Anda di halaman 1dari 19

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Asuhan keperawatan pada Ny. W dengan diagnosa medis Skizofrenia Tak

Terinci dilaksanakan di wisma Srikandi Rumah Sakit Jiwa Grhasia. Asuhan

keperawatan ini meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi,

implementasi dan evaluasi keperawatan yang berfokus pada masalah utama risiko

perilaku kekerasan dengan menerapkan terapi musik sebagai landasan Evidence

Based Nursing dalam proses keperawatan.

A. Pengkajian Keperawatan

Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan yang

diberikan pada Ny. W dan dilakukan pada tanggal 31 Oktober 2022.

Pengkajian ini dilakukan dengan metode wawancara, pemeriksaan fisik,

observasi, dan studi dokumentasi. Selama proses pengkajian, pengumpulan

data diperoleh dari beberapa sumber yaitu pasien, perawat dan rekam medis.

Dari hasil pengkajian didapatkan beberapa karakteristik pasien yang meliputi

jenis kelamin perempuan, status perkawinan sudah menikah, usia 33 tahun,

dan pendidikan terakhir SMK.

Karakteristik pasien dalam kasus ini dalah Ny. W berjenis kelamin

perempuan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Livana dan Suerni

(2019), menyatakan bahwa sebanyak 65% responden berisiko mengalami

kekerasan mayoritas adalah laki-laki. Hal ini karena laki-laki cenderung

bersifat agresif dan memiliki tingkat emosional yang lebih tinggi daripada

55 Poltekkes Kemenkes Yogyakarta


56

wanita. Laki-laki cenderung tertutup ataupun malu untuk bercerita dan sering

memendam masalah ataupun stress psikologis sendirian sehingga jika tidak

mempunyai mekanisme koping yang kostruktif maka laki-laki memiliki

kecenderungan lebih tinggi untuk mengalami gangguan jiwa dalam jangka

waktu tertentu. Selain itu laki-laki terutama yang sudah dewasa memiliki

tanggung jawab yang semakin meningkat sebagai tulang punggung keluarga

sehingga semakin mudah mengalami stress. Sedangkan Ny. W berjenis

kelamin perempuan karena tidak menutup kemungkinan seorang perempuan

juga bisa mengalami gangguan jiwa. Tentu saja hal ini bisa dipengaruhi oleh

banyak faktor yang menjadi masalah di kehidupannya. Selain itu asuhan

keperawatan ini dilakukan di wisma rawat inap putri sehingga yang ada hanya

pasien dengan jenis kelamin perempuan.

Ny. W memiliki status perkawinan sudah menikah dan sudah pisah

rumah dengan suaminya sejak 10 bulan sebelum masuk rumah sakit. Menurut

NANDA (2016) dalam Sutejo (2022) menyatakan bahwa salah satu faktor

risiko dari risiko perilaku kekerasan adalah status perkawinan. Berbagai

masalah yang terjadi dalam perkawinan dapat menjadi sumber stress bagi

seseorang dan merupakan salah satu penyebab umum terjadinya gangguan

jiwa. Masalah yang sering terjadi selama perkawinan misalnya adalah

pertengkaran, ketidaksetiaan, kematian salah satu pasangan, dan perceraian.

Usia Ny. W pada saat dilakukan pengkajian adalah 33 tahun yang

merupakan usia dewasa dan produktif. Pada usia ini dituntut untuk pencapaian

aktualisasi diri, mampu membina hubungan baik dengan masyarakat,

Poltekkes Kemenkes Yogyakarta


57

hubungan kerja, dan hubungan yang intim dengan orang lain. Jika seseorang

mengalami banyak gangguan pada masa sebelumnya, maka apabila seseorang

mengalami masalah pada masa dewasa ini akan menyulitkan pemenuhan

kebutuhan perkembangan dalam umur itu sehingga akan berisiko mengalami

gangguan jiwa (Yosep, 2011). Penelitian yang dilakukan Subagyo et al.,

(2018) menunjukkan hasil bahwa pasien dengan risiko perilaku kekerasan

terbanyak berada pada rentang usia 26-35 tahun yaitu 52,6 %. Sukmawati

(2010) dalam Subagyo et al., (2018) juga menyebutkan bahwa berdasarkan

data American Psychiatric Association (APA) penderita gangguan jiwa

terbanyak pada usia yang masih produktif. Ny. W mengalami kegagalan

dalam tahapan ini sehingga memiliki kecenderungan berbuat apa saja sesuka

hatinya termasuk menginginkan anak keduanya mati dan selalu merasa ingin

marah jika ada konflik. Tentu saja kegagalan ini terjadi karena beberapa

stressor yang dihadapinya seperti pernah bekerja sebagai SPG namun sekarang

sudah berhenti. Ny. W merasa tidak mampu menunjukkan kemandirian dan

tanggung jawab untuk dirinya sendiri, keluarga dan masyarakat.

