Anda di halaman 1dari 35

Referat

ETIOPATOGENESIS NON-ALCOHOLIC FATTY LIVER DISEASE

Preseptor :
dr. Hj. Yunita, Sp.PD. FINASIM

Disusun Oleh :
Fajrian Alwi 2210070200095
Fuji Lestari Kursiussamawati 2210070200070
Adella Aprilia 2210070200100
Winda Sulastri 2210070200149

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BAITURRAHMAH


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD DR. ACHMAD MOCHTAR
BUKITTINGGI
2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT, atas berkat

rahmat dan karunia yang diberikan-Nya, sehingga penulis telah dapat

menyelesaikan penyusunan referat yang berjudul “Etiopatogenesis Non-

alcoholic fatty liver disease (NAFLD)”. Penulisan referat ini diharapkan berguna

sebagai khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang kesehatan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Hj. Yunita, Sp. PD

FINASIM selaku pembimbing sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan

referat ini tepat waktu demi memenuhi tugas kepaniteraan klinik. Penulis

menyadari masih banyak kesalahan baik dalam segi penyusunan, pengolahan,

pemilihan kata, dan proses pengetikan karena masih dalam tahap pembelajaran.

Saran dan kritik yang membangun tentu sangat penulis harapkan untuk

penyempurnaan dan perbaikan di masa yang akan datang.

Akhir kata, semoga referat ini dapat berguna khususnya bagi penulis dan

bagi pembaca pada umumnya dalam memahami masalah yang berhubungan

dengan “ Etiopatogenesis Non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD)”

Bukittinggi, 30 September 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
DAFTAR TABEL..................................................................................................v
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................vi
DAFTAR SINGKATAN......................................................................................vii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................1
1.2 Tujuan Penulisan..................................................................................................2
1.3 Manfaat Penulisan...............................................................................................2
BAB II Non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD).............................................3
2.1 Definisi.................................................................................................................3
2.2 Epidemiologi.......................................................................................................3
2.3 Etiopatogenesis...................................................................................................4
2.3.1 Hubungan obesitas dengan NAFLD (Non-alcoholic fatty liver disease)...........7
2.3.2 Hubungan Dislipidemia dengan NAFLD (Non-alcoholic fatty liver disease)....8
2.3.3 Hubungan Diabetes Melitus Tipe II dengan NAFLD (Non-alcoholic fatty liver
disease)....................................................................................................................10
2.4 Diagnosis............................................................................................................13
2.4.1 Anamnesis.......................................................................................................13
2.4.2 Pemeriksaan Fisik...........................................................................................13
2.4.3 Pemeriksaan penunjang...................................................................................13
2.5 Komplikasi..........................................................................................................17
2.6 Tatalaksana.........................................................................................................18
2.6.1 Terapi non Farmakologis...............................................................................18
2.6.2 Terapi Farmakologis........................................................................................19
BAB III PENUTUP..............................................................................................25
3.1 Kesimpulan........................................................................................................25
3.2 Saran..................................................................................................................25

iii
iv
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Prevalensi NAFLD pada populasi umum dan populasi dengan faktor
risiko di negara Asia Pasifik....................................................................................7
Tabel 2 Farmakologi NAFLD................................................................................25

v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Hipotesis “multiple hit” pada Patogenesis NAFLD................................5
Gambar 2 Etiologi NAFLD......................................................................................6
Gambar 3 Hubungan Diabetes Melitus Tipe II dengan NAFLD (Non-alcoholic
fatty liver disease)..................................................................................................10
Gambar 4 Pencitraan ultrasonografi NAFLD........................................................14
Gambar 5 CT Scan NAFLD...................................................................................16
Gambar 6 MRI NAFLD.........................................................................................17
Gambar 7 Komplikasi NAFLD..............................................................................18

vi
DAFTAR SINGKATAN

AFL : Alcoholic Fatty Liver

CRP : C-reaktif Protein

CVD : Cardiovaskular Disease

DMT2 : Diabetes Melitus Tipe 2

DNL : De novo lipogenesis

HDL 2 : High-density lipoprotein 2

IMT : Indeks Massa Tubuh

LDL : Low-density lipoprotein

NAFL : non alcoholic fatty liver

NASH : nonalcoholic steatohepatitis

NAFLD : Non-alcoholic fatty liver disease

RE : Retikulum endoplasma

ROS : Reactive oxygen species

TG : Trigliserida

UDCA : Ursodeoksikolat

UPR : Unfolded protein response

USG : Ultrasonografi

vii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD) adalah istilah yang digunakan

untuk kondisi yang ditandai dengan bukti steatosis hati pada pencitraan atau

histologi.1 NAFLD merupakan penyebab utama penyakit hati dengan insiden yang

mengalami peningkatan di seluruh dunia. Meningkatnya prevalensi faktor risiko

utama NAFLD seperti obesitas, diabetes melitus, dan dislipidemia di Asia telah

berpengaruh pada peningkatan prevalensi NAFLD.2

Prevalensi NAFLD dapat mencapai 15-30% di negara-negara eropa, angka

prevalensi ini dapat meningkat sampai dengan 58% pada seseorang yang

mengalami overweight. Pada seseorang dengan obesitas non-diabetes,

prevalensinya dapat meningkat sampai dengan 90%. Tingkat prevalensi di negara-

negara Timur Tengah dan Amerika Selatan sekitar 30% dan prevalensi di Asia

mencapai 29,6%.3 Prevalensi NAFLD di Indonesia sebesar 30,6% dan lebih tinggi

dibandingkan dengan India dan Cina (24,6% dan 20%).4

Pasien yang terdiagnosis NAFLD sebagian besar tidak menunjukkan

gejala hanya sebagian kecil yang menunjukkan gejala seperti kelelahan, malaise,

rasa tidak nyaman pada perut bagian kuadran kanan atas, dan hepatomegali.

NAFLD paling sering didiagnosis secara tidak sengaja ketika pasien diketahui

mengalami peningkatan enzim hati atau ditemukan gambaran hati yang echogenik

pada USG abdomen.5

NAFLD dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular dan

kanker. Penting bagi pasien yang telah didiagnosis dengan NAFLD untuk

1
memulai terapi dan melakukan modifikasi gaya hidup guna meminimalisasi

dampak yang ditimbulkan oleh penyakit ini. Jika NAFLD tidak segera

didiagnosis, kemungkinan munculnya komplikasi seperti sirosis akan meningkat

dan penanganannya menjadi lebih sulit. Oleh karena itu, pemahaman mengenai

metode diagnosis dan tatalaksana NAFLD menjadi sangat penting untuk

diketahui. Dengan pemahaman yang memadai, dokter dapat melakukan diagnosis

dini NAFLD untuk memberikan strategi tatalaksana awal yang tepat waktu dan

efektif dalam mencegah perkembangan penyakit menjadi komplikasi yang serius.

