Bab V RPK Kating
Bab V RPK Kating
implementasi dan evaluasi keperawatan yang berfokus pada masalah utama risiko
A. Pengkajian Keperawatan
data diperoleh dari beberapa sumber yaitu pasien, perawat dan rekam medis.
bersifat agresif dan memiliki tingkat emosional yang lebih tinggi daripada
wanita. Laki-laki cenderung tertutup ataupun malu untuk bercerita dan sering
waktu tertentu. Selain itu laki-laki terutama yang sudah dewasa memiliki
juga bisa mengalami gangguan jiwa. Tentu saja hal ini bisa dipengaruhi oleh
keperawatan ini dilakukan di wisma rawat inap putri sehingga yang ada hanya
rumah dengan suaminya sejak 10 bulan sebelum masuk rumah sakit. Menurut
NANDA (2016) dalam Sutejo (2022) menyatakan bahwa salah satu faktor
masalah yang terjadi dalam perkawinan dapat menjadi sumber stress bagi
merupakan usia dewasa dan produktif. Pada usia ini dituntut untuk pencapaian
hubungan kerja, dan hubungan yang intim dengan orang lain. Jika seseorang
terbanyak berada pada rentang usia 26-35 tahun yaitu 52,6 %. Sukmawati
dalam tahapan ini sehingga memiliki kecenderungan berbuat apa saja sesuka
hatinya termasuk menginginkan anak keduanya mati dan selalu merasa ingin
marah jika ada konflik. Tentu saja kegagalan ini terjadi karena beberapa
stressor yang dihadapinya seperti pernah bekerja sebagai SPG namun sekarang
pendidikan seseorang maka akan semakin baik mekanisme koping dari orang
tersebut dalam menyikapi suatu hal yang terjadi dalam kehidupannya. Ny. W
berinteraksi dan mengelola stressor atau masalah baik dari diri sendiri dan
ini sejalan dengan penelitian Livana dan Suerni (2019) yang menunjukkan
61 %.
kalau tidur, pasien tidak menghendaki anak dari kehamilannya yang kedua dan
dengan penyimpangan pada agitasi motorik yaitu berjalan dengan cepat, tidak
verbal dijumpai adanya berbicara mengancam dengan obyek yang nyata atau
tidak nyata, meminta perhatian yang mengganggu, berbicara keras dan dengan
atau berlebihan dan afek yang tidak stabil. Pada tingkat kesadaran dijumpai
yang dilakukan oleh Suerni dan Livana (2019) dimana hasil penelitian
perubahan isi pikir dan menyalahkan orang lain, respons afektif berupa
perasaan tidak nyaman, respons fisiolofis berupa pandangan tajam dan tangan
mengancam.
agresif pasien sudah tidak terjadi, namun pasien masih menunjukkan beberapa
tanda dan gejala yang berisiko perilaku kekerasan, antara lain nada bicara
ekspresi muka tampak tegang, afek masih labil dan asesmen risiko perilaku
kekerasan ada pada skor enam (risiko sedang). Hal ini mungkin disebabkan
agresinya. Selain itu pasien juga jauh dari keluarga yang merupakan faktor
W adalah pasien memiliki riwayat gangguan jiwa sudah lebih dari 10 tahun,
pernah dirawat karena mengamuk, riwayat minum obat tidak pernah teratur
dan putus obat. Pasien mengatakan neneknya yang dari ibu pernah mengalami
lalu yang tidak menyenangkan seperti tertipu dan pisah rumah dengan suami.
Pasien merasa anggota keluarga yang lain tidak bisa mengerti apa yang pasien
beban hidupnya.
beberapa teori yang ada. Berdasarkan teori dari Yosep (2011), salah satu faktor
atau cucu kejadiannya 2-4 %, dalam hal ini diturunkan oleh nenek pasien dari
garis ibu. Berdasarkan Stuart (2013) dalam Sutejo (2022), teori agresif frustasi
sesuatu gagal atau terhambat. Pasien merasa anggota keluarga yang lain tidak
bisa mengerti apa yang pasien inginkan. Selain itu dari faktor internal pasien
merasa kehilangan rasa cinta terhadap anak keduanya dan kehilangan relasi
atau hubungan dengan orang yang dicintai karena pisah rumah dengan
suaminya.
penelitian yang dilakukan Livana dan Suerni (2019) dimana hasil penelitian
saat marah. Selain itu Ny. W mempunyai riwayat pengobatan tidak teratur
bahkan sampai putus obat karena pasien merasa tidak sakit sehingga tidak
Tinjuan teori dalam SDKI (2017) menyebutkan tanda dan gejala mayor
suara keras dan bicara ketus. Obyektif yaitu menyerang orang lain, melukai
dan gejala minor meliputi obyektif yaitu mata melotot atau pandangan tajam,
tangan mengepal, rahang mengatup, wajah memerah, dan postur tubuh kaku.
