Ekonomi Politik Revisi Kelompok 8

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH

EKONOMI POLITIK
“Kebijakan Pembangunan Ekonomi Dan Ekonomi
Politik Otonomi daerah”

Oleh,

Kelompok 8 :

Habikusyadi (17 0401 0157)

Esty Ismail (17 0401 0145)

Sartika (17 0401 0165)

Nahda Ramdani (17 0401 0132)

EKONOMI SYARIAH IV D

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PALOPO


2019

2
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Puji syukur selalu terpanjatkan kepada Allah Swt yang telah melimpahkan
nikmat dan karunia-Nya, Kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah mata kuliah “Ekonomi Politik”. Sholawat serta salam kita
sampaikan kepada Nabi besar kita Muhammad SAW yang telah memberikan
pedoman hidup yakni Al-Qur’an dan sunnah untuk keselamatan umat di dunia
Makalah ini adalah sebagai hasil dari tugas yang telah di berikan oleh
Ustadz Ahmad Syawal Senong Pakata, SE., M.M. Insya Allah, kami akan
membahas mengenai “Kebijakan Pembangunan Ekonomi dan Ekonomi Politik
Otonomi Daerah”. Mungkin ada di antara pembaca sekalian ada yang belum
terlalu mengenal materi ini. Begitu juga dengan kami.
Akhirnya penulis menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan-
kekurangan dalam penulisan makalah ini, maka dari itu penulis mengharapkan
kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca demi kesempurnaan makalah
ini. Semogah makalah ini memberi wawasan dan menambah pengetahuan agama
kepada kita semua terutama kepada kami. Bagi kami pribadi, semogah makalah
yang hanya beberapa halaman ini menjadi ladang pahala dan sebagai kontribusi
kami dalam mengamalkan ajaran dari agama Islam. Amin.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Palopo, 18 Mei 2019

Kelompok 8

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................. i

KATA PENGANTAR................................................................................ ii

DAFTAR ISI............................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1

A. Latar Belakang............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah........................................................................ 2
C. Tujuan ......................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN............................................................................ 4
A. Teori Utama Pembangunan.......................................................... 4
B. Pelita (Pembangunan 5 Tahun).................................................... 6
C. Kebijakan Pembangunan Ekonomi.............................................. 12
D. Sejarah Otonomi Daerah di Indonesia......................................... 14
E. Pengertian Otonomi Daerah......................................................... 16
F. Mitos dan Ketergantungan Daerah.............................................. 17
G. Sentralisasi Penerimaan dan Pengelolaan.................................... 20
H. Alokasi Dana dari Pusat ke Daerah............................................. 21
I. Otonomi Daerah dalam Kerangka NKRI...................................... 24
J. Sistem Keuangan Pusat-Daerah................................................... 25
K. Ketergantungan Fiskal................................................................. 25
L. Masalah-Masalah dalam Otonomi Daerah................................... 26
M. Kaitan Politik dengan Kebijakan (Otonomi Daerah)................... 28

BAB III PENUTUP.................................................................................... 29


A. Kesimpulan.................................................................................. 29
B. Saran............................................................................................ 29
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 30

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam suatu Negara atau wilayah, tentu tidak dapat terlepas dari apa
yang disebut dengan Pemerintahan. Pemerintahan di Indonesia khususnya,
dibagi menjadi Pemerintahan pusat, yaitu penyelenggara pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yakni Presiden yang dibantu seorang
Wakil Presiden, para Menteri dan lembaga pemerintahan pusat (Eksekutif,
Legislatif, Yudikatif). Dengan kata lain, pemerintahan pusat adalah
pemerintahan secara nasional yang berkedudukan di ibukota Negara Republik
Indonesia. Sedangkan pemerintahan daerah berdasarkan UU nomor 32
Tahun 2004 pada pasal 1 ayat 2, adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh pemerintahan daerah dan DPRD menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam
sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi, dengan kata
lain, pemerintahan daerah adalah pemerintahan yang berada dibawah
pemerintahan pusat untuk membantu pemerintahan pusat dalam melakukan
kebijakan-kebijakan disetiap daerah.
Dalam pemerintahan, ada politik yang didalamnya terdapat peraturan
atau kebijakan yang memuat mengenai aspek kehidupan. Salah satu dari
banyaknya kebijakan yang diatur oleh pemerintahan adalah, kebijakan
mengenai Otonomi Daerah atau dengan nama lain, yaitu otonomi khusus.
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997 memberikan
dampak positif dan dampak negatif bagi upaya peningkatan kesejahteraan
seluruh rakyat Indonesia. Di satu sisi, krisis tersebut telah memberikan
dampak yang luar biasa pada kemiskinan, namun disatu sisi krisis tersebut
juga memberi “berkah tersembunyi”. peningkatan taraf hidup seluruh rakyat
Indonesia dimasa yang akan datang. Karena krisis ekonomi dankrisis yang
lainnyatelah membuka jalan bagi munculnya reformasi total, terutama
reformasi pada bidang ekonomi di Indonesia. Salah satu unsur reformasi total

1
itu adalah tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah kabupaten
dan kota
Otonomi daerah merupakan kebijakan yang dilakukan pemerintah
daerah atas perintah dari pemerintahan pusat berupa anggaran disetiap daerah
untuk biaya pembangunan masing-masing daerah. Pemerintah daerah
diharapkan mampu menggunakan anggaran sesuai dengan kebutuhan untuk
membangun wilayah dengan menggali potensi yang ada di wilayahnya
masing-masing.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang di atas, maka masalah yang
akan dikaji oleh penulis ialah:
1. Bagaimana teori utama pembangunan
2. Apa yang dimaksud dengan pelita (pembangunan lima tahun)
3. kebijakan pembangunan ekonomi
4. Bagaimana sejarah otonomi daerah di Indonesia
5. Apa yang dimaksud pengertian otonomi daerah
6. Bagaimana mitos dan ketergantungan daerah
7. Bagaimana sentralisasi dalam penerimaan dan pengeluaran
8. Bagaimana pengalokasian dana dari pusat ke daerah
9. Bagaimana otonomi daerah dalam kerangka NKRI
10. Bagaimana sistem keuangan pusat-daerah
11. Apa yang dimaksud dengan ketergantungan fiskal
12. Apa saja masalah-masalah dalam otonomi daerah
13. Bagaimana kaitan politik dengan kebijakan (otonomi daerah)

C. Tujuan
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan ini
adalah untuk mendeskripsikan:
1. Untuk mengetahui teori utama pembangunan
2. Untuk mengetahui pelita (pembangunan lima tahun)
3. Untuk mengetahui kebijakan pembangunan ekonomi

2
4. Untuk mengetahui sejarah otonomi daerah di Indonesia
5. Untuk mengetahui pengertian otonomi daerah
6. Untuk mengetahui mitos dan ketergantungan daerah
7. Untuk mengetahui sentralisasi penerimaan dan pengeluaran
8. Untuk mengetahui alokasi dana dari pusat ke daerah
9. Untuk mengetahui otonomi daerah dalam kerangka NKRI
10. Untuk mengetahui sistem keuangan pusat-daerah
11. Untuk mengetahui ketergantungan fiskal
12. Untuk mengetahui masalah-masalah dalam otonomi daerah
13. Untuk mengetahui kaitan politik dengan kebijakan (otonomi daerah)

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Teori Utama Pembagunan


1. teori pertumbuhan linear
a. teori pertumbuhan Adam Smith
Adam Smith membagi tahapan pertumbuhan ekonomi menjadi
lima tahap yang berurutan, yaitu dimulai dari masa perburuan, masa
berternak, masa bercocok tanam, perdagangan, dan yang terakhir adalah
tahap penindustrian. Menurut teori ini, masyarakat akan bergerak dari
masyarakat tradisonal ke masyarakat modern yang kapitalis. Dalam
proses pertumbuhan ekonomi akan semakin terpacu dengan adanya
sistem pembagian kerja antarpelaku ekonomi. Dalam hal ini, adam Smith
memandang pekerja sebagai salah satu input ( masukan ) bagi proses
produksi.
Dalam pembagunan ekonomi, modal memegang peranan yang
penting. Menurut teori ini, akumulasi modal akan menentukan cepat atau
lambatnya pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada suatu negara. Modal
tersebut diperoleh dari tabungan yang dilakukan masyarakat terjadi pada
suatu negara. Modal tersebut diperoleh dari tabungan, maka pelaku
ekonomi dapat menginvestasikan ke sektor rill, dalam upaya untuk
meningkatkan penerimaannya.
Teori pembagunan Adam Smith tidak dapat dilepaskan dari evolusi
pentahapan proses pembagunan yang terjadi secara berjenjang dan harus
dilewati satu per satu. Demikian pula halnya dengan tingkat
pertumbuhan, yaitu dimulai dari suatu titik tertentu, kemudian secara
lambat mulai mengalami peningkatan; laju akan terjadi secara cepat
sampai titik optimal tertentu dan akan menurun hingga mencapai titik
nol.