1.2 Tujuan Penulisan


Referat ini dapat digunakan sebagai referensi dalam pembelajaran,

menambah ilmu pengetahuan agar pembaca lebih memahami tentang kondisi

Non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD) dan sebagai pengayaan materi di

kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD. Dr. Achmad Mochtar

Bukittinggi.

1.3 Manfaat Penulisan


Manfaat penulisan referat ini dapat digunakan agar mahasiswa mengetahui

pencegahan secara promotif maupun preventif dan memahami tentang penyakit

Non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD) untuk mencegah terjadinya komplikasi

penyakit.

2
BAB II
Non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD)

2.1 Definisi
Non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD) merupakan kondisi yang

ditandai secara histologis dengan steatosis (perlemakan) hati makrovesikular. Ada

dua pola histologis NAFLD, yaitu lemak hati saja (non alcoholic fatty liver =

NAFL) dan perlemakan hati pada tingkat yang lebih berat (non alcoholic

steatohepatitis = NASH). Perlemakan hati bisa ditemukan pada peminum alkohol

(>20 gr per hari) disebut Alcoholic Fatty Liver (AFL), bila ditemukan pada bukan

peminum alkohol disebut Alcoholic Fatty Liver (AFL). Dikatakan sebagai

perlemakan hati apabila kandungan lemak di hati (sebagian besar terdiri atas

trigliserida) melebihi 5% dari seluruh berat hati. Terdapat peningkatan insidensi

NAFLD pada sindroma metabolik yang meliputi obesitas, hiperinsulinemia,

resistensi insulin perifer, diabetes mellitus, hipertrigliseridemia, dan hipertensi. 6

2.2 Epidemiologi
Prevalensi NAFLD berkisar antara 15-20% pada populasi dewasa di

Amerika Serikat, Jepang dan Italia. Diperkirakan 20-30% diantaranya berada

dalam fase yang lebih berat. Di Indonesia penelitian mengenai NAFLD masih

belum banyak. Terdapat dari 17 pasien NAFLD, rata-rata berumur 42 tahun

dengan 29% gambaran histologi hati menunjukkan steatohepatitis disertai fibrosis.

Sebuah studi populasi dengan sampel cukup besar oleh mendapatkan prevalensi

NAFLD sebesar 30,6%. Beberapa karakteristik klinis berhubungan dengan

NAFLD, termasuk diabetes mellitus, hiperlipidemia, dan obesitas. Semua

penyakit ini berhubungan dengan keadaan resistensi insulin. NAFLD telah

ditunjukkan dari beberapa studi berhubungan dengan resistensi insulin. Obesitas

3
ditemukan pada 40%-100% pasien perlemakan hati non alkoholik dengan diabetes

dan hiperlipidemia terjadi pada 21-75% dan 21-83% 7

Negara Populasi Diabetes Obesitas Dislipidemia


Umum
Jepang 9-30% 40-50% 50-80% 42-58%
China 5-24% 35% 70-80% 57%
Korea ~18% 35% 10-50% 26-35%
India 5-28% 30-90% 15-20%
Indonesia ~30% ~52% ~47% ~56%
Malaysia 17%
Singapura 5%
Tabel 1 Prevalensi NAFLD pada populasi umum dan populasi dengan faktor
risiko di negara Asia Pasifik8

2.3 Etiopatogenesis
NAFLD merupakan penyakit hati kronis yang dapat terjadi pada orang

dewasa maupun anak-anak. NAFLD berhubungan langsung dengan kelainan

metabolisme seperti obesitas, diabetes, dan dislipidemia yang dianggap sebagai

manifestasi hati dari sindrom metabolik dan memiliki hubungan dengan faktor

nutrisi. Hal ini dapat terjadi karena predisposisi genetik (umur, jenis kelamin,

faktor genetik) , kelebihan gizi dan pola diet yang tidak teratur serta kurangnya

aktivitas fisik dan perubahan kerja usus .

NAFLD dianggap sebagai kondisi dengan proses patogenesis “multi-hit”

(mulanya dikenal sebagai “two-hit”) sejak tahun 1998 Day dan James pertama

kali mengajukan hipotesis tersebut dengan bukti dari Berson et al. studi yang

menggambarkan peran peroksidasi lipid pada cedera hati.

4
Gambar 1 Hipotesis “multiple hit” pada Patogenesis NAFLD
Faktor makanan dan lingkungan, bersama dengan obesitas, menyebabkan

peningkatan kadar serum asam lemak (FFA) dan kolesterol, perkembangan

resistensi insulin, proliferasi dan disfungsi adiposit serta perubahan mikrobioma

usus. Resistensi insulin bekerja pada jaringan adiposa yang memperburuk

disfungsi adiposit, menginduksi lipolisis dan pelepasan adipokin dan sitokin

5
proinflamasi seperti TNF-α dan IL-6, yang juga berkontribusi untuk

mempertahankan keadaan resistensi insulin. Resistensi insulin di hati memperkuat

de novo lipogenesis (DNL). Peningkatan fluks FFA hati yang berasal dari proses

di atas dan dari aktivitas mikrobioma usus yang berubah menyebabkan dua situasi

berbeda.

