Anda di halaman 1dari 32

BAB II

TINJAUAN TEORITIS TENTANG HUKUM ADAT

A. Pengertian Hukum Adat/Tradisi

Pengertian tradisi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adat

kebiasaan turun-menurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam

masyarakat. Adapun pengertian adat menurut sumber yang sama (KBBI) ialah

aturan (perbuatan) lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala. Jadi intinya

antara adat dan tradisi ialah sama-sama merupakan suatu perbuatan yang sudah

menjadi kebiasaan yang ada dan hidup dalam masyarakat, oleh karena itu untuk

kedepan nya penulis akan memakai kata adat dalam pembahsan bab dua ini

dikarenakan kedua kata tersebut memiliki makna yang sama.

Untuk selebihnya adat merupakan suatu perilaku atau kebiasaan yang

timbul dari keadaan masyarakat itu sendiri. Adat istiadat juga merupakan suatu

cerminan yang menggambarkan identitas suatu suku atau bangsa tertentu, karena

antara adat suku atau bangsa yang satu dengan yang lainnya pasti berbeda-beda.

Contohnya antara adat orang sunda dengan adat orang jawa seperti dalam

pelaksanaan acara adat pernikahannya pasti berbeda. Dari kebiasaan-kebiasaan

yang selalu dilakukan oleh masyarakat, lama-lama akan melahirkan suatu hukum

yang dinamakan dengan hukum adat. Dikalangan masyarakat umum, istilah

hukum adat itu tidak dikenal tapi yang dipakai adalah istilah adat saja. Dengan

menyebutkan kata adat saja semua orang akan mengerti yang maksudnya

merupakan suatu kebiasaan yang sering dilakukan berulang-ulang pada suatu

17
18

masyarakat tertentu, sudah tentu di dalamnya terdapat hukum-hukum yang

mengatur tentang adat tersebut dan bagaimana sanksi bagi orang yang

melanggarnya. Istilah hukum adat pertama kali diperkenalkan oleh orang asal

Belanda yaitu Snouck Hurgronje dan istilah hukum adat itu sendiri merupakan

terjemahan dari bahasa Belanda “Adatrecht” (Bushar Muhammad,2003: 1). Dari

situlah awal mulanya istilah hukum adat dikenal yang kemudian banyak

digunakan oleh sarjana-sarjana selanjutnya.

Di beberapa daerah ada istilah-istilah yang menggambarkan pengertian ini,

misalnya; Odot (eudeut) istilah suku Gayo, Ngadat istilah Jateng dan Jatim, Adat

Lembaga/Lembaga istilah Minahasa dan Maluku, Basa (Bicara) istilah Batak

Karo (Iman Sudiyat,1991:2)

Menurut Snouc Hurgronje adat ialah sebagaimana apa yang dilihatnya

dalam alam empiris mengenai apa yang terjadi secara berulang ulang dalam tata

waktu yang berurutan, ringkasnya sebagai kebiasaan-kebiasaan yang terjadi dalam

masyarakat. Menurut Hurgronje mengenai pengertian adat dan hukum adat,

hukum adat mengacu pada pengertian hukum yang selalu mempunyai kemestian

ukuran adanya akibat hukum. Dalam definisinya itu adat masih tetap dalam

pengertian yang tidak jelas. Sedangkan unsur akibat-akibat yang diatur oleh

hukum menimbulkan pertanyaan tentang hukum yang mana? Belum lagi arti

akibat yang dimaksud. (Kosnoe, 1992:46)

Menurut Snouc Hurgronje yang dikutip Hilman Hadikusuma (1992:9) di

Eropa Belanda adat dan hukum adat berbeda. Hukum adat ialah adat yang

mempunyai sanksi sedangkan adat yang tidak mengandung sanksi adalah


19

kebiasaan normatif yaitu kebiasaan yang berwujud aturan tingkah laku yang

berlaku di dalam masyarakat. Namun pada kenyataannya antara adat dan hukum

adat kebiasaan itu batasnya tidak jelas. Maka dilihat dari perkembangan hidup

manusia, terjadinya hukum itu dimulai dari pribadi manusia yang diberi tuhan

akal dan pikiran. Perilaku yang terus menerus dilakukan oleh perorangan dan

menimbulkan kebiasaan pribadi. Apabila kebiasaan pribadi itu ditiru orang lain

maka ia akan menjadi kebiasaan orang itu. Lambat laun diantara orang satu

dengan orang yang lain di dalam kesatuan masyarakat kesatuan ikut pula

melaksanakan kebiasaan itu, kemudian apabia seluruh anggota masyarakat

melakukan prilaku kebiasaan tadi, maka lambat laun kebiasaan itu menjadi adat

dari masyarakat itu. Jadi adat adalah kebiasaan masyarakat dan kelompok-

kelompok masyarakat lambat laun menjadikan adat itu sebagai adat yang

seharusnya berlaku bagi semua anggota masyarakat.

Sedangkan menurut B. Ter Harr adat dan hukum adat berbeda jika melihat

dari definisi yang diuraikannnya tentang hukum adat yaitu keseluruhan aturan

aturan yang menjelma dari keputusan keputusan para fungsionaris hukum yang

mempunyai kewibaan serta mempunyai pengaruh dan dalam pelaksanaan

berlakunya serta merta dan ditaati dan sepenuh hati (Hilman Hadikusuma,

2003:14). Menurutnya tidak ada alasan untuk menyatakan sesuatu dengan sesuatu

hukum tanpa adanya keputusan-keputusan tentang hukum oleh para petugas

hukum masyarakat. Demikian pendapat Ter Har tentang pengertian hukum adat

ialah adat yang diputuskan oleh para petugas adat itu, ialah adat yang seharusnya

berlaku dalam masyarakat. Pendapat Ter Haar tidak disetujui oleh Loggeman
20

yang cenderung menyamakan adat dan hukum adat. Adat tidak mutlak sebagai

hukum keputusan.

Ia tidak sependapat bahwa adat itu baru merupakan hukum adat, apabila

telah dimasukan ke dalam keputusan hakim. Walaupun hakim merupakan faktor

yang sangat penting dalam menentukan mana yang merupakan hukum adat dan

mana yang adat saja (Hilman Hadikusuma, 1992:15-16). Pendapat Logemen juga

diikuti oleh Hazairin bahwa adat adalah renapan kesusilaan dalam mayarakat.

