Modul 5 Cyber Culture - Ok
Modul 5 Cyber Culture - Ok
MODUL PERKULIAHAN
W042100027 –
Cyber Culture
Sejarah, Definisi, Karakteristik
Postmodernisme, dan Teori-
Teori Postmodernisme
Abstrak Sub-CPMK
05
Engga Probi Endri, S.I.Kom., M.A.
Fakultas Ilmu Komunikasi Ilmu Komunikasi & Tim Teaching
Pendahuluan
Sejarah Posmodernisme
Meski istilah postmodernisme banyak dikatakan rumit, namun satu hal yang dapat
dipahami secara pasti adalah bahwa pemikiran postmodernisme memberikan dampak
yang cukup dahsyat bagi kehidupan manusia. Pemikiran tersebut antara lain,
postmodernisme menolak cara berpikir ataupun hukum alam dan sosial yang berjalan
secara mekanistik, homogen, deterministik, dan linear (Deny, 2006).
I. Definisi Postmodernisme
Postmodernisme sering disebut sebagai sebuah istilah rumit. Bila tidak bisa
dikatakan mustahil, maka untuk menjelaskan postmodernisme ini bisa dikatakan sebagai
sesuatu yang sukar. Mengapa demikian? Sebab postmodernisme bisa dijelaskan dalam
berbagai hal, mulai dari hal seni, arsitektur, studi literatur, dan ilmu sosial. Tak hanya itu,
postmodernisme dalam berbagai hal tersebut juga dimengerti dan dijelaskan dengan
berbagai cara yang berbeda. Jika berbicara mengenai pengertian postmodernisme, maka
kita akan mendapati definisi yang beragam. Kvale (2006) berpendapat bahwa
keberagaman definisi dari istilah postmodernisme ini bisa sangat luas, ambigu, bahkan
kontroversial.
Tulisan para postmodernis secara umum memiliki perbedaan satu dengan yang
lain. Seperti dikemukakan Richard Appignanesi dan Chris Garratt, postmodern diartikan
dalam pengertian berbeda: "sebagai hasil dari modernisme", "akibat dari modernisme",
"anak dari modernisme", "perkembangan dari modernisme", atau juga "penyangkalan
tentang modernisme" atau "penolakan atas modernisme" (Appignanesi & Chris Garrat,
1998: 4). Meskipun terdapat perbedaan, tentu ada persamaan juga di antara pemikiran
mereka. Persamaannya adalah pada ciri-ciri paradigma postmodern atau karakteristik
yang mereka sebut dengan postmodern itu.
Salah satu ciri postmodern adalah "cultural turn". Maksudnya, dalam postmodern
peran dominan budaya menggantikan peran ekonomi yang begitu kuat dalam pandangan
modern yang berwujud dalam dua kubu besar yang cenderung bertentangan antara
pendukung: sosialisme dan kapitalisme. Dengan kata lain, postmodern lebih menekankan
peran budaya (termasuk ilmu pengetahuan) daripada ekonomi (seperti dikemukakan
pemikir Marxis). Jika pemikir Marxis cenderung menggunakan kapital ekonomi saja, maka
Pierre Bourdieu, salah seorang postmodernis, menggeser peran kapitail ekonomi menjadi
kapital budaya sebagai kapital yang lebih penting pada era sekarang ini,
Para postmodernis sendiri umumnya tidak suka dengan penyeragaman dan tidak
suka pula pada definisi atau pembatasan, akan tetapi lebih senang dan menerima
perbedaan. Karena itu, konsep perbedaan (difference) menjadi salah satu konsep kunci
(konsep penting) dalam pemikiran postmodern di samping konsep-konsep lainnya.
Penekanan pada perbedaan, keberagaman, anti-esensialitas ini sebagai cara berpikir
Di sisi lain, ada beberapa ilmuwan (filsuf) yang menyatakan bahwa peralihan dari
era Modern ke postmodern tersebut adalah perubahan paradigma yang radikal dan bukan
sekadar lanjutan saja. Ada diskontinuitas (paradigma berpikir) dari kedua era itu. Pemikir
yang masuk dalam kelompok ini terlihat dari pengertian yang mereka kemukakan tentang
postmodern itu seperti Francois Lyotard yang menyebut era Postmodern dengan "era
ketidakpercayaan pada narasi-besar" atau metanarasi dan digantikan dengan narasi-
narasi kecil, "era berakhirnya filsafat" seperti Martin Heidegger, "era berakhirnya sejarah"
sebagaimana dikatakan Francis Fukuyama, "era masyarakat konsumer" pada Fredrich
Jameson, Jean Baudrillard dan Fearhersstone, "matinya rasionalitas atau logos" dari
Jacques Derrida, "era ekonomi libidinal" dari Lyotard dan Jean Baudrillard dan lain
sebagainya (Yasraf, 2001: 243).
