Anda di halaman 1dari 23

EFIKASI EKSTRAK BRATAWALI

(Tinospora crispa L.) TERHADAP KUTU BERAS


(Sitophillus oryzae)

SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Guna Mencapai Derajat Sarjana (S1)

DISUSUN OLEH:
ROMI DONI
1604020047

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hama gudang dapat menyebabkan kerusakan pada produk yang disimpan
sebanyak 10 hingga 30% dari keseluruhan total dari penyimpanan (Ferry et al.,
2004). Kehadiran hama gudang dapat menyebabkan penurunan kualitas dan
keamanan produk yang disimpan. Salah satu hama gudang utama beras yang
banyak dijumpai di Indonesia adalah kutu beras, (Sitophilus oryzae L.) (Park et al.,
2003).
Kutu beras memakan biji-bijian yang berada di tempat penyimpanan. Kutu ini
memiliki distribusi yang luas atau kosmopolitan, khususnya daerah lembab dan
tropis (CABI, 2015). Kutu beras memiliki perkembangan dan waktu reproduksi
yang cepat. Kehadiran kutu beras dapat memicu kehadiran hama gudang yang lain
(Antika dkk, 2014; Jadhav, 2006;).
Pengendalian hama gudang umumnya dilakukan petani dengan aplikasi
insektisida bahan aktif organofosfat dan fumigan dengan bahan aktif piretroid
(Manivannan et al., 2016; Bomzan et al., 2018). Pengguaan insektisida sintetis
apabila dilakukan secara terus-menerus dapat berdampak negatif terhadap
lingkungan dan manusia (Damalas and Eleftherohorinos, 2011). Oleh karena itu,
perlu dilakukan pengendalian alternatif yang dapat memberikan perlindungan
terhadap produk yang disimpan dari infestasi hama, aman bagi manusia, dan ramah
terhadap lingkungan (Bhavya et al. 2018).
Pemanfaatan insektisida nabati merupakan teknik pengendalian alternatif yang
ramah lingkungan untuk mengendalikan serangga hama. Bahan nabati relatif
mudah didapat, aman terhadap organisme nontarget, dan mudah terurai di alam
sehingga tidak menimbulkan pengaruh samping (Zen dkk., 2017). Secara umum
insektisida nabati diartikan sebagai suatu insektisida yang bahan dasarnya berasal
dari tumbuhan atau bagian tumbuhan seperti, akar, daun, batang atau buah (Ramli,
2013).
Salah satu tumbuhan yang diindikasi secara etnobotani dapat dimanfaatkan
sebagai insektisida nabati adalah brotowali (Tinospora crispa L.). Tanaman ini

1
dapat digunakan sebagai pestisida nabati karena memiliki kandungan-kandungan
senyawa metabolit sekunder, seperti: zat pahit pikroretin (terutama pada bagian
batang), alkaloida (pada akar dan batang), kolumbina (pada akar), palmatina (pada
batang), pikroretosida (pada batang dan daun), saponin (pada batang dan daun),
tanin (pada bagian batang dan daun), serta triterpenoid (Sukadana dkk, 2007)..
Ekstrak batang bratawali (EBB) dapat digunakan untuk mengendalikan keong
mas (Pomacea sp.) secara laboratoris. Ekstrak batang bratawali cukup ampuh
mengendalikan keoang mas selama 28,25 jam dengan mortalitas 86,99%
(Kurniawati, 2015). Yesi (2009) melaporkan bahwa EBB dengan konsentrasi 20%
mampu menekan populasi kutu daun (Aphis gossypii L.) pada tanaman mentimun
(Cucumis sativus L). Iwan (2016) menyatakan perasan daun brotowali dapat
berpengaruh dan efektif dalam membunuh larva Aedes aegypti sebanyak 20 larva
dengan konsentrasi 20 ml yang di amati selama 90 menit. Beberapa laporan
membuktikan bahwa ekstrak brotowali dapat digunakan untuk mengendalikan
beberapa organisme target. Namun, efektivitas ekstrak brotowali untuk
mengendalikan hama gudang belum banyak dilaporkan..

B. Rumusan Masalah
Dari uraian dimuka dapat dirumuskan permasalahan: ekstrak bratawali pada
konsentrasi berapakah yang lebih efektif mengendalikan hama kutu beras ?

C. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ekstrak bratawali pada
konsentrasi berapakan yang lebih efektif mengendalikan hama kutu beras.

D. Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pemanfaatan
ekstrak bratawali sebagai insektisida nabati , khususnya hama kutu beras S. Oryzae.
Hasil yang diperoleh dapat menambahkan pengetahuan insektisida nabati.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kutu Beras (Sitophilus oryzae)


Kutu beras merupakan nama umum bagi sekelompok serangga kecil yang
dikenal juga gemar menghuni biji-bijian yang disimpan. Kutu beras adalah hama
gudang yang sangat merugikan dan sulit dikendalikan bila telah menyerang dan
tidak hanya menyerang gabah/beras tetapi juga bulir jagung, berbagai jenis
gandum, jewawut, sorgum, serta biji kacang-kacangan (Gambar 1) (Susanti et al,
2017).

