Anda di halaman 1dari 4

Policy brief

25 Maret 2023

MODEL VOLUNTERISME RELIGIUS DALAM MENGUATKAN PENDIDIKAN


TOLERANSI: PERAN PEREMPUAN
Hadi Pajarianto, Universitas Muhammadiyah Palopo

Ringkasan
Pengarusutamaan dan penguatan tema kajian relasi Muslim-Kristen dalam kaitannya dengan gerakan
volunterisme religius, sangat penting sebagai upaya penguatan nilai pluralitas bangsa yang mulai tergerus oleh
ekstrim kiri yang diklaim sebagai kelompok yang mengusung liberalisme maupun komunisme, dan ekstrim kanan
dikaitkan dengan kelompok konservatif dengan semangat keagamaan yang sangat kuat. Penelitian ini bertujuan
untuk menganalisis gerakan volunterisme yang dilakukan oleh perempuan muslim di wilayah pinggiran yang hidup
pada situasi sosio-keagamaan yang plural. Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi. Data diperoleh dari observasi dan wawancara mendalam dan dianalisis dengan melakukan reduksi
data, display data, dan pengambilan kesimpulan serta verifikasi. Hasil penelitian menunjukkan, nilai Islam moderat
dan pesan leluhur dalam nilai budaya sebagai basis nilai dalam menggerakkan volunterisme yang dilakukan pada
komunitas Muslim-Kristen. Saluran yang digunakan adalah tradisi keagamaan yang terbuka, pendidikan toleransi
yang inklusif, dan perayaan adat sebagai ruang perjumpaan perempuan-perempuan Muslim-Kristen.

Kata Kunci
• Model
• Volunterisme
• Religius
• Pendidikan Toleransi
• Peran Perempuan

