Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN
A.latar belakang

Hukum agraria adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum, baik yang tertulis maupun
yang tidak tertulis yang mengatur agraria. Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, LNRI Tahun 1960 No. 104 – TLNRI No. 2043,
diundangkan pada tanggal 24 September 1960. Undang-undang tersebut lebih dikenal dengan
sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) (Mertokusumo dalam Santoso, 2012).
Beberapa hal penting yang diatur dalam UUPA adalah penetapan tentang jenjang kepemilikan
hak atas penguasaan tanah dan serangkaian wewenang, larangan, dan kewajiban bagi
pemegang hak untuk memanfaatkan dan menggunakan tanah yang telah dimilikinya tersebut.
Hak guna bangunan (HGB) merupakan salah satu bentuk hak atas tanah yang memiliki peran
penting dalam hukum agraria di indonesia. Dalam konteks pembangunan dan pemanfaatan
lahan, HGB menjadi instrumen yang memungkinkan pihak-pihak tertentu untuk memanfaatkan
tanah untuk kepentingan tertentu dalam jangka waktu tertentu.

Tanah bagi kehidupan manusia memiliki arti yang sangat penting, karena sebagian besar
dari kehidupannya tergantung pada tanah. Tanah adalah karunia dari Tuhan Yang Maha Esa
kepada umat manusia dimuka bumi. Sejak lahir sampai meninggal dunia, manusia
membutuhkan tanah untuk tempat tinggal dan sumber kehidupan. Dalam hal ini, tanah
mempunyai dimensi ekonomi, sosial, kultural, politik dan ekologis (Limbong, 2012). Melihat
betapa pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, maka pengelolaan dan pemanfaatan tanah
harus diperhatikan seperti yang terkandung dalam Undang-Undang Pasal 33 ayat (3) bahwa
apa saja yang ada di bumi dan segala yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan
Negara dalam hal ini mempergunakannya untuk kesejahteraan rakyat.
Tanah secara konstitusi diatur dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang
menyatakan bahwa: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Sebagai tindak lanjut
dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berkaitan dengan bumi atau tanah,
maka dikeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (UUPA).
Pasal 1 ayat (4) UUPA menyatakan: “Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi,
termasuk tubuh bumi dibawahnya serta yang berada di bawah air”. Selanjutnya dalam Pasal 4
ayat (1) menyatakan: “Atas dasar hak menguasai dari negara dari tanah yang dimaksud dalam
pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang
dapat diberikan dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama
dengan orang lain atau badan hukum”.

BAB II

PEMBAHASAN

A.Pengertian Hak Guna Bangunan


Pasal 35 UUPA memberikan pengertian Hak Guna Bangunan, yaitu hak untuk
mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka
waktu paling lama 30 tahun dan bisa diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun.
Pasal 37 UUPA menegaskan bahwa Hak Guna Bangunan terjadi pada tanah yang
dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain. Adapun Pasal 21 PP No. 40 Tahun
1996 menegaskan bahwa tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Bangunan adalah tanah
negara, tanah Hak Pengelolaan, atau tanah Hak Milik.

B.Subjek Hak Guna Bangunan


Menurut Pasal 37 UUPA jo. Pasal 19 PP No. 40 Tahun 1996, yang dapat mempunyai
(subjek) Hak Guna Bangunan adalah:
1) Warga negara Indonesia
2) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
Apabila subjek Hak Guna Bangunan tidak memenuhi syarat sebagai warga negara
Indonesia atau badan hukum Indonesia, maka dalam 1 tahun wajib melepaskan atau
mengalihkan Hak Guna Bangunan tersebut kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Apabila
tidak dilakukan, maka Hak Guna Bangunannya hapus karena hukum dan tanahnya menjadi
tanah negara.
C.Kewajiban dan Hak Pemegang Hak Guna Bangunan
Menurut Pasal 30 dan Pasal 31 PP Nomor 40 Tahun 1996 tentang pemberian Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, pemegang Hak Guna Bangunan berkewajiban :
1) Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam
keputusan pemberian haknya;
2) Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukkannya dan persyaratan sebagaimana
ditetapkan dalam keputusan dan perjanjian pemberiannya;
3) Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada diatasnya serta menjaga
kelestarian lingkungan hidup;
4) Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan hak guna bangunan kepada
Negara, pemegang hak pengelolaan, atau pemegang hak milik sesudah hak guna
bangunan itu hapus;
5) Menyerahkan sertipikat hak guna bangunan yang telah hapus kepada Kepala Kantor
Pertanahan;
6) Memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau
bidang tanah yang terkurung oleh tanah Hak Guna Bangunan tersebut.
Sedangkan hak pemegang Hak Guna Bangunan dijelaskan pada Pasal 32 PP Nomor 40
Tahun 1996, yaitu: pemegang Hak Guna Bangunan berhak menguasai dan menggunakan tanah
yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan selama waktu tertentu untuk mendirikan dan
mempunyai bangunan untuk keperluan pribadi atau usahanya serta untuk mengalihkan hak
tersebut kepada pihak lain dan membebaninya.

