Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kejahatan dan kebaikan adalah dua bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan manusia. Keduanya adalah dua bagian yang saling melengkapi.
Kejahatan merupakan gejala sosial yang amoral yang berkembang mengikuti
perkembangan zaman. Berbicara tentang kejahatan, maka sesuatu yang dapat
ditangkap secara spontan adalah segala sikap dan tindakan yang menimbulkan
kerugian bagi orang lain baik yang bersifat ekonomis, materil maupun yang
bersifat immateril yang menyangkut rasa aman dan tentram dalam kehidupan
bermasyarakat. Atau lebih sederhana lagi kejahatan adalah suatu perbuatan yang
bertentangan dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat tertentu,
karena definisi kejahatan sangat relatif.

Kejahatan yang dimaksud adalah kejahatan yang dalam arti melanggar


terhadap Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, inilah yang menjadi ukuran
apabila suatu perbuatan tersebut bisa dikatakan kejahatan atau tidak. Jika
perbuatan tersebut diatur dalam undang-undang dan diancam dengan suatu
pidana, dan memenuhi unsur-unsur tindak pidana tersebut, maka perbuatan
tersebut dapat dikatakan pelanggaran hukum. Sebaliknya jika perbuatan tersebut
belum diatur dalam undang-undang hukum pidana, maka perbuatan tersebut
bukan dinamakan kejahatan, karena perbuatan tersebut belum diatur dalam
undang-undang.

Sesuai dengan hal itu, Anselm Von Feuerbach merumuskan secara mantap
dalam bahasa latin:

1. Nulla poena sine lege: Tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut
undang-undang.
2. Nulla poena sine crimine: tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana.

1
2

3. Nullum crimen sine poenalegali: tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana
menurut undang-undang.1
Dalam hukum pidana sendiri dikenal 2 kategori yaitu kejahatan dan
pelanggaran. Hukum Pidana Indonesia telah mengaturnya secara positif dam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Kejahatan di atur dalam Buku II
dan Pelanggaran pada Buku III. Sebagian dari bentuk kejahatan yang dilakukan
adalah penganiayaan, pemerasan dan pengancaman serta kejahatan terhadap
kemerdekaan orang.

Kejahatan atas kemerdekaan orang adalah perbuatan kejahatan terhadap suatu hak
asasi manusia yang selalu menonjol dimana hak seorang manusia untuk bebas
menggerakkan badan memenuhi kepentingan dalam masyarakat. Dalam hal kejahatan
atas kemerdekaan orang telah diatur pada title XVIII Buku II KUHP dari Pasal 324-337
KUHP. Adapun penggolongan pasal-pasalnya sebagai berikut:
1. Mengenai perdagangan budak (Pasal 324-327 KUHP)
2. Mengenai penculikan (Pasal 328 – 332 KUHP)
3. Mengenai penahanan (Pasal 333 – 334 KUHP)
4. Mengenai pemaksaan (Pasal 335 KUHP)
5. Mengenai pengancaman (Pasal 336 KUHP)
Secara khusus dalam pembahasan skripsi ini, penulis akan membahas
mengenai penahanan atas kemerdekaan seseorang yang dalam hal ini dikatakan
sebagai tindak pidana perampasan kemerdekaan sesuai dengan ketentuan Pasal
333 - 334 KUHP:

“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas


kemerdekaan (menahan) orang atau meneruskan tahanan itu dengan
melawan hak”.2
Istilah dari kata “menahan” dan “meneruskan penahanan” dari pasal di atas,
adalah:

1. Menahan; menunjukkan aflopende-delicten (delik yang sekilas atau


sekejap).
2. Meneruskan penahanan; menunjukkan voor tdurende delicten (delik yang
selalu/ terus-menerus diperbuat).

