Anda di halaman 1dari 191

Amirulloh, M.

Ag
Sejarah mencatat, konflik begitu rentan terjadi di indonesia.
Perbedaan agama, suku, budaya, bahasa, bahkan perbedaan politik ANALISIS PENGEMBANGAN
berpotensi menimbukkan konflik. Konflik jika dikelola dengan baik
justru sebuah anugerah dari Tuhan yang luar biasa, sebab sesungguhnya KOMPETENSI PENYULUH AGAMA
Tuhan menciptakan keberagaman bukan untuk saling bermusuhan tapi
untuk saling berpegang tangan dan mengambil hikmah dari segala PADA DITJEN BIMAS ISLAM
bentuk perbedaan. Keberagaman agama adalah salah satu pemicu KEMENTERIAN AGAMA

KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA DALAM MEMELIHARA KERUKUNAN UMAT BERAGAMA


ANALISIS PENGEMBANGAN KOMPETENSI PENYULUH AGAMA PADA DITJEN BIMAS ISLAM
konflik yang sering terjadi di negeri ini. Peranan penyuluh agama
sebagai pemuka agama dan membimbing masyarakat dengan bahasa REPUBLIK INDONESIA
agama harusnya juga bisa meredakan serta mencegah konflik yang
terjadi di dalam masyarakat yang dibimbingnya. Namun dalam proses DALAM MEMELIHARA
perkembangannya penyuluh agama belum mampu secara maksimal
meredakan dan mencegah terjadinya konflik di tengah-tengah
KERUKUNAN
masyarakat, untuk itu perlu adanya pengembangan kompetensi
penyuluh agama untuk memaksimalkan lagi kinerja penyuluh agama
UMAT BERAGAMA
terutama dalam menangani konflik, hal ini lah yang melatarbelakangi
penelitian ini.
Penelitian ini pada dasarnya bertujuan untuk menjelaskan peran
dan kompetensi penyuluh agama Islam dalam memelihara kerukunan Amirulloh, M.Ag
dan menjaga perdamaian antar umat beragama serta menjelaskan upaya
penyuluh agama Islam menjalankan fungsinya dalam menghadapi
konflik yang terjadi. Penelitian ini ingin menganalisa bagaimana
kompetensi penyuluh agama dengan menggunakan metode
kepustakaan, melalui arsip-arsip tentang penyeluh agama yang terdapat
di Kementrian Agama diketahui bahwa kinerja penyuluh agama
belumlah maksimal serta harus ada regulasi tentang peningkatan
kompetensi penyuluh serta kebijakan spesifikasi penyuluh agar mereka
lebih konsentrasi dan kompeten dalam mengemban tugasnya terlebih-
lebih dalam hal yang berkiatan dengan pencegahan konflik. Pencegahan
konflik melalui tangan penyuluh agama dapat dilakukan dengan
membentuk penyuluh kerukunan. Penelitian ini kemudian menawarkan
gagasan terbentuknya penyuluh kerukunan pada setiap desa melalui
kebijakan ditjen bimas islam kementerian agama RI. Gagasan penyuluh
kerukunan ini artinya negara memiliki "tentara-tentara" perdamaian
yang tugasnya bersama-sama seluruh ISBN 978 602 7775 63 3
elemen masyarakat menjaga
keharmonisan dan mengembangkan
kerukunan umat beragama.
9 786027 775633
ANALISIS PENGEMBANGAN
KOMPETENSI PENYULUH AGAMA PADA
DITJEN BIMAS ISLAM KEMENTERIAN
AGAMA REPUBLIK INDONESIA DALAM
MEMELIHARA KERUKUNAN UMAT
BERAGAMA

Amirulloh, M.Ag

Penerbit YPM
2016

i
Judul buku :
ANALISIS PENGEMBANGAN KOMPETENSI PENYULUH
AGAMA PADA DITJEN BIMAS ISLAM KEMENTERIAN
AGAMA REPUBLIK INDONESIA DALAM MEMELIHARA
KERUKUNAN UMAT BERAGAMA

Penulis
Amirulloh, M.Ag

Layout
Juna Excel

ISBN 978-602-7775-63-3
viii+ 182 hlm .; ukuran buku 20,5 x 14,5 cm

© Hak Cipta Amirulloh, M.Ag, Oktober 2016


Hak penerbitan dimiliki Young Progressive Muslim.
Dilarang mengkopi sebagian atau seluruh isi buku ini
dengan cara apapun, termasuk dengan cara
penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit.

Young Progressive Muslim


Jl. Talas II Pondok Cabe Ilir
Pamulang Rt.05 Rw.01
Tangerang Selatan 15418

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Ilâhi Rabb al-‘Izzah


yang senantiasa memberikan kekuatan dan
kenikmatan konsistensi sehingga penulis mampu
menyelsaikan penulisan tesis selama satu tahun
lebih. Tentunya tidak mudah bagi penulis untuk
tesis ini menimbang berbagai kesibukan sebagai
PNS pada Direktorat Penerangan Agama Islam
Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama RI.
Oleh sebab itu tanpa karunia-Nya tesis ini tidak
akan pernah selesai.
Dalam penyusunannya kemampuan
intelektual yang dimiliki tidaklah cukup terlebih
kemampuan penulis sangatlah minim. Oleh
sebab itu kepada Prof. Dr. H. M. Ridwan
Lubis, MA, saya ucapkan banyak terima kasih
atas waktu dan kesediannya membimbing proses
penulisan tesis yang saya anggap sulit ini.
Selanjutnya rasa terima kasih pula kepada Ibu
Dr. Atiyatul Ulya, MA selaku Ketua Pogram
Pasca Sarjana Fakultas Ushuluddin dan Maulana,
MA selaku sekretaris Program Pasca Sarjana.
Kepada kolega dan sahabat saya angkatan
2012 Program Pasca Sarjana Fakultas
Ushuluddin; Ahmad Baiquni, Helrahmi Yusman,

iii
Dwinta Nurlita, Zaenal Muttaqin, Bang Rizal,
Teguh Arafah, Ali Topan, Ustad Albar, Fudhail,
Pak Untung Afandi, Rizqa, dan Nurlaila, saya
ucapkan terima kasih karena terus memberikan
motivasi agar menyelsaikan tesis ini. Khususnya
kepada Baiquni, Helrahmi Yusman, Tegus
Arafah dan Ali Topan yang bersedia membantu,
berdiskusi hingga larut pagi. Tak lupa kepada
sahabat-sahabat di kantor, Pak Dasma, Pak
Lukman, Faiz Fayadl, Ibu Sri Waluyani,
Nasrullah, Jaja Zarkasih, Edi Junaidi, dan
seluruh keluarga besar Direktorat Penerangan
Agama Islam Ditjen Bimas Islam Kementerian
Agama RI.
The last but not the least, tak lupa saya
pun ucapkan banyak terima kasih kepada orang
tua, istri dan anak saya yang dengan tanpa lelah
membantu secara moril dan materil untuk
menyelesaikan penulisan tesis ini. Semoga
engkau berdua berada dalam naungan dan inayah
Allâh swt.

Penulis

Amirulloh, M.Ag

iv
DAFTAS ISI

KATA PENGANTAR...................................................iii
DAFTAR ISI...................................................................v

BAB I - PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.......................................1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................10
C. Tujuan Penelitian................................................10
D. Tinjauan Pustaka................................................10
E. Metodologi Penelitian........................................12
F. Sistematika Penulisan ........................................13

BAB II - TUGAS POKOK PENYULUH AGAMA


ISLAM DI INDONESIA
A. Pengertian Penyuluh Agama Islam....................17
B. Sejarah Penyuluh Agama Islam..........................18
C. Kompetensi SDM Penyuluh Agama..................28
D. Tugas dan Fungsi Penyuluh Agama Islam.........38
E. Sasaran Penyuluh Agama Islam.........................40
F. Persyaratan Menjadi Penyuluh Agama..............51
G. Kelebihan dan Kekurangan Penyuluh Agama
sekarang..............................................................52

BAB III - REGULASI NEGARA TERHADAP


PERLINDUNGAN UMAT BERAGAMA
A. Kerukunan dan Perlindungan Terhadap Umat
Beragama............................................................57
1. Definisi Kerukunan......................................65
2. Trilogi Kerukunan ........................................70

v
B. Regulasi Kerukunan Umat Beragama ................73
1. Undang-Undang PNPS No. 1 Tahun 1965
Tentang tentang Pencegahan Penyalahgunaan
dan atau Penodaan Agama............................73
2. Surat Keputusan Bersama (SKB) No. 1 Tahun
1969 Tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur
Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban
dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan
dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-
pemeluknya...................................................77
3. Peraturan Bersama Menteri (PBM) No. 9 dan
8 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan
Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat
Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan
Umat Beragama (FKUB), dan Pendirian
Rumah Ibadat................................................85
4. SKB Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri
Dalam Negeri No: 03 Tahun 2008 tentang
Masalah JAI.........................................................92
5. Peraturan Pemerintah No 55 Tahun 2007 tentang
Pendidikan Agama dan Pendidikan
Keagamaan..........................................................95

BAB IV - PERAN PENYULUH AGAMA ISLAM


DALAM MENCEGAH KONFLIK ATAS NAMA
AGAMA DI INDONESIA
A. Konflik Agama di Indonesia............................101
B. Peran Penyuluh Agama Islam dalam Penangan
Konflik..............................................................107

vi
C. Kebijakan Bimas Islam dalam Penangan Konflik
Umat Beragama................................................126
D. Analisa Kompetensi Penyuluh Agama.............135
E. Gagasan Kompetensi Penyuluh Kerukunan.....157
F. Format Ideal Penyuluh Agama Islam ..............167

BAB V – PENUTUP
A. Kesimpulan.......................................................171
B. Saran.................................................................173

DAFTAR PUSTAKA.................................................175

vii
viii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Keberagaman dalam bumi yang satu merupakan
sebuah sunnatullah yang tak bisa dihindari.1 Dengan
kemejemukan tersebut, sulit rasanya untuk menghindari
konflik. Perbedaan suku, ras, agama, budaya pada dasarnya
memiliki potensi tinggi untuk terjadinya konflik.
Konflik2 bernuansa keagamaan merupakan
dinamika dalam kehidupan masyarakat. Konflik jika
dikelola secara baik, ia akan kearah positif, sebaliknya jika
konflik tak dikelola dengan baik, ia akan menimbulkan
petaka dan kekacauan yang berujung kepada kekerasan.3
Keberagaman masyarakat adalah salah satu ciri
utama dari masyarakat multikultural, yaitu sebuah konsep
yang menunjuk kepada suatu masyarakat yang
mengedepankan pluralisme budaya, budaya memiliki
pengertian yang merujuk kepada seluruh aspek simbolik
yang terdapat dalam masyarakat. Kemajemukan yang ada
di Indonesia dapat dilihat dari berbagai segi, dari segi etnis

1
Abdul Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama;
Membangun Toleransi Berbasis Al-Quran (Jakarta; KataKita, 2009)
2
Konflik adalah unsur terpenting dalam kehidupan manusia.
Karena konflik memiliki fungsi positif (Simmel, 1918, Coser, 1957),
konflik menjadi dinamika sejarah manusia (Mark 1880: Ibnu Khaldun,
1332-1406), Konflik menjadi entitas hubungan social
(Weber1918/1947; Dehrenrort,1959), dan konflik adalah bagian proses
pemenuhan kebutuhan dasar menusia (maslow, 1954; Neef, 1987;
Burton 1990; Rosenberg,2003). Lihat di buku Resolusi Konflik
Keagamaan di Berbagai Daerah (Jakarta; Puslitbang Kemenag 2014),
3
Resolusi Konflik Keagamaan di Berbagai Daerah (Jakarta:
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI, 2014)

1
2

misalnya terdapat berbagai suku di Indonesia ada suku


Melayu ada suku Malanesia yang kemudian membentuk
seratus suku besar dan seribu suku-suku derivativ besar dan
kecil. Dari segi bahasa terdapat ratusan bahasa yang
digunakan diseluruh Nusantara. Dari segi agama terdapat
sejumlah agama besar dunia dan sejumlah kepercayaan
lokal yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara.4
Keberagaman agama yang berpotensi menjadi konflik
agama merupakan tantangan bagi bangsa Indonesia untuk
mengelolanya agar kerukunan, hidup yang damai
diupayakan bersama secara sinergi saling bahu membahu
mengisi serta mempercepat kemajuan dan kesejahteraan
bangsa.
Kebijakan Negara Kesatuan Republik Indonesia
terhadap keberagaman dari segi agama tertuang dalam pasal
29 UU 45 dan pasal 28 E dan 28 I UUD 45 hasil
amandemen. Indonesia merupakan bangsa yang percaya
Kepada Tuhan YME yang merupakan inti dari segala
agama, dan menghormati kebebasan setiap warga Negara
untuk memeluk salah satu agama dan beribadat menurut
agama dan kepercayaannya itu, kebebasan beragama ini di
jamin oleh Negara.
Penyuluh agama merupakan salah satu dari dua
jabatan fungsional berada di Kementerian Agama.5

4
M. Atho Mudzar, Merayakan Kebhinekaan Membagun
Kerukunan (Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI: Jakarta,
2013) h. 1-2
5
Sampai saat ini menteri Penertiban Aparatur Negara telah
menetapkan sebanyak 115 jabatan fungsional di lingkungan PNS. Dari
115 jabatan fungsional tersebut hanya dua jabatan yang di bina oleh
Kementerian Agama yaitu Penyuluh Agama dan Penghulu. Lihat buku
Mencari Format Ideal Pemberdayaan Penyuluh Agama dalam
Peningkatan Pelayanan Keagamaan (Jakarta; Puslitbang Kehidupan
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, 2014).
3

Penyuluh Agama adalah ujung tombak pemerintah dalam


menyampaikan pesan-pesan agama maupun pesan-pesan
program pemerintah.
Peran penyuluh agama dalam masyarakat
sesungguhnya sangatlah penting. Sebagaimana diketahui
bahwa sebagian masyarakat Indonesia masih memandang
pentingnya sosok ideal sebagai figur atau patron dalam
kehidupannya. Penyuluh agama memilik potensi untuk
didudukan sebagai figur atau tokoh yang dianggap memiliki
banyak pengetahuan keagamaan. Mengacu kepada
pendapat Antoni Giddens tentang teori strukturisasi,
eksistensi penyuluh agama dapat dilihat sebagai agen yang
dapat membentuk struktur dalam masyarakat. Kita dapat
melihat aktifitas para penyuluh agama sebagai praktik atau
tindakan manusia yang berulang-ulang. Artinya aktifitas itu
bukanlah dihasilkan sekali jadi oleh penyuluh agama
sebagai aktor sosial, tetapi secara berkelanjutan mereka
ciptakan ulang melalui cara, dan dengan cara itu meraka
menyatakan diri mereka sebagai aktor.6
Dengan menggunakan teori Giddens, dapat dilihat
bahwa penyuluh agama sebagai agen akan merasionalkan
tindakan mereka dalam arti mengembangkan kebiasaan
sehari-hari yang tak hanya memberikan perasaan aman
kepada actor, tetapi juga memungkinkan mereka
menghadapi kehidupan social mereka secara efisien. Untuk
menumbuhkan motivasi dan melakukan tindakan-tindakan
tersebut, penyuluh agama memerlukan seperangkat aturan-
aturan yang akan menjadi panduan dalam melakukan
tindakan untuk meningkatkan kapasitas formal sebagai

6
Kustini, ed., Mencari Format Ideal Pemberdayaan Penyuluh
Agama dalam Peningkatan Pelayanan Keagamaan, (Jakarta; Puslitbang
Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, 2014).
4

penyuluh agama. Penyuluh agama harus mengikuti system


dalam arti aturan yang ada dalam struktur sebagai sesuatu
yang memiliki kekuatan memaksa.
Keputusan Menteri Negara Koordinator Bidang
Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur
Negara Nomor 54/KEP/MK.WASPAN/9/1999 tentang
jabatan fungsional penyuluh agama dan angka kreditnya
adalah acuan dasar bagi pernyuluh agama.
Dalam keputusan bersama Menteri Agama RI dan
Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 574 tahun 1999
dan nomor 178 tahun 1999 tentang jabatan fungsional
penyuluh agama dan angka kreditnya, keputusan bersama
menteri agama RI dan kepala badan kepegawaian Negara
nomor 574 tahun 1999, ada tiga fungsi penyuluh agama
yaitu:
1. Fungsi informatif dan edukatif; penyuluh agama
memposisikan sebagai juru dakwah yang
berkewajiban mendakwahkan ajaran agamanya,
menyampaikan penerangan agama dan mendidik
masyarakat dengan sebaik-baiknya sesuai ajaran
agama
2. Fungsi Konsultatif: penyuluh agama
menyediakan dirinya untuk turut memikirkan dan
memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi
masyarakat, baik secara pribadi, keluarga
maupun sebagai masyarakat umum.
3. Fungsi administratif: penyuluh agama memiliki
tugas untuk merencanakan, melaporkan dan
mengevaluasi pelaksanaan penyuluhan dan
bimbingan yang telah dilakukannya.
Dengan melihat regulasi di atas, penyuluh agama
sebagai komunikator dan motivator dalam masyarakat yang
tentu saja secara teoritik tidak terlepas dari konsep-konsep
5

komunikasi. Regulasi tersebut juga secara integral dan ideal


akan menumbuhkan kemampuan professional penyuluh
agama, sehingga komunikasi akan mencapai tujuan. Dalam
konsep psikologi komunikasi, proses komunikasi akan
sukses apabila berhasil menunjukan source credibility atau
menjadi sumber kepercayaan bagi komunikan.
Dari data Kementerian PPN/ Bappenas tahun 2016
jumlah penyuluh PNS dan Non PNS dalam table sebagai
berikut:7

No Penyuluh Status Jumlah


Agama PNS Non PNS
(Honorer)
1 Islam 4.676 75.313 79.989
2 Kristen 264 3.577 3.841
3 Katolik 242 4.000 4.242
4 Hindu 154 2.800 2.954
5 Budhha 49 1.534 1.583
Jumlah 5.367 87.324 92.026

7
Hadiat, “Peningkatan Peran Penyuluh Agama yang Berkualitas
Dalam Pembangunan Nasional”, Makalah, Jakarta 19 Februari 2016.
6
7

Dari tabel diatas terlihat jumlah yang cukup banyak


penyuluh agama PNS dan Non PNS yang tersebar di
seluruh wilayah di Nusantara, mereka mengemban tugas
sebagai ujung tombak dalam menyampaikan pesan agama
dan pesan pemerintah.
Peran para penyuluh sangat penting dalam
menyelesaikan konflik antar ataupun internal umat
beragama karena terciptanya kerukunan merupakan amanah
Pancasila dan Undang-undang Republik Indonesia tahun
1945. Pemeliharaan kerukunan bukan hanya tangung jawab
dari penyuluh, tetapi menjadi tangung jawab bersama
masyarakat, pemerintah daerah dan permerintah pusat.
Masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai elemen
suku, budaya dan agama menjadi salah satu pemicu
terjadinya konflik. Dilihat dari segi entnis, misalnya ada
suku Melayu dan suku Melanesia yang kemudian
membentuk seratus suku besar dan 1.072 suku-suku
derivatif besar dan kecil. Dari segi Bahasa, bangsa ini
memiliki puluhan bahkan ratusan bahasa. Dilihat dari
agama terdapat sejumlah agama besar dunia dan sejumlah
aliran kepercayaan lokal yang terdapat di seluruh pelusok
nusantara dengan mempunyai ciri khas masing-masing baik
itu berupa sumber daya manusia dan sumber daya ajaran
ataupun ideologi.8
Keberagaman yang ada di Indonesia meniscayakan
terjadinya konflik yang dilatarbelakangi oleh keberagaman
tersebut terutama dalam masalah keberagaman agama.
Agama sebagai sebuah kebenaran mutlak bagi para
pemeluknya terlepas dari bagaimana ajaran agama tersebut
memandang konflik dan perdamaian. Pembenaran tersebut
8
M. Atho Mudzhar, Merayakan Kebhinekaan Membangun
Kerukunan, (Jakarta, Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI
2013), h. 1
8

pasti akan menyebabkan klaim kebenaran bagi pemeluk


masing-masing agama, yang pada akhirnya menimbulkan
gesekan-gesekan yang tak terhindarkan bagi antar pemeluk
agama.
M. Atho Mudzhar mengatakan bahwa terjadinya
konflik pada masa modern khususnya dalam konteks
Indonesia bukan hanya terjadi antara komunitas yang
memeluk agama berbeda, akan tetapi seringkali juga terjadi
antar dua komunitas yang memeluk agama yang sama. Hal
ini terjadi di bawah payung pemurnian agama atau
pembersihan agama dari upaya atau ajaran sempalan
(heresy)9, salah satu contoh kongkrit konflik yang
disebabkan oleh agama adalah kasus Ahmadiyah yang
terjadi di Tasikmalaya Jawa Barat.
Konflik dan kekerasan berbasis agama di Jawa
Barat berulang kali terjadi. Misalnya saja kasus
penyerangan terhadap Jemaah Ahmadiyah di Kampung
Babakan Sindang, Desa Cipakat, Kecamatan Singaparna
dan Kampung Wanasigra, Desa Tenjowaringin, Kecamatan
Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Jika ditelusuri lagi
konflik Ahmadiyah di Tasikmalaya ini dilatarbelakangi
oleh persoalan-persoalan yang sangat kompleks, padahal
Ahmadi (sebutan untuk warga Ahmadiyah) di Tasikmalaya
sudah bergaul dengan masyarakat di Jawa Barat kurang
lebih selama 60 tahun semenjak 195010. Jauh-jauh hari
sebelum adanya konflik Ahmadiyah yang berujung
kekerasan ini pemerintah telah melakukan pencegahan
dengan mengeluarkan SKB (Surat Keputusan Bersama)

9
M. Atho Mudzhar, Merayakan Kebhinekaan Membangun
Kerukunan, h. 45
10
Ahmad Syafi’i Mufid (Ed.) Kasus-kasus Aktual Kehidupan
Keagamaan di Indonesia, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan,
2014) hal. 54
9

yang ditandatangani oleh Menteri Agama, Jaksa Agung dan


Menteri Dalam Negeri No 3 Tahun 2008. Dalam SKB
tersebut dijelaskan bahwa warga Ahmadiyah dilarang
menyebarkan ajaran-ajaran yang menyimpang dari pokok-
pokok ajaran Islam, sementara warga masyarakat dilarang
melakukan tindakan yang melawan hukum terhadap
penganut Ahmadiyah.11 Sekalipun sudah ada pencegahan
dengan adanya SKB tersebut, tetap saja gesekan-gesekan
yang berujung kekerasan terjadi di wilayah ini.
Penyuluh agama seharusnya mempunyai andil
dalam menciptakan perdamaian, sebagaimana yang telah
dijelaskan diatas tentang fungsi penyuluh agama. Penyuluh
agama menyediakan dirinya untuk turut memikirkan dan
memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi
masyarakat, baik secara pribadi, keluarga maupun sebagai
masyarakat umum, serta fungsi fungsi lainnya. Jika
difungsikan dengan benar seharusnya penyuluh agama bisa
mengendalikan, mencegah konflik dan mengupayakan
perdamaian antar umat beragama.
Penyuluh Agama yang tersebar di Indonesia
seharusnya bisa mengupayakan perdamaian dan mencegah
konflik-konflik yang berbasis agama. Namun kenyataanya
masih banyak konflik yang berujung kekerasan. Hal ini lah
yang akhirnya melatarbelakangi penulis melakukan
penelitian dengan judul Analisis Pengembangan
Kompetensi Penyuluh Agama Islam Pada Ditjen Bimas
Islam Kementerian Agama Republik Indonesia Dalam
Memelihara Kerukunan Umat Beragama.

11
Ahmad Syafi’i Mufid (Ed.) Kasus-kasus Aktual Kehidupan
Keagamaan di Indonesia, hal. 54
10

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah


Mengingat luasnya permasalahan yang terkait
dengan penelitian ini, maka penulis memfokuskan
penelitian ini hanya pada Penyuluh Agama Islam Pegawai
Negeri Sipil (PNS) di bawah Ditjen Bimas Islam
Kementerian RI. Penyuluh Agama Islam tersebar di seluruh
Indonesia, sebagaimana telah dijelaskan terdahulu sebanyak
4.313 orang.
Berdasarkan batasan masalah di atas, maka
penelitian ini diarahkan untuk menjawab pertanyaan:
Pertama: bagaimana peran dan kompetensi
penyuluh agama Islam dalam memeliharakerukunan umat
beragama?
Kedua: Apa upaya yang dilakukan Ditjen Bimas
Islam dalam membekali Penyuluh Agama dalam
memelihara kerukunan umat beragama?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini berdasarkan rumusan
masalah di atas sebagai berikut. Pertama, menjelaskan
peran dan kompetensi Penyuluh Agama Islam dalam
memelihara kerukunan dan menjaga perdamaian antar umat
beragama. Kedua, menjelaskan upaya Penyuluh Agama
Islam menjalankan fungsinya dalam menghadapi konflik
yang terjadi dan menjelaskan kompetensi Penyuluh Agama
Islam.
Secara akademik, penelitian ini menjadi sumbangan
bagi pemikiran tentang kerukunan umat beragama,
khusunya di Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga dapat
menjadi masukan bagi Kementerian Agama RI untuk
memformulasikan kebijakan terkait kerukunan beragama.
D. Tinjauan Pustaka
Kajian mengenai upaya memelihara kerukunan
umat beragama bukan sesuatu hal yang baru, terdapat
11

banyak kajian terdahulu yang berkaitan dengan kerukunan,


diantaranya adalah Resolusi Konflik Keagamaan di
Berbagai Daerah (Editor: Haidlor Ali) yang diterbitkan
oleh Kementrian Agama RI tahun 2014, Memelihara
Harmoni dari Bawah: Peran Kelompok Keagamaan dalam
Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama (Editor: Bashori
A. Hakim) yang diterbitkan oleh Kementrian Agama Ri
tahun 2014, Pelangi Agama di Ufuk Indonesia: Fakta dan
Cerita Kerukunan Beragama (Editor: Wawan Djunaedi &
Ida Ahdiah) yang diterbitkan oleh Kementrian Agama RI
tahun 2014, M. Atho Mudzhar dengan tulisannya yang
berjudul Merayakan Kebhinekaan Membangun Kerukunan
(2013), Bahrul Hidayat dengan bukunya yang berjudul
Mengelola Kemajemukan Umat Beragama (2012) dan
banyak buku-buku lainnya yang membahas tema yang
terkait dengan kerukunan.
Sedangkan kajian terdahulu yang terkait dengan
tema penyuluh agama juga bukanlah kajian baru,
sebelumnya sudah terdapat banyak penelitian yang terkait
dengan tema ini, misalnya saja Mencari Format Ideal
Pemberdayaan Penyuluh Agama dalam Peningkatan
Pelayanan Keagamaan (Editor: Kustini) yang diterbitkan
oleh Kementrian Agama RI tahun 2014, Pencegahan
Penyalahgunaan Narkoba Berbasis Penyuluh Agama
Islam(2011) dan masih banyak penelitian-penelitian lainnya
yang terkait dengan tema penyuluh. Kemudian yang
menjadi titik beda antara penelitian ini dengan penelitian
yang terdahulu adalah bahwa kerukunan umat beragama
dalam penelitian ini diupayakan terwujud melalui
penyuluh-penyuluh agama serta mengkaji kompetensi
Penyuluh Agam Islam, oleh sebab itu penelitian ini menjadi
penelitian yang baru dan berbeda dari penelitian-penelitian
sebelumnya.
12

E. Metodologi Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode
penelitian kualitatif. Sesuai dengan judul tesis yaitu
Analisis Pengembangan Kompetensi Penyuluh Agama
Islam Pada Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama
Republik Indonesia Dalam Memelihara Kerukunan Umat
Beragama maka penelitian ini dimaksudkan menjelaskan
peran Penyuluh Agama Islam dalam menciptakan dan
memelihara kerukunan umat beragama. Sumber data
penelitian ini adalah studi kepustakaan, dokumen terkait,
serta wawancara dengan Penyuluh Agama Islam. Adapun
teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan
antara lain dengan:
a. Studi Pustaka. teknik ini dilakukan dengan
pengumpulan data serta analisa-analisa bacaan
yang memiliki hubungan dan kaitan dengan pokok
pembahasan penulis, dengan tujuan memperoleh
data-data primer dan sekunder.Adapun sumber-
sumber bacaan meliputi buku-buku tentang
perbandingan agama, kerukunan umat beragama,
dan regulasi yang mengaturnya.
b. Dokumentasi. Data-data seperti rekaman, foto dan
catatan penulis akan sangat membantu dalam
proses penelitian ini. Oleh karenanya, penulis turut
menggunakan teknik dokumentasi dalam
12
penelitian ini.
Untuk menganalisa data yang penulis kumpulkan,
penulis menggunakan teknik analisa data berlangsung dan
mengalir (flow model analisis). Merujuk pada paparan
Mukhtar, untuk menggunakan teori analisis ini, penulis
12
Natasha Mack. dkk, Qualitative Reserch Methods: A Data
Celloctor Field Guide, (California: Family Health International, 2005),
h. 29
13

melakukan empat tahapan, yakni: pengumpulan data,


reduksi data, display data dan verifikasi atau menarik
kesimpulan.
a. Pengumpulan data,yaitu data-data yang penulis
kumpulkan selama penelitian ini. Data-data
tersebut diperoleh dari studi pustaka, wawancara
dan studi dokumentasi.
b. Reduksi data yaitu meringkas data-data yang
penulis kumpulkan agar menjadi lebih fokus dan
tajam, atau narrow and dept.
c. Display data yaitu menyusun berbagai informasi
secara sistematis.
d. Verifikasi atau menarik kesimpulan, yaitu hasil
akhir dari analisis data-data yang penulis
kumpulkan dalam penelitian ini.13
Sedangkan teknik penulisannya dan transliterasi
sepenuhnya menggunakan buku Pedoman Akademik
Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2013.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mepermudahkan dan memperoleh gambaran
yang utuh, penulis akan mengulas dan memaparkan tesis ini
dengan sistematika dibawah ini:
Pada bab pertama akan membahas tentang
pendahuluan yang didalamnya terdapat latar belakang
masalah, latar belakang masalah ini adalah penjelasan yang
utuh terhadap hal-hal yang melatarbelakangi penelitian ini.
Selanjutnya identifikasi masalah, yang di dalamnya
terdapat pertanyaan-pertanyaan yang menjadi kajian
penelitian ini, sedangkan perumusan dan batasan masalah
13
Mukhtar, Bimbingan Skripsi, Tesis dan Artikel Ilmiah: Panduan
Berbasis Penelitian Kualitatif Lapangan dan Perpustakaan, (Ciputat,
Gaung Persada Press, 2009), h. 141
14

adalah batasan masalah yang menjadi fokus penelitian.


Kemudian dalam pendahuluan ini disebutkan tujuan dan
manfaat penelitian dimana keduanya berisi tentang tujuan
dan hasil yang dicapai oleh penelitian ini. Selanjutnya
metodologi penelitian dicantumkan sebagai acuan bagi
penulis dalam melakukan penelitian. Terakhir dalam
pendahuluan penelitian ini dijelaskan sistematika penulisan
yang berisi tentang gambaran singkat tentang apa saja yang
akan dibahas dalam penelitian “Analisis Pengembangan
Kompetensi Penyuluh Agama Islam Pada Ditjen Bimas
Islam Kementerian Agama Republik Indonesia Dalam
Memelihara Kerukunan Umat Beragama”.
Bab II berisi tentang tugas pokok penyuluh Agama
Islam di Indonesia yang meliputi: Pengertian penyuluh
agama, Kompetensi SDM Penyuluh Agama Islam, Tugas,
Fungsi serta sasaran penyuluh agama, Data dan Potensi
Penyuluh Agama Islam di Indoensia dan menjelaskan
potensi penyuluh dakwah dan kerukunan. Dalam bab ini
juga dijelaskan tentang kualifikasi atau syarat-syarat yang
harus dipenuhi menjadi Penyuluh Agama serta kekurangan
dan kelebihan Penyuluh Agama sekarang sebagai bahan
pertimbangan dan evaluasi dalam analisis kompetensi
Penyuluh Agama.
Bab III berisi tentang kerukunan dan perlindungan
terhadap umat beragama. Selain itu juga dipaparkan
Regulasi kerukunan umat beragama, dengan menguraikan:
pertama, Undang-Undang PNPS No. 1 Tahun 1965
Tentang tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau
Penodaan Agama. Kedua, Surat Keputusan Bersama (SKB)
No. 1 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur
Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran
Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh
Pemeluk-pemeluknya. Ketiga, Peraturan Bersama Menteri
15

(PBM) No. 9 dan 8 Tahun 2006 Tentang Pedoman


Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama,
Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama
(FKUB), dan Pendirian Rumah Ibadat.
Bab IV akan dipaparkan tentang konflik bernuansa
agama yang terjadi di Indonesia. Selanjutnya disinggung
peran Penyuluh Agama Islam dalam penangan konflik yang
menurut penulis masih belum maksimal. Dalam bab ini
juga dipaparkan tentang kebijakan Bimas Islam dalam
penangan konflik umat beragama. Dan bab ini diakhiri
dengan format ideal Penyuluh Agama Islam serta draft
kompetensi penyuluh kerukunan.
Bab V berisi berisi kesimpulan, penutup, saran dan
rekomendasi penelitian ini.
16
BAB II
TUGAS POKOK PENYULUH AGAMA ISLAM DI
INDONESIA

A. Pengertian Penyuluh
Secara bahasa kata penyuluh berasal dari kata
“suluh” yang berarti barang yang dipakai untuk menerangi
(biasa dibuat dari daun kelapa yang kering atau damar)
“obor”.1 Dalam pengertian umum penyuluhan adalah salah
satu bagian dari ilmu sosial yang mempelajari sistem dan
proses perubahan pada individu serta masyarakat agar dapat
terwujud perubahan yang lebih baik sesuai dengan yang
diharapkan (Setiana. L. 2005). Penyuluhan juga dapat
dipandang sebagai suatu bentuk pendidikan untuk orang
dewasa.Dalam bukunya A.W. Van Den Ban dkk.(1999)
dituliskan bahwa penyuluhan merupakan keterlibatan
seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara
sadar dengan tujuan membantu sesamanya memberikan
pendapat sehingga bisa membuat keputusan yang benar2.
Dengan penyuluhan diharapkan terjadi peningkatan
pengetahuan, keterampilan dan sikap.Pengetahuan
dikatakan meningkat bila terjadi perubahan dari tidak tahu
menjadi tahu dan yang sudah tahu menjadi lebih
tahu.Keterampilan dikatakan meningkat bila terjadi
perubahan dari yang tidak mampu menjadi mampu
melakukan suatu pekerjaan yang bermanfaat. Sikap
dikatakan meningkat, bila terjadi perubahan dari yang tidak
mau menjadi mau memanfaatkan kesempatan-kesempatan
yang diciptakan. (Ibrahim, et.al, 2003:1-2).