1. Klasifikasi dan Morfologi.


Sitophylus oryzae merupakan salah satu serangga yang termasuk kedalam
hama gudang. Serangga ini memiliki klasifikasi sebagai berikut: Kingdom:
Animalia, Filum: Arthropoda, Kelas: Insekta, Ordo: Coleoptera, Famili:
Curculionidae, Genus: Sitophilus, Spesies: Sitophilus oryzae. (Borror dan White.
1970; Sudarmo 2005)
Serangga S. oryzae dewasa karakteristi sebagai berikut : a) Imago ketika
masih umur muda berwarna coklat agak kemerahan, setelah tua warnanya
berubah menjadi hitam. Kedua buah sayap bagian depan masing-masing terdapat
dua buah bercak berwarna kuning agak kemerahan; b) Panjang tubuh imago
antara 3,5 – 5 mm, tergantung dari tempat hidup larvanya, artinya pada material
yang lebih besar (misalnya butiran jagung atau potongan gaplek) ukuran
tubuhnya lebih besar yaitu sekitar 4,5 mm daripada larva yang hidup pada
butiran beras; c) Larvanya tidak berkaki, berwarna putih jernih Ketika
melakukan gerakan tubuhnya selalu membentuk seperti agak bulat mengkerut,
sedangkan kepompongnya tampak seakan-akan telah dewasa (Syarief dan Halid,
1993)

3
Gambar 1. Sitophilus oryzae. Sumber: http://www.the-piedpiper.co.uk

2. Daur Hidup
Sitophilus oryzae hidup di tumpukan bahan pangan, seperti beras, jagung dan
gandum. Kutu ini berkembang biak sangat cepat. Bedasarkan penelitian, kutu
betina dapat bertelur 2 - 6 butir setiap harinya. Untuk menyimpan telurnya, kutu
betina melubangi bulir beras dengan rahangnya. Satu lubang hanya untuk satu
butir telur. Kutu beras dapat hidup selama beberapa bulan. Selama hidup, kutu
betina mampu menghasilkan sekitar 400 butir telur. Telur akan menetas menjadi
larva setelah 3 hari. Larva akan hidup pada lubang beras selama 18 hari. Setelah
itu akan menjadi pupa selama 5 hari, lalu bermetamorfosis menjadi kutu
(Rahman, 2007 ).
Pembentukkan pupa terjadi dalam biji dengan cara membentuk ruang pupa
dengan mengekskresikan cairan pada dinding liang gerek. Stadium pupa berkisar
antara 4-5 hari. Imago yang terbentuk tetap berada dalam biji selama sekitar 2-5
hari, sebelum membuat lubang keluar yang relatif besar dengan moncongnya
(Tandiabang dkk., 2009).
Kutu betina dapat mencapai umur 3-5 bulan dan dapat menghasilkan telur
sampai 300-400 butir. telur diletakkan pada tiap butir beras yang telah dilubangi
terlebih dahulu. Lubang gerekan biasanya dibuat sedalam 1 mm dan telur yang
dimasukkan ke dalam lubang tersebut dengan bantuan moncongnya adalah telur
yang berbentuk lonjong. Stadia telur berlangsung selama ± 7 hari. Panjang
pendeknya siklus hidup hama ini tergantung pada temperatur ruang simpan,
kelembaban di ruang simpan, dan jenis produk yang diserang (Sudarmo, 2005).

3. Gejala Serangan
Kutu beras (Sitophilus oryzae) dikenal sebagai Serangga beras (rice weevil).
Hama ini bersifat kosmopolit atau tersebar luas di berbagai tempat di dunia.

4
Kerusakan yang ditimbulkan oleh hama ini termasuk berat, bahkan sering
dianggap sebagai hama paling merugikan produk perpadian. Hama Kutu beras
(Sitophilus oryzae) bersifat polifag, selain merusak butiran beras, juga merusak
simpanan jagung, padi, kacang tanah, gaplek, kopra, dan butiran lainnya. Akibat
dari serangan hama ini, butir beras menjadi berlubang kecil-kecil, tetapi karena
ada beberapa lubang pada satu butir, akan menjadikan butiran beras yang
terserang menjadi mudah pecah dan remuk seperti tepung. Kualitas beras akan
rusak sama sekali akibat serangan hama ini yang bercampur dengan air liur hama
(Ilato, J., dkk 2012).

B. Brotowali Tinospora crispa L.


1. Deskripsi dan Sistematika Tanaman Brotowali
Brotowali termasuk tumbuhan perdu memanjat dengan batang sebesar jari
kelingking dan berbintil-bintil rapat. Tanaman ini biasanya tumbuh di hutan atau
di halaman rumah dekat pagar sebagai tanaman obat. Tinggi batang mencapai
2,5 m dan rasanya sangat pahit. Di alam brotowali digunakan sebagai tanaman
penutup tanah karena tidak ada penyangga sebagai tempat memanjat. Daunnya
tunggal, berbentuk seperti hati, bulat telur, berujung lancip, dan berwarna hijau.
Panjang daun 7-12 cm dan lebar sekitar 5 cm. Bunganya kecil. Berwama hijau
muda, dan berbentuk tandan semu (Tersono, 2006 & Dewani, 2006). (Gambar
2)

Gambar 2. Batang dan Daun Brotowali

Menumt Tjitrosoepomo (1991), klasifikasi tumbuhan brotowali adalah


sebagai berikut: Divisi: Spermatophyta, Subdivisi: Angiospermae, Kelas:

5
Dicotyledonae, Bangsa: Ranunculales, Suku: Menispermaceae, Marga:
Tinospora, Jenis: Tinospora crispa ((L.) Miers.).
Nama ilmiah lain brotowali adalah Tinospora rumphii Boerl, Tinospora
tuberculata, Cocculus crispu D.C., Minespermum tuberculatum Lamk.,
Minespermum Verrucosiim Flem., Minespermum crispus Linn. Sedangkan nama
daerahnya adalah antawali, bratawali, putrawali, andawali (Sunda), antawali
(Bali), Shen jin teng (China) (Kresnady, 2003).

2. Kandungan Fitokimia Tinospora crispa L


Batang brotowali mengandung banyak senyawa kimia antara lain: alkaloid
berberin, glisirizin, kolumbin dan palmatin. Alkaloid berberin merupakan hasil
metaboiisme sekunder tumbuhan yang mengandung nitrogen basa, tidak
berwama, alkaloid berberin termasuk garam amonium kuartemet. Glisirizin
adalah senyawa saponin bersifat antimikroba dan larut dalam air Kolumbin dan
palmatin adalah senyawa pahit karena adanya terpenoid (Kresnady, 2003).