Karakteristik pendidikan Ny. W adalah SMK. Tingkat pendidikan sangat

berpengaruh terhadap cara seseorang berperilaku, membuat keputusan dan

memecahkan masalah, serta mempengaruhi cara penilaian seseorang terhadap

stresor. Notoatmodjo (2003) dalam Subagyo et al., (2018) menyebutkan

bahwa tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh

terhadap pengetahuan yang akan menjadi stimulus terjadinya sikap yang

nantinya akan melandasi tindakan yang dilakukan. Semakin tinggi tingkat

Poltekkes Kemenkes Yogyakarta


58

pendidikan seseorang maka akan semakin baik mekanisme koping dari orang

tersebut dalam menyikapi suatu hal yang terjadi dalam kehidupannya. Ny. W

memiliki tingkat pendidikan SMK yang termasuk dalam pendidikan

menengah atas, namun kemungkinan karena keterbatasan kemampuan untuk

berinteraksi dan mengelola stressor atau masalah baik dari diri sendiri dan

lingkungannya sehingga menyebabkan Ny.W mengalami gangguan jiwa. Hal

ini sejalan dengan penelitian Livana dan Suerni (2019) yang menunjukkan

hasil bahwa sebagian besar pasien memiliki pendidikan menengah sebanyak

61 %.

Alasan masuk Ny. W dirawat pada tanggal 22 Oktober 2022 adalah

mengamuk, marah-marah, mengancam anak dengan pisau, membawa pisau

kalau tidur, pasien tidak menghendaki anak dari kehamilannya yang kedua dan

menginginkan anaknya mati, mengancam ayah dan kakaknya, bicara sendiri

dan ngelantur. Keluarga pasien sudah berusaha untuk menenangkan pasien

namun tidak berhasil. Keluarga akhirnya memutuskan untuk membawa ke

rumah sakit jiwa.

Perilaku agresif yang dilakukan Ny. W sudah sesuai dengan pendapat

Stuart (2016) bahwa perilaku yang berhubungan dengan agresi ditunjukkan

dengan penyimpangan pada agitasi motorik yaitu berjalan dengan cepat, tidak

bisa diam, mengepalkan atau memukulkan tangan, mengencangkan/

merapatkan rahang, pernapasan meningkat, catatonia. Pada kemampuan

verbal dijumpai adanya berbicara mengancam dengan obyek yang nyata atau

tidak nyata, meminta perhatian yang mengganggu, berbicara keras dan dengan

Poltekkes Kemenkes Yogyakarta


59

penekanan, waham atau curiga. Perubahan afek menunjukkan marah,

bermusuhan, ansietas berat, mudah tersinggung, euphoria yang tidak wajar

atau berlebihan dan afek yang tidak stabil. Pada tingkat kesadaran dijumpai

perilaku bingung, perubahan status mental yang tiba-tiba, disorientasi,

kerusakan memori dan tidak bisa diarahkan.

Perilaku agresif yang ditunjukkan Ny. W juga didukung oleh penelitian

yang dilakukan oleh Suerni dan Livana (2019) dimana hasil penelitian

menunjukkan bahwa mayoritas responden berespons kognitif berupa

perubahan isi pikir dan menyalahkan orang lain, respons afektif berupa

perasaan tidak nyaman, respons fisiolofis berupa pandangan tajam dan tangan

mengepal, respons perilaku berupa memukul benda/ orang dan agresif,

respons sosial berupa sering mengungkapkan keinginannya dengan nada

mengancam.