4
b. teori pembagunan Karl Marx
Karl Marx, dalam bukunya yang berjudul Das Kapital membagi
evolusi perkembangan masyarakat menjadi tiga, yaitu dimulai dari
feodalisme, kapitalisme dan kemudian yang terkahir adalah sosialisme.
Evolusi perkembangan masyarakat ini akan sejalan dengan proses
pembangunan yang dilaksanakan. Masyarakat feodalisme mencerminkan
kondisi dimana perekonomian yang ada masih bersifat tradisonal. Dalam
tahap ini tuan tanah merupakan pelaku ekonomi yang memiliki posisi
tawar menawar tertinggi relatif terhadap pelaku ekonomi lain. Seperti
halnya pada masa feodal, padda masa kapitalisme ini para pengusaha
merupakan pihak yang memiliki tingkat posisi tawar-menawar tertingging
relatif terhadap pihak lain khususnya kaum buruh.
Sepanjang teori pembangunan yang dikemukakan, marx selalu
mendasarkan argumen pada asumsi bahwa masyarakat pada dasarnya
terbagi menjadi dua golongan, yaitu: masyarakat pemilik tanah dan
masyarakat bukan pemilik tanah, masyarakat pemilik modal dan masyarakat
bukan pemilik modal. Asumsi lain yang menudukung adalah bahwa diantara
kedua kelompok masyarakat tersebut sebenarnya terjadi konflik
kepentingan.
c. teori pertumbuhan Rostow
Teori pertumbuhan ekonomi yang dikemukakan oleh Walt Whitman
Rostow merupakan garda depan dari linear stage of growth theory. Pada
dekade 1950-1960, teori rostow banyak mempengaruhi pandangan dan
persepsi para ahli ekonomi strategi pembagunan yang harus dilakukan.
Teori rostow didasarkan pada pengalaman pembangunan yang telah
dialami oleh negara negara maju terutama di Eropa. Dengan mengamati
proses pembagunan di negara negara eropa dari mulai abad pertengahaan
hingga abad modern, maka rostow pola pembangunan yang ada menjadi
tahap-tahap revolusi dari suatu pembangunan ekonomi yang dilakukan
oleh negara-negara tersebut.

5
Rostow membagi proses pembangunan ekonomi suatu negara
menjadi lima tahap, yaitu : (1) Tahap perekonomian tradisonal; (2) Tahap
prakondisi tinggal landas; (3) Tahap tinngal landas;( 4) Tahap menuju
kedewasaan; dan (5) Tahap konsumsi massa tinggi.1
d. teori Merkantilis
Konsepsi yang juga dikenal sebagai Nasionalisme-Ekonomi ini
memiliki akar sejarah yang paling panjang di antara keempat perspektif.
Dalam literatur ilmu ekonomi gagasan ini memang mungkin baru muncul
pada tulisan Jean Baptiste Colbert dan Friedrich List, tetapi dalam literatur
politik internasional gagasan ini, yang dikenal sebagai realisme politik,
bisa ditemukan dalam tulisan-tulisan klasik mulai dari Thucydides abad 4
SM., Niccolo Machiavelli, Thomas Hobbes, sampai ilmuwan politik masa
kini seperti Hans J. Morgenthau dan Roberrt Gilpin.
Sebagai teori dan praktek ekonomi, merkantilisme sangat populer
bagi pemerintah yang sedang melakukan pembinaan kekuatan negara
(state building). Karena upaya seperti itu memerlukan pengintergrasian
politk dan ekonomi, maka negara menjadi aktor utama yang secara aktif
dan rasional mengatur ekonomi demi meningkatkan kekuasaaan negara.
Membangun suatu negara-bangsa yang kuat juga memerlukan
akumulasi kekayaan atau kapital. Karena itu pembangunan ekonomi harus
di prioritaskan. Kalau upaya akumulasi itu tidak cukup dilakukan di dalam
negeri, perdagangan internasional harus di galakkan sebagai sarana
perjuangan mencapai kepentingan nasional, yaitu akumulasi kapital. Demi
memperoleh surplus sebanyak mungkin dari perdagangan internasional,
dalam lingkungan yang penuh konflik, pemerintah masing-masing negara
harus mengembangkan kebijaksanaan “nasional ekonomi”. Yaitu a
menerapkan pengendalian harga dan upah buruh sehingga barang baranag
yang dihasilkan bisa dijual dengan harga bersaing di pasar internasional; b
menerapkan startegi industrilisasi substitusi impor; c menggalakan ekspor

1
Mudraja Kuncoro, Dasar-Dasar Ekonomika Pembangunan, (Yogyakarta: UPP STIM
YKPN, 2010), h. 32-37.

6
barang manufaktur dan membatasi impor hanya untuk komiditi dasar.
Kebijksanaan ini dianggap penting demi memenangkan perang ekonomi.2

B. Pembangunan Lima Tahun (PELITA)

Pemerintah Letjen Soeharto (Orde Baru) yang dijalankan sejak terbentuknya


Kabinet Ampera mempunyai tugas menciptakan stabilitas politik dan ekonomi
sebagai prasyarat pelaksanaan pembangunan nasional. Tugas Kabinet Ampera
disebut Dwidarma Kabinet Ampera. Program kerjanya disebut Caturkarya
yang isinya adalah mencukupi kebutuhan sandang dan pangan; melaksanakan
pemilihan umum(pemilu); melaksanakan politik luar negeri bebas aktif; dan
melanjtkan perjuangan antiimperialisme dan kolonialisme.

Jenderal Soeharto melanjutkan pembangunan yang telah dilakukan


Kabinet Ampera dengan membentuk cabinet pembangunan pada tanggal 6 juni
1968. Tugas pokok Kabinet Pembangunan disebut Pancakrida. Dalam upaya
melaksanakan pembangunan dibidang ekonomi, pemerintah Jenderal Soeharto
yang dikenal juga sebagai pemerintahan Orde Baru melaksanakannya melalui
Repelita (rencana pembangunan lima tahun).

Repelita dilaksanakan mulai tanggal 1 April 1969. Pembangunan


ekonomi pada masa orde baru diarahkan pada sector pertanian. Hal itu
dikerenakan kurang lebih 55% dari produksi nasional berasal dari sector
pertanian dan juga 75% pendudukan Indonesia memperoleh penghidupan dari
sector pertanian. Bidang sasaran pembangunan dalam Repelita, antara lain
bidang pangan, sandang, perbaikan prasarana, rumah rakyat, perluasan
lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.

Jangka waktu pembangunan orde baru dapat dibedakan atas dua macam,
yaitu program pembangunan jangka pendek dan program pembangunan jangka
panjang. Program pembangunan jangka pendek sering disebut pelita
(pembangunan lima tahun), adapun program pembangunan jangka panjang
2
Mohtar Mas’oed, Ekonomi Politik internasional dan Pembangunan, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003), h. 32-37.

7
terdiri atas pembangunan jangka pendek yang saling berkesinabungan. Masa
pembangunan jangka oanjang direncanakan selama 25 tahun.

Modernitas memerlukan sarana, salah satunya dengan pengadaan sarana


fisik. Pembangunan yang dilaksanakan di realisasikan dalam system
pembangunan nasional yang dilaksanakan dengan bentuk Pembangunan Lima
Tahun (PELITA).

1. Pelita I

Pada 1 April 1969 dimulailah pelaksanaa pelita 1 yaitu pada


periode 1969-1974. Pada pelita 1 ini, orde baru menyelesaikan fase
stabilitas dan rehabilitasi sehingga dapat menciptakan keadaan yang stabil.
Selama beberapa tahun, sebelum orde baru keadaan ekonomi mengalami
kemerosotan. Pada 1955-1960 laju inflasi rata-rata 25% per tahun, dalam
periode 1960-1965 harga-harga meningkat dengan laju rata-rata 226% per
tahun, dan pada 1966 laju inflasi mencapai puncaknya, yaitu 650%
setahun. Kemerosotan ekonomi tersebut terjadi di segala bidang akibat
kepentingan ekonomi dikorbankan demi kepentingan politik.
Pada masa orde baru, kemerosotan ekonomi dapat dikendalikan.
Pada 1976, laju inflasi dapat ditekan menjadi 120%, atau seperlima dari
tahun sebelumnya. Pada 1968, inflasi dapat ditekan lagi menjadi 85%.
Berdasarkan hasil-hasil yang telah dicapai, kemudian dimulailah
pelaksanaan pelita 1 pada tahun 1969. Adapun titik berat pelita 1 adalah
pada sector pertanian dan industry yang mendukung sector pertanian.
Adapun sasaran pelita 1, yaitu meningkatkan pangan, sandang,
perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan
kesejahteraan rohani. Pelaksanaan pelita 1 termasuk pembiayaannya selalu
disetujui DPR dengan membuat undang-undang sesuai ketentuan UUD
1945.

