Anda di halaman 1dari 4

MUHAMMAD RHAFI’I HAMDANI

20311428

Etika Penetapan dan Kenaikan Harga


Penetapan harga

Ta’sir adalah penentapan harga oleh pemerintah. Pemerintah menitervensi harga di pasar
sehingga tidak mengikuti harga pasar. Dalam ekonomi, seharusnya harga pasar mengikuti
interaksi supply dan demand. Jika supply dan demand bertemu maka terciptalah harga
equilibrium. Itulah yang disebut dengan harga pasarm yaitu harga yang mengikuti interaksi
supply dan demand. Murah atau mahalnya harga tergantung interaksi antara supply dan
demand. Namun dalam konteks pembahasan ini, harga di pasar tidak mengikuti nteraksi
supply dan demand, melainkan harga telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan kata lain,
ta’sir terjadi ketika pemerintah atau perwakilan pemerintah memerintah pernjual untuk
menjual produknya dengan harga tertentu, dan dilarang untuk menaikkan dan
menurunkannya.

Berkaitan dengan hal ini, terdapat dua pendapat yang berbeda dari para ulama yang berdalil
dengan satu dalil yang sama, yaitu QS. An Nisa: 29

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-
suka di antara kamu.”

Para ulama yang berpendapat tidak boleh melakukan ta’sir berasalan bahwa dengan adanya
ta’sir maka akan membuat seseorang memakan harta orang lain dengan cara yang batil.

Contohnya adalah harga bawang saat ini Rp 5.000, kemudian hari esoknya terjadi kelangkaan
supply yang mengakibatkan demand naik dan harga juga naik. Kemudian pemerintah
menetapkan harga tertentu untuk bawang agar tidak dijual kurang atau lebih dari harga
tersebut. Menurut ulama yang tidak membolehkan praktik ta’sir, perbuatan ini dianggap
dzalim. Karena pemerintah telah mengambil harta penjual dengan cara yang batil. Sebab
seharusnya jika tidak ada praktik ta’sir, penjual memiliki hak untuk menaikkan harga.
Begitupula sebaliknya ketika harga sedang murah, dan pemerintah menetapka harga tertentu.
Maka dalam hal ini pemerintah mendzolimi pembeli karena pembeli bisa saja membeli
dengan harga yang lebih murah dari yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Para ulama yang
mengharamkan ta’sir juga berargumen dengan dalil hadist berikut yang maknanya
digeneralisasikan dalam semua aspek atau berlaku umum.

“Wahai Rasulullah tentukanlah harga untuk kami!” Beliau menjawab, “Allah ta’ala itu
sesunguhnya adalah penentu harga, penahan, serta pemberi rizki. Aku mengharapkan dapat
menemui Tuhanku dimana salah seorang dari kalian tidak menuntutku karena kedzoliman
dalam hal darah dan harta”. Diriwayatkan oleh enam imam hadits yang utama kecuali An-
Nasa’i. (Hadits Hasan Shahih)

Para ulama yang membolehkan, beralasan bahwa dalam konteks muamalah, hukum akan
menjadi lebih fleksibel dari pada konteks ibadah. Agama Islam adalah agama yang
mempermudah. Dalam kaidah juga disebutkan bahwa hukum asal muamalah adalah halal
atau dibolehkan sampai ada dalil yang melarangnya. Membuat kebijakan seperti ta’sir
termasuk dalam praktik muamalah karena hablumminannas (interaksi antar manusia).
Disamping itu, jika praktik ta’sir dilarang, bisa jadi nanti ada oknum oportunis yang
menimbun barang kemudian melakukan monopoli pasar. Jika pemerintah tidak melakukan
ta’sir maka ini akan menguntungkan para penimbun. Sehingga dibolehkannya ta’sir yaitu
untuk mewujudkan salah satu maqashid syariah yakni melindungi harta. Para ulama
berpendapat bahwa ta’sir tidak melanggar satupun syariat Islam dan bahkan pada masa yang
semakin kompleks seperti sekarang, campu tangan pemerintah dirasa sangat penting. Karena
bisa jadi ada oknum-oknum yang memonopoli pasar tadi seperti harga Gojek yang pada
awal-awal dulu terlampau murah, dan Shopee yang didominasi pedagang China. Para ulama
yang membolehkan mengatakan bahwa ta’sir bisa menjadi haram kalau memang kebijakan
pemerintah tersebut bisa mendzolimi rakyat. Namun jika tujuannya untuk melakukan fungsi
controlling, maka tidak mengapa. Para ulama dengan pendapat membolehkan ta’sir
memberikan syarat kapan ta’sir diperbolehkan, yakni ketika dalam keadaan sebagai berikut

Yang pertama ketika rakyat butuh barang. Yaitu saat barang tersebut berupa barang
kebutuhan dan para penjual mencari celah untuk mendapat keuntungan yang berlebih
(penjual nakal). Yang kedua ketika adanya ihtikar atau penimbunan. Jika terjadi seperti ini
maka pemerintah harus melakukan ta’sir yang merugikan si penimbun. Sedangkan hadist
tentang Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam yang menolak melakukan ta’sir di atas terjadi
ketika harga naik saat barang memang sedang langka, bukan karena adanya penimbunanan.
Dan bisa jadi berbeda jika barang saat itu mahal karena ditimbun, bukan karena memang
sedang langka. Ketiga ketika adanya monopoli. Keempat ketika adanya oligopoli, atau
kartel, yaitu kongkalikong antara penjual untuk menaikkan harga.