Pengkajian tanggal 31 Oktober 2022 ditemukan data bahwa perilaku

agresif pasien sudah tidak terjadi, namun pasien masih menunjukkan beberapa

tanda dan gejala yang berisiko perilaku kekerasan, antara lain nada bicara

pasien agak meninggi saat diajak berbicara tentang keluarganya, terkadang

ekspresi muka tampak tegang, afek masih labil dan asesmen risiko perilaku

kekerasan ada pada skor enam (risiko sedang). Hal ini mungkin disebabkan

karena pasien sudah mendapatkan terapi psikofarmaka dan terapi modalitas di

wisma maintenance sehingga pasien lebih mampu mengontrol perilaku

agresinya. Selain itu pasien juga jauh dari keluarga yang merupakan faktor

utama pemicu perilaku kekerasan yang dilakukan pasien.

Poltekkes Kemenkes Yogyakarta


60

Faktor-faktor yang mendukung terjadinya perilaku kekerasan pada Ny.

W adalah pasien memiliki riwayat gangguan jiwa sudah lebih dari 10 tahun,

pernah dirawat karena mengamuk, riwayat minum obat tidak pernah teratur

dan putus obat. Pasien mengatakan neneknya yang dari ibu pernah mengalami

gangguan jiwa namun sudah meninggal. Pasien mempunyai pengalaman masa

lalu yang tidak menyenangkan seperti tertipu dan pisah rumah dengan suami.

Pasien merasa anggota keluarga yang lain tidak bisa mengerti apa yang pasien

inginkan dan pasien membenci anak keduanya karena merasa menambah

beban hidupnya.

Faktor-faktor yang mendasari perilaku agresi Ny. W sudah sesuai dengan

beberapa teori yang ada. Berdasarkan teori dari Yosep (2011), salah satu faktor

predisposisi penyebab pasien mengalami gangguan jiwa yaitu faktor genetik di

mana adanya faktor genetik yang diturunkan melalui orangtua menjadikan

potensi perilaku agresif. Individu yang memiliki hubungan sebagai keponakan

atau cucu kejadiannya 2-4 %, dalam hal ini diturunkan oleh nenek pasien dari

garis ibu. Berdasarkan Stuart (2013) dalam Sutejo (2022), teori agresif frustasi

menyatakan bahwa perilaku kekerasan dapat terjadi sebagai akibat dari

akumulasi frustasi yang terjadi apabila keinginan individu untuk mencapai

sesuatu gagal atau terhambat. Pasien merasa anggota keluarga yang lain tidak

bisa mengerti apa yang pasien inginkan. Selain itu dari faktor internal pasien

merasa kehilangan rasa cinta terhadap anak keduanya dan kehilangan relasi

atau hubungan dengan orang yang dicintai karena pisah rumah dengan

suaminya.

Poltekkes Kemenkes Yogyakarta


61

Faktor yang mendasari perilaku agresi Ny. W juga sesuai dengan

penelitian yang dilakukan Livana dan Suerni (2019) dimana hasil penelitian

menunjukkan bahwa sebagian besar responden menyatakan pernah dirawat

sebelumnya dan ketidakpatuhan terhadap pengobatan. Ny. W sudah pernah

dirawat karena mengamuk sehingga pasien sudah pernah mendapatkan

pembelajaran tentang cara mengontrol perilaku kekerasan baik secara individu

maupun kelompok. Akan tetapi, pasien belum mampu melaksanakannya

secara maksimal sehingga masih saja menunjukkan perilaku kekerasan pada

saat marah. Selain itu Ny. W mempunyai riwayat pengobatan tidak teratur

bahkan sampai putus obat karena pasien merasa tidak sakit sehingga tidak

perlu minum obat terus menerus.

Tinjuan teori dalam SDKI (2017) menyebutkan tanda dan gejala mayor

meliputi subyektif yaitu mengancam, mengumpat dengan kata-kata kasar,

suara keras dan bicara ketus. Obyektif yaitu menyerang orang lain, melukai

diri sendiri/orang lain, merusak lingkungan dan perilaku agresi/amuk. Tanda

dan gejala minor meliputi obyektif yaitu mata melotot atau pandangan tajam,

tangan mengepal, rahang mengatup, wajah memerah, dan postur tubuh kaku.