Sintesis dan akumulasi trigliserida (TG) dan kadar asam lemak 'beracun',

kolesterol bebas, dan metabolit lipid lainnya yang menyebabkan disfungsi

mitokondria dengan stres oksidatif dan produksi reactive oxygen species (ROS)

dan stres retikulum endoplasma (RE) dengan aktivasi unfolded protein response

(UPR), semuanya menyebabkan peradangan hati. Selain itu, permeabilitas usus

kecil dapat ditingkatkan dengan konsekuensi peningkatan kadar molekul sirkulasi

yang berkontribusi pada aktivasi stres inflamasi dan ER, seperti lipopolisakarida,

dan pelepasan sitokin proinflamasi. Faktor genetik atau modifikasi epigenetik

memengaruhi kandungan lemak hepatosit, proses enzimatik, dan lingkungan

inflamasi hati, sehingga memengaruhi risiko progresi menjadi inflamasi dan

fibrosis (NASH) atau persistensi dalam stadium penyakit yang stabil (NAFLD).9

6
Gambar 2 Etiologi NAFLD

2.3.1 Hubungan obesitas dengan NAFLD (Non-alcoholic fatty liver disease)

Obesitas didefinisikan sebagai sebuah keadaan dimana terdapat kelebihan

masa lemak pada tubuh. Obesitas diasosiasikan dengan lebih dari 65

komorbiditas, salah satunya adalah peningkatan prevalensi dari Non-alcoholic

fatty liver disease (NAFLD) yang dikaitkan erat dengan akumulasi lemak yang

berlebih pada obesitas. Penumpukan sel adiposa pada obesitas, terutama pada

lemak yang terakumulasi pada bagian abdominal yaitu keadaan pengukuran

lingkar pinggang ≥ 90 cm pada laki-laki dan ≥ 80 cm pada Perempuan

memperlihatkan asosiasi yang kuat pada kejadian NAFLD.14

Mobilisasi asam lemak yang diproduksi dari jaringan adiposa visceral ini

mengantarkannya langsung ke liver via sirkulasi portal yang menciptakan korelasi

kuat antara obesitas sentral dan fatty live sehingga prevalensi fatty liver

meningkat dengan derajat obesitas yang ditandai dengan peningkatan akumulasi

trigliserida di sel hati.15

Patogenesis dari fatty liver dengan Two Hit Theory. Hit pertama terjadi akibat

ada penumpukan lemak di hepatosit yang dapat terjadi karena berbagai keadaan,

salah satunya obesitas. Seperti diketahui bahwa dalam keadaan normal, asam

lemak bebas dihantarkan memasuki organ hati lewat sirkulasi darah arteri dan

portal.Di dalam hati, asam lemak bebas akan mengalami metabolisme lebih lanjut,

seperti proses re-esterifikasi menjadi trigliserida atau digunakan untuk

pembentukan lemak lainnya. Adanya peningkatan massa jaringan lemak tubuh,

khususnya pada obesitas sentral, akan meningkatkan pelepasan asam lemak bebas

yang kemudian menumpuk di dalam hepatosit. Hit kedua adalah akibat

7
bertambahnya asam lemak bebas di dalam hati yang akan menimbulkan

peningkatan oksidasi dan esterifikasi lemak serta meningkatkan kerja hepatosit

sehingga terjadilah inflamasi. Proses inflamasi di hati erat hubungannya dengan

fatty liver.14

2.3.2 Hubungan Dislipidemia dengan NAFLD (Non-alcoholic fatty liver


disease)
Pasien dengan NAFLD sangat rentan dengan faktor risiko metabolik

seperti obesitas, diabetes tipe 2, dan dislipidemia. Sindrom metabolik sangat lazim

pada pasien dengan NAFLD, telah disarankan bahwa NAFLD harus dianggap

sebagai bagian dari spektrum sindrom metabolik.

Dislipidemia pada pasien NAFLD bersifat aterogenik dan ditandai dengan

peningkatan kadar trigliserida serum dan penurunan kadar kolesterol

HDL. Meskipun kadar kolesterol low-density lipoprotein (LDL) mungkin tidak

berbeda pada pasien dengan NAFLD, terdapat perbedaan penting dalam

subpopulasi partikel LDL. Tingkat partikel LDL kecil dan padat (nontipe A) yang

lebih tinggi, yang lebih aterogenik dibandingkan partikel LDL tipe A, terlihat

pada pasien dengan NAFLD. Penelitian juga menunjukkan bahwa pasien dengan

NAFLD mengalami peningkatan kadar LDL teroksidasi secara signifikan, yang

sangat aterogenik. Terdapat juga perbedaan penting dalam subfraksi HDL pada

pasien NAFLD. Dalam sebuah penelitian yang terdiri dari 16 pasien dengan

perlemakan hati dan 24 subjek kontrol, Kantartzis dkk menunjukkan bahwa

perlemakan hati secara signifikan dan independen berhubungan dengan rendahnya

kadar kolesterol high-density lipoprotein 2 (HDL 2), yang lebih berpotensi

antiaterogenik, namun memiliki efek antiaterogenik yang lebih kuat tidak

8
berpengaruh pada kadar kolesterol HDL Mekanisme terjadinya perubahan besar

pada profil lipid dan lipoprotein pada NAFLD belum dipahami dengan baik,

namun secara umum hal ini disebabkan oleh produksi berlebihan partikel

lipoprotein densitas sangat rendah (VLDL) di hati dan disregulasi pembersihan

berbagai lipoprotein dari sirkulasi.

Pada tahun 2020, perubahan terminologi dari NAFLD menjadi penyakit

hati berlemak terkait metabolik (MAFLD) telah diusulkan dan diagnosis dapat

ditegakkan dengan adanya steatosis hati dan setidaknya satu dari kriteria berikut: (

i) kelebihan berat badan atau obesitas, (ii) T2DM, dan (iii) disregulasi metabolik

(setidaknya dua faktor di antara peningkatan lingkar pinggang, hipertensi,

hipertrigliseridemia, kadar kolesterol HDL serum yang rendah, gangguan glukosa

plasma puasa, resistensi insulin, atau peradangan subklinis dievaluasi dengan

tingkat protein C-reaktif (CRP) sensitivitas tinggi).

Meskipun masih terdapat perdebatan, istilah NAFLD tetap dipertahankan

dalam tinjauan naratif ini yang menggambarkan hubungan antara NAFLD dan

dislipidemia, menggambarkan mekanisme patofisiologi yang saling terkait dalam

perkembangan ASCVD, dan berfokus pada pendekatan manajemen dan

pengobatan terkini untuk penyakit ASCVD. pasien dislipidemia dengan NAFLD.

Informasi mengenai frekuensi kelainan lipid pada pasien NAFLD yang

melibatkan perubahan kolesterol serum terol (hiperkolesterolemia), trigliserida

(hipertrigliseri demia), atau keduanya (dislipidemia gabungan) bervariasi. Dalam

meta-analisis komprehensif terbaru Younossi dkk termasuk 86 penelitian dengan

informasi tentang pasien dengan NAFLD dari 22 negara, prevalensi keseluruhan

dislipidemia gabungan pada pasien dengan NAFLD atau NASH diperkirakan

9
masing-masing sebesar 69% dan 72% . Hal ini sejalan dengan temuan dari studi

Regenerate yang menyelidiki efek asam obeticholic sebagai pilihan pengobatan

potensial pada NAFLD, dimana 68-70% dari total 931 pasien NAFLD yang

direkrut menunjukkan kombinasi dislipidemia pada awal.