2. Pelita II

8
Pelita 1 berakhir pada 31 Maret 1974, yang telah meletakan dasar-
dasar yang kuat bagi pelaksanaan pelita I. MPR hasil pemilu 1971 secara
aklamasi memilih dan mengangkat kembali jendral soeharto sebagai
presiden RI. Selain itu, MPR hasil pemilu 1971 berhasil pula menyusun
GBHN melalui Tap MPR RI No IV/MPRS/1973. Di dalam GBHN 1973
terdapat rumusan pelita II, yaitu :
a. Tersedianya bahan pangan dan sandang yang cukup dan terjangkau
oleh daya beli masyarakat;
b. Tersedianya bahan-bahan bangunan perumahan terutama bagi
kepentingan masyarakat;
c. Perbaikan dan peningkatan prasarana;
d. Peningkatan kesejahteraan rakyat secara merata;
e. Memperluas kesempatan kerja.

Untuk melaksanakan pelita II, presiden soeharto kemudian


membentuk cabinet pembangunan II. Program kerja cabinet pembangunan
II, disebut Sapta Krida Kabinet Pembangunan II, yang meliputi:

a. Meningkatkan stabilitas politik;


b. Meningkatkan stabilitas keamanan;
c. Melanjutkan pelita 1 dan melaksanakan pelita II;
d. Meningkatkan kesejahteraan rakyat;
e. Melaksanakan pemilihan umum.
3. Pelita III
Pada 31 Maret 1979, Pelita III mulai dilaksanakan. Titik berat
pembangunan pada pelita III adalah pembangunan sector pertanian menuju
swasembada pangan yang mengolah bahan baku menjadi bahan jadi.
Sasaran pokok pelita III diarahkan pada trilogy pembangunan dan delapan
jalur pemerataan.

a. Trilogi pembangunan mencakup:

9
1) Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terwujudnya
keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia;
2) Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi;
3) Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
b. Delapan jalur pemerataan mencakup:
Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok, yaitu sandang,
pangan, dan perumahan bagi rakyat banyak;
1) Pemerataan kesempatan memperoleh pelayanan pendidikan dan
kesehatan;
2) Pemerataan pembagian pendapatan;
3) Pemerataan memperoleh kesempatan kerja;
4) Pemerataan mempreoleh kesempatan berusaha;
5) Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan
khusunya bagi generasi muda dan kaum wanita;
6) Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah
Indonesia;
7) Pemerataan memperoleh keadilan.

Terpilih menjadi presiden RI untuk kedua kalinya MPR hasil


pemilu membentuk cabinet pembangunan III. Kabinet ini dilantik
secara resmi pada 31 Maret 1978. Program kerja cabinet
pembangunan III, disebut Sapta Krida Pembangunan III, yang
meliputi:

1) Menciptakan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia


dnegan memeratakan hasil pembangunan;
2) Melaksanakan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi;
3) Memelihara stabilitas keamanan yang mantap;
4) Menciptakan aparatur Negara yang bersih dan berwibawa;
5) Membina persatuan dan kesatuan bangsa yang kukuh dan
dilandasi oleh penghayatan dan pengamalan pancasila;

10
6) Melaksanakan pemilihan umum yang langsung, umum, bebas,
dan rahasia;
7) Mengembangkan politik luar negri yang bebas aktif untuk
diabdikan kepada kepentingan nasional.
4. Pelita IV
Pelita III berakhir pada 31 Maret 1989 yang dilanjutkan dengan
pelaksanaan pelita IV yang dimulai 1 april 1989. Untuk ketiga kalinya
jenderal soeharto terpilih dan diangkat kembali oleh MPR hasil pemilu.
Untuk melaksanakan pelita IV, presiden seharto membentuk cabinet
pembangunan IV. Titik berat pelita IV adalah pembangunan sector
pertanian untuk melanjutkan usaha-usaha menuju swasembada pangan dan
meningkatkan industry yang dapat menghasilkan mesin-mesin sendiri, baik
untuk mesin-mesin industry ringan maupun industry berat.

Sasaran pokok pelita IV yaitu sebagai berikut:


a. Bidang politik, yaitu berusaha memasyarakatkan P4
(Pedoman,Penghayatan,dan Pengamalan Pancasila).
b. Bidang pendidikan, menekankan pada pemerataan kesempatan belajar
dan meningkatkan mutu pendidikan.
c. Bidang keluarga berencana (KB), menekankan pada pengendalian laju
pertumbuhan penduduk yang dapat menimbulkan masalah nasional.

5. Pelita V
Pelita IV berakhir pada 31 Maret 1994 yang dilanjutkan oleh
pelaksanaan pelita V yang dimulai 1 April 1994. Pelita V ini merupakan
pelita terakhir dari keseluruhan program pembangunan jangka panjang
pertama (PPJP 1). Pelita V merupakan masa tinggal landas untuk memasuki
program pembangunan jangka panjang kedua (PPJP II), yang akan dimulai
pada pelita VI pada april 1999.
Titik berat pelita V adalah meningkatkan sector pertanian untuk
memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan prduksi hasil

11
pertanian laiinya serta sector industri, khususnya industry yang
menghasilkan barang untuk ekspor, industry yang banyak tenaga kerja,
industri pengolahan hasil pertaian, dan industri yang dapat menghasilkan
mesin-mesin industri menuju terwujudnya struktur ekonomi yang seimbang
antara industry dengan pertanian, baik dari segi nilai tambah maupun dari
segi penyeraan tenaga kerja.

6. Pelita VI

Pelita V berakhir pada 31 Maret 1999yang dilanjutkan oleh


pelaksanaan pelita VI yang dimulai pada 1 April 1999. Pada akhir pelita V
diharapkan akan mampu menciptakan landasan yang kukuh untuk
mengawali pelaksanaan pelita VI dan memasuki proses tinggal landas
menuju pelaksanaan program pembangunan jangka panjang kedua (PPJP II)
. Titik berat pelita VI diarahkan pada pembangunan sector-sektor ekonomi
dengan keterkaitan antara industri dan pertanian serta bidang pembangunan
lainnya dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Sasaran pembangunan industry dalam Rencana Pembangunan Lima
Tahun VI sebagai bagian dari sasaran bidang ekonomi sesuai amanat GBHN
1993 adalah tertata dan mantapnya industry nasional yang mengarah pada
penguatan, pendalaman, peningkatan, perluasan, dan penyebaran industry ke
seluruh wilayah Indonesia, dan makin kukuhnya struktur industry dengan
peningkatan keterkaitan antara industry hulu, industry antara, dan industry
hilir serta antara industry besar, industry menengah, industry kecil, dan
industry rakyat. Serta keterkaitan antara sector industry dengan sector
ekonomi lainnya.
Pelita VI yang diharapkan menjadi proses lepas landas Indonesia kea
rah yang lebih baik lagi, malah menjadi gagal landas, Indonesia dilanda
krisis ekonomi yang sulit diatasi pada akhir tahun 1997.
Namun, pelaksanaan PPJP II tidak berjalan lancar akibat krisis
ekonomi dan moneter melanda Indonesia. Inflasi yang tinggi akibat krisis

12
ekonomi menyebabkan terjadinya gejolak social yang mengarah pada
pertentangan terhadap pemerintah orde baru.
Kenaikan tarif BBM pada 1997 merupakan awal gerakan
pengkoreksian rakyat dan mahasiswa terhadap pemerintahan orde baru.
Sejak saat itu terjadilah gelombang demonstrasi, kerusuhan, penjarahan, dan
pembakaran di ibu kota Jakarta yag kemudian menyebar ke seluruh wilayah
di tanah air.3

C. Kebijakan Pembangunan Ekonomi


1. kebijakan moneter dalam pembangunan ekonomi
Makna dan pentingnya
Kebijakan moneter mengacu pada kebijaksanaan otorita moneter
suatu Negara yang menyangkuat masalah-masalah moneter.
Kebijaksanaan tersebut dapat didefinisikan sebangai kebijaksanaan yang
berkenaan dengan:
a. Pengendalian lembaga keuangan
b. Penjualan dan pembelian secara aktif kertas-kertas berharga oleh
otoriata moneter sebangai ikhtiar sengaja untuk mempengaruhi
perubahan keadaan uang; dan
c. Pembeliaan dan penjualan secara pasif kertas harga (paper assets)
yang timbul dari uasaha mempertahankan sruktur sukubunga tertentu
Salah satu tujuan kebijasanaan moneter di Negara terbelakang adalah
untuk memperbaiki sistem uang dan sistem perkreditan. Bayak lembanga
keuangan dan perbengkan harus didirikan untuk menyiapkan fasilitas
kredit yang yang besar an untuk menghilangkan tabungan keseluruhan
yang produktif. Untuk memperbaiki keadaan ini, cabang dan unit
perbangkan harus diperluas sampai kearah pedesaan angar dapat
menyediakan kredit kepada para petani, pegusaha dan para pedangang
kecil.