1
Lihat: Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia ,
(Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama) h. 719
2
Kementrian Agama RI, Naskah Akademik Bagi Penyuluh
Agama (Puslitbang Kehidupan Keagamaan: Jakarta, 2015) h.7

17
18

Sedangkan pengertian penyuluhan merujuk


kepada Undang-undang No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem
Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan ( SP3K)
adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku
usaha agar mau dan mampu menolong dan
mengorganisasikan dalam mengakses informasi informasi
pasar, teknologi, permodalan dan sumber daya lainnya
sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi
usaha, pendapatan dan kesejahteraannya serta
meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi
lingkungan hidup.3
Sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri
Agama RI nomor 79 Tahun 1985 dan Keputusan Menteri
Agama RI Nomor 164 Tahun 1996 Penyuluh Agama adalah
pembimbing umat beragama dalam rangka pembinaan
mental, moral dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Penyuluh agama Islam adalah pembimbing umat Islam
dalam rangka pembinaan mental, moral, dan ketaqwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa dan memberikan pengertian
dan penjabaran tentang segala aspek pembangunan melalui
bahasa agama.4

B. Sejarah Penyuluh Agama Islam


Penyuluh Agama di Indonesia dalam perkembangan
sejarahnya, pertama kali dilaksanakan oleh para Pemuka
agama yaitu ulama, muballigh, ustadz dan kiyai yang
menyampaikan langsung ceramah agama kepada

3
Kementrian Agama RI, Naskah Akademik Bagi Penyuluh
Agamah. 8
4
Hilmi M, Oprasional Penyuluh Agama, (Jakarta: Departemen
Agama, 1997), h. 7
19

masyarakat5. Sebelum Indonesia merdeka, penyuluhan


tentang keagamaan bisa dikatakan sebagai sebuah gerakan
tersembunyi, pernyataan ini didasarkan kepada kenyataan
bahwa para ulama atau pemuka agama pada masa ini
dianggap sebagai ancaman besar oleh para penjajah, karena
disamping berdakwah tentang ajaran agama mereka juga
ikut memotivasi jemaahnya untuk merebut kemerdekaan
Indonesia.
Dalam perkembangan sejarah, sejak zaman revolusi
fisik, para pemuka agama khusunya ulama menfatwakan
wajib hukumnya berjuang dalam merebut kemerdekaan
dengan jalan apapaun. Pemuka agama selalu di depan
memimpin barisan, berjuang berserta rakyat melawan
penjajah. Sampai akhirnya bersama kekuatan lain mencapai
kemerdekaan, serta mempertahankan kemerdekaan menjadi
negara yang merdeka dan berdaulat.6
Kegiatan dakwah penyuluhan agama dilakukan
melalui pengajian, tabligh, dakwah baik di rumah-rumah,
musholla/langgar/surau, mesjid maupun tempat-tempat
lainnya. Kegiatan lainnya dilakukan dalam bentuk
pesantren maupun sekolah madrasah (sekarang lebih
dikenal dengan Taman Pendidikan Al-quran (TPA) atau
sekolah Madrasah Diniyah (MDA)). Ditempat-tempat
seperti ini lah berbagai ilmu pengetahuan agama Islam
disampaikan oleh para pemuka agama, selain itu mereka
juga menyampaikan masalah kemasyarakatan dan
memberikan bimbingan dalam kehidupan sehari-hari secara

5
Direktorat Penerangan Agama Islam Subdit Bimbingan dan
Penyuluhan Agama Islam, Penyuluh Agama Islam dari Masa ke Masa,
h. 2
6
Direktorat Penerangan Agama Islam Subdit Bimbingan dan
Penyuluhan Agama Islam, Penyuluh Agama Islam dari Masa ke Masa,
h. 2
20

langsung. Kegiatan ini sudah lama berlangsung, dimulai


sejak awal masuknya Islam di Indonesia.7
Pemuka agama selaku pembimbing masyarakat
tentunya mempunyai pengaruh yang kuat dalam
masyarakat, selain sebagai tauladan umat, mereka juga
dijadikan barometer, sehingga arahannya menjadi pijakan
hukum yang mengikat di masyarakat.8
Dalam masa kemerdekaan usaha bimbingan
masyarakat terus dilakukan, baik berupa bimbingan
keagamaan maupun bimbingan dalam bidang
kemasyarakatan dalam rangka membangun bangsa yang
sejahtera, pada masa ini penyuluh agama Islam bekerja
ikhlas tanpa pamrih.
Pada tahun 1961, di masa orde lama para penyuluh
agama Islam diangkat dengan Putusan Menteri Agama
tertanggal 18 Juni 1961 No.K/1/9395, menjadi Guru Agama
Honorer (GAH), bekerja memberikan penyuluhan, selain
masyarakat juga di panti-panti Sosial serta lembaga
pemasyarakatan hingga tahun 1985.9
Pada masa selanjutnya, dengan dikeluarkannya
Keputusan Menteri agama Republik Indonesia nomor 79
tahun 1985 bahwa pemuka agama Islam yangmemberikan
bimbingan kepada masyarakat diangkat oleh pemerintah
(negara) sebagai penyuluh agama honorer (PAH), kepada
mereka diberikan uang ikatan silaturahmi, berupa
honorarium Penyuluh Agama Muda Rp. 8000,- (delapan

7
Hilmi M, Oprasional Penyuluh Agama, h. 20
8
Hilmi M, Oprasional Penyuluh Agama, h. 25
9
Hilmi M, Oprasional Penyuluh Agama, h. 30
21

ribu Rupiah) dan utama Rp 12.000,- perbulan perorang,


ditambah transport Rp 8.000,-/bulan/orang.10
Mulai saat itu tugas penyuluh agama Islam adalah
melaksanakan bimbingan penerangan serta pengarahan
kepada masyarakat dalam bidang keagamaan maupun
kemasyarakatan. Tujuannya agar masyarakat mengerti akan
ajaran agama Islam dan kemudian mendrong untuk
melaksanakan dengan sebaik-baiknya.11 Peranan bimbingan
agama Islam pada masyarakat ini kemudian berkembang
tidak hanya di lingkungan masyarakat, tetapi lebih luas
meliputi kelompok-kelompok lain seperti karyawan
pemerintah dan swasta, masyarakat transmigrasi, lembaga
pemasyarakatan, generasi muda, pramuka, masyarakat
industri, kelompok profesi, masyarakat kampus (akademis),
kelompok perhotelan, masyarakat komplek perumahan
(asrama, perumahan umum, khusus, real estate, apartemen
dll), inrehabilitasi/pondok sosial, kelompok masyarakat
khusus, masyarakat pasar tradisional dan modern.12
Program penyuluh agama Islam kemudian sangat
digalakkan pasca terjadinya gerakan 30 September 1966
yang dikenal dengan G.30 S/PKI, karena program
penyuluhan ini lebih memberikan nilai ketahanan mental
dan ketakwaan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa
baik bagi anggota masyarakat maupun segenap aparatur

10
Direktorat Penerangan Agama Islam Subdit Bimbingan dan
Penyuluhan Agama Islam, Penyuluh Agama Islam dari Masa ke Masa,
h. 2
11
Direktorat Penerangan Agama Islam Subdit Bimbingan dan
Penyuluhan Agama Islam, Penyuluh Agama Islam dari Masa ke Masa,
h. 2-3
12
Direktorat Penerangan Agama Islam Subdit Bimbingan dan
Penyuluhan Agama Islam, Penyuluh Agama Islam dari Masa ke Masa,
h. 3
22

negara yang beragama Islam.13Ada dua sasaran penyuluh


yang sangat strategis pada masa ini, diantaranya ialah:
1. Memberikan kesadaran kepada masyarakat bahwa
ajaran komunisme yang atheis tidak cocok untuk
hidup di bumi Indonesia.
2. Bahwa jiwa Pancasila yang hidup dalam kalbu
bangsa dan rakyat Indonesia, yang mayoritas
beragama Islam hampir 97 persen saat itu, harus
diperkuat melalui ketahanan mental rohaniyahnya
dengan taqwa kepada Allah SWT, Tuhan yang
Maha Esa.14
Kegiatan penyuluh agama Islam ini, makin tumbuh
subur dalam masyarakat dan kelembagaan negara, sehingga
timbul badan-badan atau Organisasi Pembina Rohani Islam,
baik secara struktur resmi maupun tidak resmi, yang
kemudian dikenal dengan Bimbingan Rohani Islam;
Babinrohis/Bintal/Rawatan Rohani Islam dan lainnya.
Dan kemudian dalam rangka penguatan penyuluh
agama Islam, maka disempurnakan melalui Surat
Keputusan Menteri Agama dengan KMA, nomor 64 Tahun
1996 tanggal 26 April 1996. Pada masa pembangunan (orde
baru) peran penyuluh agama sangat penting, mengingat
beberapa hal pokok diuraikan sebagai berikut:
1. Pembangunan memerlukan partisipasi masyarakat
dan umat beragama perlu dimotivasi untuk berperan
secara aktif menyukseskan pembangunan.

13
Direktorat Penerangan Agama Islam Subdit Bimbingan dan
Penyuluhan Agama Islam, Penyuluh Agama Islam dari Masa ke Masa,
h. 3
14
Direktorat Penerangan Agama Islam Subdit Bimbingan dan
Penyuluhan Agama Islam, Penyuluh Agama Islam dari Masa ke Masa,
h. 4
23

2. Umat beragama merupakan salah satu modal dasar


pembangunan, oleh karena itu perlu dimanfaatkan
seefektif mungkin sebagai pelaku dan pelaksana
pembangunan.
3. Agama merupakan motivator pembangunan, oleh
karena itu ajaran agama harus dapat menggugah dan
merangsang umatnya untuk berbuat dan beramal
shaleh, guna tercapainya kesejahteraan jasmani dan
rohani.
4. Media penyuluhan agama Islam, merupakan sarana
dan modal melaksanakan peningkatan, partisipasi
masyarakat dalam pembangunan, sebagai pendorong
alat utamannya adalah ajaran agama yang
memotivasi masyarakat untuk berlomba dalam
beramal shaleh, membangun bangsa dan negara
republik Indonesia.15
Selanjutnya dalam keputusan Menteri Agama nomor
164 tahun 1996 tanggal 26 april 1996, penyuluh agama
dibagi dalam 3 (tiga) Klasifikasi:
1. Penyuluh Agama Muda
Penyuluh Agama ini di SK kan langsung
oleh Kanwil ,bertugas di pedesaan
(kelurahan/kecamatan), yang meliputi masyarakat
transmigrasi, masyarakat terasing, kelompok
pemuda/remaja (karang taruna) dengan batas
wilayah kabupaten.
2. Penyuluh Agama Madya
Penyuluh Agama ini di SK kan langsung
oleh Kanwil, bertugas dilingkungan perkotaan yang
meliputi kelompok pemuda/remaja (karang taruna),
15
Direktorat Penerangan Agama Islam Subdit Bimbingan dan
Penyuluhan Agama Islam, Penyuluh Agama Islam dari Masa ke Masa,
h. 4
24

masyarakat industri, kelompok profesi, daerah


rawan, lembaga pemasyarakatan, rehabilitasi sosial,
instansi pemerintah dan swasta serta kelompok
masyarakat lainnya, dilingkungan kabupaten/kota
dan ibukota provinsi.
3. Penyuluh agama Utama
Penyuluh Agama ini di SK kan langsung
oleh Dirjen Bimas, bertugas dilingkungan para
pejabat instansi, pemerintah maupun swasta,
kelompok profesi dan kelompok ahli dalam berbagai
bidang, wilayah kerja se-indonesia.
Pengklasifikasian PAI berdasarkan tingkatan jabatan
ini saja pada dasarnya belum cukup memaksimalkan
kenerja PAI di tengah beragamnya bentuk penyuluhan
agama yang dibutuhkan masyarakat, untuk itu perlu
diadakan juga pengklasifikasian PAI berdasarkan
spesialisasi, misalnya PAI spesialisasi bidang Narkoba, PAI
spesialisasi bidang Keluarga Sakinah, PAI spesialisasi
bidang kerukunan dan bidang-bidang lainnya.
Pengklasifikasian berbasis spesialisasi ini diharapkan bisa
membantu kefektifan dan memaksimalkan kinerja PAI
kedepannya.
Honorarium penyuluh agama:
1. Penyuluh Agama Muda sebesar Rp 40.000,-
./bulan/orang
2. Penyuluh Agama Madya sebesar Rp 50.000,-
./bulan/orang
3. Penyuluh Agama Utama sebesar Rp 60.000,-
./bulan/orang
25

Besarnya biaya transport sama sebesar Rp. 200.000,-


/bulan/orang.16
Pada era reformasi diterbitkan surat keputusan
menteri agama (KMA) republik Indonesia nomor 123 tahun
2008, tanggal 15 September 2008, yang merubah pasal 10
(masalah honorarium dan Transport) dari KMA nomor 164
tahun 1996, menjadi sama semua tingkatan Muda, Madya
dan Utama mendapat uang lelah sebesar Rp 100.000,-
(seratus ribu rupiah) perbulan perorang.
Selanjutnya diubah dengan Peraturan Menteri
Agama (PMA) yang baru nomor 150 tahun 2011 tanggal 5
september 2011, sama hanya merubah honorarium pasal 10
dari KMA no. 164 tahun 1996 menjadi sama semua
tingkatan Muda, Madya dan Utama sebesar Rp 10.000,0
/blan/orang.
Sedangkan untuk penyuluh Agama PNS, mulai
digagas sejak tahun 1990, melalui Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji yang
sekarang adalah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam, Direktorat Penerangan Agama Islam berkat
keberhasilan pelaksanaan Opresional Penyuluh Agama,
berupaya keras guna mewujudkan jabatan fungsional
penyuluh agama mencapai hasilnya, dengan terbitnya
berbagai keputusan yang menyangkut jabatan fungsional
penyuluh agama yaitu:
1. Kepres No. 87 tahun 1999, tanggal 30 juni 1999,
tentang daftar Rumpun Jabatan Fusngsional dan
Penjelasannya.

16
Direktorat Penerangan Agama Islam Subdit Bimbingan dan
Penyuluhan Agama Islam, Penyuluh Agama Islam dari Masa ke Masa,
h. 5
26

2. Keputusan Menko Wasbang, pan no.


54/kep/MK.WASPAN/09/1999, tanggal 30
September 1999. Tentang petunjuk pelaksanaan
jabatan fungsional penyuluh agama dan angka
kreditnya.
3. Keputusan Menteri Agama dan Ka. BKN No.74 dan
178 tahun 1999, tanggal 13 Oktober 1999, tentang
pelaksanaan jabatan fungsional penyuluh agama dan
angka kreditya.
4. Keputusan Menteri Agama RI nomor 516 tahun
2003 tentang petunjuk teknis pelaksanaan Jabatan
Fungsional penyuluh agma dan angka kreditnya.17

Dengan terbitnya keputusan diatas pada tahun 1999


mulailah ada penyuluh agama Islam fungsional (penyuluh
agama Islam PNS).Angkatan pertama penyuluh agama
Islam PNS, berasal dari infasing eselon V (kasubsi), baik
yang berada di Kanwil maupun di Kandepag kab/kota
sesuai SK Menko Wasbang pan no. 54.kep/MK-
WASPAN/9/1999, pasal 22 bab VII. 18
Dari penjelasan tentang sejarah Penyuluh Agama
Islam di atas, diketahui bahwa cikal bakal Penyuluh Agama
Islam adalah para ulama sebagai pemuka agama yang
kemudian secara perlahan berkembang sampai akhirnya
terbentuk Penyuluh Agama Islam baik PNS maupun
Honorer. Dalam perkembangannya, Penyuluh Agama Islam
berupaya hadir di tengah masyarakat dan memenuhi

17
Direktorat Penerangan Agama Islam Subdit Bimbingan dan
Penyuluhan Agama Islam, Penyuluh Agama Islam dari Masa ke Masa,
h. 6
18
Direktorat Penerangan Agama Islam Subdit Bimbingan dan
Penyuluhan Agama Islam, Penyuluh Agama Islam dari Masa ke Masa,
h. 6
27

kebutuhan masyarakat yang berkaitan dengan penyuluhan


agama, pemerintah pun berusaha memaksimalkan kinerja
penyuluh sesuai dengan kebutuhan masyarakat terhadap
penyuluhan agama dengan menempatkan beberapa
penyuluh di setiap kecamatan baik itu PNS ataupun
honorer, dan yang menjadi kendala disini adalah
pengangkatan Penyuluh Agama Honorer, pengangkatan
PAH kebanyakan hanya berdasarkan kedekatan dan
ketokohan saja19,dengan kata lain latar belakang pendidikan
masih dikesampingan dalam hal ini. Sedangkan latar
belakang pendidikan penyuluh PNS rata-rata berpendidikan
formal Sarjana (S1), dengan latar belakang seperti ini sudah
dapat dikatakan cukup sebagai bekal menjadi penyuluh
agama20, akan tetapi dalam rangka mencari format ideal
PAI perlu adanya peningkatan pengetahuan dengan
diadakannya program seminar tentang tema-tema
kemasyarakatan bagi PAI seta peluang beasiswa S2 dan S3.
Dalam rangka meningkatkan kinerja PAI
kedepannya juga diperlukan meningkatkan upah atau gaji
bagi PAH, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa
honorarium PAH jauh di bawah Upah Minimum Regional
(UMR). Minimnya honorarium ini tentunya berdampak
sekali terhadap kinerja PAH, karena ketidakseimbangan
antara tanggung jawab yang di emban dengan hak yang
diterima, kedepannya pemerintah diharapkan
memperhitungkan lagi honorarium bagi PAH.

19
Kustini, Mencari Format Ideal Pemberdayaan Penyuluh
Agama (Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI: Jakarta,
2014) h. 15
20
Kustini, Mencari Format Ideal Pemberdayaan Penyuluh
Agama h. 15
28

C. Kompetensi SDM Penyuluh Agama


a. Pengertian Kompetensi
Kompetensi merupakan suatu konsep yang
berhubungan dengan pekerjaan seseorang.Sekurangnya ada
dua kelompok definisi terkait kompetensi ini. Pertama,
menyatakan bahwa kompetensi dibangun dari karakteristik
seseorang yang dipersiapkan untuk menjalankan pekerjaan
(baik tugas maupun tuntutan profesi) secara efektif,
sehingga ukuran keumuman dari kesiapan kerja seseorang
menjadi unsur yang dominan. Hal ini sebagaimana
disampaikan oleh Spencer and Spencer (1993), Imran dan
Ganang 1999 diacu dalam Winaryanto et al.(2011),maupun
Culp etal.(2007).n. Kedua, memberikan penekanan khusus
bahwa kompetensi terdiri dari kombinasi berbagai unsur
seperti karakteristik personal, pengetahuan, sikap dan
keterampilan yang sangat dibutuhkan seseorang dalam
melakukan pekerjaannya. Kelompok definisi kedua ini
didukung oleh Klausmeier dan Goodwin (1966),Stone dan
Beiber (1997), Cooper danGraham(2001), Wisher diacu
dalam Kurniawan dan Jahi (2005), Lucia dan Lepsinger
1999 diacu dalam Marius et al.(2007), D.W. Sue dan Davis
Sue 2008 diacu dalam Minami (2009), Namdar et al.
(2010).21
Kompetensi seseorang menurut Spencer and
Spencer (1993) memiliki lima tipe, yaitu :Motives, Traits,
Self concept, Knowledge, dan Skill. Dari ke lima
karakteristik kompetensi tersebut, pengetahuan (knowledge)
dan keterampilan (skill) sifatnya dapat dilihat (visible) dan
mudah dikembangkan. Sedangkan konsep diri (self

21
Noor Fuad & Gofur Ahmad, Intergrated HRD: Human
Resources Develoupment (Jakarta: PT Grasindo, 2009) h. 18
29

concept), watak (traits) dan motif (motives) sifatnya tidak


tampak (hidden) dan lebih sulit untuk dikembangkan.22
Brewerton (2004, diacu dalam Rutherford 2004)
menjelaskan orang tidak hanya menggunakan satu buah
kompetensi dalam satu kurun waktu, mereka menggunakan
beragam kompetensi secara serempak yang merupakan
kombinasi antara kompetensi khusus dan kompetensi
kunci.Menurutnya, kompetensi terbagi menjadi dua
kelompok besar, yaitu Specific competencies (kompetensi
khusus) dan Key competencies(kompetensi kunci).
1. Specific competencies,merupakan sebuah
kompetensi khusus yang melingkupi konteks
terbatas pada satu bidang pekerjaan seseorang dan,
2. Key competencies,merupakan kompetensi yang
dibutuhkan oleh setiap orang dalam mengarungi
kehidupannya dalam konteks yang luas.
Dengan demikian, konsep dasar kompetensi
merupakan sebuah kemampuan individu yang terdiri dari
pengetahuan, keterampilan, sikap, motivasi,
kekosmopolitan, pendidikan, bidang keahlian dan
pengalaman yang dipersiapkan untuk menghadapi
pekerjaannya secara efektif.23
b. Kompetensi Penyuluh Profesioanal
Deborah et al. (diacu dalam Bahua 2010)
memperkenalkan kompetensi inti yang sesuai untuk
penyuluh profesional, yaitu :
1. Proses aksi sosial: kemampuan untuk
mengidentifikasi dan memonitor variabel-variabel
dan isu-isu penting bagi vitalitas masyarakat (contoh

22
Noor Fuad & Gofur Ahmad, Intergrated HRD: Human
Resources Develoupment h. 24
23
Kementrian Agama RI, Naskah Akademik Bagi Penyuluh
Agama h.21
30

;demografis, ekonomi, pelayanan manusia,


lingkungan dan lain-lain) dan kemampuan untuk
menggunakan dan menerapkan variabel-variabel
dalam memprioritaskan program, perencanaan dan
penyerahan,
2. Keanekaragaman budaya: adalah kesadaran,
komitmen dan kemampuan termasuk rasa memiliki,
seperti ; budaya yang berbeda, asumsi-asumsi,
norma-norma, kepercayaan dan nilai-nilai,
3. Pemograman bidang pendidikan: kemampuan
merencanakan, desain, penerapan, mengevaluasi,
menghitung dan menjual program pendidikan
penyuluhan untuk memperbaiki mutu hidup sasaran
penyuluhan,
4. Perikatan: kemampuan untuk mengenali,
memahami, memudahkan peluang dan sumber daya
yang diperlukan merupakan respon terbaik terhadap
kebutuhan dari individu dan masyarakat,
5. Penyampaian pendidikan dan informasi: menguasai
keterampilan berkomunikasi (seperti lisan dan
tulisan), penerapan teknologi dan metode-metode
pengantara untuk mendukung program-program
pendidikan dan memandu perubahan perilaku antara
sasaran penyuluhan,
6. Hubungan antara pribadi: kemampuan interaksi
yang sukses dengan individu dan kelompok
beragam untuk menciptakan kerjasama, jaringan dan
sistem dinamis,
7. Pengetahuan tentang organisasi: pemahaman
sejarah, filsafat dan sifat zaman dari penyuluhan,
8. Kepemimpinan: kemampuan untuk mempengaruhi
individu dan kelompok-kelompok yang berbeda
secara positif,
31

9. Pengelolaan organisasi: kemampuan untuk


menetapkan struktur, mengorganisir proses,
pengembangan, dan memonitor sumber daya serta
memimpin perubahan untuk memperoleh hasil-hasil
bidang pendidikan secara efektif dan efisien,
10. Profesionalisme: peragaan perilaku mencerminkan
tingginya tingkat dari kinerja, suatu etika kerja yang
kuat, komitmen untuk pendidikan
berkesinambungan untuk misi, visi dan sasaran
penyuluhan dan bidang keahlian penguasaan disiplin
keilmuan atau kecakapan teknis dalam rangka
meningkatkan efektifitas individu dan organisasi.24
Dari hasil penelitian Culp et al. (2007) ketika
memeringkat 32 kompetensi menjadi 10 kompetensi yang
paling diperlukan volunter, disimpulkan bahwa ada sepuluh
kompetensi utama yang berhasil diidentifikasi, yaitu :
1. Komunikasi,
2. Keterampilan merencanakan / mengorganisasi,
3. Penguasaan materi,
4. Keterampilan interpersonal,
5. Keterampilan kepemimpinan,
6. Masa dan tahapan pengembangan pemuda,
7. Teknologi ber IT,
8. Kemitraan orang dewasa,
9. Kesabaran, dan
10. Manajemen waktu.25
Penelitian Cooper dan Graham (2001) dengan
metode survai tiga tahapan berhasil menyarikan 7
kompetensi utama dari 842 item kompetensi yang diajukan,

24
Kementrian Agama RI, Naskah Akademik Bagi Penyuluh
Agama h.21-22
25
Kementrian Agama RI, Naskah Akademik Bagi Penyuluh
Agama h.22
32

setelah disaring kemudian menghasilkan 57 kompetensi dan


dari semua itu kemudian diperas hanya tinggal menjadi 7
area yang digunakan sebagai sistem evaluasi pekerjaan, di
antaranya adalah ;
1. Program perencanaan, implementasi dan evaluasi,
2. Relasi public,
3. Pengembangan personal dan professional,
4. Staff relasi,
5. Keterampilan personal,
6. Pengelolaan tanggungjawab, dan
7. Kebiasaan kerja.26
Dalam penelitian yang dilakukan Cooper
danGraham(2001) ternyatadiperlukan peningkatan
kompetensi teknis penyuluhan di dalam lebih dari satu area
program.
Selain bahwa etika kerja yang kuat disertai dengan
dapat mandiri dan adil, jujur danterpercaya akan membuat
lebih sukses agen penyuluhan ke depan. Sementara itu,
kemampuan mengelola manusia, kredibilitas dan respek
terhadap sasaran penyuluhan akan membuat sukses untuk
menjadi organisasi perubahan.
Penelitian yang dilakukan oleh Stone dan
Coppernoll (2004) di Texas dalam lapangan penyuluhan
hendak membangun sebuah sistem pengembangan
kompetensi berbasis profesional dengan nama YES !(You,
Extension and Success).Kompetensi YES tersebut
dirumuskan menjadi 6 bidang, selengkapnya yaitu ;
1. Bidang kepakaran: pengetahuan ahli dan keahlian
dalam area di mana penyuluh bertanggungjawab.
Kategori ini juga mengandung keahlian dalam
melaksanakan program pendidikan dan
26
Kementrian Agama RI, Naskah Akademik Bagi Penyuluh
Agama h.22
33

instruksional, problem solving dan integrasi


teknologi,
2. Efektifitas organisasi: pencapaian misi penyuluhan
melalui program pengembangan dan evaluasi,
seperti membangun hubungan dan bekerjasecara
akuntabilitas,
3. Membangun dan melibatkan yang lain: memelihara
hubungan baik dengan orang lain agar kebutuhan
sasaran penyuluhan dapat diketahui. Hal ini meliputi
pula mentoring, pendelegasian, kerjasama tim,
memfasilitasi kelompok dan menjaga hubungan
dengan sukarelawan,
4. Komunikasi: komunikasi efektif dalam interpersonal
dan situasi kelompok,
5. Orientasi kerja: mengambil inisiatif, menghargai
peran dari perubahan positif, mencipta visi masa
depan dan bekerja secara cerdas menuju tercapainya
tujuan, dan
6. Efektifitas pribadi: sebuah komitmen pada profesi
penyuluh seperti keseimbangan pada seluruh aspek
pribadi maupun profesionalisme kerja.27
Hasil dari penelitian Boyd (2004) dengan
menggunakan teknik Delphi tiga tahapan menunjukkan
kompetensi yang dibutuhkan oleh sukarelawan
administrator di masa depan (paling tidak 10 tahun dari
masa penelitian) meliputi 5 hal sebagai berikut ;
1. Kepemimpinan organisasi: kemampuan melihat
kebutuhan sasaran penyuluhan, masyarakat,
sukarelawan maupun organisasi, kemampuan untuk
menerjemahkan kebutuhan ke dalam perencanaan
dan aksi, mengartikulasikan visi organisasi kepada
27
Kementrian Agama RI, Naskah Akademik Bagi Penyuluh
Agama h.23
34

stakeholders dan lainnya, mengartikulasi upaya


sukarelawan, komitmen pada visi organisasi, kreatif
menggunakan teknologi yang berimbas pada impact
program, kemampuan membuat strategi jangka
panjang dan mampu membuat rencana jangka
pendek dan berorganisasi,
2. Sistem kepemimpinan: bekerjasamadengan pihak
lain, kepemimpinan berbagi, mengerti dan
memanfaatkan dinamika kelompok, tipe personal
dan startegi membangun kelompok, mengerti sistem
organisasi, memiliki kemauan untuk berbagi
kekuasaan dan memberikan kontrol,
3. Budaya organisasi: berperan sebagai konsultan
internal pada manajemen sukarelawan, menciptakan
lingkungan positif untuk belajar dan berkarya,
komitmen yang menginspirasi dan haus untuk
belajar, memiliki sikap dan energi positif,
kemampuan menjalin hubungan, dan mempercayai
sukarelawan untuk bekerja di bidangnya,
4. Keahlian personal: mampu untuk memprediksi dan
mengelola perubahan, berpikir kreatif, memiliki
keahlian berkomunikasi, memiliki keahlian
menyelesaikan konflik dengan baik, dan memiliki
keahlian membangun kapasitas manusia, dan
5. Keahlian mengelola: memahami fungsi dan
mengimplementasikan sistem konsultasi efektif bagi
sukarelawan, memiliki kompetensi untuk merekrut
sukarelawan, memiliki kompetensi untuk menyaring
sukarelawan, memiliki kompetensi untuk
mensinergikan sukarelawan dengan kebutuhan
penyuluh, memiliki kompetensi untuk mentraining
sukarelawan, memiliki kompetensi untuk
melindungi sukarelawan, sasaran penyuluhan dan
35

organisasi, memiliki kompetensi untuk


mengevaluasi kinerja sukarelawan beserta dengan
prestasinya, memiliki kompetensi untuk
merekognisi sukarelawan, dan memiliki kompetensi
untuk memperkuat peran sukarelawan.28
Sementara itu, Namdar et al. (2010) mengukur
kompetensi petugas evaluasi program penyuluhan yang
disebut sebagai The Essential Competencies for
ProgramEvaluators (ECPE), yang dapat diringkaskan
menjadi 6 kategori, yaitu ; 1) Penyelidikan sistematis, 2)
Praktis reflektif, 3) Manajemen proyek, 4) Analisis
situasional, 5) Praktisi profesional, dan 6) Kompetensi
interpersonal. Dari penelitiannya ditemukan bahwa ada tiga
ranking tertinggi mengenai kompetensi profesional yang
dibutuhkan oleh responden, yaitu ;
1. Praktisi profesional: mempergunakan standar
evaluasi profesional, respek terhadap sasaran
penyuluhan dan stakeholders dan penuh integritas
dalam melakukan evaluasi,
2. Analisis situasional: terbuka buat masukan dari
orang lain, mengidentifikasi kepentingan
stakeholders dan melayani kebutuhan informasi dari
pengguna jasa penyuluhan, dan
3. Penyelidikan sistematis: menganalisis data,
menginterpretasikan data dan melakukan evaluasi
mendalam.29
Indikator yang digunakan di dalam mengukur
tingkat kompetensi professional penyuluh dilakukan oleh
Winaryanto et al. (2011) adalah mencakup kompetensi

28
Kementrian Agama RI, Naskah Akademik Bagi Penyuluh
Agama h.23
29
Kementrian Agama RI, Naskah Akademik Bagi Penyuluh
Agama h.24
36

dalam :
1. Administrasi,
2. Perencanaan program,
3. Pelaksanaan program,
4. Pengajaran dan komunikasi,
5. Pemahaman perilaku manusia,
6. Memelihara profesionalisme, dan
7. Kompetensi evaluasi.30
Basit (2010) menyebutkan empat kompetensi da’i,
yang berhubungan dengan kompetensi internal dan
eksternal meliputi :
1. Kompetensi personal, da’i harus jadi figur teladan
serta memiliki kesadaran diri yang tinggi,
2. Kompetensi sosial, da’i harus aktif membina
masyarakat,
3. Kompetensi substantif, da’i harus meningkatkan
keilmuan agar sesuai dengan perkembangan zaman
dan kebutuhan umat,
4. Kompetensi metodologis, da’i harus melakukan
dakwah berbasis kebutuhan pendengarnya.31
Taufieq dan Gonibala (2006) menyebutkan
mengemukakan beberapa kriteria mubaligh, yaitu:
mendalami pengetahuan keagamaan, mampu menyatukan
pengetahuan klasik dengan pengetahuan modern, berbicara
sesuai dengan bahasa masyarakat setempat, menguasai cara
berdakwah,berakhlak mulia, berpenampilan baik,
menunjukkan keteladanan, kemampuan komunikasi,

30
Kementrian Agama RI, Naskah Akademik Bagi Penyuluh
Agama h.24
31
Kementrian Agama RI, Naskah Akademik Bagi Penyuluh
Agama h.25
37

menjadi pemimpin yang terpercaya.32


Menurut Keputusan Bersama Menteri Agama dan
Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 574 Tahun
1999 dan Nomor 178 Tahun 1999, bahwa kompetensi
Penyuluh Agama meliputi :
1. Bimbingan atau penyuluhan agama dan
pembangunan: melaksanakan bimbingan
penyuluhan, melaksanakan konsultasi, menyusun
rencana penyuluhan, menganalisis potensi wilayah,
menyusun materi penyuluhan, menyusun laporan
penyuluhan.
2. Pengembangan bimbingan atau penyuluhan agama
dan pembangunan: menyusun juklak (petunjuk
pelaksanaan) dan juknis (petunjuk teknis),
mengembangkan metode bimbingan dan
penyuluhan, menyusun konsep kepenyuluhan dan
mengembangkan materi bimbingan dan penyuluhan.
3. Pengembangan profesi: membuat karya tulis ilmiah
dan membimbing penyuluh yang ada dibawahnya.
4. Penunjang tugas: mengikuti seminar atau yang
setara, aktif menjadi pengurus organisasi dan
mengikuti pendidikan yang tidak sesuai dengan
bidang tugasnya.
Sedangkan menurut Hidayatulloh (2014) ada tiga
konsep inti yang diperlukan penyuluh agama, yaitu:
1. Kompetensi personal: meliputi Bidang keahlian dan
Kemampuan komunikasi.
2. Kompetensi professional: meliputi
Menyelenggarakan penyuluhan, Mengembangkan
profesionalisme, Mengembangkan penyuluhan dan
Menerapkan pembelajaran orang dewasa.
32
Kementrian Agama RI, Naskah Akademik Bagi Penyuluh
Agama h.25
38

3. Kompetensi manajerial meliputi Kepemimpinan dan


Mengembangkan kelompok.33
D. Tugas dan Fungsi Penyuluh Agama Islam
Tugas pokok penyuluh agama pada dasarnya adalah
membimbing umat dalam menjalankan ajaran agama dan
menyampaikan gagasan-gagasan pembangunan kepada
masyarakat dengan bahasa agama. Sejak semula penyuluh
agama berperan sebagai pembimbing umat dengan rasa
tanggung jawab membawa masyarakat kepada kehidupan
yang aman dan sejahtera. Penyuluh agama ditokohkan oleh
masyarakat bukan karena penunjukan atau pemilihan
apalagi diangkat dengan suatu keputusan, akan tetapi
dengan sendirinya menjadi pemimpin masyarakat karena
kewibawaannya . Penyuluh agama sebagai pemuka agama
selalu membimbing, mengayomi, dan menggerakan
masyarakat untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan
yang terlarang, mengajak kepada sesuatu yang kepentingan
masyarakatnya dalam membina wilayahnya baik untuk
keperluan sarana kemasyarakatan maupun peribadatan.
Penyuluh agama menjadi tempat bertanya dan
mengadu bagi masyarakatnya untuk memecahkan dan
menyelesaikan masalah. Kemudian memberikan petunjuk
dan pengarahan denga nasihatnya. Penyuluh agama
memimpin dan mendinamisir masyarakat dalam
melaksanakan berbagai kegiatan dengan memberi petunjuk
dan penjelasan tentang apa yang harus dikerjakan,
memulainya secara bersama-sama dan menyelesaikannya
secara bersama-sama pula. Keteladanan ini ditanamkan
dalam kegiatan kehidupan sehari-hari, sehingga masyarakat
dengan penuh kesadaran dan keikhlasanmengikuti petunjuk
dan ajakan pemipinnya.
33
Kementrian Agama RI, Naskah Akademik Bagi Penyuluh
Agama h.28
39

Penerangan agama secara instansional hanya sampai


ke tingkat Kabupaten/Kotamadya, sedangkan tugas
operasional penerangan agama langsung kepada masyarakat
tidak dapat dilaksanakan oleh karyawan penerangan agama
mengingat jumlahnya sangat terbatas dan tidakmerata untuk
setiap daerah. Oleh karenanya sebagai penyambung
pelaksanaan tugas penerangan agama kepada masyarakat
dilaksanakan oleh penyuluh agama.
Dengan demikian tugas penyuluh agama tidak
semata-mata melaksanakan penyuluhan agama dalam arti
sempit berupa pengajian, akan tetapi seluruh kegiatan
penerangan baik berupa bimbingan dan penerangan tentang
berbgai program pembangunan. Posisi penyuluh agama ini
sangat strategis baik untuk menyampaikan misi keagamaan
maupun misi pembangunan.
Dalam masa pembangunan dewasa ini beban tugas
penyuluhan agama lebih ditungkatkan lagi dengan usaha
menjabarkan segala aspek pembangunan melalui pintu dan
bahasa agama. Oleh karenanya penyuluhan agama berperan
pula sebagai motivator pembangunan. Peranan ini
tampaknya semakin lebih penting karena pembangunan di
Indonesia tidak semata membangun manusia dari segi
lahiriah dan jasmaniyah saja melinkan membangun segi
rohaniyah, mental spritualnya dilaksanakan sejalan secara
bersama-sama.
Peranan penyuluh agama dalam pembangunan
adalah sebagai motivator dengan usaha memberikan
penerangan pengertian tentang maksud dan tujuan
pembangunan, mengajak segera menggerakannya untuk
ikut serta aktif menyukseskan pembangunan.
Penyuluh agama selain berfungsi sebagai pendorong
masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan
berperan juga untuk ikut serta mengatasi berbagai hambatan
40

yang megganggu jalannya pembangunan khususnya


mengatasi dampak negatif. Cara penyampaian penyuluhan
agama kepada masyarakat adalah dengan melalui bahasa
yang sederhana dan dimengerti oleh masyarakat dengan
pendekatan keagamaan.
Baik kompetensi maupun kinerja yang telah
ditunjukkan oleh penyuluh agama Islam selama ini belum
disesuaikan dengan peran yang dapat dilakukan oleh
penyuluh agama dan juga belum menyesuaikan dengan
zaman kekinian yang terus berubah.Sehingga diperlukan
penyesuaian peran penyuluh agama Islam agar dapat lebih
memberikan nilai tambah bagi pembangunan bidang
keagamaan di Indonesia. Dari perubahan peran inilah
kemudian kompetensi yang dipersyaratkan akan menjadi
target pencapaian setiap penyuluh yang berimbas pada
kinerja sesuai kompetensinya.

