Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM LAPANGAN

EKOSISTEM LAHAN BASAH


DI PULAU PAYUNG, SUNGSANG,
KABUPATEN BANYUASIN, SUMATERA SELATAN

OLEH :

KELOMPOK I : 1. NADYA RAHMANIA 20012681620002


2. ARIA YANKA PAULA P 20012681620003
3. RAUDHATUS SA’ADAH 20012681620004
4. AHMAD PANANDI 20012681620007

PROGRAM STUDI PENGELOLAAN LINGKUNGAN


PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2016

i
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun Laporan
Akhir Praktikum Ekologi Lahan Basah di Pulau Payung, Sungsang dalam mata kuliah
Ekologi Lahan Basah. Dalam penyusunan laporan ini, penulis banyak mendapat
tantangan dan hambatan akan tetapi hambatan dan tantangan tersebut menjadi motivasi
penulis untuk menyelesaikan laporan. Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh
dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik yang
membangun dari pembaca sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan laporan-
laporan selanjutnya. Akhir kata semoga laporan praktikum ini dapat memberikan
manfaat kepada kita sekalian.

Palembang, 05 Desember 2016


Hormat Kami,

Penulis.

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................ ii


DAFTAR ISI .......................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................. v
DAFTAR TABEL .................................................................................. vi
I. PENDAHULUAN ........................................................................... 1
1.1. LATAR BELAKANG .................................................................... 1
1.2. RUMUSAN MASALAH ............................................................... 2
1.3. TUJUAN ........................................................................................ 2
1.4. MANFAAT .................................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 3
2.1. EKOSISTEM MANGROVE........................................................... 3
2.2. FAKTOR PEMBATAS ................................................................... 5
2.3. ZONASI MANGROVE .................................................................. 6
2.4. DESKRIPSI MANGROVE YANG DIDAPAT .............................. 8
III. METODE PRAKTEK LAPANGAN .............................................. 16
3.1. WAKTU DAN TEMPAT................................................................ 16
3.2. ALAT DAN BAHAN...................................................................... 16
3.3. PROSEDUR PRAKTEK LAPANGAN .......................................... 16
3.4. ANALISIS DATA PERHITUNGAN VEGETASI ......................... 19
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 24
4.1. KONDISI UMUM WILAYAH PULAU PAYUNG,
SUNGSANG .................................................................................... 24
4.2. PARAMETER LINGKUNGAN ..................................................... 25
4.3. KERAPATAN JENIS TINGKAT POHON .................................... 26
4.4. KERAPATAN JENIS TINGKAT ANAKAN ................................ 28
4.5. KERAPATAN JENIS TINGKAT SEMAI ..................................... 29
4.6. INDEKS KEANEKARAGAMAN DAN DOMINANSI ................ 29

iii
V. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 31
5.1. KESIMPULAN ............................................................................... 31
5.2. SARAN............................................................................................ 31
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 32
LAMPIRAN ........................................................................................... 34

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Pola Zonasi Mangrove ....................................................... 7

Gambar 2.2. a. daun dan b pohon mangrove


spesies Bruguiera gymnorrhiza ........................................... 9

Gambar 2.3. a. daun dan b. bunga mangrove


spesies Avicennia marina L .................................................. 10

Gambar 2.4. Daun mangrove spesies Avicennia officinalis L ................ 12

Gambar 2.5. a. daun dan b. pohon mangrove


spesies Avicennia alba L ..................................................... 13

Gambar 2.6. a. daun dan b. pohon mangrove


spesies Aegiras floridum R .................................................. 15

Gambar 3.1. Desain Jalur untuk Inventarisasi Mangrove ...................... 18

Gambar 3.2. Prosedur Pengukuran Lingkaran Pohon ............................ 19

Gambar 4.1. Peta Pulau Payung, Sungsang, Sumatera Selatan .............. 24

Gambar 4.2. Kerapatan Jenis Tingkat Pohon ......................................... 26

Gambar 4.3. Kerapatan Jenis Tingkat Anakan ....................................... 28

Gambar 4.4. Indeks Keanekaragaman Dan Dominansi .......................... 29

v
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Alat Dan Bahan Yang Digunakan Di Lapangan ................... 16

Tabel 3.2. Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan


Kerusakan Mangrove .............................................................. 23

Tabel 4.1. Kualitas Lingkungan Tumbuhan Mangrove


Di Pulau Payung ..................................................................... 25

vi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Luas mangrove di dunia diperkirakan beragam. Di Indonesia perkiraan luas


mangrove juga beragam. Menurut Giesen (1993 dalam Noor et al, 2006), luas
mangrove di Indonesia 2,5 juta hektar. Pada umumnya mangrove dapat ditemukan di
seluruh kepulauan Indonesia. Mangrove terluas terdapat di Irian Jaya sekitar 1.350.600
ha (38%), Kalimantan 978.200 ha (28%) dan Sumatera 673.300 ha (19%) (Dit. Bina
Program INTAG, 1996). Di daerah-daerah ini dan juga daerah lainnya, mangrove
tumbuh dan berkembang dengan baik pada pantai yang memiliki sungai yang besar dan
terlindung.
Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna
daerah pantai, hidup sekaligus di habitat daratan dan air laut, antara batas air pasang dan
surut. Ekosistem mangrove berperan dalam melindungi garis pantaidari erosi,
gelombang laut dan angin topan, serta berperan juga sebagai buffer(perisai alam) dan
menstabilkan tanah dengan menangkap dan memerangkapendapan material dari darat
yang terbawa air sungai dan yang kemudian terbawake tengah laut oleh arus. Ekosistem
mangrove selain melindungi pantai dari gelombang dan angin merupakan tempat yang
dipenuhi pula oleh kehidupan lainseperti mamalia, amfibi, reptil, burung, kepiting, ikan,
primata, dan serangga.
Untuk menjaga kestabilan ekosistem mangrove yang ada, diperlukan usaha
pengelolaan dan pelestarian yang dilakukan sejak dini. Pulau Payung yang dijadikan
tempat penelitian ini merupakan sebuah pulau yang berada di tengah-tengah sungai
musi dan dekat dengan muara sungai. Vegetasi mangrove yang terdapat didalamnya
diperkirakan beragam dengan ukuran yang berbeda. Dilakukan upaya pengelolaan
dengan sistem zonasi yang kemudia dicari data mengenai jenis, struktur vegetasi
mangrove dan data ekologis lainnya di sekitar pesisir Pulau Payung, Sungsang.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dilakukan penelitian tentang analisis kerapatan
dan struktur komunitas mangrove pada daerah Pulau Payung, Sungsang, Kabupaten
Banyuasin.

1
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada praktek lapangan ini adalah bagaimana kerapatan dan
struktur komunitas mangrove pada daerah Pulau Payung, Sungsang, Kabupaten
Banyuasin.

1.3 Tujuan Praktikum Lapangan


Praktek lapangan ini dilakukan untuk mengetahui kerapatan dan struktur komunitas
mangrove pada daerah Pulau Payung, Sungsang, Kabupaten Banyuasin.

