampu di nightstand, membuat
kamar ini bersinar dengan redup. Arthur merentangkan
tangannya, membuka laci di nightstand. Kepala Alex masih
http://facebook.com/indonesiapustaka
~217~
nyelipkan lengannya di pinggang Alex dan memangku
wanita itu. “Kucing malas.”
Oh, Alex merasa sangat, sangat dicintai.
Wanita itu menahan senyuman, membuka kotak di
tangannya. Matanya yang sudah tertutup itu langsung ter-
buka lebar, melotot ke arah kalung berlian di depannya.
Oke. Sepertinya dia terlalu dicintai secara berlebihan.
“Ini apa?” Alex mendesis, mengusap batu mungil di
tengah kalung itu.
“Kalung.” Arthur menjawab dengan nada datarnya.
Tangan lelaki yang kekar itu masih sibuk mengusap ram-
but Alex. Dia menyelipkan hidungnya di balik lekukan le-
her Alex, menggesekkan wajahnya di rahang Alex. Sebe-
narnya siapa yang kucing? Wanita itu ingin bertanya.
“Dan? Untuk apa kau memberiku ini?”
“Hadiah. Karena berhasil mendapat beasiswa.”
“Aku tidak butuh hadiah semahal ini, Arthur.” Alex
mengerang, tangannya bergetar sesaat ketika mem-
bayangkan berapa banyak uang yang dihabiskan Arthur
untuk membeli kalung itu. Mungkin seharga dengan uang
yang harus dia keluarkan untuk kuliah. “Kau sudah mem-
http://facebook.com/indonesiapustaka
~218~
Alex menghela napas ketika melihat ekspresi yang mu-
lai terlihat ragu itu. Dia tersenyum, menyentuh alis Arthur
yang berkerut. “Tidak semua cewek suka berlian.”
“Aku tahu apa yang kau suka.” Arthur mengerutkan
kening. “Dan, aku sudah memberimu semua yang kau
suka.”
Alex terdiam, teringat akan semua barang yang Arthur
berikan padanya. Dalam selang seminggu ini, Alex menda-
pat kumpulan pisau baru yang tebuat dari baja, mendapat
papan target yang baru, mendapat satu set alat lukis. Alex
bahkan mendapat susu coklat dengan merek termahal
yang pernah dilihatnya di WalMart. Dia bisa minum wine
mahal dengan cuma-cuma di kamar Arthur ini.
Dan Arthur ingin memberi lebih?
Alex menghela napas, mengangkat kepalanya dan
mengecup bibir Arthur. “Aku sudah punya kau. Dan itu
hadiah yang cukup.”
Arthur terlihat tertegun, menatap Alex dengan tata-
pan tidak percaya. Alex memutar bola matanya. “Jangan
sampai kau juga menganggap dirimu tidak pantas untuk
dicintai.”
http://facebook.com/indonesiapustaka
~219~
Alex tersenyum simpul, mengusap rambut ikal yang
acak-acakkan itu. “Well, aku suka Arthur yang tergila-gila
akan kucing dan anak kecil. Aku suka Arthur yang mengu-
tamakan Lizzie lebih dari apa pun.”
Arthur memeluknya semakin erat dan Alex menggeru-
tu sesaat, sesak napas. Dia tidak tahu seperti apa masa lalu
Arthur, tapi seperti apa pun masa lalu itu, sifat Arthur yang
dingin terhadap orang lain ini terpengaruh dari sana.
“Terima kasih atas kalungnya,” Alex memberitahu Ar-
thur. “Meski aku tidak yakin kapan aku bisa mengenakan
kalung secantik ini.”
“Besok malam ada pesta thanksgiving khusus untuk
para pegawai.” Arthur memberitahunya. “Makan malam
bersama dengan para karyawan dan direktur perusahaan
lain. Kalau kau mau, kau bisa datang menemaniku.”
Alex menahan diri untuk tidak tersedak. “Kau menga-
jakku, di acara kantor?” Sesaat Alex teringat akan kegiatan
di kantornya dulu. Ada beberapa acara seperti ini. Dan dia
selalu mengekor di belakang bosnya. Banyak tamu terke-
nal yang membawa kekasih atau istri mereka. “Karyawan
dan partnermu akan melihatku sebagai kekasihmu. Tidak
http://facebook.com/indonesiapustaka
apa?”
“Tidak apa.” Arthur menjawab. “Aku sudah cukup puas
menerima semua tawaran kencan dan tawaran perjodo-
han dari partnerku.”
~220~
Alex tertawa. Jari-jarinya mengusap kalung itu. “Oke.