Yaitu bahwa kadah-kadah adat itu berupa kaidah kaidah kesusilaan yang

sebenarnya telah mendapat pengakuan umum alam masyarakat itu. (Hilman

Hadikusuma, 1992:19)

Lebih jelasnya lagi menurut Hazairin yang dikutip oleh Surojo

Wignjodipuro (1995: 16) mengatakan bahwa adat itu adalah endapan kesusilaan

dalam masyarakat, bahwa kaidah-kaidah adat itu berupa kaidah-kadiah kesusilaan

yang kebenarannya telah dapat pengakuan umum dalam masyarakat itu meskipun

ada perbedaan sifat atau perbedaan corak antara kaidah-kaidah kesusilaan dan

kaidah-kaidah hukum. Namun bentuk-bentuk perbuatan yang menurut hukum

dilarang atau disuruh itu adalah menurut kesusilaan bentuk-bentuk yang dicela

atau yang dianjurkan juga, sehingga pada hakikinya dalam patokan lapangan itu,

hukum itu berurat pada kesusilaan. Apa yang tidak dapat terpelihara lagi hanya

oleh kaidah-kaidah kesusilaan, didikhtiarkan pemeliharaannya dengan kaidah-

kaidah hukum. Yang dimaksud dengan kaidah hukum ialah kaidah yang tidak

hanya didasarkan kepada kebebasan pribadi tetapi serentak mengekang pula


21

kebebasan itu dengan suatu gertakan, suatu ancaman paksaan, yang dapat

dinamakan ancaman hukum atau penguatan hukum.

Pada umumnya dikalangan masyarakat daerah yang tidak mempelajari

adat sebagai ilmu pengetahuan, dalam pembicaraan sehari-hari, orang tidak

membedakan adat dan hukum adat. Kedua istilah itu diartikan sama saja dan

istilah yang banyak digunakan hanya kata adat bukan kata hukum adat, jadi

dengan mengatakan adat berarti meliputi adat, baik adat yang mempunyai sanksi

dan adat yang tanpa sanksi.

Lebih jauh Bushar Muhammad (2003; 19) mengatakan kesadaran rata-rata

dari para anggota masyarakat memang dapat merasakan apa yang patut dan apa

yang tidak patut. Jadi pangkal haluan berpikir kita adalah terletak pada adat atau

kesusilaan. Seseorang bermaksud memberi penilaain terhadap segala tingkah laku

dari segi kepatutan yang dianut dan diyakini serta dipertahankan oleh masyarakat

adat. Kesadaran akan kepatutan ini difahami benar-benar oleh para fungsionaris

hukum dalam masyarakat sendiri. Oleh karena itu, seseorang lebih cenderung

untuk tidak menarik garis tebal atau mendirikan tembok pemisah antara yang

disebut adat dan yang disebut hukum adat.

B. Corak dan Sistem Hukum Adat

1. Corak Hukum Adat

Menurut Hilman Hadikusuma (1992: 33-38), corak hukum adalah hukum

adat Indonesia yang normatif pada umumnya menunjukan corak tradisional,

keagamaan, kebersamaan, konkret, visual, terbuka dan sederhana, dapat

berubah dan menyesuaikan, tidak dikodifikasi, musyawarah dan mufakat.


22

Dengan demikian, corak hukum adat merupakan refleksi cara pandang suatu

kesatuan kehidupan bersama yang menjadi corak kehidupan bersama

Sedangkan menurut Koesnoe (1992: 7) ada lima adat yaitu kiasan, utuh,

bekerja dan kepercayaan. Kedua pendapat tersebut saling melengkapi satu

sama lain. Diantara pendapat Hilman Hadikusuma tentang corak hukum adat

yaitu:

a. Kepercayaan (Religio Magis)

Religio magis bersifat kesatuan batin, orang segolongan merasa satu

dengan golongan seluruhnya dan tugas persekutuan adalah memelihara

keseimbangan lahir dan batin antara anggota dan lingkungan alam

hidupnya. Kebahagiaan sosial didalam persekutuan akan tetap terjamin

apabila keseimbangan itu dipelihara dengan semestinya.

Hukum adat itu pada umumnya bersifat kepercayaan (religio magis),

artinya prilaku hukum atau kaidah-kaidah hukumnya berkaitan dengan

kepercayaan terhadap yang gaib dan atau berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa. Menyatakan bahwa alam berpikiran religio magis itu

mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:

1. Kepercayaan kepada makhluk-makhluk halus, roh-roh, dan hantu-

hantu yang menepati seluruh alam semesta dan seluruh gejala-gejala

alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, tubuh manusia dan benda-benda.

2. Kepercayaan kepada kekuatan sakti yang meliputi seluruh alam

semesta dan khusus terdapat dalam pristiwa-pristiwa yang luar biasa,


23

tubuh manusia yang luar biasa, benda-benda luar biasa dan suara yang

luar biasa.

3. Anggapan bahwa kekuatan sakti yang pasif itu digunakan sebagai

magische kracht dalam berbagi perbuatan ilmu gaib untuk mencapai

kemauan manusia atau untuk menolak bahaya gaib.

4. Anggapan bahwa kelebihan kekuatan sakti dalam alam menyebabkan

keadaan kritis, menyebabkan timbulnya berbagai macam bahaya gaib

yang hanya dihindari dengan berbagai pantangan (Hilman

Hadikusuma, 1992: 34).

Menurut Bushar Muhammad (2003: 88), mengemukakan suatu

pengertian (participerend kosmisch) yang singkatanya mengandung

pengertian kompleks, yaitu orang Indonesia pada dasarnya berpikir dan

merasa dan bertindak didorong oleh kepercayaan (religi) kepada tenaga-

tenaga gaib (magis) yang mengisi, menghuni alam semesta. Menurut

kepercayaan tradisional, tiap-tiap masyarakat diliputi oleh kekuatan gaib

yang harus dipelihara agar masyarakat itu tetap aman tentram bahagia.

Tidak ada pembatasan antara dunia lahir dan dunia gaib serta tidak ada

pemisahan antara berbagai macam lapangan kehidupan, seperti kehidupan

manusia, alam, arwah-arwah nenek moyang dan kehidupan makhluk-

makhluk lainnya. Adanya pemujaan-pemujaan khususnya terhadap arwah-

arwah dari pada nenek moyang sebagai pelindung adat istiadat yang

diperlukan bagi kebahagiaan masyarakat. Setiap kegiatan atau perbuatan-

perbuatan bersama seperti membuka tanah, membangun rumah, menanam


24

dan peristiwa-pristiwa penting lainnya selalu diadakan upacara-upacara

religious yang bertujuan agar maksud dan tujuan mendapat berkah serta

tidak ada halangan dan selalu berhasil dengan baik. Arti religio magis

adalah:

1. Bersifat kesatuan batin

2. Ada kesatuan dunia lahir dan dunia gaib.

3. Ada hubungan dengan arwah-arwah nenek moyang dan makhluk

4. makhluk halus lainnya

5. Percaya adanya kekuatan gaib.

6. Pemujaan terhadap arwah-arwah nenek moyang.

7. Setiap kegiatan selalu diadakan upacara-upacara religious.

8. Percaya adanya roh-roh halus, hantu-hantu yang menempati alam

semesta seperti terjadi gejala-gejala alam, tumbuh-tumbuhan, binatang,

batu dan lain sebagainya.

9. Percaya adanya kekuatan sakti.

10. Adanya beberapa pantangan-pantangan.

Dari pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan corak keagamaan

mempunyai ciri kepercayaan memelihara bahwa masyarakat sebagai suatu

keseluruhan percaya kepada adanya dunia gaib, yang mengatasi kekuatan

manusia (religio magis). Dunia gaib itu mempengaruhi bahkan

menentukan nasib manusia.