3. Manfaat Tinospora crispa L.


Di Laos, batang brotowali dimanfaatkan untuk mengendalikan lintah dan
tungau (de Boer et al. 2010) dan sudah umum digunakan sebagai pestisida dalam
praktek pertanian organik di Thailand (Iwai et al. 2008) . Ekstrak etanol dari
batang brotowali dilaporkan dapat melindungi tanaman Spinacia oleracea dari
Spodoptera exigua dan mengurangi populasi serangga sampai 61,2% (Isa et al.
2013). Selain itu batang brotowali efektif dalam mengendalikan hama
Nephotettix spp dan Nilaparvata lugens. Ekstrak air dari batang brotowali
menunjukkan aktivitas secara sistemik, bersifat racun untuk telur serangga dan
menghambat pertumbuhan serangga Plutella xylostella (Isa et al .2013). Selain
digunakan sebagai ekstrak tunggal, Rozaq dan Sofriani (2009) juga menyatakan
penggunaan batang brotowali sebagai bahan campuran pestisida yang terbuat
dari urin yang dicampur dengan Curcuma domestica, Capsicum frutescens,
Allium ascalonicum, Pithecellobium jiringa dan Parkia speciosa yang
difermentasikan.

6
C. Teknik Ekstraksi
Ekstraksi merupakan proses pemisahan senyawa yang terkandung didalam
tanaman. Proses ekstraksi membutuhkan bantuan dari bahan pelarut. Menurut
Mukhriani (2014), pelarut yang digunakan tergolong dalam pelarut polar (etanol,
metanol, dan air), semi polar (etil asetat, diklorometan) dan non polar(N-heksana,
petroleum eter, kloroform). Tujuan ekstraksi yaitu memperoleh senyawa yang
berupa senyawa bioaktif yang tidak diketahui, senyawa yang diketahui pada suatu
organisme dan sekelompok senyawa dalam organisme yang terhubung secara
struktural. (Sarker SD, dkk., 2006).
Terdapat beberapa faktor dalam proses ekstraksi yang memengaruhi hasil
ekstraksi diantaranya jenis pelarut, rasio berat bahan dengan volume pelarut, suhu,
pengadukan, waktu ekstraksi, dan ukuran sampel (Distantina et al., 2008)
Pelarut metanol merupakan pelarut polar yang yang dapat melarutkan senyawa-
senyawa yang bersifat polar seperti golongan fenol (kusumaningtyas dkk,2008).
golongan fenolik diantaranya yaitu flavonoid, Hydroxybenzoic acid,
hydroxycinnamic acid, tanin (Nugraha ,2017) . Pelarut metanol juga memberikan
hasil ekstrak yang lebih banyak dibandingkan pelarut lain. Seperti yang tercantum
dalam penelitiannya Romadanu dkk (2014) menyatakan bahwa pelarut metanol
menghasilkan rendamen tebesar pada ekstrak bunga lotus.
Ada beberapa teknik dalam melakukan kegiatan maserasi, diantaranya yaitu :
1. Maserasi
Maserasi merupakan metode sederhana yang paling banyak digunakan dalam
melakukan kegiatan ekstraksi karena dianggap sesuai baik untuk skala kecil
maupun skala industri. (Agoes, 2007).
Prinsip dari maserasi yaitu dengan memasukkan serbuk tanaman dan pelarut
yang sesuai ke wadah inert yang tertutup rapat dan diletakkan pada suhu kamar.
Proses ekstraksi dihentikan ketika tercapai kesetimbangan antara konsentrasi
senyawa dalam pelarut dengan konsentrasi dalam sel tanaman. Setelah proses
ekstraksi, pelarut dipisahkan dari sampel dengan penyaringan (Mukhriani,
2014). Teknik ini biasanya digunakan jika kandungan senyawa organik yang ada
dalam bahan tumbuhan tersebut cukup tinggi dan telah diketahui jenis pelarut.

7
Pelarut yang digunakan sebaiknya tidak mudah menguap, dan untuk
mengekstrak senyawa kimia tersebut dari bahan alam membutuhkan waktu yang
cukup lama. Untuk mendapatkan hasil penguapan pelarut yang cepat dan aman
digunakan alat penguap yaitu rotary evaporator. Alat ini bekerja dengan cara
menguapkan pelarut dan menyisakan ekstrak tumbuhan dalam labu. Proses
penguapan sangat tergantung pada beberapa faktor, seperti suhu penangas,
tekanan vakum, suhu air yang bersirkulasi, dan putaran labu. Setelah penguapan
selesai, akan dihasilkan ekstrak tumbuhan yang mungkin dapat berbentuk
padatan (solid) atau cairan (liquid) (Nihlatussania, 2012).
2. Sokletasi
Prinsip dari metode ini yaitu dengan menempatkan serbuk sampel ke dalam
kertas saring dalam klonsong yang ditempatkan di atas labu dan di bawah
kondensor. Pelarut yang sesuai dimasukkan ke dalam labu dan suhu penangas
diatur di bawah suhu reflux (Mukhriani, 2014).
3. Perkolasi
Prinsip dari metode ini yaitu serbuk dibasahi dengan perlahan dalam sebuah
percolator (wadah silinder yang dilengkapi dengan kran di bagian bawah) pelarut
ditambahkan pada bagian atas serbuk dan dibiarkan menetes. Kelebihan dari
metode ini yaitu selalu dialiri oleh pelarut baru (Mukhriani, 2014).
4. Reflux
Prinsip dari metode ini yaitu ampel dimasukkaan bersamaan dengan pelarut
kedalam labu yang dihubungkan dengan kondesor. Pelarut dipanaskan hingga
mencapai titik didih. Uap terkondensasi dan kembali ke dalam labu (Mukhriani,
2014).
5. Destilasi uap
Destilasi uap memiliki proses yang sama dan biasanya digunakan untuk
mengekstraksi minyak esensial (campuran berbagai senyawa menguap). Selama
pemanasan, uap terkondensasi dan destilat (terpisah sebagai 2 bagian yang tidak
saling bercampur) ditampung dalam wadah yang terhubung dengan kondensor.
(Seidel V 2006).