Tanda dan gejala perilaku kekerasan menurut hasil penelitian yang dilakukan

oleh Amimi et al., (2020) menguraikan bahwa tanda dan gejala pasien risiko

perilaku kekerasan yang sering muncul adalah mengepalkan tangan, bicara

kasar, suara tinggi, menjerit atau berteriak. Pada saat pengkajian, masih

didapatkan tanda dan gejala yang berisiko perilaku kekerasan yaitu nada

bicara pasien agak meninggi saat diajak berbicara tentang keluarganya,

Poltekkes Kemenkes Yogyakarta


62

terkadang ekspresi muka tampak tegang, afek masih labil dan asesmen risiko

perilaku kekerasan skor enam (risiko sedang). Sementara untuk tanda dan

gejala lainnya sudah tidak muncul. Hal ini mungkin disebabkan karena pasien

sudah mendapatkan terapi psikofarmaka secara rutin selama sembilan hari dan

sudah mengikuti terapi modalitas di wisma maintenance sehingga pasien lebih

mampu mengontrol perilaku agresinya. Selain itu pasien juga jauh dari

keluarga yang merupakan faktor utama pemicu perilaku kekerasan yang

dilakukan pasien.

B. Diagnosa Keperawatan

Menurut SDKI (2017), diagnosa keperawatan adalah suatu penilaian

klinik mengenai respon pasien terhadap masalah kesehatan atau proses

kehidupan yang dialaminya baik yang berlangsung aktual maupun potensial.

Diagnosa keperawatan merupakan bagian vital dalam menentukan asuhan

keperawatan yang sesuai untuk membantu pasien mencapai kesehatan yang

optimal. Berdasarkan hasil dari pengkajian yang penulis lakukan, maka

ditegakkan tiga diagnosa keperawatan dimana yang utama yaitu risiko

perilaku kekerasan dibuktikan dengan riwayat atau ancaman kekerasan

(D.0146). Diagnosa keperawatan yang kedua adalah gangguan persepsi

sensori berhubungan dengan gangguan penglihatan dan pendengaran

dibuktikan dengan pasien mengatakan masih mendengar bisikan-bisikan yang

memberi tahu tentang sesuatu dan melihat bayangan binatang yang aneh-aneh

yang munculnya setiap saat yang membuat pasien ketakutan, pasien

mengatakan merasa gelisah dan memejamkan mata biar tidak melihatnya,

Poltekkes Kemenkes Yogyakarta


63

terkadang pasien tampak bicara sendiri dengan lirih, pasien banyak tiduran di

kamar, afek masih labil (D.0085). Diagnosa keperawatan yang ketiga adalah

ketidakpatuhan berhubungan dengan program terapi kompleks dan/atau lama

dibuktikan dengan pasien memiliki riwayat gangguan jiwa sudah lebih dari

10 tahun, pasien selama dirawat tidak pernah sembuh dan riwayat minum

obat tidak pernah teratur, pasien putus obat sejak 10 bulan yang lalu karena

pasien merasa tidak sakit sehingga tidak perlu minum obat terus menerus,

afek masih labil (D.0114).

Berdasarkan teori yang dikembangkan oleh Azizah et al., (2016),

diagnosa keperawatan yang muncul adalah perilaku kekerasan, risiko

mencederai diri sendiri orang lain dan lingkungan, perubahan persepsi sensori

: halusinasi, gangguan harga diri : harga diri rendah dan koping individu tidak

efektif. Berdasarkan data-data yang diperoleh pada pasien saat pengkajian,

maka penulis menetapkan diagnosa risiko perilaku kekerasan sebagai core

problem, perilaku kekerasan sebagai affect dan gangguan persepsi sensori

serta ketidakpatuhan sebagai cause. Diagnosa keperawatan tersebut memiliki

kesenjangan dengan teori yang dikemukakan oleh Azizah et al., (2016) yang

menetapkan bahwa perilaku kekerasan sebagai core problem, risiko

mencederai diri sebagai affect dan gangguan harga diri : harga diri rendah

sebagai cause.

Penulis menetapkan risiko perilaku kekerasan sebagai masalah utama

karena pada saat pengkajian pasien tidak menunjukkan perilaku agresifnya,

namun pasien memiliki riwayat melakukan perilaku kekerasan. Selain itu

Poltekkes Kemenkes Yogyakarta


64

pada pasien masih ditemukan tanda dan gejala yang berisiko memicu perilaku

kekerasan yaitu nada bicara pasien agak meninggi saat diajak berbicara

tentang keluarganya, terkadang ekspresi muka tampak tegang dan afek masih

labil. Pasien juga menunjukkan skor enam (risiko sedang) pada saat asesmen

risiko perilaku kekerasan. Jika tanda dan gejala yang masih muncul ini tidak

tertangani dengan baik maka dapat memicu munculnya perilaku kekerasan

baik pada diri sendiri, orang lain ataupun lingkungan.

