Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

AHLI WARIS DAN HARTA WARIS SERTA PERSELISIHAN KEWARISAN

Mata Kuliah: Fiqh Mawaris

Dosen Pengampu : H. Agung, M.Ag

Disusun oleh : Kelompok 6

Alfanur Cholizah Azry (1808101198)

Khotimah (1808101202)

Lukman Ismail (1808101184)

KELAS PAI E/5

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON

2020
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT Tuhan Semesta


Alam. Atas karunia dan nikmat-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah
ini dengan sebaik-baiknya. Makalah dengan judul “Ahli Waris Dan Harta Waris
Serta Perselisihan Kewarisan” ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu
tugas kelompok mata kuliah Fiqh Mawaris yang diampu oleh Bapak H. Agung,
M.Ag

Sholawat beriringankan salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada


manusia pilihan yakni Nabi Muhammad SAW. Yang telah berjuang dan
berkorban dalam memimpin umat manusia diseluruh jagat raya menuju jalan yang
diridhoi oleh Allah SWT tuhan semesta alam dengan nur islam yang mulia.

Kami menyadari akan keterbatasan yang ada pada penulisan makalah ini
baik dalam teknis penulisan ataupun penguasaan materi, dan kami mengakui juga
dalam makalah ini masih banyak kekurangan - kekurangan terutama mengenai
bahasanya. Demikian, semoga makalah ini dapat di terima sebagai ide atau
gagasan yang menambah kekayaan intelektual kita.

Cirebon, 05 Oktober 2020

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar............................................................................................................................i

Daftar Isi.....................................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1

1.1 Latar Belakang................................................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................................2
1.3 Tujuan.............................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN............................................................................................................3

2.1 Pengetian Ahli Waris......................................................................................................3


2.2 Pengertian Harta Waris...................................................................................................3
2.3 Macam-macam Perselisihan Kewarisan dalam Islam.....................................................4
1) Anak Dalam Kandungan............................................................................................6
2) Orang Hilang..............................................................................................................7
3) Anak Hasil Zina.........................................................................................................9
4) Anal Li’an..................................................................................................................10
5) Warits Huntsa Musykil..............................................................................................14
BAB III PENUTUP....................................................................................................................22
3.1 Kesimpulan....................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Proses perjalanan kehidupan manusia adalah lahir, hidup dan mati. Semua tahap
itu membawa pengaruh dan akibat hukum kepada lingkungannya, terutama dengan
orang yang dekat dengannya. Baik dekat dalam arti nasab maupun dalam arti
lingkungan. Kelahiran membawa akibat timbulnya hak dan kewajiban bagi dirinya dan
orang lain serta timbulnya hubungan hukum antara dia dengan orang tua, kerabat dan
masyarakat lingkungannya.
Demikian jugadengan kematian seseorang membawa pengaruh dan akibat hukum
kepada diri, keluarga, masyarakat dan lingkungan sekitarnya, selain itu kematian
tersebut menimbulkan kewajiban orang lain bagi dirinya (si mayit) yang berhubungan
dengan pengurusan jenazahnya. Dengan kematian timbul pula akibat hukum lain secara
otomatis, yaitu adanya hubungan ilmu hukum yang menyangkut hak para keluarganya
(ahli waris) terhadap seluruh harta peninggalannya.
Adanya kematian seseorang mengakibatkan timbulnya cabang ilmu hukum yang
menyangkut bagaimanacara penyelesaian harta peninggalan kepada keluarganya yang
dikenal dengan nama Hukum Waris. Dalam syari’at Islam ilmu tersebut dikenal dengan
nama Ilmu Mawaris, Fiqih Mawaris, atau Faraidh.
Dalam hukum waris tersebut ditentukanlah siapa-siapa yang menjadi ahli waris,
siapa-siapa yang berhak mendapatkan bagian harta warisan tersebut, berapa bagian
mereka masing-masing bagaimana ketentuan pembagiannya serta diatur pula berbagai
hal yang berhubungan dengan soal pembagian harta warisan.
Namun dalam makalah ini kami hanya menjelaskan pengertian ahli waris,
pengertian harta waris, dan macam-macam perselisihan dalam kewarisan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Ahli Waris?
2. Apa yang dimaksud dengan Harta Waris?
3. Apa saja macam-macam yang di perselisihkan dalam kewarisan?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Ahli Waris.
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Harta Waris.
3. Untuk mengetahui apa saja macam-macam yang di perselisihkan dalam
kewarisan.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN AHLI WARIS

Ahli Waris adalah orang-orang yang berhak atas warisan yang ditinggalkan oleh
orang yang meninggal. Sementara menurut definisi lain adalas sebagai berikut:

 Muhammad Amin Summa, mendefinisikan ahali waris adalah orang yang


bernisbah (memiliki akases hubungan) kepada si mayit karena ada salahs atu dari
beberapa sebab yang menimbulkan kewarisan.
 Menurut Kompilasi Hukum Islam ahli waris adalah orang yang saat meninggal
dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris,
beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
 Sedangkan menurut Idris Ramulyo, mendefinisikan ahli waris adalah sekumpulan
orang atau individu atau kerabat-kerabat atau keluarga yang ada hubungan
keluarga dengan yang meninggal dunia dan berhak mewarisi atau menerima harta
peninggalan yang ditinggal mati oleh seseorang (pewaris).1