3
Unknown, “Pembangunan Lima Tahun”. Blog wartasejarah
http://wartasejarah.blogspot.com/2014/11/pelita-pembangunan-lima-tahun.html, (23 Mei 2019)

13
Kebijaksanaan moneter adalah instrument penting untuk mengelola
perimbangan uang tepat antara permintaan dan penawaran
uang.kekurangan persediaan uang akan menghambat pertumbuhan
sedangkan kelebihan akan menghanyutkan keinflasi. Bengitu
perekonomian berkembang, permintaan mungkin akan membumbung
sebangai akibat pergeseran sector nonuang menjadi sector uang, kenaikan
produksi dan harga dibanding pertanian dan industry. Akan tetapi ada
kemungkinan kenaikan persediaan uang untuk tujuan spekulasi, hal
demikian akan menghalangi pertumbuhan dan menyebabkan inflasi.
2. kebijakan fiscal dalam pembangunan ekonomi
Kebijaksanaan fiscal berarti penggunaan pajak, pinjaman
masyarakat, pengeluaran masyarakat oleh pemerintah untuk tujuan
stabilitas atau pembangunan. Analisis kaynes mengenai kebijaksanaan
fiscal dapat diterapkan dinegara-negara maju. Dalam konteks
perekonomian Negara terbelakang, peranan kebijaksanaan fiscal adalah
untuk memacu laju pembentukan modal. Didalam analisis kaynes,
dindakan moneter dipergunakan untuk mengurangi tabungan dan
meningkatkan kecenderungan mengonsumsi, tetapi nega terbelakang
dihadapkan pada masalah yang sama sekali berbeda
Arti penting
Kebijaksanaan fiscal memainkan peranan dimana dinegara-negara
terbelakag. Dalam uangkapan nurkes, kebijakan fiscal di Negara
belakang “memikul atri penting baru di dalam menghadapi problem
pembentukan modal.beberapa orang kaya justru suku pada konsumsi
mewah. Kebijakan fiscal mengalihkan lesemua ini ke saluran-saluran
produktif.
Nurkse memandang penentu rasio tabungan marginal Negara, yaitu
kecenderungan marginal menabug, sebngai penentu penting
pertumbuhan. Oleh karna itu urus tabungansukarela didalam Negara
terbelakang amat kecil, maka untuk tabungan wajib, perpajakan
merupakan istrumen paling bermanfaat. Dinegara terbelakang dimana

14
laju pembentukan modal belum bengitu terai secara efektif oleh
kebijaksanaan moneter saja sebngai akibat pasar modal dan uang yang
kurang berkembang maka kebijaksanaan fiscal dapat dipergunakan
alternative.4

D. Sejarah Otonomi Daerah di Indonesia

Sejak tumbuhnya rezim otoritarium orde baru, sistem politik di


indonesia mengalami perubahan. Jika dimasa orde baru sistem politik sangat
otoriter dan militeristik, setelah tahun 1998 sistem politik berangsur-angsur
semakin terbuka. Sejak itu, kebebasan berserikat dan menyatakn pendapat
semankin meluas dan kebebasan pers semakin membaik. Lain dari itu,
gerakan demokratisasi yang menjadi ujung tombak bagi ambruknya rezim
orde baru semakin bergulir kencang.

Bersamaan dengan bergulirnya gerakan demokratisasi, bermunculan


oerganisasi masyarakat sipil yang menyebarkan gagasan demokrasi,
menganjurkan plurasime, dan penghargaan hak asasi manusia. Kehadiran
organisasi masyarakat sipil ini mendorong keterbukaan pengelolaan
kekuasaan dan keterlibatan publik dalam pengambilan keputusan. Selain
terjadi perubahan politik setelah jatuhnya kekuasaan pemerintahan paska 66
yang dibidani Jendral Soeharto itu, relasi kekuasaan dengan daerah perlahan-
lahan mulai berubah. Pada masa sebelum 1998, kekuasaan jakarta( pusat)
sangat sentralistik dan semua daerah direpublik ini menjadi perpanjangan
tangan kekuasaan jakarta. Dengan kata lain, rezim orde baru mewujudkan
kuasa yang sentripetal, yakni berat sebelah memihak pusat bukan pinggiran
(daerah).

Sewaktu pemerintahan Habibie menggantikan rezim orde baru, bekas


murid Jendaral Soeharto itu membuat kebijakan politik baru yang mengubah
relasi kekuasaan pusat-daerah dengan menerbitkan Undang-Undang No.5

4
M.L. Jhingan, Ekonomi Pembangunan Dan Perencanaan, (Jakarta: PT RajaGrafindo,
2007), h. 370-377.

15
tahun 1999 tentang pelaksanaan otonomi daerah atau yang lazim disebut
desentralisasi. Terlepas dari kentalnya tudingan lahirnya Undang-Undang ini
untuk kepentingan kekuasaan Habibie, yang jelas keluarnya Undang-Undang
otonomi daerah telah mengubah realasi kekuasaan jakarta dengan daerah. Jika
sebelumnya daerah menjadi perluasan dan jarahan kekuasaan jakarta, dengan
terbitnya Undang-Undang otonomi daerah ini daerah tidak lagi sepenuhnya
bergantung pada dan tidak lagi mau didikte jakarta. Bahkan lebih jauh lagi
daerah semisal aceh, papua dan riau yang pada masa orde baru hanya menjadi
instrumen imperialisme jakarta, menuntut merdeka dan ingin berpisah dari
Republik Indonesia.

Pada masa pasca 1998 dan keluarnya Undang-Undang otonomi daerah,


selain adanya keinginan daerah yang hendak memisahkan diri daeri Republik
juga bermunculan aspirasi dari berbagai daerah yang menginginkan
pemekaran provinsi atau kabupaten baru. Dalam upaya pembentukan provinsi
dan kabupaten baru ini tarik menarik antara kelompok yang setuju dan tidak
setuju terhadap pemekaran daerah sebagai akibat dari otonomi daerah, seperti
yang ditunjukkan dari beberapa daerah meningkatkan suhu politik lokal.
Indikasi memanasnya suhu politik lokal dari berbagai tempat tercermin dari
munculnya ancaman dari asing-masing kelompok yang pro dan kontra
terhadap terbentuknya provinsi-kabupaten baru, pemblokiran tempat-tempat
strategis mobilisasi massa penggalangan sentimen-sentimen kesukuan,
sampai ancaman pembunuhan.