1
P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1997), hlm. 132.
2
Pasal 333 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
4

Pasal 333 KUHP ini hanya melindungi kemerdekaan badan


seseorang, bukan kemerdekaan jiwa. Jadi, harus adanya perbuatan yang
menyentuh badan seseorang yang ditahan, misalnya diikat tangannya
sehingga sulit bergerak. Pada Pasal 334, mengandung unsur kesalahan
berupa culpa (kelalaian) dalam menahan orang dengan melanggar hukum.
Misalnya, peristiwa yang terjadi dalam suatu pabrik seorang buruh yang
masih ada dikunci dari luar oleh seorang petugas yang mengira bahwa
kamar itu sudah kosong.

Kejahatan terhadap kemerdekaan orang adalah kejahatan yang


berkenaan dengan hak asasi manusia atau hak seseorang untuk bebas
menggerakkan badan memenuhi kepentingan dalam masyarakat. Dalam
hal ini, terdapat pertentangan antara dua asas yakni hak bergerak
seseorang yang merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati di satu
pihak dan kepentingan ketertiban umum di lain pihak yang harus
dipertahankan untuk orang banyak atau masyarakat dari perbuatan jahat
tersangka.

Kejahatan atas tindak pidana terhadap kemerdekaan seseorang


diperlukan penjatuhan pidana sebagai suatu upaya yang dilandasi oleh
hukum berupa konsekuensi yang tidak menyenangkan atau suatu
penderitaan akibat tindak pidana yang dilakukan. Untuk menjaga agar
peraturan-peraturan yang berjalan di masyarakat dapat berlangsung dan
diterima oleh seluruh lapisan masyarakat, maka aturan-aturan hukum yang
ada harus sesuai dengan keadaan sosial budaya masyarakat untuk
menjamin terciptanya rasa keadilan. Dengan demikian, hukum bertujuan
menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum harus
berlandaskan keadilan yaitu asas-asas keadilan dalam masyarakat.

Sejalan dengan pertumbuhan dan kenaikan jumlah rakyat Indonesia


yang dibarengi dengan kenaikan kebutuhan hidup yang semakin tinggi,
juga menyebabkan kenaikan akan tindak kejahatan di masyarakat. Banyak
kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dalam kehidupan sehari-hari
yang termasuk kepada tindak pidana ringan, tidak jarang dalam proses
5

peradilannya pengadilan memutus bebas pelaku tersebut. Berdasarkan atas


putusan pengadilan ditengarai kurang memperhatikan
pertanggungjawaban pidana atas pelaku tindak pidana terutama dalam
pencapaiaan efek jera bagi pelaku dan pencapaian pencegahan umum
sebagai tujuan dari pemidanaan.3

Menurut Sudarto, dalam bukunya mengatakan, pada umumnya


tujuan pemidanaan dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Pembalasan, pengimbalan atau retribusi;


Pembalasan sebagai tujuan pemidanaan kita jumpai pada apa yang
dinamakan teori hukum pidana yang absolut. Didalam kejahatan itu
sendiri terletak pembenaran dari pemidanaan, terlepas dari manfaat
yang hendak dicapai. Ada pemidanaan, karena ada pelanggaran
hukum; ini merupakan tuntutan keadilan
2. Mempengaruhi tindak laku orang demi perlindungan masyarakat;
Pidana tidak dikenakan demi pidana itu sendiri, melainkan untuk
suatu tujuan yang bermanfaat, ialah untuk melindungi masyarakat
atau untuk pengayoman. Pidana mempunyai pengaruh terhadap
masyarakat pada umumnya. Pengaruh yang disebut pertama
biasanya dinamakan prevensi special (khusus) dan yang kedua
dinamakan prevensi general (umum).4
Salah satu kasus tindak pidana perampasan kemerdekaan yang
diteliti oleh penulis adalah kasus yang telah mendapatkan putusan di
Pengadilan Negeri bandung dengan Nomor Putusan
121/Pid.B/2016/PN.Bdg dengan terpidana Pritjon als Joni bin Rusten.
Pritjon als Joni bin Rusten didakwa dengan dakwaan sebagai berikut:
bahwa terdakwa baik sendiri maupun bersama-sama Sdr.Wati bin Ara
Suhendar dan Sdr. Nandar Nurzaman bin Nanang (keduanya terdakwa
dalam berkas terpisah) pada hari rabu pada tanggal 11 November 2015
sekitar jam 20.00 WIB atau pada waktu lain yang masih termasuk pada
bulan November 2015 atau setidak-tidaknya masih termasuk dalam tahun
2015 bertempat di Jl. Komplek PJKA jl. Jempatan Opat No. 04 RT 01 RW
06 Kel. Maleer Kec. Batununggal Kota Bandung atau setidak-tidaknya
3
Suhariyono AR, Pembaruan Pidana Denda di Indonesia (Pidana Denda
Sebagai Sanksi Alternatif) (Jakarta: Papas Sinar Sinanti, 2012), hlm. 9.
4
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 81-83.
6