Penulis tidak menegakkan diagnosa keperawatan harga diri rendah

karena pada pasien tidak dijumpai adanya tanda dan gejala yang mengarah

pada masalah tersebut. Akan tetapi penulis menemukan tanda dan gejala yang

menunjukkan gangguan persepsi sensori yang kemudian ditetapkan sebagai

cause karena dapat memicu munculnya perilaku yang berisiko terhadap

perilaku kekerasan terutama jika pasien sudah masuk dalam tahap

conquering. Sedangkan diagnosa keperawatan ketidakpatuhan juga

ditambahkan dalam cause karena ada riwayat putus obat dan jika pasien tidak

mendapat penanganan yang tepat terkait masalah ini maka perilaku kekerasan

dapat terjadi.

Yosep (2011) menyatakan bahwa salah satu akar permasalahan dari

perilaku kekerasan adalah koping keluarga yang tidak efektif. Pengkajian dari

pasien memunculkan data terkait permasalahan dalam keluarganya, antara

lain pasien tidak menghendaki anak dari kehamilannya yang kedua,

menginginkan anaknya mati saja, pasien sering mencubit anak keduanya,

berbicara keras dengan anaknya, mengancam anaknya dengan pisau,

Poltekkes Kemenkes Yogyakarta


65

mengancam ayah dan kakaknya, pasien merasa keluarga tidak bisa mengerti

yang diinginkan pasien, pisah rumah dengan suaminya sudah 10 bulan,

riwayat sakit jiwa sudah 10 tahun dan riwayat putus obat selama 10 bulan.

Hal ini menunjukkan bahwa ada penurunan dukungan dari keluarga terhadap

perawatan dan pengobatan pasien di rumah.

Penelitian Wardana et al. (2020) menyatakan bahwa terdapat hubungan

anatara dukungan keluarga dengan tingkat kekambuhan pasien dengan risiko

perilaku kekerasan. Keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam

perawatan pasien selama di rumah, Namun penulis tidak menegakkan

diagnosa keperawatan terkait keluarga karena pada saaat pengkajian penulis

tidak bertemu dengan keluarga. Data yang didapat terkait hubungan dalam

keluarga didapatkan dari wawancara dengan pasien dan studi dokumentasi

pada rekam medis pasien. Selain itu pelaksanaan intervensi yang melibatkan

keluarga akan sulit dilakukan karena selama sembilan hari dirawat pasien

belum pernah dikunjungi oleh anggota keluarganya.

C. Perencanaan Keperawatan

Perencanaan atau intervensi keperawatan adalah segala bentuk

treatment yang dikerjakan perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan

penilaian klinis untuk mencapai outcome atau luaran yang diharapkan (SIKI,

2018). Intervensi keperawatan pada pasien ini difokuskan pada masalah

keperawatan utama yaitu risiko perilaku kekerasan. Namun bersamaan

dengan itu penulis juga melakukan intervensi terhadap diagnosa keperawatan

lainnya yaitu gangguan persepsi sensori dan ketidakpatuhan.

Poltekkes Kemenkes Yogyakarta


66

Intervensi dari risiko perilaku kekerasan memiliki luaran utama (kontrol

diri) dan luaran tambahan (harga diri, orientasi kognitif, status orientasi)

(SLKI, 2018). Sesuai dengan kondisi pasien yang masih menunjukkan

perilaku yang berisiko munculnya perilaku kekerasan maka penulis

menetapkan luarannya adalah kontrol diri meningkat. Selain itu status

orientasi pasien juga masih baik.

Berdasarkan SIKI (2018), intervensi yang dilakukan penulis untuk

risiko perilaku kekerasan adalah intervensi utama yaitu pencegahan perilaku

kekerasan. Hal ini disesuaikan dengan kondisi ataupun tanda dan gejala yang

ditemukan pada pasien saat pengkajian. Sedangkan untuk intervensi

pendukung tidak dilakukan karena mengingat waktu yang terbatas dalam

pelaksanaan intervensi keperawatan. Intervensi dalam pencegahan perilaku

kekerasan meliputi monitor adanya benda yang berpotensi membahayakan

(mis.benda tajam, tali), monitor keamanan barang yang dibawa oleh

pengunjung, monitor selama penggunaan barang yang dapat membahayakan

(mis,pisau cukur), pertahankan lingkungan bebas dari bahaya secara rutin,

libatkan keluarga dalam perawatan, anjurkan pengunjung dan keluarga untuk

mendukung keselamatan pasien, latih cara mengungkapkan perasaan secara

asertif, dan latih mengurangi kemarahan secara verbal dan non verbal (mis.

relaksasi, bercerita, terapi musik) (SIKI, 2018).