Disamping itu, pelaksanaan otonomi daerah yang dicanangkan sejak


januari 2001 lalu telah membawa perubahan politik ditingkat lokal (daerah).
Salah satunya adalah menguatnya peran DPRD. Jika dimasa sebelumnya
DPRD hanya sebagai stempel karet dan kedudukannya dibawa legislatif,
stelah otonomi daerah, peran legislatif menjadi lebih besar, malah dapat
memberhentikan kepala daerah. Meskipun demikian, ketika otonomi daerah
diberlakukan banyak hal yang perlu dicermati. Ada yang memandang
pelaksanaan otonomi daerah tidak saja menstransfer korupsi dari jakarta

16
kedaerah, arogansi DPRD semakin tidak terkendali karena mereka merupakan
representasi elite lokal yang berpengaruhi. Karena perannya itu, ditengah
suasana belum terbangunnya demokrasi ditingkat lokal, DPRD akan menjadi
kekuatan politik baru yang sangat rentan terhadap korupsi. 5

E. Pengertian Otonomi Daerah


Otonomi daerah secara harfiah, berasal dari kata otonomi dan daerah.
Dalam bahasa Yunani, otonomi berasal dari kata autos dan namos. Autos
berarti sendiri dan namos berarti aturan atau undang-undang. Dengan kata
lain, otonomi daerah merupakan cara mengatur hak, kewenangan, serta
kewajiban sesuai dengan kehendak pemerintah setempat yang bertujuan
untuk pembangunan wilayah setempat, berdasarkan undang-undang dan
memiliki tujuan untuk kepentingan masyarakat setempat atau kepentingan
bersama.
Sedangkan Menurut Mariun, Otonomi Daerah adalah suatu
kewenangan atau kebebasan yang dipunyai suatu pemerintah daerah sehingga
memungkinkan mereka untuk membuat sebuah inisiatif sendiri dalam
mengelola serta mengoptimalkan sumber daya yang dipunyai daerahnya.
sehingga Otonomi daerah juga dapat disebut suatu kewenangan atau
kebebasan untuk dapat bertindak sesuai dengan suatu kebutuhan masyarakat
pada daerah setempat.6
Dapat diambil kesimpulan dari keseluruhan arti otonomi diatas adalah,
suatu keadaan yang memungkinkan suatu daerah dapat menggali segala
potensi terbaik yang dimiliki daerah tersebutdengan unsur-unsur didalamnya,
seperti kewilayahan, pemerintahan dan masyarakat secara optimal, dengan
caramengidentifikasikan, merumuskan, dan memecahkanya.

5
Jamil, Gunawan Desentralisasi Globalisasi dan Demokrasi Lokal, (Jakarta:Pustaka
LP3ES Indonesia, 2005), h. 161-164.
6
Markijar, “12 Pengertian Otonomi Daerah Menurut Para Ahli”, official website markijar
http://www.markijar.com/2016/06/12-pengertian-otonomi-daerah-menurut.html ( 18 Mei 2019 ).

17
1. teori otonomi daerah
Pelaksanaan otonomi daerah mengamanatkan bahwa tujuan
otonomi adalah untuk mempercepat tercapainya kesejahteraan rakyat
melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta
masyarakat.Otonomi dilakukan juga dengan harapan agar daerah
memiliki daya saing dan keunggulan lokal.Semua itu mestinya bisa
dicapai karena berbagai perubahan untuk mewujudkan misi tersebut.
( UU No 32 Tahun 2004 )
Pemerintahan daerah adalah pemerintahan yang diselenggarakan
oleh badan – badan daerah yang dipilih secara bebas dengan tetap
mengakui supremasi pemerintahan nasional. Pemerintahan ini diberi
kekuasaan, diskresi (kebebasan mengambil kebijakan), dan
tanggungjawab tanpa dikontrol oleh kekuasaan yang lebih tinggi.(Bestari
2008)7
Tahun 1999 bisa dicatat sebagai terjadinya perubahan besar dalam
memandang daerah. Terjadi beberapa perubahan dari sistem sentralisasi
ke desentralisasi dalam menceranakan dan mengelola dana
pengembangan bagi daerah masing-masing dengan diundangkannya
Undang-Undang no.22 tahun 1999 tentang otonoomi daerah dan
undang-undang no.25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat
dan daerah.

F. Mitos Dan Ketergantungan Daerah


Ancaman disintegrasi bangsa di masa keterbukaan sekarang ini semakin
mencuat. Opsi yang diberikan kepada Timor-Timur untuk “merdeka atau
integrasi” telah dijawab dengan amat meyakinkan: merdeka!. Namun
persoalannya tidak berhenti disitu karena issue tentang timor-timur
berlangsung bersamaan dengan semakin menguatnya issue tentang Aceh.

7
Semangat, Anak, Negeri, “Teori Otonomi Daerah”, blog andrisoesilo
https://andrisoesilo.blogspot.com/2014/12/teoriotonomidaerah.html ( 18 Mei 2019 )

18
Demikian juga dengan munculnya ide untuk kembali mengangkat masalah
negara papua, riau merdeka, dan sebagainya.
Munculnya ancaman disintegrasi berawal dari sistem pemerintahan
yang sentralis. Aspirasi pusat begitu kuatnya sehingga mengabaikan aspirasi
rakyat dibawah Orde Baru. Legitimasi atas besarnya peran jakarta(pusat)
ditunjukkan dengan fakta bahwa pendapatan daerah disetor kepemerintah
pusat sehingga daerah tidak mampu membiayai pembangunan daerah sendiri
tanpa bantuan dan campur tangan pemerintah pusat. Hal ini bisa dilihat dari
pos pendapatan asli daerah (PAD) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) yang amat kecil hampir semua daerah sebagaimana dalam
Tabel 1.
Dari tabel tampak bahwa kemampuan semua daerah untuk mandiri
“ternyata” amat payah. Bahkan hal itu justru terjadi pada provinsi-provinsi
yang kaya mineral seperti Aceh yang ternyata “sangat tergantung” pada
pemerintah pusat karena PAD-nya amat rendah, yaitu hanya 0,5 persen dari
total penerimaan daerah itu. Hal yang sama juga terjadi pada daerah kaya
yang lain meskipun dengan angka yang lebih tinggi, yaitu Riau (6,3 persen),
Kalimantan Timur (15 persen), dan Irian Jaya (papua) (4,7 persen). Kesemua
daerah yang kaya itu ternyata mempunyai ketergantungan amat besar pada
pusat. Dengan demikian, hampir bisa dipastikan bahwa seperti halnya Timor
Timur, daerah-daerah yang diaggap kaya sumber daya itu tidak mampu
mengurus diri dalam bentuk otonomi. Ternyata pusat bukan hanya kehilangan
hero bagi daerah miskin melainkan lebih juga hero bagi daerah yang amat
kaya sekalipun.
Tabel 1. Persentase Pendapatan Asli Daerah dari Total APBD di Indonesia
Provinsi APPKD APBDI APBD II
Di Aceh (NAD) 31,3
3,3 0,5
1 1
Sumut 35,2
5,9 4,7
4 2
Sumbar
5,4 8,9 6,5
4
Riau
6,1 4,8 6,3

19
2 1
Jambi
8,7 5,0 0,5
2 1
Sumsel
5,1 6,8 6,9
1
Bengkulu
7,7 5,6 8,8
5 1
Lampung
4,7 5,4 3,6
7 2 2
Jabar
3,0 5,2 4,9
7 2 1
Jateng
0,6 2,2 7,5
7 2 1
DKI Jakarta
1,9 2,3 3,9
7 2 1
DI Yogyakarta
3,4 3,7 8,3
4 3 7
Jatim
3,8 0,0 3,2
7 2
Bali
3,5 7,9 0,6
4 1
NTB
7,5 4,6 5,3
2
NTT
2,8 1,8 3,6
3 121
Kalbar
7,1 5,1 ,8
1
Kalteng
4,4 4,1 4,0
2 1
Kalsel
9,6 6,9 1,9
1 1
Kaltim
5,3 9,0 5,2
5 2
Sulut
9,7 7,8 0,4
4
Sulteng -
1,1 4,9
6 2
Susel
4,8 8,9 9,6
5
Sultra
0,4 4,2 7,5
3
Maluku
8,8 0,5 1,2
Irian Jaya
8,3 2,7 4,7
Sumber, BPS, beberapa penertiban, diolah.

20
Namun sebenarnya , ketergantungan seperti yang ditunjukkan dalam
Tabel 1 hanyalah mitos yang dikembangkan. Jargon “daerah tidak mampu”
dengan menunjuk rendahnya APBD sering begitu saja diterima banyak
kalangan. Padahal hanya dengan melihat ironi Aceh, Papua, Riau, dan
Kalimantan Timur bisa disimpulkan ketergantungan tidak bisa dilihat dari
besarnya PAD. Logikanya adalah bahwa daerah-daerah yang kaya seharusnya
mempunyai kemaapuan amat tinggi dalam membangun dengan dananya
sendiri.
Cara pandang pusat tentang persoalan integrasi lewat kacamata uang
tentu saja membuat daerah tersinggung. Dengan anggaran 99,5 persen berasal
dari pusat, daerah Aceh seolah-olah terlihat membebani keuangan pemerintah
pusat. Padahal potensi kekayaan alamnya yang melimpah (gas alam)
memberikan pemasukan yang cukup besar bagi pemerintah pusat. Tidak aneh
jika daerah Aceh ingin melepaskan diri dari pemerintah pusat.8

