Anda di halaman 1dari 15

OPTIMALISASI PEMBIAYAAN BAGI HASIL: SEBAGAI UPAYA

MEMBERDAYAKAN UMKM YANG BERKEADILAN

Afnan Bastian1
Abstraksi
Pembiayaan bagi hasil merupakan produk inti bank syariah yang membedakannya dengan

sistem fixed-rate return dalam sistem bunga bank konvensional. Bank syariah mempunyai

peluang yang sangat besar dalam menggerakkan sektor UMKM melalui optimalisasi

pembiayaan bagi hasil karena rasio dana pihak ketiga yang disalurkan ke nasabah (FDR) bank

syariah mencapai 102,65 persen (statistik perbankan syariah) lebih tinggi daripada bank

konvensional yang rata-rata sebesar 60 %. Selain itu bank syariah lebih fokus ke pemberdayaan

UMKM hal ini dapat dilihat bahwa pembiayaan ke sektor UMKM mencapai 70 persen dari

seluruh total pembiayaan bank syariah. Pembiayaan bagi hasil dapat memberikan dampak

tumbuhnya investasi dan pembukaan lapangan kerja baru yang dapat menggerakkan sektor riil,

serta dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.

Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui beberapa faktor penyebab rendahnya pembiayaan

bagi hasil di bank syariah, serta menguraikan solusi pemecahan masalah tersebut untuk

memberdayakan sektor UMKM sebagai penggerak roda perekonomian negara. Dengan adanya

penulisan ini diharapkan ada tindak lanjut dari pihak-pihak yang terkait untuk berperan penting

demi kemajuan perkembangan Lembaga Keuangan Syariah dalam upayak mensejahterakan

kehidupan umat islam khususnya.

PENDAHULUAN
Sejarah perkembangan industri perbankan syariah tak terlepas dari keluarnya peraturan
tentang perbankan yaitu, UU No 7 tahun 1992 yang membolehkan operasional bank dengan
1
Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro semester V

1
sistem bagi hasil di Indonesia, UU No 10 tahun 1998, yang mengatur tentang dual banking-
system yaitu peraturan yang membolehkan setiap bank konvensional membuka sistem pelayanan
syariah di cabang nya, dan terbitnya UU No 23 tahun 1999. Perkembangan selanjutnya adalah
keluarnya fatwa tentang haram nya bunga bank yang dikeluarkan oleh MUI pada tahun 2003,
keluarnya fatwa ini memberikan kontribusi yang signifikan terhadap laju pertumbuhan industri
perbankan syariah. Hal ini terlihat dengan terjadinya over likuiditas perbankan syariah yang
mencapai 300 miliar rupiah. Perkembangan selanjutnya dengan tumbuhnya industri perbankan
syariah yang dapat dilihat dengan munculnya 3 bank umum syariah dan 22 unit usaha syariah di
beberapa bank konvensional di Indonesia.
Berbagai produk yang ditawarkan oleh perbankan syariah antara lain: (1) produk
pengumpulan dana, terdiri dari: giro wadi’ah, tabungan mudharabah, dan deposito mudharabah;
(2) produk pembiayaan: murabahah, bai’ as salam, bai istishna’, ijarah, musyarakah,
mudharabah.(3) produk jasa; al-wakalah, al-hawalah, kafalah, dll
Berdasarkan prinsip dasar produk tersebut, bank syariah sesungguhnya memiliki core
product pembiayaan bagi hasil, yang dikembangkan dalam produk pembiayaan musyarakah dan
mudharabah (Muhammad, 2005). Kehadiran bank syariah seharusnya memberikan dampak yang
luar biasa terhadap pertumbuhan sektor riil. Hal ini dikarenakan pola mudharabah dan
musyarakah adalah pola investasi langsung pada sektor riil, return pada sektor keuangan (bagi
hasil), dalam prinsip ajaran Islam, sangat ditentukan oleh sektor riil. Hal ini berarti keberadaan
bank syariah harus mampu memberikan kontribusi yang meningkatkan pertumbuhan sektor riil,
Fungsi tersebut akan terwujud bila bank syariah menggunakan akad profit and loss sharing
(mudharabah dan musyarakah) sebagai core productnya (Beik, 2007)
Produk Pembiayaan Berbasis Bagi Hasil
Dalam penyaluran produk pembiayaan bagi hasil bank syariah terdapat dua jenis akad, yaitu
musyarakah dan mudharabah.
a. Akad Mudharabah (Trustee Profit Sharing)
Menurut Partahian (2006) Mudharabah adalah adalah kerjasama antara dua pihak dimana
shahibul maal (pihak pertama) menyediakan modal sepenuhnya sedangkan mudharib
(pihak kedua) menjadi pengelola dana dimana keuntungan dan kerugian dibagi menurut
kesepakatan dimuka. Mudharabah sendiri dibagi menjadi dua, yaitu mudharabah
muthlaqah dan mudharabah muqayyadah. Mudharabah muthlaqah adalah bentuk