Oleh karena itu menurut Bushar Muhammad (2003: 7) menyimpulkan

bahwa adat itu mempunyai unsur-unsur asli maupun keagamaan,


25

walaupun pengaruh agama itu tidak terlalu besar dan hanya ada dibeberapa

daerah saja. Misalnya di Banten dan Bali ada larangan untuk menjual padi

yang masih hijau buahnya, di berbagai daerah berlaku jika kawin

mendahui kakanya maka adik nya harus memberi barang “pelangkah”

kepada kakak yang di langkahinya agar tidak terjadi hal yang buruk.

Orang yang beragama Hindu (Bali) di tanah sawahnya mendirikan tugu

tempat meletakan sajian.

b. Tradisional

Hukum adat pada umumnya bercorak tradisional, artinya bersifat turun

temurun, dari zaman nenek moyang sampai ke anak cucu sekarang,

keadaannya masih tetap berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat

bersangkutan. Hingga sekarang tetap dipakai, tetap diperhatikan dihormati

dan dilakukan secara turun temurun walaupun tidak tahu awal sejarahnya

(Hilman Hadikusuma, 1992: 33).

Perilaku turun temurun dan tradisional cenderung mewarnai kehidupan

masyarakat hukum adat. Kehidupan sudah berjalan sejak nenek moyang.

Berbagai tatanan kebiasaan telah ada bahkan tetap dipertahankan namun

ada rasa tidak enak kurang nyaman apabila tidak dilaksanakan apalagi

harus ditinggalkan (I Gede A.B Wiranata 2003: 68).

c. Kebersamaan (Komunal)

Hukum adat mempunyai corak yang bersifat kebersamaan (komunal),

artinya lebih mengutamakan kepentingan bersama, di mana kepentingan

pribadi itu diliputi oleh kepentingan bersama. Satu untuk semua dan
26

semua untuk satu. Hubungan hukum antara anggota masyarakat yang satu

dan yang lain didasarkan oleh rasa kebersamaan, kekeluargaan, tolong-

menolong dan gotong-royong (Hilman Hadikusuma, 1992: 35). Adat juga

dalam kehidupan manusia selalu dilihat dalam wujud kelompok, sebagai

suatu kesatuan yang utuh, individu satu dengan yang lain tidak mungkin

hidup menyendiri tanpa terkait dalam pesenyawaan cita rasa, akal budinya

dan keadaan. (Koesnoe, 1992: 8)

Hidup bersama di dalam masarakat tradisional Indonesia bercorak

komunal. Manusia di dalam hukum adat adalah orang yang terikat kepada

masyarakat, tidak sama sekali bebas dalam segala perbuatannya. Suasana

tradisional di masyarakat desa bersifat gotong royong atau tolong

menolong. Bantuan yang diberikan itu dengan sendirinya mengikat, atinya

siapa telah menerima sesuatu bantuan dari seseorang maka terhadap orang

itu jika tiba waktunya ia harus memberikan bantuan serupa itu pula.

Antara teman sekeluarga, antara teman sedesa adalah keharusan saling

bantu-membantu (Surojo Wignjodipuro, 1995: 96)

Hak-hak umum didalam hidup bersama didalam masyarakat bercorak

kemasyarakatan tradisional bercorak komunal. Manusia didalam hukum

adat adalah orang yang terkait kepada masyarakat. Individu pada asasnya

bebas dalam segala laku perbuatanya asal saja tidak melanggar batas-batas

hukum yang telah ditetapkan (I Gede A.B Wiranata, 2003: 57-58).

Oleh karenanya hingga sekarang kita masih dapat melihat adanya

rumah gadang di tanah Minangkabau, tanah pusaka yang tidak terbagi-


27

bagi secara individual melainkan menjadi milik bersama untuk

kepentingan bersama. Di pedesaan Jawa jika ada tetangga menderita

kesusahan atau kematian, maka para tetangga berdatangan menyampaikan

bela sungkawa. Orang jawa mengatakan “dudu sanak dudu kadang ning

yen mati melu kalangan” sanak bukan, saudara bukan jika ada yang mati

turut merasa kehilangan (Hilman Hadikusuma, 1992: 35).

d. Konkret dan Visual

Corak adat adalah konkret artinya jelas, nyata, terwujud. Konkret itu

sama artinya bahwa adat itu tidak begitu tertarik kepada suatu peraturan

yang merinci, ketat dan tepat dengan batasan yang mati akan dirinya

(Hilman Hadikusuma, 1992: 35), atau dengan kata lain maksudnya adalah

bahwa tiap-tiap perbuatan atau keinginan atau hubungan-hubungan

tertentu dinyatakan dengan benda-benda berujud.

Adapun menurut I Gede A.B Wiranata (2003: 64) konkret artinya

jelas, nyata, berwujud, dan visual artinya kasat mata, dapat dilihat

langsung, terbuka, tidak tersembunyi. Tiap-tiap perbuatan atau keinginan

dan hubungan hukum tertentu didalam masyarakat hukum adat senantiasa

dinyatakan dengan perwujudan benda/pelambang, nyata, diketahui dan

dilihat serta didengar orang lain. Makna antara kata dan perbuatan berjalan

secara bersama-sama. Setiap kata yang disepakati selalu diikuti oleh

perbuatan nyata secara bersamaa. Dalam hukum adat itu terang, tunai,

tidak samar-samar, terang disaksikan, diketahui, dilihat, dan didengar serta

nampak terjadi ijab kabul serah terimanya nyata.


28

Sebagai contoh dalam perjanjian jual-beli tanah misalnya, dimana

pihak pembeli dan penjual telah sepakat tetapi harga tanah belum dibayar

dan tanah belum diserahkan penjualnya, biasanya pembeli memberi panjer

sebagai tanda jadi. Artinya si penjual tanah tidak boleh lagi menjual

kepada orang lain. Tanda jadi atau panjer itu juga berlaku dalam hubungan

perkawinan yang disebut paningset. Apabila pihak wanita telah menerima

paningset maka wanita yang akan dikawinkan tidak boleh lagi dilamar dan

diberikan kepada orang lain. Begitu juga di tanah hutan yang akan dibuka

menjadi ladang apabila nampak sudah ada tanda mebali (tanda silang di

atas pohon) maka berarti tanah itu sudah ada yang akan membukannya

tidak boleh lagi orang lain membuka tanah itu.

e. Tidak Dikodifikasi

Dalam upacara adat kebanyakan tidak tertulis, walaupun ada juga yang

dicatat dalam daerah, bahkan ada yang dibukukan dengan cara yang

sistematis, namun hanya sekedar sebagai pedoman dan sekedar

dilaksanakan. Oleh karena itu, hukum adat mudah berubah, dan dapat

disesuakan dengan perkembangan masyarakat (Hilman Hadikusuma,

1992: 38).