Lalu apa yang dimaksud dengan postmodern itu? Apa ciri-ciri, nilai dan
gagasannya? Apa yang dimaksud dengan istilah "postmodern", "postmodernisme", dan
"postmodernitas"?
a) Dekonstruktif
Hampir semua bangunan atau konstruksi dasar keilmuan yang telah mapan dalam
era modern, baik dalam bidang sosiologi, psikologi, antropologi, sejarah, bahkan juga
ilmu-ilmu kealaman yang selama ini baku ternyata dipertanyakan ulang oleh
postmodernisme. Hal ini terjadi karena teori tersebut dianggap menutup munculnya teori-
teori lain yang barangkali jauh lebih dapat membantu memahami realitas dan pemecahan
Standar yang dilihatnya kaku dan terlalu skematis sehingga tidak cocok untuk
melihat realitas yang jauh lebih rumit. Maka menurutnya harus diubah, diperbaiki, dan
disempurnakan oleh para pemikir postmodernisme. Dalam istilah Amin Abdullah dikenal
dengan deconstructionism yakni upaya mempertanyakan ulang teori-teori yang sudah
mapan yang telah dibangun oleh pola pikir modernisme, untuk kemudian dicari dan
disusun teori yang lebih tepat dalam memahami kenyataan masyarakat saat ini, meliputi
keberagaman, dan juga realitas alam (Abdullah, 2004).
b) Relativisme
c) Pluralisme
Hasil teknologi modern dalam bidang transportasi dan komunikasi menjadikan era
pluralisme budaya dan agama telah semakin dihayati dan dipahami oleh banyak orang di
manapun mereka berada. Adanya pluralisme budaya, agama, keluarga, ras, ekonomi,
sosial, suku pendidikan, ilmu pengetahuan, politik merupakan sebuah realitas. Artinya
bahwa mentoleransi adanya keragaman pemikiran, peradaban, agama dan budaya
Menurut Utomo dan Hutapea (Wijayati, 2019), ciri-ciri postmodernisme juga dapat
dilihat berdasarkan pada karakter sosiologisnya. Ada delapan karakter sosiologis yang
menonjol dari postmodernisme, yakni:
1. Teori Konsumsi
Menjadi dewasa selama Revolusi Industri, dan dijiwai oleh masalah dan
prospeknya, teori sosiologi telah lama memiliki “bias produktif”. Artinya, teori cenderung
berfokus pada industri, organisasi industri, pekerjaan, dan pekerja. Bias ini paling jelas
dalam teori Marxian dan neo-Marxian, tetapi ditemukan dalam banyak teori lain, seperti
pemikiran Durkheim tentang pembagian kerja, karya Weber tentang kebangkitan
kapitalisme di Barat dan kegagalan untuk mengembangkanny di bagian lain dunia.
Analisis Simmel tentang tragedi budaya yang dihasilkan oleh proliferasi produk
manusia, minat sekolah Chicago dalam pekerjaan, dan kekhawatiran dalam teori konflik
dengan hubungan antara pengusaha dan karyawan, pemimpin dan pengikut, dan
sebagainya. pada. Jauh lebih sedikit perhatian yang dicurahkan pada konsumsi dan
konsumen. Ada pengecualian seperti karya terkenal Thorstein Veblen (1899/1994)
tentang "konsumsi yang mencolok" dan pemikiran Simmel tentang uang dan mode, tetapi
sebagian besar, para ahli teori sosial tidak banyak bicara tentang konsumsi daripada
tentang produksi.