2
kerjasama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak
dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Sedangkan mudharabah
muqayyadah adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah, dimana usaha yang akan
dijalankan dibatasi oleh jenis usaha, waktu, atau tempat usaha (Syafii Antonio, 2001).
b. Akad Musyarakah
Musyarakah adalah adalah perjanjian pembiayaan antara bank Syariah dengan nasabah
yang membutuhkan pembiayaan, dimana Bank dan nasabah secara bersama membiayai
suatu usaha atau proyek yang juga dikelola secara bersama atas prinsip bagi hasil sesuai
dengan penyertaan dimana keuntungan dan kerugian dibagi sesuai kesepakatan dimuka.
Untuk itu dapat diberlakukan perjanjian usaha patungan diantara pengusaha. Dalam
musyarakah, keuntungan dan kerugian dibagi menurut proporsi yang telah ditentukan
sebelumnya, sesuai dengan prinsip Profit and Loss Sharing Principle.
Perbedaan yang mendasar antara musyarakah dan mudharabah terletak pada besarnya
kontribusi dana atau modal yang disertakan. Dalam mudharabah, modal hanya berasal dari satu
pihak yaitu pihak bank sebagai sahibul mal dengan penyertaan modal 100 persen, sedangkan
dalam musyarakah penyertaan modal berasal dari dua pihak atau lebih yang besarnya ditentukan
diawal kesepakatan secara bersama.
Realitas Pembiayaan
Dalam perjalanan usahanya, bank syariah tidak bisa memberikan kontribusi yang maksimal
untuk mendukung kemajuan sektor riil, khususnya UMKM. Hal ini terjadi karena pembiayaan
yang diberikan didominasi oleh pembiayaan non bagi hasil (murabahah dan ijarah). Dalam
statistik perbankan syariah bulan November 2007, porsi produk untuk jenis pembiaayaan
murabahah mencapai 58,93 persen dan piutang istishna’ mencapai 1,26 persen, sementara
proporsi pembiayaan musyarakah sebesar 16,06 persen dan pembiayaan mudharabah sebesar
20,49 persen. Selain itu perannya untuk memberdayakan perekonomian ummat secara
keseluruhan tidak berjalan dengan optimal, karena pembiayaan masih fokus pada sektor jasa
yang cenderung menggunakan skema pembiayaan non-bagi hasil mencapai 31,16 persen
sedangkan untuk sektor industri mencapai 4,94 persen, dan sektor pertanian mencapai 2,40
persen.
Rendahnya porsi pembiayaan profit and loss sharing pada bank syariah umumnya
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya besarnya resiko dalam pembiayaan bagi hasil

3
(Muhammad, 2005) dalam (Akhbar, 2006), sedangkan faktor yang lain adalah masalah yang
ditimbulkan karena moral hazard dan adverse selection (khalil, Rickwood, dan Muride, 2000)
dalam (Akhbar, 2006). Selain itu rendahnya total asset bank syariah yang market share sebesar
1,77 persen dari perbankan nasional menyebabkan bank syariah harus berhati-hati dalam
menyalurkan dananya ke nasabah.
Rendahnya pembiayaan bagi hasil di perbankan syariah disebabkan oleh beberapa hal,
menurut Muhammad (2005), beberapa alasan yang menjelaskan tingginya prosentase
pembiayaan murabahah dalam operasi investasi perbankan syariah:
Pertama, Murabahah adalah suatu mekanisme investasi jangka pendek, dan dibandingkan
dengan sistem bagi hasil, cukup memudahkan.
Kedua, Mark-up dalam murabahah dapat ditetapkan sedemikian rupa sehingga memastikan
bahwa bank dapat memperoleh keuntungan yang sebanding dengan keuntungan bank-bank
berbasis suku bunga yang menjadi saingan bank syariah.
Ketiga, Murabahah menjauhkan ketidakpastian yang ada pada pendapatan dari bisnis-bisnis
dengan sistem bagi hasil.
Keempat, Murabahah tidak memungkinkan bank-bank syariah untuk mencampuri manajemen
bisnis, karena bank bukanlah mitra si nasabah, sebab hubungan mereka dalam murabahah adalah
hubungan antara kreditur dan debitur.
Sedangkan menurut Iman Sugema (2006), menyebutkan bahwa rendahnya pembiayaan bagi
hasil terutama disebabkan adanya asymmetric information dan administrative problem (non-
standardized accounting, bad debt). Asymmetric information adalah kondisi yang menunjukkan
sebagian investor mempunyai informasi dan yang lainnya tidak memilikinya. Asimetri informasi
yang dilakukan agen (pengusaha/debitur) dalam kontrak keuangan biasanya berbentuk moral
hazard dan adverse selection. Menurut Prof. Muhammad Abu Zahrah (1999) dalam Ahmad
Sumiyanto (2005) mengidentifikasikan faktor- faktor yang menyebabkan pembiayaan bagi hasil
kurang menarik bagi bank syariah antara lain;
Pertama, Sumber dana bank syariah yang sebagian besar berjangka pendek tidak dapat
digunakan untuk pembiayaan bagi hasil yang biasanya berjangka panjang. Kedua, pengusaha
dengan bisnis yang memiliki tingkat keuntungan tinggi cenderung enggan menngunakan sistem
bagi hasil , hal ini terjadi karena pengusaha beranggapan bahwa kredit dengan menggunakan
sistem bunga lebih menguntungkan dengan jumlah perhitungan yang sudah pasti, sehingga pada