Dari pemaparan tersebut diatas dapat pula disimpulkan bahwa, ahli waris adalah
seseorang atau sekumpulan orang yang ada hubungan kerabat atau hubungan perkawinan
dengan orang yang meninggal dunia dan tidak ada suat sebab hukum yang menghalangi
untuk mendapatkan harta warisan.2

2.2 PENGERTIAN HARTA WARIS


Dalam istilah fara’id, harta warisan disebut juga tirkah atau peninggalan.Kata ini
berarti segala sesuatu yang diwariskan oleh seseorang setelah meninggal dunia.Sementara
tirkah dimaknai sebagai harta si mayit sebelum digunakan untuk pemakaman, pelunasan
utang, serta wasiatnya.Kalau sudah dikurangi semua itu, artinya harta siap dibagikan (al-
irst).

1
Muhamad Amin Summa, Hukum Kewarisan islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja
Grafino Persada, 2002), hlm., 113
2
Tim Penyusun, Undang-Undang Republik Indoesia No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2008), hlm., 117
Jika wujud warisan tersebut berupa harta, ada dua jenis yang bisa dibagikan kepada
ahli waris. Pertama adalah harta bergerak berupa kendaraan, sertifikat deposito, dan
logam mulia.Sebaliknya, kekayaan tidak bergerak berbentuk rumah, tanah, serta utang.3

2.3 MACAM – MACAM PERSELISIHAN KEWARISAN DALAM ISLAM

1. AL-ḤAML (ANAK DALAM KANDUNGAN)


A. Pengertian al-Haml.
Secara etimologi al-haml adalah apa yang ada di dalam perut perempuan
yang mengandung pada semua makhluk. Jamaknya adalah ḥimālun, dan aḥmālun,
maksudnya adalah sesuatu yang ada di dalam perut perempuan yang mengandung.
Orang Arab berkata: perempuan bisa disebut ḥublā jika dia sudah mengandung dan
membawa beban. Apabila seorang perempuan membawa beban dipunggung atau di
atas kepalanya, perempuan itu disebut ḥāmilah.
Sedangkan al-ḥamlu secara terminologi adalah sesuatu yang ada di dalam
perut perempuan yang mengandung, mendapat warisan atau terhijab, atau
membawa dampak kepada ahli waris lain dalam semua keadaan atau sebagiannya
saja.
B. Syarat-syarat Anak Dalam Kandungan Dapat Mewarisi.
Anak yang ada dalam kandungan dapat memperoleh warisan jika telah
memenuhi syarat di bawah ini:
1. Syarat pertama, Ketika meninggal pewaris, anak yang ada dalam
kandungan seorang ibu dapat dipastikan keberadaannya, meskipun masih
berbentuk embrio.
Untuk mewujudkan syarat pertama tersebut, anak yang ada dalam
kandungan seorang ibu tidak boleh luput dari dua keadaan.
a) Anak yang ada dalam kandungan seorang ibu dilahirkan dalam
keadaan hidup sebelum berakhir waktu paling minimal orang hamil
semenjak meninggal pewaris.4
Sepakat para ulama waktu minimal seorang mengandung adalah
enam bulan, sebagaimana firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 233:

3
Muhamad Amin Summa, Hukum Kewarisan islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja
Grafino Persada, 2002), hlm., 115
4
Muhibbussabi, Fikih Mawaris, (Medan: CV Pusdikra Mitra Jaya), hlm., 66
‫َو ا ْل َو ا ِل َداُت ُيْر ِض ْعَن َأْو اَل َدُهَّن َح ْو َل ْي ِن َك ا ِم َل ْي ِن ۖ ِل َم ْن َأَر ا َد َأْن ُيِت َّم ال َّر َض ا َع ة‬......

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu
bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.”,

Dan dalam surah al-Ahqāf ayat 15:

‫َو َو َّص ْي َن ا ا ِإْل ْن َس ا َن ِب َو ا ِل َدْي ِه ِإْح َس ا ًناۖ َح َم َل ْت ُه ُأُّم ُه ُك ْر ًه ا َو َو َض َع ْت ُه ُك ْر ًه ا‬


‫ َو َح ْم ُلُه َو ِفَص ا ُلُه َثاَل ُثو َن َش ْهًر ا‬.ۖ ......
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu
bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya
dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga
puluh bulan”

Ayat di atas menjelaskan bahwa orang yang mengandung sampai


menyapihnya selama tiga puluh bulan, yaitu dua tahun enam bulan. Sementara
masa menyusui adalah dua tahun penuh, maka tersisa enam bulan yang merupakan
masa paling minimal untuk seorang yang mengandung. Sepakat para Fuqaha bahwa
perempuan tidak melahirkan pada masa yang lebih cepat dari enam bulan kecuali
karena musibah. seperti terjatuh yang menghendaki untuk segera dilahirkan anak
yang ada dalam kandugan tersebut.
b) Anak yang ada dalam kandungan seorang ibu dilahirkan dalam keadaan hidup
setelah berakhir waktu paling lama orang hamil semenjak meninggal pewaris.
Maka dalam keadaan ini anak tersebut tidak mendapatkan warisan. Karena
dilahirkan setelah berakhir masa maksimal ini, tanda bahwa anak tersebut ada
setalah meninggal pewaris dan sebagian mensyaratkan perempuan tersebut
telah menikah lagi setelah meninggal pewaris.5
Kemudian berbeda pendapat para ulama mengenai batasan waktu paling
lama bagi orang yang hamil, yaitu sebgai berikut:

5
Muhibbussabi, Fikih Mawaris, (Medan: CV Pusdikra Mitra Jaya), hlm., 66
 Pendapat Qurṭubī, Abu Ubaid al-Qāsim bin Sallām, IbnuQayyim Al-
Jauziyyah, Muhammad bin „Uṡaimīn, „Abdul Azīz bin Bāẓ, dan para ulama
kontemporer, bahwa tidak ada batasan waktu paling lama untuk orang yang
hamil, akan tetapi itu semua tergantung kepada kondisi yang ada, dimana
setiap perempuan mengandung lebih mengetahui akan kondisinya.
 Pendapat sebagian ulama salaf, di antaranya Ibnu Syihāb al-Zurī, Rabī‟ah
al-Ra‟yi, sebagian mazhab Malikiyyah, bahwa waktu paling lama seorang
yang hamil itu adalah tujuh tahun.
 Pendapat salah satu riwayat dari Imam Malik dan merupakan pendapat yang
dipegang oleh mazhab Malikiyyah, bahwa waktu paling lama seorang
perempuan yang hamil adalah lima tahun.
 Pendapat al-Laiṡi bin Sa‟id, bahwa waktu paling lama bagi seorang
perempuan hamil adalah tiga tahun.106 Alasan yang digunakan oleh empat
pendapat di atas adalah, mereka mendengar bahwa ada perempuan yang
masa kehamilannya itu sampai pada waktu-waktu yang telah disebutkan di
atas, dari itu, al-Laiṡi bin Sa‟id, mengetahui bahwa hamba sahaya dari
Umar bin „Abdullah mengandung selama tiga tahun dan ini merupakan
periode maksimum bagi perempuan yang hamil.
 Pendapat Imam Malik, mazhab Syāfi‟iyyah, dan mazhab Hanabilah, bahwa
waktu paling lama bagi seorang perempuan hamil adalah empat tahun.
Alasannya di dalam naṣ tidak disebutkan batasan waktu maksimal bagi
perempuan yang hamil, untuk bisa mengetahui waktu paling lama itu adalah
dengan melihat „uruf dan kasus-kasus yang ada, dijumpai bahwa yang
paling banyak terjadi adalah empat tahun.6
 Pendapat mazhab al-Ṡūrī, al-Auza‟ī, Hanafiyyah, al-Muzannī dan riwayat
dari Imam Ahmad, bahwa waktu paling lama seorang yang hamil adalah
dua tahun.
 Pendapat mazhab al-Żahiriyyah, bahwa waktu paling lama untuk seorang
yang hamil adalah sembilan bulan, tidak lebih dari itu. Alasannya adalah
surah al-baqarah ayat 233 dan surah al-ahqaf ayat 15, menurut ibnu Hazm
6
Muhibbussabi, Fikih Mawaris, (Medan: CV Pusdikra Mitra Jaya), hlm., 67
alŻahiri, ketika memahami dua ayat tersebut, tidak dibolehkan seorang
perempuan yang hamil melebihi waktu sembilan bulan dan tidak boleh
kurang dari enam bulan, barangsiapa yang berpendapat bahwa orang yang
mengandung sampai menyusianya melebihi waktu tiga puluh bulan, maka
merupakan perkataan batil dan mustahil, karena menolak yang telah Allah
jelaskan secara nyata
 Pendapat mayoritas ulama kontemporer, dan kedokteran, bahwa waktu paling
lama bagi seorang yang hamil adalah sepuluh bulan. Alasannya telah
dipastikan oleh banyak dokter spesialis kandungan bahwa masa normal
seorang perempuan yang hamil adalah 280 hari, yang dihitung dari masa
berakhir menstruasinya dan kehamilan biasanya terjadi sekitar 14 hari setalah
berakhir menstruasi tersebut.7
2. ORANG HILANG
Kalau seorang hilang, tidak ketahuan ke mana perginya,padahal ia meninggalkan
harta, atau di dalam masa hilangnya, ada seorang keluarganya mati dan ia dapat warisan,
maka bagaimana mesti diatur?
Mafqud menurut bahasa berarti hilang. Sedangkan menurut istilah adalah orang yang
hilang, yang tidak diketahui kabar beritanya dan tidak Nampak jejaknyakeberadaanya
tidak diketahui, apakah masih hidup atau sudah mati. Orang yang hilang ini orang yang
hilang dan terputus kabar berita tentang dirinya, serta tidak diketahui hidup atau matinya.
Ada ‘ulama berkata, bahwa hartanya sendiri dan harta ia dapat warisan itu, tidak
boleh diapa – apakan hingga lewat 90 tahun, barulah boleh dibagikan kepada waritsnya.
Kemudian ada ‘Ulama berpandangan bahwa hal itu terserah kepada pertimbangan Qadli,
Imam atau Sultan. Ada pula yang mewajibkan tunggu hingga masa yang orang – orang
sebaya dengannya meninggal.
Pendapat lainnya menyatakan bahwa, harta itu diserahkan kepada Baitul Mal
untuk dijaga, diurus, dan ditarik hasilnya, dikeluarkan belanja – belanja yang perlu dan
pantas, seperti gaji pengurus, zakat, belanja orang – orangyang dalam tanggungannya dan
sebagainya sambil dijalankan ikhtiar untuk mencari tahu halnya dengan apa – apa daya-
upaya yang pantas.