Penulis memberikan intervensi kepada pasien sesuai dengan keadaan

dan tanda gejala yang ditemukan pada pasien sehingga tidak semua intervensi

utama pada pencegahan perilaku kekerasan diberikan kepada pasien. Adapun

Poltekkes Kemenkes Yogyakarta


67

intervensi yang tidak diberikan pada pasien adalah yang melibatkan

pengunjung dan keluarga. Hal ini disebabkan karena selama sembilan hari

dirawat pasien tidak pernah mendapat kunjungan dari anggota keluarganya

maupun orang lain di luar rumah sakit. Selain itu dalam kasus ini Ny.W

masih menunjukkan gejala yang mengarah pada risiko munculnya perilaku

kekerasan dimana keluarga menjadi pemicu konflik yang menyebabkan

pasien emosi.

Intervensi diagnosis risiko perilaku kekerasan berdasarkan Evidence

Based Nursing pada jurnal Ye et al., (2021) mengatakan bahwa menggunakan

intervensi berbasis musik tampaknya lebih manjur untuk mengurangi agresi

dan meningkatkan kontrol diri pada anak dan remaja. Hal inilah yang

mendorong penulis untuk menerapkan terapi musik sebagai salah satu

manajemen pengendalian marah, namun perlakuannya dilakukan pada pasien

usia dewasa yaitu 33 tahun. Selain itu didukung pula oleh hasil penelitian

Bensimon et al., (2018) yaitu musik relaksasi yang dipilih oleh pasien

memiliki efek positif pada keadaan emosi dan aktivitas perilaku mereka dan

oleh karena itu dapat berfungsi sebagai intervensi sensorik alternatif sebelum

pasien mencapai situasi kekerasan yang memerlukan pengekangan. Terapi ini

termasuk dalam intervensi latih mengurangi kemarahan secara verbal dan non

verbal (mis. relaksasi, bercerita) yang berfokus pada kegiatan relaksasi

dengan menggunakan musik (SIKI, 2018).

Intervensi yang dipilih untuk gangguan persepsi sensori berdasarkan

standar yang berlaku adalah manajemen halusinasi dimana kegiatannya

Poltekkes Kemenkes Yogyakarta


68

berfokus pada edukasi ke pasien tentang cara-cara mengontrol halusinasi

yang muncul. Sedangkan intervensi untuk ketidakpatuhan yang ditetapkan

adalah dukungan kepatuhan program pengobatan dimana pasien diberikan

pemahaman tentang pentingnya patuh minum obat.

D. Implementasi Keperawatan

Penulis melakukan tindakan keperawatan untuk risiko perilaku

kekerasan sesuai dengan intervensi yang telah disusun sebelumnya

berdasarkan standar keperawatan yang berlaku selama tiga hari dengan

penerapan terapi musik. Terapi musik ini diberikan sekali sehari setelah

pasien diberikan terapi generalis tentang cara-cara mengendalikan

marahnya. Terapi musik dilakukan selama 15 menit dimana pasien diminta

untuk mendengarkan musik klasik Mozart Classical Music For Relaxation

yang diputar melalui handphone dengan menggunakan earphone. Pasien

juga diminta mengatur pola pernafasan agar lebih rileks sehingga

diharapkan terjadi penurunan skor dalam asesmen risiko perilaku kekerasan

setelah dilakukan terapi musik.

Musik adalah salah satu terapi yang bersifat non verbal. Terapi dengan

bantuan musik pikiran pasien dibiarkan mengembara, baik untuk

mengenang hal-hal yang membahagiakan, membayangkan ketakutan-

ketakutan yang dirasakan, mengangankan hal-hal yang dicita-citakan, atau

langsung mencoba menguraikan permasalahan yang dihadapi (Djohan,

2015). Penerapan terapi musik dalam intervensi pencegahan perilaku

kekerasan ini didukung oleh penelitian dari Agnecia et al., (2021) yang

Poltekkes Kemenkes Yogyakarta


69

menunjukkan hasil terapi musik klasik memberi pengaruh terhadap pasien

risiko perilaku kekerasan dimana terjadi penurunan tanda dan gejala

perilaku kekerasan sebesar 58 %. Pelaksanaan terapi musik dalam penelitian

ini dilakukan sehari dua sesi yaitu pagi dan sore. Hal ini berarti juga terjadi

kesenjangan dalam proses pelaksanaan terapi musik pada pasien. Penulis

melakukan sekali sehari dengan pertimbangan bahwa pasien juga sudah

mendapatkan terapi modalitas yang lain di hari itu, misalnya terapi aktivitas

kelompok, terapi perilaku ataupun terapi generalis.