4
umum nya yang banyak mengajukan pembiayaan bagi hasil adalah usaha dengan keuntungan
yang relatif rendah. Ketiga, pengusaha dengan bisnis yang berisiko rendah enggan meminta
pembiayaan bagi hasil, kebanyakan pengusaha yang memilih pembiayaan bagi hasil adalah
mereka yang berbisnis dengan risiko tinggi termasuk mereka yang baru terjun ke dunia bisnis,
keempat, untuk meyakinkan bank bahwa proyeknya akan memberikan keuntungan tinggi dan
mendorong pengusaha untuk membuat proyeksi bisnis yang terlalu optimis. Kelima, banyak
pengusaha yang mempunyai dua pembukuan, pembukuan yang diberikan kepada bank adalah
yang tingkat keuntungannya kecil sehingga porsi keuntungan yang harus diberikan kepada bank
juga kecil padahal pada pembukuan sebenarnya pengusaha membukukan keuntungan besar.

Selain itu permasalahan rendahnya pembiayaan bagi hasil menurut para ahli perbankan 2
dalam (Ascarya, 2005) disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya:
a. Internal bank Syariah
1. Kualitas Sumbar Daya Insani (SDI) belum memadai untuk menangani proyek bagi hasil.
2. Bank Syariah belum mampu menanggung resiko besar.
3. Bank syariah terlalu mengutamakan orientasi bisnis dan keuntungan seperti institusi
usaha pada umumnya.
4. Adverse Selection, karena Asymetric Information antara kedua belah pihak.
5. Tidak adanya Personal Guarantee dan Collateral pada nasabah.
6. Biaya informasi yang meningkat, terutama untuk pembiyaam mudharabah.
7. Keterbatasan peran bank sebagai investor, terutama untuk pembiayaan mudharabah.
b. Nasabah bank syariah
1. Sebagian nasabah sudah terbiasa dengan system bunga bank.
2. Moral hazard, karena pengusaha enggan menyampaikan laporan keuangan/keuntungan
sebenarnya untuk menghindari pajak atau bagi hasil.
3. Permintaan pembiayaan bagi hasil yang masih kecil dari nasabah.
c. Regulasi
1. Kurangnya dukungan dari regulator, karena tidak melakukan inisiatif-inisiatif untuk
mengadakan perubahan peraturan dan institusional yang diperlukan untuk
mendukung bekerjanya system perbankan syariah dengan baik

2
Diantaranya Chapra (2000), Iqbal dan Llewllyn (2002), Mulyawan (2001), Al-jarhi (2002), Parinduri
(2003),Algaoud dan Lewis (2003)

5
2. Tidak adanya institusi pendukung untuk mendorong penggunaan bagi hasil.
3. Tidak adanya prosedur operasional yang seragam.
d. Pemerintah
1. Tidak ada kesepahaman dalam aturan-aturan syariah dan proyek-proyek pendukung
yang mendorong penggunaan bagi hasil untuk proyek-proyek pemerintah.
2. Pemberlakuan pajak yang tidak adil pada keuntungan sebagai objek pajak, sedangkan
bunga bebas dari pajak.
3. Pasar sekunder instrumen keuangan syariah belum ada, sehingga bank kesulitan
dalam menyalurkan atau mendapatkan akses likuiditas sesuai syariah.
4. Hak kepemilikan belum jelas, karena pembiayaan PLS memerlukan hak kepemilikan
yang jelas dan berlaku efisien.
Selain itu keterbatasan asset bank syariah yaitu sebesar 1,77 persen dari keseluruhan total
asset perbankan menyebabkan bank syariah harus lebih berhati-hati dalam melakukan
pembiayaan, khususnya pembiayaan bagi hasil sehingga kemampuan berinvestasi bank syariah
terhambat.
Menurut Irfan Syauqi Beik, (2006) tingginya pembiayaan non-bagi hasil merupakan
kelemahan dari perkembangan pembiayaan bank syariah, karena:
Pertama, skema murabahah, dan juga ijarah, sesungguhnya merupakan fixed return modes,
dimana kalau kita mau jujur bahwa yang membedakan secara prinsipil antara bank Islam dan
bank konvensional diantaranya adalah terletak pada prinsip risk-profit sharing-nya.
Kedua, skema murabahah cenderung menambah bahan bakar kepada kemungkinan terjadinya
inflasi, dimana harga komoditas barang cenderung meningkat.
Ketiga, skema murabahah tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan
produktivitas barang dan jasa. Selain itu, tingginya pembiayaan non-bagi hasil tidak hanya
menimbulkan masalah bagi dunia usaha, tetapi juga mengakibatkan rendahnya perolehan
pendapatan bank syariah itu sendiri, karena walaupun dengan risiko yang lebih tinggi produk
pembiayaan bagi hasil dapat menghasilkan keuntungan yang lebih besar daripada produk
pembiayaan non-bagi hasil apabila dikelola sesuai dengan manajemen risiko.
Tingginya porsi Pembiaayaan berbasis bagi hasil menurut Irfan Syauqi Beik, (2006)
mempunyai beberapa keunggulan, yaitu :