D.Peralihan dan Hapusnya Hak Guna Bangunan


Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Beralih atau
dialihkan artinya bahwa hak guna bangunan itu dapat berpindah, berganti, atau dipindahkan
kepada pihak lain. Peralihan tersebut dapat terjadi karena jual beli, tukar menukar, penyertaan
dalam modal, hibah dan pewarisan.
Peralihan tersebut diatas harus dibuktikan dengan akta PPAT. Diatur dalam Pasal 34
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,
dan Hak Pakai atas tanah jo. Pasal 37 sampai dengan Pasal 40 PP Nomor 24 Tahun 1997
tentang pendaftaran tanah jo. Pasal 97 sampai dengan Pasal 106 Permen Agraria/Kepala BPN
No. 3 Tahun 1997. Selain dengan cara-cara yang ada diatas Hak Guna Bangunan juga dapat
dialihkan dengan cara lelang, dibuktikan dengan Berita Acara Lelang yang dibuat oleh pejabat
dari Kantor Lelang, diatur dalam Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 jo.
Pasal 41 Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 jo. Pasal 107 sampai dengan Pasal 110
Permen Agraria/Kepala BPN No 3 Tahun 1997.
Hapusnya hak guna bangunan diatur dalam Pasal 40 UUPA dan dipertegas dalam Pasal
35 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha. Hak Guna
Bangunan, dan Hak Pengelolaan. Bahwa faktor-faktor yang menyebabkan hapusnya Hak Guna
Bangunan adalah:
1) Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau
perpanjangannya atau dalam perjanjian pemberiannya.
2) Dibatalkannya oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak pengelolan atau pemegang
Hak Milik sebelum jangka waktunya berakhir karena :
a) Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak; atau
b) Tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban yang tertuang dalam perjanjian
pemberian Hak Guna Bangunan dan pemegang Hak Milik atau perjanjian
penggunaan tanah pengelolaan; atau
c) Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
3) Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang hak sebelum jangka waktu berakhir.
4) Dicabut berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961.
5) Ditelantarkan.
6) Tanahnya musnah.
7) Ketentuan Pasal 20 ayat (2).

E.Perlindungan Hukum bagi Pemegang Hak Guna Bangunan di atas Hak milik
Hadjon (1987) mengemukakan dalam perlindungan hukum terdapat suatu usaha untuk
memberikan hak-hak pihak yang dilindungi sesuai dengan kewajiban yang dilakukan.
Pemberian perlindungan disesuaikan dengan kewajiban yang dilakukan masing-masing pihak.
Perlindungan hukum dapat dikatakan juga sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu
konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan,
dan kedamaian.
Berbicara mengenai perlindungan hukum dan dikaitkan dengan pemberian Hak Guna
Bangunan di atas Hak Milik atas tanah maka perlindungan hukum akan diberikan kepada
masing-masing pihak dalam hal ini pemegang Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik atas
tanah dan pemegang hak milik atas tanah tersebut. Hak bagi pemegang Hak Guna Bangunan
di atas Hak Milik adalah dapat menikmati secara maksimal tanah dan bangunan yang
didirikannya dengan jaminan dari pemegang Hak Milik.
Pemegang Hak Guna Bangunan pun mempunyai kewajiban yang harus dilaksanakan
terhadap pemegang Hak Milik. Oleh dari itu setelah kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi
pemegang Hak Guna Bangunan dilaksanakan maka perlindungan hukum yang menjamin
terpenuhinya hak-hak dari pemegang Hak Guna Bangunan akan muncul.
F.Perlindungan Hukum terhadap pemegang Hak Milik atas tanah yang diatasnya
diberikan Hak Guna Bangunan
Perjanjian sewa-menyewa dan perjanjian pendahuluan pemberian Hak Guna Bangunan di
atas Hak Milik memuat hal-hal yang sama, tidak ada jaminan yang mendasar yang dapat
mencerminkan adanya perlindungan hukum yang dapat melindungi pihak pemegang Hak
Milik. Jaminan dari pihak kedua hanya terdapat dalam perjanjian pendahuluan pemberian Hak
Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik, yang menyatakan bahwa pihak kedua dengan ini
menyatakan dan menjamin pihak pertama;
1) Bahwa pihak kedua berhak untuk menandatangani akta ini;
2) Bahwa pihak kedua akan mengusahakan agar persyaratan yang diperlukan oleh pihak
kedua dilengkapi sebelum tanggal penandatanganan;
3) Bahwa setalah semua persyaratan yang dimaksud dalam sub b dipenuhi, pihak kedua
akan membuat dan menandatangani akta pemberian hak guna bangunan atas tanah hak
milik bersama-sama dengan Pihak pertama atau kuasa-kuasa mereka yang sah
dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang pada tanggal
penandatanganan;
4) Bahwa akta ini berlaku sah dan mengikat pihak kedua.