Aku akan datang.”
“Mungkin William dan Charlotte akan ikut datang,
untuk menekanku supaya aku ‘berbagi’ Elizabeth dengan
mereka.” Nada Arthur terdengar pahit.
“Kalau begitu aku harus datang,” Alex langsung berujar.
“Aku tidak akan membiarkan mereka menginjak-mengin-
jakmu begitu saja.”
Arthur bergumam pelan, lengannya masih melingkar
di sekeliling pinggang Alex. “Aku tidak ingin menuduh
mereka. Tapi, Elizabeth… lima puluh persen harta Richard
ada di tangannya.”
Alex mengangguk. “Nathan sudah bilang.”
“Dan, ada satu paragraf ini yang tertulis di warisan
Richard,” Arthur menggertakkan giginya. “Jika pewaris
meninggal sebelum sempat menerima warisan mereka,
warisan itu akan dibagi rata untuk anak-anak kandung-
nya.”
Alex langsung tersentak, memutar tubuhnya sampai
dia nyaris terjatuh dari pangkuan Arthur kalau bukan ka-
rena lengan Arthur yang melingkar di pinggangnya. “Apa?”
http://facebook.com/indonesiapustaka
~221~
Alex hanya bisa ternganga. “Bukankah biasanya wari-
san itu… kalau sang pewaris meninggal, warisannya akan
diberikan pada orang miskin? Jadi sedekah atau…”
“Richard tidak akan memberikan uangnya pada orang
lain. Sedekah tidak ada di kamusnya.” Mata biru itu men-
jadi dingin.
Alex tidak bisa berkata-kata. Pantas saja Arthur mati-
matian tidak mau memberikan Lizzie pada dua kakaknya.
Dia tidak percaya pada mereka. Dan Alex mempercayai in-
sting Arthur.
“Aku tidak mau menuduh.” Arthur berujar pelan.
“Tapi…”
“Arthur. Aku hanya pernah melihat mereka berdua
sekali dan aku bisa merasakan aura jahat mereka.” Alex
menyernyitkan dahi. “Oh God. Jangan sampai Lizzie jatuh
ke tangan mereka.” Wanita itu menarik napas. “Kita akan
melindungi Lizzie, oke? Jangan khawatir.”
Arthur mengangguk. Dia memutar tubuh Alex sehingga
punggung Alex kembali menempel di dada bidang Arthur.
Dia kembali memeluk erat Alex yang duduk di pangkuan-
nya. Wanita itu terdiam. Sekarang dia tidak lagi merasa
http://facebook.com/indonesiapustaka
~222~
William sudah memberitahu Charlotte tentang kekasih
Arthur yang masuk ke dalam majalah.
Dia harus beralibi, jaga-jaga kalau mereka benar-be-
nar mencarinya di google dan tidak menemukan apa pun
yang berkaitan dengan modelling. Well… setidaknya me-
reka akan menemukan sesuatu yang berkaitan dengan
melempar pisau dan judo.
“Alexandra.”
Alex mengangkat kepalanya, menatap Arthur. “Hm?”
“Alexandra.” Arthur berbisik lagi, menempelkan mu-
lutnya di pucuk kepalanya. Alex tidak menjawab. Dia sa-
dar kalau Arthur hanya mengucapkan namanya untuk
menenangkan dirinya. Defender of man. Kau tahu kalau itu
arti dari namamu? Ucapan Arthur pada waktu itu kembali
terngiang di kepalanya. Dan dia menjawab…
“Yours.” Alex berbisik pelan. “Milikmu seorang.”
Arthur mengangguk di balik rambutnya. Dia mengam-
bil kalung berlian itu dari tangan Alex, meletakkan kalung
itu ke dalam laci nightstand. Arthur merengkuh wajah
Alex, menantapnya lama, dan memberikan sebuah kecu-
pan manis di kedua matanya.Arthur merengkuh tubuh
http://facebook.com/indonesiapustaka
~223~
ef
Alex terbangun ketika mendengar deringan nonstop dari
nightstand. Dia mengerang, mengusap wajahnya di balik
bantal. Tangannya menggapai-gapai, tanpa sadar me-
nepuk kepala Arthur. Tapi lelaki itu tidak terbangun, tetap
membenamkan wajahnya di balik leher Alex. Dia ingin
mendorong si bambino raksasa ini, tapi lengan kekar Ar-
thur tetap melingkar di pinggangnya, membuatnya tidak
bisa berkutik. Sebenarnya siapa yang kucing? Arthur lebih
parah dari Lizzie dalam soal memeluknya.