6
Pertama, Pembiayaan musyarakah dan mudharabah akan menggerakkan sektor rill karena
pembiayaaan ini bersifat produktif yakni disalurkan untuk kebutuhan investasi dan modal kerja.
Jika investasi di sektor riil meningkat tentunya akan menciptakan kesempatan kerja baru
sehingga dapat mengurangi pengangguran sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat.
Kedua, Nasabah akan memiliki dua pilihan, apakah akan mendepositokan dananya pada bank
syariah atau bank konvensioanal. Nasabah akan membandingkan antara expected rate of return
yang ditawarkan bank syariah dengan tingkat suku bunga bank konvensional. Dimana selama ini,
kecenderungannya rate of return bank syariah lebih tinggi daripada suku bunga bank
konvensional. Dengan demikian diharapkan akan menjadi pendorong peningkatan jumlah
nasabah di bank syariah. Ketiga, Peningkatan persentase pembiayaan bagi hasil akan mendorong
tumbuhnya pengusaha atau investor yang berani mengambil keputusan bisnis yang berisiko.
Pada akhirnya akan berkembang berbagai inovasi baru yang akan meningkatkan daya saing bank
syariah. Keempat, Pola pembiayaan mudharabah dan musyarakah adalah pola pembiayaan
berbasis produktif yang memberikan nilai tambah bagi perekonomian dan sektor riil sehingga
kemungkinan terjadinya krisis keuangan akan dapat dikurangi.
Selain itu, dengan mengoptimalkan pembiayaan bagi hasil bank syariah dapat
menumbuhkan jiwa entrepreneurship nasabah yang pada akhirnya dapat meningkatkan distribusi
pendapatan dan memberdayakan ekonomi masyarakat
Orientasi Ke Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil Menengah
Menurut Siti Ch. Fadjriah (2007), Pembiayaan dengan menggunakan sistem syariah lebih
cocok diterapkan dalam membiayai sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) karena lebih
memberikan kepastian dan tidak terbebani akibat kenaikan suku bunga. Selain itu faktor ukuran
atau skala usaha bank syariah yang tidak sebesar perbankan konvensional membuat bank syariah
lebih fokus ke sektor UMKM dengan skala usaha lebih kecil, di lain sisi ketertarikan UMKM
memilih sistem pembiayaan syariah terkait dengan ketersediaan kolateral yang tidak seketat
konvensional dan sifat gain sharing, risk sharing, lebih menarik bagi UKM. Namun, menurut
Isha Ashari (2007) ada beberapa kerakteristik dan ciri khas yang menjadi keunggulan Usaha
Mikro Kecil Menengah, yaitu :
Pertama, skala usaha yang kecil memungkinkan untuk beradaptasi dengan cepat dan
responsive terhadap lingkungan bisnis yang bergejolak. Kedua, lebih fleksibel, sehingga
memiliki lebih banyak peluang untuk berinovasi dan bereksperimen. Ketiga, memiliki banyak