2. Teori Globalisasi
Meskipun ada perkembangan penting lainnya dalam teori di awal abad kedua
puluh satu (lihat di bawah), tampak jelas bahwa perkembangan terpenting ada dalam teori
globalisasi (W. Robinson, 2007). Berteori tentang globalisasi bukanlah hal baru. Bahkan,
dapat dikatakan bahwa meskipun ahli teori klasik seperti Marx dan Weber tidak memiliki
istilah tersebut, mereka mencurahkan banyak perhatian pada teori globalisasi. Demikian
pula, banyak teori (misalnya, modernisasi, ketergantungan, dan teori sistem dunia) dan
ahli teori (misalnya, Alex Inkeles, Andre Gunder Frank, dan Immanuel Wallerstein)
berteori tentang globalisasi dalam istilah yang berbeda dan di bawah rubrik teoretis
lainnya.
Teori politik, isu sentral dalam teori politik adalah kelangsungan hidup negara-
bangsa. Di satu sisi adalah mereka yang melihat negara-bangsa mati atau sekarat di era
globalisasi. Di sisi lain dari masalah ini adalah pembela akan pentingnya negara-bangsa
yang berkelanjutan. Setidaknya salah satu dari mereka (J. Rosenberg, 2005) telah
melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa teori globalisasi telah datang dan pergi
sebagai akibat dari keberadaan yang berkelanjutan, bahkan penegasan kembali, dari
Teori budaya. Kita dapat membagi teori budaya menjadi tiga pendekatan yang
luas (Pieterse, 2004). Yang pertama adalah perbedaan budaya, di mana argumen dibuat
bahwa di antara budaya ada perbedaan yang dalam dan sebagian besar tidak dapat
ditembus yang tidak terpengaruh atau hanya terpengaruh secara dangkal oleh globalisasi
(Huntington, 1996). Kedua, para pendukung konvergensi budaya berpendapat bahwa
meskipun perbedaan penting tetap ada di antara budaya, ada juga konvergensi,
meningkatkan homogenitas, lintas budaya (Boli dan Lechner, 2005; DiMaggio dan Powell,
1983; Meyer et al., 1997; Ritzer, 2004, 2007c, 2008b). Ketiga, ada hibridisasi budaya, di
mana dikatakan bahwa global dan lokal saling menembus untuk menciptakan realitas asli
yang unik yang dapat dilihat sebagai “glokalisasi” (Robertson, 1992, 2001), “hibridisasi”
(Canclini, 1995), dan "kreolisasi" (Hannerz, 1987). Sebagian besar pemikiran sosiologis
tentang globalisasi telah memperhatikan masalah, yang tersirat di atas, sejauh mana
globalisasi mengarah pada homogenisasi atau heterogenisasi.
Karya beberapa kontributor utama teori ini (seperti Garfinkel, Bourdieu, Giddens,
dan Foucault). Fokusnya adalah pada praktik, perilaku manusia, terutama dampak asumsi
yang diterima begitu saja. Asumsi-asumsi ini adalah "pra-teoritis" dalam arti bahwa para
aktor tidak sepenuhnya memahami sifat asumsi-asumsi ini dan tingkat dampaknya
terhadap praktik mereka (Biernacki, 2007). Latihan adalah cara rutin bertindak di mana
asumsi yang diterima begitu saja mempengaruhi cara kita bertindak, terutama bagaimana
kita mengatur tubuh kita, menangani objek, memperlakukan subjek, menggambarkan
sesuatu, dan memahami dunia.
Yang menarik dari penelitian dan pembahasan Foucoult adalah dia mengangkat
masalah yang sebelumnya dianggap tabu atau kurang menjadi perhatian pada dunia
Foucault misalnya melakukan penelitian terkait tubuh. Dalam hal ini, Foucault
mengaitkan munculnya biomedis dengan kebutuhan bentuk karakteristik dari produksi
kapitalis. Sekarang kita bisa melihat bagaimana tubuh ditempatkan pada proses produksi,
bagaimana tubuh dan sehat dimanfaatkan menjadi produksi dan komoditas industri
efektif. yang cantik Bagaimana bagian-bagian tubuh: bibir, pinggul, mata, perut, rambut,
hingga buah dada dalam bentuk tertentu dicitrakan dan diberi makna sebagai tubuh ideal
melalui simbol-simbol kultural (Synnott, 1993:11).
