Laporan Pendahuluan SNH
Laporan Pendahuluan SNH
Disusun Oleh:
Leviana Suci Novianti
C1AA21063
3C (KELOMPOK 3)
PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SUKABUMI
2023
STROKE NON HEMORAGIC
A. DEFINISI
Stroke non hemoragik adalah sindroma klinis yang awalnya timbul mendadak,
progresi cepat berupa deficit neurologis fokal atau global yang berlangsung 24 jam atau
lebih atau
langsung menimbulkan kematian yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak
non
traumatik (Arif Mansjoer, 2000).
Stroke non hemoragik merupakan proses terjadinya iskemia akibat emboli dan
trombosis serebral biasanya terjadi setelah lama beristirahat, baru bangun tidur atau di
pagi hari dan tidak terjadi perdarahan. Namun terjadi iskemia yang menimbulkan
hipoksia dan
selanjutnya dapat timbul edema sekunder. (Arif Muttaqin, 2008).
Sedangkan menurut pahria, (2004) stroke non haemoragik adalah Cedera otak yang
berkaitan dengan obstruksi aliran darah otak terjadi Akibat pembentukan trombus di arteri
cerebrum atau embolis yang Mengalir ke otak dan tempat lain di tubuh.
Stroke nonhemoragik adalah stroke yang disebabkan karena dan oksigen ke otak
sumbatan pada arteri sehingga suplai glukosa berkurang dan terjadi kematian sel atau
jaringan otak yang disuplai.
B. ETIOLOGI
1. Thrombosis cerebral
Stroke trombotik dapat dibagi menjadi stroke pada pembuluh darah besar
(termasuk sistem arteri karotis) dan pembuluh darah kecil (termasuk sirkulus Willisi
dan sirkulus posterior). Tempat terjadinya trombosis yang paling sering adalah titik
percabangan arteri serebral utamanya pada daerah distribusi dari arteri karotis interna.
Adanya stenosis arteri dapat menyebabkan terjadinya turbulensi aliran darah
(sehingga meningkatkan resiko pembentukan trombus aterosklerosis (ulserasi plak),
dan perlengketan platelet.
Thrombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi sehingga
menyebabkan iskemi jaringan otak yang dapat menimbulkan edema dan kongesti di
sekitarnya. Thrombosis biasanya terjadi pada lansia yang sedang tidur atau bangun
tidur. Hal ini dapat terjadi karena penurunan aktivitas simpatis dan penurunan tekanan
darah yang dapat menyebabkan iskemi serebral. Tanda dan gejala neurologis
seringkali memburuk pada 48 jam setelah thrombosis.
Beberapa keadaan di bawah ini dapat menyebabkan thrombosis otak:
1) Atherosklerosis
Atherosklerosis adalah mengerasnya pembuluh arah serta berkurangnya
kelenturan atau elastisitas dinding pembuluh darah, Terbentuknya aterosklerosis
berawal dari endapan ateroma (endapan lemak) yang kadarnya berlebihan dalam
pembuluh darah. Selain dari endapan lemak, aterosklerosis ini juga mungkin
karena arteriosklerosis, yaitu penebalan dinding arteri (tunika intima) karena
timbunan kalsium yang kemudian mengakibatkan bertambahnya diameter
pembuluh darah dengan atau tanpa mengecilnya pembuluh darah. Atau kerusakan
dapat terjadi melalui mekanisme berikut:
a. lumen arteri menyempit dan mengakibatkan berkurangnya aliran darah
b. Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadi thrombosis
c. Merupakan tempat terbentuknya Rombus, kemudian melepaskan kepingan
thrombus (embolus)
d. Dinding arteri menjadi lemah dan terjadi aneurisma kemudian robek dan
terjadi perdarahan.
2) Hypercoagulasi pada polysitemia
Darah bertambah kental peningkatan viskositas/hematokrit meningkat dapat
melambatkan aliran darah serebral.
3) Arteritis (radang pada arteri)
4) Penyebab lain terjadinya trombosis adalah polisetemia, anemia sickle sel,
defisiensi protein C, displasia fibromuskular dari arteri serebral, dan
vasokonstriksi yang berkepanjangan akibat gangguan migren. Setiap proses yang
menyebabkan diseksi arteri serebral juga dapat menyebabkan terjadinya stroke
trombotik (contohnya trauma, diseksi. aorta thorasik, arteritis).