7
sumber keunikan yang berbasis budaya setempat. Keempat, dapat memanfaatkan peluang kecil
yang ada. Kelima, mudah untuk bangkit kembali, bila menghadapi kondisi bisnis yang kurang
menguntungkan.
Bank syariah mempunyai peluang yang sangat besar untuk memberdayakan perekonomian
ummat apabila mampu mengoptimalkan pembiayaan bagi hasil dalam penyaluran dananya ke
nasabah, karena tingkat rasio penyaluran dana pihak ketiga (FDR) kepada nasabah pada bank
syariah sangat besar, yaitu sebesar 102,65 persen, lebih tinggi daripada LDR pada perbankan
nasional yang rata-ratanya hanya sebesar 66,01 persen, dengan tinginya tingkat FDR bank
syariah mencerminkan bahwa fungsi intermediasi bank syariah dapat tercapai dengan optimal.
Selain itu apabila dilihat dari prosentase pembiayaan berdasarkan golongan pembiayaan, sektor
UMKM merupakan fokus pembiayaan bank syariah dengan prosentase pembiayaan mencapai 70
persen dari seluruh total pembiayaan Rp23,23 triliun, lebih tinggi daripada sektor korporasi yang
hanya mencapai 30 persen. Bank syariah lebih mencerminkan prinsip keadilan melalui
mekanisme pembiayaan bagi hasil dengan skema distribusi pendapatan yang merata karena lebih
fokus pada pemberdayaan UMKM. Hal ini terjadi karena jumlah populasi UKM pada 2006
mencapai 48,9 juta unit usaha atau sekitar 99,98 persen terhadap total unit usaha di Indonesia,
sementara jumlah tenaga kerjanya mencapai 85,4 juta orang atau 96,18 persen terhadap seluruh
tenaga kerja Indonesia atau sebanyak 46,28 persen dari jumlah total penduduk Indonesia. Selain
itu sektor UMKM memiliki potensi yang sangat luar biasa, yaitu sekitar 57 persen kebutuhan
barang dan jasa serta sekitar 19 persen produk ekspor merupakan hasil produksi UMKM dan
mampu memberikan kontribusi 2-4 persen pertumbuhan nasional. Menurut Menteri Negara
Koperasi dan UKM (Menegkop & UKM), sektor UKM menyumbang 53,3 persen atau sebesar
Rp1.778,7 triliun dari total Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2006 yang mencapai Rp3.338,2
triliun ( www.menkokesra.go.id).

SOLUSI PERMASALAHAN

8
Upaya untuk mengoptimalkan pembiayaan bagi hasil pada bank syariah dapat dilakukan
dengan berbagai upaya. Menurut Muhammad Imadudin (2005), upaya untuk mengoptimalkan
mudharabah pada bank syariah melalui berbagai langkah, antara lain adalah:
Pertama, Kesinambungan dan transparansi informasi terhadap usaha yang akan dijalankan.
Informasi usaha dan pasar adalah sesuatu yang sangat penting dan berharga dalam setiap usaha.
Oleh karena itu langkah ini bisa dimaksimalkan melalui database yang aktual, rinci, dan faktual,
sambil terus mencari dan menemukan format usaha yang sesuai dengan iklim usaha tersebut.
Kedua, Pengembangan industri-industri kecil yang dibina langsung oleh bank syariah. Industri
ini benar-benar milik rakyat, prospektif, dan dikelola dengan amanah. Industrialisasi adalah salah
satu kunci penting bagi negara kita untuk dapat survive di saat krisis seperti ini, dan melatih
bangsa kita menjadi bangsa yang mandiri.
Ketiga, Membuat aturan dan regulasi yang tepat, terstandarisasi, dan sesuai dengan prinsip
syariah.
Terkait dengan masalah Asimetric information, Presley & Session mengenalkan konsep
incentive-compatible constraint yang mencakup empat aspek, yaitu: pertama, higher stake of net
worth, kedua hight operating risk firms have higher leverage, ketiga lower fraction of
unobservable cash-flow; dan keempat lower fraction of non-controllable cost.
Model ini diadopsi oleh Karim (2000) dalam Muhammad (2005) untuk mengendalikan
penerapan pembiayaan mudharabah di Bank Muammalat Indonesia dengan mengurangi
kemungkinan terjadinya risiko asimetric information dengan menerapkan batasan-batasan
tertentu ketika menyalurkan pembiayaan kepada mudharib, yaitu: pertama, menerapkan batasan
agar porsi modal dari pihak mudharibnya lebih besar dan atau mengenakan jaminan.
Kedua, menerapkan syarat agar mudharib melakukan bisnis yang risiko operasinya lebih rendah,
Ketiga, Menetapkan syarat agar mudharib melakukan bisnis dengan arus kas yang transparan,
Keempat, Menetapkan syarat agar mudharib melakukan bisnis yang biaya tidak terkontrol nya
rendah.
Menurut Ahmad Sumiyanto (2005) model-model untuk mengurangi risiko asimetric
information tersebut diatas dapat dijelaskan secara lebih detail yaitu;
1. Higher Stake In Net Worth, dalam praktiknya syarat yang dapat diterapkan berupa; (1)
penetapan praktiknya : syarat yang dapat diterapkan apabila porsi modal mudharib dalam
suatu usaha lebih tinggi, insentifnya untuk berlaku berlaku tidak jujur akan berkurang