Teori yang dikembangkan oleh seorang sosiolog, Jean Baudrillard ini menawarkan
banyak gagasan dan wawasan yang inspiratif. Pemikirannya menjadi penting karena
Baudrillard mengembangkan teori yang berusaha memahami sifat dan pengaruh
komunikasi massa. Baudrillard mengatakan media massa menyimbolkan zaman baru di
mana bentuk produksi dan konsumsi lama telah memberikan jalan bagi semesta
komunikasi yang baru.
Sebagai pemikir aliran postmodern yang perhatian utamanya adalah hakikat dan
pengaruh komunikasi dalam masyarakat pascamodern, Baudrillard sering mengeluarkan
ide-ide cukup kontroversial dan melawan kemapanan pemikiran yang ada selama ini.
Misalnya dalam wacana mengenai kreativitas dalam budaya media massa atau budaya
cyber ia menganggapnya sebagai sesuatu yang absurd dan contradictio in terminis. Bagi
Baudrillard, televisi merupakan medan di mana orang ditarik ke dalam sebuah
kebudayaan sebagai black hole.
1. Media massa menyimbolkan zaman baru, bentuk produksi dan konsumsi lama telah
memberikan jalan bagi semesta komunikasi yang baru, dunia yang dikonstruksi dari
model atau simulacra.
Sejak jaman Renaissance hingga kini telah terjadi tiga kali revolusi simulacra, yaitu
counterfeit, production dan simulation, yang merupakan nama yang berbeda untuk
arti yang sama yaitu, imitasi atau reproduksi dari image atau obyek.
a) image merupakan representasi dari realitas.
b) image menutupi realitas.
c) image menggantikan realitas yang telah sirna, menjadi simulacrum murni.
Pada sign as sign, simbolika muncul dalam bentuk irruption. Baudrillard kemudian
menambahkan tahapan keempat yang disebut fractal atau viral. Kini kita pada
tahapan fractal, suatu tahapan transeverything yang mengubah secara radikal cara
pandang kita terhadap dunia.
Simulacra
Di tengah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang dasyat realitas telah
hilang dan manguap. Kini kita hidup di zaman simulasi, di mana realitas tidak hanya
diceritakan, direpresentasikan, dan disebarluaskan, tetapi kini dapat direkayasa, dibuat
dan disimulasi. Realitas buatan ini bercampur-baur, silang sengkarut menandakan
datangnya era kebudayaan postmodern. Simulasi mengaburkan dan mengikis perbedaan
antara yang nyata dengan yang imajiner, yang benar dengan yang palsu.
Proses simulasi inilah yang mendorong lahirnya term ‘hiperrealitas’, di mana tidak
ada lagi yang lebih realistis sebab yang nyata tidak lagi menjadi rujukan. Baudrillard
memandang era simulasi dan hiperrealitas sebagai bagian dari rangkaian fase citraan
yang berturut-turut:
1. Merefleksikan kenyataan
Dalam mengkonstruksi sebuah citra terdapat empat fase, yaitu ketika suatu tanda
dijadikan refleksi dari suatu realitas, ketika suatu tanda sudah menutupi dan menyesatkan
realitas itu sendiri, ketika suatu tanda menutupi ketiadaan dalam kenyataan, dan akhirnya
tanda tersebut menjadi sesuatu yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan
realitas. Fase terakhir inilah yang dikatakan sebagai suatu simulacra.
Terbentuknya Hyperreallity
Dramatisasi yang dilakukan melalui alur yang penuh aksi dramatis, secara umum
dikendalikan oleh rumah produksi yang membuatnya bukan lagi oleh pelaku utama yang
mempunyai cerita. Akhirnya menjadi mustahil membedakan yang nyata dari yang sekedar
tontonan. Dalam kehidupan nyata masyarakat pemirsa reality show, kejadian-kejadian
nyata semakin mengambil ciri hiper-riil (hyperreal). Tidak ada lagi realitas yang ada
hanyalah hiper-realitas. Dampak yang dihasilkan dari hiperreality adalah adanya
kepercayaan masyarakat terhadap kenyataan yang sebenarnya bukan kenyataan.
Pembodohan atas realitas ini dapat menghasilkan pola budaya yang mudah meniru
(imitasi) apa yang dilihatnya sebagai sebuah kenyataan di media televisi direalisasikan
dalam kehidupan keseharian. Serta terbentuknya pola pikir yang serba instan,
membentuk manusia yang segala sesuatunya ingin cepat saji.