E. Sasaran Penyuluh Agama


Sasaran penyuluh agama adalah umat Islam dan
masyarakat yang belum menganut salah satu agama di
Indonesia yang beraneka ragam budaya dan latar belakang
pendidikannya.34 Dilihat dari segi tipe masyarakat yang ada
di Indonesia dalam garis besarnya dapat dibagi dalam tipe
dan golongan, yaitu masyarakat pedesaan, masyarakat
perkotaan dan masyarakat cendikiawan. Namaun dilihat
dari segi kelompok terdapat bermacam-macam kelompok
baik yang ada di desa maupun yang ada di kota, bahkan
ada beberapa kelompok yang selain terdapat di desa juga
terdapat di kota

34
Kementrian Agama RI, Naskah Akademik Bagi Penyuluh
Agama h.8
41

Adapun kelompok-kelompok masyarakat yang


menjadi sasaran penyuluhan paling tidak ada 21 kelompok
yang akan diuraikan seperti di bawah ini.
1. Masyarakat Transmigrasi
Penyuluh agama kepada para transmigran
berusaha meningkatkan kesadaran, pemahaman,
penghayatan dan pengamalan agamanya serta
menanamkan pengertian bahwa melaksanakan
transmigrasi adalah dalam rangka ibadah kepada
Allah SWT.
Kelompok masyarakat transmigrasi pada
hakikatnya adalah pejuang pembangunan.Oleh
karena itu perlu dibekali dan memiliki kondisi fisik
dan mental yang tangguh serta keterampilan yang
cukup. Mereka akan menjadi pelopor dalam
menciptakan kehidupan baru. Mereka perlu
dimotivasi dan dibekali nilai rohaniyah agar mampu
menghadapi berbagai rintangan dan tantangan serta
benar-benar tumbuh sebagai warga negara yang
kondisi materiil dan spritualnya juga meningkat
lebih baik dari waktu sebelumnya.35 Dengan
demikian kebutuhan masyarakat transmigran
terhadap penyuluhan berkaitan dengan penguatan
etos kerja dan tema-tema yang disampaikan
dalampenyuluhan terhadap masyarakat ini adalah
tema-tema yang berkaitan dengan etos kerja.
2. Lembaga Pemasyarakatan
Sasaran penyuluh agama pada lembaga
pemasyarakatan adalah karyawan/petugas lembaga
tersebut dan narapidana. Penyuluhan kepada
karyawan/petugas sangat penting mengingat

35
Hilmi M, Oprasional Penyuluh Agama, h.10
42

merekalah yng berhubungn sehari-hari dengan


narapidana.Dengan penyuluhan agama ini mereka
diharapkan lebih menyadari bahwa tugas yang
meraka emban bukan saja tugas negara melainkan
tugas agama.Dengan demikian bimbingan sehari-
harinya meraka lakukan terhadap narapidana selain
berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan juga
berdasarkan nilai-nilai agamis.
Penyuluhan agama kepada narapidana
berusaha menumbuhkan kesadaran rohaniyah untuk
memperbaiki kesalahannya dan kembali ke jalan
yang benar dengan penuh harapan bahwa Allah akan
menerima taubatnya, membuka lembaran baru bagi
sisa umurnya. Oleh karena itu para penyuluh agama
hendaknyamengetahui latar belakang pendidikan,
keluarga ketaatan beragama, jenis kejahatan yang
dilakukan dan lama hukuman yang di jalaninya.36
Tema-tema yang diangkat dalam penyuluhan ini
biasanya adalah taubat dan optimis dalam menatap
masa depan, dua hal ini sangat diperlukan oleh
sasaran penyuluhan dalam hal ini adalah narapinada,
sebab akan menjadi motivasi bagi mereka jika nanti
kembali bergaul dalam lingkungan masyarakat.
3. Generasi muda
Penyuluh agama bagi generasi muda
meliputi kelompok anak-anak, remaja dan pemuda.
Penyuluhan agama kepada mereka sangat penting
karena merekalah yang akan melanjutkan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 945. Generasi

36
Hilmi M, Oprasional Penyuluh Agama, h.10
43

muda adalah tumpuan harapan untuk melanjutkan


pembangunan.
Generasi muda dengan ciri-ciri khasnya,
terdapat dipelbagai lapisan masyarakat dan secara
demografis merupakan jumlah yang terbanyak dari
penduduk Indonesia.Menurut ukuran lahiriah umur
meraka masih lebih panjang, potensial, fisik dan
pikirannya masih lebih besar dan mempunyai sikap
reseftif terhadap pengaruh luar.Selain dari itu tentu
saja peranannya masih lebih besar pula dibanding
dengan generasi tua.37 Tema penyuluhan untuk
generasi muda adalah orientasi terhadap pandangan
hidup, perbandingan pola kehidupan agamis dengan
secular serta penegasan nilai akhlak, tema-tema
inilah yang sangat dibutuhkan oleh generasi muda
mengingat mereka dalam usia yang cenderung
bertindak labil.
4. Pramuka
Generasi pramuka adalah satu-satunya
gerakan pendidikan kepanduan di Indonesia. Tujuan
gerakan pramuka adalah mendidik anak-anak dan
pemuda-pemuda Indoesia dengan prinsip-prinsip
dasar metodik pendidikan kepanduan yang
pelaksanaannya disesuaikan dengan kesadaran,
kepentingan dan perkembangan bangsa dan
masyarakat Indonesia agar supaya:
a. Menjadi manusia yang berkepribadian dan
berwatak luhur serta:
1). Tinggi mental-moral-budi pekerti dan kuat
keyakinan beragamanya.
2). Tinggi kecerdasan dan keterampilannya.

37
Hilmi M, Oprasional Penyuluh Agama, h. 11
44

3). Kuat dan sehat fisiknya.


b. Menjadi warga negara Indonesia yang ber-
Pancasila, setia dan patuh kepada Negara
Kesatuan Republik Indonesia; sehingga menjadi
anggota masyarakat yang baik dan beguna yang
sanggup dan mampu menyelenggaraan
pembangunan.38
5. Kelompok Orang Tua
Penyuluhan agama kepada kelompok orang
tua bertujuan untuk lebih meningkatkan
pengetahuan dan kesadaran beragama serta
pengamalannya. Sebab sesuai dengan peranannya
sebagai pemimpin rumah tangga, maka
keberagamaan mereka akan mempunyai dampak
positif baik kepada anak-anaknya maupun kepada
generasi muda umumnya.39
6. Kelompok Wanita
Penyuluhan agama kepada kelompok wanita
adalah meningkatkan ilmu agama dan kesadaran
beragama serta pengamalannya.Sebab peranan
wanita sangat penting dalam rumah tangga dan
lingkungan masyarakat.Dengan demikian sasaran
penyuluh agama tidak hanya para ibu rumah tangga
tetapi juga wanita karir, baik yang tergabung dalam
berbagai organisasi wanita maupun wanita dewasa
pada umumnya.40
7. Kelompok Masyarakat Industri
Kelompok masyarakat industri dimaksudkan
mereka yang bekerja sebagai keryawan industri dan
dalam lingkungan hidupnya selalu berorientasi
38
Hilmi M, Oprasional Penyuluh Agama, h.11-12
39
Hilmi M, Oprasional Penyuluh Agama, h.912
40
Hilmi M, Oprasional Penyuluh Agama, h. 12
45

membentuk kelompok sosial tersendiri yang tidak


berintegrasi sepenuhnya dengan masyarakat luas.
Lingkaran sosial mereka dapat diindentifikasikan
menjadi tiga keadaan, yakni: kehidupan di pabrik,
kehidupan pada perumahan karyawan dan pekerja-
pekerja yang bertempat tinggal di rumah-rumah
masyarakat.
Tujuan penyuluhan agama kepada
masyarakat industri ini ialah untuk meningkatkan
pengetahuan agama dan kesadaran beragama serta
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Disamping itu untuk meberikan motivasi
keagamann dengan bekerja lebih produktif.41
8. Kelompok Profesi
Yang dimaksud dengan kelompok profesi
suatu kelompok masyarakat yang mempunyai jenis
dan sifat pekerjaan yang sama dengan bidang
tertentu, seperti guru, wartawan, seniman,
sopir/awak bis, awak pesawat terbang, awak kapal
laut, awak kerata api, dan lain-lain.Penyuluh agama
kepada kelompok ini dimaksudkan untuk
meningkatkan pengetahuan agama dan kesadaran
beragama serta mengamalkan sehari-hari.Disamping
itu untuk memberikan motivasi keagamaan dalam
melaksanakan tugasnya.42
9. Masyarakat Daerah Rawan
Masyarakat daerah rawan ialah kelompok
masyarakat yang tinggal disatu daerah yang kondisi
keagamaannya sangat lemah, antara lain daerah
yang banyak dipengaruhi kegiatan G 30S/PKI.
Lokasi yang pada mulanya hanya Pulau Buru,
41
Hilmi M, Oprasional Penyuluh Agama, h.13
42
Hilmi M, Oprasional Penyuluh Agama, h.13
46

berkembang menjadi empat yaitu:


inrehabilitasiPulau Buru, daerah sekitarPulau Buru,
perbatasan Kalimantan Barat dan daerah sekitar
penampungan pengungsi Pulau Galang.
Penyuluhan keagamaan kepada kelompok ini
dimaksudkan untuk meningkatkan ilmu agama dan
kesadaran beragama dan melaksanakannya dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan ilmu yang memadai
dan kesadaran keagamaan yang itnggi mereka akan
dapat menangkal pengaruh-pegaruh luar yang
negatif dan bertentangan dengan Pancasila dan
UUD 1945.43
10. Masyarakat Suku Terasing
Suku terasing ialah kelompok masyarakat
yang proses perkembangan kehidupan dan
penghidupannya berlangsung secara tersendiri
dalam artian terpencil, terpencar, terpisah dan
terbelakang. Oleh kaena itu penyuluhan agama
kepada kelompok masyarakat ini membantu
mempercepat proses pembudayaan kearah
terciptanya manusia Pancasila. Serta melepaskan
kepercayaan dan dinamisme dengan menganut dan
mengamalkan ajaran agama Islam.
Adanya suku terasing dilihat dari segi
integritas bangsa adalah tidak menguntungkan.
Keterbelakangan mereka bukan tidak berpartisipasi
dalam pembangunan nasional, akan tetapi justru
kemungkinan bisa merugikan pembangunan itu
sendiri. Oleh karena itu penyuluhan agama kepada
mereka pada dasarnya tidak bisa dipisahkan bahkan

43
Hilmi M, Oprasional Penyuluh Agama, h.13-14
47

harus dalam rangka program pemberdayaan


tersebut.44
11. Inrehabilitasi/Pondok Sosial
Penyuluhan agama kepada warga/penghuni
inrehabilitasi/pondok sosial berusaha menanamkan
gairah hidup berdasarkan kepada kesadaran dan
penghayatan serta pegamalan ajaran agama.
Penghuni inrehabilitasi/pondok sosial terdiri dari
pelbagai macam, seperti para lanjut usia, cacat
badan, yatim piatu, korban penyalahgunaan narkotik
dan sebaginya.
Penyuluhan agama terhadap kelompok
masyarakat ini akan sangat besar manfaatnya dalam
memberi arti terhadap hidup mereka agar tidak
berputus asa dalam berusaha menjadi warga negara
yang beragama menurut kemampuan yang ada
padanya.Khusus untuk para anak yatim perlu
mendapat perhatian khusus terutama menyangkut
pendidikannya, sebab bukan hal yang mustahil bagi
mereka untuk menjadi sukses, asal mendapat
kesempatan yang sama dalam pendidikan dengan
didorong oleh keprihatinannya justru akan
menghasilkan putra bangsa yang beragama dikelak
kemudian hari melebihi dari anak yang mempunyai
orang tua. Oleh karena itu suasana lingkungan yang
diliputi oleh jiwa yang taat beragama mendatangkan
iklim yang menguntungkan bagi mereka.45
12. Rumah sakit
Sasaran penyuluh agama pada rumah sakit
ada dua, yaitu pasien dan karyawan rumah sakit
sendiri.Penyuluhan agama pada pasien adalah untuk
44
Hilmi M, Oprasional Penyuluh Agama, h. 14
45
Hilmi M, Oprasional Penyuluh Agama, h.14-15
48

memberikan bimbingan keagamaan melalui


penanaman prinsip-prinsip beragama tentang hidup
dan kehidupan, penanaman sikap sabar, ikhlas,
tawakal, tuntutan sholat, doa dan zikir. Disamping
itu membantu mengatasi dan meringankan beban
psikis pasien akibat penyakit yang dideritanya
melalui penanaman optimism, percaya diri dan
mampu menolong diri senidri.
Penyuluhan agama pada karyawan rumah
sakit adalah untuk meningkatkan pengetahuan
agama dan kesadaran beragama serta mengamalkan
dalam kehidupan sehari-hari.Dengan motivasi
keagamaan diharapkan mereka melakukan tugasnya
mengurus pasien lebih bertanggung jawab, sabar
dan ramah sehingga dapat membantu kesembuhan
pasien.46
13. Komplek perumahan
Tujuan penyuluh agama di perumahan untuk
meningkatkan pengetahuan beragama dalam
menjalankan kehidupan sehari hari.Sehingga bisa
tercipta kehidupan yang harmonis di lingkungan
masyarakat komplek.47
14. Asrama
Penyuluh agama kepada warga asrama
bertujuan menanamkan gairah hidup berdasarkan
kesadaran dan penghayatan agama agar terbina
suasana yang baik di lingkungannya.Penghuni
asrama terdiri dari asrama pelajar, asrama
mahasiswa, asrama ABRI, dan sebagainya.48

46
Hilmi M, Oprasional Penyuluh Agama, h. 15
47
Hilmi M, Oprasional Penyuluh Agama, h.15-16
48
Hilmi M, Oprasional Penyuluh Agama, h.16
49

15. Kampus
Masyarakat kampus adalah civitas akademik
pada setiap perguruan tinggi negeri atau swasta.
Sasarannya adalah para pengajar mahasiswa dan
tenaga kependidikan.Penyuluh agama bertujuan
meningkatkan pengetahuan agama, kesadaran
beragama yang mendalam serta dapat mengamalkan
dalam kehidupan sehari hari. Demikian kehadiran
penyuluh akan memberikan manfaat yang sangat
besar.49
16. Karyawan Instansi Pemerintah atau Swasta
Karyawan mempunyai peran sangat penting
dan menentukan suksesnya pembangunan nasional.
Oleh karena itu penyuluhan agama dan karyawan
perlu agar tercapai hasil guna dan daya guna yang
maksimal untuk mengabdi dan bekerja dengan baik
dalam rangka beribadah kepada Allah.
Setiap unit kerja diusahakan adanya kegiatan
penyuluhan baik secara struktural, atau oleh badan
lainnya. Oleh karena itu penyuluh agama sebaiknya
dapat bekerja sama dengan semua unit kerja
pemerintah atau swasta.50
17. Daerah pemukiman baru
Adapun yang di maksud dengan pemukiman
baru ialah pemukiman penduduk selain perumnas
instansi, kesadaran mereka di tempat baru tersebut,
baik karena dipindahkan berhubungan tempat lama
mereka dipakai untuk kepentingan lain atau karena
kemauan sendiri. Penyuluh agama bertujuan
meningkatkan pengetahuan agama dan kesadaran
beragama dalam kehidupan sehari hari. Di samping
49
Hilmi M, Oprasional Penyuluh Agama, h.16
50
Hilmi M, Oprasional Penyuluh Agama, h.17
50

itu memberikan motivasi agama agar mereka


mampu membina rumah tangga dan masyarakat
lingkungannya dengan baik sehingga dapat hidup
tentram, aman dan bahagia.51
18. Masyarakat Kawasan Industri
Adanya kegiatan industri di suatu tempat
dapat memberikan pengaruh langsung terhadap nilai
dan pergaulan masyarakat di tempat itu.Pengaruh
tersebut terkadang bersifat negatif atau
positif.Penyuluh agama bertujuan untuk
meningkatkan pengetahuan agama dan kesadaran
beragama serta mengamalkannya dalam kehidupan
sehari-hari. Sehingga dapat menjadi benteng
pertahanan moral dan dapat menangkap setiap
mengaruh negatif dari kehadiran industri.52
19. Masyarakat Real Estate
Penghuni real estate dari segi materi mereka
telah hidup berkecukupan. Sifat masyarakatnya
cenderung tertutup dan individualis. Penuyuluh
agama bertujuan untuk memberikan siraman rohani
untuk meredakan ketegangan pikiran mereka, tiada
lain untuk meningkatkan pengetahuan beragama dan
mengamalkannya dalam kehidupan sehari hari.53
20. Masyarakat gelandangan dan pengemis
Masyarakat gelandangan dan pengemis tidak
dapat diabaikan.Mereka hidup tanpa rumah dan
pekerjaan yang tidak tetap dan penghasilan yang
tidak menentu.Penyuluh agama bertujuan
meningkatkan kesadaran beragama serta
mengamalkan dalam kehidupan sehari hari.
51
Hilmi M, Oprasional Penyuluh Agama, h.17-18
52
Hilmi M, Oprasional Penyuluh Agama, h.18
53
Hilmi M, Oprasional Penyuluh Agama, h.18
51

Disamping itu untuk memberikan motivasi


keagamaan agar mereka meninggalkan kebiasaan
dan mengemis kemudian memilih pekerjaan yang
wajar atau mencari tempat yang paotensial dengan
demikian diharapkan agar mereka dapat
54
meningkatkan taraf hidup yang lebih baik.
21. Tuna susila
Peyuluh agama bertujuan untuk
menumbuhkan kesadaran dan penghayatan
beragama agar mereka kembali ke jalan yang benar
dan menjadi warga negara yang berakhlak baik dan
taat menjalankan agama.55
Beberapa kelompok masyarakat yang telah
diuraikan di atas adalah sasaran penyuluhan agama,
menjadi sasaran penyuluhan agama mengandung arti bahwa
beberapa kelompok masyarakat yang diliputi oleh beberapa
kondisi yang mengharuskan mereka untuk mendapatkan
penyuluhan atau penerangan agar kemudian bisa menjadi
pribadi atau kelompok yang lebih baik.
F. Persyaratan Menjadi Penyuluh Agama
Penyuluhan agama merupakan tugas yang mulia,
penyuluhan juga merupakan bagian dari pelaksanaan
dakwah yang melekat dalam setiap diri individu Muslim,
akan tetapi menjadi penyuluh agama dalam pengertian PAI
haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut:56

1. Bagi tokoh masyarakat/perorangan seperti ulama


da’I dan mubaligh adalah:

54
Hilmi M, Oprasional Penyuluh Agama, h.19
55
Hilmi M, Oprasional Penyuluh Agama, h.20
56
Hilmi M, Oprasional Penyuluh Agama, h.23
52

a) Mempunyai kemampuan dan pengetahuan untuk


memberikan penyuluhan agama
b) Mempunyai pengalaman sebagai penyuluh
agama
c) Memiliki surat keterangan sebagai bukti
kemapuannya
d) Memiliki surat keterangan bahwa yang
bersangkutan tidak terlibat G 30 S/PKI dan
berkelakuan baik
e) Bagi yang berkedudukan di badan swasta
disyaratkan memiliki izin dari pimpinan badab
swasta tempat yang bersangkutan bekerja
f) Bagi PNS juga disyaratkan memiliki izin dari
pimpinan instasi atau kepala kantor yang
bersangkutan
2. Untuk penyuluh Agama Muda disyaratkan minimal
berpendidikan SLTA
3. Untuk Penyuluh Madya disyaratkan berpendidikan
Sarjana Muda di bidang Agama.
4. Penyuluh Agama Utama disyaratkan Sarjana Agama
atau mempunyai keahlian khusus di bidnag agama.
G. Kelebihan dan Kekurangan Penyuluh Agama
sekarang
Berbicara tentang kelebihan dan kekurangan
peyuluh sekarang tidak bisa dipisahkan dari kinerja
penyuluh itu sendiri ditengah-tengah masyarakat.
Pemerintah telah berusaha meningkatkan kinerja penyuluh
melalui berbagai program pembinaan terhadap penyuluh
dalam rangka menambah dan memperdalam pengetahuan
penyuluh, dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya,
penyuluh saat memiliki kelebihan-kelebihan baik dari segi
kuantitas ataupun dari segi kualitas, peningkaan kuantitas
dan kualitas penyuluh sekarang dibandingkan pada tahun-
53

tahun sebelumnya adalah sebuah bentuk kelebihan bagi


penyuluh sekarang.
Dalam pembinaan dan pembelajaran PAI
mengalamai peningkatan, Penyuluh agama memiliki tingkat
orientasi belajar yang dicirikan ;adanya kesadaran perlunya
meningkatkan kemampuan belajarnya yang dilandasi oleh
beberapa motivasi pribadi maupun kepedulian untuk ikut
berkontribusi dalam menyelesaikan permasalahan di
masyarakat. Penyuluh agama saat ini sudah banyak yang
menjalin kerjasama dengan berbagai pihak terutama LSM
lokal dalam upaya memberdayakan masyarakat. Tujuan
penyuluh agama sangat sederhana yaitu ingin belajar cara
menyelenggarakan pemberdayaan masyarakat melalui cara-
cara pihak swasta menanganinya yang nantinya diharapkan
akan dapat ditiru dan dikembangkan oleh penyuluh agama.
Dari sisi motivasinya, muncul dorongan
afiliasi.Terdapat beberapa penyebab munculnya dorongan
afiliasi penyuluh agama (Hidayatulloh 2014 : 49), yaitu: (1)
penyuluh agama menyadari bahwa menjalin hubungan yang
baik dengan kelayan penyuluhan akan memudahkan
memenuhi kepentingan internal berupa kemudahan
pelaksanaan penyuluhan agama, (2) mempermudah
pengadaan administrasi untuk kenaikan pangkat.Secara
eksternal, (3) Penyuluh agamaakan mendapatkan berbagai
informasi yang diperlukan dalam pengembangan
penyuluhan termasuk dalam mengumpulkan informasi
perkembangan kehidupan beragama di masyarakat sekitar,
dan (4) pengawasan pimpinan yang akan menanyakan
kondisi wilayah binaan terutama menyangkut masalah
kehidupan beragama.57

57
Kementrian Agama RI, Naskah Akademik Bagi Penyuluh
Agama h.52
54

Dalam proses mencari format ideal penyuluh


tentunya terdapat banyak kekurangan-kekurang dalam PAI,
kekurangan-kekuragan ini disebabkan oleh berbagai faktor
PAI di berbagai daerah, yaitu faktor internal berupa: (1)
penyuluh agama belum dibekali sarana maupun prasarana
penunjang tugas yang cukup oleh organisasinya, dan
penyuluh agama mendapatkan tugas yang memerlukan
pembiayaan lebih sehingga sangat membebani penyuluh.
Akibatnya, pelaksanaan tugas oleh penyuluh agamahanya
didasarkan pada orientasi pemenuhan tugas minimal
dibanding orientasi pelayanan maksimal terhadap
masyarakat. Kondisi yang seperti ini yang berdampak pada
menurunnya kualitas layanan bimbingan dan penyuluhan
agama yang secara langsung maupun tidak langsung akan
mempengaruhi baik kompetensi maupun kinerjanya.
Kendala lain datang dari faktor eksternal berupa:
banyaknya masalah keagamaan dan munculnya aliran sesat
yang dapat menyebabkan goyahnya benteng rohaniah umat.
Kondisi ini tentunya akan menyulitkan penyuluh agama
dalam menjalankan tugasnya terutama bila tidak ditunjang
oleh kompetensi yang sesuai untuk menjawab berbagai
tantangan eksternal tersebut.58
Berdasarkan karakteristik pribadi penyuluh agama,
secara umum usia penyuluh agama berada pada rentang 35-
48 tahun (Hidayatulloh 2014 : 44). Linier dengan masa
kerja separuh lebih penyuluh yang dapat dikategorikan
rendah dengan kisaran masa kerja di bawah 8 tahun
(Hidayatulloh 2014 : 44). Lebih dari tiga perempat
responden berpendidikan S1. Namun demikian rata-rata
mereka telah mengenyam pendidikan di pesantren sebagai

58
Kementrian Agama RI, Naskah Akademik Bagi Penyuluh Agama
h.49
55

penyeimbang persyaratan pengetahuan yang diperlukan


sebagai seorang penyuluh agama (Hidayatulloh 2014 : 45).
Secara kedinasanbagi penyuluh agama, kesempatan
mengikuti pendidikan nonformal berasal dari empat
sumber, yaitu:(1) Kanwil Kementerian Agama Provinsi
melalui bidang yang berbeda,(2) Balai Diklat Keagamaan
yang khusus memberikan pendidikan nonformal yang
bersifat peningkatan kemampuan menyuluh,(3) Pemerintah
Provinsi, dan (4) Pemerintah kota/kabupaten yang
diperuntukkan bagi para penyuluh agama untuk ikut
membantu sebagian tugas dinas terkait.59 Namun demikian
kesempatan pendidikan nonformal ini pada umumnya
bukanlah merupakan kesempatan mengikuti pembinaan
yang memuaskan penyuluh agama, karena materi yang
disampaikan belum sesuai dengan kebutuhan dan realitas
kondisi kelayan penyuluhan di lapangan.
Tingkat kekosmopolitan penyuluh agama hampir
tiga perempatnya cenderung lokalit dibandingkan dengan
kosmopolit (70 berbanding 30) (Hidayatulloh 2014 : 47).60
Artinya interaksi penyuluh agamadengan lingkungan luar
masih belum terlalu jauh meninggalkan wilayah binaannya
di kecamatan. Hanya sebagian kecil responden yang
berinteraksi di tingkat maupun di luar kota/kabupaten
dengan medan garapan penyuluhan agama yang agak luas
baik di tingkat kota/kabupaten maupun melebarkan binaan
sampai ke level provinsi sesuai dengan kebutuhan kelayan
penyuluh agama masing-masing

59
Kementrian Agama RI, Naskah Akademik Bagi Penyuluh
Agama h.50
60
Kementrian Agama RI, Naskah Akademik Bagi Penyuluh
Agama h.51
56
BAB III
REGULASI NEGARA TERHADAP
PERLINDUNGAN UMAT

A. Kerukunan dan Perlindungan UmatBeragama


Indonesia adalah negara yang di dalamnya terdapat
keberagaman, keberagaman ini hadir dalam berbagai aspek.
Bukan hanya sebagai Negara kepulauan yang begitu kaya
akan keragaman bahasa, budaya dan adat, agama juga
begitu beragam. Dari Sabang hingga Merauke tergambar
jelas keragaman agama, menjadi sebuah pemandangan unik
dimana tempat ibadah setiap agama berjejer rapi, bahkan
sebagian saling berdampingan. Ini menegaskan betapa
keragaman Nusantara sebuah keniscayaan.
Kemajemukan masyarakatnya ditandai oleh berbagai
perbedaan, baik horizontal maupun vertikal. Perbedaan
horizontal meliputi kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan
suku bangsa, bahasa, adat istiadat dan agama. Sedangkan
perbedaan yang bersifat vertikal menyangkut perbedaan
lapisan atas dan bawah yang dalam masyarakat kita saat ini
sangat tajam, baik di bidang sosial, ekonomi, politik
maupun budaya.1
Sejarah mencatat, betapa perbedaan agama juga bisa
menjadi sumber konflik. hal ini antara lain disebabkan
adanya distorsi atau parsial pemahaman terhadap agama,
sehingga mereka merasa berkewajiban menyiarkan dan
menarik orang lain kepada agamanya dengan cara

1
Mashudi, “Pendidikan Keberagaman Sebagai Basis Kearifan
Lokal (Gagasan Kerukunan Umat Beragama)”, Jurnal Tarbawi Vol. 11.
No. 1. Januari-Juni 2014, h. 48

57
58

pemaksaan. Akibatnya pemeluk agama tersebut akan


merasa agamanya dihina dan dipaksa menerima kebenaran
agama lain. Karena itu mereka akan melakukan serangan
balik dengan menjelekkan agama lawan tadi. Hal ini
kemudian diperparah dengan hadirnya faktor lain seperti
faktor sosial, ekonomi dan politik, yang mana kesemuanya
juga dapat memicu konflik bahkan perang agama.2
Berangkat dari besarnya peran agama dalam
perjuangan dan pembangunan, konstitusi menempatkan
agama dalam sistem kebangsaan dan kedudukan yang
penting. UUD 45 sebagai sumber utama rujukan hukum
Indonesia, telah menegaskan penjaminan akan hak-hak
menjalankan agama sesuai dengan keyakinannya masing-
masing. Meskipun UUD itu singkat yakni hanya terdiri atas
37 pasal, tetapi UUD itu telah memuat satu pasal yang
intinya mengatur tentang kebebasan menunaikan dan
mengamalkan agama. Hal ini tergambar jelas dalam Pasal
29 UUD 1945 menyatakan:
(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Pasal 29 UUD 45 menjadi penanda awal urgensi
kehadiran negara dalam menjamin hak beribadah kepada
tiap-tiap agama. UUD 45 menjadi regulasi pertama yang
menjadi landasan bagi semua pihak untuk mendapatkan
hak-hak beragama, dan satu diantaranya diwujudkan
melalui kerukunan, baik internal maupun eksternal umat
beragama. Perlu dicatat, bahwa UUD ini disahkan sekitar

2
Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan,1955,) h.
226-227
59

tiga tahun sebelum Deklarasi Universal HAM PBB


diadopsi, tahun 1948.3
Bagi bangsa Indonesia, agama bukanlah semata
tentang hubungan vertical manusia dengan Tuhan,
peribadaan yang bersifat individual. Lebih dari itu, agama
juga berkaitan dengan kehidupan sosial, relasi horizontal
yang terjabarkan dalam beragam bentuk. Di sini, agama
tidak selalu mengatur peribadatan, melainkan juga
mengatur relasi sosial antar individu, kelompok dan
lainnya. Karena agama merupakan bagian penting langkah
pembangunan karakter bangsa.
Konsensus urgensi hadirnya negara dalam
penjaminan hak-hak bernegara tersirat dalam sejarah
terbentuknya Departemen Agama. Dalam dokumen Ditjen
Bimas Islam disebutkan bahwa Departemen Agama lahir
dalam sistem tata negara Indonesia dari sebuah dialektika
yang konstruktif kebangsaan yang saat itu tengah mencari
jati diri dengan nama Kementerian Agama. Kelahirannya
diawali dari sebuah konsensus antara MIAI (Majelis Islam
A’la Indonesia) dengan GAPI (Gabungan Politik Indonesia)
menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda pada
tahun 1941 dan diusulkan dalam sidang-sidang Badan
Penyelidik Persiapan Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia ( BPUPKI). Pada saat itu, disepakati nama
kementerian urusan agama yaitu Kementerian Urusan
Agama Islam. Fungsinya adalah mengurus persoalan-
persoalan agama secara utuh. Kemudian muncul usulan

3
M. Atho Mudzhar, “Instrumen Internasional dan Peraturan
Perundangan Indonesia tentang Kebebasan dan Perlindungan
Beragama,” disampaikan pada Sosialisasi SKB Ahmadiyah 21 Juli
2008.
60

dalam sidang BP-KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional


Indonesia Pusat), semacam DPR sekarang, yang
disampaikan oleh Fraksi Islam di BP-KNIP, untuk dibentuk
sebuah departemen yang bertanggung jawab di bidang
agama tersendiri. Usulan tersebut diterima secara aklamasi
oleh peserta sidang BP-KNIP pada tanggal 26 November
1945 dan disetujui oleh pemerintah. Pada akhirnya, dalam
rapat BP-KNIP disepakati untuk mengajukkan Kementerian
Agama dalam sistem tata negara dan hal ini disepakati oleh
Perdana Menteri. Kesepakatan antara keduanya kemudian
diajukkan kepada Presiden. Tepat pada tanggal 3 Januari
1946, presiden Soekarno menandatangani Ketetapan
Presiden tentang Kementerian Agama. Inilah awal mula
lahirnya Kementerian Agama.4
Dalam konteks pelayanan masyarakat Islam,
kehadiran negara dalam menjamin hak-hak beragama bagi
umat Islam tergambar jelas saat perubahan nomenklatur
Direktorat Jenderal Penyelanggaraan Haji dan Bimbingan
Masyarakat Islam. Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam
melepaskan diri dari Ditjen PHU untuk selanjutnya
membawahi empat bidang, yaitu Zakat, Wakaf, Urusan
Agama Islam dan Penerangan Agama Islam.
Ditjen Bimas Islam sendiri lahir dari sebuah
kegelisahan akan rendahnya peran Depag dalam pembinaan
masyarakat. Hal ini disebabkan Bimas Islam saat itu masih
tergabung dengan urusan haji. Energi saat itu lebih tertarik
kepada urusan haji ketimbang urusan bimbingan
masyarakat. Hal ini jelas berdampak kurang baik bagi
perkembangan dakwah Islam. Atas dasar itulah, maka ide
pemisahan Bimas Islam dari ditjen haji mulai

4
Dokumen Ditjen Bimas Islam Tahun 2007
61

direalisasikan. Hal ini tentunya diawali oleh sebuah


pemikiran yang matang. Bimas Islam berpisah dari urusan
haji setelah dilengkapi dengan visi dan misi yang jelas. Di
sinilah Bimas Islam mulai kembali menemukan perannya di
masyarakat.5
Dari paparan di atas dapat kita simpulkan, bahwa
keragaman Nusantara yang begitu kaya telah mendorong
hadirnya negara untuk menjamin kehidupan beragama yang
aman, damai dan sejahtera. Negara hadir tidak dalam
kapasitas mengatur substansi peribadatan dan ritual
keagamaan, akan tetapi hadir untuk memberi fasilitas dan
jaminan pemeluk agama dapat menjalankan keyakinannya
dengan baik.
Pemerintah telah menetapkan bahwa pembangunan
agama menjadi bagian dari proses menuju tercapainya
tujuan pembangunan nasional. Hal ini sebagaimana
tercantum dalam Misi pembangunan nasional sebagaimana
disebut dalam RPJPN 2005-2025 diantaranya yaitu
“Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral,
beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah
Pancasila”. Berdasarkan RPJPN 2005-2025 ini kita dapat
menangkap pesan bahwa Negara menempatkan
pembangunan bidang agama sebagai bagian integral
pembangunan nasional. Goal dari pembangunan Nasional
sendiri adalah mewujudkan Indonesia yang damai, adil,
demokratis dan sejahtera.
Merujuk pada amanat konstitusi dan RPJPN 2005-
2025, Pemerintah berkewajiban memberikan jaminan dan
perlindungan atas hak setiap warganya untuk memeluk
agama dan beribadat menurut agamanya, serta memberikan
5
Dokumen Ditjen Bimas Islam Tahun 2008
62

fasilitas dan pelayanan pemenuhan hak dasar warga


tersebut. Dalam konteks ini, pembangunan bidang agama
merupakan wujud nyata hadirnya negara dalam menjamin
hak dasar rakyat yang dijamin oleh konstitusi Negara, yaitu
hak beragama. Dengan demikian, maka pembangunan
bidang agama harus dapat menjiwai atau menjadi ruh bagi
pembangunan bidang-bidang lainnya sebagai landasan
moral dan etika; membina akhlak; etos kerja menghargai
prestasi; meningkatkan kerukunan; saling percaya dan
harmonisasi.6
Merujuk pada hal tersebut, maka tugas dan tanggung
jawab pemerintah adalah memberikan bimbingan dan
pelayanan agar setiap penduduk dapat melaksanakan ajaran
agamanya secara rukun, lancar, dan tertib. Karena itu
pulalah, arah kebijakan pemerintah dalam pembangunan
nasional di bidang agama adalah peningkatan kualitas
pelayanan dan pemahaman agama, kehidupan beragama,
serta peningkatan kerukunan intern dan antar umat
beragama. Sebagai turunannya, Kepala Daerah, dalam
rangka menyelenggarakan otonomi, mempunyai kewajiban
melaksanakan urusan wajib bidang perencanaan,
pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang serta kewajiban
melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan,
kerukunan dan keutuhan di daerahnya sebagai bagian dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia.7
Merujuk pada Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional Pasal 15 ayat 1 yang menyatakan

6
Dokumen Restra Ditjen Bimas Islam
7
Mashudi, “Pendidikan Keberagaman Sebagai Basis Kearifan
Lokal (Gagasan Kerukunan Umat Beragama)”, Jurnal Tarbawi Vol. 11.
No. 1. Januari-Juni 2014, h. 49
63

bahwa Pimpinan Kementerian/Lembaga menyiapkan


rancangan Renstra-KL sesuai dengan tugas pokok dan
fungsinya dengan berpedoman kepada rancangan awal
RPJM Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat
(1), Kementerian Agama menyusun Rencana Strategis
Kementerian Agama tahun 2015 – 2019. Pada tanggal 19
Maret 2015, terbit Keputusan Menteri Agama (KMA)
Nomor 39 Tahun 2015 tentang Strategis Kementerian
Agama tahun 2015 – 2019. Dalam lampiran KMA No. 39
2015 disebutkan, kondisi umum pembangunan Bidang
Agama dan Bidang Pendidikan dalam kurun waktu lima
tahun mengacu pada upaya pencapaian tujuan Kementerian
Agama, mencakup 7 (tujuh) hal, yaitu: (1) Peningkatan
kualitas pemahaman dan pengamalan ajaran agama; (2)
Peningkatan kualitas pelayanan kehidupan beragama;
(3)Peningkatan pemanfaatan dan kualitas pengelolaan
potensi ekonomi keagamaan; (4) Peningkatan kualitas
kerukunan umat beragama; (5) Peningkatan kualitas
penyelenggaraan ibadah haji dan umrah; (6) Peningkatan
dan pemerataan akses dan mutu pendidikan agama dan
pendidikan keagamaan; dan (7) Peningkatan kualitas
tatakelola pembangunan bidang agama. 8
Kerukunan beragama menjadi salah satu isu sentra
Kementerian Agama. Dalam landasannya, Renstra
menyebutkan bahwa kerukunan beragama sesungguhnya
adalah nilai-nilai luhur yang telah lama diajarkan dan
diwariskan oleh nenek moyang bangsa Indonesia. Banyak
sekali sistem tradisi dan kearifan lokal (local wisdom) yang
berhasil dikonstruksi bangsa ini untuk menciptakan suasana

8
lampiran I Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia
Nomor 39 tahun 2015 tentang Rencana Strategis Kementerian
Agama tahun 2015 - 2019
64

hidup rukun dan damai di tengah masyarakat yang plural.