2. Emboli
Emboli serebral merupakan penyumbatan pembuluh darah otak oleh bekuan
darah, lemak dan udara.
1) Embolus yang dilepaskan oleh arteria karotis atau vertebralis, dapat berasal dari
"plaque athersclerotique" yang berulserasi atau dari trombus yang melekat pada
intima arteri akibat trauma tumpul pada daerah leher.
2) Embolisasi kardiogenik dapat terjadi pada:
a. Penyakit jantung dengan "shunt" yang menghubungkan bagian kanan dan
bagian kiri atrium atau ventrikel.
b. Penyakit jantung rheumatoid akut atau menahun yang meninggalkan gangguan
pada katup mitralis.
c. Fibrilasi atrium
d. Infarksio kordis akut
e. Embolus yang berasal dari vena pulmonalis
f. Kadang-kadang pada kardiomiopati, fibrosis endrokardial, jantung
miksomatosus Sistemik
3) Embolisasi akibat gangguan sistemik dapat terjadi sebagai:
a. embolia septik, misalnya dari abses paru atau bronkiektasis
b. metastasis neoplasma yang sudah tiba di paru.
c. embolisasi lemak dan udara atau gas n (seperti penyakit "caisson").
Emboli dapat berasal dari jantung, arteri ekstrakranial, ataupun dari right sided
circulation (emboli paradoksikal). Penyebab terjadinya emboli kardiogenik adalah
trombi valvular seperti pada mitral stenosis, endokarditis, katup buatan), trombi mural
(seperti infark miokard, atrial fibrilasi, kardiomiopati, gagal jantung kongestif) dan
atrial miksoma. Sebanyak 23 persen stroke emboli diakibatkan oleh infark miokard
dan 85 persen di Antaranya terjadi pada bulan pertama setelah
terjadinya infark miokard.
3. Infeksi
Peradangan juga menyebabkan menyempitnya pembuluh darah, terutama yang
menuju ke otak.
4. Obat-obatan
Ada beberapa jenis obat-obatan yang justru dapat menyebabkan stroke seperti:
amfetamin dan kokain dengan jalan mempersempit lumen pembuluh darah ke otak.
5. Hipotensi
Penurunan tekanan darah yang tiba-tiba bisa menyebabkan berkurangnya aliran darah
ke otak, yang biasanya menyebabkan seseorang pingsan. Stroke bisa terjadi jika
hipotensi ini sangat parah dan menahun.
6. Hipoksia
1) Hypoksia umum
Hipertensi yang parah.
Cardiac pulmonary arrest
Cardiac output turun akibat aritmia
2) Hipoksia setempat
Spasme arteri serebral, yang disertai perdarahan subarachnoid.
Vasokontriksi arteri otak disertai sakit kepala migrain.
C. PATOFISIOLOGI
Menurut (Muttaqin, 2008) Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area
tertentu di otak. Luasnya infark tergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan besarnya
pembuluh darah dan tidak adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap area yang disuplai oleh
pembuluh darah yang tersumbat. Suplai darah ke otak dapat berubah (makin lambat atau
cepat) pada gangguan lokal (trombus, emboli, perdarahan, dan spasme vaskular) atau
karena gangguan umum (hipoksia dan jantung). Aterosklerosis sering sebagai faktor
penyebab infark pada otak. Trombus dapat berasal dari plak arterosklerotik, atau darah
dapat beku pada area yang stenosis, tempat aliran darah mengalami pelambatan atau
terjadi turbulensi.
Trombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa sebagai emboli dalam
aliran darah. Trombus mengakibatkan iskemia jaringan otak yang disuplai oleh pembuluh
darah yang bersangkutan mengakibatkan edema dan kongesti di sekitar area. Area edema
ini menyebabkan disfungsi yang lebih besar daripada area infark itu sendiri. Edema dapat
berkurang dalam beberapa jam atau kadang-kadang sesudah beberapa hari. Dengan
berkurangnya edema klien mulai menunjukkan perbaikan. Oleh karena trombosis
biasanya tidak fatal, jika tidak terjadi perdarahan masif. Oklusi pada pembuluh darah
serebral oleh embolus menyebabkan edema dan nekrosis diikuti trombosis. Jika terjadi
septik infeksi akan meluas pada dinding pembuluh darah maka akan terjadi abses atau
ensefalitis, atau jika sisa infeksi berada pada pembuluh darah yang tersumbat akan
menyebabkan dilatasi aneurisma pembuluh darah, hal ini akan menyebabkan perdarahan
serebral, jika aneurisma pecah atau ruptur.
Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang anoksia serebral: Perubahan yang
disebabkan oleh anoksia serebral dapat reversibel untuk waktu 4-6 menit. Perubahan
ireversibel jika anoksia lebih dari 10 menit. Anoksia serebral dapat terjadi oleh karena
gangguan yang bervariasi salah satunya henti jantung (Muttaqin, 2008).
PATHWAY
D. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Baughman, C Diane.dkk, 2000 tanda dan gejala dari stroke adalah:
1. Kehilangan Motorik
Disfungsi motorik paling umum adalah hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) dan
hemiparesis (kelemahan salah satu sisi) dan disfagia.
2. Kehilangan komunikasi
Disfungsi bahasa dan komunikasi adalah disatria (kesulitan berbicara) atau afasia
(kehilangan berbicara).
3. Gangguan persepsi
Meliputi disfungsi persepsi visual humanus, heminapsia atau kehilangan penglihatan
perifer dan diplopia, gangguan hubungan visual, spesial dan kehilangan sensori.
4. Kerusakan fungsi kognitif parestesia (terjadi pada sisi yang berlawanan).
5. Disfungsi kandung kemih meliputi: inkontinensiaurinarius transier, inkontinensia
urinarius peristen atau retensi urin (mungkin simtomatik dari kerusakan otak
bilateral), inkontinensia urinarius dan defekasiyang berlanjut (dapat mencerminkan
kerusakan neurologi ekstensif).
Tanda dan gejala yang muncul sangat tergantung dengan daerah otak yang terkena:
1. Pengaruh terhadap status mental: tidak sadar, konfus, lupa tubuh sebelah
2. Pengaruh secara fisik: paralise, disfagia, gangguan sentuhan dan sensasi,
gangguan penglihatan
3. Pengaruh terhadap komunikasi, bicara tidak jelas, kehilangan bahasa.
Kemudian dilihat dari bagian hemisfer yang terkena tanda dan gejalanya sebagai berikut:
Stroke Hemisfer Kanan Stroke Hemisfer Kiri
Hemiparese kanan Hemiparese kiri
Defek lapang pandang kanan Defek lapang pandang kiri
Afasia (ekspresif, reseptif, atau Defisit persepsi khusus
global) Peningkatan distraktibilitas
Perubahan kemampuan intelektual Perilaku impuls dan penilaian buruk,
Perilaku lambat dan kewaspadaan kurang kesadaran terhadap defisit
E. KOMPLIKASI
Komplikasi pada Stroke Non Hemoragik adalah:
1. Berhubungan dengan imobilisasi: infeksi pernafasan, nyeri pada daerah tertekan,
konstipasi.
2. Berhubungan dengan paralise: nyeri punggung, dislokasi sendi, deformitas, terjatuh.
3. Berhubungan dengan kerusakan otak: epilepsy, sakit kepala.
4. Bekuan darah (trombosis) mudah terbentuk pada kaki yang lumpuh menyebabkan
penimbunan cairan, pembengkakan (edema) selain itu juga dapat menyebabkan
embolisme paru yaitu sebuah bekuan yang terbentuk dalam satu arteri yang
mengalirkan darah ke paru.
5. Dekubitus bagian tubuh yang sering mengalami memar adalah Pinggul, pantat, sendi
kaki dan tumit. Bila memar ini tidak dirawat dengan baik maka akan terjadi ulkus
dekubitus dan infeksi.
6. Pneumonia pasien stroke tidak bisa batuk dan menelan dengan sempurna, hal ini
menyebabkan cairan terkumpul di paru-paru dan selanjutnya menimbulkan pneumoni.
7. Atrofi dan kekakuan sendi (kontraktur) hal ini disebabkan karena kurang gerak dan
immobilisasi.
