Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH

IBADAH AKHLAK
“PENGENTASAN KEMISKINAN DALAM PANDANGAN ISLAM”
Dosen Pengampu :
Khaidir Sulaiman, M.A.

Disusun Oleh:

Aida Septiani Zahara


2206015046

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF DR HAMKA
JAKARTA SELATAN
2023/2024
BAB I
PENDAHULUAN
A. Definisi Kemiskinan
Pada dasarnya setiap manusia menghendaki hidup dalam kehidupan yang tenang,
tentram, berkecukupan, mapan, bahagia, dan sejahtera, meskipun tidak selamanya
kemauan dan keinginan tersebut tercapai. Salah satu problem yang ada dalam masyarakat
adalah masalah kemiskinan. Secara ekonomi kemiskinan dapat diartikan sebagai
kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan
seseorang, yang sifatnya sandang, pangan, kesehatan, dan lain-lain.
Lafadz miskin merupakan ism masdar yang berasal dari sakana-yaskunu-sukun/miskin.
Dilihat dari asalnya sakana-sukun, kata ini memiliki makna diam, tetap atau reda. Al-
Isfahani dan Ibn Manzur mengartikan kata ini sebagai “tetapnya sesuatu setelah ia
bergerak”. Di samping itu juga bisa diartikan “tempat tinggal”. Jika dilihat dari makna
aslinya yang berarti “diam”, maka apabila ditarik arti secara istilah yaitu orang yang tidak
dapat memperoleh sesuatu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan diamnya itulah yang
menyebabkan kefaqirannya. Ia tidak dapat memperoleh sesuatu dikarenakan ia tidak
bergerak atau tidak ada kemauan atau peluang untuk bergerak (QS. al-Kahfi: 79).
Di dalam Qamus al-Muhit kata miskin diartikan dengan orang yang tidak memiliki
sesuatu, atau memiliki sesuatu tetapi tidak mencukupinya, atau orang yang dibuat diam
oleh kefaqiran. Dan dapat juga diartikan dengan orang yang hina dan lemah (Majd).
Sedangkan kata miskin di dalam kamus Lisan al-‘Arab diartikan sebagai orang yang tidak
memiliki apa-apa, dan ada juga yang mengatakan, miskin adalah orang yang tidak
memiliki sesuatu yang dapat mencukupi kebutuhan hidupnya.1
B. Pandangan Agama Tentang Kemiskinan
Agama Islam memberi manusia kebebasan untuk berpikir dan memilih jalan hidup
mereka sendiri. Selain itu, Islam tidak mengajarkan orang untuk lemah; sebaliknya, itu
mengajarkan mereka untuk pantang menyerah dan membangun nilai kerja yang tinggi.
Kebutuhan manusia tidak hanya bersifat akhirat tetapi juga duniawi, menurut pandangan
Islam, kebutuhan manusia harus dapat dipenuhi.
Maka Islam mengajarkan kepada manusia untuk bekerja keras,pantang menyerah,dan
terus berusaha dan berdoa untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup yang sejahtera.