Namun demikian, mengingat kerukunan beragama
merupakan sebuah kondisi dinamis yang secara terus-
menerus harus dipelihara, Pemerintah bersama-sama
seluruh komponen masyarakat harus terus senantiasa
berupaya menjaga dan melestarikannya.9
Tata kelola kerukunan beragama ini dikembangkan
untuk mewujudkan kehidupan beragama yang rukun dan
damai, dilandasi atas sikap toleran dan saling menghormati
di kalangan umat beragama. Tata kelola kerukunan ini
dibentuk tidak untuk mencampuri substansi dari agama dan
keyakinan yang dipeluk oleh warga negara.
Langkah strategis membangun tata kelola kerukunan
beragama dijelaskan secara terperinci dalam KMA tersebut.
Terdapat 4 (empat) sasaran kegiatan tata kelola kerukunan
umat beragama, yakni (1) perumusan dan sosialisasi
regulasi terkait kerukunan umat beragama; (2) peningkatan
kapasitas aktor-aktor kerukunan; (3) pemberdayaan Forum
Kerukunan Umat Beragama (FKUB), lembaga keagamaan,
dan institusi media; dan (4) pengembangan dan penguatan
kesadaran kerukunan umat beragama.10
Jelas, kehadiran Negara dalam rangka memastikan
pemeluk agama dapat menjalankan keyakinannya dengan
baik, aman dan damai. Konstitusi lahir untuk menjadi acuan
bagi pelaksanaan pelayanan kehidupan beragama

9
lampiran I Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia
Nomor 39 tahun 2015 tentang Rencana Strategis Kementerian
Agama tahun 2015 - 2019
10
lampiran I Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia
Nomor 39 tahun 2015 tentang Rencana Strategis Kementerian
Agama tahun 2015 - 2019
65

sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Agama


adalah elemen penting NKRI, menjadi penopang utama
kemerdekaan, serta berperan aktif menciptakan
pembangunan. Oleh sebab itunegara hadir untuk
mendorong peran agama lebih optimal dalam pembangunan
melalui penyediaan fasilitas penunjang pelaksanaan
keyakinan umat beragama.

1. Definis Kerukunan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
kerukunan terdiri dari ke.ru.kun.an [n] yang berarti (1)
perihal hidup rukun; (2) rasa rukun; kesepakatan: hidup
beragama.11 Menurut M. Ridwan Lubis, kata “rukun”
berasal dari bahasa Arab: berarti tiang, dasar, dan sila.12
Dalam perkembangannya, kata “rukun” dalam bahasa
Indonesia digunakan sebagai kata sifat yang berarti cocok,
selaras, sehati, tidak berselisih. Sedangkan dalam bahasa
Inggris, kata “rukun” memiliki kesamaan arti dengan
harmonious atau concord. Dengan demikian, kerukunan
berarti kondisi sosial yang ditandai oleh adanya
keselarasan, kecocokan, atau ketidak berselisihan (harmoni,
concordance).13 Kerukunan disebut tiang, karena secara
filosofis, kerukunan merupakan tiangnya masyarakat. Jika

11
http://kamusbahasaindonesia.org/kerukunan/mirip (diunduh 24
Agustus 2015)
12
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, Kamus Arab-
Indonesia, Yogyakarta:
Pondok Pesantren Al-Munawwir, l984, h. 567
13
Ridwan Lubis, Cetak Biru Peran Agama, (Jakarta, Puslitbang,
2005) h. 7-8
66

kerukunan tidak ada, maka robohlah bangunan yang disebut


masyarakat tersebut.14
Istilah “kerukunan” banyak digunakan dalam literatur
ilmu sosial. Kerukunan diartikan sebagai istilah integrasi
(lawan disintegrasi) yang berarti the creation and
maintenance of diversified patterns of interactions among
outonomous units. Kerukunan merupakan kondisi dan
proses tercipta dan terpeliharannya pola-pola interaksi yang
beragama diantara unit-unit (unsur/ sub sistem) yang
otonom. Kerukunan mencerminkan hubungan timbal balik
yang ditandai oleh sikap saling menerima, saling
mempercayai, saling menghormati dan menghargai, serta
sikap saling memaknai kebersamaan.15Kata “Kerukunan”
kemudian menjadi kata baku ketika disandingkan dengan
“umat beragama.” Pengertian hubungan Antarumat
Beragama; Pengalaman Rukun dan Konflik di Indonesia”
adalah, ”keadaan berhubungan atau kontak persahabatan
antara para penganut agama dalam menjalani kehidupan
sosial dengan berpedoman kepada ajaran agama”.16
Kerukunan umat beragama menjadi isu hangat pasca
bergulirnya reformasi pada tahun 1998. Hal ini tidak berarti
menafikan diskursus kerukunan umat beragama
sebelumnya, namun intensitas munculnya istilah kerukunan
umat beragama mengalami peningkatan seiring dengan
bergulirnya orde reformasi. Di sini, kebebasan yang dibuka

14
Alirman Hamzah, “Hubungan Antarumat Beragama:
Pengalaman Rukun dan Konflik di Indonesia” TAJDID, Vol. 17, No.2,
November 2014, h. 156
15
M. Ridwan Lubis, Cetak Biru Peran Agama, (Jakarta,
Puslitbang, 2005) h. 7-8
16
Alirman Hamzah, “Hubungan Antarumat Beragama:
Pengalaman Rukun dan Konflik di Indonesia” TAJDID, Vol. 17, No.2,
November 2014, h. 157
67

secara lebar, juga mendorong elemen bangsa untuk


memformulasikan ulang konsepsi kerukunan.
Pasca gerakan reformasi, kemajemukan bangsa yang
landasan dibangunnya kerukunan umat beragama,
mendapatkan tantangan yang cukup serius. Dalam spektrum
yang lebih luas, kemajemukan bangsa yang salah satunya
dibangun di atas keragaman teologis, juga sering menjadi
sasaran untuk dipersalahkan sebagai sumber friksi, meski
tidak sedikit atau mungkin lebih banyak yang
menganggapnya sebagai kekuatan potensial, sebagai
kekayaan paripurna. Atas hal ini, ada baiknya membaca
pernyataan Geertz dalam Bahrul Hayat yang menyatakan
“…jika kekayaan Indonesia tidak dikelola dengan baik
dapat melahirkan pergesekan-pergesekan kultural yang
berujung pada ketidakstabilan politik dan integrasi
bangsa.”17Oleh sebab itu munculnya diskursus kerukunan
umat beragama pasca era reformasi menjadi penanda bahwa
NKRI benar-benar membutuhkan kerukunan.
Istilah kerukunan umat beragama terus mendapatkan
ide-ide progresif. Kerukunan umat beragama menemukan
konsepsi aktualnya sebagai keadaan hubungan sesama umat
beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling
menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan
ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pencasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

17
Jurnal Harmoni Badan Litbang dan Diklat Vol. 14 No. 2 2015,
h. 5
68

1945.18 Kerukunan tidak lagi berkutat pada hubungan antar


individu dalam keragaman, melainkan bagaimana kerukuan
berkontribusi lebih luas dalam pembangunan NKRI. Di
sinilah kita melihat pergeseran nilai-nilai kerukunan yang
positif sebagai pilar NKRI dalam melawan berbagai potensi
perpecahan.
Hal ini nampak pula dalam paparan M. Ridwan
Lubis yang menetapkan lima kualitas kerukunan yang
perlu dikembangkaan dalam konteks kekinian: religiusitas,
keharmonisan, kedinamisan, kreativitas, dan produktivitas.
Pertama, kualitas kerukunan hidup umat beragama
merepresentasikan kualitas sikap religius umatnya.
Kerukunan yang terbangun hendaknya merupakan bentuk
dan suasana hubungan yang tulus yang didasarkan pada
motif-motif suci dalam rangka pengabdian kepada Tuhan.
Oleh karena itu, kerukunan benar-benar dilandaskan pada
nilai kesucian, kebenaran, dan kebaikan dalam rangka
mencapai keselamatan dan kesejahteraan umat.
Kedua, kualitas kerukunan hidup umat beragama
harus mencerminkan pola interaksi antara sesama umat
beragama yang harmonis, yakni hubungan yang serasi,
“senada dan seirama,” tenggang rasa, saling menghormati,
saling mengasihi dan menyayangi, saling peduli yang
didasarkan pada nilai persahabatan, kekeluargaan,
persaudaraan, dan rasa sepenanggungan.
Ketiga, kualitas kerukunan hidup umat beragama
harus diarahkan pada pengembangan nilai-nilai dinamik
yang direpresentasikan dengan suasana yang interaktif,

18
Mashudi, “Pendidikan Keberagaman Sebagai Basis Kearifan
Lokal (Gagasan Kerukunan Umat Beragama)”, Jurnal Tarbawi Vol. 11.
No. 1. Januari-Juni 2014, h. 58
69

bergerak, bersemangat, dan bergairah dalam


mengembangkan nilai kepedulian, keaktifan, dan kebajikan
bersama.
Keempat, kualitas kerukunan hidup umat beragama
harus dioreintasikan pada pengembangan suasana kreatif.
Suasana yang dikembangkan, dalam konteks kreativitas
interaktif, diantaranya suasana yang mengembangkan
gagasan, upaya, dan kreativitas bersama dalam berbagai
sektor kehidupan untuk kemajuan bersama yang bermakna.
Kelima, kualitas kerukunan hidup umat beragama
harus diarahkan pula pada pengembangan nilai
produktivitas umat. Untuk itu, kerukunan ditekankan pada
pembentukan suasana hubungan yang mengembangkan
nilai-nilai sosial praktis dalam upaya mengentaskan
kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan, seperti
mengembangkan amal kebajikan, bakti sosial, badan usaha,
dan berbagai kerjasama sosial ekonomi yang
mensejahterakan umat.19
Diskursus kerukunan umat beragama juga tak lepas
dari pro dan kontra. Dalam catatan penulis, satu diantara
titik perdebatan adalah kerukunan dikonotasikan sebagai
sinkretisme. Kerukunan seperti meniscayakan relativitas
kebenaran agama, sehingga hal ini dipandang bertentangan
dengan ideologi agama-agama. Namun bagi Said Agil al-
Munawwar, kerukunan antar umat beragama bukan berarti
merelatifir agama-agama yang ada dan melebur kepada satu
totalitas (sinkretisme agama) dengan menjadikan
agamaagama yang ada itu sebagai mazhab dari agama
totalitas itu, melainkan sebagai cara atau sarana untuk

19
M. Ridwan Lubis, Cetak Biru Peran Agama, (Jakarta,
Puslitbang, 2005), h. 12-13
70

mempertemukan, mengatur hubungan luar antara orang


yang tidak seagama atau antara golongan umat beragama
dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.20
Jelas bahwa mendefinisikan kerukunan umat
beragama tidaklah semudah mengucapkan. Ada jalan terjal
yang menghiasi kelahirannya, selain pro dan kontra
terhadap makna dan eksistensinya. Istilah kerukunann umat
beragama memang dapat dimaknai secara sempit ataupun
luas. Namun demikian, kerukunan umat beragama
merupakan kebutuhan riil yang tak bisa dinegasikan dalam
konteks kebangsaan dan kenegaraan.

2. Trilogi Kerukunan
Sebagaimana dijelaskan di awal, bahwa kehadiran
pemerintah dalam memberikan pelayanan agama ditujukan
agar setiap pemeluk agama dapat melaksanakan ajaran
agamanya dengan rukun, lancar, dan tertib. Karena alasan
itu pulalah arah kebijakan pembangunan nasional di bidang
agama berorientasi pada peningkatan kualitas pelayanan
dan pemahaman agama, kehidupan beragama, serta
peningkatan kerukunan intern dan antar umat beragama.21
Dalam perjalanannya, dalam istilah kerukunan
dikenal luas Trilogi Kerukunan. Adalah Mukti Ali, Mantan
Menteri Agama RI, melontarkan gagasan cemerlang
tentang trilogi kerukunan yang berisi tentang:
1. Kerukunan internal umat beragama
2. Kerukunan antar umat beragama
3. Kerukunan umat beragama dengan pemerintah.

20
Said Agil Munawar, Fikih Hubungan Antar Umat Beragama
(Jakarta : Ciputat Press, 2005) hlm, 4-5.
21
Mashudi, “Pendidikan Keberagaman Sebagai Basis Kearifan
Lokal (Gagasan Kerukunan Umat Beragama)”, Jurnal Tarbawi Vol. 11.
No. 1. Januari-Juni 2014, h. 49
71

Tri kerukunan umat beragama adalah sebuah


paradigma lama di bidang keagamaan yang patut
dipertahankan bahkan diberdayakan agar lebih memberikan
manfaat yang jelas dan terukur dalam kehidupan sehari
hari. Di beberapa wilayah di Indonesia, trilogi kerukunan
ini memang masih hanya sebagai ucapan belaka (semu),
jauh dari kenyataan. Oleh karena itulah kerukunan hidup
baik intern maupun antar umat beragama harus senantiasa
dipupuk mengingat para pemeluk agama mempunyai
kecenderungan untuk menyebarkan kebenaran yang
diyakini (truth claim) kepada umat manusia. Jika
kecenderungan ini tidak diatur, maka akan menjadikan
masyarakat beragama saling berebut pengaruh yang pada
gilirannya dapat menimbulkan konflik antar agama.
Kerukunan yang dibangun atas dasar “toleransi
bertanggungjawab” sebagaimana di atas dianggap efektif
bagi pembinaan bangsa, oleh karena itu keberadaannya
mutlak diperlukan.22
Nasaruddin Umar memaparkan bahwa trilogi
kerukunan merupakan upaya spirit dari kitab suci agama-
agama. Membangun visi dan misi yang sama antara umat
beragama bukan sesuatu yang mudah. Salah satu upaya ke
arah sana ialah, bagaimana membaca ulang kitab suci
dengan collective memory yang sarat dengan prinsip negasi
(princeple of negation) yang selalu menekankan titik
perbedaan. Sudah waktunya kita membaca kitab suci
dengan menekankan titik temu (principle of identity).
Dengan seperti ini agama akan tampil sebagai sarana

22
Mashudi, “Pendidikan Keberagaman Sebagai Basis Kearifan
Lokal (Gagasan Kerukunan Umat Beragama)”, Jurnal Tarbawi Vol. 11.
No. 1. Januari-Juni 2014, h. 59
72

perekat (melting pot) integrasi bangsa, bukannya sebagai


faktor desintegrasi nasional.23
Umi Sumbulah dalam penelitiannya tentang
kerukunan di Kota Malang mendeskripsikan persepsi
publik Kota Malang dalam memaknai trilogi kerukunan.
Mereka membaginya pada kerukunan intern dan antarumat
beragama. Kerukunan intern umat beragama mengharuskan
lebih bertoleransi terhadap sesama umat Islam, dengan
syarat kelompok tertentu tidak memiliki akidah dan
keyakinan yang berbeda dengan Islam mainstream, seperti
Ahmadiyah dan Syi’ah.
Kerukunan antarumat beragama artinya saling
menghormati dan tenggang rasa terhadap umat beragama
lain. Ketika umat Nasrani merayakan Natal misalnya, umat
Islam mempersilahkan dan membantu pengamanan polisi,
tentara, dan lain-lain. Sebaliknya ketika umat Islam
melaksanakan Shalat Ied, yang bisa saja mengganggu
keseharian mereka karena jatuh pada hari Minggu
bertepatan dengan jadwal ibadah mereka, toleransi juga
dirasakan umat Islam.24
Kebebasan beragama sebagaimana diamanatkan oleh
konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 29 ayat (2), Pasal
28E ayat (1), dan Pasal 28I ayat (1) yang
diimplementasikan melalui Undang-Undang Nomor
1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan atau Penodaan
Agama belum sepenuhnya memberikan kepastian hukum,

23
Nasaruddin Umar, “Kerukunan Sejati: Mulai Dari Kitab Suci,“
Makalah pada saresehan Moderasi Islam, 12 Maret 2008
24
Umi Sumbulah, “Pluralisme dan Kerukunan Umat Beragama
Perspektif Elite Agama di Kota Malang”Analisa Journal of Social
Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015, h. 3
73

terutama bagi agama-agama yang baru dipeluk oleh


penduduk Indonesia atau kepercayaan yang diklaim sebagai
agama baru di Indonesia. Namun demikian disadari bahwa
regulasi tentang kehidupan umat beragama yang ada
sekarang ini masih tersebar secara parsial dalam berbagai
peraturan perundang-undangan. Bahkan banyak regulasi
tersebut yang hanya diatur dalam peraturan setingkat
Menteri yang daya ikatnya dianggap sebagian kalangan
masih sangat lemah.

B. Regulasi Kerukunan Umat Kerukunan Umat


Beragama
1. Undang-Undang PNPS No.1 Tahun 1965 Tentang
Pencegahan Penyalah Gunaan dan atau Penodaan
Agama.

UU PNPS No. 1 Tahun 1965 misalnya, adalah


regulasi yang bertujuan memberikan perlindungan umat
beragama dari berbagai potensi pelecehan, konflik maupun
peniastaan agama. UU No. 1/PNPS/1965 ternyata sangat
terbuka di dalam menjamin kebebasan beragama di
Indonesia. Perlu juga dicatat bahwa UU No. 1/PNPS/1965
itu lahir sebelum Kovenan Internasional PBB tentang Hak-
hak Sipil dan Politik PBB tahun 1966.25
Secara tegas UU ini melarang apapun yang
dianggap dapat memicu munculnya konflik keagamaan.
Pasal 1 Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 menyebutkan:

25
Atho Mudzhar, “Instrumen Internasional dan Peraturan
Perundangan Indonesiatentang Kebebasan dan Perlindungan
Beragama,” Makalah pada Sosialisasi SKB Tentang Ahmadiyah
Tanggal 28 Juni 2008
74

“Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka


umum menceritakan, menganjurkan atau
mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan
penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di
Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan
keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan
keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan
mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama
itu”.
Secara tegas pula, Undang-Undang No.
1/PNPS/1965 menegaskan hak-hak pemeluk agama untuk
mendapatkan jaminan dan pelayanan dari pemerintah. Pada
penjelasan Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 disebutkan:

Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah


Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan khong Cu
(Confusius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah
perkembangan Agamaagama di Indonesia. Karena 6 macam
Agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh
penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan
seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 Undang-undang
Dasar, juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan
perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini. Ini tidak
berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi,
Zarasustrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia. Mereka
mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh pasal 29
ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau
peraturan perundangan lain. 26

Baik UUD 1945 maupun turunannya seperti


Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 ini, merupakan bukti
bahwa Negara hadir untuk memberikan perlindungan atas

26
Penjelasan Atas Penetapan Presiden Republik Indonesia
Nomor 1/PNPS Tahun 1965
75

hak beragama dan beribadah, menjaga hak-hak warga


negara untuk menganut agama dan keyakinannya tanpa ada
gangguan dari pihak lain. Karena itulah, maka setiap agama
bebas untuk melaksanakan kegiatannya dengan tetap
menjaga toleransi, hak-hak orang lain serta tidak
menimbulkan kegiatan destruktif.
Pada prakteknya, tidak mudah menjabarkan arti
kebebasan beragama ini. Realitas sosial di masyarakat tak
jarang disuguhi berbagai gesekan yang bermuara pada isu-
isu kebebasan beragama. Keragaman keyakinan tak
sepenuhnya dapat dipahamai sebagia realitas. Sebaliknya,
keragaman tersebut sering menyulut lahirnya kecurigaan
yang tak jarang bermuara pada tindakan destruktif. Seperti
itulah konflik keagamaan terjadi, sering diawali dengan isu
kebebasan beragama yang sepenuhnya belum dapat
dipahami di kalangan bawah.
Setidaknya terdapat tiga isu yang sering muncul dan
ditengarai memicu konflik horizontal, baik internal maupun
eskternal umat beragama.
Pertama, pendirian rumah ibadah. Menteri Agama,
Lukman Hakim Saifuddin mengatakan bahwa pendirian
rumah ibadah masih menjadi sumber sengketa antar-umat
beragama hingga kini. Karena itulah, Menurutnya,
Rancangan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama
yang kini tengah digodok, akan mengatur pengadaan rumah
ibadah guna menghindari terjadinya konflik di tengah
masyarakat.27
Persoalan pendirian rumah ibadat banyak dipahami
masyarakat memiliki muatan kepentingan politis yaitu
berpeluang merubah peta regionalisasi agama di Indonesia.
27
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/02/27/078645723/ke
menterian-agama-evaluasi-aturan-pendirian-rumah-ibadah, diunduh tgl
27 Agustus 2015
76

Sekalipun rumah ibadat adalah bangunan biasa


sebagaimana bangunan lainnya akan tetapi di dalamnya
memuat aspek lain yaitu asumsi politis yang menyatakan
bahwa kehadiran sebuah rumah ibadat menjadi petunjuk
adanya kelompok umat beragama yang menggunakan
bangunan rumah ibadat tersebut.28
Kedua, perbedaan penafsiran dan dugaan penistaan
agama. Kasus munculya aliran sempalan yang memicu
konflik sosial, adalah bukti bahwa masyarakat masih sangat
sensitif untuk menerima perbedan penafsiran. Meskipun,
penafsiran yang nyeleneh juga tidak mampu menunjukkan
kebenarannya secara metodologis. Kasus Ahmadiyah
adalah contoh lainnya yang diklaim sebagai penistaan
agama, sehingga ada banyak penyerangan kepada
komunitas Ahmadiyah. Secara tegas UU ini melarang
apapun yang dianggap dapat memicu munculnya konflik
keagamaan. Pasal 1 Undang-Undang No. 1/PNPS/1965
menyebutkan:
Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka
umum menceritakan, menganjurkan atau
mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan
penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di
Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan
keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan
keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan
mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama
itu.

28
Ridwan Lubis, “PROLOG” dalam Pendirian Rumah Ibadat Di
Indonesia (Pelaksanaan Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri No. 9 dam 8 Tahun 2006), Jakarta: Badan
Litbang dan Diklat Kemenag, 2011 , h. xii
77

Ketiga, penyebaran ajaran agama. Persoalan terberat


di dalam mengelolaan manajemen keagamaan di Indonesia
tertumpu pada penyiaran agama dan pendirian rumah
ibadat. Penyiaran agama akan bersinggungan dengan peta
budaya yang sudah tertanam di dalam benak masyarakat
yaitu korelasi signifikan antara etnisitas dengan religiositas
yang disebut dalam istilah ilmu sosial religious affinity.
Religious affinity mengasumsikan bertemunya dua hal yang
berbeda sifat dan karakternya yaitu etnisitas yang diperoleh
melalui garis keturunan (ascribed status) dan religiositas
yang diperoleh melalui usaha sendiri (achieved status).29
Berbagai masalah yang menggangu kerukunan, pada
akhirnya mendorong pemerintah menerbitkan regulasi.
Regulasi-regulasi yang diterbitkan menyangkut ketiga hal
pokok isu kerukunan.

2. Surat Keputusan Bersama (SKB) NO. 1 Tahun 1969


Tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur
Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan
Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat
Agama dan Pemeluk-pemeluknya.
Keputusan Bersama Menteri Agama Dan Menteri
Dalam Negeri No. 01 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan
Tugas Aparatur Pemerintahan Dalam Menjamin Ketertiban
Dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan Dan Ibadat
Agama Oleh Pemeluk-Pemeluknya menjadi penanda

29
Ridwan Lubis, “PROLOG” dalam Pendirian Rumah Ibadat Di
Indonesia (Pelaksanaan Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri No. 9 dam 8 Tahun 2006), Jakarta: Badan
Litbangd an Diklat Kemenag, 2011 , h. xii
78

keseriusan pemerintah membangun kerukunan. SKB ini


ditandatangani oleh Menteri Agama KH. Moh. Dahlan dan
Menteri Dalam Negeri pada tanggal 13 september 1969.
Pada tahun 1960-an, muncul fenomena gangguan
kerukunan umat beragama yang disebabkan oleh penyiaran
agama yang berorientasi pada penambahan penganut untuk
menampung eks-pemberontak PKI tahun 1965, dan
pengrusakan rumah-rumah ibadat. Kondisi tersebut tidak
kondusif bagi terpeliharanya kerukunan antarumat
beragama, persatuan dan kesatuan bangsa. Pada tahun 1969
pemerintah menerbitkan Keputusan Bersama Menteri
Agama dan Menteri Dalam Negeri No 01/BER/Mdn-
Mag/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur
Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran
Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh
pemeluk-pemeluknya. Selanjutnya disebut SKB 1969. Pada
waktu itu SKB tersebut menjadi acuan pokok dalam
memelihara kerukunan antarumat beragama.30
Dalam pertimbangannya, SKB ini lahir dengan
landasan bahwa Pemerintah mempunyai tugas untuk
memberikan bimbingan dan bantuan guna memperlancar
usaha mengembangkan agama sesuai dengan ajaran agama
masing-masing dan melakukan pengawasan sedemikian
rupa, agar setiap penduduk dalam melaksanakan ajaran
agama dan dalam usaha mengembangkan agama itu dapat
berjalan dengan lancar, tertib dan dalam suasana
kerukunan.

30
Yusuf Asry (ed), Pendirian Rumah Ibadat Di Indonesia
(Pelaksanaan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri No. 9 dam 8 Tahun 2006), (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat
Kemenag, 2011), h. xxi
79

Terdapat empat landasan filosofis terbitnya


Keputusan Bersama Menteri Agama Dan Menteri Dalam
Negeri No. 01 Tahun 1969 ini.
Pertama, kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agama dan kepercayaan dijamin oleh Negara. Hal
ini kembali menegaskan konsesnsus perlunya Negara hadir
dalam membangun kehidupan beragama sebagaimana
tercantum dalam UUD 1945. Kedua, Pemerintah
mempunyai tugas untuk memberikan bimbingan dan
bantuan guna memperlancar usaha mengembangkan agama
sesuai dengan ajaran agama masing-masing dan melakukan
pengawasan sedemikian rupa, agar setiap penduduk dalam
melaksanakan ajaran agama dan dalam usaha
mengembangkan agama itu dapat berjalan dengan lancar,
tertib dan dalam suasana kerukunan. Ketiga, Pemerintah
berkewajiban melindungi setiap usaha pengembangan
agama dan pelaksanaan ibadat pemeluk-pemeluknya,
sepanjang kegiatan-kegiatan tersebut tidak bertentangan
dengan hukum yang berlaku dan tidak mengganggu
keamanan dan ketertiban umum. Keempat, bahwa untuk itu,
perlu diadakan ketentuan-ketentuan mengenai pelaksanaan
tugas aparatur Pemerintah dalam menjamin ketertiban dan
kelancaran pelaksanaan pengembangan dan ibadat agama
oleh pemeluk-pemeluknya.
Keempat landasan ini merupakan perwujudan
komitmen Negara dalam memberikan pelayanan dan
memastikan setiap warga Negara dapat menjalankan
agamanya masing-masing, tanpa ada ancaman, gangguan
maupun penistaan. Dalam perspektif keberagamaan, SKB
No. 1 Tahun 1969 merupakan bentuk penguatan peran
80

Departemen Agama sebagai institusi yang bertanggung


jawab langsung membina kehidupan beragama.
SKB No. 1 Tahun 1969 memiliki tiga substansi
yang diatur:
Pertama, memastikan pemeluk agama dapat
beribadah dan menyebarkan keyakinannya. Terdapat tiga
pasal mengatur hal ini.
Pasal 1 menyebutkan:
Kepala Daerah memberikan kesempatan
kepada setiap usaha penyebaran agama dan
pelaksanaan ibadat oleh pemeluk-peneluknya,
sepanjang kegiatan tersebut tidak bertentangan
dengan hukum yang berlaku dan tidak menganggu
ketertiban
Pasal 2(1) Kepala Daerah membimbing dan
mengawasi agar pelaksanaan penyebaran agama dan
ibadat oleh pemeluk-pemeluknya tersebut:
a. tidak menimbulkan perpecahan
diantara umat beragama;
b. tidak disertai dengan intimidasi,
bujukan, paksaan atau ancaman
dalamsegala bentuknya;
c. tidak melanggar hukum serta
keamanan dan ketertiban umum.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya tersebut
pada ayat (1) pasal ini, Kepala Daerah dibantu dan
menggunakan alat Kepala Perwakilan Departemen
Agama setempat.
81

Pasal 3(1) Kepala Perwakilan Departemen


Agama memberikan bimbingan, pengarahan dan
pengawasan terhadap mereka yang memberikan
penerangan/penyuluhan/ceramah agama/khutbah-
khutbah dirumah-rumah ibadat, yang sifatnya menuju
kepada persatuan antara semua golongan masyarakat
dan saling pengertian antara pemeluk-pemeluk agama
yang berbeda-beda.(2) Kepala Perwakilan
Departemen Agama setempat berusaha agar
penerangan agama yang diberikan oleh siapa pun
tidak bersifat menyerang atau menjelekkan agama
lain.
Penyebaran agama dan keyakinannya merupakan isu
yang sangat sensitif. Tak jarang isu penyebaran agama
tertentu sering memunculkan gesekan yang potensial
melahirkan konflik. Pada saat bersamaan, beragama tak
bisa dipisahkan dari kegiatan penyebaran, baik langsung
maupun tidak langsung. (3) pasal di atas memberikan
gambaran tentang aturan main dalam menyebarkan agama,
disertai dengan dimana dan bagaimana peran dan
kedudukan pemerintah dan departemen agama. Ketiga pasal
ini menegaskan bahwa pemerintah wajib memastikan
kebebasan hak pemeluk agama untuk menyebarkan
keyakinannya, dan pada saat yang bersamaan proses
penyebaran tersebut tidak boleh menimbulkan gesekan.
Kedua, pendirian rumah ibadah. Pendirian rumah
ibadah merupakan isu yang sangat sensitif. Tak jarang
pendirian rumah ibadah memunculkan konflik yang
menjerumuskan pada rusaknya kerukunan. Karena itulah
maka Pasal 4 secara tegas menyatakan cara main
mendirikan rumah ibadah.
82

Pasal 4(1) Setiap pendirian rumah ibadat perlu


mendapatkan izin dari Kepala Daerah atau pejabat
pemerintahan dibawahnya. (2) Kepala Daerah atau pejabat
yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberikan izin
yang dimaksud, setelah mempertimbangkan:
a. Pendapat Kepala Perwakilan Departemen
Agama setempat;
b. Planologi;
c. kondisi dan keadaan setempat.
(3) Apabila dianggap perlu, Kepala Daerah atau
pejabat yang ditunjuknya itu dapat meminta
pendapat dari organisasi-organsasi keagamaan dan
ulama/rohaniawan setempat.
Poin penting dari pasal empat ini adalah perizinan
pendidirna rumah ibadah. Mengapa harus mendapatkan
izin? Bukankah itu hak setiap umat beragama untuk
memiliki tempat ibadah? Perizinan membangun rumah
ibadah menunjukkan bahwa pemerintah ingin agar rumah
ibadah terlindungi secara hukum posistif. Pembangunan
rumah ibadah yang sering memunculkan konflik menjadi
alasan lahirnya ketentuan ini.
Kehadiran PBM diharapkan dapat menghindarkan
perselisihan seputar pendirian rumah ibadat, yang lain:
pembangunan rumah ibadat tanpa Izin Mendirikan
Bangunan (IMB), penggunaan gedung atau rumah tinggal
sebagai tempat ibadat bersama secara rutin tanpa izin dan
tanpa rekomendasi dari FKUB, pembangunan rumah ibadat
tanpa izin sementara, kesulitan pendirian rumah ibadat bagi
pemeluk agama minoritas, arogansi pembangunan rumah
ibadat yang dipaksakan kalangan minoritas tanpa prosedur
xxiii) sesuai PBM, manipulasi administrasi dan tanda
83

tangan pengguna rumah ibadat dan dukungan warga.