8. Depresi dan kecemasan gangguan perasaan sering terjadi pada stroke dan
menyebabkan reaksi emosional dan fisik yang tidak diinginkan karena terjadi
perubahan dan kehilangan fungsi tubuh.
9. Hidrosefalus
F. PENATALAKSANAAN
Tujuan intervensi adalah berusaha menstabilkan tanda-tanda vital dengan melakukan
tindakan sebagai berikut:
1. Mempertahankan saluran nafas yang paten yaitu lakukan pengisapan lendiryang
sering. Oksigenasi, kalau perlu lakukan trakeostomi, membantu pernafasan.
2. Mengendalikan tekanan darah berdasarkan kondisi pasien, termasuk untuk usaha
memperbaiki hipotensi dan hipertensi.
3. Berusaha menentukan dan memperbaiki aritmia jantung.
4. Menempatkan pasien dalam posisi yang tepat, harus dilakukan secepat mungkin
pasien harus dirubah posisi tiap 2 jam dan dilakukan latihanlatihan gerak pasif.
5. Mengendalikan hipertensi dan menurunkan TIK dengan meninggikan kepala 15-30
derajat menghindari flexi dan rotasi kepala yang berlebihan,
Pengobatan Konservatif
1. Vasodilator meningkatkan aliran darah serebral (ADS) secara percobaan, tetapi
maknanya: pada tubuh manusia belum dapat dibuktikan.
2. Dapat diberikan histamin, aminophilin, asetazolamid, papaverin intra arterial.
3. Anti agregasi thrombosis seperti aspirin digunakan untuk menghambat reaksi
pelepasan agregasi thrombosis yang terjadi sesudah ulserasi alteroma.
4. Anti koagulan dapat diresepkan untuk mencegah terjadinya/memberatnya trombosis
atau emboli di tempat lain di sistem kardiovaskuler.
Pengobatan pembedahan
Tujuan utama adalah memperbaiki aliran darah serebral:
1. Endosterektomi karotis membentuk kembali arteri karotis, yaitu dengan membuka
arteri karotis di leher.
2. Revaskularisasi terutama merupakan tindakan pembedahan dan manfaatnya paling
dirasakan oleh pasien TIA.
3. Evaluasi bekuan darah dilakukan pada stroke akut
4. Ugasi arteri karotis komunis di leher khususnya pada aneurisma
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Angiografi serebral
Menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti perdarahan atau obstruksi arteri.
2. Single photon emission computed tomography (SPECT).
Untuk mendeteksi luas dan daerah abnormal dari otak, yang juga mendeteksi,
melokalisasi, dan mengukur stroke (sebelum nampak oleh pemindaian CT).
3. CT Scan
Pemindaian ini memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi hematoma, adanya
jaringan otak yang infark atau iskemia dan posisinya secara pasti.
4. MRI (Magnetic Imaging Resonance)
Menggunakan gelombang megnetik untuk menentukan posisi dan bsar terjadinya
perdarahan otak. Hasil yang didapatkan area yang mengalami lesi dan infark akibat
dari hemoragik.
5. EEG
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat masalah yang timbul dan dampak dari
jaringan yang infark sehingga menurunya impuls listrik dalam jaringan otak.
6. Pemeriksaan laboratorium
1) Lumbal pungsi: pemeriksaan likuor merah biasanya dijumpai pada perdarahan
yang masif, sedangkan pendarahan yang kecil biasanya wama likuor masih
normal. (xantokhrom) sewaktu hari-hari pertama.
2) Pemeriksaan darah rutin (glukosa, elektrolit, ureum, kreatinin)
3) Pemeriksaan kimia darah: pada strok akut dapat terjadi hiperglikemia. Gula darah
dapat mencapai 250 mg di dalam serum dan kemudian berangsur-angsur turun
kembali.
4) Pemeriksaan darah lengkap: untuk mencari kelainan pada darah itu sendiri.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Identitas klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin,
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor
register, dan diagnosis medis.
2. Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongau kesehatan adalah
kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat berkomunikasi, dan
penurunan tingkat kesadaran.
3. Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke hemoragik sering kali berlangsung sangat mendadak, pada saat
klien sedang beristirahat. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah bahkan kejang
sampai tidak sadar, selain gejala kelumpuhan separuh badan atau gangguan fungsi
otak yang lain.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran disebabkan perubahan
di dalam intrakranial. Keluhari perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai
perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsif, dan konia.
4. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, diabetes melitus, penyakit
jantung, anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama, penggunaan
obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, dan kegemukan.
Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien, seperti pemakaian obat
antihipertensi, antilipidemia, penghambat beta, dan lainnya. Adanya riwayat merokok,
penggunaan alkohol dan penggunaan obat kontrasepsi oral. Pengkajian riwayat ini
dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data
dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.
5. Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes melitus, atau
adanya riwayat stroke dari generasi terdahulu.
6. Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien stroke meliputi bebera pa dimensi yang
memungkinkan perawat untuk rnemperoleh persepsi yang jelas mengenai status
emosi, kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang digunakan
klien juga penting untuk menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons
atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya, baik dalam keluarga ataupun
dalam masyarakat.
7. Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis.
Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan secara per sistem (B1-B6) dengan fokus
pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan dihubungkan dengan
keluhan-keluhan dari klien.
1) B1 (Breathing)
Pada inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak
napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan.
Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan peningkatan
produksi sekret dan kemampuan batuk yang menurun yang sering didapatkan pada
klien stroke dengan penurunan tingkat kesadaran koma.
Pada klien dengan tingkat kesadaran compos mends, pengkajian inspeksi
pernapasannya tidak ada kelainan. Palpasi toraks didapatkan taktil premitus
seimbang kanan dan kiri. Auskultasi tidak didapatkan bunyi napas tambahan.
2) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan (syok
hipovolemik) yang sering terjadi pada klien stroke. Tekanan darah biasanya terjadi
peningkatan dan dapat terjadi hipertensi masif (tekanan darah >200 mmHg).
3) B3 (Brain)
Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologis, bergantung pada lokasi lesi
(pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak
adekuat, dan aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori). Lesi otak yang rusak
tidak dapat membaik sepenuhnya. Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan
fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
4) B4 (Bladder)
Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinensia urine sementara karena
konfusi, ketidakmampuan mengomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan
untuk mengendalikan kandung kemih karena kerusakan kontrol motorik dan
postural. Kadang kontrol sfingter urine eksternal hilang atau berkurang. Selama
periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik steril. Inkontinensia
urine yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.
5) B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual
muntah pada fase akut. Mual sampai muntah disebabkan oleh peningkatan
produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola
defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus. Adanya
inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.
6) B6 (Bone)
Stroke adalah penyakit UMN dan mengakibatkan kehilangan kontrol volunter
terhadap gerakan motorik. Oleh karena neuron motor atas menyilang, gangguan
kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh dapat menunjukkan kerusakan
pada neuron motor atas pada sisi yang berlawanan dari otak. Disfungsi motorik
paling umum adalah hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada
sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuh,
adalah tanda yang lain. Pada kulit, jika klien kekurangan O2 kulit akan tampak
pucat dan jika kekurangan cairan maka turgor kulit akan buruk. Selain itu, perlu
juga dikaji tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang menonjol karena
klien stroke mengalami masalah mobilitas fisik.
Adanya kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori
atau paralise/ hemiplegi, serta mudah lelah menyebabkan masalah pada pola
aktivitas dan istirahat.
7) Pengkajian Tingkat Kesadaran
Tingkat kesadaran klien stroke biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor,
dan semikomatosa. Jika klien sudah mengalami koma maka penilaian GCS sangat
penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk
pemantauan pemberian asuhan.
8) Pengkajian Fungsi Serebral
Pengkajian ini meliputi status mental, fungsi intelektual, kemampuan bahasa,
lobus frontal, dan hemisfer.
9) Status Mental
Observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi wajah, dan
aktivitas motorik klien. Pada klien stroke tahap lanjut biasanya status mental klien
mengalami perubahan.
10) Fungsi Intelektual
Didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori, baik jangka pendek
maupun jangka panjang. Penurunan kemampuan berhitung dan kalkulasi. Pada
beberapa kasus klien mengalami brain damage yaitu kesulitan untuk mengenal
persamaan dan perbedaan yang tidak begitu nyata.