7
Muhibbussabi, Fikih Mawaris, (Medan: CV Pusdikra Mitra Jaya), hlm. 68.
Sesudah dirasa cukup ikhtiar, maka boleh Qadli, Imam atau Sultan bagikan 2/3
dari hartanya kepada waris – warisnya dan 1/3 lagi tetap disimpan dalam Baitul Mal
hingga kira – kira orang itu sampai umur yang pada ghalibnya mesti mati, barulah 1/3
lagi itu dibagikan kepada ahli warisnya yang ada pada waktu itu, dan kalau ahli warisnya
tidak ada sama sekali, maka bagikan kepada Ulul-Arhaamnya.8
Sementara para ahli fiqh menetapkan hukum bagi orang yang hilang, yakni Istri
orang tua itu tidak boleh dikawinkan dan hartanya tidak boleh diwariskan, serta hak –
haknya tidak boleh dibelanjakan atau ditukarkan sampai orang yang hilang itu diketahui
keberadaanya dengan jelasdan statusnya apakah dia telah wafat atau masih hidup atau
menunggu waktu beberapa saat sampai menimbulkan bahwa dia mati.9
Ada perbedaan pendapat perihaltengat waktu untuk menghukumi atau menetapkan
kematian orang yang hilang, yaitu :
Ulama Haniiyah, berpendapat bahwa orang yang hilang dianggap mati dengan
melihat kematian teman – taman sebayanya yang menetap di negaranya. Ulama
Malikiyah berpendapat bahwa orang hilang tengat waktunya adalah tujuh puluh tahun.
Ulama Syafi’iyah berpendapat orang hilang dinyatakan meningeal pada 90 tahun yaitu
matinya teman – teman yang seangkatan dengannya. Ulama Hanabilah, berpendapat
bahwa menyerahkan tenggat waktu tersebut kepada kebijaksanaan imam (hakim).10
Begitu orang yang hilang ditemukan sudah meninggal atau diputuskan hakim telah
meninggal maka hak ibu dan hak saudara laki – laki seayah diserahkan sesuai ketentuan
dalam table.

Asal Masalah 12 Asal Masalah 12

¼ Istri 3 Istri 3

1/6 Ibu + 2 Ibu 2

8
A.Hasan, Al-Fara’id (Surabaya : Penerbit Pustaka Progresif), hal. 125.
9
Ahmad Beni, Fiqh Mawaris, (Bandung :CV Pustaka Setia). Hal 226
10
Op.cit hal . 229
1/6 Ibu 2 (ditangguhkan) Ash Saudara laki – 7
laki sekandung

Mahjub : saudara - Mahjub Saudara laki – -


laki – laki laki seayah
sekandung yang
hilang

Ash : Saudara laki – 5 (ditangguhkan)


laki seayah

Contoh diatas merupakan bagungan dari ahli waris yang bagian pusakanya tidak
berubah (ada atau tidak adanya orang yang hilang), yaitu istri, bersama ahli waris lain
yang bagiannya dipengaruhi oleh orang yang hilang, yaitu ibu, dan orang yang tidak
mendapat bagian, yaitu saudar laki – laki seayah.

Kemudian kasus ahli waris jika orang yang hilang ternyata masih hidup. Bagian
masing – masing ahli waris bila orang yang hilang ternyata sudah mati dan saham hasil
penanguhan yang diberikan setelah nyata matinya.

4 7 8
Asal Masalah 2 8 56 Asal Masalah 6 ‘Aul 56
7
½ Suami 1 4 28 ½ Suami 3 24

Ash Saudar - 1 7 2/3 2 16 9*


a Pr. Saudar
Skd a pr.
Ash Saudar - 1 7 Skd 2 16 9*
a pr.
Skd
Ash Saudar - 2 14 Mahju Saudar
a Lk b a lk
skd yang
yang Mafduq
hilang

3. ANAK HASIL ZINA

Perbuatan zina merupakan dosa besar dan akibatnya merusak keturunan dan
mengganggu keamanan serta mengancam susunan kekeluargaan dan kebersihan.
Dengan demikian, anak zina adalah anak yang lahir dari seorang perempuan yang
telah melakukan hubungan kelamin seorang laki-laki dan perempuan tanpa ada
ikatan perkawinan yang sah. Islam sangat melarang perbuatan zina karena pada
dasarnya hubungan seks diluar ikatan pernikahan menunjukkan tidak adanya rasa
tanggungjawab dan dianggap sebagai suatu kejahatan besar dalam Islam.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa anak hasil perzinaan tidak bisa


dinasabkan kepada ayah zinanya, tetapi anak zina hanya dinasabkan kepada
keluarga dari pihak ibunya saja. Berbeda dengan Hukum Islam (dalam hukum
perdata) seorang anak hasil diluar nikah tidak mempunyai hubungan hukum
dengan pihak orang tua (laki-laki atau perempuan) yang menyebabkan kelahiran
anak tersebut. Anak diluar nikah baru mempunyai hubungan hukum tatkala ada
pengakuan atau pengesahan dari pihak orang tua (laki-laki atau perempuan) yang
menyebabkan kelahirannya.11