Feminisme dapat diartikulasikan secara beragam dalam konteks ruang dan waktu
serta secara sosio-kultural yang indigenous, dengan catatan bahwa sepanjang suatu aksi
atau gerakan ini berangkat dari kesadaran tentang terjadinya penindasan baik fisik
maupun mental terhadap perempuan dalam masyarakat. Selanjutnya, kesadaran ini
memicu, memotivasi adanya suatu aksi dari perempuan atau laki-laki untuk dengan
sengaja merubah keadaan tersebut (Dzuhayatin, 2000, p. 234).
Ben Agger (Agger, 1998) menyatakan bahwa prestasi besar dari teori feminis
adalah bahwa bukan hanya tentang pemahaman, namun juga tentang tindakan. Feminis
itu sendiri, membentuk kesadaran yang dibangun oleh pengalaman perempuan yang
khas tentang kebenaran, pengetahuan dan kekuasaan. Seperti hal-nya yang terjadi
dalam masyarakat, perkembangan berikutnya, feminisme juga mendapat respon yang lain
dari isme-isme Barat, seperti kapitalisme, sosialisme, modernisme, industrialisme dan
bahkan post-modernisme.
Feminisme tidak lebih hanya diterima sebagai entitas yang secara substansial
tercela dan tidak perlu diberi ruang (Dzuhayatin, 2000, p. 235). Namun, hal ini tidak
menyurutkan dan memusnahkan munculnya gerakan feminis sendiri. Kesadaran akan
ketertindasan muncul di belahan dunia manapun. Diakui atau tidak, feminisme menjadi
suatu fenomena yang mendesak kemapanan patriakal yang cenderung mendiskriditkan
martabat kemanusiaan perempuan. Yang kemudian, kesadaran tersebut telah
menciptakan paradigma baru yang lebih harmonis untuk laki-laki dan perempuan, serta
merumuskan identitas gender yang tidak terlalu tajam terpolarisasi dalam sudut-sudut
yang superioritas dan inferior.
Teori feminisme diakui merupakan teori yang lahir karena kondisi yang mendorong
munculnya gerakan feminisme adalah gerakan pembebasan perempuan dari rasisme,
stereotyping, seksisme, penindasan perempuan, dan phalogosentrisme. Menurut
Thompson, feminism merupakan gerakan konstruksi sosial dan bukannya gerakan
persamaan gender karena permasalahan yang diusung oleh feminism mengacu pada
penataan sosial dan bukan biologis.
Tema besar yang dieksplor oleh teori-teori feminis ialah masalah diskriminasi,
stereotype, objektifikasi, penindasan, dan patriarkhi. Apa yang menjadi pokok masalah
dalam feminisme antara lain: kepemilikan, keadilan, integritas tubuh, otonomi,
produksi-reproduksi, hak-hak. Perjuangan panjang kalangan feminis telah
membuahkan hasil, misalnya hak bersuara (memilih dan dipilih), upah yang sama
(dalam pekerjaan), netralitas gender, hak reproduktif (aborsi dan kontrasepsi), kontrak
dan kepemilikan pribadi. Di samping itu, upaya perlindungan terhadap perempuan dan
anak perempuan dari kekerasan dan lainnya. Feminisme berpusat pada “isu-isu
perempuan” dan kesetaraan gender, maka pembebasan laki-laki dari seksisme dan
penindasan peran juga menjadi masalah feminism pula.
Perspektif feminis dalam ilmu politik cenderung terfokus pada isu seperti
diferensial gender dalam representasi dan partisipasi politik. Kaum feminis
berpendapat bahwa yang bersifat politis meliputi kehidupan pribadi dan kehidupan
privat (domestik), yang didasarkan atas hubungan kekuasaan yang tidak seimbang
dimana kaum perempuan dan juga mempunyai kekuasaan daripada perempuan dan
juga mempunyai kekuasaan atas perempuan (Lovenduski, 2008: 33).
Simpulan :
Postmodern adalah perubahan budaya mulai dari life style sampai dengan
paradigma berpikir yang muncul karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
informasi.Akibat perubahan yang dashyat maka paradigma modern dinilai tidak cukup
signifikan untuk menerangkan kebudayaan yang berkembang. Oleh karena itu kritik
terhadap perspektif kebudayaan dan paradigma modern bermunculan dan memakai
pemikiran baru yang disebut postmodern.