Masalah lain yaitu pembangunan rumah ibadat
dipersoalkan oleh masyarakat sekitar dan pencabutan IMB
oleh pemerintah daerah dan pertimbangan karena
meresahkan, menimbulkan gangguan keamanan dan
ketertiban.31
Pemerintah menyatakan bahwa pengaturan rumah
ibadat bukanlah intervensi negara atau pemerintah terhadap
agama. Pengaturan tersebut lebih bersifat
pengadministrasian saja. Hal ini terlihat dalam PBM Bab
IV tentang Pendirian Rumah Ibadat Pasal 14, sebagai
berikut: 1) Pendirian rumah ibadat harus memenuhi
persyaratan administrasi dan persyaratan teknis bangunan
gedung. 2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat 1, bahwa pendirian rumah ibadat harus
memenuhi persyaratan khusus meliputi: a. Daftar nama dan
Kartu Tanda Tangan Penduduk pengguna rumah ibadat
paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan
oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah
sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (3). a.
Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam
puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa. xxiv
b. Rekomendasi tertulis kepala Kantor Departemen Agama
(Kantor Kementerian Agama, Pen) Agama Kabupaten/Kota
dan; c. Rekomendasi tertulis FKUB Kabupaten/Kota. 3)
Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

31
Yusuf Asry, Pendirian Rumah Ibadat Di Indonesia
(Pelaksanaan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006), Jakarta: Badan Litbang dan Diklat
Kemenag, 2011, h. xxiii
84

pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya


lokasi pembangunan rumahibadatan.32
Ketiga, penyelesaian konflik antar umat beragama.
Poin penting dari SKB ini adalah mekanisme penyelesaian
konflik yang muncul di masyarakat. Pasal lima
memaparkan mekanisme tersebut:
Pasal 5
(1) Jika timbul perselisihan atau pertentangan antara
pemeluk-pemeluk agama yang disebabkan karena
kegiatanpenyebaran agama atau pendirian rumah
ibadat, maka Kepala Daerah segera mengadakan
penyelesaian yang adil dan tidak memihak.
(2) Dalam hal perselisihan/pertentangan tersebut
menimbulkan tindakan pidana, maka
penyelesaiannya harus diserahkan kepada alat-
alat penegak hukum yang berwenang dan
diselesaikan berdasarkan hukum.
(3) Masalah-masalah keagamaan lainnya yang
timbul dan diselesaikan oleh Kepala Perwakilan
Departemen Agama segera dilaporkannya kepada
Kepala Daerah setempat.
Poin penting dari pasal 5 ini adalah posisi netral
pemerintah dan mekanisme dialogis dalam penyelesaian
konflik. Sebagai regulator, pemerintah harus memastikan
semua agama dapat menjalankan agama dan ajaran-
ajarannya, dna pada saat bersamaan kebebasan untuk

32
Yusuf Asry, Pendirian Rumah Ibadat Di Indonesia
(Pelaksanaan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri No. 9 dam 8 Tahun 2006), Jakarta: Badan Litbangd an Diklat
Kemenag, 2011, h. xxiv
85

menjalankan agama tidak boleh merusak hak orang lain


dalam beragama.
Inilah tiga nilai yang diperoleh dari substansi SKB
NO. 1 tahun 1969. Kita melihat bahwa pemeirntah telah
meletakkan dasar-dasar kerukunan dalam bentuk regulasi
yang lebih teknis, tidak sebatas apa yang tercantum dalam
UUD 45, tidak sekedar slogan bahwa negara melincungi
hak-hak agama untuk tumbuh.
Secara substansi, SKB NO. 1 tahun 1969 telah
menjiwai semangat menjaga kerukunan. Namun dalam
aplikasinnya SKB ini dipandang masih memiliki
kerkuraangan, terutama masih adanya ambiguitas atau
istilah multitafsir. Dalam pasal-pasal masih menggunakan
bahasa general, seperti pasal satau yang menyebutkan
bahwa “Kepala Daerah memberikan kesempatan kepada
setiap usaha penyebaran agama dan pelaksanaan ibadat oleh
pemeluk-peneluknya, sepanjang kegiatan tersebut tidak
bertentangan dengan hukum yang berlaku dan tidak
menganggu ketertiban umum.” terdapat dua istilah yang
potensial melahirkan multi tafsir, yaitu “sepanjang kegiatan
tersebut tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku”
dan “tidak menganggu ketertiban umum.”
3. Peraturan Bersama Menteri (PBM) No. 9 dan 8
Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas
Kepala Daerah /Wakil Kepala Daerah Dalam
Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama,
Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama
(FKUB), dan Pendirian Rumah Ibadat.
Kemajuan siginifikan dalam hal regulasi terkait
kerukunan nampak dalam Peraturan Bersama Menteri
Agama Dan Menteri Dalam Negeri Nomor : 9 Tahun 2006
86

Nomor : 8 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan


Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam
Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan
Forum Kerukunan Umat Beragama, Dan Pendirian Rumah
Ibadat. Seperti halnya SKB No. 1 Tahun 1969, SKB Nomor
8 dan 9 tahun 2006 menjelaskan regulasi yang lebih
terperinci beberapa hal dalam kehidupan umat beragama.
Seiring dengan perkembangan ketatanegaraan tentang
pelaksanaan otonomi daerah dan peran WMAUB yang
terbatas, serta regulasi SKB dinilai memiliki kelemahan dan
multitafsir, maka diperlukan penyesuaian. Atas dasar itulah
pada era reformasi tepatnya tahun 2006- wakil-wakil
majelis agama yang difasilitasi oleh pemerintah berhasil
menyusun sebuah pedoman menggantikan SKB No
1/BER/Mdn-Mag/1969 pedoman dimaksud ialah Peraturan
Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9
dan xxii) 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan
Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam
Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama. Pemberdayaan
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Pendirian
Rumat Ibadat, selanjutnya disebut PBM. Dengan PBM ini,
FKUB telah dibentuk di semua provinsi dan hampir semua
kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Salah satu tugas
utamanya tentang pendirian rumah ibadat. Kajian dan
penelitian ini berkaitan dengan pendirian rumah ibadat
sebagai pelaksanaan PBM tahun 2006.33
PBM tahun 2006 merupakan kesepakatan
majelismajelis agama tingkat pusat yang terdiri dari Majelis
33
Yusuf Asry (ed), Pendirian Rumah Ibadat Di Indonesia
(Pelaksanaan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri No. 9 dam 8 Tahun 2006), Jakarta: Badan Litbangd an Diklat
Kemenag, 2011, h. xxii
87

Ulama Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-Gereja di


Indonesia (PGI), Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI),
Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) dan Perwakilan
Umat Budha Indonesia (WALUBI) bersama wakil dari
Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri. Hasil
kesepakatan tersebut disahkan oleh Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri pada tanggal 21 Maret 2006.34
Pertama, distribusi tugas dan wewenang serta
tanggung jawab pemerintahan di daerah dalam menjaga
kerukunan.
Pasal 2 (1) Memeliharaan kerukunan umat
beragama menjadi tanggung jawab bersama umat
beragama, pemerintahan daerah dan Pemerintah.
Pasal 3 (1) Pemeliharaan kerukunan umat beragama
di provinsi menjadi tugas dan kewajiban gubernur.
(2) Pelaksanaan tugas dan kewajiban gubernur
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh kepala
kantor wilayah departemen agama provinsi.
Pasal 4 (1) Pemeliharaan kerukunan umat beragama
di kabupaten/kota menjadi tugas dan kewajiban
bupati/walikota.
(2) Pelaksanaan tugas dan kewajiban
bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

3434
Yusuf Asry (ed), Pendirian Rumah Ibadat Di Indonesia
(Pelaksanaan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri No. 9 dam 8 Tahun 2006), Jakarta: Badan Litbangd an Diklat
Kemenag, 2011, h. vii
88

dibantu oleh kepala kantor departemen agama


kabupaten/kota.
Pasal 5 (1) Tugas dan kewajiban gubernur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 meliputi:
a. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat
termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan
umat beragama di provinsi;
b. mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal di
provinsi dalam pemeliharaan kerukunan umat
beragama;
c. menumbuhkembangkan keharmonisan, saling
pengertian, saling menghormati, dan sating percaya
di antara umat beragama; dan
d. membina dan mengoordinasikan bupati/wakil bupati
dan walikota/wakil walikota dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah di bidang ketenteraman dan
ketertiban masyarakat dalam kehidupan beragama.
(2) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d dapat didelegasikan
kepada wakil gubernur. 6
Pasal 6
(1) Tugas dan kewajiban bupati/walikota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi:
a. memelihara ketenteraman dan ketertiban
masyarakat termasuk memfasilitasi
terwujudnya kerukunan umat beragama di
kabupaten/kota;
89

b. mengordinasikan kegiatan instansi vertikal


di kabupaten/kota dalam pemeliharaan
kerukunan umat beragama;
c. menumbuhkembangkan keharmonisan,
saling pengertian, saling menghormati, dan
saling percaya di antara umat beragama;
d. membina dan mengoordinasikan camat,
lurch, atau kepala desa dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah di
bidang ketenteraman dan ketertiban
masyarakat dalam kehidupan beragama; e.
menerbitkan IMB rumah ibadat.
(2) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada
ayat.
Kedua, pembentukan FKUB sebagai lembaga yang
berfungsi sebagai wadah bagi masyarakat agama dalam
menjaga kerukunan.
1) FKUB dibentuk di provinsi dan kabupaten/kota.
2) Pembentukan FKUB sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh masyarakat dan difasilitasi
oleh pemerintah daerah.
3) FKUB sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memiliki hubungan yang bersifat konsulta
(1) FKUB provinsi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1) mempunyai tugas:
a. melakukan dialog dengan pemuka agama
dan tokoh masyarakat;
b. menampung aspirasi ormas keagamaan dan
aspirasi masyarakat;
90

c. menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan


masyarakat dalam bentuk rekomendasi
sebagai bahan kebijakan gubernur; dan
d. melakukan sosialisasi peraturan perundang-
undangan dan kebijakan di bidang
keagamaan yang berkaitan dengan
kerukunan umat beragama dan
pemberdayaan masyarakat.
Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB)
berperan penting dalam upaya menjaga harmoni umat
beragama. Sayangnya peran penting FKUB ini kurang
didukung oleh pemerintah daerah setempat dengan bantuan
dana operasional dan fasilitas yang memadai. Permasalahan
prinsip ini mengemuka dalam dialog Pengembangan
Wawasan Multikultural Antara Pemuka Agama Pusat dan
Daerah di Mamuju, Sulawesi Barat, Rabu (25/5). Menurut
Ketua FKUB Sulawesi Barat, Aruchul Thahir, FKUB hanya
semacam pemadam kebakaran. Pemda baru meminta
bantuan kalau ada masalah konflik keagamaan, sementara
dalam pembinaannya, FKUB sama sekali tidak membina,
bahkan tidak ada bantuan dana dari pemda. Pernyataan
senada dilontarkan Romo Beny Susetyo yang menyatakan
bahwa permasalahan nya sama di sebagian besar wilayah
Indonesia ini, yaitu masalah Pemda yang tidak mendukung
FKUB setempat. Bahkan untuk sosialisasi PBM saja tidak
berjalan.35
Ketiga, kebijakan teknis pendirian rumah ibadah.
Hal yang membedakannya dengan SKB sebelumnya, yaitu
SKB Nomo1 1965, adalah regulasi yang lebih terperinci

35
Tim Penyusun, Laporan Akhir Tahun 2011, Jakarta: Badan
Litbang dan Diklat Kemenag, 2012, h. 54
91

tentang mekanisme pendirian rumah ibadah. Hal ini sangat


jelas dalam pasal 14
Pasal 14
(1) Pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan
administratif dan persyaratan teknis bangunan
gedung.

(2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) pendirian rumah ibadat harus
memenuhi persyaratan khusus meliputi:
a. daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk
pengguna rumah ibadat paling sedikit 90
(sembilan puluh) orang yang disahkan oleh
pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas
wilayah sebagalmana dimaksud dalam Pasal
13 ayat (3);
b. dukungan masyarakat setempat paling sedikit
60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh
lurah/kepala desa;
c. rekomendasi tertulis kepala kantor departemen
agama kabupaten/kota;
d. rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.
(2) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a terpenuhi sedangkan persyaratan
huruf b belum terpenuhi, pemerintah daerah
berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi
pembangunan rumah ibadat.
92

4. SKB Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri


Dalam Negeri No: 03 Tahun 2008 tentang Masalah
JAI
Mengenai permasalahan JAI, Menteri Agama, Jaksa
Agung, dan Menteri Dalam Negeri pada tanggal 9 Juni
2008 telah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB)
Nomor: 03 Tahun 2008, Nomor: KEP-033/A/JA/6/2008,
Nomor: 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah
Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat,
yang berisi:
1. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga
masyarakat untuk tidak menceritakan, menganjurkan
atau mengusahakan dukungan umum melakukan
penafsiran tentang suatu agama yang dianut di
Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang
menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang
menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu;
2. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada
penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus JAI,
sepanjang mengaku beragama Islam, untuk
menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan
yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama
Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya
nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad
SAW;
3. Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus JAI
yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah
dalam SKB ini dapat dikenai sanksi sesuai ketentuan
peraturan perundangan termasuk terhadap organisasi
dan badan hukumnya;
93

4. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga


masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan
umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban
kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan
perbuatan dan/atau tindakan melawan hukum terhadap
penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus JAI.
5. Warga masyarakat yang tidak mengindahkan
peringatan dan perintah dalam SKB ini dapat dikenai
sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
6. Memerintahkan kepada aparat Pemerintah dan
pemerintah daerah untuk melakukan langkah-langkah
pembinaan dalam rangka pengamanan dan pengawasan
pelaksanaan Keputusan Bersama ini.
Perlu ditegaskan bahwa SKB itu bukanlah bentuk
intervensi Pemerintah terhadap keyakinan warga
masyarakat, melainkan upaya Pemerintah untuk
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat yang
terganggu karena adanya pertentangan dalam masyarakat
yang terjadi akibat penyebaran paham keagamaan
menyimpang.
Bagi Pemerintah, masalah Jemaat Ahmadiyah
Indonesia mempunyai dua sisi. Pertama, Ahmadiyah
adalah penyebab lahirnya pertentangan dalam masyarakat
yang berakibat terganggunya keamanan dan ketertiban
masyarakat. Sisi kedua, warga JAI adalah korban tindakan
kekerasan sebagian masyarakat. Kedua sisi ini harus
ditangani Pemerintah.
Seperti diketahui, SKB itu berisi 6 butir yang intinya
terbagi atas dua bagian. Pertama, memerintahkan kepada
penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat
94

Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama


Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan
kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran
Agama Islam, yaitu penyebaran faham yang mengakui
adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi
Muhammad SAW. Bagi pelanggarnya dapat dikenai sanksi
hukum termasuk badan hukum dan organisasinya. Sanksi
hukum yang dimaksud disini ialah Pasal 156a KUHP
tentang Penodaan Agama. Kedua, memerintahkan kepada
warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara
kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan
ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak
melakukan perbuatan dan/atau tindakan melawan hukum
terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Ini berarti Pemerintah
melindungi warga JAI sebagai warga negara yang selama
ini menjadi target tindak kekerasan sebagian warga
masyarakat. Bagi pelanggarnya dapat dikenakan sanksi
antara lain sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 156 tentang
penyebaran kebencian dan permusuhan, Pasal 170 tentang
tindakan kekerasan terhadap orang atau barang, Pasal 187
tentang pembakaran, Pasal 351 tentang penganiayaan,
Pasal 335 tentang perbuatan tidak menyenangkan, Pasal
406 tentang perusakan barang, dan lain-lain.
Dapat ditambahkan pula bahwa SKB ini meskipun
banyak dipahami orang bukan merupakan produk hukum
mengikat sebagaimana diatur dalam UU No. 10 Tahun
2004, tetapi menurut Pasal 7 ayat (4) UU ini, sesungguhnya
SKB ini mempunyai kekuatan hukum yang mengikat
karena diperintah peraturan perundangan yang lebih tinggi
yakni UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama.
95

Selain itu SKB juga memerintahkan aparat pusat dan


daerah untuk melakukan langkah-langkah pembinaan dan
pengawasan bagi pelaksanaan SKB ini. Langkah
pembinaan ini dimaksudkan memberi kesempatan kepada
penganut JAI untuk memperbaiki perbuatannya yang
menyimpang itu. Secara teknis yuridis, jika terjadi
pelanggaran bagi SKB ini, maka masyarakat dapat
melaporkannya kepada aparat hukum, yang selanjutnya
akan mengambil tindak lanjut. Apakah suatu tuduhan suatu
penodaan agama itu telah terjadi atau tidak, akan dilakukan
oleh hakim di Pengadilan dengan tentu saja mendengarkan
saksi ahli.
5. Peraturan Pemerintah No 55 Tahun 2007 tentang
Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan
Mengenai pendidikan Agama dan pendidikan
Keagamaan, pemerntah telah menetapkan PP No.55 Tahun
2007 yang berisi:
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
1. Pendidikan agama adalah pendidikan yang
memberikan pengetahuan dan membentuk sikap,
kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam
mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan
sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah
pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
2. Pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang
mempersiapkan peserta didik untuk dapat
menjalankan peranan yang menuntut penguasaan
96

pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi


ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya.

PENDIDIKAN AGAMA
Pasal 2
(1) Pendidikan agama berfungsi membentuk manusia
Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu
menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter
dan antarumat beragama.
(2) Pendidikan agama bertujuan untuk berkembangnya
kemampuan peserta didik dalam memahami,
menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang
menyerasikan penguasaannya dalam ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni.
Pasal 4
(1) Pendidikan agama pada pendidikan formal dan
program pendidikan kesetaraan sekurang-kurangnya
diselenggarakan dalam bentuk mata pelajaran atau
mata kuliah agama.
(2) Setiap peserta didik pada satuan pendidikan di semua
jalur, jenjang, dan jenis pendidikan berhak mendapat
pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya dan
diajar oleh pendidik yang seagama.
Pasal 5
(1) Pendidikan agama mendorong peserta didik untuk
taat menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan
sehari-hari dan menjadikan agama sebagai landasan
etika dan moral dalam kehidupan pribadi,
97

berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan


bernegara.
(2) Pendidikan agama mewujudkan keharmonisan,
kerukunan, dan rasa hormat diantara sesama pemeluk
agama yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain.

PENDIDIKAN KEAGAMAAN
Pasal 9
(1) Pendidikan keagamaan meliputi pendidikan
keagamaan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha,
dan Khonghucu.
(2) Pendidikan keagamaan diselenggarakan pada jalur
pendidikan formal, nonformal, dan informal.
(3) Pengelolaan pendidikan keagamaan dilakukan oleh
Menteri Agama.

Pasal 10
(1) Pendidikan keagamaan menyelenggarakan
pendidikan ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran
agama.
(2) Penyelenggaraan pendidikan ilmu yang bersumber
dari ajaran agama sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) yang memadukan ilmu agama dan ilmu
umum/keterampilan terutama bertujuan untuk
mempersiapkan peserta didik pindah pada jenjang
yang sama atau melanjutkan ke pendidikan umum
atau yang lainnya pada jenjang berikutnya.
98

Pasal 12
(1) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberi
bantuan sumber daya pendidikan kepada pendidikan
keagamaan.
(2) Pemerintah melindungi kemandirian dan kekhasan
pendidikan keagamaan selama tidak bertentangan
dengan tujuan pendidikan nasional.
Pasal 13
(1) Pendidikan keagamaan dapat berbentuk satuan atau
program pendidikan.
(2) Pendidikan keagamaan dapat didirikan oleh
Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat.
(3) Pendirian satuan pendidikan keagamaan wajib
memperoleh izin dari Menteri Agama atau pejabat
yang ditunjuk.

Berdasarkan PP. No. 55 tahun 2007, pendidikan


agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan
dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan
peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang
dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata
pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan. Sedangkan Pendidikan keagamaan adalah
pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat
menjalankan peranan yang menuntut penguasaan
pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli
ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya.
Berdasarkan PP. No 55 Tahun 2007 di atas juga
dijelaskan bahwa Pendidikan agama berfungsi membentuk
manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu
99

menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan


antarumat beragama. Sedangkan tujuan pendidikan agama
untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam
memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai
agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni. Sedangkan pendidikan
keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi
anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan
nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu
agama. Pendidikan keagamaan bertujuan untuk
terbentuknya peserta didik yang memahami dan
mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi
ahli ilmu agama yang berwawasan luas, kritis, kreatif,
inovatif, dan dinamis dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa yang beriman, bertakwa, dan berakhlak
mulia.
100
BAB IV
PERAN PENYULUH AGAMA ISLAM DALAM
MENCEGAH KONFLIK ATAS NAMA AGAMA DI
INDONESIA

A. Konflik Agama di Indonesia


Sebelum abad ke-20 Indonesia sempat dijuluki
sebagai Negara yang toleran dalam hubungan antara umat
beragama. Namun, sayang sejak penghujung awal abad ke
21 julukan tersebut mulai digugat bahkan seakan-akan sirna
karena muncul berbagai konflik yang bernuansa agama.1
Peranan peyuluh agama dalam menangani konflik pada
tahap ini masih pada tataran pasca konflik belum sampai
kepada penanganan pra konflik. Penanganan pasca konflik
artinya penyuluh turun tangan menangani konflik setelah
konflik itu terjadi, dalam hal ini belum ada upaya
penanganan pra konflik dalam bentuk pencegahan agar
konflik tersebut tidak terjadi. Konflik-konflik tersebut
antara lain penyerangan terhadap Jamaah Ahmadiah
Indonesia di Tasiklmalaya serta konflik Sunni-Syiah di
Sampang. Dua kasus ini akan dijelaskan untuk
menggambarkan bagaimana konflik itu terjadi dan apa
peranan penyuluh terhadap dua kasus tersebut :
1. Konflik Penyerangan JAI di Tasikmalaya
Penyerangan terhadap kelompok Jamaah
Ahmadiah Indonesia (JAI) terjadi di Tasikmalaya
pada tahun 2013. Kabupaten Tasikmalaya merupakan
satu diantara pusat eksistensi Jamaah Ahmadiyah
1
Ahmad Syafi’I Mufid (Ed), Kasus-Kasus Aktual Kehidupan
Keagamaan di Indonesia, (Jakarta: Kementrian Agama Badan Litbang
dan Diklat, 2014), h. Ix

101
102

Indonesia (JAI). Pemeluk Ahmadiyah di Kabupaten


Tasikmalaya tersebar di enam Kecamatan, yaitu Kec.
Salawu (mayoritas, +400 orang), Singaparna,
Cigalontang, Sukaratu, Parung Ponteng dan
Bantarkalong. Hal ini menyulitkan dalam
pemberdayaan, mengingat selain jarak antar
kecamatan sangat jauh, juga jumlahnya sangat sedikit
di masing-masing kecamatan, kecuali di Kecamatan
Salawu yang merupakan mayoritas dan pusat JAI.
Wilayah Tenjowaringin diketahui sebagai basis
JAI di Kabupaten Tasikmalaya. Sebagian besar
masyarakat di kampung tersebut tercatat sebagai
anggota JAI. Sedangkan di Kutawaringin, populasi
pengikut JAI tidaklah sebanyak di Tenjowaringin.
Dibanding Kutawaringin, Tenjowaringin menjadi
pusat konflik penyerangan dan perusakan aset JAI
oleh sekelompok ormas Islam.2
Keberadaan JAI telah mengusik berbagai
penentangan dari beberapa ormas Islam. Seperti
halnya isu-isu di tempat lain, JAI dianggap
melakukan penistaan agama dengan mengakui
beberapa ajaran yang bertentangan dengan dasar-
dasar syariat Islam. Tidak mengherankan, seperti
halnya di Kabupaten Kuningan, Lombok maupun
Cikeusik, eksistensi JAI mendapat perlawanan dari

2
Tidak pernah diperoleh angka pasti berapa pengikut Jai di Desa
Tenjowaringin. Selain tidak tersedianya kartu anggota JAI yang merata,
kondisi masyarakat di kedua desa tersebut sangat cair dan membaur,
mengingat baik anggota JAI maupun non JAI memiliki ikatan
persaudaraan, seperti anak-ayah, kakak-adik dan sejenisnya. Dilihat
dari aktifitasnya, di Tenjowartingin-lah terdapat banyak anggota JAI,
sementara di Kutawaringin hanya berkisar di angka 30-an. Wawancara
dengan Kasi Bimas Kemenag Kab. Tasikmalaya, 25 Juni 2013.
103

ormas Islam yaitu FPI dan kelompk garis keras


lainnya.3
Tercatat, permukiman Ahmadiyah di Desa
Tenjowaringi, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat,
diserang ratusan orang tidak dikenal. Penyerangan
tersebut berlangsung sekitar pukul 01.30 WIB,
Minggu dinihari tanggal 5 Mei 2013. Tidak ada
korban luka dalam peristiwa tersebut, namun
beberapa rumah yang sempat dilwati oleh masa tak
dikenal mengalami kerusakan.4 Kasus penyerangan
ini menyebabkan disharmoni antar umat beragama.

2. Konflik Sunni-Syiah di Sampang


Dunia terhenyak saat media massa
memberitakan tragedi kerusuhan di Sampang Madura
Jawa Timur. Berdasarkan release Tim Kementerian
Agama Provinsi Jawa Timur, konflik tersebut terjadi
pada hari Minggu tanggal 26 Agustus 2012, sekitar
pukul 11.30 WIB sampai dengan 13.30 WIB, di
tempat kejadian perkara (TKP), Dusun. Nangkernang
Desa. Karang gayam Kecamatan Omben, Kabupaten
Sampang. Bentrokan melibatkan kelompok Tajul dan
Kelompok Rois. Adapun rangkainnya adalah sebagai
berikut:

3
Front Pembela Islam (FPI) Kabupaten Tasikmalaya menjadi
motor penolakan eksistensi JAI di Tasikmalaya. Pada
perkembangannya, pada tahun 2011 FPI mendirikan Ikatan Masyarakat
Korban Aliran Sesat Ahmadiyah (IMKASA), dimana anggotanya
adalah mantan pengikut JAI. http://www.pikiran-rakyat.com/jawa-
barat/2011/06/20/149235/ratusan-mantan-jamaah-ahmadiyah-
deklarasikan-imkasa.
4
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/410530-ahmadiyah-
tasikmalaya-diserang--garut-tingkatkan-
keamanan?fb_comment_id=328735603921317_1567573#f20d93a7ac
104

Kejadian bermula ketika anak-anak para


pengikut Syi'ah yang mondok di YAPI Bangil dan
Pekalongan akan kembali pasca libur lebaran.
Sementara itu, masyarakat meyakini bahwa mereka
tidak akan kembali lagi ke YAPI Bangil dan
Pekalongan karena dijamin biaya pendidikannya oleh
Pemkab Sampang untuk disekolahkan/dipondokkan
di lembaga pendidikan dan pesantren di Sampang.
Masyarakat menilai kalau mereka tetap kembali,
nantinya akan menjadi kader Syi'ah dan kelak akan
menjadi persoalan baru yang lebih besar;
Dari pemahaman seperti itu, masyarakat Karang
Gayam mencegah mereka untuk kembali ke
pondoknya. Sebaliknya, masyarakat menyarankan
mereka untuk kembali lagi ke rumah. Tidak ada
sedikitpun kekerasan dilakukan dan masyarakat Sunni
tidak membawa senjata tajam;
Selama perjalanan kembali ke rumah, belum
ada tanda-tanda perlawanan dari mereka. Hanya saja,
ketika sudah mendekati rumah Tajul Muluk,
komunitas Syi'ah mulai mengolok-olok, lalu
menyerang masyarakat Sunni dengan lemparan batu,
bom molotof, bahan peledak yang berisi butiran
kelereng, serta ranjau yang siap meledak ketika
diinjak;
Ketika masuk ke halaman rumah komunitas
Syiah, terdengar ledakan ranjau yang diinjak dan bom
molotof yang dilempar. Beberapa masyarakat pun
terluka oleh serpihan ledakan kelereng, baik yang
masih utuh maupun yang pecah. Di antara korban
yang semuanya berasal dari masyarakat Sunni itu ada
yang jari jemarinya putus, serta terluka di bagian
paha, bahu, dan kepala;
105

Masyarakat Sunni mundur untuk mengambil


senjata guna melawan kekerasan komunitas Syi'ah
dan meminta bantuan, di antaranya dengan
mengumumkan melalui pengeras suara di Mushalla.
Masyarakat lalu berdatangan untuk memberi bantuan.
Bentrokan antar kedua belah pihak yang sama-sama
membawa senjata pun tidak terelakkan;
Emosi massa semakin memuncak dan rumah
Tajul Muluk pun dibakar. Saat itu, terdengar ledakan
yang cukup besar. Kepolisian telah menangkap
sekitar 7 orang, dan semuanya adalah pengikut
kelompok Rois. Para pengikut Tajul dievakuasi di
pengungsian di GOR Indor Sampang, dan jumlahnya
mencapai sekitar 279 Pengungsi.5
Tentang adanya konflik kepentingan juga
ditemukan oleh Lembaga Perlindunagn Saksi dan
Korban (LPSK). Sebagaimana release yang
disampaikan, bahwa diantara penyebab konflik adalah
konflik pribadi antara Ro'is yang merupakan tokoh
Syiah dengan Tajul Muluk diikuti oleh masing-
masing pengikut secara berkepanjangan, hingga ke
event Pilkada, yang mana pada masa tersebut ada
pemilihan bupati Sampang dahulu, yang menggalang
masa serta suara dari masyarakat Sunni, namun pada
akhirnya dia (Bupati Sampang-red) tidak menang
juga, sehingga menjadi salah satu penyebab konflik.6
Informasi ini juga diperkuat dengan pengakuan
Ibunda Rois dan Tajul, bahwa konflik Syiah dan
masyarakat bukanlah murni karena persoalan
keyakinan. Kerusuhan tersebut murni berlatar
5
Dokumen Ditjen Bimas Islam 2013
6
http://news.detik.com/berita/2240068/lpsk-temukan-5-penyebab
-konflik-sunni-syiah-di-sampang-madura
106

belakang konflik keluarga yang tak lain adalah


keluarga tokoh masyarakat setempat, Tajul Muluk
dan Rois.7
Menurut Ibunda Tajul Muluk, Umi Ummah,
konflik terjadi antara Tajul Muluk berawal dari
masalah yang sangat pribadi, terus menjurus kepada
masalah keyakinan, hingga Rois pernah mengatakan
bahwa keluarga kafir. Ia pun mengingatkan kedua
anaknya agar menyelesaikan konflik, akan tetapi Rois
tidak mau dan memilih untuk melakukan carok
(jelaskan makna carok). Sejak itulah konflik tersebut
muncul hingga menjadi besar seperti sekarang ini,
bahkan hingga menimbulkan korban jiwa.8
Fakta ini juga diperkuat hasil kajian Tim
Kementerian Agama yang terdiri dari unsur Ditjen
Bimas Islam, Kanwil Kemenag Jawa Timur, IAIN
Sunan Ampel dan Kemenag Kabupaten Sampang.
Perseteruan antara kelompok Tajul dan kelompok
Rois berlatar belakang masalah keluarga (pribadi)
yang penyelesaiannya terus dilakukan dengan
melibatkan berbagai pihak antara lain: Kankemenag

7
Keduanya merupakan kakak beradik, anak pasangan Kyai
Mamun bin KH Achmad Nawawi dengan Ummah. Tajul Muluk
merupakan tokoh sentral dalam penyebaran ajaran Syiah. Keluarga
Kyai Mamun merupakan tokoh terpandang di wilayah Karang
Gayam.Tajul Muluk merupakan anak kedua dari delapan bersaudara.
Saudara tertuanya bernama Iklil al-Milal, yang rumahnya turut dibakar
masa anti syiah pada insiden kerusuhan tersebut. Sedangkan, adik Tajul
secara berurutan yakni Rois al-Hukama, Fatimah az-zahra, Ummu
Hani, Budur Makzuzah, ummu Kultsum, Ahmad Miftahul Huda.
8
Perempuan paruh baya yang kini juga ikut mengungsi bersama
warga Syiah di GOR Sampang, Madura.
http://news.okezone.com/read/2012/08/30/337/682477/asal-mula-
konflik-sampang-versi-ibunda-tajul-muluk-rois
107

Kab. Sampang dan Pemerintah Daerah Kab.


Sampang, serta Pemerintah Provinsi Jatim dan
Kanwil Kemenag Jatim.9
Berbagai fakta dana analisa dari pihak-pihak
terkait mengerucut pada satu kesimpulan yang begitu
kuat, bahwa konflik Dyiah di Sampang Jawa Timur
lebih kepada konflik politik antara dua tokoh Rosi
dan Tajul Muluk, yang mana konflik tersebut
memberi dampak yang luas terhadap berbagai aspek
kehidupan para pengikutnya. Fanatisme para pengikut
keduanya telah melahirkan absolutisme kebenaran,
sehingga merekapun akan membela apapun yang
diperintahkan kedua pimpinan tersebut, tanpa
mengindahkan rasionalitas. Pada akhirnya, sentimen
agamalah yang paling memungkinkan sebagai alasan
untuk menutupi kejadian yang sesungguhnya.
Meskipun demikian, konflik ini masih bernuasnas
konflik atas nama agama.