disuatu tempat yang masih termasuk daerah hukum Pengadilan Negeri


Kelas 1A Bandung telah melakukan tindak pidana sebagai orang yang
melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan
dengan sengaja menahan (merampas kemerdekaan) orang atau
meneruskan tahanan itu dengan melawan hak. Atas dakwaan tersebut
terdakwa telah mengakui dan membenarkan semua dakwaan yang
ditujukan kepadanya. Berdasarkan bukti, keterangan serta kesaksian yang
dihadirkan dalam persidangan, maka Pengadilan Negeri Bandung
memutuskan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja merampas
kemerdekaan orang yang dilakukan secara bersama-sama”.

Permasalahan yang akan diteliti:

1. Mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak


pidana perampasan kemerdekaan dalam Putusan Pengadilan
Negeri Bandung Nomor 121/Pid.B/2016/PN.Bdg berdasarkan
Hukum Pidana Indonesia?
2. Dan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana perampasan
kemerdekaan dalam Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor
121/Pid.B/2016/PN,Bdg dihubungkan dengan tujuan
pemidanaan?

Permasalahan di atas diteliti karena pelaku tindak pidana “perampasan


kemerdekaan” dinilai tidak bertanggung jawab terhadap perbuatannya.
Seandainya kasusnya diperiksa dan diadili disidang pengadilan seringkali Pidana
yang dijatuhkan oleh Hakim dinilai tidak membuat pelaku jera atas
perbuatannya.
Hal-hal di atas diteliti untuk mengetahui pertanggungjawaban
Pidana terhadap diri pelaku dan pemidanaannya. Berdasarkan kasus
diatas, dapat kita teliti berdasarkan cara penegakan hukum yang sesuai
dengan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Maka, permasalahan
yang diteliti dalam skripsi ini dipecahkan dengan menggunakan teori-
teori, konsep-konsep, asas-asas dan dasar hukum yang relevan, dalam hal
7

ini penulis ingin meneliti tentang pertanggungjawaban pidana terhadap


pelaku tindak pidana perampasan kemerdekaan bersadarkan Hukum
Pidana Indonesia dan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana
perampasan kemerdekaan yang dihubungkan dengan tujuan pemidanaan.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis tertarik untuk


melakukan penelitian dengan judul “ANALISIS YURIDIS TENTANG
PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK
PIDANA PERAMPASAN KEMERDEKAAN DALAM PUTUSAN
PENGADILAN NEGERI BANDUNG NOMOR 121/PID.B/2016/PN.BDG”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, ada


beberapa permasalahan yang menarik untuk diteliti. Oleh karena itu,
permasalahannya diidentifikasi sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak


pidana perampasan kemerdekaan dalam Putusan Pengadilan
Negeri Bandung Nomor 121/Pid.B/2016/PN.BDG berdasarkan
Hukum Pidana Indonesia?
2. Bagaimanakah pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana
perampasan kemerdekaan dalam Putusan Pengadilan Negeri
Bandung Nomor 121/Pid.B/2016/PN.BDG dihubungkan dengan
tujuan pemidanaan?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini, adalah:

1. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku


tindak pidana perampasan kemerdekaan dalam Putusan Pengadilan
Negeri Bandung Nomor 121/Pid.B/2016/PN.BDG berdasarkan
Hukum Pidana Indonesia.
8