Pendahuluan
Studi ini sangat penting bagi Indonesia, yang memiliki keragaman dan ratusan suku dan anak suku, ratusan bahasa
dan diperkaya dengan agama lokal penduduknya (Zainuddin, 2010). Secara faktual, masih terjadi peningkatan
kekerasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Pada tahun 2010 terdapat 81 kasus, yang direkam hanya dari
beberapa derah di Indonesia (Misrawi, 2010). Tahun 2015 ada 85 kasus, (Wahid et al., 2015) tahun 2016 sebanyak
97 kasus. Hal ini merupakan pergeseran dari apa yang dicita-citakan founding father pada tahun 1945 (Muryanti,
2014). Studi ini juga memberikan kontribusi terhadap beberapa keterbatasan pada hasil riset sebelumnya yang
belum banyak membahas secara utuh peran perempuan dalam upaya membangun budaya tolong menolong pada
komunitas berbeda agama. Studi yang dilakukan oleh Thung, pada aspek agama Indonesia harus bekerja keras
untuk mengatasi masalah keragaman (Ju Lan, 2011), beberapa konflik terjadi akibat dari stereotip negatif (Nakaya,
2018), konflik Ambon, Poso, dan Sambas mengarah ke marjinalisasi masyarakat adat, dan terkikisnya bangunan
adat setempat, yang menjadi penyebab konflik “etnis” (Schulze, 2017). Temuan preferensi filantropi pada salah
satu sayap organisasi perempuan Muhammadiyah, terdiri dari aktualisasi diri, pemberdayaan perempuan,
kewirausahaan sosial, dan kesejahteraan sosial (Annisa, 2012). Namun pada studi tersebut tidak menyentuh peran
perempuan pada relasi komunitas berbeda agama. Padahal perempuan adalah agen dan aktor penting dalam
proses perdamaian baik perannya sebagai ibu, pendidik, mediator, aktivis perdamaian dan pembuat keputusan
(Atuhaire, 2014), bahkan perempuan terlibat dalam semua jenis kerja perdamaian (Olofsson, 2018). Peran
perempuan pada komunitas berbeda agama di Indonesia dapat didorong memanfaatkan budaya gotong royong
sebagai simbol kesadaran bekerja rohaniah maupun kerja jasmaniah untuk kebaikan bersama (Effendi, 2016), dan
budaya tolong menolong (Utomo & Minza, 2018).
Fokus utama dalam penelitian ini didukung oleh berbagai teori dan hasil penelitian sebelumnya. Secara teologis,
tolong menolong selain tumbuh dari akar budaya bangsa, tetapi juga lahir dari pemaknaan terhadap kitab suci
yang mendorong untuk saling ta’awun atau tolong menolong, diantaranya dalam QS. Al-Maidah/5: 2. Konteks
ayat ini, suatu ketika sekelompok orang musyrik dari wilayah timur hendak pergi umrah ke Baitullah sesuai
kepercayaan mereka kala itu, sebagian sahabat berniat menghalangi mereka sebagai bentuk pembalasan,
kemudian Allah menurunkan ayat ke-2 pada Surat Al-Maidah tersebut (Mu’ti, 2019). Studi lain menemukan
toleransi beragama dan kesetaraan gender sangat penting untuk keberlanjutan kehidupan manusia (Al-Hamdi,
2015), karena perempuan memiliki perspektif berbeda dalam pencegahan konflik, dan dapat menjembatani
perbedaan agama, etnis, politik dan budaya (Goyol, 2019). Dalam konteks ini, perilaku menolong pada laki-laki
dan perempuan disebut juga helping behavior, sebuah tindakan yang bertujuan untuk menyejahterakan orang
lain dengan didorong oleh motif egois maupun altruistik (Marjanovic et al., 2012). Saat ini terjadi peningkatan
yang cukup besar dalam jumlah organisasi amal yang didirikan oleh para profesional Muslim (Latief, 2013),
walaupun gerakan ini perlu dievaluasi karena terkadang masih dikoordinasikan secara sporadis (Latief, 2016).
Lokus penelitian ini adalah Tana Toraja sebuah kawasan eksotik di Indonesia, dipilih dengan beberapa alasan
akademis. Pertama, secara sosiologis umat Islam di Tana Toraja, khususnya Bittuang memiliki karakteristik yang
unik. Selain kuatnya budaya Aluk Todolo pada orang Toraja, terdapat fakta adanya kerukunan antar umat
beragama yang luar biasa. Kedua, secara akademis-paedagogis masyarakat yang dihimpit oleh tradisi dan agama
yang berbeda, tentu akan menyesuaikan dengan pluralitas tersebut. Ketiga, secara politis umat Islam yang hidup
dalam konteks yang berbeda dengan warga pada umumnya yang hidup di lingkungan mayoritas muslim. Toraja
berasal dari kata To Riaja, To yang berarti orang (bahasa Bugis) dan Riaja yang berarti atas, sehingga Toraja berarti
orang yang tinggal di bagian atas atau di gunung lawan kata dari Luu’ berarti orang pesisir, yang dahulu memiliki
dominasi di dataran tinggi (Waterson, 2009). Berbagai unsur dalam kebudayaan Toraja turut membentuk
kepribadian masyarakatnya, yang bersumber pada ajaran kepercayaan purba nenek moyang mereka, bernama
Aluk Todolo (Fox, 2006). Berdasarkan data BPS, Tana Toraja saat ini dihuni oleh 234.002 jiwa, dengan rincian
berdasarkan agama, yakni: Protestan 68,66%, Katolik 17,09%, Islam 12,25%, Hindu 1,74%, Budha 0,22%, dan
Aliran Kepercayaan 0,01%.
Memperhatikan uraian teoritis dan fakta empirik, tema penelitian ini sangat aktual ditengah isu radikalisme dan
fundamentalisme yang berwajah agama, dan melunturnya peran peran perempuan akibat modernisasi dan
globalisasi di semua bidang kehidupan. Volunterisme perempuan yang didasari oleh semangat keagamaan yang
kuat didorong oleh semangat menolong dalam ranah dalam berbagai bidang kehidupan (Ruiter & De Graaf, 2006),
dan dilakukan oleh civil society sebagai aktor (Rahmat, 2014), diharapkan mampu menguatkan relasi Muslim-
Kristen dengan peran perempuan.

Konteks Studi
Penelitian ini adalah deskriptip kualitatif. Penelitian kualitatif adalah salah satu model penelitian yang
berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah (Fine,
1995). Menurut Creswell, fenomenologi menunda semua penilaian tentang sikap yang alami sampai ditemukan
dasar tertentu (Creswell, 2015). Populasi dalam penelitian ini adalah perempuan Aisyiyah di Bittuang Tana Toraja
yang berjumlah 21 orang. Penetapan sumber data dilakukan dengan purposive sampling, didasarkan atas ciri
tertentu yang memiliki kaitan erat dengan karakteristik yang sudah diketahui sebelumnya, berdasarkan tujuan
penelitian. Peneliti menetapkan 9 orang perempuan (42%) yang tergabung dalam organisasi perempuan Aisyiyah
dan memiliki latar pluralistik dalam keluarga besarnya sebagai sumber data, kemudian dilanjutkan dengan
pengayaan dari informan lain.
Data dikumpulkan melalui observasi, wawancara mendalam (in-depth interview), dan dokumentasi yang dilakukan
mulai Juni-September 2019 di Kecamatan Bittuang Tana Toraja. Observasi yang digunakan adalah observasi
partisipan. Selain mengamati, peneliti secara langsung terlibat dalam aktivitas yang dilakukan oleh perempuan
Aisyiyah, khususnya yang terkait dengan interaksi mereka dengan lingkungannya. Untuk menjaga validitas
observasi, penulis menggunakan field notes (Bogdan & Biklen, 1997) atau lazim disebut buku catatan lapangan.
Field notes digunakan untuk merekam berbagai peristiwa yang terkait dengan aktivitas tujuh keluarga Aisyiyah.
Data dianalisis melalui tiga tahapan, yakni, reduksi data, display data, dan pengambilan kesimpulan serta verifikasi.
Hasil, Kesimpulan dan Rekomendasi
Pemahaman agama dan metode dakwah yang dikembangkan Muhammadiyah telah menjadi cetak biru modernisme Islam
di Indonesia. Islam yang ditampilkan Muhammadiyah berkarakter tengahan (wasithiyah) dan menyejarah sehingga
melahirkan format Indonesia yang Islami (Islamic Indonesia). Secara ringkas, temuan penelitian ini yang diuraikan dari
fokus adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Temuan Penelitian
Focus Penelitian Findings
1. Nilai Agama (PHI Muhammadiyah, Islam Moderat, Ta’awun)
Basis nilai Volunterisme
2. Nilai Budaya (Longko’, Siri’, Karapasan)
1. Tradisi Keagamaan yang Terbuka
Saluran volunterisme 2. Pendidikan Toleransi yang Inklusif
3. Adat sebagai Perayaan Kebersamaan