1
Lukman Hakim and Ahmad Danu Syaputra, “Al-Qur’an Dan Pengentasan Kemiskinan,” Jurnal Ilmiah Ekonomi
Islam 6, no. 3 (October 29, 2020): 629, https://doi.org/10.29040/JIEI.V6I3.1310.
Kemiskinan dalam perspektif Islam dikategorikan dalam dua golongan yaitu fakir dan
miskin. Fakir adalah keadaan seseorang dimana ia sama sekali tidak memiliki kemampuan
untuk memenuhi kebutuhannya. Ia tidak mampu melakukan usaha apapun seperti cacat
dan orang lanjut usia. Sedangkan miskin adalah suatu kondisi seseorang yang memiliki
kemampuan untuk mencari nafkah tetapi pendapatannya masih tidak dapat untuk
mencukupi kebutuhan dasarnya.
Islam melihat kemiskinan sebagai sesuatu yang dapat mengancam akhlak, keluarga,
dan masyarakat. Salah satu faktor yang menyebabkan ketimpangan penduduk adalah fakta
bahwa kemiskinan akan mengurangi perbedaan yang ada antara orang kaya dan orang
miskin, bahkan kekufuran dapat terjadi karena kemiskinan.
Dalam Al-Qur’an Allah SWT. Berfirman daalam Qur’an surah Ar-Rum : 38 yang
menjelaskan tentang kemiskinan.
Q.S Ar-Rum Ayat 38
‫َّللا ِ ۖ َو أ ُو لَٰ َ ئ ِ َك‬ َ ‫ح ق ه ه ُ َو ا ل ْ ِم سْ ِك ي َن َو ا ب ْ َن ال س ه ب ِ ي ِل ۚ ذَٰ َ ل ِ َك‬
‫خ ي ْ ٌر ل ِ ل ه ِذ ي َن ي ُ ِر ي د ُو َن َو ْج ه َ ه‬ ِ ‫فَآ‬
َ ‫ت ذ َ ا ا ل ْ ق ُ ْر ب َ َٰى‬
‫ه ُ مُ ا ل ْ مُ ف ْ ل ِ حُ و َن‬
Artinya : “Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian
(pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih
baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan mereka itulah orang-orang
beruntung.”
Ayat ini menjelaskan sebagaimana bahwa lapang-sempitnya rezeki merupakan
ketentuan Allah dan sarana untuk menguji keimanan hamba-Nya, kemudian pada ayat ini
Allah meminta orang mukmin tidak hanya berinfak dan bersedekah, melainkan juga
melakukan kebaikan apa pun bentuknya kepada siapa saja, khususnya kaum kerabat.
Islam juga memandang bahwa masalah kemiskinan adalah masalah tidak terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhan primer secara menyeluruh. Syariat Islam telah menentukan
kebutuhan primer itu (yang menyangkut eksistensi manusia) berupa tiga hal, yaitu
sandang, pangan, dan papan. Allah SWT berfirman: “Kewajiban ayah adalah memberikan
makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf” (Q.S Al-Baqarah [2]:233)
“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal, sesuai dengan
kemmpuanmu” (QS ath-Thalaaq [65]:6)”
Rasulullah SAW Bersabda “Ingatlah, bahwa hak mereka atas kalian adalah agar kalian
berbuat baik kepada mereka dalam (memberikan) pakaian dan makanan” (HR Ibnu
Majah). Dari ayat dan hadis di atas dapat di pahami bahwa tiga perkara (yaitu sandang,
pangan, dan papan) tergolong pada kebutuhan pokok (primer), yang berkait erat dengan
kelangsungan eksistensi dan kehormatan manusia. Apabila kebutuhan pokok (primer) ini
tidak terpenuhi, maka dapat berakibat pada kehancuran atau kemunduran (eksistensi) umat
manusia. Karena itu, Islam menganggap kemiskinan itu sebagai ancaman yang biasa
dihembuskan oleh setan, sebagaimana firman Allah SWT: “Setan menjanjikan (menakut-
nakuti) kamu dengan kemiskinan” (QS al- Baqarah [2]:268).2
Islam sebagai “agama pertengahan” memerangi kemiskinan, dalam Islam permusuhan
terhadap kemiskinan berasal dari rasa cinta atau mahabbah kepada Allah, kemudian
pengharapan atau roja’ terhadap rahmat serta ampunan Allah, dan rasa takut atau khouf
pada siksa dan azab dari Allah, yang ketiganya ini merupakan implementasi dari
pengesaan terhadap Allah. Dengan ini kita dianjurkan untuk pendekatan melalui ekonomi
islam yang mana ia merupakan sistem ekonomi dalam syariat tatanan muamalah atau
menjadi aturan manusia dalam kehidupan sosial. Dalam ekonomi islam ini sendiri
memeiliki keunikan yang mana tiap-tiap aspeknya memiliki nilai sebagai pegangan umat
islam dalam aktifitas soial ekonomi, berikut terdapat 5 karakteristik ekonomi islam, yaitu:
1. Ekonomi illahiyah : kegiatan ekonomi yang dikaitkan pada prinsip ilahiyyah yaitu
mencari ridha Allah SWT
2. Ekonomi akhlak : ekonomi islam yang memadukan antara ilmu ekonomi dan ilmu
akhlak
3. Ekonomi kemanusiaan : ilmu ekonomi yang berlandaskan wawasan kemanusiaan
4. Ekonomi pertengahan : ilmu ekonomi yang berlandaskan pada prinsip pertengahan
dan keseimbangan yang adil seperti Islam menyeimbangkan antara dunia dan
akhirat, antara individu danmasyarakat.
5. Ekonomi pertumbuhan dan keberkahan : ilmu ekonomi yang beroperasi atas dasar
pertumbuhan dan investasi harta secara legal, agar tidak berhenti dari rotasinya
dalam kehidupan sebagai bagian dari jaminan kebutuhan pokok manusia.
Tujuan ekonomi islam sendiri yaitu berupa kesejahteraan dengan terpenuhinya
kebutuhan materi dan non-materi, dunia dan akhirat secara sadar untuk taat terhadap
hukum yang dikehendaki oleh Allah Swt melalui petunjuk-Nya dalam Al Quran, melalui
contoh dalam keteladanan Rasulullah Saw, dan melalui ijtihad dan kebaikan para ulama.
Islam memberikan pesan-pesannya melalui dua pedoman, yaitu Al-Qur'an
dan Hadits. Dalam konteks penjelasan pandangan Islam tentang kemiskinan, Al-Qur'an
mengajarkan untuk memperoleh kelebihan dan mengajarkan tentang kemajuan, prestasi,