G. Sentralisasi Penerimaan Dan Pengeluaran


Apa yang dikemukakan teesebut sekedar untuk menunjukkan bahwa
pemerintah pusat sama sekali bukanlah hero atau pahlawan bagi daerah.
Kesan pusat sebagai hero yang membagi dana tertentu berawal dari sistem
sentralisasi penerimaan dan pengeluaran negara yang dianut di Indonesia.
Secara umum gambaran sentralisasi bisa dilihat dalam tabel 2.
Tabel 2 sentralisasi penerimaan dan pengeluaran negara 1989-1993
(dalam miliar rupiah)
Penerimaan Pengeluaran
Tahun
Pusat Daerah Pusat Daerah
38,1 1,5 32,8 8,8
1989/90 68 18 82 04
49,4 2,0 42,2 9,2
1990/91 50 33 16 67
51,9 2,3 43,2 11,0
1991/92 93 09 06 96
58,1 2,5 47,8 12,8
1992/93 67 49 44 72

8
Hudiyanto, Ekonomi Politik, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), h. 58-60

21
62,6 3,1 49,8 15,9
1993/94 50 43 79 14
216,0 57,9
260,428
Jumlah 11,552 27 53
(95,75%)
(4,25%) (78,85%) (21,15%)

Dalam tabel telihat bahwa selama 1989-1993 sebesar 95,85% dari


penerimaan negara langsung diterima pemerintah pusat dan hanya 4,25%
yang diterima oleh pemerintah daerah. Tentu saja dalam penerimaan pusat
termasuk di dalamnya penerimaan dari daerah-daerah kaya sumber daya
mineral seperti Aceh, Papua, Kaltim, dan Riau. Selama 1989-1993
pemerintah mengelola dana dari penerimaan dalam negeri sebesar Rp260,4
triliun, sedangkan pada saat yang sama seluruh pemerintah daerah hanya
menerima Rp11,5 triliun. Penerimaan oleh pemerintah pusat masih ditambah
lagi dengan penerimaan dari utang luar negeri sebesar Rp50,8 triliun.
Sentralisasi penerimaan mungkin tidak terlalu dipersoalkan sekiranya
pemerintah pusat membagikan secara langsung dalam bentuk dana segar
(block grant) kepada daerah-daerah dan memberikan kewenangan penuh
kepada setiap daerah untuk menggunakannya sesuai dengan kebutuhan
masing-masing.
Dalam sistem sentralsasi, pemerintah mempunyai kewenangan penuh
untuk merencanakan, mengawasi, dan mengevaluasi proyek pembangunan
yang dibiayai oleh pemerintah daerah. Dari total pengeluaran sebesar Rp271
triliun, pemerintah pusat membelanjakan sebesar Rp216,02 triliun atau 78,8
persen. Dengan demikian, seluruh pemerintah daerah tingkat I dan II di
Indonesia hanya membelanjakan Rp57,95 triliun. Namun dari jumlah itu,
sebesar Rp24,71 truliun (44,1 persen) merupakan belanja rutin dan Rp19,68
triliun (35,1%) merupakan pengeluaran yang dikomando dari pemerintah
pusat. Dengan demikian dalam praktiknya, pemerintah daerah di Indonesia
hanya membelanjakan sebesar Rp11,66 triliun (20,8%).
Pengeluaran yang sentralisasi tertentu saja menyebabkan terjadinya
sentralisasi kekuasaan dan melambungnya kewibawaan pemerintah pusat di
mata daerah. Hal ini kemudian tercermin pada tidak tumbuhnya inisiatif dari

22
daerah baik dalam menentukan proyek pembangunan maupun dalam
merekrut personalia untuk memipin daerah. Pengeluara yang sentralistik pada
akhirnya juga menumbuhkan pencarian rente yang berpusat pada patron dari
kerabat dan keluarga pejabat pusat. 9

H. Alokasi Dana Dari Pusat Ke Daerah


Pembangunan yang menekankan kepada pendekatan sektoral pada
umumnya dilakukan dengan pertimbangan prioritas pencapuan makro
(nasional) sehingga sektor yang strategis dan potensial yang biasanya terpilih.
Pendekatan sektoral berpengaruh negatif terhadap proses pembangunan
dilihat dari sisi pemerataan pembangunan antar-wilayah. Dalam hal ini,
prioritas pembangunan cenderung mendorong investasi hanya pada daerah-
daerah yang mempunyai potensi ekonomi yang besar dan prasarana yang
baik.
Hal ini semacam ini merupakan tuntutan alam efisiensi. Akibatnya, ada
daerah yang karena pertimbangan potensi dan prasarana pada akhirnya
kurang mendapatkan perhatian. Karena prioritas nasional untuk mendorong
daerah yang potensial maka dana DIP cenderung mengalir ke daerah yang
cenderung sudah mengalami kemajuan.10
1. dana alokasi u
mum (DAU)
Hal penting lain dari pengaturan keuangan menurut UU No.
25/1999 dan UU No. 33/2004 adalah transfer antarpemerintah dari pusat
ke kabupaten dan kota, yang disebut dengan DAU dan DAK.
Diperkenalkannya DAU dan DAK berarti menghapus subsidi Daerah
Otonom dan Dana Inpres yang di perkenalkan pada era soeharto.
DAU merupakan block grant yang diberikan kepada semua
kabupaten dan kota untuk tujuan mengisi kesenjeangan antara kapsitas dan
kebutuhan fiskalnya, dan didistribusikan dengan formula berdasarkan

9
Hudiyanto, Ekonomi Politik, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), h. 60-61
10
Hudiyanto, Ekonomi Politik, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), h. 62

23
prinsip-prinsip tertentu yang secara umum mengindikasikan bahwa daerah
miskin dan terbelakang harus menerima lebih banyak dari pada daerah
kaya. Dengan kata lain, tujuan penting alokasi DAU adalah dalam
kerangka pemerataan kemampuan penyediaan pelayanan penting alokasi
DAU dalam kerangka pemerataan kemampuan penyediaan pelayanan
publik antarpemda indonesia. UU No. 25/1999 pasal 7 menggariskan
bahwa pemerintah pusat berkewajiban menyalurkan paling sedikit 25%
dari Penerimaan Dalam Negerinya (PDN)-Nya dalam bentuk DAU.
Aturan ini belakangan dinaikan menjadi 26 % dari penerimaan dalam
negeri neto.
Menurut definisi, DAU dapat diartikan sebagai berikut (Sidik, 2003):
a. Salah satu komponen dari dana perimbangan pada AOBN, yang
pengalokasiaanya didasarkan atas konsep kesenjangan fiskal atau
celah fiskal (Fiscal Gap), yaitu selisih antara kebutuhaan fiskal dengan
kapasitas fiskal.
b. Instrumen untuk mengatasi horizontal imblance, yang dialokasikan
dengan tujuan pemeretaan kemampuan keuangan antardaerah, di mana
pengunaannya ditetapkan sepenuhnya oleh daearah.
c. Equalization grant, yaitu berfungsi untuk menetralisasi ketimpangan
kemampuan keuangan dengan adanya PAD, Bagi Hasil Pajak (BPH)
dan Bagi Hasil SDA (BHSDA) yang diperoleh Daerah.
2. dana alokasi khusus (DAK)
DAK ditujukan untuk daerah khusus yang terpilih untuk tujuan
khusus. Karena itu, alokasi yang didistribusikan oleh pemerintah pusat
sepenuhnya merupakan wewenang pusat untuk tujuan nasional khusus.
Kebutuhan khusus dalam DAK meliputi:
Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah terpencil yang
tidak mempunyai akses uang memadai ke daerah lain.
a. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah yang menampung
transmigrasi

24
b. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah yang terletak di
daerah pesisir/kepaluan dan tidak mempunyai prasarana dan sarana
yang memadai.
c. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah guna mengatasi
dampak kerusakan lingkungan.11

I. Otonomi Daerah Dalam Kerangka NKRI


Sejarah mencatat desentralisasi di indonesia mengalami pasang dan
surut seiring dengan perubahaan konstelasi politik ang melekat dan terjadi
pada perjalanan kehidupan bangsa. Pada periode prakemerdekaan, indonesia
dijajah belanda dan Jepang. Penjajah telah menerapkan desentralisasi yang
bersifat sentralistis , birokratis dan feodalistis untuk kepentingan mereka.
Penjaha belanda menyusun suatu hirarki Pangreh Praja Bumiputra dan
Pangreh Praja Eropa yang harus tunduk kepada gubernur jenderal.
Dikeluarkannya Decentralisatie Wet pada tahun 1903, yang ditindaklanjuti
dengan Bestuurshervorming Wet pada tahun 1992, menetapkan daerah untuk
mengatur rumah tangganya sendiri sekaligus membagi daerah-daerah otonom
yang dikuasi oleh belanda menjadi gewest (identik dengan provinsi saat ini),
regentschap (kabupaten saat ini) dan staatsgemeente (kota madya sekarang).
Pemerintah pendudukan jepang pada dasarnya melanjutkan sistem
pemerintaahan daerah seperti zman belanda, dengan perubahaan ke dalam
bahasa jepang. Sejak pemerintahaan Republik Indonesia, beberapa UU
tentang pemerintahaaan daerah telah ditetapkan dan berlaku silih berganti. Ini
dimaksudkan untuk mencari bentuk dan harapan, serta sesuai dengan tuntutan
pembangunan.
UU No. 32/2004 menyerahkan fungsi, personil, dan aset dari
pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota. Hal ini
berarti bahwa tambahaan kekuasaaan dan tanggung jawab diserahkan kepada
pemerintah kabupaten dan kota, membentuk sistem yang jauh lebih
11
Mudraja, Kuncoro, Dasar-Dasar Ekonomika Pembangunan, (Yogyakarta: UPP STIM
YKPN, 2010), h. 214-215.