Perempuan muslim yang tergabung dalam organisasi Aisyiyah di Tana Toraja mengedepankan tradisi keagamaan yang
terbuka, pendidikan toleransi kepada keluarga secara inklusif dan memanfaatkan perayaan keagamaan sebagai sarana
membangun kebersamaan dengan non-muslim. Dalam menghadapi perkembangan kemanusiaan universal perempuan
Asyiyah mengembangkan wawasan keislaman yang bersifat kosmopilitan. Kosmopolitanisme secara moral
mengimplikasikan adanya rasa solidaritas kemanusiaan universal dan rasa tanggungjawab universal kepada sesama
manusia tanpa memandang perbedaan dan pemisahan jarak yang bersifat primordial dan konvensional.

Perempuan muslim Aisyiyah memiliki peran yang cukup penting dalam menguatkan relasi Muslim-Kristen melalui gerakan
volunterisme religius. Volunterisme religius berakar dari nilai luhur agama yang memerintahkan kepada pemeluknya
untuk saing tolong menolog dalam kebaikan, juga bersumber dari kearifan lokal masyarakat Toraja yang dipelihara secara
turun temurun dari leluhur. Volunterisme religius berjalan dengan baik melalui tradisi keagamaan yang terbuka,
pendidikan toleransi yang inklusif, dan perayaan adat sebagai perayaan bersama semua agama. Relasi menunjukkan arah
positif dengan ko-eksistensi, kolaborasi, dan kohesi (Zamakhsari, 2019). Ini dapat menjadi model bagi daerah yang
memiliki karakteristik yang sama dengan lokus penelitin ini. Internalisasi Islam moderat yang dikembangkan di
Muhammadiyah dan dipraktikkan pada interaksi sosial, tercermin dalam karakter perempuan Aisyiyah di Toraja yang
akomodatif terhadap perbedaan. Kontribusi ini akan semakin menguatkan moderasi beragama di berbagai bidang, untuk
semakin menguatkan relasi Muslim-Kristen sebagai dua entitas agama terbesar di Indonesia.
Rekomendasi 1:
Agama dan budaya adalah dua sumber nilai yang berbeda, tetapi saling melengkapi. Direkomendasikan kepada semua
pihak khususnya yang memiliki perhatian terhadap relasi antar agama seperti FKUB, Ormas, tokoh agama, tokoh adat
untuk bergandeng tangan mengidentifikasi dan menyebarkan nilai luhur agama dan budaya yang mendukung dialog lintas
agama.

Rekomendasi 2:
Pemerintah perlu memberikan dukungan untuk tumbuhnya volunterisme dalam rangka melindungi nilai kebersamaan,
toleransi, diantara pemeluk agama yang berbeda. Faktanya untuk daerah-daerah yang jauh dari kota besar karakter ini
masih terpelihara dengan baik.