Adat kebanyakan tidak ditulis, walaupun ada juga yang dicatat dalam

aksara daerah, bahkan ada yang yang dibukukan dengan cara yang tidak

sistematis, namun hanya sekadar sebagai pedoman bukan mutlak harus

dilaksanakan, kecuali yang bersifat perintah Tuhan. Jadi adat pada

umumnya tidak dikodifikasi seperti hukum barat (Eropa), yang disusun


29

secara teratur dalam kitab yang disebut kitab perundangan. Oleh

karenanya maka adat itu mudah berubah, dan dapat disesuaikan dengan

perkembangan masyarakat. Namun ia tetap “berajo ke kato mupakat dan

berajo ke alur dan patut”, dalam hubungannya dengan ini maka hukum

adat pada masa silam lebih menyukai bentuk rumusan, dapat menimbulkan

salah sangka (Koesnoe, 1992:8).

f. Dapat Berubah dan Menyesuaikan

Adat itu dapat berubah menurut keadaan waktu dan tempat. Orang

Minangkabau berkata “Sekali aik gadang sakali tapian beranja, sakali

raja baganti, sakali adat berubah” (Begitu air besar, begitu pula tempat

pemandian bergeser, begitu pemerintah berganti, begitu pula adat lalu

berubah). Adat yang nampak pada kita sekarang sudah jauh berbeda dari

adat di masa Hindia Belanda. Begitu pula apa yang dikatakan di atas

kebanyakan transaksi tidak dibuat dengan bukti tertulis, namun sekarang

dikarenakan kemajuan pendidikan dan banyaknya penipuan yang terjadi

dalam masyarakat, maka sudah banyak pula transaksi itu dibuat dengan

surat menyurat walaupun di bawah tangan tidak/belum di muka Notaris

(Hilman Hadikusuma,1992 :37).

g. Terbuka dan Sederhana

Corak adat itu terbuka artinya dapat menerima masuknya unsur-unsur

yang datang dari luar asal saja tidak bertentangan dengan jiwa adat itu

sendiri. Corak dan sifatnya yang sederhana artinya bersahaja, tidak rumit,
30

tidak banyak administrasinya, bahkan kebanyakan tidak tertulis, mudah

dimengerti dan dilaksanakan berdasar saling percaya mempercayai.

Keterbukaan misalnya dapat dilihat dari masuknya pengaruh hukum

Hindu, dalam hukum perkawinan adat yang disebut kawin anggau,” jika

suami wafat maka istri kawin lagi dengan saudara suami, atau masuknya

pengaruh hukum Islam dalam hukum waris adat yang disebut bagian

“sepikul segendong”, bagian warisan bagi ahli waris pria dan wanita

sebanyak 2 : 1.

Kesederhanaan misalnya dapat dilihat dari terjadinya transaksi-

transaksi yang berlaku tanpa surat-menyurat, misalnya dalam perjanjian

bagi hasil antara pemilik tanah dan penggarap. Cukup adanya kesepakatan

dua pihak secara lisan, tanpa surat menyurat dan kesaksian kepala desa.

Begitu pula dalam transaksi yang lain seperti gadai, sewa-menyewa,

hutang-piutang, tukar-menukar, sangat sederhana karena tidak dengan

bukti tertulis. Selanjutnya dalam perkawinan di masa lampau memang

tidak memakai surat kawin, bahkan sekarang di kalangan kaum petani

tidak begitu membutuhkan akta perkawinan apalagi jika biayanya mahal.

Dalam pembagian warisan menurut adat jarang sekali dibuatkan surat-

menyurat tanda pembagian dan banyaknya bagian para ahli waris tidak ada

ketentuan seperti hukum barat dalam KUHP Perdata atau seperti hukum

Islam tentang ketentuan banyaknya bagian masing-masing yang telah

ditetapkan dalam Al-Quran dan Al-Hadits. Apalagi jika harta peninggalan


31

itu memang sifatnya tidak terbagi-bagi, melainkan millik bersama (Hilman

Hadikusuma, 1992:36-37).

h. Musyawarah dan Mufakat.

Adat mengutamakan adanya musyawarah dan mufakat, di dalam

keluaga, di dalam hubungan kekerabatan dan ketetanggaan, baik untuk

memulai suatu pekerjaan maupun dalam mengakhiri pekerjaan, apalagi

yang bersifat peradilan dalam menyesuaikan perselisihan antara yang satu

dan yang lain. Di dalam penyelesain perselisihan selalu diutamakan jalan

penyelesaian secara rukun dan damai dengan musyawarah dan mufakat,

dengan saling memaafkan, tidaklah begitu saja langsung menyampaikan

ke pengadilan Negara. Jalan penyelesaian damai itu membutuhkan adanya

i’tikad baik dari para piha dan adanya semangat yang adil dan bijaksana

dari orang yang dipercayakan sebagai penengah atau semangat dari

majelis permusyawaratan adat. Peribahasa Lampung dalam bermufakat

“mak patoh lamenn lemoh mak pegat lamen kendur” (takan patuh jika

lemah tak kan putus jika kendur) (Hilman Hadikusuma, 1992: 38).

2. Sistem Hukum Adat

Suatu sistem merupakan susunan yang teratur dari berbagai unsur di mana

unsur yang satu dan yang lain secara fungsional saling bertautan, sehingga

memberikan suatu kesatuan pengertian. Fuad Hasan menyatakan bahwa suatu

sistem adalah susunan yang berfungsi dan bergerak (Hilman Hadikusuma,

1992: 39).
32

Selanjutnya berbicara mengenai sistem hukum adat ini menurut Soepomo

(1993:45) menyebutkan bahwa tiap-tiap hukum merupakan suatu sistem yaitu

peraturan-peraturannya merupakan suatu kebulatan berdasarkan atas kesatuan

alam fikiran, begitupun Hukum Adat. Sistem Hukum Adat bersendi atas

dasar-dasar alam pikiran Bangsa Indonesia yang tidak sama dengan alam

pikiran yang menguasai sistem hukum barat. Untuk dapat sadar sistem hukum

adat orang harus menyelami dasar-dasar alam pikiran yang hidup didalam

masyarakat Indonesia.

Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, maka apabila dibandingkan

dengan Hukum Barat (Eropa) sistematik Hukum Adat Orang Lampung yang

disebut “Kuntjara Raja Niti” (tidaklah sistematis oleh karena tidak

dikelompokkan kaidah-kaidah hukum yang sama, uraian pasal-pasalnya pun

melompat-lompat). Sistematika adat mendekati sistem hukum Inggris Anglo

Saxon yang disebut Common Law, sistematikanya berada dari Civil Law dari

Eropa Kontinental. Misalnya ada tidak mengenal perbedaan antara hak

kebendaan dan hak perorangan dan tidak membedakan antara perkara perdata

dan perkara pidana (Hilman Hadikusuma, 1992:39).