Menurut Wahbah az-Zuhaili mencatat bahwa menurut ulama Malikiyah, zina


adalah salah satu penghalang kewarisan di dalam ketentuan fiqh islam, oleh
karenanya seorang walad az-zina tidak bisa saling mewarisi dengan ayahnya,
meskipun ayah tersebut mengakuinya sebagai anak biologisnya. Alasan mereka
bahwa nasab itu merupakan karunia dan nikmat, sedangkan perzinaan itu

11
Suparman Usman. Ikhtisar Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Burgerlijk Wetbok), cet. Ke-2. (Jakarta: Darul Ulum Press, 1993). Hlm.56
merupakan tindak pidana(jarimah) yang sama sekali tidak layak mendapatkan
balasan nikmat.

Jika kedua orang yang berzina tersebut menikah dalam keadaan wanita hamil
maka pernikahan itu tidak sah. Hanya saja, kalau pernikahan itu dilangsungkan
dengan anggapan bahwa hal itu boleh dan sah sebagaimana mazhab sebagian
ulama yang berpendapat bahwa boleh bagi seorang laki-laki yang menghamili
seorang wanita dengan penzinaan menikahinya untuk menyelamatkan nasab anak
dengan syarat keduanya telah bertaubat dari perzinaan dan diketahui dengan pasti
bahwa yang menghamilinya adalah lakilaki itu.

Maka dalam hal ini pernikahan tu dikategorikan sebagai nikah Syubhat.


Artinya, pernikahan itu berlangsung dengan anggapan bahwa hal itu boleh
menurut syariat, padahal sebenarnya tidak boleh. Ini artinya pernikahan itu tidak
mengubah status anak hasil perzinaan tersebut sebaagi anak zina, dia tetap
dinasabkan kepada ibunya dan tidak sah dinasabkan kepada laki-laki tersebut.

Namun jika pernikahan itu dilangsungkan tanpa maksud untuk dapat


mengubah nasab anak zina yang lahir, yang artinya laki-laki yang berzina
menikahi perempuan yang dizinainya, maka hal itu adalah boleh menurut
kesepakatan para ulama.Namun ada ‘Ulama yang berpendapat bahwa kalau
seorang laki – laki berzina dengan seorang perempuan, dan dengan itu dapat anak,
maka anak tersebut jadi ahli waris laki – laki itu.12

4. ANAK LI’AN

Anak li’an, ialah anak yang lahir dari seorang ibu yang dituduh zina (melakukan
perbuatan zina) oleh suaminya, dan anak yang lahir itupun dinyatakan anak hasil
perbuatan zina itu. Pernyataan itu dilakukan dalam suatu saling sumpah antara wanita
ibu anak li’an tersebut dengan suaminya yang berakibat putusnya hubungan suami isteri
itu dan haram untuk selama-lamanya melakukan rujuk atau pernikahan kembali.
Akibat lain ialah tidak ditetapkannya anak tersebut sebagai anak laki-laki yang
melakukan mula’anah itu, tetapi anak ibu yang melahirkannya. Sebuah hadits
menerangkan:
12
A.Hasan, Al-Fara’id (Surabaya : Penerbit Pustaka Progresif), hal 129
Bahwa seorang laki-laki meli’an isterinya pada zaman rasulullah SAW dan tidak
mengakui anaknya, maka Rasululah SAW menceraikan antara keduanya dan
mengikutkan nasab anaknya kepada ibunya. (H.R. Bukhari.)

Peristiwa demikian, menurut hukum Islam ialah apabila seseorang suami menuduh
isterinya berbuat zina dan tidak dapat mendatangkan saksi karenanya suami
mendapatkan hukuman dera 80 kali, karena menukas (menuduh orang berbuat zina
tanpa saksi). Ia bebas dari hukuman kalau suami itu berani sumpah li’an, yakni
melakukan sumpah 4 kali dihadapan hakim yang intinya berisi “saya bersaksi bahwa
saya adalah orang yang benar tuduhannya”, kemudian yang kelima menyatakan
“kutukan Tuhan atasku, bila aku dari orang yang dusta terhadap tuduhan”. isteri yang
dituduh, dapat dikenai hukuman zina; tetapi ia dapat bebas dari tuduhan itu apabila ia
mengucapkan sumpah pula 4 kali, yang isinya “saya bersaksi pada Allah, bahwa ia
(suaminya yang menuduh itu) adalah orang yang berdusta terhadap tuduhannya itu”.
Selanjutnya yang kelimanya; “kemurkaan Allah atas dirinya bila suaminya adalah orang
yang benar tuduhannya.13

Mengenai mula’anah ini diterangkan pada ayat 6- 9 surat An Nur:


“dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka
tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian
orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia
adalah Termasuk orang-orang yang benar.(7). Dan (sumpah) yang kelima:
bahwa la'nat Allah atasnya, jika Dia Termasuk orang-orang yang berdusta.(8).
Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama
Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar Termasuk orang-orang yang
dusta.(9). Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya
itu Termasuk orang-orang yang benar”.