“A’ter, A’ter,” Alex bergumam, masih mengantuk. “Pon-
selmu bunyi…”
Arthur membuka matanya. Keningnya berkerut dan
matanya hanya terbuka setengah, membuat Alex nyaris
tertawa. Si ganteng Arthur tidak seganteng itu kalau dia
baru bangun tidur. Dia menggerutu, memeluk Alex se-
makin erat seakan-akan Alex ini bantalnya saja.
“No. No.” Alex mencubit lengan kekasihnya. “Ponselmu
bunyi. Angkat.” Dia tahu kalau yang berbunyi itu iPhone
pribadi Arthur, jadi yang menelpon kemungkinan orang
http://facebook.com/indonesiapustaka
~224~
Dan di detik itu juga, Alex melihat layar iPhone Arthur.
Setahu dia, Arthur tidak memasang wallpaper apa pun di
ponselnya. Namun sekarang… mata coklat Alex terpaku
pada wajahnya dan Johnny sebagai wallpaper ponsel prib-
adi Arthur. Alex langsung ternganga ketika melihat itu. Di
wallpaper itu, dia menyeringai lebar, tertawa sambil me-
meluk Johnny yang berusaha memanjat wajahnya. Sebe-
lum Alex sempat bertanya dari mana Arthur mendapat
foto itu, lelaki itu sudah menerima panggilan, menggeram
pelan. “Apa maumu?”
Dari seberang telepon, Alex bisa mendengar suara
wanita yang panik.
“Sekarang baru jam enam. Dan ini hari Sabtu.” Arthur
kembali menggeram. Dia mendengarkan wanita itu lagi
dan Arthur memijit keningnya. “Aku akan ke sana dalam
waktu setengah jam.” Dia langsung mematikan ponsel-
nya dan beranjak dari kasur. Alex duduk di kasur, mem-
perhatikan Arthur yang sekarang sudah terbangun total,
melepaskan kaus rugby-nya yang ketat itu dan berjalan ke
kulkas mininya, meneguk air minum.
“Sekretarismu?” Alex menebak.
http://facebook.com/indonesiapustaka
~225~
Arthur berjalan masuk ke kamar mandi, Alex berjalan
menuju bar mini di dekat bakon, minum air. Dia menyala-
kan mesin pembuat kopi, membuat kopi untuk mereka
berdua. Khusus untuk Arthur, kopi hitam dengan dua sen-
dok gula dan krim. Arthur keluar dari kamar mandi da-
lam waktu sepuluh menit, telanjang dada dan hanya men-
genakan handuk di sekeliling pinggangnya. Dia menerima
kopinya dari tangan Alex. Kerutannya menghilang sedikit.
“Soo…” Alex bergumam. “Wallpaper ponselmu itu. Kau
memasang itu karena wajahku atau karena Johnny?”
Arthur berkedip, terlihat berpikir sesaat. “Oh.” Akhir-
nya dia sadar dengan apa yang ditanyakan Alex. “Kau, de-
lapan puluh persen. Johnny, dua puluh persen.”
“Awww,” Alex tidak bisa menahan cengirannya. “So
sweet.”
“Aku jujur.” Arthur dengan santai menjawab. “Tidak
seperti seseorang yang diam-diam memotretku ketika
aku sedang tidur.” Dia menyeruput kopinya.
“Oi,” wajahnya memanas. Dari mana Arthur tahu? “Kau
sendiri dapat foto itu dari mana?”
“Timmy.” Arthur masuk ke dalam ruangan kloset un-
http://facebook.com/indonesiapustaka
~226~
punggungnya. Tapi sebelum itu… Alex menyilangkan kaki,
menyeruput kopinya. Dengan santai dia memperhatikan
Arthur yang bertelanjang dada, mengenakan kemeja ter-
dekat. Arthur yang sadar kalau dia sedang diperhatikan
sejak tadi, menoleh, menaikkan sebelah alis dan menatap
Alex dengan tanda tanya. Alex meringis. “Lanjutkan. Aku
hanya menikmati pemandangan.” Mata coklatnya terpaku
pada handuk yang masih melingkar di pinggang Arthur.
Arthur memutar bola matanya, mendorong Alex keluar
dari ruangan kloset, membuat wanita itu tertawa.
ef
Alex memaksa Timmy untuk datang ke rumah dan mem-
bantunya memilih pakaian untuk acara makan malam
bersama karyawan Arthur. Dia ada beberapa gaun dan
perhiasan, tapi tentu saja kalung pemberian Arthur akan
menjadi perhiasan utama.