Sehubungan dengan hal tersebut diatas maka Sistem Hukum Adat adalah

mencakup hal-hal sebagai berikut.

a. Mendekati Sistem Hukum Inggris

Menurut Djojodigeono dikatakan bahwa “Dalam Negara Aglo Saxon

dimana sistem Common Law tidak lain daripada sistem hukum adat hanya

bahannya berlainan. Didalam Hukum Common Law bahannya membuat


33

banyak unsur-unsur Hukum Romawi Kuno yang konon katanya telah

mengalami Receptio In Complexu.

Kemudian didalam Enciklopedia Americana (1983) dikatakan”

“Bahwa Civil Law di Eropa Barat dan daerah-daerah yang pernah dikuasai

oleh Orang Eropa bertindak kepada Hukum Romawi, bersumber dari

badan legislatif dan berbentuk kodifikasi sedangkan Common Law di

Inggris dan didaerah-daerah lain yang kebanyakan berasal dari keputusan-

keputusn hakim. Oleh karenanya istilah Common Law merupakan hukum

yang disebut sebagai Judge Made Law berbeda Civil Law yang merupakan

statury law.

Common Law di Inggris berkembang sejak formulaan abad ke IX

dibawah kekuasaan Raja William The Qonqueror yang meletakkan dasar-

dasar pemerintahan pusat pada peradilan Raja yang disebut Curia Regis

yaitu peradilan yang menyelesaikan berbagai perkara suatu perselisihan

secara damai.

Jadi, di Inggris dikenal adanya Juru Damai yang disebut Justice of the

peac. Hal ini mirip Peradilan Adat (peradilan desa) di Indonesia yang

menyelsaikan perkara perselisihan secara damai (dimasa-masa lalu dan

sekarang sudah tidak berlaku). Namun di Inggris seseorang menuntut

orang lain di muka Hakim Pidana tanpa melalui badan penuntut.

b. Tidak Membedakan Hukum Publik dan Hukum Privat

Hukum Adat kita tidak seperti halnya Hukum Eropa dimana

membedakan antara hukum yang bersifat publik dan bersifat perdata.


34

Hukum publik yang menyangkut kepentingan umum seperti Hukum

Ketata Negaraan yang mengatur tugas-tugas pemerintahan dan anggota-

anggota masyarakat. Hukum Perdata dan Hukum Sipil (privat) yang

mengatur hubungan antara anggota-anggota masyarakat yang satu dengan

yang lainnya, dan anggota masyarakat terhadap badan negara sebagai

badan hukum.

Pembagian Hukum Publik dan Hukum Privat ini berasal dari Hukum

Romawi. Hukum Publik dipertahankan oleh pribadi-pribadi individu.

Hukum adat tidak membedakan berdasarkan kepentingan dan siapa yang

mempertahankannya dari kepentingan yang dimaksud. Dengan demikian

tidak ada perbedaan antara kepentingan umum dan kepentingan khusus.

c. Tidak Membedakan Hak Kebendaan dan Hak Perorangan

Hukum Adat tidak membedakan antara hak kebendaan (zakelijke

rechten) yaitu hak yang berlaku bagi setiap orang dan hak perseorangan

(persolijke rechken) yaitu hak seseorang untuk menuntut orang lain agar

berbuat atau tidak berbuat terhadap hak-haknya.

Menurut Hukum Barat atau Eropa setiap orang yang mempunyai hak

atas sesuatu benda berarti ia berkuasa untuk berbuat (menikmati,

memakai, mentransaksikan) benda miliknya itu dan sekaligus karenanya

mempunyai hak perseorangn atas hak miliknya itu. Antara kedua hak itu

tidak terpisah. Namun menurut Hukum Adat, hak-hak kebendaan dan hak-

hak perseorangan baik berwujud benda maupun tidak berwujud benda

seperti hak atas nyawa, kehormatan hak cipta dan lain-lainnya tidak
35

bersifat mutlak sebagai hak pribadinnya sendiri oleh karena pribadinya

tidak lepas hubungan dengan kekeluargaan dan kekerabatannya.

d. Tidak Membedakan Pelanggaran Perdata dan Pidana

Hukum Adat juga tidak membedakan antara perbuatan yang sifatnya

pelanggaran hukum perdata dan pelanggaran hukum pidana sehingga

perkara perdata diperiksa oleh hakim perdata dan perkara pidana diperiksa

oleh hakim pidana.

Menurut peradilan adat kedua pelanggaran dimaksud yang dilakukan

seseorang diperiksa, dipertimbangkan dan diputuskan sekaligus dalam

suatu persidangan yang tidak terpisah.

Misalnya:

A memiliki hutang kepada B, setelah B 2 kali menagih kepada A akan

tetapi A tidak nampak berusaha untuk melunasi hutangnya. Ketika B

menagih A untuk ketiga kalinya, bukannya B dilayani dengan baik namun

malah memukul B sampai kepalanya terluka. B kemudian melaporkan

perkara tersebut ke pihak yang berwenang untuk di sidangkan di

pengadilan.

Menurut Hukum Barat (Eropa), perkara penganiayaan itu diperiksa

oleh Hakim Pidana dan perkara utang piutang di periksa oleh Hakim

Perdata dalam pengadilan yang terpisah. Namun Menurut Hukum Adat,

kedua perkara tersebut diperiksa sekaligus dalam persidangan (misalnya

diputus oleh hakim bahwa A bersalah dan dihukum agar melunasi

hutangnya dan membayar denda pula kepada B atas perbuatan


36

penganiayaannya, kemudian keluarga B wajib meminta maaf dan hidup

rukun kembali dengan keluarga A). Dengan demikian kehidupan yang

terganggu didalam kehidupam masyarakat yang bersangkutan

dikembalikan (dipulihkan) seperti sedia kala (Hilman Hadikusuma,

1992:39-42).

Dengan adanya perbedaan-perbedaan yang fundamental dalam sistem

ini menurut Surojo Wignjodipuro (1994:70) pada hakikatnya disebabkan

oleh karena hal-hal sebagai berikut:

a. Corak serta sifat yang berlainan antara hukum adat dan hukum barat

(Eropa),

b. Pandangan hidup (volkgeist) yang mendukung kedua macam hukum

itupun berbeda.

Aliran Hukum Barat bersifat libralistis dan bercorak nasionalistis-

intelektualis, sedangkan aliran Timur khususnya aliran pikiran tradisional

Indonesia bersifat kosmis, tidak ada pembatasan antara dunia lahir dan

dunia ghoib, dunia manusia berhubungan erat dengan segala hidup di alam

ini. Segala sesuatu memiliki sangkut paut dan saling mempengaruhi.

Lebih jauh Imam Sudiyat mengatakan (1991: 30) bahwa hukum adat

dipandang sangat rendah derajatnya daripada hukum barat. Adat hanya

dipandang baik untuk golongan Indonesia saja tetapi tidak patut

diberlakukan diatas orang Eropa terutama dalam masalah hukum pidana

dan perdata.
37

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Perkembangan Hukum

Adat

Menurut Surojo Wignjodipuro (1995: 31-35), ada beberapa faktor yang

dapat mempengaruhi proses perkembangan hukum adat, diantaranya adalah magi

dan animisme, agama, kekuasaan-kekuasaan yang lebih tinggi dan hubungan

dengan orang-orang ataupun kekuasaan asing.