Rekomendasi 3:
Sampai saat ini, masyarakat Toraja konsisten memelihara dan mempertahankan adat istiadat warisan nenek moyang
mereka. Masyarakat Toraja mengenal dua upacara utama yang menyangkut siklus kehidupan, yakni Rambu Tuka’ (Alluk
Rampe Matollo) dan Rambu Solo’ (Alluk Rampe Matampu) yang masing-masing memiliki karakteristinya (Adams, 2004).
Upacara Rambu Tuka’ digelar untuk menyambut peristiwa kegembiraan seperti perkawinan, panen, (Alluk Pare), atau
memasuki rumah baru (Mangrara Banua). Sedangkan Rambu Solo’ merupakan upacara pembalikan jiwa yang mati
sebelum dikuburkan. Pada upacara rambu solo’ bukan hanya sekedar adat istiadat, juga simbol sinergisitas antara orang
yang sudah mati dan orang yang masih hidup. Nilai-nilai luhur pada upacara rambu solo’ seperti nilai kekeluargaan, nilai
kebersamaan atau kegotong royongan. Inilah nilai yang harus senantiasa dijaga.
References/more information
[1] F. Syarif, “Religion in the Conflict Flows,” ADDIN, vol. 13, no. 2, pp. 337–368, 2019.
[2] A. Yazdani, “The culture of peace and religious tolerance from an Islamic perspective,” Veritas, no. 47, pp.
151–168, 2020.
[3] B. Rogers, “Rejecting Religious Intolerance in South-East Asia,” JSEAHR, vol. 2, p. 208, 2018.
[4] I. Frydenlund, The rise of Buddhist-Muslim conflict in Asia and possibilities for transformation. Norwegian
Peacebuilding Research Centre (NOREF), 2015.
[5] A. Singh, “Conflict between Freedom of Expression and Religion in India—A Case Study,” Soc. Sci., vol. 7,
no. 7, p. 108, 2018.
[6] H. Pajarianto, I. Pribadi, P. Sari, and E. L. Education, “Tolerance between religions through the role of local
wisdom and religious moderation,” pp. 1–8, 2022.
[7] H. Pajarianto, “Interreligious relation: Position of women in strengthening Christian and Muslim bonds,”
HTS Teol. Stud. Stud., vol. 78, no. 4, p. 7, 2022.
[8] P. Purwati, D. Darisman, and A. Faiz, “Tinjauan Pustaka: Pentingnya Menumbuhkan Nilai Toleransi dalam
Praksis Pendidikan,” J. Basicedu, vol. 6, no. 3, pp. 3729–3735, 2022.
[9] F. Zakaria, “Review of Nur Amali Ibrahim, Improvisational Islam: Indonesian Youth in a Time of Possibility.,”
Contemp. Islam, vol. 14, no. 1, pp. 95–98, 2020, doi: 10.1007/s11562-019-00440-z.
[10] I. Subchi, Z. Zulkifli, R. Latifa, and S. Sa’diyah, “Religious Moderation in Indonesian Muslims,” Religions,
vol. 13, no. 5, p. 451, 2022, doi: 10.3390/rel13050451.
[11] D. Dawing, “Mengusung Moderasi Islam di Tengah Masyarakat Multikultural,” Rausyan Fikr J. Stud. Ilmu
Ushuluddin dan Filsafat, vol. 13, no. 2, pp. 225–255, 2017.
[12] M. Fahri and A. Zainuri, “Moderasi Beragama di Indonesia,” Intizar, vol. 25, no. 2, pp. 95–100, 2019.
[13] D. K. Foot and D. Stoffman, Boom, bust & echo: How to profit from the coming demographic shift.
Macfarlane Walter & Ross Toronto, 1996.
[14] C. Gilleard, “Cohorts and generations in the study of social change,” Soc. Theory Heal., vol. 2, no. 1, pp.
106–119, 2004.
[15] K. Mannheim, “Sociology of knowledge,” Tavistock Publ. Ltd., 1984.
[16] N. Ali, “Measuring Religious Moderation Among Muslim Students at Public Colleges in Kalimantan Facing
Disruption Era,” INFERENSI J. Penelit. Sos. Keagamaan, vol. 14, no. 1, pp. 1–24, 2020.
[17] S. H. A. Dodego and D. Witro, “The Islamic Moderation And The Prevention Of Radicalism And Religious
Extremism In Indonesia,” Dialog, vol. 43, no. 2, pp. 199–208, 2020.
[18] A. Markus, “Multiculturalism Discussion Paper Young adults and cultural diversity: Experiences and
challenges Discussion Paper,” no. September, 2017.
[19] C. C. Wolhuter, F. J. Potgieter, and J. L. Van der Walt, “Modelle van interreligieuse toleransie in die
onderwys van die een-en-twintigste eeu,” die Skriflig/In Luce Verbi, vol. 48, no. 1, pp. 1–8, 2014, doi:
10.4102/ids.v48i1.1798.
[20] E. J. Krumrei-Mancuso and S. V Rouse, “The development and validation of the comprehensive intellectual
humility scale,” J. Pers. Assess., vol. 98, no. 2, pp. 209–221, 2016.
[21] M. R. Leary et al., “Cognitive and interpersonal features of intellectual humility,” Personal. Soc. Psychol.
Bull., vol. 43, no. 6, pp. 793–813, 2017.
[22] I. Church and P. Samuelson, Intellectual humility: An introduction to the philosophy and science.
Bloomsbury Publishing, 2016.

Anda mungkin juga menyukai