Penerapan terapi musik dalam intervensi pencegahan perilaku

kekerasan ini juga didukung oleh penelitian dari Vahurina dan Desi A.R

(2021). Penelitian tersebut menyatakan bahwa ada penurunan tanda dan

gejala resiko perilaku kekerasan setelah diberikan intervensi inovasi terapi

musik instrumental piano, dimana pada partisipan satu mengalami

penurunan tanda dan gejala dari angka tujuh turun menjadi empat dan pada

partisipan dua dari angka delapan menjadi tiga. Terapi dalam jurnal ini

dilakukan sebanyak tiga kali pertemuan dalam waktu 10 menit. Hal ini

berarti juga terjadi kesenjangan karena penulis melakukan terapi musik

sebanyak tiga kali pertemuan selama 15 menit dengan harapan pasien lebih

bisa berkonsentrasi dalam mendengarkan musik yang diputar. Selain itu

dalam penelitian tersebut juga dilakukan tehnik relaksasi nafas dalam dan

tehnik pukul bantal terlebih dahulu sebelum dilakukan terapi musik,

sedangkan penulis memberikan edukasi tentang manajemen marah secara

lebih lengkap meliputi cara fisik, patuh minum obat, cara verbal dan

Poltekkes Kemenkes Yogyakarta


70

spiritual agar pasien paham tentang berbagai macam cara mengontrol marah

yang bisa dipilih sesuai dengan kondisi yang dialaminya.

Pelaksanaan terapi musik dalam asuhan keperawatan ini juga

mempunyai kesenjangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Gassner et

al., (2021). Penelitian tersebut menyatakan bahwa durasi intervensi dalam

terapi musik adalah mingguan hingga enam sesi per minggu (40-120 menit)

selama satu sampai enam bulan. Sementara terapi musik dalam asuhan

keperawatan ini hanya dilakukan satu sesi sehari selama tiga hari dengan

waktu 15 menit. Hal ini dikarenakan keterbatasan waktu dalam pemberian

asuhan keperawatan.

Tahap implementasi untuk gangguan persepsi sensori dilakukan sesuai

dengan intervensi berdasarkan SIKI (2018) yaitu manajemen halusinasi. Di

sini pasien diberikan terapi generalis tentang cara-cara mengontrol

halusinasi yang muncul. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan

oleh Livana PH, dkk (2020) yang menyatakan bahwa ada peningkatan

kemampuan pasien halusinasi sebesar 64% sebelum dan sesudah diberikan

terapi generalis dengan cara melatih ingatan dan kemampuan pasien untuk

mengontrol halusinasinya.

Tahap implementasi untuk ketidakpatuhan dilakukan sesuai dengan

intervensi berdasarkan SIKI (2018) yaitu dukungan kepatuhan program

pengobatan. Di sini pasien diberikan edukasi tentang pentingnya kepatuhan

minum obat secara mandiri untuk mencegah kekambuhan baik selama

perawatan maupun setelah pulang ke rumah. Hal ini didukung oleh Nengsih

Poltekkes Kemenkes Yogyakarta


71

(2018) yang menyatakan bahwa ada pengaruh terapi Modeling Partisipan

terhadap kepatuhan minum obat pasien skizofrenia.

E. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi adalah merupakan tahap akhir dari proses keperawatan.

Evaluasi ini dilakukan untuk menilai sejauh mana implementasi yang telah

dilaksanakan sesuai dengan kriteria hasil yang diharapkan atau tidak. Hal ini

dilakukan dengan cara membandingkan respon pasien sebelum dan sesudah

mendapatkan tindakan keperawatan.