2.3.3 Hubungan Diabetes Melitus Tipe II dengan NAFLD (Non-alcoholic


fatty liver disease)

Gambar 3 Hubungan Diabetes Melitus Tipe II dengan NAFLD (Non-


alcoholic fatty liver disease)
Perlemakan hati non alkoholik (NAFLD) merupakan kondisi yang

semakin disadari dapat berkembang menjadi penyakit hati lanjut. Spektrum

penyakit perlemakan hati ini mulai dari perlemakan hati sederhana (simple

steatosis) sampai pada steatohepatitis non-alkoholik (non-alcoholic

steatohepatitis/NASH).

NAFLD sangat terkait dengan DMT2 dan Penyakit Cardiovaskular

(CVD). Hal ini ditandai dengan adanya resistensi insulin dan disfungsi

mitokondria. Terdapat peningkatan keparahan resistensi insulin dalam kisaran

10
NAFLD yang berkontribusi pada perubahan kerusakan hati. Juga, terkait dengan

peningkatan risiko penyakit ginjal pada beberapa faktor risiko CVD dan

cenderung dianggap sebagai penanda CVD yang independen. Diabetes,

dislipidemia, hipertensi dan CVD hidup berdampingan lebih sering pada individu

dengan NAFLD. Dari berbagai penelitian, prevalensi NAFLD tampaknya lebih

tinggi pada diabetes tipe 2 dibandingkan dengan populasi umum, independen

kontrol glikemik. Diabetes tipe 2 memiliki sekitar 80% lemak hati lebih banyak

dibandingkan dengan pasien non diabetes berdasarkan usia dan jenis kelamin.

Dalam sebuah studi 2.589 individu yang berbasis masyarakat Framingham Heart

Study, pada penyesuaian multi variat untuk depot lemak lainnya (jaringan adiposa

viseral, lingkar pinggang, dan indeks massa tubuh (IMT), fatty liver tetap terkait

dengan diabetes, glukosa puasa terganggu, hipertensi, sindrom metabolik,

kolesterol HDL, trigliserida, dan tingkat adiponektin (P > 0,05). Ada studi yang

menyoroti diabetes sebagai penanda risiko untuk penampilan NAFLD/NASH.

Dalam sebuah penelitian dari 458 pasien Italia dengan histologis terbukti NASH,

diabetes adalah penanda paling signifikan dari NASH dan fibrosis pada mereka

dengan ALT yang normal.

Fibrosis yang parah diprediksi secara independen dapat diperoleh dari

diabetes (OR =1,8; 95% CI, 1,4-2,3) secara keseluruhan dan pada 30 mereka

dengan ALT normal dan resistensi insulin menurut model penilaian homeostasis

(HOMAIR) (OR =1,97; 95% CI, 1,2-3,7) pada pasien dengan normal ALT. Dalam

penelitian kohort dari 827 pasien dengan NAFLD, fibrosis lanjut dikaitkan dengan

resistensi insulin. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa NAFLD memprediksi

munculnya diabetes secara independen dengan faktor resiko konvensional, seperti

11
obesitas, resistensi insulin, dan sindrom metabolik, menunjukkan NAFLD yang

bisa memiliki hubungan kausal langsung dengan diabetes, akibat adanya resistensi

insulin.

Diabetes Melitus Tipe 2 (DMT2) dan NAFLD secara khusus berkaitan

erat. Hubungan ini terjadi diduga akibat adanya pengeluaran insulin secara

langsung pada vena porta, dan mengambil rute yang sama pada proses penyerapan

glukosa sehingga hati menghilangkan sebagian besar insulin portal.

Obesitas pada NAFLD dikaitkan dengan disfungsional jaringan adiposa,

dan lipotoxicity yang mendukung resistensi insulin dan disfungsi sel β pankreas.

Pada uji USG prevalensi NAFLD 69,4% pada 180 pasien dengan DMT2. NAFLD

dikaitkan dengan obesitas (perut), hipertrigliseridemia dan penigkatan kadar ALT

yang normal. Para penulis menyimpulkan bahwa perkembangan NAFLD adalah

bentuk independen dari perkembangan diabetes.

Peran resistensi insulin pada NAFLD adalah kompleks.Kedua resistensi

insulin hepatik dan sistemik yang sangat terkait dengan NAFLD. Pentingnya dari

seluruh lemak tubuh, karena insulin dilepaskan langsung ke vena portal. Dalam

keadaan resisten insulin, ketidakmampuan insulin untuk menekan lipolisis

menyebabkan peningkatan fluks asam lemak bebas ke hati dari jaringan adiposa.

Peningkatan denovo lipogenesis dan meningkatkan asupan diet lemak

berkontribusi untuk pengembangan NAFLD. Dalam hati berlemak kemampuan

insulin untuk menghambat produksi glukosa hepatik terganggu menyebabkan

hiperglikemia dan resistensi insulin lebih lanjut. Lingkar studi pinggang, yang

merupakan penanda adipositas viseral, terjadinya diabetes mellitus / glukosa

12
puasa terganggu dan sindrom metabolik secara signifikan lebih tinggi pada subyek

denganNAFLD.

Kelainan hati ditemukan di DMT2 yang mengalami peningkatan enzim

hati, penurunan albumin dan peningkatan bilirubin, NAFLD dan sirosis hati pada

USG. Kadar insulin pada saat puasa lebih tinggi pada DMT2 dengan NAFLD tapi

itu tidak signifikan secara statistik.