B. Peran Penyuluh Agama Dalam Menangani Konflik


Beban tugas Penyuluh Agama Islam (PAI) 10dalam
masa pembangunan dewasa ini, dituntut agar mampu
menyebarkan segala aspek pembangunan melalui pintu
agama agar penyuluhan dapat berhasil, maka seorang
penyuluh agama harus dapat memahami materi da’wah,

9
Dokumen Ditjen Bimas Islam tentang Penanganan Konflik
Syiah-Sunni.
10
Istilah Penyuluh Agama mulai disosialisasikan sejak tahun
1985 yaitu dengan adanya Keputusan Menteri Agama nomor 791 Tahun
1985 tentang honorarium bagi Penyuluh Agama. Istilah Penyuluh
Agama dipergunakan untuk mengganti istilah Guru Agama Honorer
(GAH) yang dipakai sebelumnya di lingkungan kedinasan Departemen
Agama.
108

menguasai betul metode dakwah dan teknik penyuluhan,


sehingga diharapkan seorang penyuluh agama dapat
mencapai tujuan da’wah yaitu dapat mengubah masyarakat
sasaran kearah kehidupan yang lebih baik dan sejahtera
lahir maupun batin. Wajar kiranya penyuluh agama
diharapkan dapat berperan pula sebagai motivator
pembangunan.
1. Peran Penyuluh Agama pada Konflik JAI
Tasikmalaya
Salah satu peran pemerintah melalui penyuluh
agama Islam adalah upaya pencegahan konflik JAI
di Tasikmalaya telah dilakukan oleh pemerintah,
baik pusat maupun daerah. Pemerintah pusat yang
diwakili Kementerian Agama, telah mengambil
langkah-langkah penyelesaian permasalahan JAI.
Bersama Kejaksaan Agung, Departemen Dalam
Negeri, Mabes POLRI dan beberapa tokoh agama,
diselenggarakan dialog dengan Pengurus Besar JAI
sejak tanggal 7 September 2007 sampai dengan 14
Januari 2008. Pertemuan tersebut menghasilkan 12
butir penjelasan PB JAI tentang pokok-pokok
keyakinan dan kemasyarakatan warga JAI.11
Pemerintah Provinsi Jawa Barat juga
menerbitkan Peraturan Gubernur Jawa Barat

11
Dalam rangka memantau pelaksanaan 12 butir Penjelasan PB
JAI di lapangan, Menteri Agama telah membentuk Tim Pemantau dan
Evaluasi yang beranggotakan unsur-unsur dari Departemen Agama,
Kejaksaan Agung, Departemen Dalam Negeri, dan POLRI. Pemantauan
dan evaluasi di lapangan dilakukan selama 3 bulan di 55 titik komunitas
JAI, yang terdapat di 33 kabupaten/kota. Di samping itu Departemen
Agama telah melakukan kajian terhadap 21 buah buku yang diterbitkan
atau digunakan di kalangan JAI, dan sebuah buku berjudul Al-Qur’an
dengan Terjemahan dan Tafsir Singkat yang diterbitkan oleh JAI.
109

Nomor : 12 Tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan


Jemaat Ahmadiyah Indonesia Di Jawa Barat pada
tanggal 2 Maret 2011. Terdapat tiga bagian penting
dari Pergub ini.
Pertama, pelarangan warga JAI melakukan
kegiatan dalam bentuk apapun sepanjang berkaitan
dengan kegiatan penyebaran penafsiran dan aktifitas
yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama
Islam. Pergub No 12 2011 menegaskan pelarangan
bagi JAI untuk beraktifitas dalam dakwah. Warga
JAI diminta untuk tidak menyebarkan paham dan
ajarannya.
Hal ini sebagaimana tercantum dalam psal 4
Pergub 12 Tahun 2011.
Aktifitas Jemaat Ahmadiyah
Pasal 312
(1) Penganut, anggota dan/atau anggota pengurus
Jemaat Ahmadiyah dilarang melakukan aktifitas
dan/atau kegiatan dalam bentuk apapun sepanjang
berkaitan dengan kegiatan penyebaran penafsiran
dan aktifitas yang menyimpang dari pokok-pokok
ajaran agama Islam.
(2) Aktifitas/kegiatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi :
a. penyebaran Ajaran Ahmadiyah secara lisan,
tulisan, ataupun melalui media elektronik;

12
Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor : 12 Tahun 2011
110

b. pemasangan papan nama organisasi Jemaat


Ahmadiyah Indonesia di tempat umum;
c. pemasangan papan nama pada rumah peribadatan,
lembaga pendidikan dan lain sebagainya dengan
identitas Jemaat
Ahmadiyah Indonesia; dan
d. penggunaan atribut Jemaat Ahmadiyah Indonesia
dalam bentuk apapun.
(3) Pemerintah Daerah menghentikan
aktifitas/kegiatan Penganut, anggota dan/atau
anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan (2), sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Kedua, himbauan kepada masyarakat untuk
tidak melakukan tindakan anarkis dalam merespon
warga JAI.
Pasal 4
(1) Masyarakat dilarang melakukan tindakan anarkis
dan/atau perbuatan melawan hukum berkaitan
dengan aktifitas Penganut, anggota dan/atau
anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah yang
menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama
Islam.
(2) Tindakan terhadap aktifitas Penganut, anggota
dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah
yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama
Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilakukan aparat yang berwenang sesuai ketentuan
peraturan perundangundangan.
111

Ketiga, tugas dan tanggung jawab pembinaan


serta pengawasan JAI berada di pemerintah daerah.
Pasal 9
(1) Pemerintah Daerah melaksanakan pembinaan dan
pengawasan dalam penanganan Jemaat
Ahmadiyah, dengan mendayagunakan Majelis
Ulama Indonesia Jawa Barat, tokoh agama Islam
dan tokoh masyarakat setempat.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertujuan untuk memberi kesempatan kepada
Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus
Jemaat Ahmadiyah untuk memperbaiki perbuatan
yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam.
(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertujuan untuk mengambil langkah-langkah
tindaklanjut dalam penanganan kegiatan
penyebaran penafsiran dan aktifitas yang
menyimpang dari pokokpokok ajaran agama Islam
yang berdampak pada timbulnya konflik sosial dan
tindakan melawan hukum oleh masyarakat, sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pergub 12 2011 ini mendapat penentangan
dari pengikut JAI. Pasca terbitnya Pergub No.
12/2011, ekskalasi tindak anarkis terhadap JAI di
daerah-daerah malah bertambah. Hal tersebut
diungkapkan juru bicara JAI wilayah Priangan
Barat Rafiq Ahmad S. Gandakusuma saat bertemu
dengan Komisi E DPRD Jabar di Gedung DPRD
Prov. Jabar, Jln. Diponegoro, Kota Bandung,
Selasa (15/3/2011). Beberapa friksi itu antara lain
112

perusakan Masjid Ahmadiyah di daerah


Cipeuyeum Kab. Cianjur, perusakan 8 rumah
warga JAI di Kab. Bogor, penutupan sebuah
madrasah di daerah Jampang Kab. Sukabumi.13
Sementara, bagi pemprov Jawa Barat,
terbitnya Pergub No. 12/2011 merupakan langkah
antisipatif dan pencegahan atas permasalahan JAI
yang terus memunculkan konflik. Pergub
diterbitkan setelah sebelumnya digelar rapat
koordinasi pimpinan daerah pada 2 Maret 2011 di
Gedung Pakuan. Pada rapat tersebut, pimpinan
daerah yang terdiri dari Gubernur Jawa Barat,
wakil gubernur, DPRD Jawa Barat, Panglima
Kodam III/Siliwangi, Kapolda Jawa Barat, dan
Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, mendukung
Pemprov Jabar untuk menetapkan Pergub larangan
kegiatan jemaat Ahmadiyah Jawa Barat. Pergub
ini terbit didasarkan pada pasal 14 ayat 1 huruf b
Undang-undang Nomor 32/2004 tentang
Pemerintah Daerah. Dan menindaklanjuti Surat
Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung,
dan Menteri Dalam Negeri yang tertuang dalam
Nomor 3/2008, Nomor Kep-033/A/JA/6/2008, dan
Nomor 199 tahun 2008 tentang peringatan dan
perintah kepada penganut, anggota, dan anggota
pengurus jemaat Ahmadiyah Indonesia dan warga
masyarakat. Menurut Gubernur Jawa Barat, Ahmad
Heryawan, Pergub diterbitkan untuk memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat dari adanya

13
http://www.pikiran-rakyat.com/serial-konten/terkait-pergub-
pelarangan-ahmadiyah
113

pertentangan akibat penyebaran paham yang


menyimpang.14
Di tingkat bawah, terbitnya SKB dan Pergub
Nomor 12/2011 menjadi landasan bagi pihak-pihak
terkait untuk mengambil langkah-langkah
aktisipatif guna mencegah konflik meluas. Dalam
hal ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten
Tasikmalaya, Kementerian Agama Tasikmalaya
dan staheholders menurunkan tim kecil untuk turun
ke lapangan dan memberi pembinaan warga di
wilayah Kecamatan Salawu.
Berdasarkan data KUA Kecamatan Salawu,
tercatat beberapa warga JAI menyatakan keluara
dari JAI. Diinisiasi oleh Ikatan Masyarakat Korban
Aliran Sesat Ahmadiyah (IMKASA), sejak 2011
diklaim 700 orang menyatakan bergabung dengan
Imkasa. Walau data tersebut sangat susah
terkonfirmasi, mengingat pendataan tidak disertai
dengan bukti tertulis.
Penanganan JAI dan berbagai masalah yang
muncul di sekitarnya bukan hanya tanggung jawab
pemerintah, melainkan seluruh elemen bangsa
sesuai dengan kapasitas dan posisinya. Keterlibatan
aktif elemen masyarakat berkontribusi besar dalam
mencegah konflik yang lebih jauh. Di sinilah
partisipasi masyarakat menjadi keharusan.
Masyarakat dengan beragam latar belakang dan
perannya harus diberikan ruang untuk berperan,
sehingga pencegahan dan penanggulangan

14
http://www.jpnn.com/read/2011/03/04/85753/Jabar-Resmi-
Larang-Aktivitas-Ahmadiyah-
114

radikalisme agama tidak melulu dengan cara-cara


represif dan penegakkan hukum.15
Secara terotis, konsepsi model dakwah
dengan mengedepankan nilai-nilai lokal sejalan
dengan teori partisipatoris. Dalam konteks konflik
bernuansa agama, partisipasi masyarakat harus
diberikan ruang yang seluas-luasnya dalam
pencegahan dan penanggulangan konflik tersebut.
Partisipasi masyarakat dapat diwujudkan dalam
beragam bentk: dialog budaya, pemberdayaan
ekonomi, bimbingan konseling. Dalam hal ini,
konflik bernuansa agama tidak lagi menjadi
domain hukum dan keamanan dalam penangannya,
melainkan juga menjadi domain masyarakat secara
luas untuk berpartisipasi, khususnya masyarakat di
wilayah konflik itu sendiri.
Permasalahan ideologi tidak dapat
diselesaikan dengan cara-cara yang represif, namun
harus dirumuskan cara penanggulangan yang
efekif, menggunakan penyelesaian dengan pola-
pola yang persuasif di mana faktor komunikasi dan
humanis menjadi kunci yang sangat penting (soft
approach).16 Tidak tepat jika penanganan JAI
diserahkan kepada penegak hukum semata dan
menyerahkan seluruh tanggung jawab
penyelesaiannya kepada pemerintah. Untuk itu

15
Jaja Zarkasyi, “Radikalisme dan Upaya Pencegahannya
Berbasis Partisipatoris,” dalam Jurnal Bimas Islam Vol. 7. No. 3 Tahun
2014, h. 581
16
Dhyah Madya Ruth S.N., S.H., M.Kn. (editor), Memutus Mata
Rantai Radikalisme Dan Terorisme, Jakarta: Lazuardi Birru, 2010, h.
13
115

harus diupayakan sinergi dari seluruh stakeholder,


harus dilihat bahwa persoalan ini bukan semata-
mata tanggung jawab pemerintah dan aparat. Ada
generasi dan tunas-tunas bangsa yang harus
diselamatkan dari bahaya konflik keagamaan.17
Penyuluh telah melakukan pemberdayaan
ekonomi yang merupkan opsi lain dalam
penanganan JAI di Tasikmalaya. Pemberdayaan
ekonomi bertujuan memperkuat program
pembinaan keagamaan di Kecamatan Salawu,
khususnya di Desa Tenjowaringin dan
Kutawaringin. Pemberdayaan ekonomi ini
dijalankan langsung oleh anggota Majelis Taklim
dan kelompok usaha dengan dibimbing kalangan
profesional dan tokoh agama. Menurut Kepala
Seksi Bimas Islam Kemenag Kabupaten
Tasikmalaya, Drs. H. Danial Abdul Kholik, M.Si,
pihaknya bersama tokoh agama telah melakukan
langkah permberdayaan ekonomi melalui kegiatan
peternakan, perkebunan dan usaha kecil lainnya.
Menurutnya, saat ini terdapat kelompok usaha
diantaranya pembibitan ikan, ternak kambing dan
pembibitan pohon jati.18
Pada tahun 2013, Direktorat Jenderal Bimas
Islam telah meluncurkan program pembinaan
kehidupan keagamaan melalui peningkatan
perekonomian, program ini melibatkan PAI yang
ada di Kabupaten Tasikmalaya khususnya di

17
Jaja Zarkasyi, “Radikalisme dan Upaya Pencegahannya
Berbasis Partisipatoris,” dalam Jurnal Bimas Islam Vol. 7. No. 3 Tahun
2014, h. 588
18
Wawancara dengan Danial Abdul Kholik, Juni 2013
116

daerah rawan konflik. Salah satu lokasi yang


menjadi sasaran adalah Kecamatan Salawu
Kabupaten Tasikmalaya yang beberapa tahun ke
belakang terjadi konflik antara warga masyarakat
dengan pemeluk JAI. Sebanyak 16 kelompok usaha
yang telah ada mendapatkan bantuan dana
pengembangan usaha, disamping bantuan
operasional bagi penguatan peran Majelis Taklim
sejumlah 3 lokasi dan pembangunan Madrasah
Ibtidaiyah (MI) Bahrussalam Desa Kutawaringin
Kecamatan Salawu.
2. Peran Penyuluh Agama pada Konflik Syiah-
Sunni di Sampang
Kasus kedua yang pernah dilakukan
Pemerintah Indonesia melalu Kementrian Agama
dan Penyuluh Agama Islam adalam merendam
konflik di Sampang. Sejak bergulir tahun 2012
hingga kini, terdapat catatan penting sebagai tolak
ukur pemanfaatan bantuan, yaitu menguatnya
solidaritas sosial di masyarakat. Meski Hal menarik
yang dapat dilihat di kedua desa binaan ini adalah
tingginya partisipasi masyarakat untuk
mengoptimalkan bantuan. Desa Kutawaringin
misalnya, mendapatkan alokasi bantuan
pembangunan MI sebesar Rp. 360.000.000,-.
Menurut Kasi Bimas Islam, Drs. H. Danial
Abdul Kholik, pihaknya secara intensif membangun
komunikasi dengan seluruh stake holders di
Kecataman Salawu guna memantau pelaksanaan
bantuan Bimas Islam. Hal ini bertujuan agar bantaun
dapat dikelola secara baik dan berdampak bagi
perekonomian masyarakat dan juga penguatan
kerukunan. Menurutnya, faktor partisipasi
117

masyarakat sangat menentukan keberhasilan


pembinaan. Tanpa adanya partisipasi, mustahil
program-program pembinaan dapat berjalan secara
baik, termasuk dalam pembinaan kerukunan di
Kecamatan Salawu.19
Kasus lain adalah kasus Syi’ah Sampang.
Perhatian dunia terhadap kasus Syiah di Sampang
sangat besar. Hal ini dapat dilihat dari setumpuk
petisi dari berbagai negara diantaranya Australia,
Amerika dan terbanyak adalah Belanda.
Kesemuanya meminta pemerintah Indonesia tegas
menyelesaikan masalah dan segera memulihkan
hak-hak hidup pengikut Syiah.20
Mendamaikan dua pihak yang berseteru,
tentunya tidak semudah dalam pandangan yang
sederhana. Masyarakat Sampang memiliki
karakteristik keberagamaan yang kuat dan tradisi
penghormatan yang begitu besar terhadap sosok
kyai/tokoh agama. Di samping itu, sikap keras
menjadi kendala tersendiri dalam proses dialog.
Sulitnya menemukan titik temu diantara kedua
pihak mendapatkan konfirmasi dalam penelitian

19
Hasilnya memang belumlah fantastis, tapi kita bisa melihat
semangat dan kerjasama antar masyarakat mulai nyata dan kini
silaturahim begitu erat. Kami yakin dan mendorong tokoh-tokoh lokal
menjadi penggerak bagi penguatan kerukunan, kami yang di luar
memberi support, karena tokoh-tokoh lokal ini lebih paham dan
mengerti suasana dan kondisi. (Mundiroh Lailatul Munawaroh,
Penyelesaian Konflik Sunni-Syiah Di Sampang Madura, tesis UIN
Sunan Kalijaga 2014, h. 127)
20
Berbagai petisi mencantumkan isi yang beragam, baik yang menolak
eksistensi Syiah dengan meminta pemerintah mengusir, ataupun
mendukung HAM pengikt Syiah dan meminta pemerintah menjaga
hak-haknya. Sejak 2012, petisi tersebut mencapai ratusan.
118

Mundiroh Lailatul Munawaroh. Dalam


penelitiannya disebutkan makna penyelesaian
konflik bagi kelompok Sunni dan kelompok Syiah
berbeda. Bagi kelompok Sunni konflik selesai jika
pihak pemerintah atau Tim Rekonsiliasi dapat
mencarikan cara memulangkan pihak Syiah yang
ikut-ikutan. Sedangkan pihak Syiah memberi
tanggapan bahwa Pemkab maupun Tim Rekonsiliasi
diharapkan dapat memberi ruang mediasi diantara
kedua belah pihak, menurut pihak Syiah konflik ini
dapatdiselesaikan oleh para ulama Sunni itu sendiri,
karena menurut mereka kuncinya ada pada para
kiai.21 Sebagai contoh, adalah persyaratan tobat
yang diajukan oleh kelompok Sunni terhadap pihak
Syiah jika hendak memulangkan kelompok mereka
ke kampung halamannya. Sementara pihak Syiah
tetap pada keyakinannya, dan pada akhirya titik
temu pun susah diperoleh.22
Sejalan dengan ketentuan konstitus bahwa
negara wajib memberikan perlindungan bagi
warganya untuk melaksanakan ajaran agama dan
keyakinannya, Kementerian Agama telah
mengambil langkah penanganan yang bersifat
komperehensif. Berdasarkan hasil kajian atas
berbagai hal yang menjadi pemicu konflik,
setidaknya terdapat tiga langkah penanganan yang
dilakukan Kementerian Agama:

21
Mundiroh Lailatul Munawaroh, Penyelesaian Konflik
Sunni-Syiah Di Sampang Madura, tesis UIN Sunan Kalijaga 2014, h.
129
22
Mundiroh Lailatul Munawaroh, Penyelesaian Konflik Sunni-
Syiah Di Sampang Madura, tesis UIN Sunan Kalijaga 2014, h. 129
119

1. Melakukan koordinasi dengan Kemenag


Provinsi dan Kabupaten Sampang untuk
mengambil langkah-langkah cepat, tepat, dan
strategi dalam menciptakan rekonsiliasi antar
keluarga dan rekonsiliasi antar warga;
2. Bekerja sama dengan seluruh pihak, Pemkab,
Pemprov, ulama, dan tokoh masyarakat dalam
proses mediasi di antara kedua kelompok yang
bertikai;
3. Melakukan pendampingan kepada kedua
kelompok untuk menenangkan situasi dan tidak
memperuncing masalah perbedaan Sunni dan
Syiah;
4. Menegaskan dan memberikan pemahaman
kepada masyarakat bahwa akar masalah kasus
Sampang adalah masalah keluarga, bukan
agama;
Langkah Kementerian Agama ini kemudian
diturunkan dalam kebijakan yang kebih teknis,
yakni penanganan kasus Syiah di Sampang
dilakukan secara bertingkat dengan koordinasi
berada di Kementerian agama Pusat. Gambaran
langkah-langkah dimaksud adalah sebagai berikut.
1) Kanwil Kementerian Agama Provinsi Jawa
Timur bersama Pemprov Jawa Timur:
a. Pada hari Selasa, 4 September 2012,
melakukan negosiasi dengan Tajul dan Ahlul
Bait Indonesia agara para pengungsi Syiah di
GOR Sampang mau dipindahkan ke tempat
yang lebih representatif, aman, nyaman, dan
manusiawi, yaitu di Puspa Agro Sukodono,
Sidoarjo dengan fasilitas 90 kamar, dekat
dengan perbelanjaan dan ada tempat ibadah.
120

Namun mereka menolak, dan pengungsi tetap di


GOR Sampang dengan fasilitas tambahan
tempat pendidikan sementara (tenda), jaminan
keamanan, dan menu makan yang layak. Para
pengungsi menghendaki kembali ke kampung
halaman dan meminta agar rumah mereka yang
telah dibakar massa tanggal 26 Agustus 2012
dibangun kembali.
b. Pada hari Selasa, 11 September 2012,
Kakanwil Kemenag Jatim dan Asisten III
Pemprov Jatim mengadakan pertemuan dengan
Tajul di LP Sidoarjo. Hasilnya, Tajul bersedia
mengadakan perjanjian perdamaian tanpa syarat
dengan Rais.
c. Pada hari Rabu, 12 September 2012, Kakanwil
mengadakan pertemuan di Kanwil Kemenag
Provinsi Jatim. Pertemuan itu dihadiri oleh
Rektor IAIN Sunan Ampel (Prof. Dr. Abd A’la),
Kabag TU Kanwil, dan Tim Penyelesaian Kasus
Sampang. Hasil diskusi dalam pertemuan itu
adalah sebagai berikut:
a) Kebanyakan masyarakat Madura yang terlibat
dalam konflik (70%), adalah buta huruf latin
(tapi menguasai tulisan arab). Umumnya,
mereka umumnya hanya mengenyam
pendidikan non formal di pondok pesantren.
b) Dalam kultur Madura, ada pandangan bahwa
orang tua, guru, pemerintah hanyalah simbol
saja. Adapun tokoh agama (ustads atau kyai)
merupakan panutan/sumber hukum satu-satunya
masyarakat. Sehubungan dengan itu, segala
sesuatu yang dinilai sebagai penghinaan dalam
121

hal agama,, akan sangat mudah memicu amarah


masyarakat Madura.
c) Kepatuhan masyarakat Madura pada sang
guru (tokoh agama) sangat kuat. Hal ini
disimbolkan dengan foto sang guru dan clurit
yang dipasang di dinding langgar-langgar
sebagai simbol kepatuhan dan keberanian.
d) Mayoritas masyarakat Karang Gayam dan
Blu’uran (daerah konflik) adalah santri K.H.
Aliyyul Khoror, pemimpin Ponpes Darut
Tauhid, Desa Lenteng, Kec. Kroppo, Kab.
Pamekasan yang aliran politiknya adalah SI
(Sarikat Islam).
e) Tingkat perekonomian masyarakat di daerah
konflik relatif rendah. Hal ini pula yang memicu
adanya kecemburuan sosial di antara kedua
belah pihak.
f) Akar permasalahan konflik di Sampang
Madura: pertama, masalah keluarga; kedua,
masalah asmara; ketiga, perbedaan fatwa
keagamaan; dan keempat, masalah politik-
kultural yang terakumulasi sehingga konflik
tidak kunjung terselesaikan.
g) Program/langkah yang direncanakan dalam
penanganan kasus kerusuhan di daerah
Sampang, di antaranya :
1. Mengirimkan penyuluh ke daerah konflik
setiap hari Jum’at secara bergiliran (10 orang)
untuk menjadi khotib Jum’at sebagai upaya
penyadaran dan peningkatan keimanan.
2. Menyiapkan program kerja jangka panjang
sebelum Baiat Perdamaian berupa:
122

- Menenangkan masyarakat (colling down)


agar tidak melakukan beragam aktivitas yang
memancing timbulnya konflik.
- Melakukan upaya konsolidasi dalam bentuk:
a. Bersilaturahmi dengan para tokoh di kedua
belah pihak; b. Ikut terlibat dalam kelompok-
kelompok pengajian, seperti yasinan; c.
Mengadakan halaqoh ulama dengan tujuan:
pertama, meningkatkan kesadaran masyarakat
bahwa Islam tidak mengajarkan kekerasan; dan
kedua, memberikan kesadaran untuk bisa
menerima kembali pengungsi untuk pulang ke
daerah asalnya.
3. Mengadakan penyuluhan-penyuluhan dengan
materi-materi mengenai kerukunan umat
beragama, dimana sasarannya adalah daerah
konflik dan pengungsi.
4. Untuk mempercepat dan meningkatkan nilai
tawar, berupaya mendorong Kementerian
Agama, Pusat dan Wilayah, untuk memberikan
bantuan-bantuan sosial, seperti: bantuan
pengusaha kecil (Dit. Urais), bantuan untuk
Madrasah Diniyah (Dit. PD Pontren), serta
bantuan Block Grand dan RKB (Dit. Pendidikan
Madrasah).
5. Hunian sementara yang disiapkan, berupa
tanah kosong yang sudah dibangun
barak/cluster-cluster rumah sederhana. Para
pengungsi ditampung di tiga titik perumahan,
yaitu: Barisan Indah, Permata Selong, dan
Permata Indah
6. Untuk pengamanan, hunian sementara ini
dijaga oleh pihak kepolisian setempat.
123

4) Pada hari Jum’at, 14 September 2012,


diadakan pertemuan Di Kantor Polda Jatim yang
dihadiri oleh Direskrim Polda Jatim, Asisten III
Pemprov Jatim, Rektor IAIN Sunan Ampel,
Kakanwil Kemenag Prov. Jatim, dan Saudara
Rois. Hasil pertemuan tersebut adalah sebagai
berikut:
a) Rois bersedia berdamai dengan Tajul, jika
santri Rois yang saat ini mengikuti Tajul
dikembalikan.
b) Rois bersedia diajak untuk berdamai dan
menjalin silaturahim
5) Pada hari Senin, 17 September 2012, Kabid
Pontren Jatim menemui ulama-ulama Sunni dan
Syiah.
b. Kantor Kementerian Agama Kab. Sampang
bersama Pemkab. Sampang
1) Melakukan pembinaan kepada korban yang
ada di GOR setiap habis isya’ dan jam 8, sambil
mengajak pengungsi agar mau kembali kepada
faham kebanyakan orang Nagkrengan
Karanggayam Omben Sampang;
2) Menyiapkan Pondok Pesantren yang siap
menampung para santriwan-santriwati pengikut
Tajul, meliputi: (1) Ponpes Daruttauhid (KH.
Muhaimin), (2) Ponpes Darul Ulum KH. Syafiq,
dan (3) Ponpes Shalafiyah Safiiyah (KH.
Mahrus);
3) Menyiapkan tempat pendidikan bagi anak-
anak di pengungsian dengan Tenda Darurat
sebagai tempat pendidikan
4) Para penyuluh dari Kantor Kementerian
Agama mengajarkan anak-anak di
124

pengungsian membaca Al-Qur’an yang


bukunya terbitan Kementerian Agama.
Langkah Kementerian Agama memang belum
sepenuhnya menghasilkan dampak yang luas. Jika
indikator keberhasilan adalah meredanya konflik,
maka itu sudah tercapai. Namun jika indikatornya
adalah dialog dan reunion pengikut Rois dan Tajul
Muluk, maka itu masih jauh dari cita-cita. Harus
diakui, menyatukan kembali dia blok yang berseteru
dan telah jatuh korban di kedua belah pihak, sangat
sulit bagi masyarakat Sampang.
Pada tahun 2012, tepatnya Bulan Desember,
Ditjen Bimas Islam melakukan pengiriman tenaga
penyuluh agama Islam dan dai ke daerah prioritas,
salah satunya adalah daerah rawan konflik
keagamaan. Sampang merupakan satu diantara 10
daerah tersebut. Sebanyak 2 orang tenaga PAI
diturunkan langsung ke lokasi dengan sasaran
pengungsi Syiah. Selama 1 bulan mereka
ditempatkan di GOR bersama pengungsi,
memberikan pendampingan dan bimbingan.
Kegiatan dakwah sudah dilakukan sekitar 25
hari oleh para Da’i Rahmatan Lil ‘Alamin yang
sebelumnya telah mendapatkan pelatihan dan
pembekalan di Jakarta. Adapun kondisi masyarakat
yang berada dipengungsian (GOR in door)
Lapangan Wijaya Sampang, sudah mengalami
kejenuhan karena sudah sekitar 5 bulan berada
dipengungsian. Mereka berharap cepat pulang ke
kampung halamannya dan bisa melakukan aktifitas
keseharian.
Walaupun waktunya tidak begitu panjang
alhamdulillah banyak masyarakat yang merespon
125

positif terhadap kegiatan yang dilakukan para Da’i


ini, bahkan masyarakat meminta dalam setiap
kegiatan supaya diselingi dengan ceramah yang di
sampaikan oleh tokoh ulama’, kiai, Ustad dan para
Da’i Rahmatan Lil ‘Alamin.23
Tidak semua orang dapat bebas masuk dan
menjumpai pengungsi. Bahkan, untuk dapat masuk
ke wilayah Karang Gayam, Tim Ditjen Bimas Islam
harus menunngu hampir 24 jam dan dikawal tim
kepolisian setelah sebelumnya berkordinasi dengan
berbagai pihak. Baik warga Syiah maupun Non
Syiah, memiliki kecurigaan bagi warga asing yang
masuk ke wilayahnya. Hal ini dapat dimaklumi,
mengingat trauma akan konflik yang begitu
menakutkan.
Maka, keberadaan PAI di GOR dan
memberikan bimbingan adalah sebuah proses yang
cukup panjang. Tidak hanya periziinan prosedural,
namun juga perizinan kultural melalui sowan
kepada tokoh-tokoh agama di wilayah Karangasem.
Barulah, setelah mendapatkan izin, pada tanggal 20
November 2012 tiga orang penyuluh Honorer dapat
masuk dan memberikan pembinaan di pengungsian.
Seperti halnya warga Sampang lainnya yang
memiliki keteguhan untuk berpegang kepada nilai-
nilai keislaman dan tergolong konsisten dalam
menjaga dan menerapkan nilai-nilai keislaman
ditengah-tengah masyarakat, para pengikut Syiah

23
Masyarakat menyadari bahwa kegiatan keagamaan (seperti
pengajian/majelis taklim dan lain-lain) merupakan pendidikan yang
berlangsung seumur hidup (life Long Education) dan manusia
diperintahkan untuk menuntut ilmu mulai dari buaian hingga ke liang
lahat.
126

juga memiliki nilai ketaatan beragam yang kuat.


Selain sholat dan mengaji, mereka juga sangat
antusias mendapatkan penyuluhan. Antusiasme ini
tentu menjadi langha mempermudah prose
pembinaan, mengingat akan sangat sulit jika
kehadiran penyuluh kurang mendapatkan respon.24
Dari dua kasus ini yang menjadi contoh dalam
penelitian ini menunjukan bahwa penyuluh belum
mampu secara maksimal mencegah konflik atas
nama agama, hal ini disebabkan oleh berbagai
faktor, diantaranya adalah belum ada regulasi yang
mengatur peran penyuluh agama Islam dalam
memilihara kerukunan dan peningkatan SDM
penyuluh dalam penanganan konflik.

C. Kebijakan Bimas Islam Terhadap Penyuluh Agama


Islam
Penanganan konflik bernuansa agama, meski
terdapat perbedaan atas penggunaan istilah ini, tidak bisa
dilepaskan dari peran Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam. Harus diakui, beberapa tragedi

24
Bahkan, hampir semua masyarakat Sampang menjadikan
pendidikan agama sebagai pendidikan paling pokok dan paling utama
dalam menjalankan kehidupannya. Hal ini terlihat, hampir semua warga
Madura pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren.Pondok
pesantren di Kabupaten Sampang berkembang dengan cukup pesat, hal
ini ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah pondok pesantren yang
ada di Kabupaten Sampang. Pada tahun 2008 pondok pesantren yang
ada di Kabupaten Sampang adalah sebanyak 294 unit, meningkat
sampai dengan tahun 2012 menjadi 395 unit atau telah terjadi
peningkatan sebesar 61,56 %. Fauzan, S.Sos.I, dkk,Laporan Kegiatan
Dai Rahmatan Lil’alamin, (Jakarta: Direktorat Penerangan Agama
Islam 2012), h. 9
127

kekerasan yang mengatasnamakan agama, tidak hanya


merusak citra agama itu sendiri, melainkan juga rusaknya
sendi-sendi kehidupan sosial kemasyarakatan. Rasa curiga
tumbuh dan mengikis rasa saling menghormati. Bahkan,
semangat mencari perbedaan lebih tinggi dibandingkan
semangat menemukan kesamaan. Karena itulah, konflik
bernuansa agama benar-benar menjadi ancaman serius bagi
stabilitas nasional.
Ditjen Bimas Islam sebagai institusi yang
menangani langsung kehidupan umat Islam, memiliki tugas
yang besar dalam membangun dan membimbing umat
Islam untuk tumbuh dalam bingkai NKRI yang heterogen.
Bimas Islam dalam tugasnya, bertanggung jawab untuk
membangun pemahaman, penghayatan, dan pengamalan
agama yang rahmatan lil’alamin, ramah dan penuh dengan
kedamaian; bersanding dalam kedamaian dalam keragaman
Nusantara.
Dalam kurun waktu 2008-2013, Ditjen Bimas Islam
mencatat beberapa kasus konflik internal umat beragama.
Beberapa kejadian merupakan masalah lama yang muncul
kembali. Sementara beberapa kejadian merupakan masalah
baru yang tidak memiliki kaitan dengan kasus lain
sebelumnya.25
Masalah lama yang muncul diantaranya adalah
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Permasalahan JAI

25
Ditjen Bimas Islam memberikan prioroitas penanganan kasus-
kasu keagamaan berdasarkan besar dampak yang ditimbulkannya.
Penanganan kasu-kasus tersebut juga disesuaikan dengan tingkat
masalah yang ditimbulkan. Karena itulah, penanganan dapat berupa
penyuluhan internal, penerjunan tim khusus hingga pembentukan satgas
berkoordinasi dengan instansi terkait.
128

selalu berulang dan tersebar di beberapa tempat. Kuningan,


Tasikmalaya, dan Lombok merupakan tempat-tempat yang
rutin memberitakan terjadinya bentrokan yang tidak jarang
menimbulkan korban jiwa dan harta. Seperti tidak
menemukan ujung, konflik di tiga wilayah tersebut terjadi
dan terjadi secara teratur.
Pada Minggu pagi (6/2/2011), sejumlah anggota
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) terlibat bentrokan
dengan warga Desa Umbulan, Cikeusik, Pandeglang,
Banten yang menewaskan tiga orang dan lima lainnya luka
parah. Peristiwa tersebut dipicu ketidaksenangan warga
sekitar terhadap aktivitas JAI di wilayah tersebut. Meski
sempat dilarang warga, sejumlah anggota JAI tetap
menjalankan aktivitasnya. Situasi memanas setelah muncul
pernyataan dari JAI kepada warga yang bernada
menantang, sehingga bentrokan pun tak terhindarkan.26
Menurut Kapolres Pandeglang, memang warga
berkeinginan untuk mengusir warga JAI dari wilayah
mereka. Bahkan warga telah meminta pemimpin JAI untuk
membubarkan kegiatan jemaah itu, namun ditolaknya.
Salah seorang tokoh masyarakat setempat membenarkan
bahwa masyarakat berkeinginan untuk membubarkan
kegiatan JAI, menyusul keputusan MUI yang menyatakan
bahwa ajaran JAI adalah sesat, permintaan itu malah
diabaikan.27
Kasus tersebut akhirnya sampai di meja hijau.
Sebanyak 12 orang warga menjadi terdakwa, dimana
mereka dituntut antara lima sampai tujuh bulan penjara.