Sebagaimana diterangkan di muka bahwa anak yang lahir bukanlah anak dari ayah
yang melakukan mula’anah tetapi anak itu anak ibu yang melahirkannya. Maka dalam
13
Muhibbussabi, Fikih Mawaris, (Medan: CV Pusdikra Mitra Jaya), hlm., 77
masalah waris, jelas bahwa ia tidak mendapatkan warisan dari ayah tersebut, dan
sebaliknya juga tidak dapat mewariskan hartanya kepadanya apabila ia mati
mendahluinya. Tetapi ia mewarisi harta ibunya dan hartanya-pun dapat diwarisi oleh
ibunya itu.
Pada kedudukan anak li’an, sama kedudukan dengan anak zina. Hal yang
disepakati oleh ulama ialah bahwa bila kedua belah pihak telah selesai mengucapkan
sumpah li’an menafikan anak yang dilahirkan kemudian keduanya telah dipisah oleh
hakim maka putuslah hubungan kewarisan dengan anak yamg baru lahir dan begitu pula
antara suami isteri yang telah diceraikan itu.
Dalam putusnya hubungan kewarisan antara suami istri jumhur ulama
berpendapat hal tersebut terlaksana setelah kedua suami istri menyelesaikan sumpah
li’annya. Hal ini berarti bila terjadi kematian salah satu orang diantaranya tetapi
keduanya belum selesai mengucapkan li’annya maka hubungan kewarisan diantara
keduanya tidak terputus dalam arti masih saling mewarisi. Imam syafi'i berpendapat
bahwa terjadinya putus hubungan kewarisan itu semenjak suami telah selesai
melakukan sumpah li’annya dan tidak perlu menunggu selesainya istri melakukan li’an.
Imam Malik berpendapat bahwa bila suami meninggal setelah suami mngucapkan li’an
dan isteri tetap meli’an maka putuslah hubungan kewarisan tetapi kalau isteri tidak
meli’an sesudah kematian suaminya itu ia tetap diwarisi. Kalau yang meninggal adalah
isteri setelah suami meli’an, maka suami dapat mewaris dari isterinya.
Dari Malik, Zukaf dikalangan Hanafiah, juga dari al-Awza’i dan Daud
mengatakan bahwa setelah terjadinya sumpah li’an kedua belah pihak pemisahan dari
hakim tidak diperlukan; dengan arti hubungan kewarisan telah terputus dengan
sendirinya meskipun belum dipisahkan oleh hakim. Alasan yang dikemukakan oleh
kelompok ini ialah bahwa li’an itu berimplikasi pada pengharaman abadi antara kedua
pihak, dengan demikian untuk terjadinya perceraian antara keduanya tidak memerlukan
pamisahan dari hakim sebagaimana yang terjadi antara suami isteri yang terikat dalam
mahram susuan.
Dari Abu Hanifah dan dua sahabatnya yang lain yang mengatakan bahwa
pemisahan yang dilakukan oleh hakim sangat menentukan; dengan arti bahwa meskipun
telah selesai li’an kedua belah pihak dipisahkan oleh hakim hubungan kewarisan
diantara keduanya belum putus.
Alasannya ialah bahwa nabi menceraikan antara dua orang yang telah saling
meli’an dengan arti kalau seandainya perceraian telah tercapai dengan li’an tentu nabi
tidak perlu lagi memisahkan antara keduanya.
Adapun hubungan kewarisan antara laki-laki dengan anak dari isteri yang
dili’annya terputus semenjak selesainya li’an yang mengandung maksud menafikan
anak itu; oleh karena hubungan antara anak tersebut menafikannya dan bukan
disebabkan oleh tindakan hakim yang menceraikan antara suami dan isteri kalau
seandainya dalam li’an itu langsung disebutkan menafikan anak yang akan lahir oleh si
suami, maka hubungan antara anak tersebut; dengan sendirinya hubungan kewarisan
diantar keduanya tidak terputus. Ini adalah pendapat yang sahih dikalangan Hanabilah.14
Abu Bakar berpendapat bahwa anak-anak yang lahir perempuan yang dili’an itu
putus hubungan dengan si laki-laki terhitung semenjak perkawinan di antara keduanya
dinyatakan putus, meskipun dalam ucapan li’an dalam ucapan tidak disebutkan
menafikan anak. Alasannya ialah bahwa Nabi sendiri menafikan anak dari anak laki-laki
yang dili’an dan menghubungkan nasabnya dengan si ibu, bahwa waktu itu ucapan li’an
dari suami tidak memnyebut penafikan si anak.
Tetapnya hubungan kewarisan antara anak li’an dan anak zina di satu pihak dan
ibunya di pihak lain dan tidak dengan laki-laki yang menggauli ibunya disebabkan oleh
karena terjadinya hubungan nasab antara anak yang lahir dengan ibunya adalah secara
alamiah. Dalan arti kelahiran anak tersebut secara otomatis menimbulkan hubungan
nasab antara ibu yang melahirkan dengan anak yang dilahirkan, tanpa memperhatikan
bagaimana cara si ibu mendapatkan kehamilan dan status hukum dari laki-laki yang
menggauli si ibu itu. Sedangkan hubungan nasab antara anak dengan ayah tidak
ditentukan sebab alamiah, tetapi semata oleh sebab hukum artinya telah langsung
hubungan akat nikah yang sah antara si ibu dengan ayah yang menyebabkan anak itu
lahir. Baik anak zina maupun anak li’an tidak mempunyai status hokum seperti ini,
Oleh karena itu, ia hannya hubungan kewarisan dengan ibunya dan oaring-orang yang
berhubungan nasab melalui dengan ibunya itu; dan tidak dengan ayahnya.