Diantara pendapat Surojo Wignjodipuro tentang faktor yang dapat

mempengaruhi proses perkembangan hukum adat yaitu:

1. Magi dan Animisme

Alam pikiran mistis magis serta pandangan hidup animistis-magis

sesungguhnya dialami oleh setiap bangsa di dunia ini. Hanya perkembangan

alam pikiran serta pandangan hidup seterusnya tiap bangsa mengalami proses

sendiri-sendiri yang pada umunya tidak sama, sebab proses ini dipengaruhi

oleh iklim, watak dan kondisi alamnya sendiri-sendiri.

Di Indonesia, faktor magi dan animism ini pengaruhnya ternyata begitu

besar sehingga tidak dapat atau belum dapat hilang didesak oleh agama yang

kemudian datang. Hal ini terlihat dalam wujud pelaksanaan-pelaksanaan

upacara adat yang bersumber pada kepercayaan kekuasaan-kekuasaan serta

kekuatan-kekuatan ghaib yang dapat dimohon bantuannya.

Menurut Mr. Is. H. Cassuttso dalam bukunya “Adatrech Van Ned-Indie”

yang dikutip oleh Surojo Wignjodipuro (1995: 31), pengaruh magi dan

animism ini khususnya terlihat dalam empat hal sebagai berikut:


38

a. Pemujaan roh-roh leluhur, sehingga hukum adat oleh karenanya kadang-

kadang disebut juga oleh bangsa Barat adat leluhur.

b. Percaya adanya roh-roh jahat dan baik.

c. Takut kepada hukuman ataupun pembalasan oleh kekuatatan gaib. Hal ini

menyebabkan adanya kebiasaan mengadakan ziarah-ziarah serta sesajen

kepada tempat-tempat yang dianggap keramat.

d. Dijumpainya dimana-mana orang-orang oleh rakyat dianggap dapat

melakukan hubungan dengan roh-roh dan kekuatan-kekuatan gaib tersebut

di atas.

Van Vollenhoven mengatakan, bahwa magis itu justru merupakan

kunci yang dapat membuka pintu gerbang hukum adat.

2. Agama

Pengaruh besar ternyata besar sekali terlihat dalam hukum perkawinan,

yaitu dalam acara melangsungkan dan memutuskan perkawinan. Dapat

dikatakan bahwa orang yang memeluk agama Islam tunduk pada hukum

perkawinan Islam, bahkan dapat dikatakan bahwa baginya hukum perkawinan

Islam sudah menjadi hukum perkawinannya sendiri.

Tetapi resepsi hukum perkawinan Islam dalam hukum adat ini, di seluruh

Indonesia tidak sama kuatnya. Di Jawa dan Madura resepsinya sudah bulat,

sehingga suatu perkawinan baru dianggap sah apabila akad nikahnya

dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum perkawinan Islam. Memang

sebelum dan sesudah akad nikah menurut hukum perkawinan Islami ini ada

dilakukan upacara-upacara perkawinan adat.


39

Di Lampung di daerah Peminggir, suatu perkawinan itu belum dianggap

sah meskipun akad nikah telah dilakukan menurut hukum perkawinan Islam,

apabila perayaan perkawinan menurut adat belum diadakan, akibatnya kedua

mempelai suami istri belum dapat hidup campur.

Di Tanapuli dan Minangkabau belum ada resepsi secara bulat dalam

hukum adat, sebab hukum perkawinan adat kedua daerah ini masih tetap

exogam, sedangkan hukum perkawinan Islam tidak ada keharusan ini. Untuk

menghindari segala kesulitan, maka oleh pemerintah kolonial Belanda dahulu

diadakan peraturan khusus yang mengharuskan yang bersangkutan

menunjukan keterangan tertulis dari kepala adatnya yang menyatakan bahwa

tidak ada halangan untuk melakukan perkawinan yang dikehendaki Surojo

Wignjodipuro (1995:33).

3. Kekuasaan-Kekuasaan Yang Lebih Tinggi

Kekuasaan yang lebih tinggi adalah kekuasaan-kekuasaan yang meliputi

daerah daerah yang lebih luas daripada wilayah satu persekutuan hukum,

misalnya seperti kekuasaan raja-raja. Kepala kuria, nagari dan lain sebagainya.

Pengaruh kekuasaan-kekuasaan ini ada yang bersifat positif dan ada yang

bersifat negatif. Positif berupa penetapan peraturan-peraturan perundang-

undangan yang berlaku dalam wilayah kerajaannya. Sedangkan bersifat

negatif berupa tindakan-tindakan yang menginjak-nginjak ketentuan-

ketentuan ada sesuatu persekutuan.

Kepala-kepala yang dimaksud di atas pada hakikatnya adalah pembinaan-

pembinaan hukum adat yang wajib memberikan petunjuk-petunjuk serta


40

pemecahannya apabila masalah-masalah hukum dalam kehidupan sehari-hari.

Oleh karena itu ia harus bijaksana dan hati-hati sekali, sebab tiap

keputusannya harus dapat dianggap sebagai keputusan yang mencerminkan

kehendak rakyat, yang dapat menciptakan rasa keadilan rakyat. Berhubungan

itu, maka ia dalam mengambil keputusan wajib memperhatikan keputusan

dengan sungguh-sungguh segala wujud perubahan sosial serta tiap proses

perkembangan rasa keadilan masyarakat yang bersangkutan. Kepala rakyat

haruslah bersikap bijasana, sebab kecerobohan sikapnya dapat memberikan

keputusan yang negatif sebab tidak sesuai dengan keinginan rakyat, sehingga

pengaruhnya akan sangat merugikan pada hukum adat. Sedangkan kalau sikapnya

bijaksana, maka hal ini akan memberikan pengaruh yang positif (Surojo

Wignjodipuro, 1995: 34-35).

4. Hubungan dengan Orang-Orang ataupun Kekuasaan Asing

Faktor ini sangat besar pengaruhnya. Hukum adat yang semula sudah

meliputi segala bidang kehidupan hukum, oleh kekuasaan asing yaitu

kekuasaan penjajahan belanda, menjadi terdesak sedemikian rupa, hingga

akhirnya praktis meliputi bidang perdata materil saja.

Lain daripada itu, alam pikiran barat yang dibawa oleh orang-orang dan

kekuasaan asing dalam pergaulan hukumnya, mempengaruhi pula

perkembangan cara berpikir orang-orang Indonesia. Lebih erat hubungan ini,

lebih besar pengaruhnya. Sebagai salah satu hasil pengaruh alam pikian barat

dalam hukum adat adalah timbulnya proses individualis, proses kebangkitan


41

individu yang di kota-kota besar nampak dengan jelas berjalan lebih cepat

daripada di pedalaman Surojo Wignjodipuro (1995: 35)

D. Kedudukan Adat Istiadat Terhadap Perkawinan

Menurut hukum adat perkawinan itu bukan sekedar hal yang sangat

penting dan berarti bagi seseorang yang akan melangsungkan perkawinan, tetapi

juga mendapatkan perhatian dari para leluhur mereka yang akan melaksanakan

pernikahan. Untuk mendapatkan berkah agar mereka kelak menjalankan rumah

tangga hidup rukun dan bahagia, mereka meminta doa restu dari leluhur mereka.