26
Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan di Indonesia 2011,
h. 8
27
Pikiran Rakyat, 7-2-2011 dengan judul “Penyerangan
Ahmadiah Tasikmalaya”
129

Dalam persidangan (Kamis, 7/7/2011), terkuat fakta bahwa


pemicu bentrokan di Cikeusik disebabkan adanya provokasi
pihak JAI. Kelompok JAI telah merencanakan bentrokan
dengan bukti ditemukannya senjata yang mereka bawa.
Bahkan pihak JAI secara sengaja merekam bentrokan
tersebut dan menyebarluaskan melalui internet. Pengadilan
juga membuktikan bahwa Kepala Keamanan Nasional JAI,
Deden Sudjana (Deden bin Surya Sudjana) menghasut 16
anggota JAI untuk melakukan bentrokan dengan warga
Cikeusik. Jemaat yang dihasut Deden berasal dari Jakarta,
Bogor, Bekasi, dan Serang. Mereka datang ke rumah
pimpinan JAI Cikeusik, Suparman. Sebelum bentrokan
terjadi, mereka telah mempersiapkan parang, tombak, dan
batu di rumah Suparman. Semua senjata tersebut kemudian
diamankan sebagai barang bukti. Karena hal ini pulalah
maka tuntutan lebih ringan, disebabkan bentrokan Cikeusik
dipicu oleh pihak JAI.28
Kasus konflik bernuansa agama juga terjadi di
Lampung, meski dalam skala yang kecil, yaitu agama
Bahai. Kasus ini bermula saat cucu Roni, berinisial Z, 9
tahun, mengajak lima belas temannya mengikuti bimbingan
belajar di rumah kakeknya (Juni 2010). Saat itu Z juga
mengajak anak Iwan Purwanto yang berusia 14 tahun.
Menurut Rusmini, yang diajarkan di sana menggambar,
bermain, dan berperilaku baik. Pengajarnya didatangkan
dari Jakarta. Warga mulai gempar ketika tiga anak SD
makan di sebuah warung mi ayam di pasar Desa Sidorejo.
Mereka mendengar ketiganya berdoa sebelum makan
dengan kalimat dan nada yang asing di telinga. Menurut
Asep Subari, orang tua dari salah satu anak yang diduga

28
3Republika, 8 Juli 2011 dengan judul “Sy’ah Sampang”
130

diajarkan agama Bahai, doa yang diucapkan adalah:


“jadikanlah intisari kebersihan di antara umat manusia”.29
Mendengar doa yang aneh itu, warga kemudiam
menginterogasi ketiga anak SD tersebut. Mereka mengaku
mendapat ajaran tersebut dari rumah Roni. Warga pun
berang, mereka ramai-ramai mendatangi rumah Roni dan
menyeretnya ke Kepolisian Resor Lampung Timur. Dua
pekan kemudian giliran Iwan Purwanto yang ditahan polisi.
Seperti Roni ia dituduh mengajari anak-anak agama Bahai.
Dalam kasus ini Syahroni dan Iwan Purwanto dituduh
mengubah agama anak-anak tetangga mereka. Pada
November 2010, hakim Pengadilan Negeri Lampung Timur
memvonis keduanya lima tahun penjara ditambah denda Rp
50 juta. Merasa keberatan dengan vonis tersebut, Syahroni
dan Iwan Purwanto mengajukan kasasi. Namun pada bulan
Mei 2011, Mahkamah Agung menolak kasasi yang
diajukan Syahroni dan Iwa Purwanto yang dipidana karena
melanggar pasal 8630 Undang-undang Nomer 23 Tahun
2002 tentang perlindungan anak.31
Komitment menjaga karagaman dan kerukunan
Nusantara menjadi tugas dan tanggung jawab Bimas Islam
untuk mengawal keragaman Nusantara. Hal ini tentunya

29
Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan di Indonesia 2011,
h. 10
30
Adapun bunyi isi pasal tersebut adalah: “Setiap orang yang
dengan sengaja menggunakan tipu muslihat, rangkaian kebohongan,
atau membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauannya
sendiri, pada hal diketahui atau patut diduga bahwa anak tersebut belum
berakal dan belum bertanggung jawab sesuai dengan agama yang
dianutnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”.
31
Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan di Indonesia 2011,
h. 11
131

sejalan dengan Rencana Strategis Kementerian Agama,


dimana salah satunya adalah Pengembangan kehidupan
sosial yang harmonis, rukun dan damai di kalangan umat
beragama,meliputi:32
a. Pemberdayaan forum kerukunan umat beragama
sebagai modal sosial dalam pembangunan nasional.
b. Peningkatan sikap dan perilaku keberagamaan yang
inklusif dan toleran pada masyarakat.
c. Peningkatan kapasitas masyarakat dalam
menyampaikan dan mengartikulasikan aspirasi-
aspirasi keagamaan melalui cara-cara damai.
d. Pencegahan insiden kekerasan terkait dengan isu-isu
keagamaan.
e. Peningkatan kerjasama intern dan antarumat
beragama, dan pemerintah.
f. Peningkatan peran dan kerjasama kelompok-
kelompok sosial keagamaan dalam upaya
penciptaan dan pemeliharaan kerukunan hidup
beragama.
g. Peningkatan kualitas penanganan konflik bernuansa
keagamaan yang melibatkan kerja sama antara
pemerintah dan kelompok-kelompok sosial
keagamaan.
h. Peningkatan koordinasi antarinstansi/lembaga
pemerintah dalam upaya penanganan konflik terkait
isu-isu keagamaan.
i. Pengembangan wawasan multikultur dan
pendidikan ruhani bagi guru-guru agama, penyuluh
agama, siswa, mahasiswa dan para pemuda calon
pemimpin agama.

32
Rencana Strategis Kementerian Agama 2010-2014
132

j. Pemantapan landasan peraturan perundang-


undangan tentang kemerdekaan beribadat dan
kerukunan umat beragama.
Sebagai turunan Renstra dimaksud, arah kebijakan
kebijakan Ditjen Bimas Islam 2010-2014 juga
mencerminkan komitmen kerukunan dalam keragaman.
Arah kebijakan tersebut yaitu:
a) Melaksanakan pembinaan dalam rangka
mewujudkan umat Islam yang beriman dan
bertaqwa kepada Allah SWT serta berakhlaq mulia;
b) Melakukan dialog antar tokoh agama dalam rangka
menciptakan suasana kehidupan umat Islam yang
harmonis, toleran dan saling menghormati dan
menghargai;
c) Meningkatkan kualitas pelayanan, bimbingan dan
perlindungan masyarakat Islam
d) Meningkatkan peran serta masyarakat dan lembaga
keagamaan Islam dalam pelaksanaan program
bimbingan masyarakat Islam’
e) Meningkatkan peran lembaga sosial keagamaan
untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat Islam
f) Meningkatkan kualitas pemahaman, penghayatan
dan pengamalan ajaran Islam dalam kehidupan
pribadi, masyarakat berbangsa dan bernegara;
g) Meningkatkan kualitas dan kelengkapan sarana serta
prasarana untuk menunaikan ibadah dan pelayanan
keagamaan masyarakat Islam.33

33
Renstra Bimas Islam 2010-2014
133

Hal ini kemudian diperkuat oleh Renstra


Kementerian Agama 2015-2020 bahwa kerukunan
beragama sesungguhnya adalah nilai-nilai luhur yang telah
lama diajarkan dan diwariskan oleh nenek moyang bangsa
Indonesia. Banyak sekali sistem tradisi dan kearifan lokal
(local wisdom) yang berhasil dikonstruksi bangsa ini untuk
menciptakan suasana hidup rukun dan damai di tengah
masyarakat yang plural. Namun demikian, mengingat
kerukunan beragama merupakan sebuah kondisi dinamis
yang secara terus-menerus harus dipelihara, Pemerintah
bersama-sama seluruh komponen masyarakat harus terus
senantiasa berupaya menjaga dan melestarikannya.34
Kemitraan menjadi langkah berikutnya guna
optimalisasi penanganan konflik bernuansa agama.
Kemitraan dibangun bersama stakeholders seperti ormas
Islam, Majelis Taklim, maupun dengan lintas institusi.
Beberapa langkah kemitraan tersebut di antaranya:
1. Melakukan pembinaan terhadap kelompok-
kelompok yang menyempal berkoordinasi dengan
ormas-ormas dan lembaga pendidikan Islam. Ditjen
Bimas Islam telah melakukan koordinasi dengan
ormas-ormas Islam terkait pembinaan para penganut
aliran sempalan ini. Pelibatan ormas dalam hal ini
karena ormas memiliki peran yang strategis dalam
pembinaa umat. Ormas paling mengerti dengan
umatnya, begitu pula bahwa ormas memiliki
kedekatan dengan umat, sehingga lebih
memudahkan untuk menyampaikan pembinaan.

34
lampiran I Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia
Nomor 39 tahun 2015 tentang Rencana Strategis Kementerian
Agama tahun 2015 - 2019
134

2. Berkoordinasi dengan instansi terkait seperti


Depdagri, Depkumhan, untuk menanggulangi aliran
sempalan secara komprehensif. Koordinasi ini
dibangun dalam rangka penanggulangan masalah
secara komprehensif, termasuk di dalamnya dari
aspek hukum.
3. Memberikan pelatihan langsung, seperti
keterampilan, keilamuan lainnya. Ditjen Bimas
Islam telah menggulirkan beberapa program bantuan
bagi kelompok aliran sempalan ini. Melalui bantuan
ini, diharapkan akan mengikis salah satu penyebab
lahirnya aliran sempalan yaitu masalah ekonomi.
4. Melakukan riset dan investigasi tentang keungkinan
adanya unsur lain yang memunculkan aliran
sempalan. Kemunculan aliran sempalan harus
ditinjau secara komprehensif. Ada banyak faktor
yang melatarbelakanginya. Tidak sebatas persoalan
teologis, melainkan juga persoalan sosial politik,
ekonomi, dan bahkan budaya. Dengan demikian,
maka Ditjen Bimas Islam telah melakukan
investigasi guna menelaah berbagai hal yang terkait
dengan kemunculan aliran sempalan.
Dari paparan tersebut dapat ditarik empat
kesimpulan besar langkah Ditjen Bimas Islam dalam
mencegah dan menangani konflik keagamaaan.
Pertama, Optimalisasi Peran dan Fungsi Lembaga
Keagamaan. Untuk mewujudkan efektifitas kerja, Bimas
Islam telah membuat beberapa lembaga yang akan
mengurusi beberapa bidang kerja. Lembaga – lembaga
tersebut tersebar secara luas dan mengakar pada seluruh
135

lapisan masyarakat. Beberapa Lembaga keagamaan dan


sasaran kerja di lingkungan Bimas Islam antara lain:35

D. Analisa Kompetensi Penyuluh Agama Islam.


Perubahan atau perkembangan yang terjadi dalam
bidang Sumber Daya Manusia biasanya diikuti oleh
perubahan pada kompetensi dan kemampuan seseorang
yang mengkonsentrasikan diri pada Manajemen Sumber
Daya Manusia. Kompetensi kini telah menjadi bagian dari
bahasa manajemen pengembangan.36 Sebagaimana yang
telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya tentang
pengertian kompetensi bahwa standar pekerjaan atau
pernyataan kompetensi telah dibuat untuk sebagian besar
jabatan sebagai basis penentuan pelatihan dan kualifikasi
ketrampilan.
Kompetensi menggambarkan dasar pengetahuan dan
standar kinerja yang dipersyaratkan agar berhasil
menyelesaikan suatu pekerjaan atau memegang suatu
jabatan. Metode yang digunakan untuk mengidentifikasi
kompetensi untuk mendukung kemampuan
dikonsentrasikan pada hasil perilaku, oleh karena itu
kompetensi dapat memprediksi ukuran tingkat kerja
seseorang dengan kata lain kompetensi dapat memprediksi
kinerja seseorang.37
Penyuluh Agama tentunya juga memiliki standar
kompetensi38 sebagai acuan atau stadarisasi kerja bagi

35
Dokumen Ditjen Bimas Islam Tahun 2008
36
Noor Fuad & Gofur Ahmad, Intergrated HRD: Human
Resources Develoupment (Jakarta: PT Grasindo, 2009) h. 19
37
Noor Fuad & Gofur Ahmad, Intergrated HRD: Human
Resources Develoupment h. 20
38
Standar kompetensi adalah rumusan tentang kemampuan dan
kinerja minimal yang harus dicapai pada satu kompetensi tertentu. Lihat
136

Penyuluh Agama itu sendiri, berdasarkan SKJ (Standar


Kompetensi Jabatan) Penyuluh Agama tahun 2016 terdapat
beberapa kompetensi Penyuluh Agama, antara lain39:
1. Kualifikasi
Kualifikasi Penyuluh Agama terdiri atas
Kualifikasi Umum, dan Kualifikasi Khusus.
1. Kualifikasi Umum Penyuluh Agama adalah
sebagai berikut:
a. Memiliki kualifikasi akademik sarjana (S1)
....... pada perguruan tinggi yang
terakreditasi;
b. Pada waktu diangkat sebagai Penyuluh Agama
berusia setinggi-tingginya ... tahun;
c. Memiliki pengalaman kepenyuluhan agama
sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun; dan
d. Memiliki pangkat serendah-rendahnya ... bagi
Aparatur Sipil Negara (ASN) yang akan
pindak jabatan ke Penyuluh Agama.
2. Kualifikasi Khusus Penyuluh Agama meliputi:
a. Penyuluh Agama Keterampilan
Meliputi :
1) Penyuluh Agama Pelaksana;
2) Penyuluh Agama Pelaksana Lanjutan; dan
3) Penyuluh Agama Penyelia.
b. Penyuluh Agama Keahlian
Meliputi :
1) Penyuluh Agama Pertama;

Noor Fuad & Gofur Ahmad, Intergrated HRD: Human Resources


Develoupment h. 39
39
Standar kompetensi Penyuluh agama ini merujuk kepada
keputusan bersama tenang : Standar Kompetensi Jabatan Penyuluh
Agama (4 Januari 2016) h. 3-6
137

2) Penyuluh Agama Muda; dan


3) Penyuluh Agama Madya; 40
3. Kompetensi
Mengacu kepada peran Penyuluh Agama
sebagai pembimbing masyarakat, sebagai panutan
dan sebagai penyambung tugas pemerintah. Maka
Penyuluh Agama minimal harus memiliki tiga
kompetensi yaitu :41
1) Kompetensi manajerial yang diukur dari tingkat
pendidikan, pelatihan struktural atau manajemen,
dan pengalaman kepemimpinan adalah berupa
kemampuan dalam membuat perencanaan
meliputi rencana operasional, rencana tahunan
dan rencana lima tahun, dan kemampuan dalam
mengorganisir tugas, dan kemampuan melakukan
pengkoordinasian, dan kemampuan menggerakan
semua potensi yang ada, serta kompetensi dalam
melakukan pengawasan.
2) Kompetensi teknis yang diukur dari tingkat dan
spesialisasi pendidikan, pelatihan teknis
fungsional, dan pengalaman bekerja secara teknis
kemampuan dalam memberikan bimbingan
agama dan penyuluhan pembangunan,
kemampuan melakukan pembinaan terhadap
kelompok penyuluhan agama, kompetensi dalam
melakukan pembinaan kepada lembaga
keagamaan, dankompetensi dalam pemberian
penerangan tentang pembangunan; dan

40
Kementrian Agama, Standar Kompetensi Jabatan Penyuluh
Agama (4 Januari 2016) h. 3
41
Kementrian Agama, Standar Kompetensi Jabatan Penyuluh
Agama (4 Januari 2016) h. 4
138

3) kompetensi sosial kultural dalam kamus


kompetensi jabatan Kementerian Agama terdapat
pada Kompetensi inti harmonisasi keberagaman,
yang diukur dari pengalaman kerja berkaitan
dengan masyarakat majemuk dalam hal agama,
suku, dan budaya sehingga memiliki wawasan
kebangsaan adalah merupakan cerminan dari
budaya kerja ASN kementerian Agama sehingga
mampu memberikan pencitraan yang baik dan
positif pada Kementerian Agama.
Pemetaan kompetensi Penyuluh Agama dari
unsur kegiatan Penyuluh Agama sebagai berikut :

Unsur utama butir kegiatannya Kompetensi


Manajerial
Bimbingan a. Persiapan 1. Inovasi
atau bimbingan 2. Berpikir Analisis
penyuluhan atau 3. Berpikir
agama dan penyuluhan; konseptual
pembangunan b. Pelaksanaan 4. Pengendalian
bimbingan Diri
atau 5. Komitmen
penyuluhan. terhadap
c. Pemantauan, Organisasi
evaluasi dan 6. Kerjasama
pelaporan hasil 7. Mengembangkan
pelaksanaan Orang Lain
bimbingan 8. Berorientasi pada
atau Pelayanan
penyuluhan 9. Membangun
d. Pelayanan Hubungan
konsultasi Kemitraan
agama dan
139

pembangunan 10. Pencarian


Pengembangan a. Penyusunan Informasi
bimbingan pedoman atau 11. Pengambilan
atau petunjuk Keputusan dan
penyuluhan pelaksanaan. Penyelesaian
b. Perumusan Masalah
kajian arah 12. Berorientasi pada
kebijaksanaan Kualitas
pengembangan
bimbingan
atau
penyuluhan
c. Pengembangan
metode
bimbingan
atau
penyuluhan
d. Pengembangan
materi
bimbingan
atau
penyuluhan
Pengembangan a. Melakukan
profesi kegiatan karya
tulis/karya
ilmiah di
Penyuluh
Agamag
penyuluhan
agama
b. Menerjemahka
n/menyadur
buku dan
140

bahan lainnya
di Penyuluh
Agamag
penyuluhan
agama
c. Membimbing
Penyuluh
Agama yang
berada di
bawah jenjang
jabatannya
Penunjang a. Mengajar atau
tugas Penyuluh melatih
Agama b. Mengikuti
seminar atau
lokakarya
c. Menjadi
pengurus
organisasi
profesi
d. Menjadi
anggota Tim
Penilai Jabatan
Fungsional
Penyuluh
Agama
e. Melakukan
kegiatan
pengabdian
masyarakat
f. Menciptakan
karya seni
kaligrafi,
141

g)menjadi
anggota
delegasi misi
keagamaan
g. Memperoleh
penghargaan/
tanda
jasa/gelar
kesarjanaan
lainnya

4. Kebutuhan Kompetensi Jabatan Penyuluh Agama.


a. Kebutuhan pada Level Kecakapan Kompetensi
Inti meliputi :42

Keterampilan Keahlian
Pelaksana

Pelaksana
Lanjutan

Penyelia

No Kompetensi
Pertama

Madya
Muda

Integritas
1 1 1 1 2 2 3
(Integrity)
Kepemimpinan
2 1 1 1 2 2 3
(Leadership)
Harmonisasi
3 2 2 2 2 2 3
Keberagaman

42
Kementrian Agama, Standar Kompetensi Jabatan Penyuluh
Agama (4 Januari 2016) h. 5
142

Memprakarsai
4 1 1 1 2 2 3
Perubahan
Menjaga Citra
5 Kementerian 1 1 2 2 2 3
Agama

b. Kebutuhan pada Level Kecakapan Kompetensi


Manajerial

Keterampilan Keahlian
Pelaksana

Pelaksana
Lanjutan

Penyelia
No Kompetensi

Pertama

Madya
Muda
1 Inovasi 1 2 2 2 2 3
2 Berpikir Analisis 2 2 2 2 2 2
Berpikir
3 2 2 2 2 2 3
konseptual
4 Pengendalian Diri 2 2 2 3 3 3
5 Komitmen
terhadap 2 2 2 2 3 3
Organisasi
6 Kerjasama 2 2 2 3 3 3
7 Mengembangkan
2 2 2 2 3 3
Orang Lain
8 Berorientasi pada 2 2 2 2 2 3
143

Pelayanan
9 Membangun
Hubungan 1 1 1 2 2 3
Kemitraan
10 Pencarian
2 2 2 3 3 3
Informasi
11 Pengambilan
Keputusan dan
1 1 2 2 2 3
Penyelesaian
Masalah
12 Berorientasi pada
2 2 2 2 2 3
Kualitas

c. Kebutuhan level Kompetensi Teknis43

Keterampilan Keahlian
Pelaksana

Pelaksana
Lanjutan

Penyelia

No Kompetensi
Pertama

Madya
Muda

1 Komunikasi 2 2 2 3 3 3
Aplikasi
2 1 1 1 2 2 2
Komputer
3 Presentasi 2 2 2 3 3 3

43
Kementrian Agama, Standar Kompetensi Jabatan Penyuluh
Agama (4 Januari 2016) h. 6
144

Pelaksana

Pelaksana
Lanjutan

Penyelia

Pertama

Madya
Kompetensi

Muda
No
teknis Hukum

Produk hukum
dan Peraturan
1 1 1 2 2 2 3
Perundang-
Undangan

Dalam pengembangan kompetensi diperlukan


indikator kecakapan setiap bidang kompetensi, untuk itu
perlu adanya indikator prilaku level kompetensi. Indikator-
indikator ini bertujuan untuk menguji kecakapan seorang
pegawai, Moore bahkan berasumsi bahwa jika satu tahapan
indikator kompetensi pada satu level telah tercapai maka
tahapan indikator di bawahnya sudah dikuasai44. Indikator
prilaku level kompetensi Penyuluh Agama adalah sebagai
berikut:45
KOMPETENSI INTI
1. Integritas (Integrity)
Orang-orang yang menunjukkan kompetensi
ini secara teliti dan handal berperilaku secara etis
dan jujur dalam hubungan mereka dengan
manajemen, rekan kerja, bawahan langsung dan
pelanggan. Mereka bersikap adil dalam harapan
mereka terhadap orang lain dan memperlakukan
orang lain dengan keadilan yang sama
Mempertahankan tingkat standar keadilan dan etika

44
Noor Fuad & Gofur Ahmad, Intergrated HRD: Human
Resources Develoupment h. 29
45
Indikator level kompetensi ini merujuk kepada : Standar
Kompetensi Jabatan Penyuluh Agama (4 Januari 2016) h. 7-20
145

yang tinggi dalam perkataan dan tindakan sehari-


hari.46
Level Kompetensi ( 1 )
Mentaati peraturan, norma, etika organisasi
yang berlaku secara konsisten.
Indikator Prilaku :
 Mentaati peraturan dan etika berorganisasi;
 Menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku;
 Menghormati kesetaraan

Level Kompetensi ( 2 )
Mengajak orang lain untuk bekerja sesuai
dengan etika organisasi yang berlaku dan dapat
dipercaya.
Indikator Prilaku :
 Mengikuti peraturan dan tata tertib organisasi;
 Berperilaku etis dan sesuai antara perkataan dan
perilaku;
 Memberikan pelayanan secara baik sesuai
standar pelayanan yang disepakati.

Level Kompetensi ( 3 )
Membangun kepercayaan
Indikator Prilaku :
 Dapat menjadi contoh dan mampu membangun
kepercayaan orang lain terhadap dirinya;
 Mengutamakan kepentingan organisasi daripada
kepentingan pribadi atau timnya pada saat terjadi
benturan kepentingan;

46
Kementrian Agama, Standar Kompetensi Jabatan Penyuluh
Agama (4 Januari 2016) h. 7
146

 Menunjukkan tanggung jawab pribadi atas apa


yang dilakukannya

2. Kepemimpinan (Leadership)47
Tindakan meyakinkan, mempengaruhi dan
mendorong agar mereka berkinerja tinggi.
Level Kompetensi (1)
Meyakinkan orang lain akan program
kegiatan yang sudah ada berjalan efektif
Indikator Prilaku :
 Lebih banyak menjadi pendengar saat berdiskusi;
 Sudah memiliki kemampuan untuk melakukan
koordinasi dengan teman sekerja;
 Sudah manpu mengarahkan antar teman sekerja

Level Kompetensi (2)


Melaksanakan tindakan kepemimpinan,
persuasive, mempengaruhi terhadap pelaksanaan
tugas- tugas
Indikator Prilaku :
 Mampu menyampaikan ide ide dengan nalar,
fakta fakta;
 Menyampaikan jadual pelaksanaan tugas harian;
 Mengkoordinir kelompok kerja sesuai dengan
penugasan;
 Menyampaikan target-target pelaksanaan tugas
harian;
 Memantau perkembangan dan pencapaian
pelaksanaan tugas harian

47
Kementrian Agama, Standar Kompetensi Jabatan Penyuluh
Agama (4 Januari 2016) h. 8
147

Level Kompetensi (3)


Memahami visi organisasi untuk diwujudkan
dalam program dan kegiatan kerja
Indikator Prilaku :
 Menyusun strategi komunikasi;
 Menyusun rencana kerja harian;
 Menyusun target pelaksanaan setiap aktivitas
berdasarkan target pelaksanaan pekerjaan bagian;
 Mengendalikan kegiatan operasional pelaksana
tugas;
 Memberikan briefing dalam rangka pencapaian
target- target pekerjaan;
 Mendorong terselenggaranya pelaksanaan tugas
yang efektif dan efisien

3. Harmonisasi Keberagaman48
Memahami, menerima, dan peka terhadap
perbedaan individu. Memperlakukan semua orang
secara adil dengan penuh sikap hormat, tanpa
memandang jenis kelamin, suku bangsa, agama, asal
kelahiran, status, atau posisi.

Level Kompetensi (2)


Menerima dan mengelola perbedaan
Indikator Prilaku :
 Menerima kenyataan adanya orang yang berbeda
dengan dirinya dalam hal budaya, agama, suku,
jenis kelamin dan usia;
 Memperlakukan semua orang secara sama;

48
Kementrian Agama, Standar Kompetensi Jabatan Penyuluh
Agama (4 Januari 2016) h. 9
148

 Mampu mengelola hubungan kerja dan


koordinasi pihak lain yang berbeda agama dan
prinsip keyakinan

Level Kompetensi (3)


Menghargai perbedaan
Indikator Prilaku :
 Terbuka dan mau belajar tentang berbagai
budaya, agama, suku dan lain-lain yang berbeda
dengan dirinya;
 Menekankan persamaan di antara semua orang,
bukan berfokus pada perbedaan-perbedaan;
 Mampu membina unit kerja dalam mengelola
hubungan kerja dan koordinasi pihak lain yang
berbeda agama dan prinsip keyakinan

4. Memprakarsai Perubahan49
Bertindak menyesuaikan diri terhadap
perubahan situasi, informasi, tugas, prosedur,
tanggung jawab, teknologi, dan lingkungan
eksternal; serta mampu mempertahankan efektivitas
kerja. Orang-orang yang menunjukkan kompetensi
ini secara aktif memimpin usaha perubahan lewat
kata-kata dan tindakan mereka. Mereka
mengembangkan dukungan dari orang-orang yang
dipengaruhi oleh inisiatif perubahan itu dan
mengambil tanggung jawab pribadi untuk
memastikan bahwa perubahan tersebut berhasil
diimplementasikan.

49
Kementrian Agama, Standar Kompetensi Jabatan Penyuluh
Agama (4 Januari 2016) h. 9
149

Level Kompetensi (1)


Memahami dan menyadari perubahan
Indikator Prilaku :
 Mengenali kebutuhan untuk berubah bagi kem
ajuan organisasi;
 Mau menyesuaikan diri dengan perubahan;
 Masih melakukan kegiatan kerja yang sudah
tidak sesuai dengan kondisi yang ada

Level Kompetensi (2)


Menerima dan mengelola perubahanan
Indikator Prilaku :
 Sadar mengenai perubahan yang terjadi di org
anisasi dan berusaha menyesuaikan diri dengan
perubahan tersebut;
 Mampu mengidentifikasi aspek-aspek
pekerjaan dan lingkungan kerja yang berubah;
 Melaksanakan proses kerja baru sesuai dengan
tuntutan perubahan

Level Kompetensi (3)


Mempromosikan perubahan kepada orang
lain
Indikator Prilaku :
 Menginformasikan perlunya perubahan kepada
orang lain dengan disertai alasan yang jelas;
 Membantu orang lain menyesuaikan diri dengan
perubahan;
 Mampu mengelola perubahan pada unit kerjanya.
150

5. Menjaga Citra Kementerian Agama50


Mengenali dan memahami visi dan misi
Kementerian Agama diharapkan PNS
Kementerian Agama mampu menjadi model dalam
berperilaku maupun bertindak. Orang-orang yang
efektif dalam kompetensi ini mengikuti, dan
mendorong orang lain untuk mengikuti pedoman,
proses dan peraturan yang ditetapkan oleh
organisasi. Mereka memberikan contoh yang baik
dengan secara konsisten bekerja dalam batas- batas
pedoman untuk mencapai pekerjaan mereka.

Level Kompetensi (1)


Bekerja dengan pengawasan
Indikator Prilaku :
 Melaksanakan pedoman dan prosedur kerja serta
peraturan organisasi di bawah pengawasan /
penyeliaan orang lain.
 Memberikan pelayanan kerja yang baik sesuai
dengan standar pelayanan tang berlaku;
 Dapat mengikuti dan berperan serta dalam
aktifitas di masyarakat.

Level Kompetensi (2)


Mengikuti kebijakan, pedoman dan prosedur
kerja
Indikator Prilaku :
 Melaksanakan seluruh pekerjaannya sesuai
dengan kebijakan, aturan dan prosedur kerja yang
ditetapkan oleh organisasi;

50
Kementrian Agama, Standar Kompetensi Jabatan Penyuluh
Agama (4 Januari 2016) h. 11
151

 Mampu mengelola mekanisme kerja yang baik


sesuai dengan standar pelayanan tang berlaku;
 Aktif mengikuti dan berperan serta dalam
aktifitas di masyarakat

Level Kompetensi (3)


Mempromosikan perubahan kepada orang lain
Indikator Prilaku :
 Menjadi contoh/panutan bagi pegawai lain dalam
melaksanakan pekerjaan yang sesuai dengan
pedoman dan peraturan yang ada;
 Menjadi narasum berbagi pegawai lain mengenai
berbagai kebijakan, pedoman dan peraturan yang
ditetapkan oleh organisasi.
 Mendorong mekanisme kerja yang baik sesuai
dengan standar pelayanan tang berlaku;
 Mendorong efektifitas kinerja pada satuan kerja
dalam memberikan pelayanan terbaik.
1.1. Kompetensi Manajerial51
1. Inovasi
Kemampuan menemukan/membuat solusi
alternatif dengan cara yang baru, berbeda, dan
orisinil melalui penerapan ilmu pengetahuan,
informasi, keterampilan, dan pengalaman untuk
melaksanakan tugas secara efektif dan efisien
dalam meningkatkan kinerja dan mencapai tujuan
organisasi.
2. Berpikir Analisis (BAN)
Kemampuan untuk mengidentifikasi,
menguraikan, menghubungkan masalah, dan

51
Kementrian Agama, Standar Kompetensi Jabatan Penyuluh
Agama (4 Januari 2016) h. 13
152

memahami situasi untuk mencari solusi


berdasarkan fakta, asumsi, logika, dan tingkat
kepentingan dalam mengambil langkah-
langkah tindakan yang diperlukan sesuai
dengan tujuan organisasi.
3. Berpikir konseptual (BK)
Kemampuan merumuskan atau membuat
kesimpulan berupa teori, metode atau sistematika
kerja berdasarkan informasi yang tersedia
4. Pengendalian Diri (PD)
Kemampuan untuk mengendalikan diri pada
saat menghadapi masalah yang sulit, kritik dari
orang lain atau pada saat bekerja di bawah
tekanan dengan sikap yang positif.
5. Komitmen terhadap Organisasi (KtO)
Kemampuan untuk menyelaraskan perilaku
pribadi dengan kepentingan organisasi dalam
rangka mewujudkan visi dan misi.
6. Kerjasama (KS)
Kemampuan menyelesaikan pekerjaan
secara bersama-sama dengan menjadi bagian dari
suatu kelompok untuk mencapai tujuan unit /
organisasi.
7. Mengembangkan Orang Lain (MOL)
Mengembangkan orang lain untuk
meningkatkan kemampuan agar dapat bekerja
lebih optimal.
8. Berorientasi pada Pelayanan (BpP)
Kemampuan memberikan layanan kepada
pelanggan (internal dan eksternal) yang sesuai
dengan keinginan pelanggan dan atau standar
pelayanan minimal dengan berorientasi pada
pencapaian kinerja layanan yang memuaskan
153

sehingga tercipta pelayanan yang prima.


9. Membangun Hubungan Kemitraan (MHK)
Kemampuan untuk menjalin dan membina
kerjasama, serta mengembangkan hubungan dan
jaringan strategis dalam melaksanakan tugas
dengan mempertimbangkan aspek sosial,
ekonomi, politik, dan regulasi dalam rangka
mencapai tujuan organisasi.Kemampuan untuk
melakukan kerjasama yang efektif dengan orang
lain dalam kelompok kerja baik di dalam maupun
di luar organisasi.
10. Pencarian Informasi (PI)
Mengumpulkan data atau informasi yang
dibutuhkan secara sistematik dari dalam dan luar
organisasi untuk menunjang kelancaran
pelaksanaan pekerjaan dan pengambilan
keputusan.
11. Pengambilan Keputusan dan Penyelesaian
Masalah (PK)
Kemampuan memahami inti permasalahan,
melihat hubungan sebab akibat dari berbagai
informasi yang diperlukan, mengembangkan
alternatif berdasarkan fakta, asumsi, dan logika,
untuk, mengevaluasi alternatif sesuai kondisi dan
situasi organisasi, mengembangkan kebijakan
untuk penyelesaian masalah.
12. Berorientasi pada Kualitas (BKU)
Kemampuan melaksanakan tugas-tugas
dengan mempertimbankan semua aspek pekerjaan
secara detil untuk mencapai mutu yang lebih
baik.52
52
Kementrian Agama, Standar Kompetensi Jabatan Penyuluh Agama
(4 Januari 2016) h. 14-17
154

1.2. Kompetensi Teknis


Kompetensi Teknis-Pengetahuan yaitu “hard
competency” yang diperlukan pada jabatan tertentu,
baik jabatan yang bersifat managerial, kepakaran
maupun teknis operasi. Untuk kompetensi teknis
Penyuluh Agama dikelompokan kedalam Kompetensi
Teknis :
1.2.1. Kompetensi Teknis Umum yang meliputi :53
1. Komunikasi
Mampu menerima dan menyampaikan informasi
secara jelas, baik secara lisan maupun tulisan
dengan menggunakan tata bahasa yang baik dan
benaruntuk menerangkan sesuatu, mempersuasi dan
meyakinkan serta membujuk orang lain dalam
rangka mencapai suatu tujuan tertentu.
2. Aplikasi Komputer
Penggunaan aplikasi perkantoran (Contoh: Ms.
Office) Penggunaan aplikasi internet (Contoh:
browsing, emailing, Downloading) Penggunaan
fitur-fitur khusus dalam aplikasi tersebut
3. Teknik Presentasi
Pemahaman cara dan ketrampilan teknik
presentasi, melakukan presentasi dengan alat bantu,
melakukan presentasi dengan baik dan terarah
Kemampuan presentasi penyuluh agama dalam
komunikasi dengan masyarakat binaan sangat
dipengaruhi oleh :

Kemampuan Teknis Agama Jabatan Penyuluh Agama,


terdiri atas :

53
Kementrian Agama, Standar Kompetensi Jabatan Penyuluh
Agama (4 Januari 2016) h. 17-18
155

Penyuluh Agama Islam


1) Kemampuan dalam membaca Kitab Suci Al
Qur,an
2) Pemahaman terhadap sunnah nabi
3) Memahami tata cara pelayanan umat dalam
bermasyarakat, misalnya :
a. Imam shalat
b. Mengurus Jenazah
c. Mengurus zakat, wakaf, infaq dan waris
d. Haji dan umrah
Doa-doa harian;
Penyuluh Agama Kristen
..... dan seterusnya

1.2.2. Kompetensi Teknis Hukum, Humas dan


Sekretariat
Produk Hukum dan Peraturan Perundangan-
Undangan
Pengetahuan dan kemampuan dalam memahami
hukum, perundang-undangan dan peraturan
pemerintah, dan mengelompokkan masalah/kasus
serta proses penyelesaiannya.54

2. Analisa Kompetensi Penyuluh Agama


Kompetensi Penyuluh Agama yang dikutip
di atas belum terealisasikan dengan maksimal, akan
tetapi kompetensi tersebut dapat memprediksi
kinerja Penyuluh Agama kedepannya jika terus
dijalankan dan dikembangkan. Kompetensi harus
dikelola dengan baik untuk melahirkan kinerja yang

54
Kementrian Agama, Standar Kompetensi Jabatan Penyuluh
Agama (4 Januari 2016) h. 20
156

berkualitas. Ada beberapa pendekatan yang


biasanya dipakai daam mengelola kompetensi,
yaitu:
1) Akuisisi Kompetensi (Competency
Acquisition)
Organisasi melakukan upaya yang
disengaja dan terencana untuk
mendapatkan kompetensi yang diperlukan
bagi pertumbuhan dan ekspansi
perusahaan.
2) Pengembangan Kompetensi (Competency
Development)
Level kompetensi karyawan yang
sudah ada ditingkatkan melalui program
pengembangan berkelanjutan.
3) Penyebaran Kompetensi (Competency
Deployment)
Karyawan ditempatkan di berbagai
posisi dalam organisasi yang paling cocok
dengan kompetensi.55
Dalam pengembangan kompetensi Penyuluh
Agama, Bimas Islam pada dasarnya telah
melakukan pendekatan-pendekatan tersebut dalam
mengelola kompetensi Penyuuh Agama. Berbagai
upaya seperti Workshop dan pelatihan-pelatihan
diadakan bagi penyuluh untuk meningkatkan kinerja
penyuluh, pengembangan kompetensi juga terus
dilakukan, pendekatan akuisisi kompetensi dan
pengembangan kompetensi sudah diterapkan dalam