5. KEWARISAN KHUNSA

A. Pengertian Khunsa

14
Darmawan, Pusaka Anak Dalam Kandungan, Anak Zina dan Anak Li’an. hlm 13-17
Secara etimologi khunṡa adalah al-takassur (terpecah) dan al-taṡanni (mendua).
Sedangkan secara terminologi khunṡa adalah orang yang memiliki kelamin laki-laki
dan kelamin perempuan sekaligus, atau tidak memiliki kedua-duanya sama sekali,
hanya memiliki lubang untuk kencing.
Khunṡa musykil adalah orang yang keadaannya sulit ditentukan, tidak tampak
pada dirinya ciri-ciri seorang laki-laki atau perempuan, atau ciri-ciri yang dimiliki
berlawanan dengan ciri umum seorang laki-laki dan perempuan, misalnya jenggot
dan payudara. Dengan demikian, statusnya menjadi tidak jelas apakah laki-laki atau
perempuan.15
B. Jalur-jalur Keturunan Khunsa
Para ulama faraiḍ setelah mengadakan penyelidikan (istiqra‟), menetapkan
bahwa para ahli waris khunṡa hanya diketahui melalui empat jihat (jalur) sebagai
berikut:
a) Jihat Bunuwah (jalur anak), para ahli waris khuntsa yang tergabung dalam
jihat bunuwah ini yaitu anak dan cucu, boleh jadi laki-laki dan boleh jadi
perempuan.
b) Jihat Ukhuwah (jalur saudara), mereka yang tergabung dalam jihat
ukhuwah yakni saudara dan anak saudara, yaitu kemenakan, boleh jadi
laki-laki dan boleh jadi perempuan.
c) Jihat Umumah (jalur paman), para ahli waris khunṡa dari garis paman
yakni paman dan anak paman (saudara sepupu).
d) Jihat Wala‟ (perwalian budak), ahli waris yang khunṡā dari golongan ini
hanya seorang saja yakni maulal-mu‟tiq (tuan yang telah membebaskan
budaknya).
Sementara jihat Ubuwwah (ayah, ibu, kakek dan nenek), jihat Zaujiyyah (suami dan
isteri), tidak mungkin mereka sebagai khuntṡa. Sebab nikah mereka tidak sah dan tidak
dapat mengadakan hubungan biologis sebagai media adanya keturunan. Andai kata ada
mereka bukan musykil lagi.16
C. Keadaan khunsa dan tata cara mendapatkan waris pada setiap saat.
Khunṡa tidak pernah lepas dari tiga keadaan, yaitu sebagai berikut:
1. Merupakan khunṡa ghairu musykil,
15
Muhibbussabi, Fikih Mawaris, (Medan: CV Pusdikra Mitra Jaya), hlm., 71-72
16
Muhibbussabi, Fikih Mawaris, (Medan: CV Pusdikra Mitra Jaya), hlm., 73
yaitu khuntsa yang telah jelas keadaannya, melalui alat kelamin yang ada
dapat dipastikan jenis kelaminnya laki-laki atau perempuan, dan dari segi
munculnya tanda-tanda kelakiannya maka dia mengambil hukum laki-laki,
begitu juga muncul tanda-tanda keperempuanannya maka dia mengambil
hukum perempuan
Tanda-tanda yang bisa membedakan khunṡa ada dua, yaitu boleh secara
khalqiyyah (lahiriah) dan ṭibbiyyah (medis). Tanda-tanda khalqiyyah (lahiriah)
di antaranya ada yang terjadi sebelum baligh yaitu dari cara kencing, jika
mengeluarkan air kencing melalui kelamin laki-laki dia adalah laki-laki begitu
pula sebaliknya, jika air kencing keluar dari kelamin perempuan dia adalah
perempuan. Karena manfaat asli dari alat kelamin pada masa kecil adalah
untuk kecing saja, dan hal yang sama dari manfaat tersebut akan muncul ketika
baligh.
Adapun tanda-tanda yang terjadi setelah baligh menurut fuqaha‟ yang
menjadi pembeda antara baligh seorang laki-laki dengan perempuan adalah,
tumbuhnya jenggot, kumis, jimak menggunakan kelamin laki-laki, keluarnya
mani dari laki-laki dan suka kepada perempuan, semua tanda-tanda ini adalah
indikasi bahwa dia adalah laki-laki. Sedangkan haid, payudara, jimak
menggunakan kelamin perempuan, keluarnya susu dari payudara, suka kepada
laki-laki, ini merupakan indikasi dia adalah perempuan.
Bisa juga mengetahui khunṡa meskipun tertutupi oleh tanda-tanda tersebut,
yaitu dengan cara ṭibbiyyah (medis). Berkonsultasi dengan ahli medis yang
berpengalaman untuk meneliti apakah dia seorang laki-laki atau perempuan,
bahkan tidak ada larangan jika medis melakukan tindakan operasi untuk
memperjelas statusnya, karena ketentuan dari Allah menuntut agar seseorang
tidak berkelamin ganda.17
Para ulama sepakat mengenai khunṡa yang memiliki dua alat kalamin , dan
mungkin untuk dibedakan antara keduanya, maka dia mendapatkan warisan
sesuai tanda-tanda yang dimiliki. Yang terpenting adalah cara kencing, jika dia
kencing melalui kelamin laki-laki, maka dia mendapatkan warisan bagian laki-
laki. Sedangakan jika dia kencing melalui kelamin perempuan, dia