8
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan


Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Agroteknologi Terpadu UMP.
Penelitian dimulai dari bulan juli 2020, mulai persiapan bahan sampai penulisan
skripsi.

B. Alat dan Bahan


1. Alat
Peralatan yang digunakan pada penelitian: ayakan, blender, gunting, nampan,
pinset, kertas label, timbangan (neraca analitik), cawan petri, toples plastik, rak,
sendok.
2. Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ialah : bratawali yang didapat didaerah
banyumas, beras merah, kutu beras Sitophilus oryzae L.

C. Rancangan percobaan
Rancangan yang digunakan dalam penelitian adalah rancangan acak lengkap
(RAL), faktor tunggal terdiri atas:
K0 : 0% tanpa ekstrak brotowali
K1 : 5% ekstrak brotowali
K2 : 10% ekstrak brotowali
K3 : 15% ekstrak brotowali
K4 : 20% ekstrak brotowali
Dengan demikian terdapat 4 perlakuan ditambah dengan satu perlaukan kontrol
(tanpa ektrak brotowali) total terdapat 5 perlakuan, dimana masing-masing
perlakuan diulang lima kali sehingga terdapat 25 unit percobaan.

D. Analisis Data dan Pengujian Hipotesis


Data ditransformasi ercsin untuk memenuhi asumsi keragaman data. Data
ditabulasi dan disajikan dalam nilai rata-rata dan simpangan baku. Data dianalisis
dengan menggunakan sidik ragam Anova pada taraf 5%. Jika perlakuan

9
menunjukkan perbedaan nyata maka dilakukan uji DMRT (Duncan’s Multiple
Range Test) pada taraf 5%. Uji statistika mortalitas dan % Efikasi dilakukan dalam
tahapan analisis data ini dibantu dengan perangkat lunak CoStat.

E. Variabel yang Diamati


1. Mortalitas
Mortalitas merupakan jumlah kematian hama yang disebabkan oleh
pengendalian insektisida dan dinyatakan dalam persen. Pengamatan dilakukan
setiap hari selama 7 hari setelah aplikasi sesuai Rumus persentase mortalitas
𝑥0 − 𝑥1
𝑀𝑜𝑟𝑡𝑎𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠 = × 100%
𝑥0
di mana, X0 adalah Populasi hama sebelum aplikasi X1 adalah Populasi hama
sesudah aplikasi
2. Persentase kerusakan biji
Jumlah biji rusak (biji yang berlubang) dihitung setelah seluruh imago S.
Oryzae muncul dari setiap perlakuan. Kerusakan biji dinyatakan sebagai
proporsi dari total sampel biji (Abebe et al., 2009).
Persentase kerusakan biji beras menggunakan rumus sebagai berikut :
a
p = x100%
b
di mana, P adalah Persentase kerusakan biji beras (%), a adalah Berat biji
beras rusak dan b adalah Berat biji beras utuh
3. Kehilangan berat biji
Penurunan berat biji (%) dari sampel dihitung berdasarkan berat segar
(Prakash et al. 2013)
𝑊
Penurunan berat = 𝑊1 − 𝑋 100%
𝑊1

di mana, W1 adalah berat sampel sebelum percobaan dan W adalah berat sampel
pada akhir percobaan.

4. Indeks penghambatan makanan


Indeks penghambatan makanan diamati dengan cara menghitung feeding
deterrence index FDI (Ismana, 1990).

10
𝐶−𝑇
Feeding deterrence index (FDI) = [ ] 𝑋 100%
𝐶

di mana, C adalah penurunan berat dalam sampel kontrol, dan T adalah


penurunan berat perlakuan

F. Pelaksanaan Penelitian
1. Perbanyakan serangga Sitophylus oryzae L
Sitophylus oryzae L. yang digunakan sebagai serangga uji dikembang biakan
terlebih dahulu dengan cara dipelihara pada media beras dalam toples plastik.
Toples dilengkapi tutup yang dilubangi dengan ukuran yang kecil untuk aerasi.
Serangga uji yang digunakan adalah serangga yang sudah dewasa.

2. Ekstraksi bratawali
Batang bratawli dibersihkan terlebih dahulu dari kotoran kemudian diangin-
anginkan. Kemudian di blender hingga diperoleh ekstrak serbuk batang
bratawali.

3. Uji efikasi
Uji efikasi dilakukan dengan cara memasukan serbuk bratawali dan beras
sesuai dengan konsentrasi kedalam cawan petri (diameter 9 cm), konsentrasi 0%
yaitu mengambil ekstrak brotowali sebanyak 0gr ditambahkan dengan 10gr
beras, konsentrasi 5% yaitu mengambil ekstrak brotowali sebanyak 0,5gr
ditambahkan dengan 9,5gr beras, konsentrasi 10% yaitu mengambil ekstrak
brotowali sebanyak 1gr ditambahkan dengan 9gr beras, konsentrasi 15% yaitu
mengambil ekstrak brotowali sebanyak 1,5gr ditambahkan dengan 8,5gr beras,
konsentrasi 20% yaitu mengambil ekstrak brotowali sebanyak 2gr ditambahkan
dengan 8gr beras. Sehngga didapatkan setiap perlakuan seberat 10gr atau 100%.
Tiap perlakuan diulang 5 kali.
Pengamatan kematian serangga dilakukan pada 24 jam setelah perlakuan
(JSP) selama 7 hari.

11
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Hasil
Hasil penelitian menunjukan bahwa pemberian serbuk brotowali
menunjukan pengaruh
Tabel 4.1
Mortalitas Rata-rata Persentase Rata-rata Persentase
Perlakuan
(%) Kerusakan Biji % Kehilangan Berat %
K0 0% 12,5 b 1,88 a 0,19 a
K1 5% 17,5 ab 1,11 b 0,11 b
K2 10% 18,5 ab 1,00 b 0,09 b
K3 15% 20 ab 0,85 b
0,07 b
K4 20% 30 a 0,66 b 0,05 b
Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata
berdasarkan uji Anova.