55
Noor Fuad & Gofur Ahmad, Intergrated HRD: Human
Resources Develoupment h. 46
157

pengelolaan kompetensi Penyuluh Agama, akan


tetapi pendekatan Penyebaran kompetensi dengan
menempatkan penyuluh dalam berbagai posisi atau
spesialisasi belum dilakukan, sepertinya
pengelolaan seperti ini lah yang dibutuhkan oleh
Penyuuh Agama Saat ini, terutama ketika dikaitkan
dengan masalah penyelesaian konflik oleh Penyuluh
Agama yang menjadi fokus penelitian ini.
Spesialisasi ini jika diterapkan akan melahirkan
Penyuluh kerukunan, Penyuluh zakat, Penyuluh
Keluarga sakinah misalnya dan spesialisasi-
spesialisasi lainnya yang dibutuhkan di bawah
payung Penyuluh Agama Islam. Penyebabaran
posisi dan spesialisasi ini diharapkan bisa
memaksimalkan kinerja Penyuluh Agama
kedepannya dan mencapai standar kompetensi yang
ditargetkan.
E. Gagasan Kompetensi Penyuluh Kerukunan
Adanya spesialisasi penyuluh ke dalam beberapa
bidang merupakan salah satu cara mengoptimalkan kinerja
penyuluh untuk mencapai standar kompetensi yang
diharapkan. Pembagian kerja penyuluh ini diharapkan akan
memberikan dampak positif bagi kinerja penyuluh terutama
dalam masalah kerukunan. Jika penyuluh kerukunan
diwujudkan maka secara otomatis kompetensi Penyuluh
Agama mengalami pengembangan dan melahirkan
kompetensi khusus untuk penyuluh kerukunan, untuk itu
perlu adanya gagasan kompetensi penyuluh kerukunan,
hasil elaborasi terhadap SKJ (Standar Kompetensi Jabatan)
Penyuluh Agama dengan melakukan pengembangan terkait
158

masalah kerukunan maka penulis menyiapkan draft gagasan


penyuluh kerukunan sebagai berikut:56
1. Kualifikasi
Kualifikasi Penyuluh Kerukunan adalah sebagai
berikut :
a. Memiliki kualifikasi pendidikan sarjana (S1)
Perbandingan Agama atau Sarjana Theologi
Islam pada perguruan tinggi yang terakreditasi;
b. Memiliki wawasan keilmuan dalam bidang
sosiologi dan psikologi guna melakukan
pendekatan kepada masyarakat.
c. Sudah terdaftar sebagai Penyuluh Agama Islam.
2. Kompetensi
Penyuluh Kerukunan minimal harus memiliki tiga
kompetensi yaitu :
1) Kompetensi manajerial yang diukur dari tingkat
pendidikan, pelatihan struktural atau manajemen,
dan pengalaman kepemimpinan.
2) Kompetensi teknis57 yang diukur dari tingkat dan
spesialisasi pendidikan, kemampuan memahami
psikologi masyarakat, kemampuan membuat peta
keagamaan serta kemampuan memahami
menajemen konflik

56
Gagasan kompetensi penyuluh kerukunan ini meniru format
Standar Kompetensi Jabatan Penyuluh Agama tahun 2016.
Kementrian Agama, Standar Kompetensi Jabatan Penyuluh Agama (4
Januari 2016) h. 3-20
57
Kompetensi teknis merupakan kemampuan untuk
menggunakan pengetahuan spesifik, teknik-teknik dan sumberdaya
dalam melaksanakan suatu pekerjaan, lihat : Noor Fuad & Gofur
Ahmad, Intergrated HRD: Human Resources Develoupment h. 22
159

3) Kompetensi personal yang meliputi bidang


keahlian dan kemampuan komunikasi,
kemampuan memposisikan diri sebagai penyuluh
kerukunan dengan menyadari keberagaman dan
tidak fanatic terhadas suatu golongan keagamaan.
4) Kompetensi professional, menyelenggarakan
penyuluhan kerukunan, mengembangkan
profesionalisme dan mengembangkan
penyuluhan kerukunan.
5) Kompetensi sosial kultural yang diukur dari
pengalaman kerja berkaitan dengan masyarakat
majemuk dalam hal agama, suku, dan budaya
sehingga memiliki wawasan kebangsaan adalah
merupakan cerminan dari budaya kerja ASN
kementerian Agama sehingga mampu
memberikan pencitraan yang baik dan positif
pada Kementerian Agama.
3. Kebutuhan Level Kompetensi Penyuluh Kerukunan
1) Kebutuhan pada level kecakapan kompetensi inti
meliputi :58
a. Integritas
b. Kepemimpinan
c. Harmonisasi Keberagaman
d. Memprakarsai Perubahan
e. Menjaga Citra Kementerian Agama
2) Kebutuhan pada level kecakapan kompetensi
manajerial
a. Berpikir Analisis
b. Berpikir konseptual
c. Pengendalian Diri

58
Kementrian Agama, Standar Kompetensi Jabatan Penyuluh
Agama (4 Januari 2016) h. 3-20
160

d. Komitmen terhadap Organisasi


e. Inisiatif
f. Kerjasama
g. Mengembangkan Orang Lain
h. Berorientasi pada Pelayanan
i. Membangun Hubungan Kemitraan
j. Pengambilan keputusan dan Penyelesaian
Masalah
k. Berorientasi pada Kualitas
3) Kebutuhan Kompetensi Teknis
a. Komunikasi
b. Aplikasi Komputer
c. Bahasa Inggris
d. Bahasa Arab
e. Teknik Presentasi
f. Produk Hukum dan Peraturan Perundangan-
Undangan
g. Membaca Al-Qur’an
h. Memahami Kemajemukan
i. Memahami Manajemen Konflik

Indikator Prilaku Level Kompetensi Penyuluh Kerukunan


1 Kompetensi Inti59
1) Integritas (Integrity)
Orang-orang yang menunjukkan kompetensi
ini secara teliti dan handal berperilaku secara etis dan
jujur dalam hubungan mereka dengan manajemen,
rekan kerja, bawahan langsung dan pelanggan.

59
Kompetensi inti adalah sekumpulan keahlian dan teknologi
yang memungkinkan sebuah organisasi untuk menghasilkan nilai yang
jauh lebih tinggi, lihat: Noor Fuad & Gofur Ahmad, Intergrated HRD:
Human Resources Develoupment h. 35
161

Mereka bersikap adil dalam harapan mereka terhadap


orang lain dan memperlakukan orang lain dengan
keadilan yang sama mempertahankan tingkat standar
keadilan dan etika yang tinggi dalam perkataan dan
tindakan sehari-hari.60

Level Kompetensi: Membangun kepercayaan


Indikator Prilaku :
 Dapat menjadi contoh dan mampu membangun
kepercayaan orang lain terhadap dirinya;
 Mengutamakan kepentingan organisasi daripada
kepentingan pribadi atau timnya pada saat terjadi
benturan kepentingan; dan
 Menunjukkan tanggung jawab pribadi atas
apa yang dilakukannya
2) Kepemimpinan (Leadership)61
Tindakan meyakinkan, mempengaruhi dan
mendorong agar mereka berkinerja tinggi.
Level Kompetensi: Memahami visi organisasi untuk
diwujudkan dalam program dan kegiatan kerja
Indikator Prilaku :
 Menyusun strategi komunikasi;
 Menyusun rencana kerja harian;
 Menyusun target pelaksanaan setiap aktivitas
berdasarkan target pelaksanaan pekerjaan bagian;
 Mengendalikan kegiatan operasional pelaksana
tugas;

60
Noor Fuad & Gofur Ahmad, Intergrated HRD: Human
Resources Develoupment h. 30
61
Noor Fuad & Gofur Ahmad, Intergrated HRD: Human
Resources Develoupment h. 30
162

 Memberikan briefing dalam rangka pencapaian


target- target pekerjaan;
 Mendorong terselenggaranya pelaksanaan tugas
yang efektif dan efisien.
3) Harmonisasi Keberagaman
Memahami, menerima, dan peka terhadap
perbedaan individu. Memperlakukan semua orang
secara adil dengan penuh sikap hormat, tanpa
memandang jenis kelamin, suku bangsa, agama, asal
kelahiran, status, atau posisi.62
Level Kompetensi: Menghargai perbedaan
Indikator Prilaku :
 Terbuka dan mau belajar tentang berbagai budaya,
agama, suku dan lain-lain yang berbeda dengan
dirinya;
 Menekankan persamaan di antara semua orang,
bukan berfokus pada perbedaan-perbedaan; dan
 Mampu membina unit kerja dalam mengelola
hubungan kerja dan koordinasi pihak lain yang
berbeda agama dan prinsip keyakinan.
4) Memprakarsai Perubahan
Bertindak menyesuaikan diri terhadap
perubahan situasi, informasi, tugas, prosedur,
tanggung jawab, teknologi, dan lingkungan eksternal;
serta mampu mempertahankan efektivitas kerja.
Orang-orang yang menunjukkan kompetensi ini
secara aktif memimpin usaha perubahan lewat kata-
kata dan tindakan mereka. Mereka mengembangkan
dukungan dari orang-orang yang dipengaruhi oleh
inisiatif perubahan itu dan mengambil tanggung

62
Kementrian Agama, Standar Kompetensi Jabatan Penyuluh
Agama (4 Januari 2016) h. 11
163

jawab pribadi untuk memastikan bahwa perubahan


tersebut berhasil diimplementasikan.63
Level Kompetensi: Mempromosikan perubahan
kepada orang lain
Indikator Prilaku :
 Menginformasikan perlunya perubahan kepada
orang lain dengan disertai alasan yang jelas;
 Membantu orang lain menyesuaikan diri dengan
perubahan; dan
 Mampu mengelola perubahan pada unit kerjanya.
2 Kompetensi Manajerial
1) Berpikir Analisis (BAN)
Kemampuan untuk mengidentifikasi,
menguraikan, menghubungkan masalah, dan
memahami situasi untuk mencari solusi berdasarkan
fakta, asumsi, logika, dan tingkat kepentingan dalam
mengambil langkah- langkah yang diperlukan sesuai
dengan tujuan organisasi.64
2) Berpikir konseptual (BK)
Kemampuan merumuskan atau membuat
kesimpulan berupa teori, metode atau sistematika
kerja berdasarkan informasi yang tersedia.65
3) Pengendalian Diri
Kemampuan untuk mengendalikan diri pada
saat menghadapi masalah yang sulit, kritik dari orang
lain atau pada saat bekerja di bawah tekanan dengan
sikap yang positif.

63
Kementrian Agama, Standar Kompetensi Jabatan Penyuluh
Agama (4 Januari 2016) h. 16
64
Noor Fuad & Gofur Ahmad, Intergrated HRD: Human
Resources Develoupment h. 32
65
Noor Fuad & Gofur Ahmad, Intergrated HRD: Human
Resources Develoupment h. 32
164

4) Komitmen terhadap Organisasi


Kemampuan untuk menyelaraskan perilaku
pribadi dengan kepentingan organisasi dalam rangka
mewujudkan visi dan misi.
5) Inisiatif
Dorongan bertindak untuk melebihi yang
dibutuhkan atau yang dituntut oleh pekerjaan/
lingkungan melakukan sesuatu tanpa menunggu
perintah lebih dahulu,tindakan ini dilakukan untuk
memperbaiki atau meningkatkan hasil pekerjaan atau
menghindari timbulnya masalah atau menciptakan
peluang baru.
6) Kerjasama
Kemampuan menyelesaikan pekerjaan
secara bersama-sama dengan menjadi bagian dari
suatu kelompok untuk mencapai tujuan unit /
organisasi.
7) Mengembangkan Orang Lain
Mengembangkan orang lain untuk
meningkatkan kemampuan agar dapat bekerja lebih
optimal.66
8) Berorientasi Pada Pelayanan
Kemampuan memberikan layanan kepada
pelanggan (internal dan eksternal) yang sesuai dengan
keinginan pelanggan dan atau standar pelayanan
minimal dengan berorientasi pada pencapaian kinerja
layanan yang memuaskan sehingga tercipta pelayanan
yang prima.
9) Membangun Hubungan Kemitraan
Kemampuan untuk menjalin dan membina
kerjasama, serta mengembangkan hubungan dan
66
Noor Fuad & Gofur Ahmad, Intergrated HRD: Human
Resources Develoupment h. 33
165

jaringan strategis dalam melaksanakan tugas dengan


mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, politik,
dan regulasi dalam rangka mencapai tujuan
organisasi.Kemampuan untuk melakukan kerjasama
yang efektif dengan orang lain dalam kelompok kerja
baik di dalam maupun di luar organisasi.
10) Pencarian Informasi
Mengumpulkan data atau informasi yang
dibutuhkan secara sistematik dari dalam dan luar
organisasi untuk menunjang kelancaran pelaksanaan
pekerjaan dan pengambilan keputusan.
11) Pengambilan Keputusan dan Penyelesaian Masalah
12) Kemampuan memahami inti permasalahan, melihat
hubungan sebab akibat dari berbagai informasi yang
diperlukan, mengembangkan alternatif berdasarkan
fakta, asumsi, dan logika, untuk, mengevaluasi
alternatif sesuai kondisi dan situasi organisasi,
mengembangkan kebijakan untuk penyelesaian
masalah.
13) Berorientasi pada Kualitas
14) Kemampuan melaksanakan tugas-tugas dengan
mempertimbankan semua aspek pekerjaan secara
detil untuk mencapai mutu yang lebih baik.
3 Kompetensi Teknis
Kompetensi Teknis-Pengetahuan yaitu “hard
competency” yang diperlukan pada jabatan tertentu, baik
jabatan yang bersifat managerial, kepakaran maupun
teknis operasi. Untuk kompetensi teknis Penghulu
dikelompokan kedalam Kompetensi Teknis
Kompetensi Teknis Umum yang meliputi :67

67
Kementrian Agama, Standar Kompetensi Jabatan Penyuluh
Agama (4 Januari 2016) h. 18
166

1) Komunikasi
Mampu menerima dan menyampaikan informasi
secara jelas, baik secara lisan maupun tulisan dengan
menggunakan tata bahasa yang baik dan benaruntuk
menerangkan sesuatu, mempersuasi dan meyakinkan
serta membujuk orang lain dalam rangka mencapai
suatu tujuan tertentu.68
2) Aplikasi Komputer
Penggunaan aplikasi perkntran, penggunaan
aplikasi internet dan penggunaan fitur-fitur khusus
dalam aplikasi tersebut.
3) Bahasa Inggris
Pengetahuan dan kemampuan mendengarkan
percakapan bahasa, membaca buku-buku bahasa
Inggris.
4) Bahasa Arab
Pengetahuan dan kemampuan dalam memahami
Bahasa Arab serta berkomunikasi dengan
menggunakan Bahasa Arab.
5) Teknik Presentasi
Pemahaman cara dan ketrampilan teknik
presentasi, melakukan presentasi dengan alat bantu,
melakukan presentasi dengan baik dan terarah.
6) Produk Hukum dan Peraturan Perundangan-
Undangan
Pengetahuan dan kemampuan dalam memahami
hukum, perundang-undangan dan peraturan
pemerintah, dan mengelompokkan masalah/kasus
serta proses penyelesaiannya.

68
Noor Fuad & Gofur Ahmad, Intergrated HRD: Human
Resources Develoupment h. 36
167

7) Membaca Al-Qur’an
Kemampuan dan pengetahuan dalam membaca,
menghafal, dan memahami ayat-ayat Al-Qur’an.
8) Memahami Kemajemukan
Menyadari sepenuhnya keberagaman agama,
suku dan budaya yang ada dalam masyarakat.
9) Memahami Manajemen Konflik
Memahami strategi-strategi penanganan konflik
yang meliputi pra konflik, sedang konflik dan pasca
konflik.

F. Format Ideal Penyuluh Agama Islam


Pada dasarnya Kementrian Agama melalui
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam
telah melakukan upaya peningkatan kompetensi akademik
Penyuluh Agama Islam. Peningkatan kompetensi tersebut
dilakukan dalam berbagai bentuk antara lain: pendidikan,
pelatihan dasar, pelatihan fungsional dan workshop.
Pelatihan tersebut dilaksanakan secara berjenjang mulai
dari Kementrian Agama tingkat Kabupaten, Provinsi dan
Kementrian Agama Pusat. Adapun materi yang
disampaikan dalam pelatihan tersebut adalah kebijakan-
kebijakan yang dilakukan oleh Kementrian Agama untuk
menciptakan suasana yang damai dan tenram.
Selain itu, Kementrian Agama telah menyusun
setrategi kompetensi yang harus dimiliki oleh penyuluh.
Mengacu kepada peran Penyuluh Agama sebagai
pembimbing masyarakat, sebagai panutan dan sebagai
penyambung tugas pemerintah. Maka Penyuluh Agama
minimal harus memiliki tiga kompetensi yaitu :
1) Kompetensi manajerial yang diukur dari tingkat
pendidikan, pelatihan struktural atau manajemen, dan
pengalaman kepemimpinan adalah berupa kemampuan
168

dalam membuat perencanaan meliputi rencana


operasional, rencana tahunan dan rencana lima tahun,
dan kemampuan dalam mengorganisir tugas, dan
kemampuan melakukan pengkoordinasian, dan
kemampuan menggerakan semua potensi yang ada, serta
kompetensi dalam melakukan pengawasan.69
2) Kompetensi teknis yang diukur dari tingkat dan
spesialisasi pendidikan, pelatihan teknis fungsional, dan
pengalaman bekerja secara teknis kemampuan dalam
memberikan bimbingan agama dan penyuluhan
pembangunan, kemampuan melakukan pembinaan
terhadap kelompok penyuluhan agama, kompetensi
dalam melakukan pembinaan kepada lembaga
keagamaan, dankompetensi dalam pemberian
penerangan tentang pembangunan; dan.
3) kompetensi sosial kultural dalam kamus kompetensi
jabatan Kementerian Agama terdapat pada Kompetensi
inti harmonisasi keberagaman, yang diukur dari
pengalaman kerja berkaitan dengan masyarakat
majemuk dalam hal agama, suku, dan budaya sehingga
memiliki wawasan kebangsaan adalah merupakan
cerminan dari budaya kerja ASN kementerian Agama
sehingga mampu memberikan pencitraan yang baik dan
positif pada Kementerian Agama.70

4) Penyuluh Agama Islam pada dasarnya adalah


pembimbing umat Islam, untuk itu selain dari tiga
kompetensi yang disebutkan di atas, seharusnya ada

69
Kementrian Agama, Standar Kompetensi Jabatan Penyuluh
Agama (4 Januari 2016) h. 27
70
Kementrian Agama, Standar Kompetensi Jabatan Penyuluh
Agama (4 Januari 2016) h. 2
169

beberapa kompetensi tambahan untuk meningkatkan


kualitas PAI, seperti:
1) Kompetensi Personal, yaitu kemampuan PAI
untuk membimbing umat Islam,
menggerakkan umat Islam dan mendorong
umat Islam untuk meningkatkan Ukhwah
Islamiyah serta wawasan kebangsaan.
2) Kompetensi Professional, mengembangkan
profesionalisme dalam kegiatan penyuluhan
dan mengembangkannya yang diukur dari
pengalaman kerja yang berkaitan dengan
program-program penyuluhan.

Kualitas keilmuan PAI sangat penting dalam


mememunuhi kompetensi-kompetensi yang telah disebutkan di
atas, untuk itu perlu adanya peningkatan dalam perekrutan PAI
kedepannya, peningkatan kulaitas ini bisa saja dilakukan dengan
bekerja sama dengan berbagai fakultas dari berbagai Universitas
Islam yang program studinya berkaitan degan penyuluhan agar
mereka mempersiapkan SDM yang berkualitas untuk kemudian
diangkat menjadi penyuluh. Fakultas yang berkaitan misalnya
Fakultas Ushuluddin yang di dalamnya terdapat program studi-
program studi yang berkaitan dengan keislaman ataupun
kerukunan, Fakultas Dakwah juga di dalamnya terdapat program
studi yang berkaitan dengan penyuluhan keislaman. Kerjasama
dengan fakultas ini sangat diperlukan untuk menciptakan
penyuluh yang berkualitas dan memiliki bidang ilmu yang
sesuai.
Berkaitan dengan masalah kerukunan, dari beberapa
kebijakan dan aturan yang sudah dibuat oleh Kementrian Agama
RI melalui Bimas Islam masih kurang memadai bahkan pada
umumnya penyuluh merasa pelatihan dan workshop yang mereka
ikuti belum cukup untuk dijadikan bekal yang memadai,
sehingga ketika mereka terjun dilapangan untuk mengatasi
persoalan kerukunan umat beragama, mereka tidak mampu.
170

Salah satu contoh kasus yang terjadi adalah kegagalan mereka


mencengah konflik yang terjadi di Cikesik, Syiah Sampang dan
JAI di Tasikmala seharusnya mereka sudah mengetahui setrategi
bagaimana konflik itu bisa di atasi. Praktek yang telah dilakukan
para penyuluh pada umumnya membina masyarakat pasca
konflik bukan pra konflik karena mereka belum dibekali setrategi
dan manajmen konflik dan regulisi tersebut belum ada di
Kementrian Agama, seharusnya Bimas Islam mengklasifikan
penyuluh agama Islam (PAI) sesuai dengan kemampuan dan
pelatihan dengan dibekali sertifikan penyataan lulus kompetensi
sehingga para penyuluh kedepananya akan terbagi sesuai dengan
speliasi yang mereka ikuti. Speliasi antara lain:
1. Penyuluh Agama Islam Bidang Kerukunan
2. Penyuluh Agama Islam Bidang Zakat
3. Penyuluh Agama Islam Bidang Narkotika
4. Penyuluh Agama Islam Bidang HIV
5. Penyulihan Agama Islam Bidang Keluarga Sakinah
6. Penyuluhan Agama Islam Bidang Manajmen Masjid
7. Penyuluh Agama Islam Bidang Wakaf
8. Penyuluh Agama Islam Bidang Halal
Spealisasi yang penulis petakan di atas ini untuk
mendukung manajrial penyuluh agama Islam dalam
menghadapi problematika yang terjadi di Masyarakat
Indonesia, sehingga dengan speialisasi ini Indonesia akan
menjadi negara yang aman, damai, rukun serta mengurangi
konflik atas nama agama. Untuk mendukung gagasan ini
seharusnya pemerintah melalui Kementrian Agama
memperdayakan para penyuluh yang ada dibawah
naungannya difungsikan dengan maksimal, sehingga setiap
Kantor Urusan Agama (KUA) di Indoensia yang berjumlah
5947 harus memiliki 1 orang penyuluh agama Islam yang
mempunyai spealisai termasuk spealisasi kerukunan.
Tujuan spealisasi ini adalah untuk meminimalisir konflik
antar umat beragama.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Penyuluh agama merupakan salah satu unsur
penting dalam upaya peningkatan pemahaman dan
pengamalan ajaran agama kepada masyarakat dalam masa
pembangunan dewasa ini, dituntut agar mampu
menyebarkan segala aspek pembangunan melalui pintu
agama agar penyuluhan dapat berhasil, maka seorang
penyuluh agama harus dapat memahami materi dakwah,
menguasai betul metode dakwah dan teknik penyuluhan,
sehingga diharapkan seorang penyuluh agama dapat
mencapai tujuan da’wah yaitu dapat mengubah masyarakat
sasaran kearah kehidupan yang lebih baik dan sejahtera
lahir maupun batin. Wajar kiranya penyuluh agama
diharapkan dapat berperan pula sebagai motivator
pembangunan.
Tugas penyuluh agama sangat penting karena
pembangunan tidak semata-mata membangun manusia dari
aspek lahiriah dan jasmani saja, melainkan juga
membimbing dan membangun aspek rohaniah, mental
spiritualnya yang dilaksanakan secara simultan. Termasuk
dalam penanganan konflik-konflik bernuansa keagamaan,
peran PAI begitu jelas dan strategis. Nilai strategis ini
terletak pada relasinya dengan masyarakat, sebagai
subsistem sosial kemasyarakatan. PAI adalah bagian dari
masyarakat, menyatu dan tak terpisahkan.
Berdasarkan evaluasi kinerja PAI,banyak penyuluh
yang belum memenuhi kompetensi PAI yang telah
ditetapkan oleh Bimas Islam, hal ini disebabkan oleh
berbagai faktor, diantaranya SDM PAI itu sendiri dan honor

171
172

PAI yang terbilang minim sekali, untuk itu perlu adanya


kompetensi tambahan untuk PAI, peningkatan kualitas PAI
serta penaikan honor atau upah PAI.
Masalah kerukunan adalah masalah yang sangat
harus diperhatikan di Indonesia, mengingat kemajemukan
yang terdapat dalam masyarakat itu sendiri, penyuluh
agama sebagai komunikator dan mediator seharusnya bisa
mencegah dan menyelesaikan konflik yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat. Banyaknya penyuluh yang
belum mempunyai kompetensi yang memadai terutama
dalam bidang kerukunan menyebabkan ketidakmampuan
penyuluh dalam menyelesaikan atau meredakan konflik
yang terjadi di masyarakat, hal ini bisa dilihat ketika terjadi
konflik Jamaah Ahmadiah dan Syi’ah di Sampang mereka
masih berpihak pada kaum mayoritas bukan menjadi
penegah dalam konflik tersebut.
Selama ini Direktorat Jenderal Bimas Islam
Kementrian Agama Republik Indonesia belum memberikan
pendidikan dan pelatihan kepada penyuluh agama Islam
(PAI) sehingga kemampuan mereka masih minim, selain itu
seleksi yang dilakukan oleh pemerintah untuk perekrutan
penyuluh agama Islam (PAI) bukan pada jurusan atau
program studi di Perguruan Tinggi yang secara khusus
mempelajari dan mendalami manajmen konflik dan
kerukunan umat beragama. Kalau Pemerintah Republik
Indonesia melalui Bimas Islam bisa mendesain dan
memberikan pelatihan dan pendidikan (Diklat) kepada
calon penyuluh, selain itu pemerintah seharusnya
memperdayakan jurusan atau program studi di Perguruan
Tinggi Agama Islam (PTAI) yaitu Perbadndingan Agama
dan Bimbingan Pnyuluhan Islam (BPI), maka kerukunan
umat di negara ini akan terjaga, karena mereka sudah
173

mempunyai bekal yang cukup dalam menyelesaikan konflik


umat beragama.
B. Saran
1. Pemerintah: Pemerintah diharapkan bisa melengkapi
dan memerhatikan sarana prasarana yang dibutuhkan
Penyuluh Agama Islam. Sarana prasarana yang
penting bagi penyuluh saat ini adalah kenaikan upah
atau honor, laptop serta proyektor dan kendaraan, hal-
hal ini sangat dibutuhkan sebab tanpa sarana-
prasarana seperti ini kegiatan penyuluhan tidak akan
terlaksana secara maksimal. Selain melengkapi sarana
dan prasarana, pemerintah juga hendaknya
memberikan reward bagi yang berprestasi misalnya
beasiswa untuk melanjutkan studi dan punishment
bagi yang melanggar seperti evaluasi dan surat
teguran.
2. Penyuluh Agama Islam: Penyuluh Agama
kedepannya diharapkan bisa meninggkatkan skill
mereka, aktualisasi diri dengang perkembangan
zaman serta sadar teknologi, hal-hal ini sangat
penting sebab seorang penyuluh mesti memiliki skill
dibidang penyuluhan dan masyarakat, sadar teknologi
juga sangat harus diperhatikan oleh seorang penyuluh
karena dengan laju perkembangan zaman dan
teknologi akan berdampak kepada sikap dan tingkah
laku masyarakat yang menjadi sasaran penyuluhan.
3. Bimas Islam: Bimas Islam kedepannya harus terus
berupaya mengembangkan materi dan metode
penyuluhan serta perbaikan-perbaikan regulasi. Selain
itu pengembangan jaringan juga snagat diperlukan
untuk menciptakan penyuluh yang berkualitas,
pengembangan jaringan ini berbentuk kesepakatan
kerja sama yang terjalin antara Bimas Islam dan
174

Fakultas Dakwah dan Ushuluddin untuk menyiapkan


lulusan-lulusan yang berkualitas unuk menjadi
seorang penyuluh yang berkualitas juga tentunya.
DAFTAR PUSTAKA

Asry, Yusuf. (ed), Pendirian Rumah Ibadat Di Indonesia


(Pelaksanaan Peraturan Bersama Menteri Agama
dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dam 8 Tahun
2006. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kemenag,
2011)
Direktorat Penerangan Agama Islam Subdit Bimbingan dan
Penyuluhan Agama Islam, Penyuluh Agama Islam
dari Masa ke Masa.
Dokumen Ditjen Bimas Islam 2013
Dokumen Ditjen Bimas Islam Tahun 2007
Dokumen Ditjen Bimas Islam Tahun 2008
Dokumen Restra Ditjen Bimas Islam
Fuad, Noor dan Gofur Ahmad, Intergrated HRD: Human
Resources Develoupment. Jakarta: PT Grasindo,
2009).
Fauzan, S.Sos.I, dkk,Laporan Kegiatan Dai Rahmatan
Lil’alamin, (Jakarta: Direktorat Penerangan Agama
Islam 2012),
Ghazali, Abdul Moqsith. Argumen Pluralisme Agama;
Membangun Toleransi Berbasis Al-Quran. Jakarta;
KataKita, 2009.

175
176

Hadiat. Peningkatan Peran Penyuluh Agama yang


Berkualitas Dalam Pembangunan Nasional,
Makalah, Jakarta 19 Februari 2016.
Hamzah, Alirman. Hubungan Antarumat Beragama:
Pengalaman Rukun dan Konflik di Indonesia”
TAJDID, Vol. 17, No.2 (November 2014):h. 156
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/410530-
ahmadiyah-tasikmalaya-diserang--garut-tingkatkan-
keamanan?fb_comment_id=328735603921317_156
7573#f20d93a7ac
http://news.detik.com/berita/2240068/lpsk-temukan-5-
penyebab-konflik-sunni-syiah-di-sampang-madura
http://www.jpnn.com/read/2011/03/04/85753/Jabar-Resmi-
Larang-Aktivitas-Ahmadiyah-
http://www.pikiran-rakyat.com/serial-konten/terkait-
pergub-pelarangan-ahmadiyah
Jurnal Harmoni Badan Litbang dan Diklat Vol. 14 No. 2
2015 : h. 5
Kementrian Agama RI, Naskah Akademik Bagi Penyuluh
Agama Puslitbang Kehidupan Keagamaan: Jakarta,
2015
Kustini, ed., Mencari Format Ideal Pemberdayaan
Penyuluh Agama dalam Peningkatan Pelayanan
Keagamaan. Jakarta; Puslitbang Kehidupan
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI,
2014.
177

Lampiran I Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia


Nomor 39 tahun 2015 tentang Rencana Strategis
Kementerian Agama tahun 2015 - 2019
Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan di Indonesia
2011
Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan di Indonesia
2011.
Lubis, Ridwan. Cetak Biru Peran Agama. Jakarta:
Puslitbang, 2005.
M,Hilmi. Oprasional Penyuluh Agama. Jakarta:
Departemen Agama, 1997.
M. Atho Mudzhar, “Instrumen Internasional dan Peraturan
Perundangan Indonesia tentang Kebebasan dan
Perlindungan Beragama,” disampaikan pada
Sosialisasi SKB Ahmadiyah 21 Juli 2008.
Mack, Natasha. Dkk. Qualitative Reserch Methods: A Data
Celloctor Field Guide. California: Family Health
International, 2005.
Mashudi. Pendidikan Keberagaman Sebagai Basis
Kearifan Lokal (Gagasan Kerukunan Umat
Beragama)”, Tarbawi Vol. 11. No. 1. (Januari-Juni
2014): h. 48
Mudzar, M. Atho Merayakan Kebhinekaan Membagun
Kerukunan Badan Litbang dan Diklat Kementrian
Agama RI: Jakarta, 2013.
Mudzhar, Atho “Instrumen Internasional dan Peraturan
Perundangan Indonesiatentang Kebebasan dan
178

Perlindungan Beragama,” Makalah pada Sosialisasi


SKB Tentang Ahmadiyah Tanggal 28 Juni 2008
Mufid, Ahmad Syafi’i. (Ed.) Kasus-kasus Aktual
Kehidupan Keagamaan di Indonesia.Jakarta:
Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2014.
Mukhtar, Bimbingan Skripsi, Tesis dan Artikel Ilmiah:
Panduan Berbasis Penelitian Kualitatif Lapangan
dan Perpustakaan. Ciputat: Gaung Persada Press,
2009.
Munawar, Said Agil. Fikih Hubungan Antar Umat
Beragama. Jakarta : Ciputat Press, 2005.
Munawaroh, Mundiroh Lailatul. Penyelesaian Konflik
Sunni-Syiah Di Sampang Madura, (tesis UIN Sunan
Kalijaga 2014)
Nasution, Harun. Islam Rasional. Bandung: Mizan,1955.
Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
PT.Gramedia Pustaka Utama, 2002.
Republika, 8 Juli 2011 dengan judul “Sy’ah Sampang”
Resolusi Konflik Keagamaan di Berbagai Daerah (Jakarta;
Puslitbang Kemenag 2014.
Ruth, Dhyah Madya. (editor), Memutus Mata Rantai
Radikalisme Dan Terorisme, Jakarta: Lazuardi
Birru, 2010.
Sumbulah, Umi. “Pluralisme dan Kerukunan Umat
Beragama Perspektif Elite Agama di Kota Malang”
179

Analisa Journal of Social Science and Religion


Volume 22 No. (01 Juni 2015) :h. 3
Tim Penyusun, Laporan Akhir Tahun 2011, Jakarta: Badan
Litbang Kemenag, 2012, h. 8
Tim Penyusun. Laporan Akhir Tahun 2011. Jakarta: Badan
Litbang dan Diklat Kemenag, 2012, h. 54
Umar, Nasaruddin. Kerukunan Sejati: Mulai Dari Kitab
Suci,“ Makalah pada saresehan Moderasi Islam, 12
Maret 2008
Zarkasyi, Jaja. “Radikalisme dan Upaya Pencegahannya
Berbasis Partisipatoris,”Jurnal Bimas Islam Vol. 7.
No. 3 (Tahun 2014): h. 581
180
Biografi Penulis

Amirulloh lahir di Pondok


Kelapa, Duren Sawit Jakarta Timur
27 Oktober 1977. Pondoke Kelapa
salah satu kelurahan di daerah
Jakarta Timur perbatasan dengan
Bekasi Jawa Barat. Setelah lulus
Madrasah Ibtidaiyyah, Amirulloh
pernah menjadi santri di Pondok
Pesantren Daarur Rahman. Di Pondok tersebut ia
bertemu dengan kiai dan ustad yang diberkahi
keikhlasan mengajarkan ilmu hidup dan ilmu akhirat.
Selesai menamatkan jenjang pendidikan SMA pada
tahun 1996 ia tercatat sebagai mahasiswa IAIN Syarif
Hidayataullah Jakarta Fakultas Ushuluddin jurusan
Perbandingan Agama dan kemudian tamat pada
tahun 2004. Selama kuliah ia aktif di berbagai
kegiatan kampus, salah satunya Teater Syahid dan
Gempa Band.
Tahun 2013 ia melanjutkan S2 pada Fakultas
dan jurusan yang sama konsentrasi Kerukunan Umat
Beragama. Saat ini Amirulloh adalah PNS pada
Direktorat Penerangan Agama Islam Ditjen Bimas
Islam Kementerian Agama Republik Indonesia. Sejak
diangkat PNS pada tahun 2009, Amirulloh
ditempatkan pada Subdit dan Bimbingan dan
Penyuluhan Agama Islam. Saat ini menjabat sebagai
Pymt. Kasi Ketenagaan Lembaga Dakwah dan
Majelis Taklim. Ia juga merupakan wakil ketua FKDMI
(Forum Komunikasi dai Muda Indonesia) dari tahun
2012 sampai sekarang, selain itu ia juga aktif di
IPQOH (Ikatan Persaudaraan Qari-Qariah dan Hafiz-
Hafizah) dari tahun 2012 sampai sekarang.

Anda mungkin juga menyukai