Hal ini sekarang masih bisa kita lihat pada masyarakat. Sekarang ini, sebelum

melangsungkan acara pernikahan biasanya calon kedua mempelai suka berziarah

kepada orang tuanya yang telah meninggal atau leluhur mereka agar mendapat

doa restu dan berkah pernikahannya. Karena pernikahan ini begitu penting, maka

pelaksanaan upacara adatnya pun lengkap dengan sesajen. Walapupun ini diangap

sebagai sesuatu yang tahayul, tapi sebagian besar kenyataanya masyarakat

Indonesia khususnya masyarakat yang ada di daerah-daerah masih tetap

melaksanakan. Karena hal ini dipengaruhi oleh keyakinan mereka yang telah

sangat meresap pada diri mereka masing-masing (Surojo Wignjodipuro, 1995:

122).

Kita sekarang telah mempunyai Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun

1974, ia merupakan hukum nasional yang berlaku bagi setiap warga Negara

Republik Indonesia, ia merupakan hasil legislatif pertama yang memberikan

gambaran nyata tentang kebenaran dasar azazi kejiwaan dan kebudayaan

“Bhineka Tunggal Ika”. Tetapi adanya Undang-Undang tersebut belum berarti


42

bahwa didalam pelaksanaan perkawinan dikalangan masyarakat sudah terlepas

dari hukum adat, ia masih diliputi hukum adat sebagai hukum rakyat yang hidup

dan tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Negara.

Bahkan dikarenakan perbedaan-perbedaan hukum adat yang berlaku

setempat, sering kali menimbulkan perselisihan antara para pihak yang

bersangkutan. Jika terjadi perselisihan, maka dalam mencari jalan penyelesaian

bukanlah ditangani pengadilan agama atau pengadilan negeri, tetapi ditangani

oleh pengadilan keluarga atau kerabat yang bersendikan kerukunan, keselarasan

dan kedamaian. Oleh karenanya disamping perlu memahami hukum perkawinan

menurut Undang-Undang, diperlukan pula memahami hukum perkawinan adat.

Berlakunya hukum adat perkawinan tergantung pada masyarakat adatnya.

Oleh karenanya tanpa mengetahui bagaimana susunan masyarakat adat

bersangkutan, maka tidak mudah diketahui hukum perkawinannya. Dikalangan

masyarakat adat berbagai daerah berlaku sistem kekerabatan yang berbeda-beda,

menurut teori telah diketahui ada susunan masyarakat adat yang genealogis

patrilinear, genealogis matrilinear, genealogis parental dan genealogis teritorial

(Hilman Hadikusuma, 2003:16). Sehingga hubungan anggota kerabat yang satu

dengan yang lainnya mempunyai hak dan kewajiban yang berbeda-beda pula.

Namun demikian tidak lah berarti bahwa pada setiap masyarakat adat yang

menganut garis keturunan kebapak-an misalnya akan berlaku hukum adat yang

sama, ada kemungkinan bersamaan.

Bahwa dasar asasi kejiwaan dan kebudayaan bangsa Indonesia yang

tercantum sebagai lambang Negara adalah”Bhineka Tunggal Ika”, oleh karenanya


43

maka yang berbeda-beda dirangkaikan sedangkan yang sama dipersatukan dan

sebagai sarana mempersatukan yang berbeda adalah falsafah Negara” Pancasila”.

Demikianlah yang menjadi dasar pertimbangan menetapkan Undang-Undang

tentang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, sebagaimana dikatakan: bahwa sesuai

dengan falsafah pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu

adanya Undang-Undang tentang perkawinan yang berlaku bagi semua warga

Negara.

Dengan demikian Undang-Undang Perkawinan tersebut adalah peraturan

pokok yang dinyatakan berlaku bagi semua golongan dalam masyarakat

Indonesia, yang didalamnya telah menampung unsur-unsur dan ketentuan-

ketentuan hukum agama dan kepercayaan. Dalam hubungan ini kita teringat

kembali pada teori teori receptie yang dimunculkan pertama kali oleh Cornelis

van Vollenhoven (1874-1933). Teori ini kemudian dilanjutkan oleh Christian

Snouck Hurgronje (1857-1936), menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi

orang Islam adalah hukum adat mereka masing-masing. Hukum Islam dapat

berlaku apabila telah diresepsi oleh hukum adatlah yang menentukan adat

tidaknya hukum Islam (Ahmad Rofiq, 2013: 14-15). Jadi maksudnya hukum yang

berlaku bagi orang Islam adalah hukum agama mereka yaitu Islam, berlaku juga

bagi agama yang lain, hukum yang berlaku bagi mereka sesuai dengan agama

yang mereka anut.

Apa yang menjadi permasalahan adalah sejauh mana Undang-Undang

perkawinan yang telah berlaku itu dapat diterapkan dengan sempurna di dalam

masyarakat. Setelah lahirnya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang


44

perkawinan, maka segala ketentuan-ketentuan yang diatur dalam BW, HOCL.

Stbl 1933 No 74, peraturan perkawinan campuran Stbl 19893 No.158 dan

peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan dinyatakan tidak

berlaku. Tapi dari ketentuan tersebut masih tidak jelas masalah peraturan-

peraturan lain yang sudah tidak berlaku lagi, apakah peraturan yang tertulis

ataukah termasuk yang tidak tertulis (Hilman Hadikusuma, 2003:20).

E. Pandangan Hukum Islam Terhadap Adat Istiadat

Sebelum Nabi Muhammad SAW di utus ke muka bumi ini, adat kebiasaan

sudah ada pada masyarakat dahulu. Adat dalam bahasa Arab dikenal dengan

istilah Urf. Menurut Rachmat Syafe’I (1998: 128-129) urf terdiri dari dua macam,

yaitu urf sahih dan uf fasid (rusak). Urf sahih adalah sesuatu yang telah saling

dikenal oleh manusia dan tidak bertentangan dengan dalil syara’, tidak

menghalalkan yang haram dan juga tidak membatalkan yang wajib. Seperti

adanya saling pengertian di antara manusia tentang kontrak borongan, pembagian

maskawin (mahar) yang didahulukan dan yang diakhirkan. Begitu juga bahwa

istri tidak boleh menyerahkan dirinya kepada suaminya sebelum ia menerima

sebagian dari maharnya. Juga tentang sesuatu yang telah diberikan oleh pelamar

(calon suami) kepada calon istri, berupa perhiasan, pakaian, atau apa saja,

dianggap sebagai hadiah dan bukan merupakan sebagian dari mahar.