2. Untuk mengetahui pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana


perampasan kemerdekaan dalam Putusan Pengadilan Negeri
Bandung Nomor 121/Pid.B/2016/PN.BDG dihubungkan dengan
tujuan pemidanaan.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan berguna


bagi para pihak yang berkepentingan dan menaruh minat dengan objek
penelitian ini, baik secara teoretis maupun praktis, yaitu sebagai berikut:

1. Kegunaan Teoretis

Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan


pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum
pidana yang berkaitan dengan Undang-undang Pidana Indonesia
dalam hubungannya dengan perkara-perkara.

2. Kegunaan Praktis

Kegunaan penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan


pemikiran dan manfaat bagi para praktisi hukum dan juga masyarakat
serta bagi penulis sebagai suatu karya ilmiah, juga dapat dijadikan suatu
masukan dalam bertindak dan berpikir dalam rangka ANALISIS
YURIDIS TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERAMPASAN
KEMERDEKAAN DALAM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI
BANDUNG NOMOR 121/PID.B/2016/PN.BDG.

E. Kerangka Pemikiran

Kejahatan terhadap kemerdekaan orang adalah kejahatan yang


berkenaan dengan hak asasi manusia atau hak seseorang untuk bebas
menggerakkan badan memenuhi kepentingan dalam masyarakat. Empat
pasal yaitu Pasal-pasal 324-327 KUHP mengenai pemberantasan budak
belian (slavenhandel), lima pasal kemudian, yaitu Pasal-pasal 328-332
9

KUHP mengenai soal-soal melarikan orang atau penculikan, dua Pasal


yaitu 333 dan 334 KUHP mengenai penahanan orang (vrijheidsrooving),
Pasal 335 KUHP mengenai larangan mengancam orang lain dengan
berbagai tindak pidana.

Penahanan merupakan salah satu bentuk perampasan kemerdekaan


bergerak seseorang. Dalam hal ini, terdapat pertentangan antara dua asas
yakni hak bergerak seseorang yang merupakan hak asasi manusia yang
harus dihormati di satu pihak dan kepentingan ketertiban umum di lain
pihak yang harus dipertahankan untuk orang banyak atau masyarakat dari
perbuatan jahat tersangka.

Adapun menurut Pasal 1 butir 2 KUHAP menyatakan bahwa


penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu
oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya,
dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Dalam
arti, bahwa hakikat daripada “penahanan” itu sendiri adalah penghambatan
atas kebebasan seseorang. Dalam hal ini “penempatan tersangka atau
terdakwa di tempat tertentu”.

Sedangkan menurut penjelasan Pasal 333 KUHP tentang penahanan


bahwa menahan berarti merampas kemerdekaan seseorang baik dengan
cara mengurung, menutup dalam kamar atau rumah, mengikat, dsb.
Meskipun tidak perlu bahwa orang tersebut tidak bergerak sama sekali
karena menyuruh tinggal dalam suatu rumah yang luas saja akan tetapi
bila dijaga dan dibatasi kebebasan hidupnya sama halnya dengan
menahan.

Ada 2 pasal mengenai penahanan orang (Vrijheidsrooving), yaitu:

1. Kesengajaan dalam perampasan kemerdekaan

Rumusan tindak Pidana yang diatur dalam Pasal 333 KUHP adalah
memuat unsur-unsur sebagai berikut:

a. Unsur subyektif: dengan sengaja


10

b. Unsur obektif, yang terdiri dari:


1) Merampas kemerdekaan seseorang
2) Meneruskan perampasan kemerdekaan itu
3) Secara melawan hukum.5
Istilah kemerdekaan memiliki makna kebebasan. Merampas
kemerdekaan dalam hal ini memiliki arti perampasan kebebasan
seseorang. Artinya korban dalam perbuatannya tidak hanya tidak dapat
bergerak sama sekai, namun juga segala perbuatannya dibatasi. Perbuatan
yang dilarang dalam Pasal 333 KUHP adalah perbuatan yang melawan
hukum. Artinya perbuatan tersebut merupakan:

a. Perbuatan melawan hukum formil, yaitu perbuatan yang sudah


diatur dalam Undang-Undang.
b. Perbuatan melawan hukum materil, yaitu terdapat mungkin suatu
perbuatan yang melawan hukum walaupun belum diatur dalam
Undang-Undang.6