1. •. Pengertian hak milik adalah hak turun Temurun terkuat Dan terpenuhi yang dapat
dipunyai orang atas tanah (jangka waktunya tidak ada batas waktu tertentu,) dasar
hukum nya pasal 20 ayat (1) UUPA, pasal 21 (1) UUPA , pasal 22 ayat 2 UUPA
•hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai oleh negara dalam
jangka waktu sebagaimana dalam pasal dua sembilan hak guna bangunan, hak pertanian,
perikanan, atau peternakan. (Jangka waktunya adalah 35 tahun dan dapat diperpanjang
kembali selama 35 tahun. )Dasar hukumnya adalah pasal 28 ayat satu pasal 29 UUPA Dan
pasal delapan PP nomor 40 tahun 1996

2. Hak tanggungan adalah hak jaminan atas tanah beserta benda benda yang berkaitan
dengan tanah untuk kepentingan pembayaran hutang kepada pemegang hak tanggungan
ciri-ciri: jaminan yang bersifat khusus, hak tanggungan bersifat terbatas, hak
tanggungan tidak dapat dialihkan atau dijual tanpa persetujuan kreditur.
contohnya: saya meminjam uang dari bank maka bank dapat meminta jaminan berupa
hak tanggungan atas tanah yang saya miliki
3. •Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik yang dimaksud wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau
badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah
milik dan melembagakan untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau
keperluan umum lainnya
•Proses wakaf
1.Foto Copy KTP dan Kartu Keluarga Wakif dilegalisir kepala desa/kelurahan atau camat

2.Foto Copy KTP Nadzir dilegalisir kepala desa/kelurahan

3.Asli sertifikat tanah yang diwakafkan

4.SK Nadzir dari KUA asli atau copy dilegalisir.

5.Ikrar Wakaf & Akta Ikrar Wakaf atau Akta Pengganti AlW asli

6.Surat keterangan Warisan dari kepala desa/kelurahan diketahui camat bila wakif meninggal dunia atau
sertipikat mash atas nama orang tua yang sudah meninggal.

7. Surat Persetujuan dan Kuasa seluruh ahli waris kepada wakif (mewakili seluruh ahli waris) untuk
mendaftar/melaksanakan ikrar wakaf.

8. Foto copy KTP/KSK seluruh ahli waris dilegalisir (No. 6 - 7 bila wakif atau sertifikat atas nama orang yang
sudah meninggal)

9. Copy surat keterangan PBB bidang wakaf bila ada dan SPP Waris bila diperlukan (Nomor 1 s/d 8 rangkap 2
dilegalisir)

10.Mengisi Formulir BPN

11.Biaya : 0 Rupiah

12.Waktu : 25 menit

4. Pendaftaran tanah menurut PP No. 24 Tahun 1997 Pasal 1 ayat 1. Pendaftaran tanah adalah rangkaian
kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi
pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam
bentuk peta dan daftar, mengenai bidang- bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk surat
pemberian tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan
rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

Asas-asas pendaftaran tanah

Dilansir dari buku Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah (2011) oleh Urip Santoso, berdasarkan Pasal 2 PP
No. 24 Tahun 1997, asas-asas pendaftaran tanah yakni:

Asas sederhana
Asas yang dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dapat
dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama para pemegang hak atas tanah.

Asas aman

Dimaksudkan untuk menunjukkan pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat. Sehingga
hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.

Asas terjangkau

Dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-pihak yang memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan
dan kemampuan golongan ekonomi lemah.

Pelayanan yang diberikan dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh pihak
yang memerlukan.

Asas mutakhir

Kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaannya dan berkesinambungan dalam pemeliharaan datanya. Data
yang tersedia harus menunjukkan keadaan yang mutakhir.

Sehingga diikuti kewajiban mendaftar dan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi di kemudian hari.

Asas ini menuntut dipeliharanya data pendaftaran tanah secara terus menerus dan berkesinambungan.

Asas terbuka

Asas terbuka artinya masyarakat dapat mengetahui atau memperoleh keterangan mengenai data fisik dan data
yuridis yang benar setiap saat di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.

Anda mungkin juga menyukai