Adapun urf fasid, yaitu sesuatu yang telah saling dikenal manusia, tetapi

bertentangan dengan syara’, atau menghalalkan yang haram dan membatalkan

yang wajib. Seperti adanya saling pengertian di antara manusia tentang beberapa
45

perbuatan munkar dalam upacara kelahiran anak, juga tentang memakan barang

riba dan kontrak judi.

Telah disepakati bahwa urf sahih itu harus dipelihara dalam pembentukan

hukum dan pengadilan. Maka seorang mujtahid diharuskan untuk memeliharanya

ketika ia menetapkan hukum. Begitu juga seorang Qadhim (hakim) harus

memeliharanya ketika sedang mengadili. Sesuatu yang telah saling dikenal

manusia meskipun tidak menjadi adat kebiasaan, tetapi telah disepakati dan

dianggap mendatangkan kemaslahatan bagi manusia serta selama hal itu tidak

bertentangan dengan syara’ harus dipelihara (Rachmat Syafe’i, 1998: 129).

Syariat Islam dalam mengadakan hukum juga memperhatikan kebiasaan

(urf) yang berlaku pada bangsa Arab, seperti syarat seimbang (kafaah) dalam

perkawinan dan urutan-urutan perwalian dalam nikah dan pewarisan harta pusaka

atas dasar a’sabah (pertalian dan susunan keluarga) (A.Hanafie, 1989: 146).

Di antara para ulama ada yang berkata,” adat adalah syariat yang

dikukuhkan sebagai hukum”, begitu juga urf menurut syara mendapat pengakuan

hukum. Imam Malik mendasarkan sebagian besar hukumnya pada perbuatan

penduduk Madinah. Abu Hanifah bersama murid-muridnya berbeda pendapat

dalam beberapa hukum dengan dasar atas perbuatan urf mereka. Sedangkan Imam

Syafi’I ketika sudah berada di Mesir mengubah sebagian pendapatnya tentang

hukum yang telah dikeluarkannya ketika beliau berada di Baghdad. Hal ini karena

perbedaan urf, maka tak heran kalau beliau mempunyai dua mazhab, mazhab

qadim (terdahulu/pertama) dan mazhab jadid (baru). Begitu pula dalam fiqih

Hanafiyah, banyak hukum-hukum yang berdasarkan atas urf, diantaranya apabila


46

berselisih antara dua orang terdakwa dan tidak terdapat saksi bagi salah satunya,

maka pendapat yang dibenarkan (dimenangkan) adalah pendapat orang yang

disaksikan urf. Apabila suami istri tidak sepakat atas mahar yang muqaddam

(terdahulu) atau yang mu’akhar (terakhir) maka hukumnya adalah urf. Barang

siapa bersumpah tidak akan makan daging, kemudian ia makan ikan tawar, maka

tidak berarti bahwa ia melanggar sumpahnya menurut dasar urf (Rachmat Syafe’i,

1998: 129-130).

Kehadiran Islam sebagai agama sebenarnya bukanlah untuk menolak

segala adat atau budaya yang telah berlaku di tengah masyarakat. Tradisi dan

budaya yang tela mapan dan memperoleh kesepakatan kolektif sebagai perilaku

normatif, maka Islam tidak akan merubah atau menolaknya melainkan

mengadopsinya atau mengalkulturasinya sebagai bagian dari budaya Islam itu

sendiri dengan membenahi dan menyempurnakan berdasarkan nilai-nilai budi

pekerti luhur yang sesuai dengan ajran-ajaran syariat. Contoh bahwa kehadiran

Islam bukan untuk menolak segala tradisi yang telah berlaku adalah selamatan 7

bulan tahlilan termasuk seserahan dalam perkawinan dan lain sebagainya.

Sepanjang adat tradisi dan budaya lokal secara substansial tidak bertentangan

dengan ajaran Islam, maka Islam akan menerimanya menjadi bagian dari tradisi

dan budaya Islam itu sendiri.

Adapun menurut Chaerul Umam (2000: 166) kehujjahan urf dapat

dijadikan hukum, hal ini didasarkan pada firman Allah SWT Surat Al-A’raf ayat

199 yang berbunyi :

ِ٩١١َِِ‫ج ِه ِليه‬ ِِ ‫فِ َوأَعِ ِزضِِ َع‬


َِ ِ‫هِٱل‬ ِِ ِ‫ُخ ِِذِٱلِ َعفِ َِىِ َوأِ ُمزِِِِبٱلِعُز‬
47

“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma´ruf, serta
berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh” (Al-quran terjemah revisi oleh
Lajnah Mushaf Al-quran Departemen Agama, 2004: 176).

Ayat ini bermaksud bahwa urf sama dengan adat ialah kebiasaan manusia,

dan apa-apa yang mereka sering lakukan (yang baik), maka urf dianggap oleh

syara sebagai dalil hukum. Serta hadits nabi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad

dari Abdullah bin mas’ud:

ِِ‫س ْيئًبِفَ ُه َىِ ِع ْندَهللا‬


َ ِ َ‫بِر َءاهُِال ُم ْس ِل ُم ْىن‬ َ ‫س ٌه‬
َ ‫ِو َم‬ َ ‫بِر َءاهُِاْل ُم ْس ِل ُم ْىنَ ِ َح‬
َ ‫سنًبِفَ ُه َىِ ِع ْندَِهللاِِ َح‬ َِ ‫َم‬
ِ‫س ْي ٌء‬
َ
“Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam maka baik pula di sisi Allah,
dan apa saja yang dipandang buruk oleh orang Islam maka menurut Allah pun
digolongkan sebagai perkara yang buruk" (HR. Ahmad, Bazar, Thabrani dalam
Kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas'ud).

Hadits ini mengandung arti bahwa hal yang dipandang baik bagi orang

muslim berarti hal itu baik juga disisi allah yang didalamnya termasuk pula Urf

yang baik. Jadi urf (adat) dapat dijadikan hukum asal tidak bertentangan dengan

al-quran dan As-sunah serta dapat membawa kemaslahatan bagi banyak orang.

Serta kaidah fiqih yang dapat dijadikan kehujjahan adat ‫العبدة ِمحكمة‬ (adat itu

bisa dijadikan hukum) guna untuk menyikapi suatu kebiasaan atau tradisi

masyarakat, termasuk di dalamnya kebiasaan atau tradisi pelaksanaan perkawinan

(Djazuli, 2005: 91).

Jadi selagi adat tidak bertentangan dengan al-quran dan hadits serta dapat

membawa kemaslahatan bagi umat, maka agama tidak melarangnya dan

membolehkan pemakaian adat tersebut. Asalkan adat tersebut memenuhi kriteria

sebagai berikut:
48

1. Perbuatan yang dilakukan logis dan relevan dengan akal sehat.

2. Tidak bertentangan dengan ketentuan nash.

3. Tidak mendatangkan kemadaratan serta sejalan dengan jiwa dan akal sehat

(Muhlis Usman, 1999:142).

Anda mungkin juga menyukai