2. Kesalahan dalam menahan orang

Artinya karena kesalahan seseorang dalam penahanan, dapat


menyebabkan korbanya tidak memiliki kebebasan dalam bertindak atau
perbuatannya dibatasi, serta perbuatan pelaku merupakan perbuatan
melawan hukum.

Rumusan tindak Pidana yang diatur dalam Pasal 334 KUHP di atas
memuat unsur-unsur sebagai berikut:

a. Unsur subyektif: kealpaan.


b. Unsur obyektif: yang terdiri dari:
1) Barang siapa
2) Menyebabkan seseorang dirampas kemerdekaannya
3) Menyebabkan orang luka berat
4) Menyebabkan orang mati
5) Diteruskan peramampasan kemerdekaan itu
6) Secara melawan hukum.
Sebagian pakar memberikan syarat culpa sebagai berikut:

a. Tidak adanya kehati-hatian (het gemis van voorzichtigheid);

5
Tongat, Hukum Pidana Materil (Jakarta: Djambatan, 2003), hlm. 262.
6
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hlm.
72.
11

b. Kurangnya perhatian terhadap akibat yang mungkin (het gemis van


de voorzienbaarheid van het gevolg).7
Pertanggungjawaban dalam hukum bukan hanya berarti sah
menjatuhkan pidana terhadap orang tersebut, tetapi juga sepenuhnya dapat
diyakini bahwa memang pada tempatnya meminta pertanggungjawaban
atas tindak pidana yang dilakukan. Dalam pelaksanaan
pertanggungjawaban pidana, terdapat asas-asas yang menopang suatu
hukum dijalankan sesuai dengan seharusnya, diantaranya:

1. Asas Legalitas

Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal
itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam undang-undang.
“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarakan
kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada
sebelumnya”8
2. Asas Equality Before the Law

Menjamin persamaan di hadapan hukum tanpa ada pengecualian


pada setiap orang.

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan


kepstian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum”.9
3. Asas Praduga Tak Bersalah

Seseorang wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya


keputusan pengadilan yang bersifat tetap yang menyatakan dia
bersalah.

“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau


dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak
bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”10

7
Ibid, hlm. 107.
8
Pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
9
Pasal 28 D ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945
10
Butir ke-3 huruf c Penjelasan Umum Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.
12

Pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan, sedangkan unsur-unsur


kesalahan adalah mampu bertanggung jawab, mempunyai kesengajaan atau
kealpaan serta tidak adanya alasan pemaaf. Unsur kesalahan tersebut harus
dilakukan sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya
terdakwa, maka terdakwa haruslah melakukan perbuatan pidana, mampu
bertanggung jawab, dengan kesengajaan atau dengan kealpaan serta tidak adanya
alasan pemaaf.11
Pertanggungjawaban pidana adalah bahwa pertanggungjawaban pidana
hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindak pidana.
Moeljatno mengatakan, bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan
(dijatuhi pidana) apabila tidak melakukan perbuatan pidana.12
Asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana ialah (Geen Straf
Zonder Schuld; Actus Non Facit Reum Nisi Mens Sist Rea). Asas ini tidak
tersebut dalam hukum tertulis tetapi asas tersebut hidup dalam masyarakat,
berlakunya sama dengan Pasal 44 jo Pasal 45 KUHP (sudah tidak berlaku),
dicabut dan diubah dengan UU No.3 Tahun 1997.
Mampu bertanggung jawab adalah mampu untuk menginsyafi sifat
melawan hukumnya perbuatan dan sesuai dengan keinsyafan itu mampu
menentukan kebenarannya, sedangkan untuk adanya kemampuan
bertanggungjawab harus memenuhi syarat:

1. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik


dan yang buruk yang sesuai dengan hukum dan yang melawan
hukum; dan
2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan
tentang baik dan buruknya perbuatan.13
Kemampuan untuk membedakan antar perbuatan yang baik dan
buruk merupakan faktor akal, yaitu dapat membedakan antara perbuatan
mana yang diperbolehkan dengan yang tidak, sedangkan kemampuan
untuk menentukan kehendaknya merupakan faktor perasaan atau
kehendak, yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan
atas mana yang di perbolehkan dan mana yang tidak diperbolehkan.