“Dia memberimu ini?” Timmy bersiul pelan, mengang-
kat kalung itu sehingga cahaya lampu menyinri batu ber-
lian tersebut. “Aku meremehkan isi dompetnya.”
“Timmy,” Alex menghela napas. “Sejak kapan kau dan
http://facebook.com/indonesiapustaka
~227~
Wajah Alex memanas sesaat ketika mendengar ucapan
sarkastik Timmy. “Aku saja tidak sesering itu SMS-an de-
ngan Arthur.”
“Karena kalian saling facetime atau telponan.” Timmy
memutar bola matanya. Pintu kamar Alex terbuka dan
Lizzie masuk sambil menjerit girang. “Hei! Lizzie! Apa
kabarmu, Bambina?” Timmy merentangkan tangannya
dan Lizzie memeluk sahabatnya. Diam-diam Alex terse-
nyum bangga. Lizzie yang takut dengan orang dewasa ini
sudah mulai mau terbuka di depan Timmy dan Nathan.
Mau bagaimana lagi, mereka berdua selalu memberinya
manisan. “Lihat. Hari ini Alex akan kencan dengan Arthur.
Jadi aku akan bermain denganmu ya?”
Lizzie mengangguk, langsung keluar dan kembali lagi
membawa semua buku warnanya. Alex hanya bisa me-
ringis. Dia sudah mengenakan gaun hitam yang menyen-
tuh lututnya. Gaun yang tidak berlengan dan berkerah
v-shapped. Dia melingkarkan kalung Arthur di sekitar le-
hernya. Timmy langsung meraih eyeliner.
“Aku tidak tahu kenapa kau selama ini hanya me-
ngenakan sedikit eyeliner. Kau terlihat lebih cantik dengan
http://facebook.com/indonesiapustaka
~228~
acara itu. Kalau perlu dia akan menyelinap diam-diam dan
mengamati lelaki itu, Alex menyeringai jahil.
Timmy mengolesi bibir Alex dengan lipstik merah ge-
lap, membuatnya terlihat mencolok. “Selesai. Sekarang
aku yakin cowok-cowok akan menjatuhkan diri mereka di
depan kakimu.”
Alex tersenyum miring, membuat Timmy mengeluar-
kan suara napas tertahan sambil mencengkram dadanya.
Wanita brunet itu tertawa, menggelengkan kepala. “Na-
than juga akan ikut ke acara makan malam itu. Jaga Lizzie
oke? Jangan buka pintu kalau ada orang yang tidak kau ke-
nal dan pisauku ada di atas lemari kalau kau butuh.”
Timmy langsung menyeringai lebar dan mengancung-
kan jempol. Alex mengenakan heels hitamnya dan keluar
dari kamar, mengecup pipi Lizzie dan melambai tangan
ke arah Ms. Conney. Nathan menunggunya di bawah, me-
ngenakan jas dan dasi hitam. Dia bersiul ketika melihat
Alex yang menuruni tangga dengan perlahan. “Entah men-
gapa aku merasa seperti ayah yang akan membawa pu-
trinya di altar gereja untuk pernikahan.” Nathan menghela
napas, membiarkan Alex merangkul tangannya.
http://facebook.com/indonesiapustaka
~229~
Alex langsung membayangkan Arthur yang melayang-
kan tatapan lasernya ke arah Nathan dan wanita itu ter-
tawa kencang.
ef
Acara makan malam itu semegah yang dia bayangkan.
Pesta yang diadakan di salah satu ruangan converence di
hotel Hyatt. Banyak meja panjang yang dipenuhi makan-
an. Gerombolan karyawan dan orang-orang yang terlihat
penting mengelilingi tempat ini. Alex tidak melihat Arthur
di mana dan Nathan terus menemaninya. “Kau tahu, se-
tiap tahun Arthur akan mengadakan acara thanksgiving
khusus untuk para karyawannya dan partner kerja. Dia
membayar dengan uangnya sendiri. Terkadang direktur
yang lain akan ikut menyumbang.”
Alex tertegun. “Arthur tidak bilang.”
“Arthur memang begitu.” Nathan mengangkat bahu,
meneguk champagne-nya.
Alex mengangguk pelan. Beberapa mata tertuju pa-
danya dan Alex mengabaikan semua mata itu, mencari-
cari Arthur. Tak lama kemudian, Alex akhirnya menemu-
http://facebook.com/indonesiapustaka
~230~
Nathan menghela napas. “Aku harus pergi dari sini.
Aku tidak tahan dengan mereka berdua.”