A. Mortalitas
Keterangan perlakuan lihat tabel 4.1. Pengamatan mortalitas pada
penelitian ini ditujukan untuk melihat jumlah kematian hama yang
disebabkan oleh pengendalian insektisida. Pengamatan mortalitas
dilakukan setiap hari sampai 7 hari setelah aplikasi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ekstrak serbuk batang brotowali dengan berbagai
konsentrasi memberikan pengaruh nyata terhadap mortalitas hama kutu
beras. Uji lanjut membuktikan bahwa semua perlakuan berbeda nyata
dibandingkan kontrol. Konsentrasi ekstrak batang brotowali yang efektif
dalam mengendalikan populasi kutu beras terdapat pada K4 dengan rata-
rata mortalitas 30%, diikuti dengan K3 dengan rata-rata mortalitas 20%,
K2 dengan rata-rata mortalitas 18,75%, K1 dengan rata-rata mortalitas
17,5%, dan terendah berada pada K0 dengan rata-rata mortalitas 0%. Hal
ini menunjukan bahwa dalam waktu satu minggu konsentrasi yang
efektif adalah K4 20%.

12
Gambar 3. Sitophilus Oryzae yang mati

B. Persentase kerusakan biji


Keterangan perlakuan lihat tabel 4.1. hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa kerusakan biji beras dapat dicirikan dengan terjadinya lubang (bolong)
pada biji beras tersebut. Pengamatan yang telah dilakukan selama 7 hari
menunjukkan bahwa aplikasi serbuk brotowali berpengaruh terhadap
persentase kerusakan biji beras. Secara umum rata-rata pesentase kerusakan
biji beras akibat serangan S.Oryzae setelah aplikasi serbuk brotowali ada
perbedaan yang nyata antara perlakuan dan juga kontrol. Tingkat kerusakan
biji berbanding terbalik dengan mortalias, pada pengamatan persentasi
kerusakan biji, kerusakan tertinggi ditunjukan pada perlakuan kontrol (0% /
10gram biji beras) yaitu sebesar 1,88% dan terendah pada perlakuan K4 (20%
/ 8 gram biji beras) yaitu 0,66%.

C. Kehilangan berat biji


Keterangan perlakuan lihat tabel 4.1. Pengamatan kehilangan berat biji
dilakukan pada hari terahir yaitu 7 hari setelah perlakuan. Rata-rata persentase
kehilangan berat beras tertinggi terjadi pada kontrol (K0) yaitu 0,19%, pada
perlakuan K1 0,11% dan K5 0,09% sedangkan untuk K4 dan K3 adalah 0,07%
dan 0,05%.

13
D. Indeks penghambatan makanana
Tabel 4.2
Perlakuan Berat biji beras Hambata
Yang dimakan (g) Makanan (%)
K1 0,42 28,21 a
K2 0,36 35,14 b
K3 0,29 44,23 c
K4 0,21 56,25 d
tabel indeks penghambatan makanan menggunakan ekstrak batang
brotowali dengan konsentrasi K1 5%, K2 10%, K3 15%, dan K4 20%.
Setiap nilai merepresentasikan rata-rata dari 5 ulangan dengan 20 kutu
beras per perlakuan. Pengamatan persentase kerusakan biji beras
diamati setelah 7 hari perlakuan.

Pengamatan kehilangan berat biji dilakukan setelah 7 hari setelah


perlakuan. Pemberian ekstrak bratawali mampu menghambat serangan
S.Oryzae untuk mengkonsumsi biji beras uji sekitar 50%.

Gambar pengamatan terakhir dari masing-masing perlakuan.

K0 K1 K2

K3 K4

14
2. Pembahasan
Pestisida nabati yang digunakan dalam penelitian ini berbahan dasar
serbuk batang brotowali. Kandungan alkaloid pada brotowali berperan sebagai
racun saraf, menghambat perkembangan serangga dan bersifat mengusir
(repellent). Pestisida EBB mampu mengendalikan kutu beras dimana hal ini
ditunjukan oleh kutu beras yang mati memiliki ciri-ciri yaitu berkurangnya
nafsu makan, warna tubuh berubah menjadi kehitaman, kondisi kaki menempel
pada tubuh, tubuh mengeras dan akhirnya mati. Seperti yang dikemukakan oleh
Moniharapon, dkk (20015), dimana pada penelitiannya menggunakan daun
sirsak mampu mengendalikan hama S. oryzae. Kondisi ini diperlihatkan imago
S. oryzae saat mengalami kematian dengan ciri-ciri yaitu berkurangnya nafsu
makan, warna tubuh berubah menjadi kehitaman, kondisi kaki menempel pada
tubuh, tubuh mengeras dan akhirnya mati. Hal ini terjadi karena metabolisme
S. oryzae terganggu akibat dari adanya senyawa kimia yang terkandung dalam
EBB tersebut.
Diduga EBB berfungsi sebagai anti feedant (mencegah nafsu makan) dan
repelant (menolak kehadiran serangga) terhadap S. oryzae. Hal ini sesuai
dengan pernyatan Amaliyah dkk., (2010) dan Promosiana dkk., (2014) yang
mengatakan bahwa insectisida nabati memilki mekanisme kerja yang unik,
diantaranya adalah memiliki antifeedant (anti makan), mengusir/menolak
hama, menghambat perkembangan hama, mencegah telur menetas,
menurunkan populasi imago bahkan dapat membunuh berbagai serangga hama
tanaman.
Persentase mortalitas terendah terdapat pada perlakuan kontrol dengan
nilai 0%. Hal ini disebabkan karena perlakuan kontrol tidak diberikan serbuk
batang brotowali sehingga tingkat kematiannya rendah. Pada perlakuan K5
dengan konsentrasi 20% adalah yang paling tinggi mortalitas S. oryzae yaitu
30% Konsentrasi yang tinggi dapat mematikan kutu beras lebih cepat (Oktavia,
2013). Tingginya persentase mortalitas berkaitan erat dengan pemberian
konsentrasi serbuk yang digunakan. Semakin tinggi konsentrasi serbuk maka