11
Sofyan Sastrawidjaja, Hukum Pidana (Bandung: Armico, 1992), hlm. 181.
12
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cet. Kedelapan (Jakarta: Rineka Cipta,
2008), hlm. 165.
13
Sofyan Sastrawidjaja, op.cit, hlm. 183.
13

Pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada pelaku tindak


pidana dilakukan atas dasar suatu tujuan pemidanaan. Pemidanaan
menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, bahwa secara tradisional teori-
teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi dalam dua kelompok,
yakni:

1. Teori absolut atau teori pembalasan (retributive/vergeldings theorie);


Teori absolut mencari dasar pembenar pidana dengan memandang
ke masa lampau, yaitu memusatkan argumennya pada tindak
pidana yang sudah dilakukan. Pidana diberikan karena pelaku
tindak pidana harus menerima pidana itu demi kesalahannya.
Pidana menjadi retribusi yang adil bagi kerugian yang sudah
diakibatkan. Demi alasan itu, pidana dibenarkan secara moral.14
Teori pembalasan yang menarik perhatian adalah persyaratan yang
diajukan oleh Leo Polak bahwa pidana harus mempunyai tiga
syarat, yaitu Pertama, bahwa perbuatan yang tercela itu harus
bertentangan dengan etika. Kedua, bahwa pidana tidak boleh
meperhatikan apa yang mungkin akan terjadi (prevensi) melainkan
hanya memperhatikan apa yang sudah terjadi; dan Ketiga, bahwa
penjahat tidak boleh dipidana secara tidak adil, berarti beratnya
pidana harus seimbang/tidak kurang tetapi juga tidak lebih dengan
beratnya delik “verdiend leed”. Teori Leo Polak ini dikenal dengan
“het leer der objectieve betreurens-swaardigheid atau objective
verings theorie.”15
2. Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian/doeltheorien).
Teori ini memberikan dasar pemikiran bahwa dasar hukum dari
pidana adalah terletak pada tujuan pidana itu sendiri. Pidana itu
mempunyai tujuan tertentu, maka harus dianggap di samping
tujuan lainnya terdapat tujuan pokok Dengan demikian, pidana
bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan

14
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana
(Bandung: Alumni, 1992), hlm. 9-10.
15
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana (Yogyakarta: Ghalia
Indonesia, 1994), hlm. 28.
14

kepada orang yang melakukan suatu tindak pidana, tetapi


mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat.16
3. Di samping pembagian secara tradisional teori-teori pemidanaan
seperti disebut di atas, ada teori ketiga yang disebut teori gabungan
(verenegings theorien). Tujuan menetapkan suatu sanksi pidana
tidak dapat dilepaskan dari tujuan politik kriminal secara
keseluruhan, yaitu perlindungan masyarakat (social defence), maka
menurut Barda Nawawi Arief, sangatlah tepat apabila ingin
mengetahui tujuan pemidanaan dengan melihat apa yang ingin
dicapai pada aspek-aspek perlindungan masyarakat. Ada empat (4)
aspek social defences yang menentukan tujuan dari pemidanaan,
yaitu:
a. Aspek social defence berupa perlindungan masyarakat
terhadap kejahatan (perbuatan jahat), maka pemidanaan
bertujuan untuk menanggulangi kejahatan;
b. Jika aspek social defence berupa perlindungan terhadap
pelaku (orang jahat) yang ingin dicapai, maka tujuan
pemidanaan adalah perbaikan si pelaku (merubah tingkah
laku);
c. Apabila aspek social defence berupa perlindungan terhadap
sanksi/reaksi yang hendak dicapai, maka tujuan pemidanaan
adalah mengatur atau membatasi kesewenang-wenangan
penguasa dan warga masyarakat;
d. Apabila aspek social defence berupa keseimbangan
kepentingan / nilai yang terganggu yang ingin dicapai, maka
tujuan pemidanaan tidak lain untuk memelihara atau
memulihkan masyarakat.17
Satu hal yang patut dicatat berkaitan dengan perkembangan teori
pemidanaan tersebut adalah adanya pergeseran orientasi pemidanaan dari prinsip
“menghukum” yang cenderung mengabaikan aspek hak asasi manusaia ke arah
gagasan/ide “pembinaan” (treatment) yang lebih menghargai dan menjunjung
tinggi hak asasi manusia.