2.4 Diagnosis
2.4.1 Anamnesis
Pada umumnya pasien dengan NAFLD tidak menunjukkan gejala yang

spesifik. Beberapa pasien mengalami kelelahan, malaise, atau nyeri di kuadran

kanan atas pada abdomen. Dan perlu diketahui apakah pasien pernah memiliki

riwayat penyakit hati sebelumnya, riwayat keluarga dengan penyakit hati, riwayat

diabetes dan sindrom metabolik. Pada pasien dengan penyakit yang sudah

berkembang ke stadium lanjut, tanda dan gejala hipertensi portal atau sirosis dapat

muncul. NAFLD umumnya terlihat pada individu yang kelebihan berat badan atau

obesitas, meskipun hal ini juga dapat mempengaruhi mereka yang memiliki

indeks massa tubuh lebih.22

2.4.2 Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan fisik sering ditemukan hepatomegali dan tanda-tanda

penyakit hati stadium lanjut seperti spider nevi, palmar erythema, penyakit

kuning, ginekomastia, asterixis, dan pengecilan otot. 22

2.4.3 Pemeriksaan penunjang


1) Laboratorium Klinis

Penyakit NAFLD dicurigai pada individu yang menunjukkan

abnormalitas pada tes darah atau ditemukannya perubahan lemak pada ultrasound.

13
Namun, pada penyakit NAFLD juga dapat menunjukkan hasil tes hati normal.

Kadar transaminase serum dan feritin sering kali abnormal pada NAFLD, tes

darah tidak cukup untuk diagnosis NAFLD. Pemeriksaan laboratorium paling

penting untuk menyingkirkan penyebab lain dari steatosis hati. Pada tahap awal

penyakit, taminotransferase dan ALT adalah yang paling umum mengalami

abnormalitas, di mana keduanya mengalami peningkatan. Alkalinephosphatase,

gamma-glutamyltransferase, dan trigliserida juga dapat meningkat. Tes fungsi hati

seperti bilirubin serum, albumin, dan waktu tromboplastinparsial biasanya dalam

batas normal jika penyakit belum berkembang ke tahap fibrosis atau sirosis.11

2) Pemriksaan Radiologi

Pencitraan harus diperoleh ketika penanda biokimia meningkat dan dapat

menentukan adanya steatosis hati, serta menyingkirkan penyakit empedu atau

penyakit hati lainnya yang dapat menyebabkan peningkatan kadar transaminase

hati. Pemeriksaan yang dapat dilakukan, meliputi ultrasonografi, Computed

Tomography (CT) Scan, dan MRI. Pemeriksaan ultrasonografi dianggap sebagai

pencitraan lini pertama, karena sensitivitas yang cukup tinggi dan efisiensi biaya. 11

Gambar 4 Pencitraan ultrasonografi NAFLD


Pada Pencitraan ultrasonografi, perubahan steatotik hati dapat dilihat

sebagai hiperekogenisitas hati karena kantong lipid, kaburnya batas vaskular, dan

14
hetero genitas parenkim. Pencitraan USG tidak akurat dalam menghitung

perubahan lemak, dan hanya terbukti konsisten dalam mengelompokkan penyakit

sebagai ringan atau berat. Pemeriksaan ultrasonografi parenkim hati isoechoic

terhadap parenkim ginjal dalam kondisi normal (A1), menjadi hyperechoic

dengan adanya steatosis hati (A2).11

Pada pemeriksaan FibroScan, yang didasarkan pada elastografi transien

yang dikontrol getaran (VCTE), seperti elastografi gelombang geser bidimensi

atau elastografi gelombang geser titik, juga dapat digunakan untuk menilai LSM.

Skor FibroScan (elastografi sementara), diukur dalam kilopascal (kPa),

mencerminkan risiko fibrosis yang signifikan secara klinis. Dalam sebuah

penelitian terhadap 450 orang dewasa yang menjalani biopsi hati dan FibroScan

untuk dugaan NAFLD di 7 pusat kesehatan, nilai batas Youden untuk F>F2

adalah 8,2 kPa. Hasil ini dikaitkan dengan nilai prediksi negatif yang tinggi untuk

fibrosis stadium 2 pada pasien terlihat di klinik diabetes atau populasi umum

(masing-masing 78% dan 97%), meskipun nilai prediksi negatifnya kecil pada

populasi klinik hepatologi khusus (61%).22

CAP, indeks non-invasif yang berasal dari sinyal ultrasound, dirancang khusus

untuk mendeteksi steatosis hati pada individu dengan sekitar 10% lemak hati tanpa

fibrosis atau sirosis. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa CAP dapat secara akurat

mendeteksi dan menilai steatosis 11%, 33% dan 66% dengan AUROC masing-masing

0,91, 0,95 dan 0,89. Namun demikian, perlu dicatat bahwa sebagian besar laporan yang

mendukung CAP menggunakan M-probe untuk analisis, yang memiliki tingkat kegagalan

skrining yang tinggi pada individu yang mengalami obesitas. Dalam meta-analisis data

pasien menggunakan XL-probe, akurasi CAP untuk membedakan steatosis memiliki

kinerja suboptimal. Tingkat CAP dapat meningkat setelah makan dan kinerja

15
diagnostiknya sangat terkait dengan keterampilan operator. Selain itu, masih belum ada

konsensus mengenai pemotongan tersebut. Meskipun terdapat keterbatasan, pedoman

Asia-Pasifik masih merekomendasikan CAP sebagai indeks pengujian konvensional

untuk diagnosis dan skrining NAFLD karena biayanya yang rendah dan kemudahannya.22

Computed Tomography (CT) Scan meningkatkan spesifisitas untuk

mengidentifikasi penyebab lain dari penyakit hati, tetapi bukan lini pertama untuk

menentukan perubahan perlemakan hati, karena biayanya terbilang mahal

dibandingkan dengan pencitraan ultrasonografi. Steatosis hati yang teridentifikasi

pada CT scan biasanya merupakan hasil dari deteksi insidental pada CT scan

yang dilakukan untuk alasan lain.11

Gambar 5 CT Scan NAFLD


CT dapat mendeteksi adanya perlemakan hati karena lemak memiliki

atenuasi yang lebih rendah dari pada air dengan menggunakan teknik berbasis

sinar-X, Hal ini membuat hati tampak lebih gelap pada gambar dan dengan

mengukur radio densitas, lemak dapat dihitung (dalam satuan Hounsfield).