9
dengan signifikan, karena pengusaha juga akan menanggung kerugian atas tindakannya.
(2) penetapan agunan berupa fixed asset pengenaan jaminan juga akan mencegah
mudharib melakukan penyelewengan karena jaminan yang sudah diberikan itu menjadi
harga dari penyelewengan perilakunya (character risk). (3) penggunaan pihak penjamin;
seringkali bank sebagai pemilik dana tidak mengenal dekat karakter calon mudharib, oleh
karena itu bank dapat meminta agar calon mudharib menyediakan pihak penjamin yang
mengenal calon mudharib, dan bersedia menjadi penjamin atas character risk calon
mudharib. (4) penggunaan pihak pengambil alih utang: Dalam beberapa kasus, pihak
penjamin bersedia mengambil alih kewajiban calon mudharib bila terjadi kerugian yang
disebabkan character risk calon mudharib.
2. Lower Operating Risk, dalam praktiknya syarat yang dapat diterapkan berupa; penetapan
rasio maksimal fixed asset terhadap total asset, hal ini dimaksudkan agar dana
mudharabah tidak digunakan untuk investasi pada fixed asset secara berlebihan.
3. Unobservable Cash Flow, dalam praktik syarat dapat diterapkan berupa;
Pertama, monitoring secara acak atau inspeksi secara mendadak karena bisnis mudharib
arus kas nya tidak dapat diketahui secara transparan oleh pemilik dana. Metode ini
biasanya di terapkan pada; (1) bisnis yang skala usahanya tidak cukup besar untuk
dilakukan monitoring secara periodik, (2) bisnis yang musiman atau berjangka pendek.
Kedua, monitoring secara periodik, Dalam metode ini, mudharib di dorong untuk
menyiapkan laporan periodik atas bisnis yang di biayai oleh dana mudharabah. Ketiga,
melibatkan pihak ketiga sebagai auditor yang akan memeriksa kebenaran laporan
keuangannya.
4. Non-controllable Cost, dalam praktiknya syarat yang diterapkan adalah;
(1) Revenue sharing, metode ini dilakukan untuk mengurangi timbulnya perselisihan
terutama atas biaya-biaya yang timbul. (2) Penetapan minimal profit marjin; metode
ini di lakukan untuk mengantisipasi adanya indikasi bahwa mudharib lebih
mementingkan volume penjualan yang besar dengan mengorbankan tingkat profit
marjinnya sehingga dapat merugikan pihak bank sebagai pemilik dana.
Penerapan manajemen risiko merupakan salah satu upaya untuk mengotimalkan pembiayaan
bagi hasil pada bank syariah. Penerapan manajemen risiko ini terkait untuk mengantisipasi

10
berbagai macam risiko yang potensial akan muncul dalam pembiayaan bagi hasil, diantaranya
risiko kredit, dan risiko pasar (tekait usaha yang dibiayai).
Menurut Muhammad (2005) penerapan manajemen risiko dapat diawali dengan melakukan
penyaringan (screening) terhadap calon nasabah dan proyek yang dibiayai, karena manajemen
pembiayaan bank syariah sangat berkaitan dengan risiko karakter nasabah dan proyek yang akan
dibiayai. Menurut Muhammad (2005), risiko karakter nasabah dapat dilihat dari aspek; (I) faktor
skill, meliputi kefamiliaran terhadap pasar, mampu mengoreksi risiko bisnis, mampu melakukan
usaha yang berkelanjutan, mampu mengartikulasi bahasa bisnis. (II) faktor reputasi, meliputi
track-recod baik sebagai karyawan, direkomendasikan sumber terpercaya, memiliki jaminan
usaha. (III) faktor asal usul, meliputi memiliki hubungan keluarga atau persahabatan dengan
investor, sebagai pebisnis yang sukses, berasal dari kelas social terpandang. Sementara itu risiko
terhadap proyek atau usaha terjadi karena ; pertama, kemungkinan terjadinya kebangkrutan
bisnis dan yang kedua adalah jaminan yang diberikan oleh nasabah atas besarnya pembiayaan
yang terima.
Sedangkan untuk meminimalisasi risiko asimetric information dan menekan biaya
monitoring pada pembiayaan bagi hasil ke sektor UMKM, bank syariah dapat melakukan pola
kemitraan dengan Lembaga Keuangan Mikro Syariah, yaitu dengan menggunakan model
Lingkage Program yang sudah di kenalkan oleh Bank Indonesia, Model Lingkage Program ini
terdiri dari Executing (Pembiayaan ke LKMS dengan equity financing), Join Financing
(pembiayaan bersama), atau Channeling. Pola kemitraan dengan Lembaga keuangan mikro ini di
lakukan karena lembaga keuangan mikro (BPRS, Koperasi Syariah, BMT) yang tersebar di
seluruh pelosok wilayah lebih mengenal kebutuhan jasa keuangan, karakter, adat istiadat dan
sifat nasabah setempat, khususnya UMKM sehingga potensi munculnya risiko kredit macet dapat
di tekan, selain itu dengan pola kemitraan ini diharapkan dapat menekan biaya monitoring
perbankan, karena lembaga keuangan mikro dapat berperan sebagai auditor atau pengawas dan
pendamping usaha nasabah dengan efektif dan efisien, karena letak usahanya lebih dekat dengan
tempat usaha nasabah yang di biayai.
Menurut Ascarya (2005) alternatif solusi untuk pemecahan masalah rendahnya pembiayaan
bagi hasil bank syariah terdapat beberapa macam alternatif, yaitu :
a. Internal bank syariah
1. Peningkatan jumlah dan pemahaman/kualitas Sumber Daya Insani bank syariah