25
terdesentralisasi dibandingkan dengan sistem dekonsentrasi dan
koadministratif di masa lalu.
Berbeda dengan sistem federalisme, otonomi daerah di indonesia
diletakkan dalam kerangka negara kesatuaan (unitary state). Perbedaan utama
sistem federalisme dan unitaristik terletak pada sumber kedaultan. Dalam
sistem federalisme, kedaulatan diperoleh dari unit unit politik yang terpisah-
pisah dan kemudian sepakat membentu sebuah pemerintahaan bersama.
Karena beragamnya daerah otonom di indonesia, maka dibutuhkan
adanya sistem yang dapat mengatur agar ketimpangan daerah tidak semakin
lebar, dan daerah yang kaya membantu daerah yang miskin. Dalam sistem ini,
penyerahaan wewenang (desentralisasi) berbarengan dengan pelimpahaan
wewemamg (dekonsentraasi) dan tugas pembantuaan.12

J. Sistem Hubungan Keuangan Pusat-Daerah


Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan
APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah
dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Menurut UU No. 33/2004 pasal 10,
dana perimbangan teridiri dari : 1 Dana Bagi Hasil (DBH) dari PBB, BPHTB,
Pph orang pribadi dan Sumber Daya Alam (SDA); 2 Dana Alokasi Umum
(DAU); 3 Dana Alokasi Kusus (DAK). UU No.33/2004 menetapkan
perubahaan terhadap aliran dana dari pusat ke daeraj. Dalam UU tersebut,
komponen dana perimbangan tidak mengalami perubahaan, tetapi terjadi
perubahaan proporsi aliran dana.
Dalam hal konteks kewajiban, yaitu: (1) daerah harus dapat
mengelola dana tersebut secara sinkron (tidak bertentangan) dengan
kebijakan-kebijakan pusat; (2) daerah diharuskan untuk mengelola dana
dengan efisien, efektif, accountable, dan transparan; dan (3) daerah harus
mempertanggungjawabkan dan melaporkan penggunaan dana.13

12
Mudraja Kuncoro, Dasar-Dasar Ekonomika Pembangunan, (Yogyakarta: UPP STIM
YKPN, 2010), h. 202-203.
13
Mudraja Kuncoro, Dasar-Dasar Ekonomika Pembangunan, (Yogyakarta: UPP STIM
YKPN, 2010), h. 205-207.

26
K. Ketergantungan Fiskal
Realisitis hubungan fiskal antara pusat-daerah ditandai dengan tingginya
kontrol pusat terhadap proses pembangunan daerah. Ini jelas terlihat dari
rendahnya proporsi PAD terhadap total pendapatan daerah dibanding
besarnya subsidi yang didrop dari pusat. Indikator desentralisasi fiskal adalah
rasio antara PAD dengan total pendapatan daerah. PAD terdiri atas pajak-
pajak daerah, retribusi daerah, penerimaan dari dinas, laba bersih dari
perusahaan daerah dan lain-lain penerimaan.
Dalam konstelasi semacam ini, rekor DKI Jakarta dalam membiayai
pembangunan daerahnya sendiri layak untuk dicatat. Pada tahun fiskal
1987/88, sejarah mencatat proporsi PAD terhadap total pendapatan daerahnya
adalah lebih dari 60%. Ahmad (1990), dalam studinya, sektor perdangangan,
manufaktur, dan jasa telah berkembangan secara substansial. Kedua, pajak
daerah, retribusi dan penerimaan lainnya untuk kabupaten/kota ternyata
dimasukkan dalam PAD provinsi. Ketiga, sumber sumber PAD berlokasi di
sektor modern yang umumnya terdaftar sehingga memudahkan
pengumupalan pajak. Keempat, administrasi pajak daerah relatif
menguntungkan.14

L. Masalah-masalah dalam Otonomi Daerah


Dalam pelaksanaan otonomi daerah masih terdapat masalah-masalah
yang akibatnya merugikan banyak orang, dalam praktek penyelenggaraan
otonomi daerahmasalah yang sering terjadi adalah pemekaran wilayah yang
tidak merata, serta korupsi di daerah yang persentasinya tinggi.
Otonomi daerah juga dianggap belum berhasil selama 16 tahun terakhir.
Menurut Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) La Ode Ida, otonomi
daerah belum mampu menciptakan kesejahteraan rakyat melalui kebijakan

14
Mudraja Kuncoro, Dasar-Dasar Ekonomika Pembangunan, (Yogyakarta: UPP STIM
YKPN, 2010), h. 209

27
yang telah dibuat oleh pemerintah daerah. Di berbagai daerah, masih terlihat
pemerintah daerah dan D PRD belum mengembangkan pemerintahan yang
melayani.Hal ini terbukti dengan masih banyaknya peraturan daerah yang
tidak pro pembangunan, sedangkan yang pro kesejahteraan malah diabaikan.
Agar otonomi daerah dapat berjalan efektif, Kemendagri harus membuat
penilaian yang terukur, dengan cara penilain yang ketat untuk kinerja
diseluruh daerah. Kemendagri juga diminta untuk membuat panduan
pelaksanaan keuangan dan program daerah secara terstruktur, hal ini untuk
meminimalisir penyimpangan di tingkat daerah.Serta memberi pengarahan
langsung untuk pelaksanaan program pemerintah pusat di daerah.(TEMPO,
2012).15
Indonesia yang notabennya merupakan Negara kepulauan dengan
pulau-pulau didalamnya memungkinkan mudahnya terjadi disintegrasi,
karena disetiap daerah mempunyai kepentingan tersendiri.Dalam hal ini,
otonomi daerah dapat dikatakan sebagai sesuatu yang dapat membuat konflik
antar daerah.Dikatakan demikian, karena dalam otonomi daerah dianggap
masih memunculkan egoisme daerah.Seperti yang dikatakan Tri
RatnawatiPeneliti dari Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), bahwa Sistem pemerintahan ini justru melemahkan negara
akibat munculnya egoisme kedaerahan.KKN terus terjadi sedangkan
kesejahteraan tak kunjung tercapai.Dalam kasus ini, pemerintah pusat
dianggap membiarkan masalah tersebut.Selain itu, pemerintah daerah sering
mengabaikan instruksi dari pemerintah pusat.Ia menyarankan untuk
menerapkan sistem dekonsentrasi parsial bersamaan dengan sistem
desentralisasi, yang dianggap lebih efektif. (TEMPO, 2011).16
Otonomi Daerah juga dikatakan sebagai Pemekaran Wilayah yang
Kebablasan. Dikatakan seperti itu karena, dapat kita ketahui bahwa
15
Ira Guslina Sufa. “16 Tahun, Otonomi Daerah Dinilai Belum Berhasi”, official website
tempo http://www.tempo.co/read/news/2012/04/25/078399531/16-Tahun-Otonomi-Daerah-
Dinilai-Belum-Berhasil ( 18 Mei 2019 )
16
Anton William. “Otonomi Daerah Dianggap Masih Memunculkan Egoisme Daerah”,
official website lipi http://lipi.go.id/berita/otonomi-daerah-dianggap-masih-memunculkan-
egoisme-daerah-/5963 ( 18 Mei 2019 )