F. Metode Penelitian

16
Ibid, hlm. 29.
17
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan
Dengan Pidana Penjara (Bandung: Citra Aditya Bakti), hlm. 85-87.
15

Metode menurut Peter R.Senn adalah “merupakan suatu prosedur


atau cara mengetahui sesuatu yang memiliki langkah-langkah yang
sistematis”.18 Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu dengan cara menggambarkan fakta


melalui penelitian kepustakaan berupa data sekunder yang menjadi obyek
penelitian, kemudian dianalisis secara sistematik dan faktual berdasarkan
ketentuan-ketentuan hukum dan teori-teori yang relevan dengan
pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana perampasan kemerdekaan.
2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian Yuridis Normatif.


Jenis penelitian Yuridis Normatif dipergunakan untuk menelaah objek
penelitian dihubungkan dengan semua peraturan perundang-undangan
yang terkait.19 Dalam hal ini penulis akan melakukan penelitian melalui
penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan ini dilakukan untuk
menemukan data sekunder meliputi:

a. Bahan Hukum Primer. Bahan hukum primer merupakan bahan


hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas.
Bahan-bahan hukum primer terdiri dari:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
4) Catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-
undangan
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang diperoleh
melalui studi kepustakaan yang terdiri dari artikel, buku, jurnal
hukum, literatur, maupun sumber lainnya yang berkaitan erat
dengan identifikasi masalah serta tujuan penelitian.
18
Peter R Senn, Metode Penelitian (Jakarta: Indeks, 2012), hlm. 24.
19
Pedoman Penulisan Skripsi Sekolah Hukum Tinggi Bandung (Bandung:
STHB, 2017), hlm. 12.
16

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang mendukung


bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan
memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum
lainnya. Bahan hukum tersier yang digunakan oleh penulis adalah
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Hukum dan
ensiklopedia.20
3. Metode Pendekatan

Pendekatan yang digunakan untuk mengkaji kasus permasalahan dari


penelitian ini adalah:
a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach), yakni pendekatan
dengan melakukan kajian terhadap peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan peraturan lain yang terkait dengan pokok masalah yang
dibahas dalam penelitian ini.
b. Pendekatan kasus (case approach), dalam hal ini Putusan Pengadilan
Negeri Bandung Nomor 121/Pid.B/2016/PN.Bdg yang perlu memahami
alasan-alasan hukum yang dipakai oleh hakim untuk sampai kepada
putusannya.
4. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang dibutuhkan untuk menunjang penelitian ini
dilakukan dengan cara studi dokumen (study of document) atau bahan
pustaka, yaitu melalui data tertulis yang berhubungan dengan obyek
penelitian.
5. Metode Analisis Data
Data yang telah terkumpul selanjutnya disusun secara kualitatif,
artinya dalam menganalisis tidak menggunakan rumus-rumus matematis
maupun angka-angka statistik tetapi beberapa uraian pembahasan
sehingga diperoleh informasi baru dari simpulan hasil penelitian.

20
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang:
Banyumedia Publishing, 2008), hlm. 295

Anda mungkin juga menyukai