Kenaikan Harga

Apakah boleh penjual menaikkan harga atau menjual barang di atas harga pasar? Untuk
menjawab pertanyaan ini, kita perlu kembali pada kaidah asal muamalah yaitu semua
dibolehkan sampai ada dalil yang melarangnya. Maka jawabannya adalah boleh pada
umumnya,

kecuali ada kondisi tertentu yang mengakibatkan hal itu menjadi haram, antara lain:

1. Ketika adanya riba.

2. Ketika adanya ghoror.

3. Ba’i Najasy. Secara bahasa, ba’i adalah jual beli, dan najasy adalah upaya pemburu merayu hewan
agar hewan tersebut keluar dari persembunyiannya lalu ditembak. Secara istilah yaitu praktik jual beli
dengan pura-pura (tidak berniat membeli) menawarkan harga yang mahal supaya orang lain
terpengaruh untuk menaikkan penawarannya juga. Biasanya orang yang pura-pura tersebut adalah
teman dari penjual. Terdapat 4 jenis ba’i najasy yaitu berpura -pura menawar dengan harga tinggi,
berpura-pura memuji barang yang dijual padahal kualitas nya tidak seperti kenyataan, berpura-pura
barang tersebut sedang dicari banyak orang padahal sebenarnya tidak, dan ketika beriklan tidak sesuai
faktanya.

4. Ba’i Talaqqi Rukban yaitu memborong barang dagangan orang-orang desa sebelum mereka sampai
ke kota. Kemudian di jual di kota dengan harga yang mahal. Ini dapat merugikan penjual desa karena
harga barang mereka jadi murah tanpa mengetahui harga sebenarnya di pasar.

5. Hadir li baad (Jual Beli Calo). Mirip dengan ba’i talaqqi rukban. Bedanya, pada ba’i talaqqi rukban
para penjual desa belum sampai kota. Sedangkan hadir li baad, para penjualnya sudah sampai kota.
Kemudian didatangi para calo dimana kehadiran para calo ini tidak dinginkan oleh pedagang aslinya.
Dan terkadang keuntungan calo ini jauh lebih besar dari penjual aslinya. Berbeda hal ketika kehadiran
calo atau perantara ini dinginkan oleh penjual aslinya atau resmi dari perusahaan maka ini dibolehkan.

6. Ghabn yaitu menipu, memperdaya, atau mengurangi dari sisi kualitas. Dalam istilah fiqih
disebutkan makna ghabn adalah menjual atau membeli sesuatu dengan harga lebih atau kurang dari
yang sebanding.
Pembahasan yang terakhir yaitu mengenai paksaan. Pemaksaan dalam hal ini berarti setiap usaha
untuk memaksa calon konsumen untuk membeli produk, baik secara fisik maupun psikis. Allah ta’ala
berfirman dalam QS. Al An’am: 116-117

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan
menyesatkanmu dari jalan Allâh. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persanggkaan belaka, dan
mereka tidak lain hanyalah mengira-ngira saja. Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah yang lebih
mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang
orang yang mendapat petunjuk.”

Paksaan

Pemaksaan dalam hal ini berarti setiap usaha untuk memaksa calon konsumen untuk membeli
produk, baik secara fisik maupun psikis, sebagaimana telah disinggung dalam pembahasan
sebelumnya yang berkaitan dengan asuransi. Terdapat 3 dosa dalam asuransi

1. Dosa riba fadl, yaitu menukarkan rupiah dengan rupiah namun dengan nilai yang
berbeda, karena kita mendapat klaim lebih besar dari premi yang kita bayarkan.
2. Ghoror Fahisy (berat), yaitu asuransi tidak dapat diukur. Bayar premi 100.000 untuk
membeli apa?
3. Paksaan, yaitu menakut-nakuti dengan masa depan, seakan-akan kita akan mati dalam
kecelakaan atau sakit parah. Ini menunjukkan lemahnya hati kita. Sebagai seorang
mukmin harusnya kita bertawakal kepada Allah ta’ala tentang masa depan.

Allah ta’ala berfirman dalam QS. Al An’am: 116-117

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka
akan menyesatkanmu dari jalan Allâh. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persanggkaan
belaka, dan mereka tidak lain hanyalah mengira-ngira saja. Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah
yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui
tentang orang orang yang mendapat petunjuk.”

Anda mungkin juga menyukai