15
efek kandungan senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan juga semakin
meningkat (Septian, 2013).
Perilaku S. oryzae yang tidak diberikan EBB bergerak lebih aktif,
dibandingkan perlakuan yang diberikan EBB. Hal ini dikarenakan beras yang
tidak diberikan perlakuan serbuk diduga tidak mengandung senyawa metabolit
sekunder yang dapat menghambat pergerakan S. oryzae. Pergerakan S. oryzae
berupa bergerak aktif di dinding cawan petri dan terkadang mengelilingi beras
di dalam cawan petri. Pergerakan S. oryzae menjadi melemah setelah terpapar
serbuk brotowali ditandai dengan pergerakannya yang melamba. Hal ini diduga
karena serbuk tumbuhan tersebut mengandung racun yang dapat menghambat
lubang pernafasannya sehingga menyebabkan kematian. Kematian juga
diakibatkan karena terjadi kontak langsung secara terus menerus antara S.
oryzae dengan serbuk batang brotowali selama 7 hari pengamatan. Pernyataan
ini sesuai dengan Hendrival et al. (2017) yang menyatakan serbuk tumbuhan
dapat masuk dan menutupi alat pernafasan S. oryzae yang menyebabkan tubuh
serangga menjadi lemah dan dehidrasi hingga mengalami kematian.
Persentase kerusakan beras dan kehilangan berat beras tertinggi adalah
pada perlakuan kontrol yaitu sebesar 1,88% dan 0,19%, karena tidak diberi
perlakuan, sehingga menyebabkan Sitophilus sp. dengan leluasa menggerek
beras yang dapat digunakan sebagai bahan pakannya ataupun untuk meletakkan
telur. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kartasaepotra (1990), bahwa Sitophilus
sp. memakan beras sebagai salah satu bahan pakannya dan juga menggereknya
untuk menaruh telur pada gerekan tersebut.
Persentase kerusakan beras dan kehilangan berat beras pada perlakuan
k1 sampai k4 serbuk batang brotowali sangat rendah karena jumlah populasi
Sitophilus sp. yang masih hidup pada perlakuan tersebut sedikit, sehingga
serangan dari hama Sitophilus sp. rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Suyono dan Naito (1990), bahwa persentase kerusakan biji akibat serangan
hama semakin rendah dengan semakin rendahnya tingkat populasi. Rendahnya
persentase kerusakan biji beras akan memperkecil persentase kehilangan berat

16
biji beras. Hal ini disebabkan karena sedikitnya biji beras yang rusak, sehingga
persentase kerusakan berat beras yang ditimbulkan akan semakin rendah.
Ekstrak brotowali bersifat antifeedant karna memiliki kandungan
senyawa tannin dan saponin. Komponen tanin berperan sebagai pertahanan
tanaman terhadap serangga dengan cara menghalangi serangga dalam mencema
makanan. Tanin dapat mengganggu serangga dalam mencema makanan karena
tanin akan mengikat protein dalam sistem pencemaan yang diperlukan serangga
untuk pertumbuhan sehingga proses penyerapan protein dalam system
pencemaan menjadi terganggu. Menurut Hopkins dan Hiiner (2004), tanin
menekan konsumsimakan, tingkat pertumbuhan dan kemampuan bertahan.
Tanin, kuinon dan saponin memiliki rasa yang pahit sehingga dapat
menyebabkan mekanisme penghambatan makan pada hama uji. Rasa yang pahit
menyebabkan hama tidak mau makan sehingga hama akan kelaparan dan
akhirnya mati

17
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakuakan dapat disimpulkan bahwa
Kematian terbanyak terjadi pada perlakuan 20 % dengan total kematian yaitu
30%. Hal ini dirasa tidak efektik karena tidak mematikan 50 % dari populasi.
Senyawa-senyawa kimia yang ada didalam EBB dapat mengakibatkan kematian
pada kutu beras yang ditandai dengan terganggunya proses metabolisme pada
kutu beras. dapat dilihat dari kutu beras yang warna tubuhnya berubah menjadi
kehitaman, kondisi kaki menempel pada tubuh, tubuh mengeras dan akhirnya
mati.

2. Saran
Dari hasil peneitian dan kesimpulan yang ada, disarankan agar dilakukan
penelitian lebih lanjut mengenai kombinasi variasi konsentrasi ekstrak batang
brotowali apakah mampu mengendalikan hama kutu beras dan apakah ada
pengaruhnya pada hasil penelitian nantinya. Sehingga berpeluang penelitian
selanjutnya dilakukan untuk mengetahui hubungan antara ekstrak batang
brotowali dengan kualitas biji beras.