11) Kemampuan Bahasa
Penurunan kemampuan bahasa tergantung daerah lesi yang memengaruhi
fungsi dari serebral. Lesi pada daerah hemisfer yang dominan pada bagian
posterior dari girus temporalis superior (area Wernicke) didapatkan disfasia
reseptif, yaitu klien tidak dapat memahami bahasa lisan atau bahasa tertulis.
Sedangkan lesi pada bagian posterior dari girus frontalis inferior (area Broca)
didapatkan disfagia ekspresif, yaitu klien dapat mengerti, tetapi tidak dapat
menjawab dengan tepat dan bicaranya tidak lancar. Disartria (kesulitan
berbicara), ditunjukkan dengan bicara yang sulit dimengerti yang disebabkan oleh
paralisis otot yang bertanggung jawab untuk menghasilkan bicara. Apraksia
(ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya), seperti
terlihat ketika klien mengambil sisir dan berusaha untuk menyisir rambutnya.
8. Pengkajian saraf kranial
Meliputi pemeriksaan saraf kranial I-X11.
1) Saraf I: Biasanya pada klien stroke tidak ada kelainan pada fungsi penciuman.
2) Saraf II: Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensori primer di antara
mata dan korteks visual. Gangguan hubungan visual-spasial (mendapatkan
hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial) sering terlihat pada Mien
dengan hemiplegia kiri. Klien mungkin tidak dapat memakai pakaian tanpa
bantuan karena ketidakmampuan untuk mencocokkan pakaian ke bagian tubuh.
3) Saraf III, IV, dan VI: Jika akibat stroke mengakibatkan paralisis, pada Satu sisi
otot-otot okularis didapatkan penurunan kemampuan gerakan konjugat unilateral
di sisi yang sakit.
4) Saraf V: Pada beberapa keadaan stroke menyebabkan paralisis saraf trigenimus,
penurunan kemampuan koordinasi gerakan mengunyah, penyimpangan rahang
bawah ke sisi ipsilateral, serta kelumpuhan satu sisi otot pterigoideus internus dan
eksternus.
5) Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris, dan otot
wajah tertarik ke bagian sisi yang sehat.
6) Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
7) Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik dan kesulitan membuka mulut.
8) Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
9) Saraf XII. Lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan fasikulasi, serta indra
pengecapan normal.
9. Pengkajian sistem motorik
Stroke adalah penyakit saraf motorik atas (UMN) dan mengakibatkan kehilangan
kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Oleh karena UMN bersilangan, gangguan
kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh dapat menunjukkan kerusakan pada
UMN di sisi ng berlawanan dari otak.
1) Inspeksi Umum. Didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi
pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuh
adalah tanda yang lain.
2) Fasikulasi. Didapatkan pada otot-otot ekstremitas.
3) Tonus Otot. Didapatkan meningkat
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa yang mungkin muncul pada pasien stroke non hemoragik, adalah:
1. Nyeri akut (D.0077)
2. Gangguan integritas kulit/jaringan (D.0129)
3. Gangguan mobilitas fisik (D.0054)
4. Defisit perawatan diri (D.0109)
5. Gangguan komunikasi verbal (D.0119)
6. Defisit nutrisi (D.0019)
7. Pola nafas tidak efektif (D.0005)
8. Risiko perfusi serebral tidak efektif (D.0017)
9. Risiko jatuh (D.0143)
C. INTERVENSI
DIAGNOS LUARAN (SLKI) INTERVENSI (SIKI)
A (SDKI)
Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nyeri (I. 08238)
(D.0077) keperawatan selama 3x24 Observasi
jam diharapkan tingkat nyeri 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
menurun (L.08066) dengan 2. Identifikasi skala nyeri
kriteria hasil: 3. Idenfitikasi respon nyeri non verbal
Keluhan nyeri menurun 4. Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
Gelisah menurun 5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
Jatuh saat 4. Hitung risiko jatuh dengan menggunakan skala (mis: fall morse scale, humpty dumpty
Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan.
Jakarta: Salemba Medika
Smeltzer, dkk. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8
Vol 2. alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin
asih. Jakarta: EGC
PPNI (2018). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik,
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.