Tanda dan gejala perilaku kekerasan menurut hasil penelitian yang dilakukan
oleh Amimi et al., (2020) menguraikan bahwa tanda dan gejala pasien risiko
kasar, suara tinggi, menjerit atau berteriak. Pada saat pengkajian, masih
didapatkan tanda dan gejala yang berisiko perilaku kekerasan yaitu nada
terkadang ekspresi muka tampak tegang, afek masih labil dan asesmen risiko
perilaku kekerasan skor enam (risiko sedang). Sementara untuk tanda dan
gejala lainnya sudah tidak muncul. Hal ini mungkin disebabkan karena pasien
sudah mendapatkan terapi psikofarmaka secara rutin selama sembilan hari dan
mampu mengontrol perilaku agresinya. Selain itu pasien juga jauh dari
dilakukan pasien.
B. Diagnosa Keperawatan
memberi tahu tentang sesuatu dan melihat bayangan binatang yang aneh-aneh
terkadang pasien tampak bicara sendiri dengan lirih, pasien banyak tiduran di
kamar, afek masih labil (D.0085). Diagnosa keperawatan yang ketiga adalah
dibuktikan dengan pasien memiliki riwayat gangguan jiwa sudah lebih dari
10 tahun, pasien selama dirawat tidak pernah sembuh dan riwayat minum
obat tidak pernah teratur, pasien putus obat sejak 10 bulan yang lalu karena
pasien merasa tidak sakit sehingga tidak perlu minum obat terus menerus,
mencederai diri sendiri orang lain dan lingkungan, perubahan persepsi sensori
: halusinasi, gangguan harga diri : harga diri rendah dan koping individu tidak
kesenjangan dengan teori yang dikemukakan oleh Azizah et al., (2016) yang
mencederai diri sebagai affect dan gangguan harga diri : harga diri rendah
sebagai cause.
pada pasien masih ditemukan tanda dan gejala yang berisiko memicu perilaku
kekerasan yaitu nada bicara pasien agak meninggi saat diajak berbicara
tentang keluarganya, terkadang ekspresi muka tampak tegang dan afek masih
labil. Pasien juga menunjukkan skor enam (risiko sedang) pada saat asesmen
risiko perilaku kekerasan. Jika tanda dan gejala yang masih muncul ini tidak
karena pada pasien tidak dijumpai adanya tanda dan gejala yang mengarah
pada masalah tersebut. Akan tetapi penulis menemukan tanda dan gejala yang
ditambahkan dalam cause karena ada riwayat putus obat dan jika pasien tidak
mendapat penanganan yang tepat terkait masalah ini maka perilaku kekerasan
dapat terjadi.
perilaku kekerasan adalah koping keluarga yang tidak efektif. Pengkajian dari
mengancam ayah dan kakaknya, pasien merasa keluarga tidak bisa mengerti
riwayat sakit jiwa sudah 10 tahun dan riwayat putus obat selama 10 bulan.
Hal ini menunjukkan bahwa ada penurunan dukungan dari keluarga terhadap
tidak bertemu dengan keluarga. Data yang didapat terkait hubungan dalam
pada rekam medis pasien. Selain itu pelaksanaan intervensi yang melibatkan
keluarga akan sulit dilakukan karena selama sembilan hari dirawat pasien
C. Perencanaan Keperawatan
penilaian klinis untuk mencapai outcome atau luaran yang diharapkan (SIKI,
diri) dan luaran tambahan (harga diri, orientasi kognitif, status orientasi)
kekerasan. Hal ini disesuaikan dengan kondisi ataupun tanda dan gejala yang
asertif, dan latih mengurangi kemarahan secara verbal dan non verbal (mis.