Dibandingkan dengan hati normal (B1), hati berlemak tampak hipodens

dibandingkan dengan limpa dan vena hepatik (B2) dalam pemindaian tomografi

terkomputasi.11

16
Gambar 6 MRI NAFLD
MRI adalah yang paling akurat dalam mendeteksi dan menghitung

perubahan perlemakan hati. T etapi, seperti modalitas pencitraan lainnya, hal ini

dibatasi oleh ketidakmampuan untuk membedakan antara perlemakan hati,

steatohepatitis, dan steatohepatitis dengan fibrosis sampai stadium akhir dari

kerusakan fibrotik atau bahkan sirosis. Pengaturan steatosis yang parah, sinyal

resonansi magnetik memiliki penurunan yang jelas dari urutan fase (C1) ke fase

keluar (C2).11

2.5 Komplikasi
NAFLD adalah penyakit dengan spektrum tahapan mulai dari hati

berlemak sederhana (steatosis) hingga bentuk steatosis yang parah, steatohepatitis

nonalkohol (NASH), yang dapat berkembang menjadi cedera hati ireversibel

(fibrosis) dan kegagalan organ, yang pada akhirnya menyebabkan sirosis hepar

dan Karsinoma hepatoseluler (HCC).10

17
Gambar 7 Komplikasi NAFLD

2.6 Tatalaksana
2.6.1 Terapi non Farmakologis
1. Modifikasi gaya hidup
Tatalaksana NAFLD dimulai dari modifikasi gaya hidup, yang dapat

dilanjutkan dengan terapi menarget komponen sindrom metabolik, farmakoterapi,

hingga tatalaksana sirosis. Secara umum, tujuan tatalaksana NAFLD berupa

peningkatan kelangsungan hidup pasien dan menurunkan angka komplikasi yaitu

18
memperbaiki atau mencegah perburukan fibrosis, dan memperbaiki kondisi

sindrom metabolik atau risiko lain. Modifikasi gaya hidup merupakan terapi

nonfarmakologis yang penting pada pasien NAFLD. Perubahan gaya hidup

termasuk penurunan berat badan dan latihan fisik menghasilkan perbaikan pada

pasien NAFLD. Penurunan berat badan sebesar ≥7% total berat badan awal

menurunkan steatosis, inflamasi, ballooning, serta skor aktivitas NAFLD.

Pembatasan jumlah kalori (total kalori yang direkomendasi 1200-1600 kkal

dengan komposisi rendah lemak, rendah karbohidarat (<50% dari total kalori)

memperbaiki steatosis secara radiologis serta menurunan progresivitas NAFLD.

Latihan fisik berupa latihan aerobik selama 90-120 menit per minggu menurunkan

steatosis secara radiologis.11,12

2.6.2 Terapi Farmakologis


1. Farmakoterapi

Farmakoterapi pada kasus NAFLD ditargetkan untuk perbaikan kondisi

pasien ataupun perbaikan fibrosis. Pada kondisi ringan, enzim hati, lipid serum,

ataupun glukosa darah dapat digunakan sebagai target akhir penatalaksanaan.

Vitamin E sebagai agen antioksidan dapat diberikan dengan dosis α-

tocophero l800 IU untuk pasien NAFLD tanpa sirosis ataupun diabetes. Penelitian

Yosio Sumida pada tahun 2013, menunjukkan perbaikan fibrosis pada NAFLD

dengan pemberian vitamin E jangka panjang dengan dosis 300 mg/hari. Asia-

Pacific Working Party tahun 2018 juga merekomendasikan vitamin E yang dapat

memperbaiki gambaran histologis dan kadar serum aminotransferase pasien

NAFLD non-sirotik dan non-diabetik. Selain itu, pemberian asam ursodeoksikolat

(UDCA) baik dikombinasi dengan vitamin E maupun sebagai monoterapi

menghasilkan perbaikan fungsi hati dan kondisi fibrosis penderita NAFLD.21,23

19
Pemberian thiazolidinedion menunjukan penurunan inflamasi pada hati,

akan tetapi efek ini hanya terjadi selama pemberian obat, sehingga diperlukan

pengobatan jangka panjang. Dalam sebuah studi pada tahun 2010 yang mencakup

250 pasien dengan NAFLD, pemberian pioglitazone 30 mg/hari memberikan

perbaikan pada hasil laboratorium fungsi hati dan penurunan inflamasi. Meskipun

perbaikan ini masih dibawah kelompok yang mendapat vitamin E 800 IU/hari.

Pemberian rosiglitazone selama 48 minggu pada penderita NAFLD, didapatkan

perbaikan gambaran histologis hati. Dalam suatu meta analisis tahun 2012,

pioglitazone terbukti memberikan manfaat dalam perbaikan degenerasi balon,

inflamasi lobular, steatosis, dan nekroinflamasi dari pasien NAFLD. Akan tetapi,

pemberian rosiglitazone dikaitkan dengan peningkatan resiko infark jantung dan

kelainan jantung lainnya.21

Penghambat dipeptil peptidase−IV (DPP−IV), Penggunaan penghambat

DPP-IV sekarang ini sedang diteliti untuk mengatasi diabetes pada NAFLD, hal

ini dengan harapan dapat meningkatkan uptake glukosa di perifer. Penggunaan

linagliptin selama 4 minggu didapatkan perbaikan gambaran histologis hati,

mengurangi infiltrasi makrofag lemak pada hati, dan terjadi perbaikan sensitivitas

insulin.3,5 Pemberian sitagliptin sebesar 100 mg per hari selama setahun pada 15

pasien NAFLD dengan diabetes, menunjukan perbaikan NAFLD, penurunan

steatosis, dan degenerasi balon.36 Penelitian lain juga menunjukan pemberian

sitagliptin selama 4 bulan, dapat memperbaiki kadar glukosa darah dan nilai

HbA1c, SGPT, dan SGOT.21,23

Glukagon like peptide-1 (GLP−1)Ding et al melaporkan penggunaan

exendin-4, sebuah GLP−1 reseptor agonis, dapat mengakibatkan regresi dari

20
steatosis hati pada pasien obesitas. Glp−1 memberikan proteksi pada sel hepatosit

dari kematian dengan mensupresi respon stres. GLP−1 juga mensupresi

lipogenesis hati dengan mengaktivasi jalur AMP kinase dan menurunkan

akumulasi lemak pada hati.