18
DAFTAR PUSTAKA
Abebe F, T. Tefera, S. Mugo, Y. Bayene, S. Vidal. 2009. Resistance of maize
varieties to the maize weevil Sitophilus zeamais (Motsch.) (Coleoptera:
Curculionidae). African Journal of Biotechnology. Vol. 8(21):5937-5943.
Agoes.G.2007. Teknologi Bahan Alam. ITB Press Bandung.
Amaliyah, Wati H. E. E., Utami S, Mulyadi K, Yudistira dan F. W Sari. 2010.
Pengenalan Tumbuhan Penghasil Pestisida Nabati dan Pemanfaatannya
Secara Tradisional. Kemenhut. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Produktifitas Hutan.
Antika SRV, Astuti L P and Rachmawati R. 2014. Perkembangan Sitophilus Oryzae
Linnaeus (Coleoptera: Curculionidae) Pada Berbagai Jenis Pakan. jurnal.
Hama dan Penyakit Tumbuhan. Vol 2 (4): 77
Bhavya M.L, A.G.S. Chandu, Sumithra S. Devi, 2018. Ocimum tenuiflorum oil, a
potential insecticide against rice weevil with antiacetylcholinesterase activity.
Industrial Crops & Products. Vol 126 (1) 434–439.
Bomzan, D.P., Bhavya, M.L., Chandu, A.G.S., Manivannan, S., Lavanya, G.,
Ramasamy, K., Pasha, A., 2018. Potential of pyrethroid-synergised
pyrethrum on stored product insects and implications for use as prophylactic
sprays. Journal Food Science Technology. Vol 55 (6), 2270–2278.
Borror dan White. 1970. A Field Guide of Insect American North of Mexico. New
York: Hounghton Mifflin Company Boston New York
CABI. 2015. Datasheet of Sitophilus weevil group.
http://www.cabi.org/isc/datasheet/10850;10887;1092. Diakses pada 13
januari 2020 19:15 WIB
Damalas, C.A., Eleftherohorinos, I.G., 2011. Pesticide exposure, safety issues, and
risk assessment indicators. Int. Journal Environ. Res. Public Health. Vol 8(5),
1402–1419.
De Boer H, Chanda V, Katinka P, Lars B And Thomas G. T. J. 2010. Journal of
Medical Entomology. Vol. 47(3): 400-414
Dewani & Sitanggang, M. 2006. 33 Ramuan Penakluk Asam Urat. Jakarta:
AgroMedia Pustaka. Diakses pada 13 januari 2020 23.49 WIB
Distantina, s, d.r. A dan Le. Fitri. 2008. Pengaruh Konsentrasi Dan Jenis Larutan
Perendaman Terhadap Kecepatan Ekstraksi Dan Sifat Gel Agar-Agar Dari
Rumput Laut Gracilaria verrucosa. Jurnal Rekayasa Proses. 2:11-16.
Ferry, N., Edwards, M.G., Gatehouse, J.A., Gatehouse, A.M., 2004. Plant–insect
interactions: molecular approaches to insect resistance. Current Opinion in
Biotechnology. Vol 15 (2), 155–161.

19
Hendrival, Ningsih, M.S., Chodiron, Wismawati, A. 2017. Toksisitas Insektisida
Nabati dari Famili Asteraceae, Anacardiaceae, dan Euphorbiaceae Terhadap
S. oryzae. (Coleoptera: Curculionidae). Jurnal Biosains, 3 (1): 1-8.
Hopkins, W. G. and N. P. A.HOner. 2004. Introduction to Plant Physiology. Third
Edition. John Wiley and Sons, Inc. Ontario.
Isa, N., Satar, S.A., Bakhari, N.A., Nur, S., Diana, A., Tik, L.B. & Wan, W.Z. 2013.
The effect of Tinospora crispa extract against Spodoptera exigua on Spinacia
oleracea. Malaysian Journal of Fundamental and Applied Sciences. Vol 9
(2), 110–114.
Iwai, C.B., Pratad, Y., Sereepong, S. & Noller, B. 2008. Earthworm: potential
bioindicator for monitoring diffuse pollution. Journal Res. Vol 13(9): 1081–
1088.
Iwan, S.H. 2016. Uji Efektifitas Perasan Daun Brotowali (Tinospora crispa)
Sebagai Larvasida Nyamuk Aedes aegypti. Skripsi. Universitas Negeri
Gorontalo. Gorontalo
Jadhav K. 2006. Biology and Management of Rice Weevil, Sitophilus oryzae L. in
Pop Sorghum. Thesis. Dharwad University of Agricultural Science. Dharwad
Jems Ilato, M. F. Dien dan C. S. Rante. 2012. Jenis Dan Populasi Serangga Hama
Pada Beras.Eugenia. Vol 18(2): 106
Kartasaepotra AG. 1990. Hama tanaman pangan dan perkebunan. Jakarta: Bumi
Aksara.
Kiran S., Prakash B. 2015. Toxicity and biochemical efficacy of chemically
characterized Rosmarinus officinalis essential oil against Sitophilus oryzae
and Oryzaephilus surinamensis. Industrial Crops and Products. Vol 74: 817–
823
Kresnady, B. & Tim Lentera. 2002. Khasiat dan Manfaat Brotowali Si Pahit
yang Menyembuhkan. Jakarta: AgroMedia Pustaka.
Kurniawati, D. Rustam, dan R. Laoh, J. H. 2015. Pemberian Beberapa Konsentrasi
Ekstrak Brotowali (Tinospoacrispal.) Untuk Mengendalikan Keong Mas
(Pomaceasp.) Pada Tanaman Padi (Oryzasatival.). JOM Faperta. Vol. 2(1):
7
Kusumaningtyas E., Widiati R. dan Gholib D. 2008. Uji daya hambat ekstrak dan
krim ekstrak daun sirih (Piper betle) terhadap C. albicans dan Trichophyton
mentagrophytes. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Yogyakarta 11-10 Maret 2008..
Manivannan, S., Swati, A.P., Hemalatha, P., Gisha, E.K., Roopa, R.S., 2016.
Phosphine gas generated from an aluminium phosphide tablet exhibits early
knock down effects on tamarind pod borer. RSC Adv. Vol. 6(93): 90024–
90030.