28
perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah yang mengikuti ketentuan
UU No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan telah memungkinkan
munculnya ketimpangan fiskal antar daerah. Daerah kaya akan mendapatkan
dana fiskal yang semakin besar sedangkan daerah yang miskin akan
mendapatkan bagian yang semakin kecil. Daerah kaya akan melakukan
pemekaran yang drastis, sedangkan daerah terpencil akan terus tertinggal.
(Surtikanti, Majalah Ilmiah UNIKOM Vol.11 No. 1). 17Seperti yang tertulis
diatas, bahwa daerah yang mendapat dana lebih besar akan merasa daerahnya
lebih baik dibanding dengan daerah lain yang pendanaannya lebih sedikit, hal
tersebut dapat menyulut konflik horizontal. Agaknya, jika otonomi daerah
terus berjalan seperti ini, otonomi daerah bukanlah otonomi daerah lagi
melainkan otonomi daerah yang berbasis sentralisasi, karena pemekaran
wilayah dapat terjadi secara pesat hanya di suatu daerah.Banyaknya wilayah
yang merasa menjadi penyumbang besar pendapatan Negara, sementara
fasilitas yang diterima dirasakan tidak sebanding menjadi pemicu banyaknya
tuntutan pemekaran wilayah yang mencuat.(Liputan6, 2013).18
Dari beberapa uraian masalah diatas, dapat dikatakan bahwa otonomi
daerah belum berjalan baik di daerah-daerah terpencil.Padahal yang kita
ketahui otonomi daerah bertujuan untuk mensejahterahkan rakyat di setiap
daerah dengan pembangunan daerah serta menggali potensi yang dimiliki
setiap daerah. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa selama adanya otonomi
daerah, daerah-daerah yang belum mampu melakukan pemekaran daerahnya
akan termotivasi untuk melakukan pemekaran daerahnya saat melihat daerah
lain yang berhasil melakukan pemekaran wilayah yang baik. Sebagai contoh,
daerah Bandung, Surabaya, Sawahlunto (Sumatera Barat), Jombang.

M. Kaitannya Politik dengan Kebijakan (Otonomi Daerah)

17
Surtikanti. Permasalahan Otonomi Daerah ditinjau dari Aspek Perimbangan Keuangan
Pemerintah Pusat dan Daerah. Majalah Ilmiah UNIKOM bidang Ekonomi. Vol.11 No. 1. Hlm
20-25. UNIKOM. ( 18 Mei 2019 )
18
Citizen6. “Otonomi Daerah dan Pemekaran Wilayah yang Kebablasan”, liputan6
https://www.liputan6.com/citizen6/read/754519/otonomi-daerah-dan-pemekaran-wilayah-yang-
kebablasan ( 18 Mei 2019 )

29
Pada penyelenggaraan pemerintahan, umumnya sebuah kebijakan
negara dibuat oleh institusi pemerintah. Dalam kaitan inilah maka dapat
diartikan bahwa kebijakan erat kaitannya dengan tindakan politik yang
dilakukan oleh aktor politik dalam hal ini adalah pemerintah,baik seseorang,
sekelompok atau organisasi dalam menjalankan misi pemerintahannya, yang
sesungguhnya kebijakan itu merupakan salah satu cara tertentu dalam
mencapai tujuan yang ditetapkan.(Hernan Tori, 2011).19
Jadi kesimpulannya adalah Setiap pemerintah di suatu negara tahu
bahwa tugas utama dari setiap pemerintahanadalah untuk menjamin agar
negara dan bangsanya tetap hidup dan berjaya.Itu semua mencakup dua
tugasyang harusdijalankan, yaitu mempertahankan kemerdekaannya dari
ancaman musuh dari luar, dan yang kedua mengendalikan serta mengelola
konflik internal agar tidak berlarut-larut menjadi perang saudara.

19
Tori, Hernan.Kebijakan Otonomi Daerah dan Keadilan Dalam Mewujudkan Good
Governance.Jurnal TAPIs. Vol.7 No.12 Januari-Juni 2011. Hlm 95.

30
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Di dalam kehidupan politik, tidak dapat terlepas dari aspek, sosial,


budaya bahkan ekonomi.Sedikit banyak, otonomi daerah merupakan bagian
dari implementasi kebijakan ekonomi, keduanya saling terhubung karena
adanya kekuasaan pemaksa yang sah.Karena otonomi daerah sendiri diatur
didalam undang-undang, yang bertujuan untuk pemekaran daerah baik di
bidang politik, ekonomi dan lain sebagainya yang semuanya merupakan
upaya untuk pembangunan Nasional.

Dalam otonomi daerah dapat dikaitkan dengan pembangunan Nasional


diberbagai aspek dengan mengedepankan pemekaran disetiap daerah dengan
diberikannya dana serta kewenangan. Kebijakan otonomi diambil dengan
tujuan politik ekonomi didalamnya, yaitu menciptakan kestabilan politik yang
dapat merangsang pembangunan ekonomi, serta menggerakkan proses
pembagunan politik sesuai dengan jalannya ekonomi.

Namun dalam hal ini, otonomi daerah masih menjadi sebuah pertanyaan
yang dimana di dalamnya, apakah sudah memberikan dampak baik bagi
pembangunan Indonesia atau belum, melihat masih banyaknya masalah yang
ada di daerah seperti, korupsi pendanaan otonomi daerah yang dilakukan
wakil-wakil daerah tanpa mementingkan lagi kesejahteraan masyarakat
daerah. Juga adanya pendanaan yang berat sebelah. Jika sistem pada otonomi
daerah tidak dibenahi, otonomi daerah tidak akan mencapai tujuannya. Oleh
karena itu, diharapkan seluruh elemen Negara terutama pemerintahan dapat
memperbaiki lagi sistem otonomi daerah agar kasus seperti ini dapat
diminimalkan, dan otonomi daerah dapat mencapai tujuannya serta menjadi
sebuah kebijakan yang berhasil memajukan pembangunan Nasional.

31
B. Saran

Menurut penulis kesempurnaan adalah milik Allah swt makalah ini


tidaklah sempurna akan tetapi penulis mencoba memberi kontribusi dalam
khazanah keilmuan khususnya tentang ekonomi politik otonomi daerah. Dan
diharapkan lebih banyak lagi muncul karya ilmiah yang membahas tentang
ekonomi politik daerah.

32
DAFTAR PUSTAKA

Gunawan, Jamil. Desentralisasi Globalisasi dan Demokrasi Lokal. Jakarta:

Pustaka LP3ES Indonesia. 2005.

Hudiyanto. Ekonomi Politik. Jakarta: PT Bumi Aksara.2008.


Jhingan, M.L. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta: Rajawali
Pers.2010.
Kuncoro, Mudrajad. Dasar-Dasar Ekonomika Pembangunan. Yogyakarta: UPP

STIM YKPN. 2010.

Mas’oed, Mothar. Ekonomi Politik internasional dan Pembangunan. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar. 2003.

Surtikanti. Permasalahan Otonomi Daerah ditinjau dari Aspek Perimbangan


Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Majalah Ilmiah UNIKOM bidang
Ekonomi. Vol.11 No. 1. Hlm 20-25. UNIKOM.

Tori, Hernan.Kebijakan Otonomi Daerah dan Keadilan Dalam Mewujudkan


Good Governance.Jurnal TAPIs. Vol.7 No.12 Januari-Juni 2011. Hlm 95.

Liputan6. “Otonomi Daerah dan Pemekaran Wilayah yang Kebablasan” . official


website liputan6 https://www.liputan6.com/citizen6/read/754519/otonomi-
daerah-dan-pemekaran-wilayah-yang-kebablasan (23 Mei 2019).

Markijar, “12 Pengertian Otonomi Daerah Menurut Para Ahli”, official website
markijar http://www.markijar.com/2016/06/12-pengertian-otonomi-daerah-
menurut.html (23 Mei 2019).

Semangat, Anak, Negeri, “Teori Otonomi Daerah”, blog andrisoesilo


https://andrisoesilo.blogspot.com/2014/12/teoriotonomidaerah.html
(23 Mei 2019).

Tempo. “16 Tahun, Otonomi Daerah Dinilai Belum Berhasil”. Official website
tempo http://www.tempo.co/read/news/2012/04/25/078399531/16-Tahun-
Otonomi-Daerah-Dinilai-Belum-Berhasil (23 Mei 2019).

33
Tempo. “Otonomi Daerah Dianggap Masih Memunculkan Egoisme Daerah”.
Official website lipi http://lipi.go.id/berita/otonomi-daerah-dianggap-masih-
memunculkan-egoisme-daerah-/5963 (23 Mei 2019).

Unknown, “Pembangunan Lima Tahun”. Blog wartasejarah


http://wartasejarah.blogspot.com/2014/11/pelita-pembangunan-lima-
tahun.html, (23 Mei 2019).

34

Anda mungkin juga menyukai