Statin, penggunaan statin sangat bermanfaat dalam menurunkan angka

kejadian kardiovaskular pada kelompok beresiko, akan tetapi penggunaan statin

pada pasien dengan kondisi penyakit hati mendasar atau pasien dengan

peningkatan kadar enzim menjadi isu tersendiri. Pada studi GREACE tahun 2010,

yang melibatkan 437 pasien dengan peningkatan kadar enzim hati sedang (kurang

dari 3 kali lipat batas atas), pada 227 pasien yang mendapatkan atorvastatin 24

mg per hari, ditemukan terjadi penurunan angka kejadian kardiovaskular serta

penurunan kadar enzim hati setelah pemberian selama 3 tahun.41 Pada tahun 2014

National Lipid Association Safety Task Force, menyatakan aman untuk

memberikan statin pada pasien dengan NAFLD Penggunaan atorvastatin

bersamaan dengan vitamin C 1 gram dan vitamin E 100 IU selama 1 tahun

memperlihatkan perbaikan gambaran histologis hati seperti pengurangan

degenerasi balon dan inflamasi.21,23

Ezetimibe merupakan Niemann−Pick C1−Like 1 (NPC1L1) inhibitor,

yang dapat menyebabkan hambatan pada absorpsi lemak di usus. Suatu

penelitian tahun 2009, menunjukan pemberian simvastatin dengan ezetimibe

(10mg/10mg) selama 4 tahun, dapat menurunkan SGPT, SGOT, kadar LDL,

pada penderita NAFLD. Selama 4 tahun tersebut tidak didapatkan efek

samping, sehingga disimpulkan pemberian ezetimibe aman. Pada penelitian

lain, pemberian ezetimibe 10 mg/hari selama 2 tahun, memberikan perbaikan

21
nilai SGPT dan CRP, serta didapatkan perbaikan signifikan pada steatosis,

inflamasi, dan degradasi balon. Dalam suatu konsensus tahun 2014 dituliskan

bahwa ezetimibe merupakan suatu obat dengan tingkat keamanan yang baik,

meskipun data yang ada sedikit tetapi sebagian besar memberikan efek positif

terhadap pasien NAFLD. Akan tetapi sebelum dapat direkomendasikan untuk

digunakan secara luas, masih diperlukan uji klinis lebih lanjut.21

Fibrat merupakan agonis peroxisome proliferator activated receptors

(PPAR)a, dan digunakan untuk mengatasi dislipidemia khususnya

hipertrigliseridemia. Pada suatu penelitian yang dilakukan pada 27 pasien yang

diberikan fenofibrat 200 mg per hari selama 8 minggu dibandingkan dengan

placebo, tanpa memberikan perubahan pada kandungan trigliserida hati. Dalam

studi lain yang melibatkan 16 pasien dengna NAFLD, diberikan fenofibrat

sebesar 200 mg/hari diberikan selama 48 minggu. Pada akhir studi, pasien

tersebut kemudian dilakukan biopsi hati ulang, dan didapatkan perubahan

histologis hati minimal yaitu terjadi pengurangan dari degenerasi balon, tetapi

tidak ada perubahan signifikan pada derajat steatosis, inflamasi lobular dan

fibrosis. Hasil dari studi−studi tersebut memberikan hasil yang berbeda, oleh

karena itu untuk penggunaan fibrat sebagai terapi NAFLD, masih memerlukan

studi lebih lanjut.21,23

Asam Ursodeoxycholic (UDCA) dilaporkan memiliki efek yang baik pada

percobaan terapi NAFLD karena adanya efek anti inflamasi, anti oksidan, dan

hepato protektif yang dimilkinya. Adanya penurunan dari hepatocellular

phosphatidylcholine (PC) terkait erat dengan terjadinya kerusakan hati pada

NAFLD. Chamulitrat pada tahun 2009 melakukan percobaan dengan

22
lysophosphatidylethanolamide (UDCA-LPE) yang dirancang untuk meningkatkan

PC. Dari hasil studi ini UDCA−LPE terbukti dapat menghambat TNF alfa yang

memicu apoptosis dan memicu pertumbuhan hepatosit, sehingga disimpulkan

bahwa UDCA –LPE mungkin memiliki efek yang baik dalam terapi NAFLD.

Pemberian UDCA yaitu dengan memberikan dosis tinggi 28-35mg/kgBB/hari.21

Penggunaan asam lemak Omega-3 diduga dapat memberikan perbaikan

profil lipid seperti menurunkan trigliserid, menurunkan resistensi insulin dan

sintesis sitokin, hal ini berkaitan dengan patogenesis dari NAFLD. 19 Dalam meta

analisis oleh Parker. didapatkan hasil yang beragam dari hasil penggunaan asam

lemak tidak jenuh omega-3, akan tetapi dapat diambil kesimpulan bahwa

pemberian suplemen omega-3 dapat menurunkan perlemakan pada hati akan

tetapi dosis optimal untuk efek tersebut belum diketahui secara pasti. Secara

umum, efek akan dicapai dengan penggunaan omega-3 lebih dari 0,83

gram/hari.21,23

Vitamin E dikenal sebagai suatu antioksidan lipofilik, dan memberikan

efek dengan mereduksi peroksidase lemak, menangkal radikal bebas, dan

menstabilisasi membran fosfolipid sel. Vitamin E juga dapat menghambat

ekspresi hepatic transforming growth factor-β1 dan melindungi dari fibrosis hati.

Menurut rekomendasi tahun 2012, vitamin E sebesar 800 IU/hari

direkomendasikan untuk pasien dewasa non diabetes dengan NAFLD. Akan

tetapi tidak direkomendasikan pada pasien NAFLD dengan diabetes, NAFLD

tanpa biopsi hati, sirosis NAFLD, atau sirosis kriptogenik. Efek positif dari

pemberian vitamin E diduga akan menghilang saat penghentian terapi, oleh

karena itu mungkin diperlukan terapi jangka panjang. Akan tetapi, penggunaan

23
jangka panjang diasosiasikan dengan peningkatan mortalitas oleh berbagai

sebab.21,23

Tabel 2 Terapi Farmakologi NAFLD

24
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

(NAFLD) merupakan salah satu penyakit hati kronik yang dikenal sebagai

penyebab utama penyakit hati dengan insiden yang terus mengalami peningkatan

di seluruh dunia. Meningkatnya prevalensi faktor risiko utama NAFLD adalah

obesitas, resistensi insulin, sindrom metabolik, dan dislipidemia. Meskipun

steatosis sederhana memiliki prognosis yang relatif baik, namun secara signifikan

proposi pasien akan berkembang menjadi NASH dan sirosis lanjut dengan resiko

terjadinya Karsinoma Hepatoseluler. Perkembangan steatohepatitis dan fibrosis

tergantung pada faktor tambahan seperti FFA, sitokin inflamasi, adipokin, stres

oksidatif dan disfungsi mitokondria.