1.4 Manfaat Praktikum Lapangan


Manfaat praktek lapangan ini adalah memberikan sumber informasi mengenai
kerapatan dan struktur komunitas mangrove pada daerah Pulau Payung, Sungsang,
Kabupaten Banyuasin dan sebagai sumber ilmu pengetahuan bagi pembacanya.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Ekosistem Mangrove

Ekosistem Mangrove merupakan ekosistem utama penyusun ekosistem wilayah


pesisir. Hutan mangrove adalah formasi tumbuhan litural yang kerakteristik terdapat
didaerah tropika dan sub tropika , terhampar disepanjang pesisir (Manan, 1986).
Menurut Nybakken (1988), sebutan mangrove atau bakau ditujukan untuk semua
individu tumbuhan, sedangkan mangal ditujukan bagi seluruh komunitas atau asosiasi
yang didominasi oleh tumbuhan ini.Hutan mangrove sebagai suatu ekosistem dan
sumberdaya alam pemanfaatannya diarahkan untuk kesejahteraan manusia. Untuk
mewujudkan pemanfaatannya agar dapat berkelanjutan, maka hutan mangrove perlu
dijaga keberadaannya (Kusmana, 2005).
Ekosistem hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem yang memiliki
produktivitas tinggi dibandingkan ekosistem lain dengan dekomposisi bahan organik
yang tinggi, dan menjadikannya sebagai mata rantai ekologis yang sangat penting bagi
kehidupan mahluk hidup yang berada di perairan sekitarnya. materi organik
menjadikan hutan mangrove sebagai tempat sumber makanan dan tempat asuhan
berbagai biota seperti ikan, udang dan kepiting. Produksi ikan dan udang di perairan
laut sangat bergantung dengan produksi serasah yang dihasilkan oleh hutan mangrove.
Berbagai kelompok moluska ekonomis juga sering ditemukan berasosiasi dengan
tumbuhan penyusun hutan mangrove.
Selain ikan, udang, dan moluska, biota yang juga banyak ditemukan di perairan
pantai mangrove seperti cacing laut (polychaeta). Polychaeta secara ekologi
berperan penting sebagai makanan hewan dasar seperti ikan dan udang (Bruno et
al., 1998). Pada ekosistem terumbu karang, polychaeta turut menyumbang kalsium
karbonat (CaCO3), dan adanya spesies tertentu seperti Capitella capitata yang dapat
digunakan sebagai indikator pencemaran perairan (Bruno et al., 1998 dalam
Kapludin, 2011).
Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi
oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada

3
daerah pasang-surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini umumnya tumbuh
pada daerah intertidal dan supratidal yang cukup mendapat aliran air, dan terlindung
dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Ekosistem mangrove banyak
ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai yang
terlindung (Bengen, 2001).
Keberadaan ekosistem mangrove di Indonesia saat ini benar-benar telah pada
posisi yang sangat menghawatirkan, mengingat untuk pemenuhan keragaman kebutuhan
penduduk yang jumlahnya makin bertambah pesat ini telah pula merebak ke wilayah
mangrove. Kehidupan modern dan kemudahan aksesibilitas hasil produksi ekosistem
mangrove ke pasaran serta pemanfaatan yang berlebihan tanpa memperhatikan kaedah
kelestarian lingkungan telah mengakibatkan penurunan kuantitas maupun kualitasnya.
Padahal ekosistem mangrove merupakan mintakat peralihan antara daratan dan lautan
yang mempunyai perbedaan sifat lingkungan tajam, yang kelestariannya sangat rentan
terhadap perubahahan lingkungan (Tomlinson, 1986).
Santoso (2006), menyatakan bahwa ruang lingkup mangrove secara keseluruhan
meliputi ekosistem mangrove yang terdiri atas:
1. Satu atau lebih spesies pohon dan semak belukar yang hidupnya terbatas di
habitat mangrove (exclusive mangrove).
2. Spesies tumbuhan yang hidupnya di habitat mangrove, namun juga dapat hidup di
habitat non-mangrove (non-exclusive mangrove).
3. Biota yang berasosiasi dengan mangrove (biota darat dan laut, lumut kerak,
cendawan, ganggang, bakteri dan lain-lain) baik yang hidupnya menetap,
sementara, sekali-sekali, biasa ditemukan, kebetulan maupun khusus hidup di
habitat mangrove.
4. Proses-proses dalam mempertahankan ekosistem ini, baik yang berada di daerah
bervegetasi maupun di luarnya.
5. Daratan terbuka atau hamparan lumpur yang berada antara batas hutan sebenarnya
dengan laut.
6. Masyarakat yang hidupnya bertempat tinggal dan tergantung pada mangrove.

4
B. Faktor Pembatas

Hutan mangrove yang biasanya juga disebut hutan bakau mempunyai


kerakteristik yang khas, mengingat hidupnya berada di daerah ekotone yaitu perairan
dan daratan . Kerakteristik mangrove ini terutama mampu berada pada kondisi salin dan
tawar. Hutan mangrove terdapat di daerah pasang surut pantai berlumpur yang
terlindungi dari gerakan gelombang dan dimana ada pasokan air tawar dan partikel-
partikel sedimen yang halus melalui air permukaan. Dalam pertumbuhan mangrove
memerlukan suatu kondisi lingkungan tertentu. Kondisi lingkungan ini sangat
mempengaruhi komposisi dan distribusi serta bentuk pertumbuhan mangrove
(Kusmana, 1995).
Menurut Kusmana (1995) kondisi fisik yang jelas nampak di daerah mangrove
adalah gerakan air yang minim. Adanya gerakan air yang minim mengakibatkan
partikel-partikel sedimen yang halus sampai di daerah mangrove cenderung mengendap
dan mengumpul didasar berupa lumpur halus. Hasilnya berupa lapisan lumpur yang
menjadi dasar (substrat) hutan. Sirkulasi air dalam dasar (substrat) yang sangat minimal,
ditambah dengan banyaknya bahan organik dan bakteri penyebab kandungan oksigin
didalam dasar juga sangat minim, bahkan mungkin tidak terdapat oksigen sama sekali di
dalam substrat.
Gerakan yang minim dalam hutan mangrove bertambah lebih kecil lagi oleh
pohon-pohon mangrove. Hal ini dikarenakan terdapat jenis-jenis mangrove yang
mempunyai sistem perakaran yang khas berupa akar-akar penyangga yang memanjang
ke bawah dari batang pohon. Jumlah akar yang demikian banyak dan padat didalam
hutan mangrove sangat menghambat gerakan air. Kondisi ini mengakibatkan partikel-
partikel akan mengendap disekeliling akar mangrove. Sekali mengendap, sedimen
biasanya tidak dialirkan lagi oleh gerakan air dalam hutan mangrove. Dengan cara
inilah terjadi “tanah timbul“ di pinggir laut yang berbatasan dengan hutan mangrove,
Selanjutnya tanah timbul tersebut dikolonosasi oleh hutan mangrove. Jadi pada kondisi
alam tertentu, hutan mangrove dapat menciptakan tanah baru dipinggir laut (Kusmana,
1995).
Faktor berikutnya yang berpengaruh adalah sirkulasi air dalam hutan mangrove.
Pola sirkulasi air alamiah perlu diperhatikan dan sejauh mungkin dipertahankan. Aliran

5
air ini mengantarkan oksigin dan zat-at hara. Terputusnya suatu bagian dari hutan
mangrove dari sirkulasi air dapat berarti bahwa kolom air diatas substrat kekurangan
oksigen dan berkurangnya zat-zat hara dalam substrat, yang keduanya dapat
mengganggu pertumbuhan pohon mangrove (Kusmana, 1995).
Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah pasang surut air laut. Pada waktu air
pasang , melalui arus pasang masuklah air laut dan menyebabkan meningkatnya
salinitas air hutan mangrove. Pada waktu air surut melalui arus surut, air dalam hutan
mangrove mengalir keluar dan mengalirnya air tawar melalui air permukaan dan
menurunkan salinitas air dalam hutan mangrove. Dengan perkataan lain pasang
surutnya air dari hutan mangrove, tetapi juga mengakibatkan berfluktuasinya salinitas
air di dalam hutan mangrove. Pada keadaan demikian dimana fluktuasi alami ini jelas
dapat ditoleransi oleh pohon-pohon mangrove asal salinitasnya tidak melebihi ambang
batas yang diperlukan untuk pertumbuhan pohon-pohon mangrove (Kusmana, 1995).

C. Zonasi Mangrove

Ekosistem mangrove dapat tumbuh dengan baik pada zona pasang-surut di


sepanjang garis pantai daerah tropis seperti laguna, rawa, delta, dan muara sungai.
Ekosistem mangrove bersifat kompleks dan dinamis tetapi labil. Kompleks, karena di
dalam ekosistem mangrove dan perairan maupun tanah di bawahnya merupakan habitat
berbagai jenis satwa daratan dan biota perairan. Dinamis, karena ekosistem mangrove
dapat terus tumbuh dan berkembang serta mengalami suksesi serta perubahan zonasi
sesuai dengan tempat tumbuh. Labil, karena mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih
kembali (Kusmana, 1995).
Pertumbuhan mangrove akan menurun jika suplai air tawar dan sedimen rendah.
Keragaman jenis hutan mangrove secara umum relatif rendah jika dibandingkan dengan
hutan alam tipe lainnya, hal ini disebabkan oleh kondisi lahan hutan mangrove yang
senantiasa atau secara periodik digenangi oleh air laut, sehingga mempunyai salinitas
yang tinggi dan berpengaruh terhadap keberadaan jenisnya. Jenis yang dapat tumbuh
pada ekosistem mangrove adalah jenis halofit, yaitu jenis-jenis tegakan yang mampu
bertahan pada tanah yang mengandung garam dari genangan air laut. Kondisi-kondisi

6
lingkungan luar yang terdapat dikawasan mangrove cenderung bervariasi di sepanjang
gradien dari laut ke darat.

Gambar 2.1. Pola Zonasi Mangrove (Bengen, 2004)


Banyak spesies mangrove telah beradaptasi terhadap gradien ini dengan berbagai
cara, sehingga di dalam suatu kawasan suatu spesies mungkin tumbuh secara lebih
efisien dari pada spesies lain. Tergantung pada kombinasi dari kondisi-kondisi kimia
dan fisik setempat, karena hal ini, jalur-jalur atau zona-zona dari spesies tunggal atau
asosiasi-asosiasi sederhana sering kali berkembang di sepanjang garis pantai. Faktor-
faktor lainnya seperti toleransi keteduhan, metoda penyebaran tumbuh-tumbuhan
mangrove muda serta predasi terseleksi terhadap mangrove muda oleh kepiting akan
berpengaruh terhadap pen-zonaan.
Watson (1928) dalam Kusmana (1995) berpendapat bahwa hutan mangrove dapat
dibagi menjadi lima bagian berdasarkan frekuensi air pasang, yaitu; zonasi yang
terdekat dengan laut, akan didominasi oleh Avicennia spp dan Sonneratia spp, tumbuh
pada lumpur lunak dengan kandungan organik yang tinggi. Avicennia spp tumbuh pada
substrat yang agak keras, sedangkan Avicennia alba tumbuh pada substrat yang agak
lunak; zonasi yang tumbuh pada tanah kuat dan cukup keras serta dicapai oleh beberapa
air pasang. Zonasi ini sedikit lebih tinggi dan biasanya didominasi oleh Bruguiera
cylindrica; ke arah daratan lagi, zonasi yang didominasi oleh Rhyzophora mucronata
dan Rhyzophora apiculata.
Jenis Rhyzophora mucronata lebih banyak dijumpai pada kondisi yang agak basah
dan lumpur yang agak dalam. Pohon-pohon yang dapat tumbuh setinggi 35-40 m.
Pohon lain yang juga terdapat pada hutan ini mencakup Bruguiera parviflora dan

7
Xylocarpus granatum; hutan yang didominasi oleh Bruguiera parviflora kadang-kadang
dijumpai tanpa jenis pohon lainnya; hutan mangrove di belakang didominasi oleh
Bruguiera gymnorrhiza.
Menurut Bengen dan Dutton (2004) dalam Northcote dan Hartman (2004) zonasi
mangrove dipengaruhi oleh salinitas, toleransi terhadap ombak dan angin, toleransi
terhadap lumpur (keadaan tanah), frekuensi tergenang oleh air laut. Zonasi yang
menggambarkan tahapan suksesi yang sejalan dengan perubahan tempat tumbuh.
Perubahan tempat tumbuh sangat bersifat dinamis yang disebabkan oleh laju
pengendapan atau pengikisan. Daya adaptasi tiap jenis akan menentukan komposisi
jenis tiap zonasi.

D. Deskripsi Mangrove yang di Dapat

1. Bruguiera gymnorrhiza
Kingdom : Plantae
Phylum : Tracheophyta
Class : Magnoliopsida
Ordo : Myrtales
Family : Rhizophoraceae
Genus : Bruguiera
Spesies : Bruguiera gymnorrhiza

Deskripsi :
Pohon yang selalu hijau dengan ketinggian yang mencapai 30m. Kulit kayu
memiliki lentisel, permukaan halus hingga kasar, berwarna abu tua sampai coklat. Akar
seperti papan melebar ke samping dibagian pangkal pohon, juga memiliki sejumlah akar
lutut.
Daun
Daun berkulit, berwarna hijau pada bagian lapisan atas dan hijau kekuningan pada
bagian bawahnya dengan bercak – bercak hitam (ada juga yang tidak). Unit dan letak
daun sederhana dan berlawanan. Bentuk daun elips sampai elips-lanset. Ujung daun
runcing. Ukuran daun 4,5-7 x 8,5-22 cm.

8
Bunga
Bunga bergelantung dengan panjang tangkai bunga antara 9-25 mm. Letak
diketiak daun, menggantung. Formasi bunga : soliter. Daun mahkota berjumlah 10-14
dengan putih dan coklat jika tua. Panjang bunga 13-16 mm. Kelopak bunga : 10-14
berwarna merah muda hingga merah dengan panjang 30-50 mm.
Buah
Buah melingkar spiral, bundar melintang dengan panjang 2-2,5 cm. Hipokotil
lurus, tumpul dan berwarna hijau tua keunguan. Hipokotil memiliki panjang 12-30 cm
dengan diameter 1,5-2 cm.

A B
Gambar 2.2. a. daun dan b pohon mangrove spesies Bruguiera gymnorrhiza

2. Avicennia marina L

Kingdom : Plantae
Phylum : Tracheophyta
Class : Magnoliopsida
Ordo : Lamiales
Family : Avicenniaceae
Genus : Avicennia
Spesies : Avicennia marina L

9
Deskripsi
Belukar atau pohon yang tumbuh tegak atau menyebar, ketinggian pohon
mencapai 30 meter. Memiliki sistem perakaran horizontal yang rumit dan berbentuk
pensil (atau berbentuk asparagus), akar napas tegak dengan sejumlah lentisel. Kulit
kayu halus dengan burik-burik hijau-abu dan terkelupas dalam bagian-bagian kecil.
Ranting muda dan tangkai daun berwarna kuning, tidak berbulu.
Daun
Bagian atas permukaan daun ditutupi bintik-bintik kelenjar berbentuk cekung.
Bagian bawah daun putih abu-abu muda. Unit dan letak daun : sederhana dan
berlawanan. Bentuk daun elips, bulat memanjang, bulat telur terbalik. Ujung daun
meruncing hingga membundar. Ukuran daun 9 x 4,5 cm.
Bunga
Seperti trisula dengan bunga bergerombol muncul di ujung tandan, bau
menyengat dan memiliki nektar banyak. Letak bunga di ujung atau diketiak tangkai/
tandan bunga. Formasi bunga : bulir (2-12 bunga pertandan). Daun mahkota sebanyak
4, warna kuning pucat-jingga tua dengan ukuan 5-8 mm. Kelopak bunga berjumlah 5
dengan benang sari berjumlah 4.
Buah
Buah agak membulat, berwarna hijau agak keabu-abuan. Permukaan buah
berambut halus (seperti terdapat tepung) dan ujung buah agak tajam seperti paruh.
Ukuran buah : 1,5-2,5 cm.

A
Gambar 2.3. a. daun dan b. bunga mangrove spesies Avicennia marina L

10
3. Avicennia officinalis L

Kingdom : Plantae
Phylum : Tracheophyta
Class : Magnoliopsida
Ordo : Lamiales
Family : Avicenniaceae
Genus : Avicennia
Spesies : Avicennia officinalis L

Deskripsi
Pohon, biasanya memiliki ketinggian sampai 12 m, bahkan dapat mencapai 20 m.
Pada umumnya memiliki akar tunjang dan akar napas yang tipis, berbentuk jari dan
ditutupi oleh lentisel. Kulit kayu bagian luar memiliki permukaan yang halus berwarna
hijau keabu-abuan sampai abu –abu kecoklatan serta memiliki lentisel.
Daun
Daun berwarna hijau tua pada permukaan atas dan hijau kekuningan atau abu-abu
kehijauan dibagian bawah. Permukaan atas daun ditutupi oleh sejumlah bintik – bintik
kelejar berbentuk cekung. Unit dan letak daun : sederhana dan berlawanan. Bentuk daun
: bulat telur terbalik, bulat memanjang- bulat telur terbalik atau elips bulat memanjang.
Ujung daun membundar, menyempit kearah gagang. Ukuran daun 12,5 x 6 cm.
Bunga
Susunan seperti trisula dengan bunga bergerombol muncul di ujung tandan, bau
menyengat. Daun mahkota terbuka tidak teratur, semakin tua warnanya semakin hitam,
sering kali tertutup oleh rambut halus dan pendek pada kedua permukaannya. Letak
bunga di ujung atau diketiak tangkai atau tandan bunga. Formasi bunga : bulir (2-10 per
tandan). Daun mahkota sebanyak 4 berwarna kuning-jingga dengan ukuran 10-15 mm.
Kelopak bunga sebanyak 5, benang sari sebanyak 4 dengan ukuran yang lebih panjang
dari daun mahkota.

11
Buah
Bentuk seperti hati, ujungnya berparuh pendek, warna kuning kehijauan.
Permukaan buah agak keriput dan ditutupi rapat oleh rambut-rambut halus yang pendek.
Ukuran buah sekitar 2 x 3 cm.

Gambar 2.4. Daun mangrove spesies Avicennia officinalis L

4. Avicennia alba L

Kingdom : Plantae
Phylum : Tracheophyta
Class : Magnoliopsida
Ordo : Lamiales
Family : Avicenniaceae
Genus : Avicennia
Spesies : Avicennia alba L

Deskripsi
Belukar atau pohon yang tumbuh menyebar dengan ketinggian mencapai 25 m.
Kumpulan pohon berbentuk sistem perakaran horizontal dan akar napas yang rumit.

12
Akar napas biasanya tipis, berbentuk jari (seperti asparagus) yang ditutupi lentisel. Kulit
kayu luar berwarna keabu-abuan atau gelap kecoklatan, beberapa ditumbuhi tonjolan
kecil atau memiliki permukaan yang halus. Pada bagian batang yang tua terkadang
ditemukan serbuk tipis.
Daun
Permukaan daun halus, bagian atas daun hijau mengkilat, bagian bawah daun
berwarna pucat. Unit dan letak daun sederhana dan berlawanan. Bentuk daun lanset,
kadang elips. Ujung daun meruncing dengan ukuran daun 16 x 5 cm.
Bunga
Seperti trisula dengan gerombolah bunga kuning hampir disepanjang ruas tandan.
Letak bunga di ujung/ pada tangkai bunga. Formasi bunga : bulir (ada10-30 bunga per
tandan). Daun mahkota sebanyak 4 berwarna kuning cerah dengan ukuran 3-4 mm.
Kelopak bunga sebanyak 5 dengan jumlah benang sari 4.
Buah
Seperti kerucut/ cabe/ mente. Berwarna hijau muda kekuningan dengan ukuran
buah 4 x2 cm.

A B
Gambar 2.5. a. daun dan b. pohon mangrove spesies Avicennia alba L

13
5. Aegiceras floridum

Kingdom : Plantae
Phylum : Tracheophyta
Class : Magnoliopsida
Ordo : Primulales
Family : Myrsinaceae
Genus : Aegiceras
Spesies : Aegiras floridum R

Deskripsi
Semak atau pohon kecil yang selalu hijau dan tumbuh lurus dengan ketinggian
mencapai 4 m. Akar menjalar di atas permukaan tanah. Kulit kayu bagian luar berwarna
abu-abu kecoklatan, bercelah dan memiliki sejumlah lentisel.
Daun
Berkulit, bagian atas terang dan hijau mengkilat pucat kadang kemerahan.
Kelenjar pembuangan garam terletak pada permukaan daun dan gagangnya. Unit dan
letak daun : sederhana dan bersilangan. Bentuk daun bulat telur terbalik. Ujung daun
membundar dengan ukuran daun 3-6 cm.
Bunga
Dalam satu tandan terdapat banyak bunga yang bergantungan seperti lampion
masing-masing tangkai/ gagang bunga memiliki panjang 4-6 mm. Letak bunga pada
ujung tandan/ tangkai bunga. Formasi bunga berbentuk payung. Daun mahkota
sebanyak 5 berwarna putih ditutupi rambut pendek halus dengan ukuran 4 mm. Kelopak
bunga sebanyak 5 berwarna putih-hijau.
Buah
Buah berwarna hijau hingga merah, bentuk agak lurus. Buah berisi satu biji
memanjang dan cepat rontok. Ukuran buah memiliki panjang 3 cm dan diameter 0,7
cm.

14
A B
Gambar 2.6. a. daun dan b. pohon mangrove spesies Aegiras floridum R

15
BAB III
METODE PRAKTEK LAPANGAN

3.1. Waktu dan Tempat

Praktek Lapangan ini dilaksanakan pada tanggal 26 November 2016, pada pukul
11.00-13.00 WIB. Bertempat di daerah Pulau Payung, Sungsang, Kabupaten Banyuasin.

3.2. Alat dan Bahan

Praktek Lapangan ini menggunakan Alat dan Bahan yang dapat dilihat pada Tabel
3.1 :
Tabel 3.1. Alat Dan Bahan Yang Digunakan Di Lapangan
No. Alat dan bahan Fungsi
1. Air Mineral Kalibrasi Alat
2. Alat Tulis Pencatat Data
3. Alat Portable Mengukur Parameter Lingkungan
4. Box Tempat Penyimpanan Alat dan Bahan
5. Data sheet Tempat Pencatatan Data
6. GPS Petunjuk Titik Koordinat Stasiun
7. Kamera Dokumentasi Kegiatan
8. Meteran Kain Pengukuran Diameter Pohon
9. Roll Meter Mengukur Panjang Transek
10. Tali Rafia Membuat Plot Garis
11. Tissue Pembersih Alat

3.3. Prosedur Praktek Lapangan


Adapun diperlukannya prosedur dalam praktek lapangan ini adalah sebagai
berikut:
3.3.1. Penentuan Stasiun
Penentuan stasiun pada vegetasi mangrove dengan menggunakan
metodepurposive sampling, dimana penentuan stasiun dengan memilih daerah yang

16
mewakili lokasi pengamatan, dimana titik stasiun ditentukan menggukan GPS dan
setiap stasiun dilakukan transek kuadrat sepanjang 50 m.
Cara Kerja:

Ditentukanstasiununtukmenentukan plotdenganmenggunakan GPS

Diletakkantiga plot pengamatan (substasiun) vegetasi

mangrove disepanjangtransekgaris

Digunakantalirafiauntukmasing-masing plot yang

telahditentukanukurannyauntukmelakukanpengamatan

Ditentukan plot berukuran2 m x 2 m untuksemai, dan plot 5 m

x 5 m untukanakan yang masihdidalam plot 10 m x 10 m

untuk pohon
Diukurdimeterpohonmangrove menggunakan diameter kain

Dicatatjumlah, jenis, dan diameter batangpohonmangrove

yangada didalam plot

Diamatijenismangrove yang terdapatdidalam plot

pengamatandandiambilbeberapasampeluntuk herbarium

17
3.3.2. Pengamatan dan Pengambilan Data Vegetasi Mangrove
Vegetasi mangrove yang dijumpai didata lapangan dengan menggunakan data
sheet yang telah disediakan. Kemudian diidentifikasi dengan mengacu kepada Kusmana
(1997); Noor et al,. (1999); Onrizal et al,. (2005); Percipal & Womersly 1975. Desain
jalur untuk inventarisasi vegetasi disajikan pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1. Desain Jalur untuk Inventarisasi Mangrove


Pengukuran mangrove dengan menggunakan transek kuadrat memiliki 3 kolom
setiap plot yang mempunyai ukuran 10 x 10 m, 5 x 5 m, dan 2 x 2 m, dimana untuk
pengukuran petak 10 x 10 m, digunakan untuk pengukuran pohon yang mana kriteria
pohon memiliki tinggi lebih dari 1 m dan diameter lebih dari 4 cm. Petak 5 x 5 m,
digunakan untuk pengukuran anakan, permudaan dengan tinggi lebih dari 1 m dengan
diameter kurang dari 4 cm. Sedangkan Petak 2 x 2 m, diigunakan untuk pengukuran
semai, yaitu permudaan mulai dari kecambah sampai anakan setinggi kurang dari 1 m.
Pengukuran lingkar pohon (girth) dalam cm pada vegetasi mangrove memiliki
perbedaan masing-masing, hal ini dikarenakan pohon mangrove memiliki bentuk atau
pola pertumbuhan yang bermacam-macam. Dimana 30 cm untuk kelas Rhizophoraceae
dan 1.3 m untuk jenis mangrove lainnya. Perhitungan diameter (D) pohon mangrove
merupakan hasil perkalian dengan konstanta 3.14 Pengukuran lingkar pohon mangrove
yang sesuai dengan prosedur pengukuran disajikan pada Gambar 3.2.

18
Gambar 3.2. Prosedur Pengukuran Lingkaran Pohon
(English et al., 1994 dalam Bengen dan Dahuri, 1999).

3.3.3. Penggunaan Alat Portable

Siapkanalat Portable

Tekantombol F4/On/ untukmenghidupkanalat

Kalibrasialatterlebihdahulusebelumdigunakandenganmenggun

akanaquadesdan tissue

Tekan F3 untukmemilih parameter pengukuran yang

ingindipilihataudiukur

Kemudiantunggusampaiadatulisan “stable” padalayar monitor

Selanjutnyacatathasilpengukuranpadabukukerja

Kemudianbesihkanalatdenganaquadesdan tissue

Jikatelahselesaimatikanalatdenganmenekantombol F4/Off

19
3.4 Analisis Data Perhitungan Vegetasi
Data-data hasil lapangan mengenai jenis, jumlah tegakan dan diameter pohon
yang telah dicatat dalam tabel data mangrove dianalisa dengan metode yang diberikan
Bengen (2002), yaitu meliputi Kerapatan Jenis (Ki), Basal Area (BA), Penutupan Jenis
atau Dominansi Jenis (Di), Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR), Dominansi
Relatif (DR) dan Indeks Nilai Penting (INP) :

➢ Kerapatan Jenis (Ki)


Kerapatan Jenis (Ki) adalah jumlah individu jenis i dalam suatu unit area
(Bengen, 2002).
𝑛𝑖
𝐾𝑖 =
𝐴
Dimana :
Ki = Kerapatan Jenis i (ind/ha)
ni = Jumlah total tegakan individu dari jenis i (ind)
A = Luas area total pengambilan contoh (luas total petak contoh)(ha)

➢ Kerapatan Relatif (KR)


Kerapatan Relatif (KR) adalah perbandingan antara jumlah individu jenis i (ni)
dengan total tegakan seluruh jenis (Ʃn) (Bengen, 2002).
𝑛𝑖
𝐾𝑅 = ( ) 𝑥 100%
Σ𝑛
Dimana :
KR = Kerapatan Relatif (%)
ni = Jumlah total suatu jenis (ind)
Ʃn = Kerapatan seluruh jenis (ind)
➢ Frekuensi Jenis (Fi)
Frekuensi Jenis (Fi), yaitu peluang ditemukannya suatu jenis ke-i didalam semua
petak contoh dibandingkan dengan jumlah total petak contoh yang dibuat
(Bengen,2002).

20
𝑃𝑖
𝐹𝑖 = ( ) 𝑥 100%
Σp

Dimana :
Fi = Frekuensi Jenis i
Pi = Jumlah petak contoh dimana ditemukan jenis i
Ʃp = Jumlah total petak contoh yang dibuat

➢ Frekuensi Relatif (FR)


Frekuensi relatif adalah perbandingan antara frekuensi jenis ke-i (Fi) dengan
jumlah frekuensi untuk seluruh jenis (ƩF) (Bengen, 2002).
𝐹𝑖
𝐹𝑅 = ( ) 𝑥 100%
Σ𝐹
Dimana :
FR = Frekuensi Relatif jenis ke-i (%)
Fi = Frekuensi jenis ke-i
ƩF = Jumlah frekuensi utuk seluruh jenis

➢ Basal Area (BA)


Basal Area adalah daerah yang ditutupi oleh batang pohon mangrove (Bengen,
2002).
πDB𝐻 2
𝐵𝐴 = ( )
4
Dimana :
BA = Basal Area (cm2)
DBH = Diameter pohon mangrove setinggi dada (cm)
π = 3.14
➢ Penutupan Jenis atau Dominansi Jenis (Di)
Penutupan Jenis atau Dominansi Jenis (Di) adalah luas penutupan jenis i dalam
suatu unit area (Bengen,2002).
Σ𝐵𝐴
𝐷𝑖 =
𝐴

21
Dimana :
Di = Penutupan Jenis atau Dominansi Jenis i (m2/ha)
BA = πd2/4 (d = diameter batang setinggi dada, π = 3.14)
A = Luas total area pengambilan contoh (ha)

➢ Penutupan Relatif atau Dominansi Relatif (DR)


Penutupan Relatif Jenis atau Dominansi Jenis (Di) adalah perbandingan antara
luas daerah penutupan jenis-i dengan luas total area penutup untuk jenis i atau
perbandingan antara jumlah total individu jenis-i (Di) dengan jumlah total dominansi
seluruh individu jenis i (ƩDi) (Bengen, 2002).

𝐷𝑖
𝐷𝑅 = ( ) 𝑥 100%
Σ𝐷𝑖
Dimana :
DR = Penutupan Relatif atau Dominansi Relatif (%)
Di = Penutupan Jenis atau Dominansi Jenis i(m2/ha)
ƩDi = Jumlah total penutupan jenis atau Dominansi Jenis i (m2/ha)

➢ Indeks Nilai Penting (INP)


Indeks Nilai Penting adalah jumlah nilai Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi
Relatif (FR) dan Dominansi Relatif (DR) (Bengen, 2002).
NP = KR + FR + DR

Indeks Nilai Penting suatu jenis berkisar antara 0 sampai 300. Indeks Nilai
Penting ini memberikan gambaran mengenai pengaruh atau peranan dari suatu jenis
mangrove dalam suatu ekosistem (Bengen, 2002).
Berdasarkan kriteria yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Lingkungan
Hidup RI No. 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan
Kerusakan Mangrove, dapat diketahui dari luas penutupan dan kerapatan ind/ha seperti
pada Tabel 3.2.

22
Tabel 3.2. Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove
Kriteria Penutupan (%) Kerapatan (ind/ha)
Baik -Sangat Baik > 75 >1500
Rusak - Sedang > 50 - < 75 >1000 - <1500
Jarang < 50 <1000
Sumber: Kementrian Lingkungan Hidup no. 201 tahun 2004

23
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Umum Wilayah Pulau Payung, Sungsang

Sumber : Google Maps


Gambar 4.1. Peta Pulau Payung, Sungsang, Sumatera Selatan

Data GPS lokasi praktek lapangan yang didapat yaitu : Elevation 167 ft Distance
296,0 ft Marked 26-11-16 11:00 AM Location S 020 21’ 39,0” E 1040 55’ 00,6. Pulau
payung adalah sebuah pulau yang terletak di tengah-tengah sungai musi secara
administratif di Kecamatan Sungsang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan.
Secara Geografis Pulau Payung terletak pada koordinat 2° 22’ 51” Lintang Selatan dan
104° 55’ 16” Bujur Timur. Pulau Payung merupakan pulau dataran rendah dengan
substrat berlumpur yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut sehingga pulau ini masih
tergolong alami karena kurang cocok untuk dijadikan tempat tinggal manusia baik
secara letak maupun kondisi alam.
Vegetasi yang mendominasi pulau payung berupa hutan mangrove karena
letaknya yang berada di muara Sungai Musi yaitu pertemuan air tawar dan air laut

24
sehingga salinitas di sekitarnya sudah cukup tinggi atau tergolong ekosistem esturia atau
peraiaran payau.

4.2. Parameter Lingkungan


Secara umum warna perairan di Pulau Payung adalah kecokelatan. Warna ini
berkaitan dengan komposisi meteri organic dan anorganik yang terkandung di
dalamnya. Tipe substrat-subsrat pada perairan ini berupa lumpur yang sangat halus.
Tipe lumpur yang sangat halus dikarenakan akumulasi sedimen yang terbawa dari
sungai yang membawa substrat halus dari hilir sungai. Muatan run off yang membawa
lumpur memberikan kesuburan tanah dan hutan menjadi produktif.
Berdasarkan hasil pengukuran suhu dengan menggunakan thermometer didapat
kisaran suhu perairan tersebut adalah 28-29 °C. Suhu ideal yang menopang kehidupan
berbagai organisme di perairan. Pengukuran derajat keasaman (pH) dilakukan pada
permukaan perairan tanah, hasil yang didapat yaitu sebesar 6. Dapat disimpulkan
perairan tersebut cukup baik untuk menunjang berbagai kehidupan organism perairan
estuary tersebut.
Salinitas yang didapat berdasarkan pengamatan adalah 7 ppt. Suriadarma (2011)
mengemukakan bahwa perairan yang memiliki kadar salinitas lebih kecil dari 0,5 ppt
bersifat tawar, sedangkan yang berkadar salinitas antara 0,5 – 30 ppt bersifat payau.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa perairan pulau paying tergolong payau sehingga
cocok bagi ekosistem estuary dan juga biota laut. Berikut adalah tabel kualitas
lingkungan mangrove yang didapat di Pulau Payung, Sungsang :
Tabel 4.1. Kualitas Lingkungan Tumbuhan Mangrove Di Pulau Payung
Parameter Kualitas Lingkungan
koordinat plot suhu (oC) pH salinitas (ppt)
1 28,8 6,66 6,8
S 02⁰21'39.0" E 104⁰55'00.6" 2 29,8 5,46 6,58
3 29,4 6,17 7,81
Mangrove di Pulau Payung Sungsang Kab. Banyuasin merupakan hutan alami.
Vegetasi manggrove yang dicari antara lain pohon, anakan dan semai berdasarkan
ukuran diameter batangnya. Ditemukan 5 spesies mangrove pada 3 plot pengamatan,

25
yaitu Avicennia alba, Avicennia marina, Avicennia officinalis, Bruguera gymnorhiza
dan Aegiceras floridum.
Dalam analisis vegetasi mangrove tingkat pohon yaitu spesies Avicennia alba,
Avicennia marina, Avicennia officinalis, Bruguera gymnorhiza. Vegetasi mangrove
tingkat anakan yaitu spesies Aegiceras floridum,Avicennia marina,dan Bruguera
gymnorhiza. Sedangkan untuk vegetasi mangrove tingkat semai tidak ditemukan pada
pengamatan ini.

4.3. Kerapatan Jenis Tingkat Pohon


Kerapatan-i Tingkat Pohon
900
800
700
600
ind/ha

500
400
300
200
100
0
Avicennia alba Avicennia Avicennia Bruguera
marina officinalis gymnorhiza
Jenis

Gambar 4.2. Kerapatan Jenis Tingkat Pohon

Kerapatan jenis tingkat pohon yang ditampilkan gambar 4.2, kerapatan jenis
tingkat pohon tertinggi adalah spesies Avicennia marina dengan nilai kerapatan 800
ind/ha dan terendah adalah spesies Avicennia officinalis dengan nilai kerapatan 50
ind/ha, sedangkan untuk spesies Avicennia alba dengan nilai kerapatan 300 ind/ha dan
spesies Bruguera gymnorhiza dengan nilai kerapatan 75 ind/ha.
Nilai kerapatan jenis menunjukkan kelimpahan jenis dalam suatu ekosistem dan
nilai ini menggambarkan bahwa jenis dengan kerapatan tertinggi memiliki pola
penyesuaian yang besar. Kerapatan sangat dipengaruhi oleh jumlah yang ditemukan

26
pada daerah pengamatan. Semakin banyak suatu jenis maka kerapatan relatifnya
semakin tinggi (Otorael, et al. 2012).
Dari ketiga plot pengamatan didapati spesies Avicennia marinamemiliki nilai
kerapatan jenis tingkat pohon tertinggi, hal ini disebabkan habitat yang cocok dan
kemampuan mangrove dalam beradaptasi terhadap kondisi lingkungan. Avicennia
marinayang mengindikasi bahwa jenis ini memiliki jumlah populasi yang stabil dapat
tumbuh baik dan beregenasi dengan baik (Schaduw, 2015).
Famili Avicenniaceae adalah famili yang memiliki jumlah individu terbanyak
dalam struktur vegertasi mangrove. Vegetasi mangrove famili Avicenniaceae berada
pada zona terluar yaitu the exposed mangrove yang daerah paling dekat dengan laut
(Welly, 2010), keadaan tanah berlumpur, agak lembek, dangkal, memiliki bahan
organik sedikit dengan kadar garam yang realtif tinggi (Adiwijaya, 2012). Zona ini
adalah zona yang cocok untuk kriteria tumbuh Famili Avicenniaceae yang memiliki
karakter fisik, biologis, ekologi famili ini. Famili Avicenniaceae cenderung
mendominasi daerah yang lebih berlumpur (Noor, 2006) sesuai dengan ditemukannya
famili ini pada pengamatan yang telah dilakukan.
Famili Avicenniaceaecocok dengan salinitas tinggi (Soeroyo, 1993). Secara
umum famili ini dapat toleransi dengan dengan kadar salinitas yang tinggi. Mangrove
dapat mengabsorsi air ke dalam akar dalam jumlah kecil dari kadar garam-garam.
Kemudian garam terakumulasi di dalam daun yang tua, dan secara aktif berpindah
karena sekresi melalui kelenjar daun dimana kelebihan garam akan dikeluarkan melalui
sel-sel kelenjar (Soeroyo, 1993).

27
4.4. Kerapatan Jenis Tingkat Anakan

Kerapatan-i Tingkat Anakan


600

500

400
ind/ha

300

200

100

0
Aegiceras floridum Avicennia marina Bruguera gymnorhiza
Jenis

Gambar 4.3. Kerapatan Jenis Tingkat Anakan

Kerapatan jenis tingkat anakan yang ditampilkan gambar 4.3, kerapatan jenis
tingkat anakan tertinggi adalah spesies Aegiceras floridum dengan nilai kerapatan 530
ind/ha dan terendah adalah spesies Avicennia marina dengan nilai kerapatan 120 ind/ha,
sedangkan untuk spesies Bruguera gymnorhiza dengan nilai kerapatan 300 ind/ha.
Adanya anakan ini menunjukan peran ekologi yang diperkirakan sama dengan tingkat
pohon. Jenis anakan merupakan hal yang wajar, mengingat kemampuan jenis mangrove
memiliki kemampuan regenerasi menghasilkan keturunan dengan jumlah yang
melimpah. Kemampuan regenerasi ini menunjukan kemampuan beradaptasi tumbuhan
terhadap kondisi habitat dan lingkunganya.
Dengan adanya anakan ini diperkirakan kelestarian jenis – jenis pohon akan
bertahan dalam jangka waktu yang lama. Indikasi ini menyatakan bahwa didalam
ekosistem terjadi disturbasi, tegakan tidak atau belum mencapai klimaks, sehingga
memberi kesempatan tumbuhnya tumbuhan muda (Setyawan, 2005). Dari hasil
pengamatan yang dilakukan didapat bahwa mangrove di Pulau Payung Sungsang
Kabupaten Banyuasin termasuk kriteria Rusak Jarang dengan nilai kerapatan mangrove
(ind/ha) < 1000.

28
4.5 Kerapatan Jenis Tingkat Semai
Pada plot (2x2) tidak ditemukan adanya semai yang menempati plot tersebut.
Hal tersebut mungkin dikarenakan lokasi transek yang digunakan dan plot yang
ditempati berada sangat dekat dengan pinggiran sungai sehingga ketika air pasang,
lokasi transek akan lebih sering terendam dan pertumbuhan semai terhambat yang
kemudian semai tidak mampu bertahan dan lebih sering mati. Menurut Kusmana,
(1995) Ekosistem mangrove bersifat kompleks dan dinamis tetapi labil. Kompleks,
karena di dalam ekosistem mangrove dan perairan maupun tanah di bawahnya
merupakan habitat berbagai jenis satwa daratan dan biota perairan. Dinamis, karena
ekosistem mangrove dapat terus tumbuh dan berkembang serta mengalami suksesi serta
perubahan zonasi sesuai dengan tempat tumbuh. Labil, karena mudah sekali rusak dan
sulit untuk pulih kembali.

4.6. Indeks Keanekaragaman dan Dominansi

Tingkat Pohon
Stasiun Jenis ∑ni %KR %FR %DR INP
Avicennia alba 9 25,00 33,33 35,19 93,53
Avicennia marina 24 66,67 33,33 64,00 164,00
1
Avicennia officinalis 1 2,78 11,11 0,26 14,15
Bruguera gymnorhiza 2 5,56 22,22 0,55 28,33
total 36 100 100 100 300

Tingkat Anakan
Stasiun Jenis ∑ni %KR %FR %DR INP
Aegiceras floridum 4 57,14 25,00 67,27 149,41
1 Avicennia marina 1 14,29 25,00 18,08 57,37
Bruguera gymnorhiza 2 28,57 50,00 14,65 93,22
total 7 100 100 100 300

Tingkat Pohon Tingkat anakan


H' 0,88 H' 0,96
J' 0,44 J' 0,60
C 0,51 C 0,43

H' = indeks keanekaragaman


J' = Indeks Keseragaman
C = Indeks Dominansi

Gambar 4.4. Indeks Keanekaragaman dan Dominansi

29
Dalam praktek lapangan yang telah dilaksanakan di wilayah pulau payung didapat
beberapa spesies mangrove. Terdapat 5 spesies mangrove yang kami dapat di transek
sepanjang 50 meter dengan 3 plot area yaitu Avicennia alba, Avicennia marina,
Avicennia officinalis, Bruguera gymnorhiza dan Aegiceras floridum. Kondisi habitat
tanaman mangrove di pulau payung adalah lumpur Dimana kondisi lahan transek yang
diambil sebagai sampel dekat dengan bibir pantai sehingga mangrove yang didapat
dominasinya adalah spesies avicennia spp, hal ini sebagaimana dikatakan oleh Watson
(1928) dalam Kusmana (1995) bahwa zonasi yang terdekat dengan laut, akan
didominasi oleh Avicennia spp dan Sonneratia spp, tumbuh pada lumpur lunak dengan
kandungan organik yang tinggi.
Indeks keanekaragaman untuk tingkat pohon didapatkan nilai 0,88, indeks
keseragaman yang didapat 0,44 dan indeks dominansi yang didapat adalah 0,51.
Sedangakan untuk tingkat anakan nilai indeks keanekaragaman 0,96, nilai indeks
keseragaman 0,60 dan nilai indeks dominansi yang didapat adalah 0,43. Nilai-nilai dari
indeks keanekaragaman dan dominasi ini dapat dijadikan sebagai petunjuk kekayaan
jenis dalam suatu komunitas, nilai-nilai ini memperlihatkan keseimbangan dalam
pembagian individu tiap jenis (Odum, 1971). Keanekaragaman berkaitan dengan dua
hal utama yaitu banyaknya spesies yang berada pada suatu komunitas dan kelimpahan
dari masing-masing spesies tersebut.

30
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan praktikum lapangan yang telah dilaksanakan, dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Terdapat 5 spesies mangrove yang ditemukan di 3 plot besar pengamatan, antara lain
Avicennia alba, Avicennia marina, Avicennia officinalis, Bruguera gymnorhiza dan
Aegiceras floridum.
2. Vegetasi Avicennia marina mendominasi pada tingkat pohon, sedangkan vegetasi
Aegiceras floridum mendominasi pada tingkat anakan. Pada tingkat semai tidak
ditemukan vegetasi apapun di dalam plot yang digunakan.
3. Kualitas Mangrove di Pulau Payung Sungsang Kabupaten Banyuasin termasuk
kedalam kriteria Rusak-Jarang dengan Nilai Kerapatan Mangrove (ind/ha) < 1000.

5.2. Saran
Dibutuhkan kajian lebih lanjut mengenai vegetasi mangrove di Pulau Payung,
Sungsang karena kemungkinan besar masih banyak vegetasi mangrove lain yang
terdapat di lokasi.

31
DAFTAR PUSTAKA

Adiwijaya, Hendra. 2012. Kondisi Mangrove Pantai Timur Surabaya Dan Dampaknya
Terhadap Lingkungan Hidup. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan Vol.1 Edisi
Khusus.

Bengen, D.G. 2001. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove.Pedoman


Teknis.

Bengen, D. G. 2004. Pedoman teknis: Pengenalan dan pengelolaan ekosistem


mangrove. PKSPL-IPB. Bogor.

Kapludin, Y. 2011. Karakteristik dan Keragaman Biota Pada Vegetasi Mangrove


Dusun Wael Kabupaten Seram Bagian Barat. FKIP Universitas Darussalam
Ambon: Maluku.

Kusmana, C. 1995. Manajemen hutan mangrove Indonesia. Lab Ekologi Hutan. Jurusan
Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor.

Kusmana, C. 2005. Rencana Rehabilitasi Hutan Mangrove dan Hutan Pantai


Pasca Tsunami di NAD dan Nias. Makalah dalam Lokakarya Hutan.

Manan, 1986. Ekosistem Mangrove Wilayah Pesisir. Kanisius: Yogyakarta.

Noor, Y.R., Khazali, M., dan Suryadiputra, I N.N. 2006. Panduan Pengenalan
Mangrove. Wetland International-Indonesian Programme: Bogor.

Nybakken, J.W.1988. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologi. Gramedia: Jakarta.

Odum, E.P. 1971. Fundamentals of ecology. Third Edition. Wb. Sounder Company
Ltd. Philadelphia.

Santoso, N. 2006. Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berkelanjutan di Indonesia.


Dalam bahan pelatihan. 2006. “Training Workshop on Developing The
Capacity of Environmental NGOs in Indonesia to Effeticvely Implement
Wetland ProjectAccording to the Ramsar Guidelines and Obyectives of the
Convention on Biodiversity”. Bogor.

Schaduw, Joshian N. W. 2015.Bioekologi Mangrove Daerah Perlindungan Laut


Berbasis Masyarakat Desa Blangko Kec. Sinonsayang Kab. Minahasa Selatan
Provinsi Sulawesi Utara. LPPM Bidang Sains dan Teknologi, 2(1): 89-102 hlm.

32
Setyawan, A.D., Indrowuryatno., Wiryanto., Winarno, K., dan Susilowati, A. 2005.
Tumbuhan Mangrove di Pesisir Jawa Tengah: 2. Komposisi dan Struktur Vegetasi.
Jurnal Biodiversitas, 6(3): 194-198 hlm.

Soeroyo, 1993. Pertumbuhan mangrove dan permasalahannya, buletin ilmiah instrifer


4(02) :206-219 hlm.

Tomlinson, P.B., 1986. The Botany of Mangroves. Cambridge University Press:


England.

Welly, M., Sanjaya, W., Sumerta, I.N., dan Anom, D.N. 2010. Identifikasi Flora dan
Fauna Mangrove Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan. Balai Pengelolaan Hutan
Mangrove Wilayah I: Nusa Penida.

www.iucnredlist.org. Diakses tanggal 28 November 2016.

www.wetlands.or.id/mangrove. Diakses tanggal 28 November 2016.

33
LAMPIRAN

Gambar. Pembuatan plot untuk pengambilan sampel mangrove

34
Gambar. Pengukuran DBH pohon dan anakan mangrove yang ada di plot

35
x

Gambar. Pengukuran kualitas lingkungan mangrove

36

Anda mungkin juga menyukai