11
2. Pengembangan Produk yang menarik, aplikatif dan simpel
b. Nasabah bank syariah
Sosialisasi perbankan syariah dan produknya ke masyarakat
c. Pemerintah dan Regulasi
1. Revisi semua regulasi yang kurang mendukung, memberlakukan system insentif, dan
atau menerapkan regulasi tegas
2. Menata kembali fungsi, struktur, dan hubungan DSN, DPS, BI (konsultan, jika
memungkinkan) agar tercipta sinergi yang harmonis.
Sedangkan menurut Muhammad Imaduddin (2005) dalam (Republika Online, 2007) terdapat
beberapa alternatif solusi yang dapat dilakukan bank syariah dalam mengembangkan produk
bagi hasil, yang intinya bekerjasama dengan pihak lain dalam menanggung risiko, antara lain:
1. Adanya lembaga penjamin yang memiliki kredibilitas dan amanah dalam memback-up
usaha yang dijalankan dengan sistem musyarakah dan mudharabah.
2. Melibatkan LAZ yang amanah dan profesional sebagai penjamin usaha nasabah.
3. Bank syariah harus mempunyai sasaran dan target usaha yang jelas dan baik prospeknya
untuk dikembangkan, tidak hanya sekedar ada jaminan saja yang layak dikembangkan.
4. Bank syariah juga sebaiknya memiliki jiwa entrepreneurship , artinya, mereka juga harus
memiliki jiwa pengusaha yang berani mengambil risiko sesuai kemampuan.
Ketersediaan asset bank syariah ternyata berhubungan positif dengan tingkat penyaluran
produk pembiayaan bagi hasil kepada nasabah. Oleh karena itu, dengan kondisi tingkat Suku
bunga sekarang ini yang terus turun pada kisaran 8 persen, sebenarnya merupakan momentum
yang tepat bagi bank syariah untuk meningkatkan jumlah assetnya melalui penghimpunan dana
dari nasabah, karena bank syariah dapat memberikan expected rate of return yang lebih tinggi
dibandingkan dengan interest rate bank konvensional. Upaya peningkatan asset bank syariah
juga dapat ditempuh melalui peningkatan akses pelayanan bank syariah yang lebih luas ke
masyarakat yang dapat dilakukan melalui pembukaan kantor cabang baru beserta infrasruktur
pendukung nya. Sehingga dengan peningkatan jumlah asset yang memadai, bank syariah lebih
fleksibel dalam menyalurkan pembiayaan bagi hasil untuk memberdayakan UMKM dan berani
mengambil risiko dalam melakukan pembiayaan usaha. Selain itu untuk mengatasi permasalahan
ketidakcocokan (mistmatch) dana bank syariah, yaitu sumber dana yang bersifat jangka pendek
sedangkan dana nya digunakan untuk membiayai proyek bagi hasil yang cenderung bersifat

12
jangka panjang maka diperlukannya suatu hubungan kemitraan dengan lembaga keuangan lain,
dalam hal ini peran perusahaan asuransi dan pengelola dana pensiun syariah dapat dijadikan
sebuah solusi. Hal ini karena sumber dana asuransi dan dana pensiun yang bersifat jangka
panjang sehingga dana masyarakat yang dikumpulkan dapat digunakan untuk pembiayaan
proyek bagi hasil dengan mekanisme Join Financing maupun melalui instrumen obligasi yang di
terbitkan bank syariah.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan :
1. Berdasarkan prinsip dasar produknya, bank syariah sesungguhnya memiliki core product
pembiayaan yang berprinsip bagi hasil, yang dikembangkan dalam produk pembiayaan
musyarakah dan mudharabah. Pembiayaan ini bersifat produktif karena di investasikan
untuk penyediaan modal kerja sehingga dapat memberdayakan perekonomian ummat
yang mencerminkan prinsip keadilan melalui pembukaan lapangan kerja baru yang dapat
meningkatkan pendapatan masyarakan dan mengurangi tingkat pengangguran.
2. Pengembangan industri perbankan syariah kedepan seharusnya tidak hanya dilihat dari
pertumbuhan jumlah total asset nya saja, tetapi lebih dilihat dari kemampuan untuk
memberikan manfaat dan nilai tambah kepada nasabah serta mampu memberdayakan
perekonomian ummat secara umum yang sesuai prinsip syariah melalui pembiayaan yang
berkualitas yang mampu memberikan manfaat kepada ummat, hal ini dapat tercapai
apabila bank syariah tetap berpegang kepada produk yang telah menjadi ciri khasnya
yaitu musyarakah dan mudharabah dengan tanpa adanya jaminan karena pada prinsip
nya pembiayaan bagi hasil bersifat trust financing
3. Pembiayaan bagi hasil dapat memberikan dampak yang positif terhadap perkembangan
sektor riil, khususnya UMKM yang menjadi indikator kemajuan roda perekonomian
negara melalui kegiatan investasi
4. Rendahya porsi pembiayaan bagi hasil di bank syariah di Indonesia dipengaruhi oleh
faktor utama, yaitu rendahnya jumlah dan tingkat kualitas Sumber Daya Insani di bank
syariah untuk menangani pembiayaan proyek yang berprinsip bagi hasil serta tingginya
risiko yang ada pada pembiayaan bagi hasil.