2
Sri Budi and Cantika Yuli, “STRATEGI PENGENTASAN KEMISKINAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM,” n.d.
dan kompetensi sehat. Islam memberikan solusi penanggulangan kemiskinan dengan
beberapa cara yang bisa di lakukan, seperti zakat (zakat adalah sejumlah harta yang wajib
dikeluarkan oleh umat Muslim untuk diberikan kepada seperti fakir miskin
dan semacamnya, sesuai dengan yang ditetapkan oleh Syariah), infak wajib yang sifatnya
incidental, dan menolong orang miskin sebagai ganti
C. Upaya Pengentasan Kemiskinan Melalui Zakat
Ditinjau dari segi bahasa kata zakat merupakan kata dasar dari zaka yang berarti suci,
berkah, tumbuh dan terpuji. Sedangkan dari segi istilah fiqh, zakat berarti sejumlah harta
tertentu yang diwajibkan Allah diserahkan kepada orang yang berhak menerimanya,
disamping berarti mengeluarkan jumlah tertentu itu sendiri. Menurut etimologi (istilah)
syariat, zakat adalah nama bagi sejumlah harta tertentu yang telah mencapai syarat tertentu
yang diwajibkan Allah untuk dikeluarkan dan diberikan kepada orang-orang yang berhak
menerimanya.
Zakat adalah salah satu rukun Islam yang berdimensi keadilan sosial kemasyarakatan.
Secara etiomologi zakat berarti suci, baik, tumbuh, bersih dan berkembang, dan secara
terminologi zakat adalah sejumlah harta yang diwajibkan oleh Allah diambil dari harta
orang-orang tertentu (aghniyā’) untuk diberikan kepada orang-orang yang berhak
menerimanya dengan syarat-syarat tertentu. Esensi dari zakat adalah pengelolaan dana
yang diambil dari aghniyā’ untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya dan
bertujuan untuk mensejahterakan kehidupan sosial kemasyarakatan umat Islam.
Hal tersebut setidaknya tercermin dari firman-firman Allah yang berkaitan de ngan
perintah zakat. Selain itu, diperkuat pula dengan perintah Nabi Muhammad SAW kepada
Mu’adz bin Jabal yang diperintahkan untuk mengambil dan mengumpulkan harta (zakat)
dari orang-orang kaya yang kemudian dikembalikan kepada fakir miskin dari kelompok
mereka. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa peran strategis daripada zakat bagi
masyarakat itu antara lain sebagai berikut: (1) Capital, menurut penelitian yang dilakukan
PIRAC (Public Interest Research and Advocacy) bahwa potensi zakat di Indonesia
berkisar 19–20 triliun per tahun, sebuah modal yang cukup bagi pembangunan masyarakat,
dan jumlah itu akan semakin besar seiring meningkatnya kesadaran umat Islam tentang
zakat dan kemampuan fiqh untuk me deskripsikan jenis-jenis usaha/penghasilan baru yang
dimasukkan sebagai objek zakat; (2) Social Justice, pelaksanaan zakat membangkitkan
keadilan sosial di tengah masyarakat, disamping karena munculnya sumber-sumber
penerimaan zakat dari jenis-jenis penghasilan baru juga karena zakat diberdayakan untuk
kepentingan fakir-miskin yang ditunaikan oleh orang-orang kaya di tengah-tengah
mereka; (3) Social Equilibrium, keseimbangan sosial yang dibangun oleh zakat
menjadikan fakir mendapat bagiannya yang diperoleh dari sebagian kekayaan orang-orang
kaya yang ada disekitarnya, sehingga kesenjangan sosial tidak terpaut tinggi; (4) Social
Guarantee, masyarakat merasa mendapat jaminan ketika zakat bisa diwujudkan dalam
bentuknya, sehingga fakir miskin tidak perlu khawatir untuk berobat atau mendapatkan
pelayanan pendidikan karena tiadanya uang jaminan misalnya; (5) Social Safety,
sesungguhnya dengan terhimpunnya dana zakat yang besar disamping sebagai modal
pembangunan, juga bermanfaat bagi dana siaga yang siap digunakan setiap saat terutama
terhadap kejadian-kejadian di luar dugaan baik bencana alam, kebakaran, banjir dan lain-
lain.3

DAFTAR PUSTAKA

Budi, Sri, and Cantika Yuli. “STRATEGI PENGENTASAN KEMISKINAN DALAM


PERSPEKTIF ISLAM,” n.d.
Hakim, Lukman, and Ahmad Danu Syaputra. “Al-Qur’an Dan Pengentasan Kemiskinan.”
Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam 6, no. 3 (October 29, 2020): 629.
https://doi.org/10.29040/JIEI.V6I3.1310.
Irsyad, Ardiyanto. “STRATEGI PENGELOLAAN ZAKAT DALAM PENGENTASAN
KEMISKINAN.” Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan 19, no. 1 (June 7,
2011): 25–46. https://doi.org/10.21580/WS.19.1.211.

3
Ardiyanto Irsyad, “STRATEGI PENGELOLAAN ZAKAT DALAM PENGENTASAN KEMISKINAN,” Walisongo: Jurnal
Penelitian Sosial Keagamaan 19, no. 1 (June 7, 2011): 25–46, https://doi.org/10.21580/WS.19.1.211.

Anda mungkin juga menyukai