Maka perlu secara tepat untuk meminimalisasi progresivitas dan

perburukan penyakit dengan diagnosis dan tatalaksana sedini mungkin.

Penatalaksanaan NAFLD/NASH, mulai dari landasan terapi berupa modifikasi

gaya hidup, prosedur tindakan pembedahan, terapi farmakologis, hingga modulasi

dari mikrobiota saluran cerna.

3.2 Saran

1. Diharapkan kepada pihak yang memiliki hubungan dengan individu yang

memiliki risiko penyakit Non Alcoholic Fatty Liver (NAFLD) agar

memberikan edukasi seputar NAFLD, yaitu tentang gejala, faktor risiko

dan cara mengatasinya agar mengurangi risiko terjadinya NAFLD.

2. Pentingnya edukasi kepada pasien NAFLD agar menjaga serta

memberikan edukasi tentang terapi farmakologis.

25
3. Perlu dilakukan kajian lebih lanjut dan lebih luas mengenai hubungan

DMT2 disertai obesitas terhadap kasus perlemakan hati dilihat dari faktor

predisposisi DMT2, tingkat pengetahuan dan pendidikan pasien, dan

berbagai aspek lainnya.

26
DAFTAR PUSTAKA
1. Kudaravalli P, John S. Nonalcoholic Fatty Liver. StatPearls. 2023 Apr;
2. Patell R, Dosi R, Joshi H, Sheth S, Shah P, Jasdanwala S. Non-alcoholic
fatty liver disease (NAFLD) in Obesity. J Clin Diagn Res. 2014 Jan;8(1):62.
3. Adiwinata R, Kristanto A, Richard T, Edbert D, Adiwinata R, Kristanto A,
et al. Tatalaksana Terkini Perlemakan Hati Non Alkoholik Tatalaksana
Terkini Perlemakan Hati Non Alkoholik. 2015;2(1).
4. Sufyan DL. Pengaruh Pemberian Jus Terong Ungu terhadap Perlemakan
Hati Tikus Wistar. J Ilm Kesehat. 2019;18(2):59–63.
5. Arias-Fernández M, Fresneda S, Abbate M, Torres-Carballo M, Huguet-
Torres A, Sánchez-Rodríguez C, et al. Fatty Liver Disease in Patients with
Prediabetes and Overweight or Obesity. Metabolites. 2023;13(4).
6. Aru Sudoyo, Bambang Setiyonadi SS. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II Edisi VI. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2014.
7. Rengkung NP, Waleleng BJ, Palar S. Gambaran Penyakit Perlemakan Hati
Non-Alkoholik Pada Pasien Hipertensi Yang Mempunyai Sgpt Meningkat.
e-CliniC. 2015;3(1):1–4.
8. CME Online - Tatalaksana Terkini Penyakit Perlemakan Hati Non-Alkohol
(Non-alcoholic fatty liver disease/ NAFLD).
9. Ayu D, Novista V. Jurnal Biologi Tropis Non-alcoholic fatty liver disease :
Diagnosis and Treatment. 2023;
10. Ayu D, Novista V. Jurnal Biologi Tropis Non-alcoholic Fatty Liver Disease :
Diagnosis and Treatment. 2023;
11. Dewa Ayu. Vania Novista Anjani. Non-alcoholic Fatty Liver Disease:
Diagnosis and Treatment. Jurnal Biologi Tropis. 2023.
12. Stefanus Imanuel Setiawan. Juferdy Kurniawan. Pilihan Tatalaksana Penyakit
Perlemakan Hati Non-Alkohol (Non-Alcoholic Fatty Liver Disease/
NAFLD).2021
13. Ayu D, Novista V. Jurnal Biologi Tropis Non-alcoholic Fatty Liver Disease :
Diagnosis and Treatment. 2023;
14. Medina S, Wibudi A, Sandra O. Hubungan Obesitas Sentral Dengan
Gambaran Fatty Liver Pada USG Abdomen Di Poliklinik Bank Indonesia

27
Bulan Agustus-The Association Between Central Obesity And Fatty Liver
Imaging On Abdominal USG Polyclinic Bank Indonesia August-September
2017. J Kedokt Yars. 2018;26(3):139–51.
15. Kamal M, Karim F, Robed Amin M, Sarder MH, Azad KAK. Risk factors of
non-alcoholic fatty liver disease in Bangladeshi population. J Med.
2013;14(2):143–8.
16. Setiawan SI, Juferdy K. Pilihan tatalaksana penyakit perlemakan hati
nonalkohol (non-alcoholic fatty liver disease/ nafld). Cermin Dunia Kedokt
[Internet]. 2021;48(3):173–5. Available from:
http://www.cdkjournal.com/index.php/CDK/article/view/1336
17. Martin A, Lang S, Goeser T, Demir M, Stefen H, Kasper P. Penatalaksanaan
Dislipidemia pada Pasien dengan Lemak Non-Alkohol Penyakit hati.
2022;533–46.
18. Rinaldi L, Pafundi PC, Galiero R, Caturano A, Morone MV, Silvestri C, et al.
Mechanisms of non-alcoholic fatty liver disease in the metabolic syndrome.
A narrative review. Antioxidants. 2021;10(2):1–25.
19. Ng CH, Chan KE, Chin YH, Zeng RW, Tsai PC, Lim WH, et al. The effect of
diabetes and prediabetes on the prevalence, complications and mortality in
nonalcoholic fatty liver disease. Clin Mol Hepatol. 2022;28(3):565–74.
20. Arias-Fernández M, Fresneda S, Abbate M, Torres-Carballo M, HuguetTorres
A, Sánchez-Rodríguez C, et al. Fatty Liver Disease in Patients with
Prediabetes and Overweight or Obesity. Metabolites. 2023;13(4).
21. Adiwinata R, Kristano A, Christiany F, Richard T, Daniel E. Tatalaksana
Terkini Perlemakan Hati Non Alkoholik. FK UKI Atma Jaya. Jurnal
Penyakit Dalam.Vol 2, No.1.2015
22. YIN X, Guo X, Liu Z, Wang J. Advance in the Diagnosis and Treatment of
Non Alcoholic Fatty Liver Dissease. International Jurnal of Molecular
Sciences. 2023.
23. Aditya P, Rinaldy C, Lesmana A. Pharmacological and Non
Pharmacological Treatment in Alcoholic Fatty Liver Disease. Departemenet
of Internal medicine University of Indonesia. 2013.

28

Anda mungkin juga menyukai