Evaluasi yang didapat dari pasien Ny. W dengan diagnosa keperawatan

risiko perilaku kekerasan, setelah diberikan tindakan keperawatan selama tiga

hari sesuai dengan intervensi yang telah disusun dan ditambah dengan terapi

musik menunjukkan capaian kriteria hasil sesuai untuk masalah risiko

perilaku kekerasan teratasi sebagian. Pasien menunjukkan perkembangan

perilaku dalam kemampuan mengendalikan marah karena didapatkan data

subyektif pasien mengatakan sudah tenang dan jika pulang tidak ingin

berbuat masalah dengan keluarganya dan data obyektif pasien tampak tenang,

ekspresi wajah cerah, pasien mampu mengikuti kegiatan dengan baik, pasien

mampu mendengarkan musik dengan konsentrasi serta asesmen risiko

perilaku kekerasan skornya dua (risiko ringan). Hal ini berarti pasien sudah

cukup kooperatif dan mampu untuk memahami setiap perlakuan yang

diberikan sehingga mampu mengontrol emosi atau marahnya. Namun

intervensi masih tetap dilanjutkan dalam mempertahankan lingkungan bebas

dari bahaya secara rutin.

Poltekkes Kemenkes Yogyakarta


72

Evaluasi keperawatan pada pasien Ny. W dengan diagnosa keperawatan

gangguan persepsi sensori, setelah diberikan tindakan keperawatan selama

tiga hari sesuai dengan intervensi yang telah disusun maka didapatkan

capaian kriteria hasil yang sesuai yaitu teratasi sebagian. Pasien menunjukkan

perkembangan dalam kemampuaan manajemen halusinasinya yang

dibuktikan dengan adanya data subyektif pasien mengatakan halusinasi sudah

berkurang, pasien mengatakan mengikuti kegiatan rehabilitasi mental di

bagian boga. Untuk data obyektif mencakup pasien kooperatif, pasien mau

duduk bersama temannya di ruang makan, pasien mau minum obat

Risperidone 2 mg 1 tablet, Trihexyphenidyl 2 mg ½ tablet dan Clozapine 25

mg ½ tablet. Hal ini berarti pasien cukup kooperatif selama dilakukan

tindakan keperawatan dan cukup mengerti dengan pendidikan kesehatan yang

diberikan dalam rangka mengontrol halusinasinya. Namun intervensi masih

tetap dilanjutkan dalam mempertahankan lingkungan yang aman dan

mengelola pemberian obat antipsikotik.

Evaluasi yang didapat dari pasien Ny. W dengan diagnosa keperawatan

ketidakpatuhan, setelah diberikan tindakan keperawatan selama tiga hari

sesuai dengan intervensi yang telah disusun maka didapatkan capaian kriteria

hasil yang sesuai yaitu teratasi sebagian. Pasien menunjukkan perkembangan

dalam kepatuhan mengikuti program pengobatan yang ditunjukkan melalui

data subyektif pasien mengatakan akan rajin kontrol dan minum obat teratur

jika sudah pulang biar tidak kambuh lagi dan data obyektif meliputi pasien

nampak tenang, pasien mengerti penjelasan perawat, obat oral Risperidone 2

Poltekkes Kemenkes Yogyakarta


73

mg 1 tablet masuk pukul 18.00 WIB, obat oral Trihexyphenidyl 2 mg ½ tablet

masuk pada pukul 18.00 WIB, obat oral Clozapine 25 mg ½ tablet masuk

pukul 18.00 WIB. Perkembangan ini dicapai pasien dengan baik karena

pasien sudah tenang dan cukup kooperatif selama diberikan tindakan

keperawatan untuk mengatasi masalah ketidakpatuhan. Namun intervensi

tetap dilanjutkan dengan evaluasi komitmen dalam menjalani program

pengobatan dengan baik.

Dari ketiga diagnosis keperawatan yang ditegakkan semuanya

menunjukkan kalau masalah belum teratasi seluruhnya karena keterbatasan

waktu dan kesempatan penulis dalam melakukan asuhan keperawatan. Selain

itu, riwayat gangguan jiwa yang sudah lebih dari 10 tahun dengan pengobatan

yang belum pernah sembuh menunjukkan keseriusan masalah keperawatan

yang sulit untuk teratasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Inayati

(2015) disebutkan bahwa rata-rata lama rawat pada pasien dengan masalah

keperawatan risiko perilaku kekerasan adalah selama 23 hari. Sedangkan

dalam proses asuhan keperawatan ini penulis hanya melakukan selama tiga

hari saja.

Poltekkes Kemenkes Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai