Anda di halaman 1dari 26

EPISTEMOLOGI ILMU KEISLAMAN BURHANI

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu Keislaman
Dosen Pembimbing:
Dr. Nasihun Amin

Oleh:
Ma’arif Gunawan

(NIM: 265.31.2.22)

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SAINS AL-QUR’AN (UNSIQ)

JAWA TENGAH DI WONOSOBO


2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan karya ilmiah tentang
“Epistemologi Ilmu Keislaman Burhani” yang dimuat dalam mata kuliah
“Filsafat Ilmu Keislaman”

Sholawat Serta salam semoga tetap tercurahkan kepada nabi Akhiruzzaman


Khotamil Anbiya’ Wal Mursalin Nabi Muhammad Sollallahu ‘Alaihi Wasallam,
yang senantiasa kita harapkan Syafa’atnya Fiddini Khattal Akhiroh Amin.
Yang Kami mulyakan Dr. Nasihun Amin selaku pengampu mata kuliah
Filsafat Ilmu Keislaman yang selalu mendistribusikan wawasannya,
pengalamanya serta motifasi yang sangat agung kepada kita semua. Semoga
barokah beliau turun temurun kepada kita semua.
Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah turut memberikan kontribusi dalam penyusunan karya ilmiah ini. Tentunya,
tidak akan bisa maksimal jika tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak.
Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik
dari penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam karya ilmiah ini. Oleh
karena itu, kami dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki karya ilmiah ini. Kami berharap semoga karya ilmiah
yang kami susun ini memberikan manfaat dan juga inspirasi untuk pembaca.

Wonosobo, 25 Desember 2022


Penulis

Ma’arif Gunawan

ii
DAFTAR ISI

Halaman Sampul ............................................................................................ i


Kata Pengantar .............................................................................................. ii
Daftar Isi ......................................................................................................... iii
Abstrak ............................................................................................................ iv
BAB I ................................................................................................. 1
Pendahuluan ......................................................................................... 1
Latar Belakang Masalah ....................................................................... 3
Rumusan Masalah ................................................................................ 3
BAB II ................................................................................................. 4
Pembahsan .......................................................................................... 4
Epistimologi Ilmu Keislaman .............................................................. 4
Epistimologi Islam ............................................................................... 6
Jenis Epistemologi Keislaman ............................................................. 7
Epistimologi Burhani ........................................................................... 9
BAB III ................................................................................................ 20
Penutup................................................................................................. 20
Kesimpulan .......................................................................................... 20
Saran Saran........................................................................................... 20
Daftar Pustaka ................................................................................................ 22

iii
EPISTEMOLOGI ILMU KEISLAMAN BURHANI
Oleh: Ma’arif Gunawan

Abstrak

Ilmu pengetahuan dan teknologi yang hingga saat ini menjadi kunci paling
mendasar dari kemajuan yang diraih umat manusia, tentunya tidak datang begitu
saja tanpa ada sebuah dinamika atau diskursus ilmiah. Proses untuk mendapatkan
ilmu pengetahuan itulah lazim dikenal dengan istilah epistemologis. Islam dalam
kajian pemikirannya menggunakan beberapa aliran besar dalam kaitannya dengan
teori pengetahuan (epistemologi). Setidaknya ada tiga model sistem berpikir dalam
Islam, yakni bayani, irfani dan burhani yang masing masing mempunyai pandangan
yang berbeda tentang pengetahuan. Ketiga sistem atau pendekatan tersebut dikenal
juga tiga aliran pemikiran epistemologi Barat dengan bahasa yang berbeda, yakni
empirisme, rasionalisme dan intuitisme. Selain sebagai instrumen untuk mencari
kebenaran, ketiga epistemologi tersebut juga bisa digunakan sebagai sarana
identifikasi cara berfikir seseorang. Pemahaman paling sederhana pada ketiga
epistemologi ini adalah jawaban dari pertanyaan “dengan apakah manusia
mendapatkan kebenaran?”

Kata Kunci: Epistemologi, Burhani

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ketika mengkaji pemikiran Islam klasik, termasuk di dalamnya
hukum Islam, maka perlu melihat nalar yang dibentuk oleh kebudayaan
Islam-Arab, karena hampir seluruh keilmuan Islam
merupakan khazanah intelektual yang lahir dari dan diproduksi oleh
kebudayaan Islam-Arab. Dalam keilmuan Islam (klasik) ada tiga nalar yang
menjadi landasan berpijaknya, yaitu nalar bayani,
'irfani, dan burhani. Meski secara literal istilah ini sudah ada dalam
berbagai teks keislaman, seperti Al-Qur'an, Bahasa Arab, filsafat, dan
kalam, namun ketiga istilah tersebut muncul sebagai suatu bentuk penalaran
atau epistemologi keilmuan Islam ketika Muhammad Abed al-Jabiri
melakukan dekonstruksi atas tradisi keilmuan Islam dalam proyek "Kritik
Nanar Arab"-nya.1

Apabila nalar bayani menjadikan teks baik dari al-Qur'an, as-


Sunnah, Ijma' maupun hasil Ijtihad sebagai otoritas rujukan utama untuk
memperoleh pengetahuan, sementara nalar 'irfani melalui
metode kasyf (intuisi batin) untuk mendapat pengetahuan, maka
nalar burhani berpegang pada kekuatan alami manusia, berupa pengalaman
indrawi dan otoritas akal, untuk mendapatkan pengetahuan tentang alam.
Pada masa modern ini telah terjadi kebangkitan kembali
kecenderungan menggunakan nalar burhani (rasional-filosofis) dalam
mengkaji dan membangun konstruksi keilmuan hukum Islam. Maka dalam
makalah ini akan dibahas mengenai Epistemologi burhani dalam kajian
Islam.

Kehebatan islam zaman keemasan dengan kemajuan para teknokrat,


filusuf dengan kejuan ipteknya kiranya tidaklah hanya sekedar romantisme
sejarah yang membius generasi islam di abad 21. Kemajuan ilmu

Abbas, Afifi Fauzi, “Integrasi Pendekatan Bayani, Irfani dan Burhani dalam Ijtihad
1

Muhammadiyah”, Jurnal Ahkam, Vol. XII, No. 1, 2012

1
pengetahuan, dan agama mulai dari ilmu lughoh, nahwu, shorof, balaghoh,
fiqih, ushul fiqih. Bahkan ilmu pengetahuan juga mengalami kemajuan yang
sangat pesat. Muncul para ahli astronomi, arsitektur, kedokteran dan filosof.
Kemajuan pengetahuan dan teknologi lazimnya diawali dengan
perkembangan filsafat.
Tradisi berfilsafat dalam dunia islam sudah mengakar, jauh sebelum
masa helenisme (abad 9 M) walaupun belum bisa disebut dengan filsafat
secara formal. Tradisi berfilsafat dalam dunia islam dapat dilihat pada
diskusi-diskusi ilmu nahwu shorof, mantiq, dan terlebih diskusi teologi atau
ilmu kalam. Muktazilah yang paling banyak memberikan sumbangsih
dalam menyusun konstruksi pemikiran islam. Dengan paradigma yang
dipandang lebih rasional dibanding aliran lainya, muktazilah berani
menyandingkan rasio dengan wahyu dalam mempersoalkan masalah-
masalah teologis. Tradisi inilah yang kita sebut dengan berfilsafat sudah
berkembang dalam dunia ilmu keislaman.
Pada abad 9 M terjadi perubahan besar-besaran dalam dunia islam.
Kholifah daulah abasiah yaitu Al-Makmun saat itu memerintahkan
beberapa ulama untuk menterjemah teks-teks yunani kedalam bahasa Arab.
Masuknya buku-buku yunani ke dunia islam membuka paradigm baru.
Sebagaimana disampaikan zaprulkhan, “ kehadiran filsafat Yunani banyak
memotivasi pengembangan filsafat Islam walaupun hal ini tidak berarti
bahwa para pemikir Islam sepenuhnya mengikuti ide-ide orang Yunani.
Sebab sekiranya demikian, mereka akan menjadi pemikir-pemikir yang
miskin mengenai teori-teori pemikiran filosofis. Sebaliknya mereka
menerapkan pemikiran Yunani sebagai metodologi untuk menelaah subyek-
subyek keislaman, dan dalam tataran tertentu mereka mengembangkan pula
metodologi-metodologi baru sehingga membuahkan gagasan-gagasan
cemerlang yang belum pernah ada sebelum di negeri Yunani.2
Memasuki era globalisasi diawali dengan modernisasi segala aspek
keilmuan dan kehidupan. Situasi pada era modern sangat berbeda dengan
abad klasik. Mitologi yang sangat identic dengan abad klasik, pada abad
modern sudah mulai diabaikan. Kebenaran yang diterima dalam era ini
2
Ahmad Tafsir, 2010 “Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai
Capra”, Bandung, PT Remaja Rosda Karya:

2
adalah kebenaran yang bersifat rasionalis empiric. Perkembangan ilmu
pengetahuan pada era modern setelah tradisi keilmuan dalam dunia islam
mengalami kejumudan, maka baratlah yang pada giliranya mampu
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemampuan
pengembangan IPTEK ini diawali dengan perkembangan filsafat yang
merupakan embrio metodologi-metodologi ilmiyah yang dikaji dari kajian
epistemology fislafat.
Dalam upaya mengejar ketertinggalan keilmuan islam dari eskalasi
keilmuan di dunia barat, Amin Abdullah berpendapat bahwa untuk
pengembangan dan kajian keilmuan Islam kontemporer, kita tidak lagi bisa
berpaling dari dan meninggalkan filsafat. Tanpa sentuhan filsafat,
pemikiran dan kekuatan spiritual Islam akan sulit menjelaskan jati dirinya
dalam era global. Namun sekali lagi, apa yang dimaksud filsafat di sini
bukan sekedar uraian sejarah dan metafisikanya yang nota bene merupakan
“produk” pemikiran melankan lebih pada sebuah metodologi atau
epistemology.3

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Epistemologi Ilmu Keislman Burhani?
2. Apa Jenis-Jenis Epistemologi Ilmu Keislaman?
3. Bagaimana Konsep Epistemologi Burhani?

3
Khudori Sholeh, 2004, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Epistemologi Ilmu Keislaman


Diskursus mengenai epistemologi merupakan wacana yang menarik
untuk dibahas, karena epistemologi merupakan basis utama bagi
perkembangan ilmu pengetahuan. Metode, sistem dan model pemahaman
yang digunakan sangat menentukan produk dari sebuah pengetahuan.
Karena itu, problem rusaknya pemikiran, kerancuan dan keraguan dalam
memahami pengetahuan yang dialami oleh manusia umumnya, akibat dari
kekeliruan epistemologi.
Dalam pandangan al-Jabiri, keterbelakang umat Islam dalam ilmu
pengetahuan dan pemikiran hingga saat ini dipengaruhi model
epistemologi yang dikembangkan para ulama sejak periode kondifikasi
(‘asr tadwin) abad ke-2 H, dan puncaknya sekitar abad pertengahan oleh
beberapa tokoh penting, seperti al-Syafi’i (150 – 204 H / 767 – 819 M),
al-Asy’ari (260–324 H/873–935 M) dan al-Ghazali (450 – 505 H / 1058 –
1111 M). Ketiga tokoh tersebut telah memberi corak bagi pemikiran Islam
yang sangat bergantung pada dimensi teks, oleh karena itu dunia Arab-
Islam disebut sebagai peradaban teks.

Epistemologi merupakan cabang filsafat yang membicarakan


tentang asal muasal, sumber, metode, struktur dan validitas atau
kebenaran pengetahuan. Dalam kaitannya dengan ilmu, landasan
epistemologi mempertanyakan bagaimana proses diperolehnya ilmu
pengetahuan, bagaimana prosedurnya, hal-hal apa yang harus
diperhatikan agar mendapatkan pengetahuan yang benar, apa yang disebut
dengan kebenaran itu sendiri, apa kriterianya, dan cara atau tekniknya atau

4
sarana apa yang membantu dalam proses mendapatkan ilmu
pengetahuan.4
Landasan epistemologi ilmu tercermin secara operasional dalam
metode ilmiah. Pada dasarnya metode ilmiah merupakan cara ilmu
memperoleh dan menyusun tubuh pengetahuannya, berdasarkan; (a)
kerangka pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi yang bersifat
konsisten dengan pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun,
(b) menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka
pemikiran tersebut, (c) melakukan verifikasi terhadap hipotesis guna
menguji kebenaran pernyataannya secara factual.5
Secara singkat epistemologi dapat diartikan sebagai filsafat ilmu
pengetahuan, yakni filsafat mengenai cara mengetahui kebenaran. Cara
mengetahui kebenaran disini ada tiga macam. Pertama, adalah melalui
rasio. Cara mengetahui kebenaran melalui rasio inilah yang dianut oleh
aliran Rasionalisme atau kalau dalam filsafat kontemporer biasa disebut
dengan aliran idealisme. Aliran ini pada akhirnya membentuk nalar
bayani (tekstual). Kedua, adalah melalui intuisi. Cara ini dilakukan oleh
penganut aliran intuitisme yang mencari kebenaran melalui firasat dan
pada akhirnya membentuk nalar irfani. Kemudian, ketiga, adalah melalui
indera. Cara mengetahui kebenaran yang seperti ini dianut oleh paham
empirisme atau juga bisa disebut materialisme. Paham inilah yang pada
akhirnya membentuk nalar burhani. Dan dalam makalah ini penulis akan
lebih banyak membahas mengenai nalar burhani atau juga bisa disebut
epistemologi burhani.6
Al-Jabiri membedakan pemikiran yang berkembang di dunia
Islam menjadi Timur (Masyriq) dan Barat (Maghrib). Ia mengkritik

4
Dagobert D. Runes, Dictonary of Philosophy, New Jersey : Litlefield Adams & Co Ltd,
1963.

5
Muhammad Faisal, “Struktur Nalar Arab-Islam Menurut Abed al-Jabiri”, dalam Jurnal
Tsaqafah, vo.VI, No. 2, Oktober 2010.
6
Ibid Hal 202

5
model epistemologi yang berkembang di wilayah Arab-Islam (Timur)
yang bercorak bayani-irfani. Sedangkan, model epistemologi terbaik
menurutnya yaitu seperti yang pernah dikembangkan di
wilayah maghrib – secara khusus yang dimaksudkannya yaitu Maroko
dan Andalusia – yaitu model pengetahuan yang berpijak pada akal dan
empiris (burhani)
Selanjutnya al-Jabiri mengklaim bahwa kemajuan Barat dalam
ilmu pengetahuan dan pemikiran sejak renaissance hingga saat ini berkat
kontribusi dari model epistemologi burhani yang digagas oleh Ibnu
Rusyd dan beberapa ilmuan dan filosof Muslim maghrib abad
pertengahan. Beberapa pandangan di atas, pada akhirnya mengiring
al-Jabiri untuk mengagungkan epistemologi burhani sebagai solusi satu-
satunya yang mampu membangun kembali kemajuan tradisi Arab-Islam.
Jika dikaji maka akan didapati masalah mendasar dari pemikirannya. Hal
tersebut terbukti dari banyaknya kritikan atas tawaran model epistemologi
yang dibangun al-Jabiri7
Namun demikian, hal yang menarik pada al-Jabiri dibandingkan
dengan pemikir muslim kotemporer lainnya seperti Nasr Hamid Abu
Zaid, Muhammad Arkoun, Hassan Hanafi yaitu terletak pada model
analisisnya yang fokus pada bangunan epistemologi. Sedangkan tokoh
selainnya, hanya mengambil analisis dengan mencampurkan berbagai
metode kritik kotemporer.8

B. Epistemologi Islam
Secara umum, istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani
Kuno, dengan asal kata “episteme” yang berarti pengetahuan,
dan “logos” yang berarti teori. Secara etimologi, epistemologi berarti
teori pengetahuan. Epistemologi merupakan cabang filsafat yang
membahas atau mengkaji tentang asal, struktur, metode, serta keabsahan

7
Muhammad Abed al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, Beirut, Markaz ad-Dirasat
Wahdah al-‘Arabiyah, 2007.
8
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Sinar
Harapan, 1985.

6
pengetahuan. “Epistemology is the branch of philosophy which
investigates the origin, structure, method, and validity of knowledge”.9
Menurut Langeveld (1961), epistemologi membicarakan hakikat
pengetahuan, unsur-unsur dan susunan berbagai jenis pengetahuan,
pangkal tumpuannya yang fundamental, metode-metode dan batasan-
batasannya. Epistemologi membahas persoalan pengetahuan.
Mungkinkah pengetahuan diperoleh atau sebaliknya dan dapatkah kita
memiliki pengetahuan yang benar. Dengan kata lain, pengetahuan yang
kita peroleh merupakan pengetahuan yang nyata dan benar, bukan sebatas
khayalan atau angan-angan semata.10
Menurut al-Jabiri, epistemologi (an-nidham al-
ma’rifi), didefinisikan sebagai “kumpulan dari konsep, prinsip dan cara
kerja untuk mencari pengetahuan yang mengandung dimensi sejarah
dalam struktur tak sadar.” Ia membagi epistemologi menjadi tiga, bayani,
irfani dan burhani.11

C. Jenis Epistemologi Ilmu Keislaman


Manusia berusaha mencari pengetahuan dan kebenaran, yang dapat
diperolehnya melalui beberapa cara, sebagai berikut.
1. Pengetahuan wahyu (revealed knowledge)
Pengetahuan wahyu, dalam epistemologi Islam dikenal
dengan istilah epistemologi bayani. Secara sempit, pengetahuan
bayani ini adalah cara manusia memperoleh pengetahuan dan
kebenaran atas dasar wahyu Allah swt terhadap manusia.12
Bayani digunakan dalam kajian
kebahasaan, nahwu, balaghah, ushul fiqh (yurisprudensi Islam) dan
ilmu kalam. Epistemologi ini bersandar pada teks (al-Qur’an dan al-

9
Muhammad Faisal, “Struktur Nalar Arab-Islam Menurut Abed al-Jabiri”, dalam Jurnal
Tsaqafah, vo.VI, No. 2, Oktober 2010.
10
Ibid Hal 72
11
Muhammad Abed al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, Beirut, Markaz ad-Dirasat
Wahdah al-‘Arabiyah, 2007.
12
Muhammad Faisal, “Struktur Nalar Arab-Islam Menurut Abed al-Jabiri”, dalam Jurnal
Tsaqafah, vo.VI, No. 2, Oktober 2010.

7
Hadist), ijma’ dan ijtihad sebagai referensi dalam merekonstruksi
konsep dalam kehidupan untuk memperkokoh keyakinan Islam.
Dalam peradaban Arab-Islam, diskusi mengenai kajian-
kajian bayani dikelompokkan menjadi dua. Pertama, terkait dengan
aturan dalam menafsirkan wacana, dan kedua terkait dengan syarat
memproduksi wacana. Proses peletakan aturan-aturan penafsiran
wacana dalam bentuknya yang baku dan tidak dalam aspek
linguistiknya saja, dilakukan oleh al-Syafi’i (w. 204 H). Al-Jabiri
menempatkan al-Syafi’i sebagai perumus nalar Islam, karena
ditangannya hukum-hukum bahasa Arab dijadikan acuan untuk
menafsirkan teks suci, terutama hukum qiyas, dan dijadikan sebagai
salah satu sumber penalaran yang absah untuk memaknai persolan-
persolan agama dan kemasyarakatan. Maka berfikir atau bernalar,
menurutnya adalah berfikir dalam kerangka nash.
2. Pengetahuan intuitif (intuitive knowledge)
Pengetahuan intuitif ini sama halnya dengan epistemologi
irfani. Dimana pengetahuan ini diperoleh manusia dari dalam
dirinya sendiri, pada saat ia menghayati sesuatu. Epistemologi irfani
muncul secara tiba-tiba dalam kesadaran manusia. Mengenai proses
kerjanya, manusia kerap tidak menyadarinya. Pengetahuan ini
merupakan hasil penghayatan pribadi, hasil ekspresi dari keunikan
dan individualitas seseorang, sehingga validitas pengetahuan ini
sangat bersifat pribadi.
Epistemologi irfani disusun dan diterima dengan kekuatan
visi imaginatif dalam pengalaman pribadi seseorang. Kebenaran
yang tampak dalam karya seni merupakan bentuk pengetahuan
intuitif, seperti karya penulis besar Shakespeare, Mohammad Iqbal,
al-Ghazali, dan selainnya yang berbicara tentang kebenaran nurani
manusia merupakan hasil kerja intuisi.
3. Pengetahuan rasional (Rational Knowledge)
Pengetahuan rasional merupakan epistemologi burhani;
yakni pengetahuan yang diperoleh dengan latihan rasio atau akal

8
semata, tidak disertai dengan observasi terhadap peristiwa-peristiwa
faktual. Pembahasan lebih lanjut seputar epistemologi burhani, akan
diuraikan secara lebih meluas.13
Secara umum yang menjadi perbedaan antara epistemologi
burhani dengan yang lainnya adalah: dimana
epistemologi bayani merupakan sistem pengetahuan yang berpijak
pada teks (nash), irfani sebagai sistem pengetahuan melalui intuisi
atau dimensi bathin, sedangkan burhani lebih menekankan pada
potensi akal dan indera (demonstratif) dalam memahami
pengetahuan. Ketiga epistemologi tersebut berkembang dalam
realitas keilmuan Islam sebagai metode pengembangan
pengetahuan.14

D. Epistemologi Burhani
1. Pengertian Epistemologi Burhani
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa epistemologi
burhani merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan latihan rasio
atau akal semata. Prinsip pengetahuan rasional dapat diterapkan pada
pengalaman indera, tetapi tidak disimpulkan dari pengalaman indera15
Secara spesifik pengertian epistemologi burhani, dalam
bahasa Arab, berasal dari kata “al-burhan” yang berarti argumen (al-
hujjah) yang jelas (al-bayyinah). Dan distinc (al-fashl), dalam bahasa
Inggris adalah demonstration, yang mempunyai akar bahasa latin dari
kata demontratio (berarti memberi isyarat, sifat, keterangan, dan
penjelasan). Dalam perspektif logika (al-mantiq), burhani merupakan
aktivitas berfikir untuk menetapkan kebenaran melalui metode
penyimpulan (al-istintaj), dengan menghubungkan presmis tersebut

13
Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasr Paradigma dan Kerangka
Teori Ilmu Pengetahuan, cet. V, Yogyakarta, Penerbit Belukar, 2008.
14
Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode
Kritik, Jakarta: Erlangga, 2005.
15
Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasr Paradigma dan Kerangka
Teori Ilmu Pengetahuan, cet. V, Yogyakarta, Penerbit Belukar, 2008.

9
terhadap premis yang lain dan dibenarkan oleh nalar atau telah
terbukti kebenarannya. Sedang dalam pengertian
umum, burhani adalah aktivitas nalar yang menetapkan kebenaran
suatu premis.
Istilah burhani yang mempunyai akar pemikiran dalam filsafat
Aristoteles ini, digunakan oleh al-Jabiri sebagai sebutan terhadap
sebuah sistem pengetahuan (nidham ma’rifi) yang menggunakan
metode tersendiri dalam pemikiran dan memiliki pandangan dunia
tertentu, tanpa bersandar pada otoritas pengetahuan yang lain. Ia
bertumpu pada kekuatan natural manusia, yaitu pengalaman empiris
dan penilaian akal yang mengikat pada sebab akibat. Cara berfikir
seperti ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh logika Aristoteles
Nalar burhani masuk pertama kali ke dalam peradaban Arab-
Islam dibawa oleh al-Kindi (185-252 H) melalui sebuah tulisannya,
yaitu al-Falsafah al-Ula. Sebuah tulisan tentang filsafat yang didasari
oleh filsafat Aristoteles. Al-Kindi menghadiahkan tulisan ini kepada
khalifah al-Makmun (218 H-227 H). Di dalam al-Falsafah al-Ula, al-
Kindi menegasakan bahwa filsafat merupakan ilmu pengetahuan
manusia yang menempati posisi paling tinggi dan paling agung,
karena dengannya hakikat segala sesuatu dapat diketahui. Melalui
tulisan itu pula, al-Kindi menepis keraguan orang-orang yang selama
ini menolak keberadaan filsafat dan menyatakan bahwa filsafat adalah
jalan mengetahui kebenaran.16
Sebagaimana telah diuraikan di atas, Aristoteles merupakan
orang pertama yang membangun epistemologi burhani yang populer
dengan logika mantiq yang meliputi persoalan alam, manusia dan
Tuhan. Aristoteles sendiri menyebut logika itu dengan metode
analitik. Analisis ilmu atas prinsip dasarnya baik
proporsi amliyah (CategoricalProposition) maupun shar’iyah (Hypo

16
Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga
Metode Kritik, Jakarta: Erlangga, 2005.

10
thetical Proposition) pada hakikatnya adalah alat untuk mencapai
tujuan berupa aturan-aturan untuk menjaga kesalahan berpikir.
Wilayah yang menjadi obyeknya meliputi 10 persoalan substansi,
yang pertama dan yang sembilan adalah oksiden dengan segala
derivasinya; kuantitas (panjang), kualitas, hubungan (idafah), tempat
atau ruang, waktu, kepemilikan, fiil (pasi), infi’al (affectif) atau ilmu
pengetahuan.
Adapun kecakapan untuk berpikir lurus dalam penalaran
dibedakan menjadi dua kegiatan: analitika dan dialektika. Analitika
dipakai untuk menyebut cara penalaran dan argumentasi yang
berdasarkan pada pernyataan-pernyataan yang benar, akan
tetapi burhani adalah aktifitas berpikir secara mantiqi yang identik
dengan silogisme atau al-qiyas al–jami` yang tersusun dari beberapa
proposisi. Dengan demikian, burhani (al-qiyas al-‘ilmi) menekankan
tiga syarat, yaitu:

a. Pertama, mengetahui terma perantara yang ‘illah (causa) bagi


kesimpulan (ma’rifat al-hadd al-ausat wa al-natijah);
b. Kedua, keserasian hubungan relasional antara terma-terma dan
kesimpulan (tartib al-`alaqah bayn al-illah wa al-ma’lul), antara
terma perantara dan kesimpulan-kesimpulan sebagai sistematika
qiyas; dan
c. Ketiga, natijah (kesimpulan) harus muncul secara otomatis dan
tidak mungkin muncul kesimpulan yang lain. Qiyas ketiga ini yang
inheren dengan epistemologi burhani.

Dari uraian tersebut, jelas bahwa logika Aristoteles lebih


memperlihatkan nilai epistemologi dari pada logika formal. Demikian
pula halnya dengan diskursus filsafat kita dewasa ini yang melihat
persoalan alam (alam, Tuhan dan manusia) bukan lagi persoalan
proposisi metafisika karena epistemologi burhani dikedepankan
untuk menghasilkan pengetahuan yang valid dan konstruksi
pengetahuan yang meyakinkan tentang persoalan duniawi dan alam.
Dinamika kehidupan kontemporer dewasa ini dapat memilah masing-
masing pendekatan epistemologik: bayani dan `irfani karena masing-

11
masing memiliki tipikal satu sama lain, dan
epistemologi burhani berada pada posisi penyempurna keserasian
hubungan antara kedua epistemologi tersebut.
Antara epistemologi bayani dan `irfani, terkesan
berseberangan dalam menangkap wacana masing-masing karena
perbedaan episteme. Namun demikian, episteme keduanya masih
dibangun atas nilai al-Qur’an dan hadits. Meskipun epistemologi
Islam di satu pihak membahas masalah-masalah epistemologi pada
umumnya, tetapi di lain pihak, dalam arti khusus filsafat Islam juga
menyangkut pembicaraan mengenai wahyu dan ilham sebagai sumber
pengetahuan dalam Islam; wahyu sebagai sumber primer, sedangkan
ilham pengetahuan bagi epistemologi `irfani. Selanjutnya tingkat
epistemologi Islam antara lain:17
1. perenungan (contemplation) tentang sunnatullah sebagaimana
dianjurkan di dalam al-Qur’an al-Karim
2. penginderaan (sensation)
3. persepsi (perception)
4. penyajian (representation)
5. konsep (concept);
6. pertimbangan (judgement

7. penalaran (reasoning).
Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa epistemologi burhani
dapat dipandang dari dua sisi, yaitu: sebagai aktivitas pengetahuan
dan sebagai diskursus pengetahuan.
1. Epistemologi burhani sebagai aktivitas pengetahuan.
Burhani adalah episteme yang beragumentasi secara deduktif.
2. Epistemologi burhani sebagai diskursus pengetahuan.
Burhani merupakan dunia pengetahuan falsafah yang masuk ke
budaya Arab Islam melalui terjemahan dari karya-karya Aristoteles.

17
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta : Bumi Aksara,
2010.

12
Para pemikir muslim yang menerapkan episteme burhani di antaranya
seperti, Ibn Rusyd, al-Syatibi, dan Ibn Khaldun. Ibn Rusyd berusaha
menerapkan dasar-dasar episteme burhani dengan cara membela
argumen secara kausalitas, yakni proses penelusuran terhadap akibat-
akibat sesuatu ke sebab-sebabnya sebelum menuju ke sebab
utamanya, yakni Allah swt. Usaha Ibn Rusyd tersebut kemudian
dilanjutkan oleh al-Syatibi dalam disiplin ilmu ushul fiqh. Beliau
mengemukakan bahwa disiplin ushul fiqh didasarkan pada prinsip
“kulliyyah al-syar’iyah” (ajaran-ajaran universal dari agama) dan
pada prinsip “al-maqasid al-syar’i” yang befungsi sebagai pembentuk
unsur-unsur penalaran burhani. Sedangkan Ibn Khaldun
menerapkan episteme burhani yang dituangkan dalam karyanya
berjudul “al-Muqaddimah”. Pada awalnya, Ibn Khaldun menjelaskan
riwayat hidup para pendahulu, kemudian menganalisis satu peristiwa
ke peristiwa berikutnya dalam setiap babnya kemudian menarik
kesimpulan dan pelajaran dari setiap kasus dan peristiwa itu. Jika
dilihat, dalam kitab “al-Muqaddimah” tersebut, Ibn Khaldun ingin
menunjukkan pengetahuan tentang bagaimana negara-negara dari
awal terbentuknya hingga proses kejatuhannya. Hal ini menunjukkan
bahwa Ibn Khaldun berusaha menjadikan sejarah sebagai ilmu
Burhani. Sejarah yang ditulisnya adalah sejarah ilmiah yang
berintikan “penelitian, penyelidikan, dan analisis yang mendalam
akan sebab-sebab dan latar belakang terjadinya sesuatu. Selain itu
sejarah juga berintikan pengetahuan yang akurat tentang asal usul,
perkembangan serta riwayat hidup dan matinya kisah peradaban
manusia”.18

18
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, Kuala
Lumpur, ISTAC, 2001.

13
2. Karakteristik dan Unsur-unsur Pokok Epistemologi Burhani
Dalam memandang proses keilmuan, kaum burhaniyun bertolak
dari cara pikir filsafat dimana hakikat sebenarnya adalah universal.
Hal ini akan menempatkan “makna” dari realitas pada posisi otoritatif,
sedangkan ”bahasa” yang bersifat partikular hanya sebagai penegasan
atau ekspresinya. Hal ini tampak sejalan dengan penjelasan al-Farabi
bahwa “makna” datang lebih dahulu daripada “kata”, sebab makna
datang dari sebuah pengkonpsesian intelektual yang berada dalam
tataran pemikiran atau rasio yang diaktualisasikan dalam kata-kata.
Al-Farabi memberikan pengandaian bahwa seandainya konsepsi
intelektual itu letaknya dalam kata-kata itu sendiri, maka yang lahir
selanjutnya bukanlah makna-makna dan pemikiran-pemikiran baru
tetapi kata-kata yang baru.19
Oleh karena itu, ilmu burhani berpola dari nalar burhani dan
nalar burhani bermula dari proses abstraksi yang bersifat akali
terhadap realitas sehingga muncul makna, sedang makna sendiri butuh
aktualisasi sebagai upaya untuk bisa dipahami dan dimengerti,
sehingga disinilah ditempatkan kata-kata; dengan redaksi lain, kata-
kata adalah sebagai alat komunikasi dan sarana berpikir disamping
sebagai simbol pernyataan makna.20.
Secara struktural, proses yang dimaksud di atas terdiri dari tiga
21
hal. pertama proses eksperimentasi yakni pengamatan terhadap
realitas; kedua proses abstraksi, yakni terjadinya gambaran atas
realitas tersebut dalam pikiran; ketiga, ekspresi yaitu mengungkapkan
realitas dalam kata-kata. Berkaitan dengan cara ketiga untuk
mendapatkan ilmu burhani di atas, pembahasan tentang silogisme
demonstratif atau qiyas burhani menjadi sangat signifikan. Silogisme
berasal dari bahasa Yunani, yaitu sullogismos yang merupakan

19
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, Kuala Lumpur,
ISTAC, 2001.
20
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta : Bumi Aksara,
2010.
21
Uyoh Saduloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung : Alfabeta, 2009.

14
bentukan dari kata sullegin yang artinya mengumpulkan, yang
menunjukkan pada kelompok, penghitungan dan penarikan
kesimpulan. Kata tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Arab
menjadi qiyas atau tepatnya adalah qiyas jama’i yang karakternya
mengumpulkan dua proposisi-proposisi (qadliyah) yang kemudian
disebut premis, kemudian dirumuskan hubungannya dengan
bantuan terminus medius atau term tengah atau menuju kepada sebuah
konklusi yang meyakinkan. Metode ini paling populer di kalangan
filsuf Peripatetik. Sementara Ibn Rusyd mendefinisikan demonstrasi
dengan ketentuan dari satu argument yang konsisten, tidak diragukan
lagi kebenarannya yang diperoleh dari premis yang pasti sehingga
kesimpulan yang akan diperoleh juga pasti, sementara bentuk dari
argument harus diliputi oleh fakta akali. Jadi silogisme demonstratif
atau qiyas burhani yang dimaksud adalah silogisme yang premis-
premisnya terbentuk dari konsep-konsep yang benar, yang
meyakinkan, sesuai dengan realitas (bukan nash) dan diterima oleh
akal. Aplikasi dari pembentukan silogisme ini harus melewati tiga
tahap, yaitu: tahap pengertian (ma’qulat), tahap pernyataan
(ibarat) dan tahap penalaran (tahlilat).22
Tahapan pengertian merupakan proses awal yang letaknya
dalam pikiran sehingga di sinilah sebenarnya terjadi pengabstraksian,
yaitu merupakan aktivitas berpikir atas realitas hasil pengalaman,
pengindraan, dan penalaran untuk mendapatkan suatu gambaran.
Sebagaimana Aristoteles, pengertian ini selalu merujuk kepada
sepuluh kategori yaitu: satu substansi (jauhar) yang menopang
berdirinya sembilan aksidensi (‘ard) yang meliputi kuantitas, kualitas,
aksi, pasi, relasi, tempat, waktu, sikap dan keadaan
Tahapan pernyataan adalah dalam rangka mengekspresikan
pengertian tersebut dalam kalimat yang disebut proposisi

22Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga


Metode Kritik, Jakarta: Erlangga, 2005.

15
(qadliyah). Dalam proposisi ini harus memuat unsur subyek
(maudlu’) dan predikat (muhmal) serta adanya relasi antara keduanya,
yang darinya harus hanya mempunyai satu pengertian dan
mengandung kebenaran yaitu adanya kesesuaian dengan realitas dan
tiada keragu-raguan dan persangkaan.
Untuk memperoleh sebuah pengertian dan tidak didasari
keraguan atau persangkaan, maka pembuatan pernyataan harus
mempertimbangan al-alfadz al-khamsah yang ada
dalam isagoge Aristoteles atau yang biasa disebut dengan lima konsep
universal yang terdiri dari jenis (genus) yakni konsep universal yang
mengandung suatu pengertian yang masing-masing sama
hakikatnya, nau’ (spises) yaitu konsep universal yang mengandung
satu pengertian tetapi masing-masing hakikatnya berbeda, fasl
(differentia) yaitu sifat yang membedakan secara mutlak, khas
(propirum) atau sifat khusus yang dimiliki oleh suatu benda tetapi
hilangnya sifat ini tidak akan menghilangkan eksistensi benda tersebut
dan ard (aksidensi) atau sifat khusus yang tidak bisa diterapkan pada
semua benda.
Mengikuti Aristoteles, al-Jabiri dalam hal ini menegaskan
bahwa setiap yang burhani pasti silogisme, tetapi belum tentu yang
silogisme itu Tahapan penalaran; ini dilakukan dengan perangkat
silogisme. Sebuah silogisme harus terdiri dari dua proposisi (al-
muqaddimatani) yang kemudian disebut premis mayor (al-hadd al-
akbar) untuk premis yang pertama dan premis minor (al-hadd al-
ashghar) untuk premis yang kedua, yang kedua-duanya saling
berhubungan dan darinya ditarik kesimpulan logis.23
burhani. Silogisme yang burhani (silogisme
demonstrative atau qiyah burhani) selalu bertujuan untuk
mendapatkan pengetahuan, bukan untuk tujuan tertentu seperti yang

23
Dagobert D. Runes, Dictonary of Philosophy, New Jersey : Litlefield Adams &
Co Ltd, 1963.

16
dilakukan oleh kaum sufistaiyah (sophis). Silogisme (al-qiyas) dapat
disebut sebagai burhani, jika memenuhi tiga
syarat: pertama, mengetahui sebab yang menjadi alasan dalam
penyusunan premis; kedua, adanya hubungan yang logis antara sebab
dan kesimpulan; dan ketiga, kesimpulan yang dihasilkan harus
bersifat pasti (dharuriyyah), sehingga tidak ada kesimpulan lain selain
itu. Syarat pertama dan kedua adalah yang terkait dengan silogisme
(al-qiyas). Sedang syarat ketiga merupakan karakteristik
silogisme burhani, dimana kesimpulan (natijah) bersifat pasti,
yang tak mungkin menimbulkan kebenaran atau kepastian yang lain.
Hal ini dapat terjadi, jika premis-premis tersebut benar dan
kebenarannya telah terbukti lebih dulu ketimbang kesimpulannya,
tanpa adanya premis penengah (al-hadd al-awsath).24
Dalam perspektif tiga teori kebenaran, maka kebenaran yang
dihasilkan oleh pola pikir burhani tampak ada kedekatannya dengan
teori kebenaran koherensi atau konsistensi. Dalam burhani menuntut
penalaran yang sistematis, logis, saling berhubungan dan konsisten
antara premis-premisnya, juga secara benar koheren dengan
pengalaman yang ada, begitu pula tesis kebenaran konsistensi atau
koherensi. Kebenaran tidak akan terbentuk atas hubungan antara
keputusan dengan sesuatu yang lain, tetapi atas hubungan antara
keputusan-keputusan itu sendiri. Dengan kata lain, kebenaran
ditegakkan atas dasar hubungan antara keputusan baru dengan
keputusan lain yang telah ada dan diakui kebenarannya serta
kepastiannya sehingga kebenaran identik dengan konsistensi,
kecocokan dan saling berhubungan secara sistematis. Berikut unsur-
unsur pokok epistemologi Islam.25

24
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Sinar
Harapan, 1985.
25
Muhammad Abed al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, Beirut, Markaz ad-Dirasat
Wahdah al-‘Arabiyah, 2007.

17
Struktur fundamental Epistemologi burhani
1. Origin (sumber) Nash/ Teks/ Wahyu (Otoritas Teks) al-
Akhbar, al-Ijma’ (Otoritas Salaf) Al-’Ilm al-
Tauqifi

2. Methode (proses dan prosedur) Ijtihadiyyah Istinbathiyyah/ Istintajiyyah/


Istidlaliyyah/ qiyasQiyas (Qiyas al-ghahib ‘ala
al-syahid)

3. Approach Lughawiyyah (bahasa), Dalalah Lughawiyyah


4. Theoretical Framework al-Ashl-al-far’, Istinbathiyyah (pola pikir
deduktif yang berpangkal pada teks), Qiyas al-
Ilah (Fi-kih), Qiyas al-dalalah (ka-lam), al-
Lafdz-al-Makna, ‘Am-khash, Mustarak,
Haqiqah, Majaz, Muhkam, Mufassar, Zahir,
Khafi, Musykil, Muj-mal, Mutasyabih
5. Fungsi dan Peran Akal Akal sebagai pengekang / pengatur hawa nafsu
(lihat Lisan al-‘Arab Ibn Man-dzur), Justifikasi-
Repeetitif-Taqlidi (pengukuh kebenaran/ otoritas
teks), Al-‘Aql al-Diniy
6. Type of Argument Dialektik (Jadaliyyah); al-‘Uqul al Mtanafisah
Defensif – Apologetik – Polemik – Dogmatik
Pengaruh pola Logika Stonic (bukan logika
Aristoteles)
7. Tolok Ukur Validitas Keilmuan Keserupaan/ kedekatan antara teks (nash)
dengan realitas
8. Prinsip-Prinsip Dasar Infishal (discontinue) = Atomistik
Tajwiz (keserbabolehan) = tidak ada hukum
kausalitas, Muqarabah (kedekatan, keserupaan),
Analogi deduktif; Qiyas

18
9. Kelompok Ilmu-ilmu Pendukung Kalam (Teologi), Fiqih (Jurisprudensi) Fuqaha;
Ushuliyyun, Nahwu (Grammar); Balaghah26

Selanjutnya secara singkat, tokoh-tokoh dunia Islam yang telah


menerapkan epistemologi burhani, adalah
1. Ibnu Rusyd (kalam dan filsafat). Ibnu Rusyd berusaha menerapkannya
dengan jalan/cara membela argument secara kausalitas. Ia menolak
pandangan asy’ariyah tentang prinsip tajwiz (keserbabolehan) karena
dianggap mengingkari hukum kausalitas, sama saja meruntuhkan
bangunan burhani pada ilmu-ilmu alam termasuk metafisika atau ilmu
ketuhanan secara burhani yang dibangun atas dasar proses
penelusuran terhadap sebab-akibat sesuatu sebelum menuju kepada
keputusan akhir; Allah swt.
2. Al-Syatibi (ushul fiqh). Al-Syatibi mengemukakan bahwa usul fiqh
didasarkan pada prinsip kulliyyah al-syari’ah (ajaran universal
agama), dan prinsip al–maqasid al–Syari’, serupa dengan sebab akhir
sebagai pembentuk unsur penalaran burhani.
3. Ibn Khaldun (sejarah ilmiah). Sejarah ilmiah disini terdapat:
penelitian, penyelidikan, dan analisis yang mendalam akan sebab dan
latar belakang terjadinya sesuatu, selain itu mengandung asal-usul,
perkembangan, riwayat hidup dan matinya kisah peradaban manusia.

26 http://kanal3.wordpress.com/2010/05/13/filsafat-ilmuberkenalan-dengan epistemology-
islam/

19
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Epistemologi Burhani adalah aktifitas intelektual untuk
membuktikan kebenaran suatu proposisi (qadhiyyah) melalui pendekatan
penarikan kesimpulan (istintaj). Atau dengan kata lain, burhani adalah
penalaran akal dengan memanfaatkan kaidah-kaidah logika. Pada
perjalanan berikutnya, epistemologi ini hanya merujuk pada silogisme (al–
Qiyas) atau lebih menonjolkan qiyas. Sehingga dalam tradisi nalar Arab-
Islam, sebagaimana kritikan salah seorang tokoh Islam, epistemologi ini
lebih akrab dengan masalah-masalah hukum Islam (masail fiqhiyah) dari
pada problematika-problematika kemanusiaan yang perlu dihindari sejak
dari penyebabnya.burhani, dalam tataran praktis lebih menonjolkan qiyas
guna menyelesaikan masalah-masalah fikih saja.
B. Saran-saran
Penulis sadari, bahwa penulisan makalah ini masih sangat banyak
kekurangan dalam segi apapun, penulis berharap, bagi para pembaca sudi
kiranya memberikan masukan, arahan serta keritikan yang membangun
demi untuk memperbaiki penulisan makalah selanjutnya. Apabila ada
kebaikan, semata –mata hanya dari allah subhanahu wa ta’ala, dan tentunya
banyak sekali kekurangan, semata-mata dari kekurangan literasi penulis.

20
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu; Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi


Pengetahuan, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2004.

Dagobert D. Runes, Dictonary of Philosophy, New Jersey : Litlefield Adams & Co


Ltd, 1963.

Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Sinar


Harapan, 1985.

Muhammad Abed al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, Beirut, Markaz ad-Dirasat


Wahdah al-‘Arabiyah, 2007.

Muhammad Faisal, “Struktur Nalar Arab-Islam Menurut Abed al-Jabiri”,


dalam Jurnal Tsaqafah, vo.VI, No. 2, Oktober 2010.
Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasr Paradigma dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, cet. V, Yogyakarta, Penerbit Belukar,
2008.

Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga


Metode Kritik, Jakarta: Erlangga, 2005.

Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta : Bumi Aksara,


2010.

———–, Ilmu Fisafat Suatu Pengantar, Jakarta : Bumi Aksara, 2007.

Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, Kuala Lumpur,
ISTAC, 2001.

Uyoh Saduloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung : Alfabeta, 2009.


Yadi Purwanto, Epistemologi Psikologi Islami; Dialektika Pendahuluan Psikologi
Barat dan Psikologi Islami, Bandung: Refika Aditama, 2007.

http://kanal3.wordpress.com/2010/05/13/filsafat-ilmuberkenalan-dengan
epistemology-islam/

[1]
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Sinar
Harapan, 1985, hlm. 34-35
[2]
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta : Bumi
Aksara, 2010, hlm. 151-152

21
[3]
Muhammad Abed al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, Beirut, Markaz ad-Dirasat
Wahdah al-‘Arabiyah, 2007, bagian ketiga, hlm. 383-377
[4]
Kritikan-kritikan tersebut datang dari pemikir Arab kotemporer seperti George
Tarabisyi, Thaha Abdurrahman, Ali Harb hingga Hassan Hanafi.
[5]
Dagobert D. Runes, Dictonary of Philosophy, New Jersey : Litlefield Adams &
Co Ltd, 1963, hlm. 94
[6]
Uyoh Saduloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung : Alfabeta, 2009 , hlm.
30
[7]
Muhammad Abed al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql …, hlm. 37
[8]
Uyoh Sadulloh, Pengantar …, hlm. 30
[9]
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, Kuala
Lumpur, ISTAC, 2001, hlm. 51
[10]
Sebagaimana Imam Al-Ghazali yang meyakini bahwa ma’rifah sebagai
pengetahuan yang tertinggi.
[12]
Era dimana pemikiran filsafat hanya dimiliki orang-orang Yunani, yaitu sejak
abad ke-6 atau ke-5 sebelum Masehi sampai akhir abad ke-4 sebelum
Masehi. Lihat, http://www.benmath.co.cc/ 2010/12/filsafat-helenisme-
neoplatonisme.html.
[13]
Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasr Paradigma dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, cet. V, Yogyakarta, Penerbit Belukar,
2008, hlm. 182
[14]
Uyoh Sadulloh, Pengantar …, hlm. 31-32
[15]
Muhammad Abed al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql.., hlm. 416-417
[16]
http://kanal3.wordpress.com/2010/05/13/filsafat-ilmuberkenalan-dengan-
epistemology-islam/
[17]
http://kanal3.wordpress.com/2010/05/13/filsafat-ilmuberkenalan-dengan-
epistemology-islam/

22

Anda mungkin juga menyukai