13
Saran
1. Diperlukan sosialisasi yang menyeluruh tentang produk perbankan syariah untuk
meningkatkan pemahaman masyarakat umum, sehingga peningkatan pembiayaan bagi
hasil dapat dipengaruhi oleh sisi permintaan masyarakat dengan mau menggunakan
layanan bank syariah.
2. Diperlukan semacam apresiasi dan insentif kepada bank syariah yang efektif
menyalurkan produk pembiayaan bagi hasil melalui penilaian kinerja, maupun insentif
yang berupa pemotongan pajak bagi hasil keuntungan.
3. Peningkatan kualitas dan kuantitas SDM yang paham tentang perbankan syariah yang
mampu menangani proyek-proyek bagi hasil, karena selama ini proyek-proyek yang
dibiayai oleh bank syariah adalah yang bergerak di sektor jasa, perdagangan, perhotelan
yang cenderung menggunakan mekanisme pembiayaan non bagi hasil.

DAFTAR PUSTAKA
Antonio, Syafi’i. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktek. Jakarta: Tazkia.
Akhbar, Burhan. 2006. Sinergisme Konsep Corporate Governance dan Konsep Distribusi Nila
Tambah Dalam Upaya Meminimalisasi Permasalahan Agensi Pada
Pembiayaan Mudharabah. Karya Tulis disampaikan pada LKTI Temu
Ilmiah Nasional Universitas Jenderal Soedirman.
Sumiyanto, Ahmad. 2005. Problem dan Solusi Transaksi Muharabah. Yogyakarta : Magistra
Insania Press.
Muhammad. 2005. Permasalahan Agency Dalam Pembiayaan Mudharabah Pada Bank Syariah
di Indonesia. Disertasi. Yogyakarta: UII Yogyakarta
Muhammad. 2005. Manajemen Bank Syariah Edisi Revisi. Yogyakarta: Unit Penerbit dan
Percetakan (UPP) AMP YKPN.
Sugema, Iman. 2007. Islamic Banking: The Fact and Challenges. Makalah disampaikan dalam

SEconD 2007. Jakarta: Forum Studi Islam FE UI 13 Feb 2007

Diana Yumanita, Ascarya. 2005. Mencari Solusi Rendahya Pembiayaan Bagi Hasil di
Perbankan Syariah Indonesia. Jakarta: Bank Indonesia.

14
Bank Indonesia. 2007. Laporan Perkembangan Perbankan Syariah Bulan November 2007.
Jakarta: Direktorat Perbankan Syariah: Bank Indonesia.
Bank Indonesia. 2007. Laporan Perkembangan Perbankan Syariah tahun 2006 . Jakarta:
Direktorat Perbankan Syariah: Bank Indonesia
Partahian Lase, Risanto. 2006. Laporan Pengenalan Bisnis PT Bank Mandiri. Yogyakarta: UKI
Yogyakarta.
Imaduddin, Muhammad. 2005. Bank Syariah Sang Enterpreneur. Inggris: Leicestershire. dalam
www.pesantrenvirutal.com.
Imaduddin, Muhammad. 2005. Mudharabah dan Optimalisasi Sektor Riil, dalam
www.republika.co.id.
Beik, Irfan Syauqi. 2007. Bank Syariah dan Pengembangan Sektor Riil. Jakarta:
pesantrenvirtual.com.

Zuhdi, Ramzi. 2007. Berebut Triliunan Rupiah di Syariah. Jakarta: Tempo hal 88, edisi 21
Oktober 2007.
Fadjriah, Siti Ch. 2005. Sistem syariah lebih cocok untuk pembiayaan UKM.
http://www.bisnis.com/servlet/page?
_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&vnw_lang_id=2&ptopi
k=A34&cdate=15-APR-2005&inw_id=356756
Kiryanto, Ryan. 2005. Sistem syariah lebih cocok untuk pembiayaan UKM, dalam
www.bisnis.com.
Ashari, Isa. 2007. Kebijakan Pemerintah (Dinas Perindustrian Perdagangan Penanaman Modal
Kota Magelang) dalam Memberdayakan UMKM dan Ekonomi Islam.
Makalah disampaikan dalam Seminar Musyawarah Regional 2007. Magelang:
LSEI Universitas Muhammadiyah Magelang 30 Juni 2007.
Republika.co.id. 2005. situs resmi harian Republika.
http://www.menkokesra.go.id/content/view/3391/1/

15

Anda mungkin juga menyukai