dan tanda gejala yang ditemukan pada pasien sehingga tidak semua intervensi
pengunjung dan keluarga. Hal ini disebabkan karena selama sembilan hari
maupun orang lain di luar rumah sakit. Selain itu dalam kasus ini Ny.W
pasien emosi.
dan meningkatkan kontrol diri pada anak dan remaja. Hal inilah yang
usia dewasa yaitu 33 tahun. Selain itu didukung pula oleh hasil penelitian
Bensimon et al., (2018) yaitu musik relaksasi yang dipilih oleh pasien
memiliki efek positif pada keadaan emosi dan aktivitas perilaku mereka dan
oleh karena itu dapat berfungsi sebagai intervensi sensorik alternatif sebelum
termasuk dalam intervensi latih mengurangi kemarahan secara verbal dan non
D. Implementasi Keperawatan
penerapan terapi musik. Terapi musik ini diberikan sekali sehari setelah
Musik adalah salah satu terapi yang bersifat non verbal. Terapi dengan
kekerasan ini didukung oleh penelitian dari Agnecia et al., (2021) yang
ini dilakukan sehari dua sesi yaitu pagi dan sore. Hal ini berarti juga terjadi
mendapatkan terapi modalitas yang lain di hari itu, misalnya terapi aktivitas
kekerasan ini juga didukung oleh penelitian dari Vahurina dan Desi A.R
penurunan tanda dan gejala dari angka tujuh turun menjadi empat dan pada
partisipan dua dari angka delapan menjadi tiga. Terapi dalam jurnal ini
dilakukan sebanyak tiga kali pertemuan dalam waktu 10 menit. Hal ini
sebanyak tiga kali pertemuan selama 15 menit dengan harapan pasien lebih
dalam penelitian tersebut juga dilakukan tehnik relaksasi nafas dalam dan
lebih lengkap meliputi cara fisik, patuh minum obat, cara verbal dan
spiritual agar pasien paham tentang berbagai macam cara mengontrol marah
terapi musik adalah mingguan hingga enam sesi per minggu (40-120 menit)
selama satu sampai enam bulan. Sementara terapi musik dalam asuhan
keperawatan ini hanya dilakukan satu sesi sehari selama tiga hari dengan
asuhan keperawatan.
halusinasi yang muncul. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan
oleh Livana PH, dkk (2020) yang menyatakan bahwa ada peningkatan
terapi generalis dengan cara melatih ingatan dan kemampuan pasien untuk
mengontrol halusinasinya.
perawatan maupun setelah pulang ke rumah. Hal ini didukung oleh Nengsih
E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi ini dilakukan untuk menilai sejauh mana implementasi yang telah
dilaksanakan sesuai dengan kriteria hasil yang diharapkan atau tidak. Hal ini
hari sesuai dengan intervensi yang telah disusun dan ditambah dengan terapi
subyektif pasien mengatakan sudah tenang dan jika pulang tidak ingin
berbuat masalah dengan keluarganya dan data obyektif pasien tampak tenang,
ekspresi wajah cerah, pasien mampu mengikuti kegiatan dengan baik, pasien
perilaku kekerasan skornya dua (risiko ringan). Hal ini berarti pasien sudah
tiga hari sesuai dengan intervensi yang telah disusun maka didapatkan
capaian kriteria hasil yang sesuai yaitu teratasi sebagian. Pasien menunjukkan
bagian boga. Untuk data obyektif mencakup pasien kooperatif, pasien mau
sesuai dengan intervensi yang telah disusun maka didapatkan capaian kriteria
data subyektif pasien mengatakan akan rajin kontrol dan minum obat teratur
jika sudah pulang biar tidak kambuh lagi dan data obyektif meliputi pasien
masuk pada pukul 18.00 WIB, obat oral Clozapine 25 mg ½ tablet masuk
pukul 18.00 WIB. Perkembangan ini dicapai pasien dengan baik karena
itu, riwayat gangguan jiwa yang sudah lebih dari 10 tahun dengan pengobatan
yang sulit untuk teratasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Inayati
(2015) disebutkan bahwa rata-rata lama rawat pada pasien dengan masalah
dalam proses asuhan keperawatan ini penulis hanya melakukan selama tiga
hari saja.