17
Muhibbussabi, Fikih Mawaris, (Medan: CV Pusdikra Mitra Jaya), hlm., 73
mendapatkan warisan bagian perempuan. Jika dia kencing melalui dua kelamin
itu, maka ditentukan berdasakan kelamin yang mengeluarkan air kencing lebih
dahulu. Jika air kecing keluar dari kelamin laki-laki dahulu, kemudian kelamin
perempuan, dia adalah laki-laki, namun jika air kencing keluar dari kelamin
perempuan dahulu, kemudian kelamin laki-laki, dia adalah perempuan. Karena
kelamin yang mengeluarkan air kencing lebih dahulu menunjukkan bahwa
kelamin itu adalah kelamin yang sebenarnya. Jika tetap sama, maka menurut
jumhur ulama, yang dilihat adalah yang terbanyak air kencingnya, karena
jumlah yang lebih banyak diberlakukan untuk seluruhnya dan sebagai tanda
keaslian serta kekuatan.18
Dalilnya adalah riwayat dari „Ali ra. Bahwa ada yang bertanya tentang
kasus seseorang yang memiliki dua kelamin sekaligus, laki-laki dan
perempuan, bagaimana khukum warisnya, beliau menjawab: “Dari kelamin
mana dia kencing”. Begitu juga ada riwayat dari al-Sya‟biyyi dari Ali tentang
kasus khunṡa, berkata: “Dia mewarisi dari arah mana kencingnya”.
Imam ibnu al-Munżir, mengatakan ulama telah berijma‟ bahwa khunṡa
mewarisi dari segi kencing, jika kencing dari kelamin laki-laki, maka dia
mendapatkan hukum waris laki-laki, jika dia kencing dengan kelamin
perempuan, maka dia mendapatkan bagian waris perempuan.
Dengan demikian, hukum kewarisan khunṡa pada keadaan ini, mengikuti
ketentuan umum dalam kewarisan, mendapatkan warisan sekali, boleh jadi
bagiannya laki-laki atau perempuan.

2. Merupakan khunṡa musykil (yang sulit ditentukan)


yaitu khunṡa yang memiliki dua kelamin dan melalui alat kelamin yang ada
tidak dapat dipastikan jenis kelaminnya laki-laki atau perempuan. Akan tetapi
kejelasan statusnya masih bisa diharapkan, seperti khunṡa yang masih kecil,
dimana pewaris meninggal sementara dia belum baligh.
3. Merupakan khunṡa musykil, tidak jelas keadaannya, yaitu khunṡa yang
memiliki dua kelamin dan melalui alat kelamin yang ada tidak dapat dipastikan
jenis kelaminnya laki-laki atau perempuan. Begitu juga kejelasan statusnya

18
Ibid.,74
tidak bisa diharapkan lagi, karena sudah baligh dan tidak ada tanda-tanda untuk
membedakan antara laki-laki dan perempuan. Maka khunṡa ini sama
hukumnya dengan khunṡa yang meninggal di waktu kecil sebelum baligh.19

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

19
Muhibbussabi, Fikih Mawaris, (Medan: CV Pusdikra Mitra Jaya), hlm., 75
ahli waris adalah seseorang atau sekumpulan orang yang ada hubungan kerabat atau
hubungan perkawinan dengan orang yang meninggal dunia dan tidak ada suat sebab
hukum yang menghalangi untuk mendapatkan harta warisan.
Dalam istilah fara’id, harta warisan disebut juga tirkah atau peninggalan.Kata ini
berarti segala sesuatu yang diwariskan oleh seseorang setelah meninggal dunia.Sementara
tirkah dimaknai sebagai harta si mayit sebelum digunakan untuk pemakaman, pelunasan
utang, serta wasiatnya.Kalau sudah dikurangi semua itu, artinya harta siap dibagikan (al-
irst). Jika wujud warisan tersebut berupa harta, ada dua jenis yang bisa dibagikan kepada
ahli waris. Pertama adalah harta bergerak berupa kendaraan, sertifikat deposito, dan
logam mulia.Sebaliknya, kekayaan tidak bergerak berbentuk rumah, tanah, serta utang.
Dan macam-macam perselisihan kewarisan dalam Islam diantaranya yaitu:
 Anak Dalam Kandungan
 Orang Hilang
 Anak Hasil Zina
 Anal Li’an
 Warits Huntsa Musykil

DAFTAR PUSTAKA

Muhibbussabri 2020.FIKIH MAWARIS .Medan: CV PUSDIKRA MJ.


A. Hasan. Al faraid. Surabaya: : Penerbit Pustaka Progresif.
Muhamad Amin Summa. 2002. Hukum Kewarisan islam di Dunia Islam, Jakarta:
PT. Raja Grafino Persada.
Tim Penyusun, Undang-Undang Republik Indoesia No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. 2008. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.
Ahmad Rofiq.1993 .Fiqh Mawaris .Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Beni Ahmad Sabeni. 2009. Fiqh Mawaris .Bandung: CV. Pustaka Setia

Anda mungkin juga menyukai