Alex meringis ketika melihat Nathan yang menyembu-
nyikan diri di balik makanan. Wanita itu berjalan ke bela-
kang Arthur, dengan santai mengusap bahu lelaki itu. Ar-
thur menoleh, kerutan di keningnya menghilang ketka dia
melihat Alex. “Charlotte. William.” Dia berujar. “Kekasihku
sudah datang. Jadi aku permisi dulu.” Dia melingkarkan
lengannya di pinggang ramping Alex, mengabaikan tata-
pan kesal dua kakaknya.
Alex melontarkan senyuman miring ke arah William
dan lelaki itu langsung menatap Arthur dengan tatapan
iri sedangkan Charlotte menatapnya seakan-akan ingin
membunuhnya saja. Sepertinya keluarga Sanders ini me-
warisi tatapan laser yang sama. Alex membiarkan Arthur
membawanya pergi. Mereka berjalan menuju meja yang
dipenuhi oleh gelas champagne dan Arthur langsung
meraih segelas dan meneguk setengah dari gelas itu. “Ka-
lian sedang apa tadi?”
“Mereka ingin mengatur pesta natal, bulan depan.” Ar-
thur menjawab. “Dan kembali membawa Elizabeth dalam
http://facebook.com/indonesiapustaka
~231~
gitu dia merasa tegang kalau dikelilingi orang yang tidak
dikenal.”
Arthur mengerutkan kening dan mendengus, mem-
buat Alex meringis.
“Cemburu?” Alex tertawa. “Mau bagaimanapun, Nathan
tetap ‘matahari’ di mataku.” Dia terdiam sesaat, mengama-
ti ekspresi Arthur yang sudah kembali menjadi normal.
“Aku selalu bilang pada Timmy kalau aku ini terlalu gelap
untuk menjadi ‘matahari’ seseorang. Dan dia tidak keber-
atan. Dia bilang kalau dia suka aku yang gelap karena bag-
inya aku ini bayangan yang bisa melindungi orang di balik
kegelapan.” Alex menggelengkan kepala, tertawa. “Tapi, di
mata Lizzie, aku ini ‘terang’.” Dia melirik, menatap Arthur
yang masih memperhatikannya. “Bagaimana denganmu?
Aku terang atau gelap?”
Arthur menaikkan sebelah alis. “Tidak dua-duanya.”
Dia menjawab langsung. “Kau Alexandra. Dan aku tidak
peduli kalau kau mau masuk golongan putih, hitam, atau
abu-abu.”
Dan di detik itu juga Alex tertawa kencang. Dia mengu-
sap ujung matanya, masih tertawa. “Oh, God, Arthur. Aku
http://facebook.com/indonesiapustaka
~232~
“Siapa yang bilang kalau aku mau dansa denganmu?”
Alex dengan sengaja langsung melirik ke arah Nathan,
membuat Arthur menatapnya dengan mata biru yang ter-
belalak. Alex tertawa lagi, menggelengkan kepalanya. Dia
tidak tahu apa yang menyeretnya sampai dia bisa menja-
lin hubungan dengan Arthur ini. Lelaki yang punya tata-
pan laser sekaligus puppy eyes yang paling memelas. Dia
tidak tahu hubungan mereka akan menuju ke arah mana.
Karena mau bagaimanapun, hubungan mereka baru di-
mulai. “Tentu saja aku akan berdansa denganmu dulu. Na-
than bisa menunggu.” Alex menengadah, dengan sengaja
memanyunkan bibirnya yang merah itu.
Arthur tersenyum, menunduk dan menempelkan bi-
birnya di bibir Alex.
Mau seperti apa pun hubungan mereka berdua nanti,
dia tidak akan meninggalkan Bambino ini. Mau bagaimana
lagi, sesuai kata Arthur, dia sudah sangat tergila-gila de-
ngannya.
END
http://facebook.com/indonesiapustaka
~233~
http://facebook.com/indonesiapustaka
Biodata Penulis
“
Nama: Agata Tashia, dengan nama pena Agata Barbara.
Novel debutnya adalah novel Singapore Begins yang men-
jadi salah satu pemenang (naskah terpilih) dalam kom-
petisi YARN (Young Adult Realistic Novel) dari penerbit
Ice Cubes. Novel dengan genre humor dan persahabatan
ini diterbitkan pada April 2015.
Agata lahir pada September 1994 di Jakarta. Me-
miliki dua adik dan berdomilisi di Singapura sejak Juli
2009 setelah dia lulus SMP. Punya hobi menulis sejak SD
dan mulai menulis online (fan fiction) pada tahun 2010
http://facebook.com/indonesiapustaka