20
Mukhriani.2014. ekstraksi, pemisahan senyawa dan identifikasi senyawa
aktif.jurnal Kesehatan. Vol vii No. 2. Halm 361-367
Nihlatussania, S. 2012.Keefektifan Insektisida Nabati Dengan Dua Metode
Ekstraksi Yang Berbeda.skripsi.Institut Pertanian Bogor.Bogor
Nugraha, A. 2017. Buku Ajar Teknologi Bahan Alam. Lambung Mangkurat
University Press. Banjarmasin.
Oktavia, N. 2013. Pemanfaatan daun jeruk (Citrus aurantifolia) dan batang serai
(Andropogon nardus L.) untuk insektisida alami S. oryzae. Skripsi. FKIP
Biologi Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.
Park, I.K., Lee, S.G., Choi, D.H., Park, J.D., Ahn, Y.J., 2003. Insecticidal activities
of constituents identified in the essential oil from leaves of Chamaecyparis
obtusa against Callosobruchus chinensis (L.) and Sitophilus oryzae (L.).
Journal of Stored Products Research. Vol. 39: 375–384.
Pavela, R., 2010. Antifeedant activity of plant extracts on Leptinotarsa
decemlineataSay. and Spodoptera littoralis Bois. Larvae. Industrial Crops
Prod. Vol. 32: 213–219.
Prakash, B., Mishra, P.K., Kedia, A., Dubey, N.K., 2014. Antifungal, antiaflatoxin
andantioxidant potential of chemically characterized boswellia carterii
birdwessential oil and its in vivo practical applicability in preservation of
Piper nigrum L. Fruits. LWT-Food Sci. Technol. Vol. 56: 240–247.
Promosiana A, Indartiyah N, Tahir M, Watini L, Hartono B, Martha D, Tobing P.L,
Hermami A dan J. Waludin. 2014. Tanaman Biofarmaka sebagai
Biopestisida.
Rahman, et.all. 2007. Ethanolic Extract Of Melgota (Nacaranga Postulata) For
Repelent Insectisidal Activity Against Rice Weevil (Sitophilus Oryzae).
African Journal of Biotechnology, Vol 6(4): 379-38.
Ramli, dan N. Sumarnina. 2013. Efektifitas Aplikasi Pestisida Nabati terhadap
Hama Walang Sangit (Leptotocorisa oratorius) pada Tanaman Padi (Oryza
sativa) Di Kelompok Tani “Mandiri” Desa Cipeuyeum Kecamatan Haur
Wangi Kabupaten Cianjur. Jurnal Agroscience. Vol 6(1): 11 – 17.
Romadanu., S, H, Rachmawati., S, D, Lestari. 2014. Pengujian Aktivitas
Antioksidan Ekstrak Bunga Lotus (nelumbo nucifera). Jurnal Fishtech. Vol
III no 01
Rozaq, P. & Sofriani, N. 2009. Organic pesticide from urine and spices
modification. Asian Journal of Food and Agro-Industry. (Special Issue): 105-
111
Sarker SD, Latif Z, & Gray AI. 2006. Natural products isolation. In: Sarker SD,
Latif Z, & Gray AI, editors. Natural Products Isolation. 2nd ed. Totowa (New
Jersey). Humana Press Inc. hal. 6-10, 18

21
Seidel V., 2006. Initial and bulk extraction. In: Sarker SD, Latif Z, & Gray AI,
editors. Natural Products Isolation. 2nd ed. Totowa (New Jersey). Humana
Press Inc. hal. 31-5
Septian, R.E., Inawati & Ratnasai, E. 2013. Pengaruh Kombinasi Ekstrak Biji
Mahoni Dan Batang Brotowali Terhadap Mortalitas Dan Efektivitas Makan
Ulat Grayak Pada Tanaman Cabai Rawit. Lentera Bio. 2(1), 107-117
Sudarmo, S. 2005. Pestisida Nabati dan Pemanfaatannya. Kanisius. Yogyakarta.
Sukadana IM, Wiwik SR, dan Frida RK, 2007. Isolasi dan Identifikasi Senyawa
Antikaman dari Batang Tumbuhan Brotowali (Tinospora tuberculata
BEUMEE.). Jurnal kimia, 1 (1): 55- 61.
Susanti. Yunus, M. Pasaru, F. 2017 Efektifitas Ekstrak Daun Pandan Wangi
(Pandanus Amaryllifolius Roxb) Terhadap Kumbang Beras (Sitophylus
Oryzae L.). Journal Agroland. Vol 24(3): 208 – 213
Suyono, Naito. 1990. Pengaruh bahan non toksik pada biji kedelai terhadap hama
Callosobruchus. Bogor: IPB Press.
Syarief, R. dan H. Halid, 1993. Teoknologi Penyimpanan Pangan. Kerjasama
dengan Pusat Antar Universitas Pangan dan Giz IPB. Penerbit Arcan. Jakarta.
Tandiabang, J., A. Tenrirawe, dan Surtikanti. 2009. Pengelolaan Hama Pasca
Panen Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Jakarta.
Tersono, Lukas Adi. 2006. Tanaman Obat dan Jus untuk Asam Urat dan
Rematik. Jakarta: AgroMedia Pustaka.
Tjitrosoepomo, Gembong. 1991. Taksonomi Umum. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press
Yesi, Suharno Z, Achyani. 2009. Pengaruh Variasi Dosis Ekstrak Batang Brotowali
(Trinospora Crispa L.) Terhadap Mortalitas Hama Kutu Daun (Aphis
Gossypii L.) Tanaman Mentimun (Cucumis Sativus L.) Sebagai Sumber
Belajar Biologi. Jurnal Pendidikan Biologi. Vol. 10(2): 164-170
Yesi. Zen, S. Achyani. 2019. Pengaruh Variasi Dosis Ekstrak Batang Brotowali
(Trinospora Crispa L.) Terhadap Mortalitas Hama Kutu Daun (Aphis
Gossypii L.) Tanaman Mentimun (Cucumis Sativus L.) Sebagai Sumber
Belajar Biologi. Jurnal Pendidikan Biologi. Vol. 10(2): 169
Zen, S, dan R. Noor. 2017. Inventarisasi Tanaman yang Berpotensi sebagai
Bioinsektisida Nyamuk Aedes aegyptii di Kota Metro Provinsi Lampung.

22

Anda mungkin juga menyukai